EFEK ANTIHELMINTIK INFUSA BIJI KEDELAI PUTIH (Glycine max (L) Merril) TERHADAP WAKTU KEMATIAN CACING GELANG BABI (Ascaris suum, Goeze) In vitro

(1)

commit to user

EFEK ANTIHELMINTIK INFUSA BIJI KEDELAI PUTIH

(

Glycine max

(L) Merril) TERHADAP WAKTU KEMATIAN

CACING GELANG BABI (

Ascaris suum

, Goeze)

In vitro

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

A.D RAHMALIA G 0007184

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

commit to user

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, hidayah, serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) terhadap Waktu Kematian Cacing Gelang Babi (Ascaris suum, Goeze) In vitro”.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. CR. Siti Utari, Dra., M.Kes selaku pembimbing utama yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis.

3. Riza Novierta Pesik, dr., M.Kes selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran, dan motivasi bagi penulis.

4. Ruben Dharmawan, dr., Ir., PhD selaku penguji utama yang telah memberikan koreksi dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 5. Isna Qadrijati, dr., M.Kes selaku anggota penguji yang telah memberikan

koreksi dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

6. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Kepala Dinas Pertanian Kota Surakarta beserta seluruh jajarannya, Keluarga besar Lab. Parasitologi FK UNS, staf lab. MIPA Biologi UNS dan Pak Samuel atas segala bantuan untuk kelancaran pelaksanaan penelitian.

8. Keluargaku tersayang, Pop dan Mum tercinta, almarhum Prof. Moch. Sholeh Y.A. Ichrom, PhD dan Weni Ekayanti, drh. atas segala do’a restu yang tiada habisnya, bimbingan, serta support baik moril maupun materiil. My beloved twin and little sister, A.D Rahmilia and B.D Rahmaika, yang juga selalu membuat kakak yang satu ini selalu ceria serta bersemangat dalam menyelesaikan skripsi. Dan tak lupa, Mas Rahadiyan Wahyu Barata, yang juga selalu membantu, memberi semangat, dan menemani serta membuatku tersenyum dalam pembuatan skripsi ini hingga selesai, makasih moy.

9. Koni, Faqih, Risang, Reza, Yovan, Galih, Didit, Maharani, Okkie, serta teman FK UNS 2007, teman Asisten Anatomi 2007, teman-teman YBA Solo, teman-teman-teman-teman AFS Exchange Student atas bantuan dan motivasi yang diberikan sehingga membantu selesainya skripsi ini.

10. Semua pihak yang telah memberi bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Amien.

Surakarta, 1 Desember 2010 A.D Rahmalia


(3)

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA………... vi

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL ………... ix

DAFTAR GAMBAR……….. x

DAFTAR LAMPIRAN………... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Rumusan Masalah……….. 6

C. Tujuan Penelitian……… 6

D. Manfaat Penelitian……….. 6

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka……… 8

B. Kerangka Pemikiran……… 36

C. Hipotesis………. 37

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian………... 38

B. Lokasi Penelitian...……….. 38

C. Subyek Penelitian……….. 38

D. Teknik Sampling………. 38

E. Rancangan Penelitian………. 39

F. Identifikasi Variabel Penelitian...……… 40

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian……… 41

H. Bahan dan Instrumentasi Penelitian……… 43

I. Cara Kerja………... 45


(4)

commit to user BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian……….……….. 55 B. Analisis Data………... 60

BAB V. PEMBAHASAN……… 66

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan……… 72

B. Saran……….. 72

DAFTAR PUSTAKA……….. 74


(5)

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Kimia per 100 gram Biji Kedelai Mentah... 30

Tabel 2. Hasil Pengamatan Tahap Persiapan... 50

Tabel 3. Hasil Pengamatan Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada Kelompok Kontrol Negatif dan Kontrol Positif... 56

Tabel 4. Rerata Total Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Infusa Biji Kedelai Putih pada Berbagai Konsentrasi... 57

Tabel 5. Persentase Efektivitas Daya Antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih Dibanding Pirantel Pamoat... 59

Tabel 6. Nilai Probabilitas (p) Uji Normalitas... 61

Tabel 7. Nilai Probabilitas (p) Uji Homogenitas... 62

Tabel 8. Hasil Uji one way ANOVA... 62


(6)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ascaris lumbricoides, Linn... 14

Gambar 2. Ascaris lumbricoides, Linn... 15

Gambar 3. Anatomi Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides... 17

Gambar 4. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides... 20

Gambar 5. Cacing Dewasa Ascaris suum, Goeze... 21

Gambar 6. Siklus Hidup Ascaris Suum, Goeze... 23

Gambar 7. Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril)... 27

Gambar 8. Struktur Dasar Sapogenin... 34

Gambar 9. Skema Kerangka Pemikiran... 36

Gambar 10. Skema Rancangan Penelitian... 39

Gambar 11. Grafik Rerata Total Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Infusa Biji Kedelai Putih pada Berbagai Konsentrasi... 58

Gambar 12. Diagram Persentase Efektivitas Daya Antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih Dibanding Pirantel Pamoat... 60


(7)

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Penelitian Tahap Akhir

Lampiran 2. Perhitungan Persentase Efektivitas Antihelmintik Infusa Biji Kedelai dibanding Pirantel Palmoat

Lampiran 3. Hasil Uji Post Hoc LSD

Lampiran 4. Hasil Uji Homogenitas, Uji One Way ANOVA, dan Uji

Kolmogorov-Smirnov dan Saphiro Wilk

Lampiran 5. Foto-Foto Instrumentasi, Bahan, dan Proses Penelitian

Lampiran 6. Surat Keterangan Permintaan Bahan Tanaman dari LPPT UGM

Lampiran 7. Surat Keterangan Pengambilan Sampel dari Dinas Pertanian Kota Surakarta


(8)

commit to user

ABSTRAK

A.D Rahmalia, G0007184, 2010. Efek Antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) terhadap Waktu Kematian Cacing Gelang Babi (Ascaris suum, Goeze) In vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui pengaruh Infusa Biji Kedelai Putih

(Glycine max (L) Merril) terhadap waktu kematian cacing Gelang Babi (Ascaris

suum, Goeze) In vitro.

Metode Penelitian : Eksperimental kuasi dengan post test only control group

design, menggunakan 168 ekor cacing Ascaris suum, Goeze dewasa, dibagi dalam

7 kelompok yaitu: kelompok kontrol negatif menggunakan larutan garam fisiologis NaCl 0,9%, Infusa Biji Kedelai Putih (konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%) serta pirantel pamoat dengan merek dagang Combantrin sebagai kontrol positif. Teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling. Cacing direndam dalam larutan uji sebanyak 25 ml, diinkubasi pada suhu 370C. Pengamatan waktu kematian dilakukan tepat setelah perlakuan diberikan, diamati kematian cacing hingga semua cacing dalam satu kelompok mati. Data dianalisis dengan uji one way ANOVA dilanjutkan uji Post Hoc LSD dengan nilai probabilitas (p) <0,05.

Hasil Penelitian : Didapatkan perbedaan rerata waktu kematian cacing yang menunjukkan efek antihelmintik pada masing-masing perlakuan. Pada kelompok infusa Biji Kedelai Putih tampak bahwa efek antihelmintik terhadap Ascaris suum, Goeze In vitro meningkat seiring meningkatnya konsentrasi (20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%), terlihat dari semakin cepatnya waktu kematian cacing. Setelah diuji dengan uji one way ANOVA dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD, didapatkan perbedaan yang signifikan (p <0,05) dan tidak signifikan (p >0,05) antara waktu kematian cacing pada semua kelompok pada uji Post Hoc LSD.

Simpulan Penelitian : Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) memiliki efek antihelmintik untuk mempercepat waktu kematian Ascaris suum, Goeze In vitro walaupun efektivitas antihelmintik Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) (55,31%) masih lebih rendah dibandingkan efektivitas antihelmintik pirantel pamoat (100%).

Kata kunci : Antihelmintik, Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril),


(9)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted

Helminths) masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di

Indonesia. Infeksi cacing ini dapat ditemukan pada berbagai golongan usia, namun prevalensi tertinggi ditemukan pada anak usia balita dan usia Sekolah Dasar (SD). Dari hasil penelitian, didapatkan prevalensi penyakit infeksi akibat cacing ini sebesar 60-70% (Judarwanto, 2007).

Hasil penelitian Depkes RI (2005) menyebutkan bahwa prevalensi infeksi cacingan pada semua golongan usia yaitu berkisar antara 40-60%, sedangkan pada usia anak sekolah yaitu sebesar 40-80%. Prevalensi cacingan dari hasil survey di 10 provinsi di Indonesia yaitu Lampung, Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Utara pada tahun 2002-2003 dengan sasaran anak Sekolah Dasar (SD) mendapatkan hasil yang bervariasi, yaitu di antara 4,8% hingga 8,3% dengan prevalensi infeksi cacingan tertinggi terdapat di provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari hasil penelitian tersebut, diperoleh hasil prevalensi infeksi cacingan di Indonesia sebesar 30,33% dengan rincian prevalensi infeksi cacing gelang dan cacing cambuk sebesar 17,74% dan infeksi cacing tambang sebesar 6,46%.


(10)

commit to user

Di antara infeksi cacing lainnya, askariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering terjadi, dengan perkiraan prevalensi di dunia berkisar 25% atau 0,8-1,22 milyar orang (David, 2008 ; Kazura JW, 2007). Populasi dengan risiko tinggi adalah di Asia, Afrika, Amerika Latin dan USSR (Jamsheer, 2001).

Askariasis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infestasi cacing

Ascaris Lumbricoides, Linn atau cacing gelang. Ascaris Lumbricoides,

Linn adalah cacing bulat yang besar dan hidup dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab dan sanitasi buruk (Sudoyo, dkk., 2007). Penyakit Askariasis ini sifatnya kosmopolit yakni terdapat hampir di seluruh dunia (Rasmaliah, 2001).

Pada penyakit askariasis gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler darah atau dinding alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan terjadinya perdarahan, penggumpalan sel leukosit dan eksudat, yang akan menghasilkan konsolidasi paru dengan gejala panas, batuk, batuk darah, sesak nafas dan pneumotitis askariasis. Selain itu, larva cacing ini juga dapat menyebar dan menyerang organ lain seperti otak, ginjal, mata, sumsum tulang belakang, dan kulit (Sudoyo, dkk., 2007).

Dalam jumlah sedikit cacing dewasa tidak akan menimbulkan gejala, atau terkadang penderita hanya mengalami gangguan usus ringan seperti


(11)

commit to user

mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi. Sedangkan apabila infeksi dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Cacing dewasa juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi terutama pada anak-anak. Di samping cacing yang menggumpal dalam usus, cacing ini juga dapat mengadakan sumbatan pada saluran empedu, saluran pankreas, divertikel, dan usus buntu (Sudoyo, dkk., 2007).

Oleh karena manifestasi yang cukup serius ini, maka penatalaksanaan dan terapi untuk penyakit askariasis ini perlu dilakukan secara tepat guna, mencegah terjadinya obstruksi lebih lanjut.

Terapi untuk penyakit askariasis ini dapat menggunakan obat cacing (antihelmintik). Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal pada masyarakat. Untuk perorangan, dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperazine, levamisole, pirantel pamoat,

mebendazole, dan albendazole (Gandahusada, 2000 ; Tjay dan Rahardja,

2002 ; Katzung, 2004). Akan tetapi, kebanyakan dari obat-obat cacing sintetik ini hanya efektif terhadap satu macam cacing dan juga mempunyai efek samping pada penggunaannya, sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu (Ganiswara, 2007). Selain itu, terdapat banyak kekurangan pada obat-obat sintetik ini, di antaranya harganya yang relatif mahal, sedangkan infeksi yang disebabkan oleh cacing ini dapat berlangsung sepanjang tahun, maka pemakaian antihelmintik juga harus dilakukan berulang kali sehingga dalam segi


(12)

commit to user

biaya pun tidak efektif. Pada pemakaian jangka panjang juga menyebabkan resistensi cacing terhadap obat sintetik dan menimbulkan residu obat dalam jaringan tubuh (Beriajaya, 1997). Hingga saat ini resistensi cacing yang pernah dilaporkan antara lain Oesophagostonum spp

yang menginfeksi babi resisten terhadap pirantel pamoat dan levamisole

atau Cyathostomes pada kuda resisten terhadap benzimidazole (Satriawan, 2009).

Penggunaan obat tradisional lebih digemari masyarakat, karena penggunaannya relatif aman, mudah didapat dan memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat sintetis. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit. Selain itu, WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat obat tradisional (Sari, 2006).

Terdapat berbagai obat-obatan tradisional yang mengandung zat kimia yang memiliki efek antihelmintik. Zat kimia tersebut antara lain saponin yang terdapat pada air rebusan Daun Ketepeng (Cassia alata L) dan Infusa Biji Pepaya (Carica papaya) serta tripsin inhibitor yang terdapat pada rebusan Buah Makassar (Brucea javanica (L) Merril) yang telah terbukti mempunyai efek antihelmintik (Kuntari, 2008 ; Atabiq, 2010 ; Dalimartha, 2009). Zat aktif saponin ini mempunyai efek menghambat kerja enzim khemotripsin, kholinesterase, dan proteinase (Kuntari, 2008). Saponin mempunyai efek vermifuga, yakni secara langsung berefek pada


(13)

commit to user

cacing melalui perusakan protein tubuh cacing melalui inhibisi kerja enzim kholinesterase sehingga menimbulkan paralisis spastik otot cacing yang akhirnya mengakibatkan kematian pada cacing (Harvey dan John, 2005; Duke, 2010 ; Hartono, 2009). Sementara itu, tripsin inhibitor berperan dalam penghambatan enzim tripsin. Enzim tripsin ini berfungsi mengubah khemotripsinogen menjadi enzim khemotripsin. Dengan tidak terbentuknya enzim tripsin (aktivator) maka tidak akan terbentuk enzim khemotripsin. Enzim khemotripsin yang tidak terbentuk, akan menyebabkan paralisis spastik otot cacing (Dalimartha, 2009). Biji Kedelai Putih (Glycine Max (L) Merril) mengandung saponin, isoflavon, lignin, tripsin inhibitor, asam oleat, arachidonat, asam amino arginin dan glisin, serta vitamin (B2, B6, E, K) (Duke, 2010 ; Amelia 2006).

Karena masih tingginya penyakit askariasis di Indonesia serta dari kandungan zat aktif saponin dan tripsin inhibitor sebagai zat antihelmintik pada kedelai inilah memberi inspirasi penulis sehingga tertarik untuk meneliti lebih lanjut apakah infusa dari Biji Kedelai Putih dalam berbagai konsentrasi memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing gelang.

Cacing gelang yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Ascaris suum, Goeze yang terdapat dalam usus babi, dikarenakan tidak

memungkinkan untuk mengambil Ascaris lumbricoides dalam keadaan hidup secara langsung pada kondisi yang prima dari tubuh penderita askariasis. Selain itu, secara morfologi dan fisiologi Ascaris suum hampir


(14)

commit to user

sama dengan Ascaris lumbricoides Linn (Laskey, 2007; Miyazaki, 1991 ; Subroto, 2001).

B. Rumusan Masalah

Apakah Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) memiliki efek antihelmintik terhadap waktu kematian cacing Gelang Babi (Ascaris suum, Goeze) In vitro?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efek antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih

(Glycine max (L) Merril) terhadap waktu kematian cacing Gelang Babi

(Ascaris suum, Goeze) In vitro.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Mengetahui efek antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) terhadap waktu kematian cacing Gelang Babi

(Ascaris suum, Goeze) dengan dilengkapi bukti empiris pada

penelitian ini.

b. Mengetahui adanya perbedaan pengaruh pemberian Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) pada berbagai konsentrasi terhadap waktu kematian cacing Gelang Babi (Ascaris suum, Goeze) In vitro.

2. Manfaat Aplikatif

a. Untuk digunakan sebagai dasar penelitian In vivo terhadap hewan uji.


(15)

commit to user

b. Memberi kemungkinan untuk dapat dibuatnya preparat obat antihelmintik baru dari Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril).

c. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat tentang manfaat Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) sebagai terapi antihelmintik.


(16)

commit to user

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Askariasis

a. Definisi

Askariasis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infestasi cacing Ascaris Lumbricoides, Linn atau cacing gelang. Ascaris

Lumbricoides, Linn adalah cacing bulat yang besar dan hidup

dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab serta sanitasi buruk (Sudoyo, dkk., 2007).

b. Epidemiologi

Penyakit askariasis ini sifatnya kosmopolit yakni terdapat hampir di seluruh dunia (Rasmaliah, 2001). Akan tetapi, infeksi ini lebih banyak dan lebih sering mengenai daerah-daerah tropis dan negara berkembang di mana masih sering terjadi kontaminasi tanah oleh tinja yang mengandung telur cacing (Suriptiastuti, 2006 ; Haburchak, 2008).

Sumber penularan askariasis salah satunya adalah ternak babi. Telur cacing penyebab askariasis dikeluarakan oleh babi kemudian mencemari tanah, air, atau makanan (Soeharsono, 2002).


(17)

commit to user c. Etiologi

Askariasis disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris

lumbricoides, yaitu cacing gelang yang berukuran besar yang

hidup pada usus halus manusia. Sementara itu, Ascaris suum, parasit yang serupa yang terdapat pada babi, jarang menginfeksi pada manusia, namun bisa berkembang menjadi dewasa pada usus manusia, hal ini dapat menyebabkan ‘larva migrans’ (Depkes, 2005 ; David, 2008).

d. Patofisiologi dan patogenesis

Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat dengan respons umum hospes, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Selama larva mengalami siklus dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan pneumonitis. Larva yang menembus jaringan dan masuk ke dalam alveoli dapat mengakibatkan kerusakan pada epitel bronkhus (Onggowaluyo, 2002).

Manusia menelan telur Ascaris lumbricoides yang mengandung larva stadium 2, dengan ukuran 50-70 µm x 40-50 µm. Telur menetas dalam jejunum dan melepaskan larva stadium 2 tersebut. Larva tersebut kemudian menembus dinding usus kecil (beberapa juga ada yang menembus usus besar), lalu masuk ke dalam sirkulasi vena porta, dan bermigrasi ke hati selama 2-8 hari. Selanjutnya, larva bermigrasi melalui vena ke sirkulasi paru-paru


(18)

commit to user

dan kemudian ke paru-paru, selama perpindahannya ke paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam (39,9oC-40,0oC), batuk, ada sedikit darah di sputum, dan

asma. Pada sejumlah besar wanita, meningkat reaksi alerginya akibat terjadi peningkatan jumlah eosinofil. Selain itu juga terdapat adanya gambaran infiltrat pulmoner yang bersifat sementara, akan hilang dalam beberapa minggu dan berhubungan dengan eosinofilia perifer. Manifestasi klinik ini disebut juga Loeffler’s

syndrome (Shoff, 2008 ; Onggowaluyo, 2002).

Setelah berada dalam paru-paru, larva tersebut kemudian masuk ke ruang-ruang alveolar, dan berdifferensiasi menjadi larva stadium 3 dengan ukuran 1700-2000 µm, berganti kulit (meranggas) dan berubah menjadi larva pada stadium 4. Waktu yang diperlukan untuk mencapai stadium 4 ini seluruhnya adalah 4-14 hari. Setelah larva sudah berubah menjadi stadium 4, larva terus melakukan migrasi hingga kemudian naik ke trakhea yang pada akhirnya ikut tertelan dan kembali ke usus kecil (biasanya pada usus halus), berganti kulit (meranggas) untuk yang terakhir kalinya, dan berkembang menjadi dewasa dalam waktu 14-20 hari. Total waktu yang diperlukan pada manusia dari tertelan hingga menjadi dewasa adalah 18-42 hari (Shoff, 2008).

Sementara itu, untuk mekanisme patofisiologisnya, dijelaskan oleh Shoff (2008) yaitu cacing dewasa bermigrasi sepanjang


(19)

commit to user

saluran pencernaan, bergerak masuk dan keluar pada lubang-lubang yang dilewatinya (misalnya : saluran empedu, pankreas, usus buntu). Apabila cacing tersebut ‘dormant’ di suatu saluran, maka dapat menyumbat saluran tersebut dan menyebabkan obstruksi patologis. Sedangkan apabila cacing tersebut mati di dalam salah satu saluran yang ditempatinya, maka dapat menyebabkan peradangan, nekrosis, infeksi, hingga pembentukan abses. Adanya cacing dewasa di usus halus dalam jumlah kecil, tidak menimbulkan gejala yang berarti, akan tetapi bisa meningkatkan nyeri abdominal yang samar atau intermiten colic, terutama pada anak-anak. Komplikasi lebih lanjut, infeksi cacing

Ascaris lumbricoides akan menimbulkan malnutrisi berat pada

anak-anak.

Cacing dewasa yang bermigrasi melalui perforasi sekunder pada dinding usus akibat TBC atau demam typhoid, akan menyebabkan peritonitis granulomatosa. Selama larva bermigrasi, larva tersebut dapat berdiam diri di otak, saraf tulang belakang, ginjal, ataupun organ lain yang pada akhirnya dapat menyebabkan inflamasi atau infeksi. Selain itu, larva dapat menempel pada bolus makanan sehingga dapat menghambat pencernaan pada usus kecil di mana kejadian ini paling sering terjadi di lokasi terminal dari ileum (Shoff, 2008).


(20)

commit to user e. Gejala Klinik

Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa ke organ-organ tubuh misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung, dan bronkhus. Pada umumnya, orang yang terkena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar (hiperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi. Cacing Ascaris lumbricoides mengeluarkan cairan tubuh yang dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan tanda alergi seperti urtikaria, oedem di wajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas. Selain itu, cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti obstruksi usus dan perforasi ulkus di usus (Rasmaliah, 2001).

Ada kalanya askariasis menimbulkan manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan berikut (Rasmaliah, 2001):

1) Bila sejumlah besar cacing menggumpal maka akan menjadi suatu bolus yang menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.

2) Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing ke appendiks, kandung empedu (ductus choledocus), dan ductus pancreaticus. Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat dan disusul kolangitis supuratif dan


(21)

commit to user

abses multiple. Peradangan terjadi karena desintegrasi cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan dilepaskannya terlur dalam jumlah besar yang dapat dikenali dalam pemeriksaan histologi.

Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan batuk yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau dalam cairan empedu penderita melalui pemeriksaan mikroskopik (Rasmaliah, 2001).

f. Terapi

Obat pilihan utama untuk askariasis adalah pirantel pamoat

atau mebendazole, sedangkan untuk pilihan keduanya adalah

levamizole, piperazine ataupun albendazole (Katzung, 2004).

Pirantel dipasarkan sebagai garam pamoat yang berbentuk kristal putih yang bersifat labil. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis. Pirantel juga menghambat enzim asetilkolinesterase. Pirantel

pamoate tersedia dalam bentuk sirup berisi 50 mg pirantel basa/ml

serta tablet 125 mg dan 250 mg. Pirantel diberikan dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB basa (Ganiswara, 2007). Obat ini mempunyai efek samping ringan yang biasanya dapat diterima (well tolerated) (Rasmaliah, 2001).


(22)

commit to user

Mebendazole adalah obat yang berupa bubuk berwarna putih

kekuningan, tidak larut dalam air, tidak bersifat higroskopis sehingga stabil dalam keadaan terbuka. Mebendazole

menyebabkan kerusakan struktur subseluler dan menghambat sekresi asetilkolinesterase. Mebendazole tersedia dalam bentuk sirup berisi 10 mg/ml serta tablet 100 mg. Mebendazole diberikan dengan dosis 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari (Ganiswara 2007).

2. Ascaris lumbricoides, Linn.

Gambar 1.Ascaris lumbricoides, Linn (Sumber : Emedicine, 2009)


(23)

commit to user a. Taksonomi

Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa

Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Subkelas : Scernentea (Phasmidia) Ordo : Ascaridia

Superfamilia : Ascaridoidea Famili : Ascarididae Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides, Linn (Utari, 2002).

b. Morfologi

Gambar 2.Ascaris lumbricoides, Linn (Sumber : Flickr, 2009)


(24)

commit to user

Ascaris lumbricoides, Linn adalah cacing gelang berukuran

besar yang ada pada usus manusia. Stadium dewasa hidup di rongga usus halus (Rasmaliah, 2001).

Bentuk cacing ini bulat memanjang, untuk cacing betina mempunyai ukuran 20-35 cm, sementara cacing jantang berukuran lebih kecil, yakni memiliki panjang 15-31 cm. Cacing jantan dewasa mempunyai ekor yang meruncing dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi dengan papil kecil dan dua spikula ukuran 2 mm. Untuk ekor cacing betina, berbentuk lurus dan tidak melengkung, dan di bagian sepertiga anteriornya terdapat cincin kopulasi (copulation ring). Warna cacing dewasa jantan dan betina memiliki warna yang hampir sama yaitu berwarna putih kemerah-merahan atau terkadang terlihat kecoklatan karena lapisan kutikula yang melapisinya (Gaash, 2004).

Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan hipodermis dan menonjol ke dalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar dan panjang dan terletak di hypodermis, gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarin-coelomyarin (Rasmaliah, 2001).


(25)

commit to user

Gambar 3. Anatomi Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides

(Sumber : LHZS Modern Biology)

Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari 2 jenis telur, yaitu : telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi (Gaash, 2004).

Telur yang dibuahi panjangnya antara 60-75 mikron, sedangkan lebarnya berkisar antara 40-50 mikron. Telur cacing ini mempunyai kulit telur yang tidak berwarna yang sangat kuat. Di luarnya, terdapat lapisan albumin yang permukaannya berdungkul

(mamillation) yang berwarna cokelat karena menyerap zat warna

empedu. Di dalam kulit telur cacing masih terdapat suatu selubung vitelin tipis tetapi lebih kuat daripada kulit telur. Telur yang dibuahi mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen. Di setiap kutub telur yang berbentuk lonjong atau bulat ini terdapat


(26)

commit to user

rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit (Utari, 2002). Telur cacing inilah yang jika tertelan dapat menginfeksi manusia (Widoyono, 2008).

Sementara itu, telur yang tidak dibuahi dijumpai di dalam tinja, bila pada tubuh hospes hanya terdapat cacing betina. Telur ini bentuknya lebih lonjong dengan ukuran sekitar 80 x 55 mikron. Dinding tipis, berwarna cokelat dengan lapisan albumin yang tidak teratur. Sel telur mengalami atrofi yang tampak dari banyaknya butir-butir refraktil. Pada telur yang tidak dibuahi tidak dijumpai rongga udara (Utari, 2002).

c. Distribusi Geografik

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi askariasis sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Margono et al., 2003 ; Rasmaliah, 2001). Tetapi penelitian terbaru menyebutkan bahwa pada tahun 2008 prevalensi askariasis di Jakarta Timur kembali meningkat, yaitu menjadi 9,37%. Hal ini


(27)

commit to user

berhubungan dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat tetapi tidak ditunjang dengan faktor ekonomi dan sanitasi yang baik (Mardiana dkk, 2008).

d. Habitat dan siklus hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris

lumbricoides. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air

tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dibuahi. Telur ini akan matang dan menjadi bentuk yang infektif dalam waktu 21 hari dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk infektif ini, jika tertelan oleh manusia maka di dalam usus halus bagian telur akan pecah dan menetas yang selanjutnya larva infektif Ascaris lumbricoides akan terlepas. Larva tersebut menembus dinding usus halus menuju vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah atau berjalan melalui saluran limfe, kemudian dialirkan ke jantung kanan. Dari jantung kemudian dialirkan melalui arteri pulmonalis menuju ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari (Padmasutra, 2007 ; Gandahusada dkk., 2000).

Di dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakhea melalui bronkhiolus dan bronkhus. Dari trakhea larva ini menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan


(28)

commit to user

pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam oesofagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk ke dalam traktus digestivus, lalu menuju ke usus halus bagian atas (Padmasutra, 2007 ; Gandahusada dkk., 2000).

Di usus halus larva akan berganti kulit dan berubah menjadi cacing dewasa (Padmasutra, 2007 ; Gandahusada dkk., 2000). Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur dibutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada dkk., 2000). Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun dan kemudian keluar secara spontan (Rasmaliah, 2001).

Gambar 4. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides


(29)

commit to user

3. Ascaris suum, Goeze

Gambar 5. Cacing Dewasa Ascaris suum, Goeze

(Sumber : Introduction to Parasitology Laboratory) a. Taksonomi

Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa

Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Subkelas : Scernentea Ordo : Ascaridia Superfamilia : Ascarididea Famili : Ascarididae Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris suum, Goeze (Loreille, 2003a ; Wikipedia 2010).


(30)

commit to user b. Morfologi dan siklus hidup

Cacing Ascaris suum, Goeze atau disebut juga Ascaris suilla, secara morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn. Perbedaan morfologi terdapat pada deretan gigi dan bentuk bibirnya. Ascaris suum memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides (Miyazaki, 1991).

Ascaris suum, parasit yang terdapat pada babi, namun bisa

berkembang menjadi dewasa pada usus manusia terutama di bagian depan usus halus, dan juga menyebabkan ‘larva migrans’. Seperti halnya pada cacing dewasa Ascaris lumbricoides, cacing dewasa

Ascaris suum terdapat di usus halus dan gampang dilihat karena

panjangnya 12-50 cm (Williamson, 1993). Morfologi tubuh cacing ini memikili tubuh simetris bilateral, bulat panjang (gilig), mempunyai saluran pencernaan, memiliki rongga badan palsu atau sering disebut Tripoblastik pseudoselomata. Cacing betina dewasa tinggal pada saluran pencernaan, dan mampu bertelur sebanyak 200.000 butir per hari. Di mana telur-telur yang keluar kemudian berkembang pada media tanah di dalam feses (Subroto, 2001).

Telur Ascaris suum yang dibebaskan bersama feses sangat tahan terhadap udara dingin, panas, dan kekeringan. Di tanah yang hangat dan lembab telur mengalami embrionase hingga terbentuk larva stadium satu, dua, dan tiga. Stadium terakhir tersebut dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 3 minggu untuk menjadi bentuk


(31)

commit to user

infektif dan dapat menyebabkan hospes lain tertular. Bentuk infektif ini, apabila tertelan oleh hospes definitif, lalu menetas di usus halus dan kemudian menembus dinding usus halus, dapat mencapai sistem porta dan mengikuti aliran darah sampai bronkhus, paru-paru, tenggorok, kemudian ke faring. Setelah mencapai faring, cacing Ascaris suum ini dapat ikut tertelan bersama dengan makanan, air minum, atau saliva dan akhirnya akan sampai ke usus halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa sampai akhirnya bertelur kembali dalam kurun waktu kurang lebih 5 minggu (Subroto, 2001).

Gambar 6. Siklus Hidup Ascaris Suum, Goeze (Sumber : Loreille, 2003b)


(32)

commit to user c. Aspek Klinis

Bila jumlah cacing yang menginfeksi mencapai 250 ekor dapat menghambat usus halus dan saluran empedu yang mana menyebabkan kehilangan selera makan, muntah, dan kematian. Dan pada infeksi bentuk larva bisa menyebabkan kerusakan hepar babi serta pneumonia bila mencapai paru-paru (Queensland Government, 2004).

Infeksi Ascaris suum pada manusia dapat menyebabkan efek negatif secara mendadak pada kesehatan seperti anemia, diare, malnutrisi (Claerebout, 2009).

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup Ascaris suum, Goeze

1) Suhu

Suhu ideal untuk pertumbuhan telur dan larva cacing

Ascaris suum berkisar antara 23ºC sampai 30ºC (Rasmaliah,

2001). 2) pH

Pertumbuhan cacing dapat optimal dengan pH ideal yaitu 6-7,2. Apabila terlalu asam, maka dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing (Rasmaliah, 2001).


(33)

commit to user 3) Lingkungan

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan perkembangan cacing, di mana lingkungan yang baik bagi cacing di luar habitat aslinya yaitu keadaan yang lembab dan basah. Keadaan pada tempat percobaaan, saat sebelum melakukan percobaan, maupun sesudah percobaan juga mempengaruhi kondisi cacing (Rasmaliah, 2001).

4) Kelembaban

Kelembaban sangat mempengaruhi perkembangan cacing, kelembaban cacing dengan keadaan pada saat cacing ditempatkan di luar habitat aslinya harus dalam keadaan basah. Kelembaban juga faktor penting untuk mempertahankan hidup cacing, kelembaban tanah pada cacing tergantung pada curah hujan (Suriptiastuti, 2006).

4. Pirantel Pamoat

Pirantel pamoat merupakan obat yang cukup efektif dan kurang

toksik pada tubuh manusia sehingga sampai sekarang digunakan pada manusia untuk mengobati kecacingan seperti cacing kremi, cacing gelang dan cacing tambang. Pirantel dipasarkan sebagai garam pamoat yang berbentuk kristal putih, tidak larut dalam alkohol maupun air, tidak berasa dan bersifat stabil. Oksantel pamoat merupakan analog m-oksifenol dari pirantel yang efektif dalam dosis tunggal untuk


(34)

commit to user a. Farmakodinamik

Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas

cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Pirantel pamoat

dari analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastik. Pirantel pamoat juga berefek menghambat enzim kholinesterase, terbukti pada ascaris meningkatkan kontraksi ototnya (Sukarban dan Santoso, 2005).

b. Farmakokinetik

Absorbsinya melalui usus tidak baik dan sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekstraksi pirantel

pamoat sebagian besar bersama tinja, dan kurang dari 15%

dieksresi bersama urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya (Sukarban dan Santoso, 2005).

c. Kontra Indikasi

Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala. Penggunaan obat ini pada wanita hamil dan anak usia di bawah 2 tahun tidak dianjurkan. Penggunaannya harus hati-hati pada penderita dengan riwayat penyakit hati, karena obat ini dapat meningkatkan SGOT pada beberapa penderita (Sukarban dan Santoso, 2005).


(35)

commit to user

5. Glycine max (L) Merril

a. Asal-usul

Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril), sampai saat ini diduga berasal dari kedelai liar Cina, Manchuria, dan Korea (Suprapto, 1992).

Gambar 7. Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) (Sumber : Neocare Naturals Limited, 2006) b. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Filum : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae Subfamilia : Faboideae Genus : Glycine

Spesies : Glycine max (L) Merril (Kusdiarjo dan Sunarto, 2002).


(36)

commit to user c. Ciri-ciri morfologi dan ciri-ciri tanaman

Kedelai berbatang semak, dengan tinggi batang antara 30-100 cm. Setiap batang dapat membentuk 3-6 cabang. Kedelai berakar tunggang. Pada akarnya terdapat bintil-bintil akar, berupa koloni dari bakteri Rhizobium japonikum, yang dapat mengikat nitrogen dari udara yang kemudian dapat digunakan untuk pertumbuhan kedelai (Suprapto, 1992).

Bentuk daun tanaman kedelai bulat telur dengan kedua ujungnya membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan-kiri-depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang pohon. Buah kedelai berbentuk polong, setiap buah berisi 1-4 biji, rata-rata berisi 2 biji. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, akan tetapi tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukkan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong. Baik kulit luar buah polong maupun batang pohonnya mempunyai bulu-bulu yang kasar berwarna cokelat. Buah polong berisi biji-biji dengan bermacam-macam warna kulit. Bila polong telah kuning akan mudah pecah, dan biji-biji kedelai akan terpelanting keluar. Biji Kedelai Putih mempunyai warna kulit agak putih, kuning atau hijau (Wijayakusuma , 2007 ; Suprapto, 1992).


(37)

commit to user d. Habitat

Tanaman Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) dapat diusahakan di dataran rendah mulai dari 0-500 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan relatif rendah (suhu tinggi), tetapi membutuhkan air yang cukup untuk pertumbuhan tanamannya (Wijayakusuma, 2007 ; Suprapto, 1992).

e. Budidaya

Budidaya tanaman Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) umumnya ditanam pada awal dan akhir musim hujan di sawah (teknis, setengah teknis dan tadah hujan) serta lahan kering. Dengan pola tanam rotasi (tumpang gilir) dan atau tumpang sari dengan tanaman setahun lainnya, misalnya jagung, padi, tebu dan ketela pohon. Dalam pemeliharaannya, Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) membutuhkan tanah yang subur, serta memerlukan pengairan dan pemeliharaan yang baik (Wijayakusuma, 2007 ; Suprapto, 1992).

f. Biji Kedelai

Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endosperma. Embrio terletak di antara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, dan coklat. Pusar biji (hilum) adalah jaringan bekas biji yang melekat pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umunya bulat lonjong tetapi ada pula yang bundar atau bulat agak pipih (Ayuningtyas, 2009).


(38)

commit to user

Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) mengandung saponin sebesar 50.000 ppm, isoflavon, lignin, tripsin inhibitor, asam oleat, asam arachidonat, asam amino arginin dan glisin, serta vitamin (B2, B6, E, K) (Duke, 2010 ; Amelia 2006).

Kandungan komposisi kimia per 100 gram Biji Kedelai mentah disajikan pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Komposisi Kimia per 100 gram Biji Kedelai Mentah

(USDA National Nutrient Database for Standard Reference, 2009) g. Manfaat Kedelai

Kedelai putih (Glycine max (L) Merril) dapat memberikan beberapa manfaat apabila dikonsumsi oleh masyarakat. Rivas et al. (2002) menyebutkan bahwa dengan konsumsi kedelai putih

(Glycine max (L) Merril) selama 3 bulan didapatkan penurunan

Unsur-unsur yang terkandung Kandungan unsur per 100 g Energi 1.866 kJ (446 kKal)

Karbohidrat 30,16 g

Gula 7,33 g

Serat 9,3 g

Lemak 19,94 g

Protein 36,49 g

Air 8,54 g

Mineral

Calsium 67 mg

Magnesium 2,10 mg

Fosfor 164 mg

Natrium 14 mg

Vitamin

Vitamin C 15,3 g

Vitamin A 11 IU

Vitamin B6 0,176 mg

Asam Amino

Arginin 0,905 g


(39)

commit to user

tekanan darah sistolik sebesar 18,4 ± 10,7 mmHg dan diastolik sebesar 15,9 ± 9,8 mmHg pada penderita hipertensi ringan sampai dengan sedang. Sedangkan konsumsi 375 ml suplemen kedelai putih (Glycine max (L) Merril) termasuk dalam strategi yang efektif untuk mempertahankan densitas mineral tulang pada perempuan usia 14-16 tahun (Ho et al., 2005).

Efek dari kedelai terhadap penurunan risiko kanker prostat telah ditunjukkan oleh Jacobsen et al. (2004) sebesar 70% di daerah California, Amerika Serikat. Suplementasi kedelai putih

(Glycine max (L) Merril) pada wanita menopause dapat

menyebabkan terjadinya penurunan keluhan nyeri otot dan sendi sebesar 33%. Hanachi et al. (2007) menyatakan bahwa setelah penggunaan kedelai didapatkan peningkatan Total Antioksidan Status (TAS) dalam serum sebanyak 642.88 ± 66.9 µmol/l yang diukur dengan Ferric Reducing Ability of Plasma assay (FRAP

assay). Selain itu, tubuh dapat memperoleh efek perlindungan

terhadap kerusakan DNA limfosit akibat stres oksidatif, sehingga fungsi dari sistem imun dapat ditingkatkan (Mitchell dan Collins, 1999).

1) Dari segi kebutuhan pangan (Ayuningtyas, 2009)

Kedelai telah menjadi sumber penting protein, lemak, dan penyedap bagi masyarakat Asia selama ribuan tahun. Berbagai


(40)

commit to user

macam pangan dari kedelai dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu yang diragikan dan yang tidak diragikan.

Produk utama kedelai ragian di Indonesia adalah tempe, oncom, tauco, dan kecap. Produk-produk yang bukan ragian meliputi tahu, tauge, susu kedelai, kedelai goreng (sebagai kudapan), kedelai rebus, dan kedelai yang dimasak sebagai sayur.

2) Dari kandungan nutrisinya (Ayuningtyas, 2009 ; Fathoni, 2009) a) Kandungan polisakarida kedelai mampu mengendalikan

kadar gula darah yang berlebih dalam tubuh.

b) Kedelai memperlancar metabolisme maupun pertumbuhan, perbaikan sel yang rusak, sebagai sumber energi, ataupun untuk memperkuat sistem imunitas.

c) Mengandung serat yang sangat berperan dalam memperlancar proses pencernaan di dalam tubuh.

d) Mengandung protein yang sangat berguna untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan yang rusak, penambahan imunitas tubuh.

e) Mengandung isoflavon yang sangat membantu dalam memperlancar fungsi metabolisme tubuh mulai dari sistem pencernaan, sistem imunitas, peredaran darah, gangguan stroke, jantung koroner, dan pencegahan kanker. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Koswara (2006)


(41)

commit to user

Isoflavon dalam kedelai bermanfaat untuk menurunkan penyakit jantung melalui mekanisme penurunan kadar kolesterol dalam darah.

f) Mengandung asam oleat dan asam arachidonat (di mana keduanya merupakan asam lemak tak jenuh) yang memiliki fungsi untuk meningkatkan kemampuan lesitin (kandungan lipotropik dalam kedelai) untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan untuk meningkatkan pembentukan asetilkolin. Asetilkolin ini berfungsi untuk meningkatkan kemampuan belajar pada anak.

g) Mengandung lignin yang berguna untuk meningkatkan permeabilitas kedelai. Dengan permeabilitas yang tinggi memudahkan masuknya air dan oksigen ke dalam benih kedelai yang akan mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme tubuh.

6. Kandungan Biji Kedelai Putih yang Mempunyai Efek Antihelmintik

Saponin berasal dari bahasa latin ‘sapo’ yang berarti tanaman yang terdiri dari agen berbusa ketika diencerkan dalam larutan air. Saponin terdiri dari aglikon polisiklik. Sapogenin atau bagian dari aglikon bisa berupa triterpene atau steroid. Kombinasi sapogenin, hidrofobik (lemak larut) dan hidrofilik (lemak tidak larut) dalam air meningkatkan kemampuan berbusa dari saponin (Davidson, 2009).


(42)

commit to user

Pada dasarnya fitokimia saponin ini ditemukan di sebagian besar sayuran, kacang-kacangan, dan herbal. Sumber terkenal saponin adalah kedelai, kacang polong, dan beberapa tumbuhan yang bisa menghasilkan busa apabila direndam dalam air, misalnya tanaman akar sabun (Davidson, 2009).

Gambar 8. Struktur Dasar Sapogenin : (a) triterpenoid, (b) steroid (Sumber : Francis etal., 2002)

Saponin yang terdapat pada air rebusan Daun Ketepeng (Cassia

alata L) telah terbukti mempunyai efek antihelmintik dengan cara

menghambat kerja enzim khemotripsin, kholinesterase, dan proteinase (Kuntari, 2008). Inihibisi enzim kholinesterase menyebabkan tidak terbentuknya asetilkolin dari sinaps setelah proses depolarisasi melalui mekanisme katalisis dan hidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat di mana akan menimbulkan terjadinya repolarisasi dari sinaps (Ganong, 2000). Asetilkolin merupakan zat transmittor yang dilepaskan dari ujung saraf motorik untuk mengaktivasi reseptor pada otot polos sehingga mengawali serangkaian kontraksi yang terjadi pada otot polos tersebut (Neal, 2005).

Saponin mempunyai efek vermifuga, yakni secara langsung berefek pada cacing melalui perusakan protein tubuh cacing (Harvey


(43)

commit to user

dan John, 2005; Duke, 2010). Jadi efek antihelmintik saponin dengan cara menghambat kerja enzim kholinesterase dan proteinase pada tubuh cacing Gelang Babi (Ascaris suum, Goeze), menimbulkan peningkatan aktivitas otot cacing, sehingga menyebabkan paralisis spastik otot cacing yang akhirnya mengakibatkan kematian pada cacing (Hartono, 2009). Selain saponin, kandungan kedelai yang memiliki efek antihelmintik adalah tripsin inhibitor. Menurut penelitian Dalimartha (2009) tripsin inhibitor pada rebusan Buah Makassar (Brucea javanica (L) Merril) berperan dalam penghambatan enzim tripsin. Enzim tripsin ini berfungsi mengubah khemotripsinogen menjadi enzim khemotripsin. Dengan tidak terbentuknya enzim tripsin (aktivator) maka tidak akan terbentuk enzim khemotripsin. Enzim khemotripsin yang tidak terbentuk, akan menyebabkan paralisis spastik otot cacing. Dari uraian di atas inilah, zat aktif saponin dan tripsin inhibitor yang terdapat pada kedelai (Glycine max (L) Merril) dapat bersifat antihelmintik.


(44)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 9. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Mengandung

Mempengaruhi secara langsung Mempengaruhi secara tidak langsung

Infusa Biji Kedelai Putih

(Glycine max (L) Merril)

Saponin dan Tripsin Inhibitor

Cacing Gelang Babi

(Ascaris suum, Goeze)

Waktu Kematian Cacing

Menghambat kerja enzim khemotripsin, kholinesterase, dan proteinase

Paralisis spastik otot cacing

Variabel luar tidak terkendali

Kepekaan Cacing Umur Cacing

Umur Tanaman Kedelai Suhu Percobaan

Ukuran Cacing Jenis Cacing


(45)

commit to user

C. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini yaitu:

1. Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) memiliki efek antihelmintik terhadap waktu kematian Ascaris suum, Goeze In vitro. 2. Peningkatan konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L)

Merril) berbanding terbalik dengan waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze.


(46)

commit to user

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental kuasi yang menggunakan rancangan penelitian Post Test Only Control Group Design (Arief TQ, 2004).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat MIPA Sublab Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian/hewan uji adalah Ascaris suum, Goeze yang masih aktif bergerak yang diperoleh dari usus babi dari Dinas Pertanian (penyembelihan ”Radjakaja”) Kota Surakarta.

D. Teknik Sampling

Di dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive

sampling dengan cara menyamakan ukuran panjang cacing dan jenis

cacing serta tidak membedakan jenis kelamin cacing. Teknik sampling

purposive sampling merupakan pemilihan subjek berdasarkan ciri-ciri,


(47)

commit to user

E. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang dipakai adalah Post Test Only Control

Group Design (Arief TQ, 2004).

Gambar 10. Skema Rancangan Penelitian

Keterangan

K (-) : Kontrol negatif

Kelompok diberi perlakuan dengan direndam dalam larutan garam fisiologis.

K (-)

Ascaris suum, Goeze

K P ( I-V) K (+)

Inkubasi pada suhu 370C

Inkubasi pada suhu 370C

Inkubasi pada suhu 370C

Dihitung waktu kematian semua cacing

Dihitung waktu kematian semua cacing

Dihitung waktu kematian semua cacing

Replikasi 4 kali Replikasi 4 kali Replikasi 4 kali

One Way ANOVA

Uji post hoc LSD

Pengamatan tepat setelah perlakuan hingga cacing mati

Pengamatan tepat setelah perlakuan hingga cacing mati

Pengamatan tepat setelah perlakuan hingga cacing mati


(48)

commit to user

KP (I-V) : Kelompok Pelakuan

Kelompok yang terbagi dalam 5 konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih yang ditentukan berdasarkan tahap persiapan.

K (+) : Kontrol positif

Kelompok diberi perlakuan dengan direndam dalam larutan

pirantel pamoat dengan konsentrasi 5mg/ml.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas

Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril). 2. Variabel terikat

Waktu kematian semua cacing dalam tiap rendaman setelah pemberian perlakuan.

3. Variabel luar terkendali a. Jenis cacing

b. Ukuran cacing c. Suhu percobaan

4. Variabel luar tak terkendali a. Umur cacing

b. Variasi kepekaan cacing terhadap obat larutan yang diujikan c. Umur tanaman kedelai


(49)

commit to user

G. Definisi Operasional Variabel

1. Infusa Biji Kedelai Putih

Infusa Biji Kedelai adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyaring simplisia (serbuk Biji Kedelai Putih) dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit. Simplisia atau serbuk Biji Kedelai Putih adalah

serbuk yang dihasilkan dari Biji Kedelai Putih yang telah dikeringkan dalam oven pada suhu 400C, yang selanjutnya dihaluskan dan diayak

dengan pengayak nomor 40 (Depkes RI, 1986).

Konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih dibuat dengan jalan pelarutan infusa kental Biji Kedelai Putih dengan satuan volume menurut konsentrasi yang telah ditentukan.

Satuan : persentase (%) Skala : ordinal

2. Waktu Kematian Cacing

Waktu kematian cacing adalah waktu matinya semua cacing dalam tiap rendaman setelah pemberian perlakukan. Pengamatan waktu kematian dilakukan tepat setelah perlakuan diberikan hingga semua cacing mati. Cacing dianggap mati apabila disentuh dengan pinset anatomis tidak ada respon gerakan.

Satuan : Menit Skala : Rasio


(50)

commit to user 3. Lama Pengujian Infusa Biji Kedelai Putih

Sebelum melakukan uji daya antihelmintik, dilakukan uji penelitian pendahuluan tentang lama hidup Ascaris suum, Goeze dalam larutan garam fisiologis sebagai kontrol negatif dan dalam larutan pirantel

pamoat 5 mg/ml sebagai kontrol positif. Perendaman dalam larutan

fisiologis untuk mengetahui lama hidup cacing gelang di luar tubuh babi. Lamanya waktu yang diperoleh ditetapkan sebagai waktu maksimal pengamatan penelitian pengaruh Infusa Biji Kedelai Putih. Sedangkan perendaman dalam larutan pirantel pamoat untuk membandingkan daya antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih dengan obat untuk askariasis yang beredar di pasaran dengan merek dagang Combantrin.

4. Variabel Luar Terkendali a) Jenis cacing

Jenis cacing yang digunakan adalah cacing Ascaris suum, Goeze yang hidup pada usus halus babi.

b) Ukuran cacing

Ukuran cacing dikendalikan dengan memilih cacing yang memiliki panjang antara 30 cm sampai 35 cm.

c) Suhu percobaan

Suhu percobaan dikendalikan dengan inkubator bersuhu 370C.


(51)

commit to user 5. Variabel Luar Tak Terkendali

a) Umur cacing

Umur cacing merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan karena cacing yang didapat adalah cacing yang berasal dari usus babi yang tidak dapat dipastikan kapan babi tersebut terinfeksi cacing dan kapan telur cacing menetas menjadi cacing dewasa.

b) Variasi kepekaan cacing terhadap larutan obat yang diujikan

Variasi kepekaan cacing terhadap obat larutan yang diujikan merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan karena kondisi individual cacing dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor genetik.

c) Umur tanaman kedelai

Umur tanaman kedelai merupakan variabel luar yang tidak dapat dikendalikan karena Infusa Biji Kedelai Putih yang digunakan bisa berasal dari satu atau beberapa tanaman kedelai, sedangkan tidak diketahui apakah tanaman-tanaman tersebut ditanam pada waktu yang bersamaan atau tidak.

H. Bahan dan Instrumentasi Penelitian

1. Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(52)

commit to user a. Cacing Ascaris suum, Goeze

b. Larutan garam fisiologis (NaCl) konsentrasi 0,9%

c. Larutan uji Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril)

d. Pirantel pamoat

e. Bahan uji berupa Biji Kedelai Putih f. Air mineral

2. Instrumen

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Cawan petri dengan diameter 10-12 cm b. Batang pengaduk kaca

c. Gelas ukur d. Pinset anatomis e. Labu takar

f. Toples untuk menyimpan cacing g. Inkubator

h. Penggaris 30 cm

i. Handscoen

j. Timbangan k. Penghitung waktu l. Oven

m. Panci infus n. Alat tulis


(53)

commit to user

I. Cara Kerja

1. Pengambilan Bahan

Biji Kedelai Putih yang akan diinfus langsung didapat dari LPPT UGM (Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu) Universitas Gajah Mada Yogyakarta berupa bahan mentah (Simplisia).

2. Pembuatan Infusa Biji Kedelai Putih

Biji kedelai segera dicuci bersih pada air mengalir, tujuannya untuk menghilangkan kotoran yang melekat kemudian dikeringkan dalam almari pengering pada suhu 400C sampai kering untuk

mencegah terjadinya pembusukan oleh bakteri atau cendawan dan lebih mudah dihaluskan untuk diserbuk. Biji kedelai yang sudah kering dihaluskan menjadi serbuk halus, diayak dengan ayakan nomor 40 lalu serbuk halus ditimbang (Depkes RI, 1986). Yang dimaksud dengan ayakan nomor 40 adalah saringan untuk memisahkan serbuk yang telah dihaluskan dengan ukuran 40 mesh (Nancy, 1995).

Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyaring zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyaringan dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman. Oleh karena itu, sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI, 1986).

Cara pembuatan infusa yaitu simplisia yang telah dihaluskan dicampur dengan air secukupnya dalam sebuah panci. Selanjutnya


(54)

commit to user

dipanaskan selama 15 menit, dihitung sampai suhu di dalam panci mencapai 150C. Infusa diserkai selagi masih panas dengan kain flanel

(Depkes RI, 1986).

3. Penentuan Konsentrasi Larutan Uji yang Digunakan

Kuntari (2008) telah membuktikan daya antelmintik senyawa saponin melalui penelitian yang berjudul Daya Antihelmintik Air Rebusan Daun Ketepeng (Cassia alata L) terhadap Cacing Tambang Anjing secara In vitro. Uji tahap I dilakukan dengan mengamati jumlah cacing Tambang Anjing yang mati pada perendaman berbagai konsentrasi air rebusan Daun Ketepeng selama 6 jam. Hasil uji tahap I didapatkan serial konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian cacing kira-kira 10% sampai 60%, sehingga pada penelitian tahap II ditentukan serial konsentrasi dengan konsentrasi terendah 11,2% dan konsentrasi tertinggi 39,2% dengan harapan konsentrasi tertinggi air rebusan dapat menyebabkan kematian cacing hingga hampir 90%.

Pada penelitian ini, penentuan konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih yang akan digunakan pada tahap penelitian, ditentukan berdasarkan tahap persiapan (melalui percobaan rebusan Biji Kedelai Putih) dan uji pendahuluan.

4. Penentuan Jumlah Sampel Cacing Ascaris suum, Goeze

Penelitian ini menggunakan tujuh kelompok perlakuan sehingga merupakan penelitian yang multivariat. Pada penelitian multivariat, rasio jumlah subjek tiap kelompok perlakuan tidak boleh kurang dari


(55)

commit to user

5:1, artinya tidak kurang dari lima subjek tiap kelompok perlakuan (Murti, 2006). Oleh karena itu, peneliti menggunakan sampel sebanyak enam cacing Ascaris suum, Goeze untuk tiap kelompok perlakuan agar memenuhi ketentuan tersebut.

5. Penentuan Jumlah Replikasi Penelitian

Penentuan jumlah replikasi untuk penelitian ini dihitung dengan rumus Federer (Sudigdo dan Ismael, 2002).

Keterangan: r : jumlah replikasi

t : jumlah kelompok perlakuan

Penelitian ini menggunakan tujuh kelompok perlakuan, sehingga:

(r-1) (t-1) ≥ 15 (r-1) (7-1) ≥ 15 6r ≥ 21

r ≥ 3,5

Jadi, tiap kelompok perlakuan penelitian ini akan direplikasi sebanyak empat kali.

Sehingga jumlah total cacing yang digunakan dalam penelitian ini adalah 168 ekor.


(56)

commit to user 6. Langkah Penelitian

a. Tahap Persiapan

1) Menyiapkan 1 kelompok perlakuan yang terdiri dari 7 ekor cacing yang diperoleh dari Dinas Pertanian (penyembelihan “Radjakaja”) Kota Surakarta.

2) Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan, terdiri dari: a) Toples untuk tempat cacing 3 buah

b) Timbangan

c) Beker Glass 1000 ml

d) Blender e) Oven

f) Pinset antomis g) Penggaris 30 cm h) Timer

i) Cacing Ascaris suum, Goeze sebanyak 7 ekor j) Larutan garam fisiologis Nacl 0,9%

k) Biji Kedelai Putih 400 gram l) Air Mineral 200 ml

3) Mengambil satu toples kemudian diisi dengan larutan Nacl 0,9% dan kemudian cacing dimasukkan ke dalam toples tersebut.


(57)

commit to user

4) Mengambil Biji Kedelai Putih dan kemudian dibagi menjadi 2 kelompok (A dan B) dengan berat masing-masing sebanyak 200 gram.

5) Mempersiapkan air mineral yang akan direbus. 6) Mencari berat kering kedelai untuk kelompok A.

Berat kering adalah berat kering tanaman ditimbang setelah tanaman dikeringkan dalam oven pada suhu 60˚C sampai diperoleh berat yang konstan. Untuk memperoleh berat kering dapat menggunakan rumus (Hendriyani, 2009) :

Didapatkan berat setelah di oven menjadi 50 gram, sehingga berat kering:

7) Menghaluskan 200 gram Biji Kedelai Putih (kelompok B) dengan blender.

8) Merebus 200 gram Biji Kedelai Putih (kelompok B) dalam 200 ml air mineral hingga mendidih.

9) Menunggu hingga air rebusan dingin.

10) Memasukkan air rebusan ke dalam toples yang sudah berisi cacing dan kemudian diamati selama 6 jam.

Berat setelah di oven x 100% Berat sebelum di oven

50 gram x 100% = 25% 200 gram


(58)

commit to user 11) Hasil Pengamatan

Tabel 2. Hasil Pengamatan Tahap Persiapan

Waktu (jam) Jumlah cacing yang mati (ekor) Total I 1 1

II 1 2

III - 2

IV 1 3

V 1 4

VI - 4

Simpulan : berdasarkan hasil pengamatan, dalam rebusan kedelai dengan konsentrasi 25%, jumlah cacing yang mati setelah pengamatan yang dilakukan selama 6 jam adalah 4 ekor.

b. Uji Pendahuluan

1) Membuat larutan pirantel pamoat dengan cara melarutan 1 tablet pirantel pamoat 125 mg ke dalam 25 ml larutan garam fisiologis.

2) Menyiapkan cawan petri, kemudian larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) sebanyak 25 ml dan larutan pirantel pamoat

sebanyak 25 ml, dihangatkan terlebih dahulu pada suhu 370C di

dalam inkubator selama kurang lebih 15 menit.

3) Memasukkan 1 ekor Ascaris suum Goeze ke dalam 1 buah cawan petri.

4) Menginkubasi pada suhu 370C.

5) Mengamati waktu kematian cacing dimulai tepat setelah perlakuan.


(59)

commit to user

6) Menentukan cacing mati atau hidup dengan cara disentuh dengan pinset. Jika sudah tidak bergerak, maka cacing dinyatakan mati. Pengamatan dilakukan tepat setelah perlakuan diberikan hingga semua cacing mati.

7) Mencatat hasil yang diperoleh. c. Tahap Penelitian

1) Berdasarkan hasil tahap persiapan, konsentrasi 25% sudah didapatkan kematian cacing. Sehingga konsentrasi 25% dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan konsentrasi tahap penelitian.

2) Menyiapkan cawan petri, kemudian ke dalam masing-masing cawan petri, diisi larutan larutan uji dalam 5 konsentrasi sebanyak 25 ml dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu 370C di dalam inkubator selama kurang lebih 15 menit.

Untuk konsentrasi yang akan digunakan pada tahap penelitian yaitu sebesar 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% (KP I-V), dimana:

a) Kelompok I

Cacing pada kelompok I direndam dalam larutan Infusa Biji Kedelai Putih dengan konsentrasi 20%, diperoleh dari 20 ml Infusa Biji Kedelai Putih + 80 ml larutan garam fisiologis.


(60)

commit to user b) Kelompok II

Cacing pada kelompok II direndam dalam larutan Infusa Biji Kedelai Putih dengan konsentrasi 40%, diperoleh dari 40 ml Infusa Biji Kedelai Putih + 60 ml larutan garam fisiologis.

c) Kelompok III

Cacing pada kelompok III direndam dalam larutan Infusa Biji Kedelai Putih dengan konsentrasi 60%, diperoleh dari 60 ml Infusa Biji Kedelai Putih + 40 ml larutan garam fisiologis.

d) Kelompok IV

Cacing pada kelompok IV direndam dalam larutan Infusa Biji Kedelai Putih dengan konsentrasi 80%, diperoleh dari 80 ml Infusa Biji Kedelai Putih + 20 ml larutan garam fisiologis.

e) Kelompok V

Cacing pada kelompok V direndam dalam larutan Infusa Biji Kedelai Putih dengan konsentrasi 100% (100 ml Infusa Biji Kedelai Putih).

3) Membuat larutan pirantel pamoat (kontrol positif) dengan cara melarutan 1 tablet pirantel pamoat 125 mg ke dalam 25 ml larutan garam fisiologis, sehingga didapatkan konsentrasi 5mg/ml.


(61)

commit to user

4) Memasukkan 1 ekor Ascaris suum, Goeze ke dalam 1 buah cawan petri.

5) Menginkubasi pada suhu 370C

6) Mengamati waktu kematian cacing dimulai tepat setelah perlakuan.

7) Menentukan cacing mati atau hidup dengan cara disentuh dengan pinset. Jika sudah tidak bergerak, maka cacing dinyatakan mati. Pengamatan dilakukan tepat setelah perlakuan diberikan hingga semua cacing mati.

8) Mencatat hasil yang diperoleh. 9) Penelitian direplikasi 4 kali.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa waktu kematian cacing akan dianalisis secara statistik dengan program Statistical Product

and Service Solution (SPSS) 17,0 for Windows menggunakan uji statistik:

1. Uji analisis varian satu jalan (one way ANOVA) (α = 0,05)

Uji analisis ini digunakan untuk membandingkan perbedaan mean pada lebih dari dua kelompok (Arief TQ, 2004). Pada penelitian ini, perbandingan mean yang dicari yaitu pada ketujuh kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, serta kelompok perlakuan dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Dengan hipotesis untuk uji one way ANOVA adalah sebagai berikut:


(62)

commit to user

a. H0: Infusa Biji Kedelai Putih tidak mempunyai pengaruh terhadap

kecepatan waktu kematian Ascaris suum, Goeze.

b. H1: Infusa Biji Kedelai Putih mempunyai pengaruh terhadap

kecepatan waktu kematian Ascaris suum, Goeze.

2. Uji Post Hoc LSD

Uji analisis ini digunakan untuk membandingkan mean

antarkelompok perlakuan (Dahlan, 2008). Dengan hipotesis untuk uji

Post Hoc LSD adalah sebagai berikut:

a. H0: Rerata waktu kematian cacing antara kelompok yang

dibandingkan memiliki perbedaan yang tidak signifikan.

b. H1: Rerata waktu kematian cacing antara kelompok yang


(63)

commit to user

55

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Tahap pendahuluan

Penelitian uji antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih terhadap cacing

Ascaris suum, Goeze In vitro diawali dengan tahap pendahuluan untuk

mengetahui waktu kematian cacing pada kelompok kontrol, baik kontrol positif maupun kontrol negatif. Tahap pendahuluan dilakukan dengan merendam cacing dalam larutan fisiologis NaCl 0,9% sebagai kontrol negatif, dan pada larutan Pirantel pamoat konsentrasi 5mg/ml sebagai kontrol positif.

Tahap pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui lama hidup maksimal cacing Ascaris suum, Goeze di luar tubuh hospes yaitu di dalam NaCl 0,9% dan untuk mengetahui efektivitas antihelmintik Pirantel

pamoat. Hasil penelitian tahap pendahuluan ini disajikan pada tabel 3


(64)

commit to user

Tabel 3. Hasil Pengamatan Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada Kelompok Kontrol Negatif dan Kontrol Positif

Kelompok Kontrol

Cacing Waktu Kematian (Menit)

I II III IV V Negatif A 5760 5620 5520 5760 5890

B 5700 5610 5600 5720 5910

C 5720 5680 5760 5680 5920

D 5760 5620 5700 5650 5880

E 5700 5680 5580 5670 5850

F 5600 5580 5570 5650 5900

Rerata 5706,67 5631,67 5621,67 5688,33 5891,67 Rerata Total 5708,01

Positif A 70 70 60 50 70

B 60 60 60 60 60

C 70 70 70 60 60

D 60 50 70 60 70

E 70 60 60 50 70

F 50 60 70 70 80

Rerata 63,33 61,67 65 58,33 68,33 Rerata Total 63,332

Berdasarkan hasil dari tahap pendahuluan, rerata waktu kematian untuk kelompok kontrol negatif adalah 5708,01 menit sementara rerata waktu kematian untuk kelompok kontrol positif adalah 63,332 menit. 2. Tahap penelitian akhir

Tahap penelitian akhir dilakukan dengan mengamati waktu kematian

Ascaris suum, Goeze yang mati pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Infusa Biji Kedelai Putih

(Glycine max (L) Merril) terhadap kecepatan waktu kematian cacing

Ascaris suum, Goeze tersebut.

Hasil penelitan akhir mengenai pengaruh pemberian Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) terhadap waktu kematian cacing


(65)

commit to user

Berdasarkan data tahap penelitian akhir pada lampiran 1, kemudian dibuat tabel yang menggambarkan rerata total waktu kematian cacing pada masing-masing kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Infusa Biji Kedelai Putih pada berbagai konsentrasi yaitu pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% . Hasil penelitian disajikan pada tabel 4

sebagai berikut:

Tabel 4. Rerata Total Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Infusa Biji Kedelai Putih pada Berbagai Konsentrasi

Replikasi Waktu Kematian Cacing (menit) NaCl

0,9%

Infusa Biji Kedelai Putih Pirantel Pamoat

20% 40% 60% 80% 100% 5 mg/ml I 5706,67 2540 1940 800 520 120 63,33

II 5631,67 2520 1900 940 580 115 61,67

III 5621,67 2560 1920 920 590 117,5 65,00

IV 5688,37 2520 1900 980 640 107,5 58,33

V 5891,67 2640 1980 960 580 112,5 68,33

Rerata 5708,01 2556 1928 920 582 114,5 63,332

Berdasarkan hasil dari tahap penelitian didapatkan bahwa rerata waktu kematian pada tiap kelompok perlakuan berbeda-beda pada tiap-tiap konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril). Waktu kematian tercepat adalah pada kelompok Infusa Biji Kedelai Putih 100% dengan rerata waktu kematian adalah 114,5 menit, sedangkan waktu kematian terlama adalah pada kelompok Infusa Biji Kedelai Putih 20% dengan rerata waktu kematian adalah 2556 menit.


(66)

commit to user Dari hasil pene

sebagai berikut:

Gambar 11. Grafi Goez Infusa

Grafik rerata t pada setiap konsent kecepatan waktu ke peningkatan konsent 20% hingga konsent Kedelai Putih, sema membunuh cacing. 0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 NaCl 0,9% R e rat a w ak tu k e m at ian cac in g ( m e n it ) 5708

penelitian akhir (tabel 4) dapat dibuat dalam bentuk

afik Rerata Total Waktu Kematian Cacing Ascari

oeze pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perla usa Biji Kedelai Putih pada Berbagai Konsentrasi

a total waktu kematian cacing di atas dapat diliha konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih, terdapat peni u kematian cacing yang berbanding terbalik konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih mulai dari kons

konsentrasi 100%. Semakin tinggi konsentrasi Inf makin cepat waktu yang dibutuhkan infusa tersebut

Infusa Biji Kedelai 20% Infusa Biji Kedelai 40% Infusa Biji Kedelai 60% Infusa Biji Kedelai 80% Infusa Biji Kedelai 100% Pyrantel Palmoat 5708,01 2556 1928 920 582

114, 5 63,332

ntuk grafik

aris suum,

rlakuan asi

ihat bahwa eningkatan ik dengan konsentrasi Infusa Biji ebut untuk


(67)

commit to user

Dari hasil penelitian akhir (tabel 4) dapat diketahui besar persentase efektivitas daya antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih dibandingkan dengan Pirantel pamoat sebagai berikut:

Tabel 5. Persentase Efektivitas Daya Antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih Dibanding Pirantel Pamoat

P e r h

Perhitungan Persentase efektivitas daya antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih dibandingkan dengan Pirantel pamoat di atas dapat dilihat pada lampiran 2.

Data persentase efektivitas daya antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih dibanding dengan Pirantel pamoat (tabel 5) dapat disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Rendaman

Persentase efektivitas daya antihelmintik Infusa Biji Kedelai

Putih dibanding Pirantel Pamoat

Infusa Biji Kedelai 20% 2,48%

Infusa Biji Kedelai 40% 3,28%

Infusa Biji Kedelai 60% 6,88%

Infusa Biji Kedelai 80% 10,88%


(1)

membandingakan mean antarkelompok dan untuk mengetahui kelompok data mana yang berbeda secara signifikan dengan kelompok lainnya.

Hasil analisis Post Hoc LSD pada lampiran 3 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok NaCl (kontrol negatif) dan semua kelompok perlakuan (kelompok Infusa Biji Kedelai Putih) mulai dari konsentrasi

20% hingga 100%. Perbedaan yang signifikan dengan kelompok Pirantel pamoat

(kontrol positif) didapatkan pada kelompok Infusa Biji Kedelai Putih dari konsentrasi 20% hingga 80%. Sementara itu, untuk kelompok Infusa Biji Kedelai Putih konsentrasi 100% memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan kelompok Pirantel pamoat (kontrol positif). Untuk masing-masing kelompok perlakuan (kelompok Infusa Biji Kedelai Putih), mulai dari konsentrasi 20% hingga 100% terdapat perbedaan yang signifikan dengan tiap-tiap kelompok perlakuan lainnya. Hasil di atas menunjukkan bahwa Infusa Biji Kedelai Putih pada tiap konsentrasi memiliki kemampuan yang berarti untuk membunuh cacing

Ascaris suum, Goeze dengan kemampuan antihelmintik yang terkuat dimiliki oleh

Infusa Biji Kedelai Putih dengan konsentrasi 100%.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Infusa Biji Kedelai Putih memiliki efek antihelmintik. Pada gambar 11 terlihat pada konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih yang berbeda menunjukkan daya antihelmintik yang berbeda pula, semakin tinggi konsentrasi, maka waktu kematian cacing semakin cepat.


(2)

commit to user

Infusa Biji Kedelai Putih dikarenakan adanya kandungan saponin dan tripsin inhibitor. Saponin mempunyai efek antihelmintik dengan cara menghambat kerja enzim khemotripsin, kholinesterase, dan proteinase. Inihibisi enzim kholinesterase menyebabkan tidak terbentuknya asetilkolin dari sinaps setelah proses depolarisasi melalui mekanisme katalisis dan hidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat, dimana akan menimbulkan terjadinya repolarisasi dari sinaps. Asetilkolin merupakan zat transmittor yang dilepaskan dari ujung saraf motorik untuk mengaktivasi reseptor pada otot polos sehingga mengawali serangkaian kontraksi yang terjadi pada otot polos tersebut (Kuntari, 2008 ; Ganong, 2000 ; Neal, 2005). Selain itu, saponin mempunyai efek vermifuga, yakni secara langsung berefek pada cacing melalui perusakan protein tubuh cacing (Harvey dan John, 2005; Duke, 2010a). Jadi efek antihelmintik saponin dengan cara menghambat kerja enzim kholinesterase dan proteinase pada tubuh cacing gelang babi (Ascaris suum, Goeze), menimbulkan peningkatan aktivitas otot cacing, sehingga menyebabkan paralisis spastik otot cacing yang akhirnya mengakibatkan kematian pada cacing (Hartono, 2009).

Untuk mekanisme antihelmintik, tripsin inhibitor ini berperan dalam penghambatan enzim tripsin. Enzim tripsin ini berfungsi mengubah khemotripsinogen menjadi enzim khemotripsin. Dengan tidak terbentuknya enzim tripsin (aktivator) maka tidak akan terbentuk enzim khemotripsin. Enzim khemotripsin yang tidak terbentuk, akan menyebabkan paralisis spastik otot cacing (Dalimartha, 2009).


(3)

Perbandingan potensi Infusa Biji Kedelai Putih sebagai antihelmintik terhadap Ascaris suum, Goeze pada penelitian ini, di mana sampel cacing diambil dari tempat yang sama (Dinas Pertanian Kota Surakarta), memiliki potensi lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Atabiq (2010) dengan menggunakan Infusa Biji Pepaya (Carica papaya) yang juga mengandung zat aktif saponin. Pada konsentrasi yang sama, yaitu konsentrasi 100%, menunjukkan bahwa rerata waktu kematian semua cacing terjadi pada jam ke-5 (300 menit), sementara pada penelitian ini, rerata waktu kematian cacing konsentrasi 100% adalah 114,5 menit. Hal ini dimungkinkan karena kandungan saponin pada Biji Kedelai Putih lebih banyak daripada Biji Pepaya.

Efek antihelmintik Pirantel pamoat sudah banyak diketahui karena

Pirantel pamoat merupakan drug of choice pada kasus askariasis. Pirantel pamoat

menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls sehingga cacing mati dalam keadaan spastik. Pirantel pamoat juga menghambat enzim asetilkolinesterase, menyebabkan penimbunan asetilkolin sehingga otot cacing mengalami hiperkontraksi (Katzung, 2004; Ganiswara, 2007). Dari penelitian ini juga diketahui bahwa Pirantel pamoat memiliki efek antihelminitik yang lebih kuat daripada Infusa Biji Kedelai Putih pada semua konsentrasi.

Pada tabel 9 diketahui bahwa Infusa Biji Kedelai Putih memiliki nilai probabilitias (p) >0,05 dengan obat standar Pirantel pamoat. Dengan demikian, Biji Kedelai Putih memiliki peluang yang bagus untuk dikembangkan sebagai preparat obat antihelmintik, khususnya pada askariasis karena efek samping


(4)

commit to user

mungkin tidak ditemukan pada penggunaan Infusa Biji Kedelai Putih sebagai obat cacing. Selain itu, penggunaan Pirantel pamoat pada wanita hamil dan anak usia di bawah 2 tahun tidak dianjurkan dan masih dalam kontroversi. Dari beberapa kekurangan pada Pirantel pamoat di atas yang tidak ditemukan dalam Infusa Biji Kedelai Putih, menjadi alasan kuat penelitian ini untuk dapat dikembangkan lebih jauh.

Untuk penelitian lanjutan yang akan dikembangkan, dapat

mempertimbangkan kelemahan pada percobaan ini, antara lain : pada saat pengamatan waktu kematian cacing, pintu inkubator sering dibuka sehingga dapat menyebabkan suhu percobaan yang tidak stabil ; meskipun umur cacing pada percobaan ini dikendalikan dengan menyamakan ukuran pajang cacing, akan tetapi berat cacing mungkin dapat mempegaruhi daya absorbsi cacing terhadap rendaman. Dari kedua kelemahan di atas, dalam melakukan penelitian lanjutan diharapkan untuk mempertimbangkan kelemahan pada penelitian ini, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih baik.


(5)

commit to user

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) memiliki pengaruh terhadap kecepatan waktu kematian cacing gelang babi (Ascaris suum, Goeze) In vitro meskipun efektivitas antihelmintiknya sedikit lebih rendah daripada Pirantel pamoat.

2. Peningkatan konsentrasi Infusa Biji Kedelai Putih berbanding terbalik dengan waktu kematian cacing Gelang Babi (Ascaris suum, Goeze) In

vitro.

B. Saran

1. Dari hasil penelitian In vitro ini masih perlu dilakukan penelitian In vitro

lanjutan dengan konsentrasi bertingkat lebih dari 100% guna mengetahui efektivitas Infusa Biji Kedelai Putih yang mendekati efektivitas Pirantel

pamoat sebagai antihelmintik.

2. Untuk penelitian In vitro lanjutan dapat mempertimbangkan berat cacing sebagai variabel luar terkendali tambahan, guna memperoleh hasil yang lebih baik.

3. Sebaiknya masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bentuk sediaan (misalnya: rebusan, infusa, atau ekstrak) yang paling efektif sebagai obat askariasis dari obat-obat tradisional yang ada.


(6)

commit to user

4. Sebaiknya masih perlu dilakukan penelitian In vivo terhadap efek antihelmintik Infusa Biji Kedelai Putih.

5. Masih perlu dilakukan uji pra kinik (uji toksikologi) untuk mengetahui keamanan Infusa Biji Kedelai Putih sebagai antihelminitik sebelum diaplikasikan pada manusia.