PENGARUH INFUSA DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.) TERHADAP WAKTU KEMATIAN CACING Ascaris suum, Goeze IN VITRO

(1)

commit to user

PENGARUH INFUSA DAUN ALPUKAT

(Persea americana Mill.) TERHADAP WAKTU KEMATIAN

CACING Ascaris suum, Goeze IN VITRO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

REZA HANDRY PRATAMA G0007140

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Pengaruh Infusa Daun Alpukat (Persea americana

Mill.) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro

Reza Handry Pratama, G0007140, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Kamis, Tanggal 9 Desember 2010

Pembimbing Utama

Nama : Yulia Sari, S.Si, M.Si NIP : 19800715 200812 2 001

Pembimbing Pendamping

Nama : Riza Novierta Pesik, dr., M.Kes NIP : 19651117 199702 2 001

Penguji Utama

Nama : Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes NIP : 19540505 198503 2 001

Anggota Penguji

Nama : Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL NIP : 19550727 198312 1 002

Surakarta,...

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. AA Subijanto, dr., MS.


(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 12 Desember 2010

REZA HANDRY PRATAMA NIM. G0007140


(4)

commit to user

iv

ABSTRAK

Reza Handry Pratama., G0007140, 2010. Pengaruh Infusa Daun Alpukat

(Persea americana Mill.) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum,

Goeze In Vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui pengaruh infusa daun alpukat (Persea

americana Mill.) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

Metode Penelitian: Eksperimental laboratorik dengan post test only controlled

group design, menggunakan cacing Ascaris suum, Goeze dewasa dibagi dalam 7 kelompok yaitu kelompok NaCl 0,9%, infusa daun alpukat 20%, infusa daun alpukat 40%, infusa daun alpukat 60%, infusa daun alpukat 80%, infusa daun alpukat 100%, dan kelompok pirantel pamoat 5 mg/ml. Teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling. Cacing Ascaris suum, Goeze direndam dalam larutan uji dan diinkubasi pada suhu 370 C. Pengamatan dilakukan tepat setelah perlakuan hingga cacing mati. Data berupa rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze dianalisis dengan uji One Way ANOVA yang kemudian dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD dengan tingkat kemaknaan p < 0,05.

Hasil Penelitian: Terdapat percepatan rerata waktu kematian cacing Ascaris

suum, Goeze yang seiring dengan peningkatan konsentrasi infusa daun alpukat dari konsentrasi 20% hingga 100%. Pada uji One Way ANOVA yang kemudian dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD didapatkan perbedaan yang bermakna pada rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze untuk seluruh kelompok perlakuan.

Simpulan Penelitian: Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa infusa

daun alpukat (Persea americana Mill.) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro. Semakin tinggi konsentrasi infusa daun alpukat (Persea americana Mill.), semakin cepat waktu kematian cacing

Ascaris suum, Goeze in vitro.

Kata kunci: infusa daun alpukat (Persea americana Mill.), waktu kematian


(5)

commit to user

v

ABSTRACT

Reza Handry Pratama., G0007140, 2010. Effect of Avocado Leaf Infusa

(Persea americana Mill.) Toward Mortality Time of Worm Ascaris suum,

Goeze In Vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Objective: To understand the effect of avocado leaf infusa (Persea americana

Mill.) toward mortality time of wormAscaris suum, Goeze in vitro.

Methods: Experimental laboratoric, with post test only control group design using

adult worm Ascaris suum, Goeze divided into seven groups. NaCl 0,9%, avocado leaf infusa 20%, avocado leaf infusa 40%, avocado leaf infusa 60%, avocado leaf infusa 80%, avocado leaf infusa 100%, and pyrantel pamoat 5 mg/ml. Observation is done exactly after the intervention until worm die. Data is analyzed with One Way ANOVA test continued with Post Hoc LSD significant p < 0,05.

Result: Mortality time of worm is faster in proportion to the increase of avocado

leaf infusa concentration, start at 20% to 100%. After analyzed with One Way ANOVA and Post Hoc LSD data show there is significant differences among those group.

Conclusion: From the research result, it can be concluded that avocado leaf infusa

(Persea americana Mill.)has effect toward mortality time of worm Ascaris suum, Goeze in vitro.

Keywords: avocado leaf infusa (Persea americana Mill.), mortality time of


(6)

commit to user

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, karunia, rahmat, hidayah, serta ridhonya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Infusa Daun Alpukat (Persea americana Mill.) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Yulia Sari, S.Si., M.Si selaku pembimbing utama yang telah berkenan memberikan waktu bimbingan, saran dan motivasi bagi penulis.

4. Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes sebagai penguji utama yang telah memberikan nasehat, koreksi, kritik, dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.. 5. Riza Novierta Pesik, dr., M.Kes sebagai pembimbing pendamping yang telah

berkenan memberikan waktu bimbingan, saran dan motivasi bagi penulis. 6. Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL selaku anggota penguji yang telah

memberikan nasehat, koreksi, kritik, dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

7. Papa, mama, dan adik serta keluarga besar di Klaten tercinta yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat, dan selalu mengorbankan segalanya demi kebahagiaan penulis.

8. Adelia, Galih, Haris, Ika, Okkie, Tri Budi, Anda, Indi, Risang atas bantuan yang diberikan untuk penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah memberi bantuan secara langsung maupun tidak langsung sehingga membantu selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena kerterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Surakarta, 12 Desember 2010


(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... ...vii

DAFTAR TABEL ... ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN .... ... ...xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... ...4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II LANDASAN TEORI ... ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

B. Kerangka Berpikir ... 19

C. Hipotesis ... 20

BAB III METODE PENELITIAN... ...21

A. Jenis Penelitian ... 21

B. Lokasi Penelitian ... 21

C. Subyek Penelitian ... 21

D. Teknik Sampling ... 21


(8)

commit to user

viii

F. Skala Variabel ... 22

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 22

H. Rancangan Penelitian ... 23

I. Bahan dan Instrumentalia Penelitian ... 24

J. Cara Kerja ... 25

K. Teknik Analisis Data Statistik ... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 34

A. Data Hasil ... 34

B. Analisis Data ... 37

BAB V PEMBAHASAN ... 42

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... ...46

A. Simpulan ... 46

B. Saran ... 46 DAFTAR PUSTAKA


(9)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1. Kandungan Gizi Alpukat per 100 gram ... 16

Tabel 2. Hasil Pengamatan Tahap Persiapan... 29

Tabel 3. Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada Penelitian Pendahuluan ... 34

Tabel 4. Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada Penelitian Akhir ... 35

Tabel 5. Nilai Probabilitas (p) Uji Normalitas ... 38

Tabel 6. Nilai Probabilitas (p) Uji Homogenitas ... 38

Tabel 7. Hasil Uji One Way ANOVA ... 39


(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1. Cacing Dewasa Ascaris suum, Goeze ... 9

Gambar 2. Daun dan Buah Alpukat ... 14

Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian ... 23

Gambar 4. Diagram Rerata Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze

pada Penelitian Akhir ... 36

Gambar 5. Diagram Prosentase Perbandingan Daya Antelmintik Infusa Daun


(11)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze

Lampiran 2. Uji One Way ANOVA

Lampiran 3. Uji Post Hoc LSD

Lampiran 4. Dokumentasi Alat, Bahan, dan Proses Penelitian

Lampiran 5. Surat Keterangan Permintaan Bahan Tanaman dari LPPT UGM

Lampiran 6. Surat Keterangan Pengambilan Sampel dari Dinas Pertanian Kota


(12)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus (Margono dkk., 2003). Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan di seluruh dunia seperti askariasis. Askariasis merupakan infeksi intestinal pada manusia yang disebabkan oleh parasit cacing Ascaris lumbricoides, yang merupakan nematoda usus terbesar (Lubis dan Pasaribu, 2002). Askariasis diperkirakan menginfeksi sekitar 25% penduduk dunia atau 0,8-1,22 milyar orang, dengan prevalensi terbesar berada di negara tropis yang lembab (Haburchak, 2008; Chin, 2006; Williams-Blangero et al., 2002). Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi antara 60-90%, tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Pohan, 2007).

Ascaris lumbricoides adalah cacing yang tersebar hampir di seluruh dunia, terutama di daerah dengan sanitasi buruk (Lubis dan Pasaribu, 2002). Cacing ini ditularkan melalui tanah dan disebut soil transmitted helminths

(Margono dkk., 2003). Infeksi askariasis terjadi terutama pada anak-anak antara usia 3-8 tahun (Chin, 2006; Onggowaluyo, 2000). Infeksi awal askariasis ditandai dengan keluarnya cacing bersama kotoran atau keluarnya cacing dari mulut, hidung maupun anus (Chin, 2006). Gejala klinis yang timbul akibat infeksi dapat disebabkan oleh larva atau cacing dewasa. Gangguan karena larva biasanya terjadi di paru-paru yang menyebabkan


(13)

commit to user

perdarahan kecil di alveolus disertai dengan batuk, demam, eosinofilia, dan adanya infiltrat paru-paru. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan karena cacing dewasa merupakan gejala gangguan usus seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Margono dkk., 2002). Infeksi berat askariasis menyebabkan gangguan gizi, ileus obstruktif yang disebabkan oleh gumpalan cacing, dan sumbatan pada organ yang berongga seperti saluran empedu, saluran pankreas atau usus buntu akibat migrasi cacing dewasa (Chin, 2006).

Infeksi askariasis dapat diterapi dengan obat antelmintik. Antelmintik atau obat cacing adalah obat-obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia atau hewan. Mebendazol, albendazol, dan pirantel pamoat merupakan obat-obat cacing pilihan pertama pada askariasis. Namun, ketiga obat tersebut memiliki efek samping berupa gangguan saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare serta dikontraindikasikan pada wanita hamil karena memiliki efek teratogen (Tjay dan Rahardja, 2002). Selain itu, masyarakat juga belum banyak menggunakan obat cacing secara periodik karena harganya yang cukup mahal (Kuntari, 2008). Oleh karena itu, diperlukan pengobatan alternatif askariasis yang tidak memiliki efek samping dan kontraindikasi serta terjangkau bagi masyarakat, di antaranya dengan menggunakan obat alam.

Gerakan memanfaatkan obat alam timbul karena banyak dijumpainya efek samping yang tidak dikehendaki akibat penggunaan obat kimia sintetik (Nala, 2009). Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat alam


(14)

commit to user

3

adalah alpukat (Persea americana Mill.). Alpukat merupakan tanaman buah yang termasuk dalam famili Lauraceae yang tumbuh di dataran dengan hawa sejuk (Antia et al., 2005). Bagian tanaman alpukat yang memiliki banyak khasiat adalah daun alpukat. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyebutkan bahwa daun alpukat memiliki efek antifungi (Rahaju dan Nurhidayat, 2009), antihipertensi (Koffi et al., 2009), antimikroba (Gomez-Flores et al., 2008), kardioprotektor (Ojewole et al., 2007), antihiperlipidemia (Brai et al., 2007), hepatoprotektor (Martins et al., 2006), antikonvulsan (Ojewole dan Amabeoku, 2006), aktivitas hipoglikemia (Antia et al., 2005), vasorelaksan (Owolabi et al., 2005), serta analgesik dan antiinflamasi (Adeyemi et al., 2002).

Hasil penapisan fitokimia dari Sekolah Farmasi ITB menyatakan bahwa daun alpukat mengandung senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroid/triterpenoid (Maryati dkk., 2007). Di samping itu, daun alpukat juga mengandung tanin (Duke, 2010). Saponin dan tanin merupakan senyawa aktif yang memiliki efek antelmintik. Saponin memiliki efek menghambat kerja enzim kolinesterase (Kuntari, 2008), sedangkan tanin merusak protein tubuh cacing (Najib, 2009).

Penelitian ilmiah mengenai daun alpukat di Indonesia masih terbatas. Hal inilah yang menarik penulis untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang khasiat daun alpukat, terutama sebagai antelmintik. Penulis ingin mengetahui pengaruh infusa daun alpukat terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro. Penulis menggunakan cacing Ascaris suum, Goeze karena


(15)

commit to user

sulit mengambil cacing Ascaris lumbricoides dalam keadaan hidup secara langsung dari tubuh penderita askariasis. Selain itu, morfologi Ascaris suum, Goeze hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn dan Ascaris suum, Goeze juga dapat menginfeksi manusia (Miyazaki, 1991).

B. Perumusan Masalah

Adakah pengaruh infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang pengaruh infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) terhadap waktu kematian cacing

Ascaris suum, Goeze in vitro. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat ilmiah pada khususnya dan masyarakat umum pada umumnya tentang manfaat infusa daun alpukat (Persea americana, Mill.) sebagai terapi antelmintik.


(16)

commit to user

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ascaris lumbricoides, Linn a. Taksonomi

Subkingdom : Metazoa

Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Subkelas : Scernentea (Phasmidia) Bangsa : Ascaridia

Superfamili : Ascaridoidea Famili : Ascarididae Marga : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides, Linn (Utari, 2002). b. Morfologi

Cacing jantan memiliki ukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm (Margono dkk., 2003). Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus serta sepertiga anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi (Onggowaluyo, 2002). Cacing dewasa memiliki umur 1-2 tahun (Chin, 2006). Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan menempel di mukosa usus menggunakan


(17)

commit to user

otot-otot somatik. Dua puluh ekor cacing dewasa yang hidup di rongga usus halus dapat mengonsumsi karbohidrat sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap harinya (Syamsu, 2007).

Cacing ini mempunyai tiga bibir di ujung anterior dengan gigi-gigi kecil di bagian pinggirnya. Bibirnya dapat ditutup atau dibuka untuk memasukkan makanan. Pada potongan melintang, cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan hipodermis dan menonjol ke dalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatiknya terletak di hipodermis (Syamsu, 2007). Cacing bernapas secara difusi melalui permukaan tubuhnya (Wasetiawan, 2009).

Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari (Margono dkk., 2003). Telur yang dihasilkan tersebut terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi panjangnya antara 60-75 mikron, sedangkan lebarnya berkisar antara 40-50 mikron. Telur ini memiliki lapisan albumin yang berwarna cokelat karena menyerap zat warna empedu. Di dalam kulit telur cacing terdapat selubung vitelin tipis. Telur yang dibuahi mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen. Di setiap kutub telur yang berbentuk lonjong atau bulat ini terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit (Utari, 2002). Telur yang telah dibuahi dapat menginfeksi manusia apabila tertelan (Widoyono, 2008).


(18)

commit to user

7

Telur yang tidak dibuahi dijumpai di dalam tinja, bila pada tubuh hospes hanya terdapat cacing betina. Telur ini bentuknya lebih lonjong dengan ukuran sekitar 80 x 55 mikron. Dindingnya tipis dan berwarna cokelat dengan lapisan albumin yang tidak teratur. Sel telur mengalami atrofi yang tampak dari banyaknya butir-butir refraktil. Pada telur yang tidak dibuahi tidak dijumpai rongga udara (Utari, 2002).

c. Habitat dan siklus hidup

Tinja penderita askariasis dapat mengandung telur askaris yang telah dibuahi. Telur ini akan matang dan menjadi bentuk infektif dalam waktu 21 hari dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk infektif ini, jika tertelan oleh manusia akan menetas di usus halus menjadi larva dengan ukuran 200-300 x 14 mikron. Larva ini dapat menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, kemudian ke jantung. Dari jantung, larva menuju ke paru-paru (Margono dkk., 2003).

Di paru-paru, larva akan menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea, larva ini menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus serta menuju ke usus halus. Di usus halus, larva berubah menjadi cacing dewasa (Margono dkk., 2003).


(19)

commit to user

d. Distribusi geografik

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi askariasis sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000 (Margono dkk., 2003).

2. Ascaris suum, Goeze a. Taksonomi

Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa

Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Subkelas : Scernentea Bangsa : Ascaridia Superfamili : Ascaridoidea Famili : Ascarididae Marga : Ascaris


(20)

commit to user

9

Gambar 1. Cacing Dewasa Ascaris suum, Goeze (Nolan, 2006)

b. Morfologi

Cacing Ascaris suum, Goeze merupakan cacing gelang parasit yang hidup di usus halus babi. Cacing ini juga dapat menginfeksi manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan sebagainya (Miyazaki, 1991). Yoshihara (2008) menemukan bahwa pada ayam yang terinfeksi

Ascaris suum terjadi lesi hepatik karena migrasi larvanya.

Cacing Ascaris suum, Goeze memiliki panjang antara 12-50 cm, tubuhnya simetris bilateral dan gilig (Subroto, 2001). Cacing ini secara morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn. Perbedaan morfologi terdapat pada deretan gigi dan bentuk bibirnya. Ascaris suum

memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides (Miyazaki, 1991).

3. Askariasis a. Etiologi

Penyebab penyakit askariasis adalah cacing Ascaris lumbricoides. Manusia merupakan hospes dari cacing ini (Margono dkk., 2003).


(21)

commit to user

1) Aspek klinis

Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat dengan respons umum hospes, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Selama larva mengalami siklus dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan pneumonitis. Larva yang menembus jaringan dan masuk ke dalam alveoli dapat mengakibatkan kerusakan epitel bronkus (Onggowaluyo, 2002).

Apabila terjadi reinfeksi dan migrasi larva ulang maka jumlah larva yang sedikit pun dapat menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Hal ini terjadi dalam hati dan paru-paru disertai oleh infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel-sel epitel. Keadaan ini disebut pneumonitis askariasis. Selanjutnya, disertai reaksi alergik yang terdiri dari batuk kering, mengi, dan demam (39,90-400 C). Adanya gambaran infiltrat pulmoner yang bersifat sementara, akan hilang dalam beberapa minggu dan berhubungan dengan eosinofilia perifer. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Selain ditemukan kristal Charcot-Leyden dan eosinofil, spudium juga dapat mengandung larva. Hal ini penting untuk keperluan diagnosis, yaitu dengan pemeriksaan bilas lambung. Cacing dewasa yang ditemukan dalam jumlah besar (hiperinfeksi) dapat mengakibatkan kekurangan gizi. Kasus ini biasanya terjadi pada anak-anak. Cairan tubuh cacing dewasa dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid yang disertai alergi seperti


(22)

commit to user

11

urtikaria, edema di wajah, konjungtivitis, dan iritasi pada alat pernapasan bagian atas (Onggowaluyo, 2002).

Cacing dewasa dalam usus, apabila jumlahnya banyak dapat menimbulkan gangguan gizi. Kadang-kadang cacing dewasa bermigrasi dan menimbulkan kelainan serius. Migrasi cacing dewasa bisa disebabkan oleh adanya rangsangan. Efek migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi usus, masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas, dan organ-organ lainnya. Migrasi sering juga terjadi keluar melalui anus, mulut, dan hidung (Onggowaluyo, 2002).

2) Diagnosis

Pada fase migrasi larva, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan larva dalam spudium atau bilas lambung. Sindrom Loeffler yang spesifik sering terlihat. Di sisi lain, selama fase intestinal diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa dalam tinja. Telur cacing ini dapat ditemukan dengan mudah pada sediaan basah langsung atau sediaan basah dari sedimen yang sudah dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan dengan pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau melalui anus bersama dengan tinja (Onggowaluyo, 2002).

3) Penatalaksanaan

Menurut Pohan (2007), obat-obat yang digunakan untuk membasmi cacing ini antara lain:


(23)

commit to user

a) Piperazin

Satu tablet obat ini mengandung 250 atau 500 mg piperazin. Efek sampingnya adalah pusing, rasa melayang, gangguan penglihatan, dan gangguan saluran cerna.

b) Heksilresorsinol

Obat ini baik untuk infestasi Ascaris lumbricoides dalam usus. Obat ini diberikan setelah pasien dipuasakan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan 1 gram hekselresorsinol dengan pemberian laksans sebanyak 30 mg MgSO4, yang diulangi lagi 3 jam

kemudian dengan tujuan mengeluarkan cacing. c) Pirantel pamoat

Pirantel pamoat memiliki efek menghambat enzim kolinesterase. Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan, maksimum 1 gram. Efek sampingnya adalah rasa mual, diare, pusing, ruam kulit, dan demam.

d) Levamisol

Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 150 mg. e) Albendazol

Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg. f) Mebendazol

Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 100 mg.


(24)

commit to user

13

4) Komplikasi

Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang berat dan pneumonitis, bahkan dapat menyebabkan pneumonia (Pohan 2007).

5) Prognosis

Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi, prognosis askariasis baik (Pohan, 2007).

4. Alpukat a. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Laurales

Famili : Lauraceae Marga : Persea


(25)

commit to user

Gambar 2. Daun dan Buah Alpukat (Gardenology, 2010)

b. Nama daerah

Jawa Tengah : alpokat

Jawa Barat : alpuket, jambu wolanda

Lampung : advokat, jamboo mentega, jamboo pooan, pookat Batak : boah pokat, jamboo pokat

(Yana, 2010; Dalimartha, 2008) c. Nama asing

Inggris : advocaat, avocatier, alligator pear, avocado pear Prancis : poire d’avocat

Portugal : abacate

Spanyol : aguacate palta (Dalimartha, 2008). d. Morfologi tumbuhan

1) Akar


(26)

commit to user

15

2) Batang

Batang alpukat berbentuk bulat, berkayu, berwarna coklat kotor, dan banyak bercabang ranting.

3) Daun

Daun alpukat tunggal, simetris, bertangkai dengan panjang antara 1-1,5 cm dan letaknya berdesakan di ujung ranting. Daun bentuknya jorong sampai bundar telur atau ovalis memanjang, tebal seperti kertas. Pangkal dan ujung daun meruncing, tepi rata, kadang-kadang agak menggulung ke atas permukaan daun gundul. Pertulangan daun menyirip, dengan panjang 10-20 cm dan lebar 3-10 cm. Daun alpukat muda berwarna kemerahan, sedangkan daun tua berwarna hijau.

4) Bunga

Bunganya bunga majemuk, berbentuk bintang, berkelamin dua, tersusun dalam malai yang keluar dekat ujung ranting, dan berwarna kuning kehijauan.

5) Buah

Buah alpukat merupakan buah buni, berbentuk bola atau bulat telur dengan panjang 5-20 cm. Buah berwarna hijau atau hijau kekuningan dan berbiji satu di mana biji berbentuk bulat seperti bola dengan diameter 2,5-5 cm. Daging buah jika sudah masak lunak dan berwarna hijau kekuningan. Berat buah alpukat antara 0,3-0,4 kg. (Yana, 2010; Dalimartha, 2008)


(27)

commit to user

e. Kandungan Kimia

Daun alpukat (Persea americana Mill.) mengandung senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroid/triterpenoid (Maryati dkk., 2007). Duke (2010) juga menyatakan bahwa daun alpukat mengandung tanin. Penelitian yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa daun alpukat memiliki efek antifungi (Rahaju dan Nurhidayat, 2009), antihipertensi (Koffi et al., 2009), antimikroba (Gomez-Flores et al., 2008), kardioprotektor (Ojewole et al., 2007), antihiperlipidemia (Brai et al., 2007), hepatoprotektor (Martins et al., 2006), antikonvulsan (Ojewole dan Amabeoku, 2006), aktivitas hipoglikemia (Antia et al., 2005), vasorelaksan (Owolabi et al., 2005), serta analgesik dan antiinflamasi (Adeyemi et al., 2002).

Buah alpukat mengandung sekitar 75% lemak, yang kebanyakan terdiri dari monounsaturated fat. Alpukat juga mengandung potassium yang kadarnya 60% lebih tinggi daripada pisang. Alpukat merupakan buah yang kaya vitamin B, E, dan K (Naveh et al., 2002).


(28)

commit to user

17

Tabel 1. Kandungan Gizi Alpukat per 100 gram

Zat Gizi Kadar per 100 gram

Air 73,23 g

Energi 670 kJol (160 kcal) Karbohidrat 8,53 g

Serat 6,7 g

Lemak 14,66 g

Protein 2 g

Thiamin ( Vitamin B1) 0,067 mg (5%) Vitamin C 10 mg (17%) Vitamin E 2,07 mg Vitamin K 21,0 mcg

Sumber: USDA National Nutrient Database for Standard Reference 5. Kandungan Daun Alpukat yang Mempunyai Efek Antelmintik

Hasil penapisan fitokimia dari Sekolah Farmasi ITB menyatakan bahwa daun alpukat mengandung senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroid/triterpenoid (Maryati dkk., 2007). Duke (2010) menyatakan bahwa daun alpukat juga mengandung tanin. Saponin dan tanin merupakan senyawa kimia daun alpukat (Persea americana

Mill.) yang memiliki efek antelmintik.

Saponin adalah glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Saponin mempunyai karakteristik berupa buih karena ketika direaksikan dengan air dan dikocok dapat membentuk buih. Saponin diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid dengan molekul karbohidrat, sedangkan saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul


(29)

commit to user

karbohidrat. Saponin memiliki efek antijamur dan bersifat racun bagi binatang berdarah dingin (Hartono, 2009).

Saponin memiliki efek antelmintik dengan menghambat kerja enzim kolinesterase (Kuntari, 2008). Enzim kolinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis asetilkolin, suatu neurotransmiter di berbagai sinaps serta akhiran saraf simpatis, parasimpatis, dan saraf motor somatik. Penghambatan kerja enzim kolinesterase menyebabkan penumpukan asetilkolin pada reseptor nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi terus-menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan kontraksi otot. Kontraksi ini lama-kelamaan akan menimbulkan paralisis otot hingga berujung pada kematian cacing (Pappano dan Watanabe, 1998).

Di samping saponin, tanin juga memiliki efek antelmintik. Tanin merupakan polifenol tanaman yang larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein. Tanin memiliki beberapa sifat, yaitu: 1) mengendapkan protein dan bersenyawa dengan protein tersebut, 2) sukar mengkristal karena merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol, dan 3) memiliki efek adstrigensia serta antiseptik. Efek antelmintik tanin berupa perusakan protein tubuh cacing (Najib, 2009).


(30)

commit to user

19

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

= mengandung

= mempengaruhi secara langsung = mempengaruhi secara tidak langsung

Infusa Daun Alpukat (Persea americana Mill.)

Saponin Tanin

Cacing Gelang Babi

Ascaris suum, Goeze

Variabel luar terkendali

Suhu Percobaan Panjang Cacing Jenis Cacing

Waktu Kematian Cacing Menghambat kerja

enzim kolinesterase Merusak protein tubuh cacing

Variabel luar tidak terkendali

Kepekaan cacing terhadap zat Umur cacing


(31)

commit to user

C. Hipotesis

Infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro. Semakin tinggi konsentrasi infusa daun alpukat, semakin cepat waktu kematian cacing


(32)

commit to user

21

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan rancangan penelitian the post test only controlled group design.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat MIPA Sub Lab Biologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah cacing Ascaris suum, Goeze yang masih aktif bergerak yang diperoleh dari usus babi dari tempat penyembelihan ”Radjakaja” Kota Surakarta. Cacing dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yaitu kelompok kontrol negatif dengan larutan NaCl 0,9%, kelompok kontrol positif dengan larutan pirantel pamoat 5 mg/ml, serta kelompok perlakuan infusa daun alpukat konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Tiap kelompok terdiri dari enam ekor cacing dan mengalami empat kali replikasi.

D. Teknik Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive sampling

dengan cara mengambil cacing kemudian menyamakan ukuran panjang cacing dan tidak membedakan jenis kelamin cacing. Teknik sampling purposive sampling merupakan pemilihan subjek secara berdasarkan ciri-ciri atau sifat tertentu (Arief TQ, 2004).


(33)

commit to user

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas penelitian ini adalah infusa daun alpukat (Persea americana Mill.).

2. Variabel terikat

Variabel terikat penelitian ini adalah waktu kematian cacing pada setiap kelompok perlakuan.

3. Variabel luar

Variabel luar penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan: jenis cacing, ukuran cacing, dan suhu udara percobaan.

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan: umur cacing, kepekaan cacing, dan umur tanaman.

F. Skala Variabel

1. Infusa Daun Alpukat : skala ordinal 2. Waktu Kematian Cacing : skala rasio

G. Definisi Operasional Variabel

1. Infusa daun alpukat

Infusa daun alpukat adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia (serbuk daun alpukat) dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit.


(34)

commit to user

23

2. Waktu kematian cacing

Waktu kematian cacing adalah waktu matinya semua cacing dalam tiap larutan infusa setelah pemberian perlakuan yang dihitung dalam menit.

H. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah the post test only controlled group design (Arief TQ, 2004).

Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian

Kelompok NaCl 0,9%

Uji One WayAnova Ascaris suum, Goeze

Kelompok Infusa Daun Alpukat

Kelompok Pirantel Pamoat 5 mg/ml

Inkubasi pada suhu 370C Inkubasi pada suhu 370C Inkubasi pada suhu 370C

Pengamatan tepat setelah perlakuan hingga cacing mati

Dihitung waktu kematian semua cacing

Dihitung waktu kematian semua cacing

Dihitung waktu kematian semua cacing Pengamatan tepat setelah

perlakuan hingga cacing mati

Pengamatan tepat setelah perlakuan hingga cacing mati

Replikasi 4 kali

Uji Post Hoc LSD


(35)

commit to user

I. Bahan dan Instrumentasi Penelitian

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Cacing Ascaris suum, Goeze

b. Daun alpukat c. Larutan NaCl 0,9%

d. Larutan uji infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) e. Larutan Pirantel pamoat

f. Air mineral 2. Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Cawan petri

b. Batang pengaduk kaca c. Gelas ukur

d. Pinset anatomis e. Labu takar

f. Toples untuk menyimpan cacing g. Inkubator

h. Timbangan kue i. Oven

j. Panci infusa k. Penggaris l. Sarung tangan


(36)

commit to user

25

m.Penghitung waktu n. Alat tulis

J. Cara Kerja

1. Pembuatan infusa daun alpukat

Daun alpukat yang dibuat menjadi infusa didapat dari LPPT UGM Yogyakarta. Daun alpukat tersebut dicuci bersih pada air mengalir dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 400 C sampai kering untuk mencegah terjadinya pembusukan oleh bakteri atau cendawan dan lebih mudah dihaluskan untuk diserbuk. Daun alpukat yang sudah kering selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk halus dan diayak dengan ayakan nomor 40 lalu serbuk halus ditimbang (Depkes RI, 1986).

Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman sehingga sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI, 1986).

Cara pembuatan infusa yaitu simplisia yang telah dihaluskan dicampur dengan air secukupnya dalam sebuah panci. Selanjutnya dipanaskan selama 15 menit, dihitung sampai suhu di dalam panci mencapai 900 C. Infusa diserkai selagi masih panas dengan kain flanel (Depkes RI, 1986). Infusa dengan konsentrasi 100% dibuat dengan cara


(37)

commit to user

serbuk sebanyak 10 gram dicampurkan dengan air sebanyak 100 ml (Gunawan, 2010).

2. Penentuan konsentrasi larutan uji yang akan digunakan

Kuntari (2008) telah membuktikan daya antelmintik senyawa saponin dan tanin melalui penelitian yang berjudul daya antihelmintik air rebusan daun ketepeng (Cassia alata L.) terhadap cacing tambang anjing secara in vitro. Uji tahap I dilakukan dengan mengamati jumlah cacing tambang anjing yang mati pada perendaman berbagai konsentrasi air rebusan daun ketepeng selama 6 jam. Hasil uji tahap I didapatkan serial konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian cacing kira-kira 10% sampai 60%, sehingga pada penelitian tahap II ditentukan serial konsentrasi dengan konsentrasi terendah 11,2% dan konsentrasi tertinggi 39,2% dengan harapan konsentrasi tertinggi air rebusan dapat menyebabkan kematian cacing hingga hampir 90%. Penentuan konsentrasi infusa daun alpukat yang digunakan pada tahap penelitian ini ditentukan berdasarkan tahap persiapan (melalui percobaan air rebusan daun alpukat).

3. Penentuan jumlah sampel cacing Ascaris suum, Goeze

Penelitian ini menggunakan tujuh kelompok perlakuan sehingga merupakan penelitian yang multivariat. Pada penelitian multivariat, rasio jumlah subjek tiap kelompok perlakuan tidak boleh kurang dari 5:1, artinya tidak kurang dari lima subjek tiap kelompok perlakuan (Murti, 2006). Oleh karena itu, peneliti menggunakan sampel sebanyak


(38)

commit to user

27

enam cacing Ascaris suum, Goeze untuk tiap kelompok perlakuan agar memenuhi ketentuan tersebut.

4. Penentuan jumlah replikasi penelitian

Penentuan jumlah replikasi untuk penelitian ini dihitung dengan rumus Federer (Sutyarso, 2009).

Keterangan:

r = jumlah replikasi

t = jumlah kelompok perlakuan

Penelitian ini menggunakan tujuh kelompok perlakuan, sehingga:

(r-1) (t-1) ≥ 15 (r-1) (7-1) ≥ 15 6r ≥ 21 r ≥ 3,5

Jadi, tiap kelompok perlakuan penelitian ini direplikasi sebanyak empat kali.

5. Langkah penelitian a. Tahap persiapan

1) Menyiapkan satu kelompok perlakuan yang terdiri dari tujuh ekor cacing Ascaris suum, Goeze.

2) Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan, terdiri dari: a) Toples untuk tempat cacing

b) Timbangan kue


(39)

commit to user

c) Beker glass 1000 ml d) Blender

e) Oven

f) Pinset anatomis g) Penggaris 30 cm h) Timer

i) Cacing Ascaris suum, Goeze sebanyak 7 ekor j) Larutan NaCl 0,9%

k) Daun alpukat 400 gram l) Air mineral 200 ml

3) Mengambil satu toples kemudian mengisinya dengan larutan NaCl 0,9% dan setelah itu memasukkan cacing ke dalam toples.

4) Mengambil daun alpukat yang selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok (I dan II) dengan berat masing-masing sebanyak 200 gram.

5) Menyiapkan air mineral yang akan direbus.

6) Mencari berat kering daun alpukat dengan kelompok I

Berat kering adalah berat kering tanaman ditimbang setelah tanaman dikeringkan dalam oven pada suhu 60˚C sampai diperoleh berat yang konstan. Hendriyani (2009) menyatakan bahwa berat kering dapat diperoleh dengan rumus:

Berat setelah di oven x 100% Berat sebelum di oven


(40)

commit to user

29

Didapatkan berat setelah di oven menjadi 40 gram, sehingga berat kering:

7) Menghaluskan 200 gram daun alpukat (kelompok II) dengan blender.

8) Merebus 200 gram daun alpukat (kelompok II) dalam 200 ml air mineral hingga mendidih.

9) Menunggu hingga air rebusan dingin.

10)Memasukkan air rebusan ke dalam toples yang sudah berisi cacing dan kemudian mengamatinya selama 6 jam.

11)Hasil pengamatan

Tabel 2. Hasil Pengamatan Tahap Persiapan

Waktu (jam) Jumlah Cacing Mati (ekor) Total

I 1 1

II 1 2

III - 2

IV 1 3

V - 3

VI 1 4

(Data Primer, 2010)

12)Dari hasil pengamatan, didapatkan cacing mengalami kematian. Disimpulkan bahwa dengan konsentrasi air rebusan sebesar 20% menyebabkan kematian cacing, sehingga

40 gram x 100% = 20% 200 gram


(41)

commit to user

konsentrasi 20% diambil sebagai konsentrasi awal untuk tahap penelitian.

b. Penelitian pendahuluan

1) Membuat larutan pirantel pamoat 5 mg/ml dengan cara melarutkan satu tablet pirantel pamoat 125 mg ke dalam 25 ml air mineral.

2) Menyiapkan cawan petri, kemudian mengisi larutan NaCl 0,9% dan larutan pirantel pamoat sebanyak 25 ml ke dalam masing-masing cawan petri, serta menghangatkannya terlebih dahulu pada suhu 370 C di dalam inkubator selama 15 menit. 3) Memasukkan satu ekor Ascaris suum, Goeze ke dalam satu

buah cawan petri.

4) Menginkubasi cawan petri yang berisi cacing Ascaris suum , Goeze pada suhu 370 C.

5) Menentukan kematian cacing dengan cara disentuh menggunakan pinset anatomis. Jika sudah tidak bergerak, maka cacing dinyatakan mati. Pengamatan dilakukan tepat setelah perlakuan diberikan hingga semua cacing mati.

6) Melakukan pengamatan dan mencatat hasil yang diperoleh. c. Penelitian akhir

1) Berdasarkan hasil tahap persiapan, konsentrasi 20% sudah didapatkan kematian cacing. Oleh karena itu, konsentrasi 20%


(42)

commit to user

31

dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan konsentrasi tahap penelitian.

2) Menyiapkan cawan petri, kemudian ke dalam masing-masing cawan petri, diisi larutan larutan uji dalam 5 konsentrasi sebanyak 25 ml dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu 370C di dalam inkubator selama kurang lebih 15 menit.

Untuk konsentrasi infusa daun alpukat yang digunakan pada tahap penelitian yaitu sebesar 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%, diuraikan sebagai berikut:

a) Kelompok I

Cacing Ascaris suum, Goeze direndam dalam larutan infusa daun alpukat dengan konsentrasi 20% diperoleh dari 2 gram serbuk daun alpukat ditambah 100 ml air mineral.

b) Kelompok II

Cacing Ascaris suum, Goeze direndam dalam larutan infusa daun alpukat dengan konsentrasi 40% diperoleh dari 4 gram serbuk daun alpukat ditambah 100 ml air mineral.

c) Kelompok III

Cacing Ascaris suum, Goeze direndam dalam larutan infusa daun alpukat dengan konsentrasi 60% diperoleh


(43)

commit to user

dari 6 gram serbuk daun alpukat ditambah 100 ml air mineral.

d) Kelompok IV

Cacing Ascaris suum, Goeze direndam dalam larutan infusa daun alpukat dengan konsentrasi 80% diperoleh dari 8 gram serbuk daun alpukat ditambah 100 ml air mineral.

e) Kelompok V

Cacing Ascaris suum, Goeze direndam dalam larutan infusa daun alpukat dengan konsentrasi 100% diperoleh dari 10 gram serbuk daun alpukat ditambah 100 ml air mineral.

3) Membuat larutan pirantel pamoat 5 mg/ml dengan cara melarutkan satu tablet pirantel pamoat 125 mg ke dalam 25 ml air mineral.

4) Menghangatkan cawan petri yang telah berisi larutan pada suhu 370C di dalam inkubator selama 15 menit.

5) Memasukkan satu ekor Ascaris suum, Goeze ke dalam satu buah cawan petri.

6) Menginkubasi cawan petri yang berisi cacing Ascaris suum , Goeze pada suhu 370 C

7) Menentukan kematian cacing dengan cara disentuh menggunakan pinset anatomis. Jika sudah tidak bergerak,


(44)

commit to user

33

maka cacing dinyatakan mati. Pengamatan dilakukan tepat setelah perlakuan diberikan hingga semua cacing mati.

8) Melakukan pengamatan dan mencatat hasil yang diperoleh. 9) Mereplikasi penelitian sebanyak empat kali.

K. Teknik Analisis Data Statistik

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa waktu kematian cacing dianalisis secara statistik dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16 for Windows menggunakan uji statistik One Way Anova dan Post Hoc LSD dengan α = 0,05.

1. Uji analisis varian satu jalan (One Way ANOVA)

Uji analisis ini digunakan untuk membandingkan perbedaan mean

pada lebih dari dua kelompok perlakuan. Nilai p (probabilitas) yang diperoleh dari uji One Way ANOVA kurang atau sama dengan 0,05 diinterpretasikan terdapat perbedaan yang bermakna sehingga uji dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD (Arief TQ, 2004).

2. Uji Post Hoc LSD

Uji analisis ini digunakan untuk membandingkan mean antar kelompok perlakuan. Nilai p (probabilitas) yang diperoleh dari uji

Post Hoc LSD kurang atau sama dengan 0,05 diinterpretasikan terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan (Djarwanto dan Pangestu, 1993).


(45)

commit to user

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitan pendahuluan dilakukan dengan mengamati waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada perendaman dalam larutan NaCl 0,9% dan pirantel pamoat 5 mg/ml. Hasil penelitian pendahuluan disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada

Penelitian Pendahuluan

Replikasi Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze (menit) NaCl 0,9 % Pirantel Pamoat 5 mg/ml

I 5713,3 63,3

II 5646,6 58,3

III 5683,3 66,6

IV 5818,3 61,6

V 5696,6 65

Rerata 5717,6 62,9

(Data Primer, 2010)

Pada penelitian pendahuluan didapatkan hasil rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada kelompok NaCl 0,9% adalah 5711,6 menit, sedangkan pada kelompok pirantel pamoat 5 mg/ml adalah 62,9 menit.


(46)

commit to user

2. Penelitian Akhir

Penelitan akhir dilakukan dengan mengamati waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada perendaman dalam larutan NaCl 0,9%, infusa daun alpukat 20%, infusa daun alpukat 40%, infusa daun alpukat 60%, infusa daun alpukat 80%, infusa daun alpukat 100%, dan pirantel pamoat 5 mg/ml. Hasil penelitian akhiradalah sebagai berikut:

Tabel 4. Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze pada

Penelitian Akhir

Replikasi

Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze (menit) Pirantel Pamoat 5mg/ml NaCl 0,9% Infusa Daun Alpukat

20% 40% 60% 80% 100%

I 5706,6 3158,3 2296,6 1368,3 710 256,6 56,6 II 5631,3 3231,6 2376,6 1323,3 678,3 201,6 61,6 III 5688,3 3098,3 2428,3 1441,6 756,6 223,3 65 IV 5621,3 3051,6 2311,6 1400 698,3 243,3 58,3

V 5891,6 3193,3 2388,3 1301,6 816,6 298,3 68,3 Rerata 5707,8 3146,6 2360,2 1366,9 731,9 244,6 61,9

(Data Primer, 2010)

Hasil penelitian akhir pada tabel 4 memperlihatkan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada kelompok NaCl 0,9% adalah 5707,8 menit. Selanjutnya, rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada kelompok infusa daun alpukat 20% adalah 3146,6 menit, kelompok infusa daun alpukat 40% adalah 2360,2 menit, kelompok infusa daun alpukat 60% adalah 1366,9 menit, kelompok infusa daun alpukat 80% adalah 731,9 menit, dan kelompok infusa daun alpukat 100% adalah 244,6 menit. Pada kelompok pirantel pamoat 5 mg/ml rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze adalah 61,9 menit.


(47)

commit to user

Dari tabel 4dapat dibuat diagram sebagai berikut:

Gambar 4. Diagram Rerata Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze

pada Penelitian Akhir

Gambar 4 di atas memperlihatkan perbedaan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok infusa daun alpukat tampak adanya percepatan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze seiring dengan meningkatnya konsentrasi infusa. Pada kelompok pirantel pamoat 5 mg/ml menunjukkan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze yang paling cepat. Di sisi lain, kelompok perlakuan NaCl 0,9% menunjukkan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze yang paling lama.

0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 NaCl 0,9%

20% 40% 60% 80% 100% Pirantel pamoat 5 mg/ml R er at a w ak tu k em at ian cac in g A sc ar is s u u m , G oe ze (m en it ) 5707,8 3146,6 2360,2 1366,9 731,9 244,6 61,9


(48)

commit to user

Dari hasil penelitian pada tabel 4 dapat diketahui besar prosentase daya antelmintik infusa daun alpukat dibanding pirantel pamoat 5 mg/ml sebagai berikut:

Gambar 5. Diagram Prosentase Perbandingan Daya Antelmintik Infusa

Daun Alpukat terhadap Pirantel Pamoat 5 mg/ml

Gambar 5 menyatakan bahwa efek antelmintik pirantel pamoat lebih kuat daripada efek antelmintik infusa daun alpukat mulai dari konsentrasi 20% sampai dengan konsentrasi 100%.

B. Analisis Data

Data hasil penelitian akhir pada tabel 4 berupa waktu kematian cacing

Ascaris suum, Goeze dianalisis dengan menggunakan uji One Way ANOVA apabila memenuhi syarat uji.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

20% 40% 60% 80% 100% Pirantel pamoat 5 mg/ml P ros en tas e d aya an te lm in ti k ( % )

Infusa daun alpukat

100

25 8,5 2,6 4,5


(49)

commit to user

1. Uji One Way ANOVA

Sebelum melakukan uji One Way ANOVA terdapat syarat yang harus dipenuhi, yaitu distribusi data normal dan varians data homogen (Dahlan, 2008). Pada uji normalitas dan uji homogenitas didapatkan nilai probabilitas (p) sebagai berikut:

Tabel 5. Nilai Probabilitas (p) Uji Normalitas

Kelompok Kolmogorov-Smirnov Saphiro-Wilk

NaCl 0,9% 0,145 0,124

Infusa 20% 0,200 0,889

Infusa 40% 0,200 0,590

Infusa 60% 0,200 0,989

Infusa 80% 0,200 0,503

Infusa 100% 0,200 0,973

Pirantel Pamoat

5 mg/ml 0,200 0,823

Tabel 6. Nilai Probabilitas (p) Uji Homogenitas

Tabel uji Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro Wilk menyatakan bahwa nilai probabilitas (p) pada semua kelompok perlakuan > 0,05. Hal ini berarti bahwa data berdistribusi normal. Selanjutnya, pada tes homogenitas varians, didapatkan nilai probabilitas (p) 0,105 atau p > 0,05, sehingga dapat diartikan bahwa varians data adalah homogen. Dapat disimpulkan bahwa distribusi data normal dan varians data homogen sehingga syarat penggunaan uji One Way ANOVA terpenuhi.

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.


(50)

commit to user

Perbedaan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze dalam kelompok perlakuan secara statistik diuji menggunakan uji One Way

ANOVA dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 7. HasilUji One Way ANOVA

ANOVA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 119.886 4 19.981 48.497 .000 Within Groups 11.536 28 .412

Total 131.422 34

Hipotesis untuk uji One Way ANOVA adalah sebagai berikut:

a. H0 : Infusa daun alpukat tidak mempunyai pengaruh terhadap

kematian cacing Ascaris suum, Goeze.

b. H1 : Infusa daun alpukat mempunyai pengaruh terhadap kematian

cacing Ascaris suum, Goeze.

Pengambilan keputusan uji One Way ANOVA: a. Jika nilai probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak

b. Jika nilai probabilitas > 0,05, maka H0 diterima

Nilai probabilitas (p) pada uji One Way ANOVA tersebut adalah 0,000 atau p < 0,05 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima.

2. Uji Post Hoc LSD

Pada uji One Way ANOVA terdapat perbedaan yang sigfinikan sehingga dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD. Uji Post Hoc LSD digunakan untuk mengetahui letak perbedaan antar kelompok perlakuan (Dahlan, 2008).


(51)

commit to user

Hasil uji Post Hoc LSD adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Hasil Uji Post Hoc LSD

(I) Kelompok (J) Kelompok Sig. NaCl 0,9% Infusa 20% .000

Infusa 40% .000 Infusa 60% .000 Infusa 80% .000 Infusa 100% .000 Pirantel

Pamoat .000 Infusa 20% NaCl 0,9% .000 Infusa 40% .000 Infusa 60% .000 Infusa 80% .000 Infusa 100% .000 Pirantel

Pamoat .000 Infusa 40% NaCl 0,9% .000 Infusa 20% .000 Infusa 60% .000 Infusa 80% .000 Infusa 100% .000 Pirantel

Pamoat .000 Infusa 60% NaCl 0,9% .000 Infusa 20% .000 Infusa 40% .000 Infusa 80% .000 Infusa 100% .000 Pirantel

Pamoat .000 Infusa 80% NaCl 0,9% .000 Infusa 20% .000 Infusa 40% .000 Infusa 60% .000 Infusa 100% .000 Pirantel


(52)

commit to user Infusa 100% NaCl 0,9% .000

Infusa 20% .000 Infusa 40% .000 Infusa 60% .000 Infusa 80% .000 Pirantel

Pamoat .000 Pirantel Pamoat NaCl 0,9% .000 Infusa 20% .000 Infusa 40% .000 Infusa 60% .000 Infusa 80% .000 Infusa 100% .000

Hipotesis untuk uji Post Hoc LSD adalah sebagai berikut:

a. H0 : rerata waktu kematian cacing antara kelompok yang

dibandingkan memiliki perbedaan yang tidak signifikan

b. H1 : rerata waktu kematian cacing antara kelompok yang

dibandingkan memiliki perbedaan yang signifikan. Pengambilan keputusan uji Post Hoc LSD:

a. Jika nilai probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak

b. Jika nilai probabilitas > 0,05, maka H0 diterima

Hasil uji Post Hoc LSD menunjukkan bahwa nilai probabilitas (p) dari semua data kelompok perlakuan adalah 0,000 atau p < 0,05 sehingga H0


(53)

commit to user

42

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian tentang pengaruh infusa daun alpukat terhadap kematian cacing

Ascaris suum, Goeze, dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian akhir. Tahap penelitian pendahuluan dilakukan dengan perendaman cacing dalam larutan NaCl 0,9% yang bertujuan untuk mengetahui lama hidup cacing Ascaris suum, Goeze di luar tubuh babi sebagai hospes utamanya. Hasil penelitian pendahuluan pada tabel 3 diketahui bahwa rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada larutan NaCl 0,9% adalah 5711,6 menit. Hasil ini digunakan sebagai waktu maksimal pengujian larutan infusa daun alpukat.

Selanjutnya, tahap penelitian akhir dilakukan dengan perendaman cacing dalam larutan NaCl 0,9%, infusa daun alpukat 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%, serta pirantel pamoat 5 mg/ml. Hasil penelitian akhir pada tabel 4 memperlihatkan bahwa rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada kelompok infusa daun alpukat 20% adalah 3146,6 menit, kelompok infusa daun alpukat 40% adalah 2360,2 menit, kelompok infusa daun alpukat 60% adalah 1366,9 menit, kelompok infusa daun alpukat 80% adalah 731,9 menit, dan kelompok infusa daun alpukat 100% adalah 244,6 menit. Hal ini menunjukkan bahwa infusa daun alpukat memang memiliki efek antelmintik. Efek antelmintik infusa daun alpukat semakin besar pada konsentrasi infusa yang semakin tinggi. Hal ini terlihat dari percepatan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze.


(54)

commit to user

Pada kelompok kontrol positif yang menggunakan pirantel pamoat dengan konsentrasi 5 mg/ml didapatkan rerata waktu kematian cacing adalah 61,9 menit. Hasil rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goezepada kelompok pirantel pamoat 5 mg/ml yaitu 61,9 menit merupakan rerata waktu kematian cacing

Ascaris suum, Goeze tercepat dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa pirantel pamoat memiliki efek antelmintik terkuat.

Hasil penelitian diuji dengan uji One Way ANOVA untuk menguji adanya perbedaan yang signifikan antara ketujuh kelompok perlakuan. Distribusi data menunjukkan distribusi yang normal dan varians data menujukkan data yang homogen sehingga syarat untuk uji One Way ANOVA terpenuhi. Pada uji One Way ANOVA didapatkan nilai probabilitas (p) 0,000 atau p < 0,05 yang berarti terdapat pengaruh infusa daun alpukat terhadap kematian Ascaris suum, Goeze. Setelah diketahui adanya perbedaan yang signifikan pada ketujuh kelompok perlakuan, uji One Way ANOVA dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang mempunyai perbedaan yang signifikan.

Hasil uji Post Hoc LSD menyatakan bahwa perbandingan rerata waktu kematian cacing antara kelompok perlakuan NaCl 0,9%, kelompok infusa daun alpukat konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% serta kelompok pirantel pamoat memiliki nilai probabilitas (p) 0,000 yang berarti p < 0,05. Hal ini mengandung makna bahwa rerata waktu kematian cacing antar kelompok tersebut memiliki perbedaan yang signifikan.


(55)

commit to user

Dari hasil penelitian, terbukti bahwa infusa daun alpukat memiliki efek antelmintik. Untuk konsentrasi infusa daun alpukat yang berbeda menunjukkan efek antelmintik yang berbeda pula. Hal ini tampak pada rerata waktu kematian cacing yang semakin cepat pada konsentrasi infusa yang semakin tinggi. Efek antelmintik dari infusa daun alpukat disebabkan oleh kandungan zat aktif saponin dan tanin pada daun alpukat. Senyawa saponin memiliki efek antelmintik dengan menghambat kerja enzim kolinesterase (Kuntari, 2008). Enzim kolinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis asetilkolin. Asetilkolin merupakan neurotransmiter di berbagai sinaps serta akhiran saraf simpatis, parasimpatis, dan saraf motor somatik. Penghambatan kerja enzim kolinesterase menyebabkan penumpukan asetilkolin pada reseptor nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi terus-menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan kontraksi otot. Kontraksi ini lama-kelamaan akan menimbulkan paralisis otot hingga berujung pada kematian cacing (Pappano dan Watanabe, 1998). Selain senyawa saponin, daun alpukat juga mengandung senyawa tanin yang memiliki kemampuan merusak protein tubuh cacing sehingga permukaan tubuh cacing menjadi tidak permeabel lagi terhadap zat di luar tubuh cacing (Najib, 2009).

Efek antelmintik pirantel pamoat sudah banyak diketahui karena pirantel pamoat merupakan obat standar pada penatalaksanaan askariasis. Pirantel pamoat menghambat enzim kolinesterase yang menyebabkan penumpukan asetilkolin sehingga otot cacing mengalami hiperkontraksi (Pohan, 2007). Dari penelitian ini,


(56)

commit to user

diketahui bahwa pirantel pamoat memiliki efek antelmintik yang lebih kuat daripada infusa daun alpukat pada semua konsentrasi.

Perbandingan daya antelmintik infusa daun alpukat berbagai konsentrasi dengan pirantel pamoat 5 mg/ml dinyatakan dalam tabel 5. Pada konsentrasi 100%, infusa daun alpukat memiliki daya antelmintik 25% dibandingkan pirantel pamoat 5 mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa sampai pada konsentrasi 100% infusa daun alpukat mempunyai daya antelmintik yang lebih lemah jika dibandingkan dengan pirantel pamoat. Pirantel pamoat memiliki efek samping berupa gangguan pencernaan dan sakit kepala, (Tjay dan Rahardja, 2002), sedangkan infusa daun alpukat secara tradisional digunakan untuk mengobati gangguan pencernaan dan sakit kepala (Yana, 2010), sehingga dapat dikatakan bahwa infusa daun alpukat tidak mempunyai efek samping seperti pirantel pamoat. Infusa daun alpukat juga mempunyai kelebihan seperti murah dan cara pembuatannya mudah. Dengan kelebihan dan daya antelmintik yang dimilikinya, infusa daun alpukat mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pengobatan alternatif alami dalam penatalaksanaan askariasis.


(57)

commit to user

46

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro. Semakin tinggi konsentrasi infusa daun alpukat (Persea americana Mill.), semakin cepat waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan konsentrasi infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) yang lebih efektif untuk mematikan cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vivo.


(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Infusa 100% NaCl 0,9% .000

Infusa 20% .000

Infusa 40% .000

Infusa 60% .000

Infusa 80% .000

Pirantel

Pamoat .000

Pirantel Pamoat NaCl 0,9% .000

Infusa 20% .000

Infusa 40% .000

Infusa 60% .000

Infusa 80% .000

Infusa 100% .000

Hipotesis untuk uji Post Hoc LSD adalah sebagai berikut:

a. H0 : rerata waktu kematian cacing antara kelompok yang

dibandingkan memiliki perbedaan yang tidak signifikan

b. H1 : rerata waktu kematian cacing antara kelompok yang

dibandingkan memiliki perbedaan yang signifikan. Pengambilan keputusan uji Post Hoc LSD:

a. Jika nilai probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak

b. Jika nilai probabilitas > 0,05, maka H0 diterima

Hasil uji Post Hoc LSD menunjukkan bahwa nilai probabilitas (p) dari semua data kelompok perlakuan adalah 0,000 atau p < 0,05 sehingga H0


(2)

commit to user

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian tentang pengaruh infusa daun alpukat terhadap kematian cacing

Ascaris suum, Goeze, dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian akhir. Tahap penelitian pendahuluan dilakukan dengan perendaman cacing dalam larutan NaCl 0,9% yang bertujuan untuk mengetahui lama hidup cacing Ascaris suum, Goeze di luar tubuh babi sebagai hospes utamanya. Hasil penelitian pendahuluan pada tabel 3 diketahui bahwa rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada larutan NaCl 0,9% adalah 5711,6 menit. Hasil ini digunakan sebagai waktu maksimal pengujian larutan infusa daun alpukat.

Selanjutnya, tahap penelitian akhir dilakukan dengan perendaman cacing dalam larutan NaCl 0,9%, infusa daun alpukat 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%, serta pirantel pamoat 5 mg/ml. Hasil penelitian akhir pada tabel 4 memperlihatkan bahwa rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze pada kelompok infusa daun alpukat 20% adalah 3146,6 menit, kelompok infusa daun alpukat 40% adalah 2360,2 menit, kelompok infusa daun alpukat 60% adalah 1366,9 menit, kelompok infusa daun alpukat 80% adalah 731,9 menit, dan kelompok infusa daun alpukat 100% adalah 244,6 menit. Hal ini menunjukkan bahwa infusa daun alpukat memang memiliki efek antelmintik. Efek antelmintik infusa daun alpukat semakin besar pada konsentrasi infusa yang semakin tinggi. Hal ini terlihat dari percepatan rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze.


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Pada kelompok kontrol positif yang menggunakan pirantel pamoat dengan konsentrasi 5 mg/ml didapatkan rerata waktu kematian cacing adalah 61,9 menit. Hasil rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goezepada kelompok pirantel pamoat 5 mg/ml yaitu 61,9 menit merupakan rerata waktu kematian cacing

Ascaris suum, Goeze tercepat dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa pirantel pamoat memiliki efek antelmintik terkuat.

Hasil penelitian diuji dengan uji One Way ANOVA untuk menguji adanya perbedaan yang signifikan antara ketujuh kelompok perlakuan. Distribusi data menunjukkan distribusi yang normal dan varians data menujukkan data yang homogen sehingga syarat untuk uji One Way ANOVA terpenuhi. Pada uji One Way ANOVA didapatkan nilai probabilitas (p) 0,000 atau p < 0,05 yang berarti terdapat pengaruh infusa daun alpukat terhadap kematian Ascaris suum, Goeze. Setelah diketahui adanya perbedaan yang signifikan pada ketujuh kelompok perlakuan, uji One Way ANOVA dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang mempunyai perbedaan yang signifikan.

Hasil uji Post Hoc LSD menyatakan bahwa perbandingan rerata waktu kematian cacing antara kelompok perlakuan NaCl 0,9%, kelompok infusa daun alpukat konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% serta kelompok pirantel pamoat memiliki nilai probabilitas (p) 0,000 yang berarti p < 0,05. Hal ini mengandung makna bahwa rerata waktu kematian cacing antar kelompok tersebut memiliki perbedaan yang signifikan.


(4)

Dari hasil penelitian, terbukti bahwa infusa daun alpukat memiliki efek antelmintik. Untuk konsentrasi infusa daun alpukat yang berbeda menunjukkan efek antelmintik yang berbeda pula. Hal ini tampak pada rerata waktu kematian cacing yang semakin cepat pada konsentrasi infusa yang semakin tinggi. Efek antelmintik dari infusa daun alpukat disebabkan oleh kandungan zat aktif saponin dan tanin pada daun alpukat. Senyawa saponin memiliki efek antelmintik dengan menghambat kerja enzim kolinesterase (Kuntari, 2008). Enzim kolinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis asetilkolin. Asetilkolin merupakan neurotransmiter di berbagai sinaps serta akhiran saraf simpatis, parasimpatis, dan saraf motor somatik. Penghambatan kerja enzim kolinesterase menyebabkan penumpukan asetilkolin pada reseptor nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi terus-menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan kontraksi otot. Kontraksi ini lama-kelamaan akan menimbulkan paralisis otot hingga berujung pada kematian cacing (Pappano dan Watanabe, 1998). Selain senyawa saponin, daun alpukat juga mengandung senyawa tanin yang memiliki kemampuan merusak protein tubuh cacing sehingga permukaan tubuh cacing menjadi tidak permeabel lagi terhadap zat di luar tubuh cacing (Najib, 2009).

Efek antelmintik pirantel pamoat sudah banyak diketahui karena pirantel pamoat merupakan obat standar pada penatalaksanaan askariasis. Pirantel pamoat menghambat enzim kolinesterase yang menyebabkan penumpukan asetilkolin sehingga otot cacing mengalami hiperkontraksi (Pohan, 2007). Dari penelitian ini,


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

diketahui bahwa pirantel pamoat memiliki efek antelmintik yang lebih kuat daripada infusa daun alpukat pada semua konsentrasi.

Perbandingan daya antelmintik infusa daun alpukat berbagai konsentrasi dengan pirantel pamoat 5 mg/ml dinyatakan dalam tabel 5. Pada konsentrasi 100%, infusa daun alpukat memiliki daya antelmintik 25% dibandingkan pirantel pamoat 5 mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa sampai pada konsentrasi 100% infusa daun alpukat mempunyai daya antelmintik yang lebih lemah jika dibandingkan dengan pirantel pamoat. Pirantel pamoat memiliki efek samping berupa gangguan pencernaan dan sakit kepala, (Tjay dan Rahardja, 2002), sedangkan infusa daun alpukat secara tradisional digunakan untuk mengobati gangguan pencernaan dan sakit kepala (Yana, 2010), sehingga dapat dikatakan bahwa infusa daun alpukat tidak mempunyai efek samping seperti pirantel pamoat. Infusa daun alpukat juga mempunyai kelebihan seperti murah dan cara pembuatannya mudah. Dengan kelebihan dan daya antelmintik yang dimilikinya, infusa daun alpukat mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pengobatan alternatif alami dalam penatalaksanaan askariasis.


(6)

commit to user

46

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro. Semakin tinggi konsentrasi infusa daun alpukat (Persea americana Mill.), semakin cepat waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan konsentrasi infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) yang lebih efektif untuk mematikan cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh infusa daun alpukat (Persea americana Mill.) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vivo.