Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Perusahaan Modal Ventura Dan Perusahaan Pasangan Usaha

(1)

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN

PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA

DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

TESIS

Oleh :

AMELIA SILVANNY

097011054/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN

PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA

DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AMELIA SILVANNY

097011054/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

Nama Mahasiswa : AMELIA SILVANNY Nomor Pokok : 097011054

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing, Pembimbing,

(Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 25 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum Anggota : 1. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Egawati Siregar, SH, MHum


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : AMELIA SILVANNY

NIM : 097011054

Program Studi : Magister Kenotariatan USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila di kemudian hari diketahui tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, 12 September 2011

Yang membuat pernyataan,

Nama : AMELIA SILVANY


(6)

ABSTRAK

Bentuk-bentuk usaha mikro, kecil dan menengah sering mengalami kesulitan dalam pengembangan usahanya, namun mereka tidak dapat menerima kredit dari bank karena pada umumnya bentuk-bentuk usaha tersebut belum berbentuk badan hukum. Untuk itulah diperlukan modal dari Perusahaan Modal Ventura melalui Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil. Perjanjian tersebut dibuat di hadapan notaris yang isinya ditetapkan sebelumnya secara sepihak oleh Perusahaan Modal Ventura termasuk pengenaan imbalan jasa bagi hasil kepada Perusahaan Pasangan Usaha.

Yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah terkait dengan bentuk perjanjian antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha, kedudukan para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha, dan cara penyelesaian wanprestasi bagi para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha. Masalah-masalah tersebut akan dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan analisis data secara kualitatif.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa perjanjian antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha berbentuk akta notaril yang isinya telah ditetapkan sebelumnya oleh Perusahaan Modal Ventura yang kemudian dituangkan dalam bentuk akta ketika Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha datang menghadap ke notaris dan menandatangani minuta akta tersebut. Oleh karena itu kedudukan Perusahaan Modal Ventura lebih tinggi daripada Perusahaan Pasangan Usaha. Masalah yang terjadi di dalam perjanjian ini adalah wanprestasi yang dilakukan oleh Perusahaan Pasangan Usaha. Dari beberapa alternatif penyelesaian di dalam praktiknya Perusahaan Modal Ventura memilih bentuk penyelesaian dengan penyelamatan yang terdiri dari restructuring, reconditioning, rescheduling dan injection, daripada bentuk penyelesaian dengan take over, penjualan aset perusahaan, offsetting, dan legal action. Cara ini diambil oleh Perusahaan Modal Ventura karena lebih efektif dan efisien.

Penelitian ini menyarankan agar Perusahaan Modal Ventura dapat lebih memperbesar jumlah ekuitas yang dimilikinya sehingga pengenaan imbalan jasa kepada Perusahaan Pasangan Usaha dapat diperkecil, dan pemerintah lebih memperhatikan pengaturan tentang praktik modal ventura di Indonesia karena sejauh ini belum ada suatu ketentuan yang khusus mengatur mengenai modal ventura di Indonesia.

Kata Kunci :Perjanjian Pembiayaan, Bagi Hasil, Perusahaan Modal Ventura, Perusahaan Pasangan Usaha


(7)

(8)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa, yang telah memberikan segala berkat dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kesehatan, ketabahan maupun petunjuk, sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA.

Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari tesis ini memiliki kelemahan dan kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki dan menyempurnakan tesis ini.

Dalam kesempatan ini pula penulis menyadari bahwa segala keberhasilan itu adalah semata-mata berkat adanya rahmat dan ridho dari Allah SWT dan bantuan dari semua pihak yang telah diberikan kepada penulis baik yang sifatnya materil maupun moril dalam menjalani proses dan penyelesaian tesis ini. Untuk hal itu penulis sangat berhutang budi kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dorongan semangat maupun sumbangan pikiran yang sangat berharga. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum selaku Pembimbing I penulis, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum selaku Pembimbing II penulis, dan yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Dr. T. Keizerina


(9)

Devi A. SH, CN, MHum selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Notaris Egawati Siregar, SH, MKn yang telah berkenan memberikan masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM&H SpA (K).

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum.

3. Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN.

4. Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Dr. T. Keizerina Devi A. SH, CN, MHum.

5. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu penulis dalam hal kelancaran manajemen administrasi yang penulis butuhkan.

Dalam kesempatan ini penulis turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Mohammad Siddik, S.H, M.Hum, dan Ibunda Hj. Misfanni, S.H yang telah memberikan dukungan, semangat, nasehat dan doa kepada penulis untuk terus menjalani dan menekuni dunia pendidikan. Tidak mungkin rasanya penulis dapat menjadi seperti sekarang ini tanpa kesabaran, doa dan restu Ayahanda dan Ibunda tersayang. Demikian juga terima kasih penulis ucapkan kepada adinda Muharroimi Souvanny dan Sifta Sari Dewi yang telah menemani dan menjadi penghibur bagi penulis. Teruslah belajar dan raihlah cita-citamu setinggi langit.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih kepada sahabat terkasih Fiqi Raras Maja yang selalu ada saat penulis butuhkan, serta sahabat-sahabat tersayang Evi Sulastri, Melissa Harahap, Puteri Rayhan Natasha Siregar, Nur Yudha Maisari, Kartika Puri Mandasari, Desi Melaroza Purba, Alnasriel, Iskandar yang selama ini telah memberikan dukungan dan semangat bagi penulis ketika menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT dan agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang berlimpah.


(11)

Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan. Akhir kata dengan segala kekurangan dan keterbatasan penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, Juli 2011

Hormat Saya


(12)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : AMELIA SILVANNY

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/27 April 1987

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Tembakau 19 No. 3, Medan No. HP/ Telp. Rumah : 085262651987 / 061-8363275

II. PENDIDIKAN

SD : SD. YP. TIMBUL JAYA II MEDAN

SMP : SMP Negeri 10 MEDAN

SMA : SMA KEMALA BHAYANGKARI I MEDAN


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Keaslian Penelitian... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori... 10

2. Konsepsional... 22

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian... 23

2. Lokasi Penelitian... 24

3. Sumber Data... 24

4. Metode dan Alat Pengumpulan Data... 26


(14)

BAB II PERJANJIAN ANTARA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

A. Pengertian Perjanjian... 29

B. Syarat-syarat Sah Perjanjian... 31

C. Perjanjian Modal Ventura... 39

1. Penyertaan secara Langsung... 41

a. Mendirikan Suatu Usaha Bersama dalam Bentuk Perseroan Terbatas... 42

b. Penyertaan/Pengambilan Sejumlah Saham dalam Simpanan (Porto Folio) pada PPU... 43

2. Penyertaan secara Tidak Langsung... 44

a. Obligasi Konversi... 45

b. Partisipasi Terbatas/Bagi Hasil... 46

BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL ANTARA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA A. Perusahaan Modal Ventura (PMV)... 65

B. Perusahaan Pasangan Usaha (PPU)... 72

C. Syarat dan Prosedur Pengikatan Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil antara PMV dan PPU... 76

D. Analisis Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil... 80

E. Berakhirnya Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil antara PMV dan PPU... 92


(15)

BAB IV WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN POLA BAGI HASIL

A. Pengertian Wanprestasi secara Umum... 96 B. Wanprestasi dalam Perjanjian Pembiayaan dengan

Pola Bagi Hasil... 100 C. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil... 106 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 113 B. Saran... 114 DAFTAR PUSTAKA... 116 LAMPIRAN


(16)

ABSTRAK

Bentuk-bentuk usaha mikro, kecil dan menengah sering mengalami kesulitan dalam pengembangan usahanya, namun mereka tidak dapat menerima kredit dari bank karena pada umumnya bentuk-bentuk usaha tersebut belum berbentuk badan hukum. Untuk itulah diperlukan modal dari Perusahaan Modal Ventura melalui Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil. Perjanjian tersebut dibuat di hadapan notaris yang isinya ditetapkan sebelumnya secara sepihak oleh Perusahaan Modal Ventura termasuk pengenaan imbalan jasa bagi hasil kepada Perusahaan Pasangan Usaha.

Yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah terkait dengan bentuk perjanjian antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha, kedudukan para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha, dan cara penyelesaian wanprestasi bagi para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha. Masalah-masalah tersebut akan dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan analisis data secara kualitatif.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa perjanjian antara Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha berbentuk akta notaril yang isinya telah ditetapkan sebelumnya oleh Perusahaan Modal Ventura yang kemudian dituangkan dalam bentuk akta ketika Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Pasangan Usaha datang menghadap ke notaris dan menandatangani minuta akta tersebut. Oleh karena itu kedudukan Perusahaan Modal Ventura lebih tinggi daripada Perusahaan Pasangan Usaha. Masalah yang terjadi di dalam perjanjian ini adalah wanprestasi yang dilakukan oleh Perusahaan Pasangan Usaha. Dari beberapa alternatif penyelesaian di dalam praktiknya Perusahaan Modal Ventura memilih bentuk penyelesaian dengan penyelamatan yang terdiri dari restructuring, reconditioning, rescheduling dan injection, daripada bentuk penyelesaian dengan take over, penjualan aset perusahaan, offsetting, dan legal action. Cara ini diambil oleh Perusahaan Modal Ventura karena lebih efektif dan efisien.

Penelitian ini menyarankan agar Perusahaan Modal Ventura dapat lebih memperbesar jumlah ekuitas yang dimilikinya sehingga pengenaan imbalan jasa kepada Perusahaan Pasangan Usaha dapat diperkecil, dan pemerintah lebih memperhatikan pengaturan tentang praktik modal ventura di Indonesia karena sejauh ini belum ada suatu ketentuan yang khusus mengatur mengenai modal ventura di Indonesia.

Kata Kunci :Perjanjian Pembiayaan, Bagi Hasil, Perusahaan Modal Ventura, Perusahaan Pasangan Usaha


(17)

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga pembiayaan adalah salah satu bentuk usaha yang mempunyai peranan sangat penting dalam pembiayaan. Kegiatan lembaga pembiayaan ini dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar. Oleh karena itu, lembaga pembiayaan juga berperan sebagai salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif yang potensial untuk menunjang perekonomian nasional.1 Salah satu lembaga pembiayaan yang dapat menjadi pilihan masyarakat bisnis adalah modal ventura.

Modal ventura adalah usaha yang melakukan pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu (Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan Pasal 1 huruf h Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan).

Modal ventura saat ini dibutuhkan di dalam perekonomian Indonesia contohnya untuk usaha mikro, kecil dan menengah. Bentuk-bentuk usaha tersebut sering sekali mengalami kesulitan dalam pengembangan usahanya, namun mereka

1

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5


(19)

tidak dapat menerima kredit dari bank karena pada umumnya bentuk-bentuk usaha tersebut belum berbentuk badan hukum.

Pasal 4 Perpres No. 9 Tahun 2009 menyebutkan kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura (PMV) meliputi penyertaan saham (equity participation), penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quatie equity participation), dan pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing). Kegiatan-kegiatan usaha tersebut menjadi bentuk-bentuk penyertaan modal yang dipakai oleh PMV di dalam pemberian modal ventura, namun di dalam praktik pelaksanaan modal ventura di Indonesia bentuk-bentuk penyertaan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bentuk penyertaan modal, yaitu penyertaan langsung (direct investment) dan penyertaan tidak langsung (indirect investment).2

Penyertaan langsung adalah pola pembiayaan yang dilakukan oleh PMV dengan cara memberikan pembiayaan langsung kepada Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) yang sudah/akan berbentuk badan hukum dengan bertindak sebagai salah satu pemegang saham di PPU.3

Penyertaan tidak langsung yaitu penyertaan modal oleh PMV pada PPU tidak dalam bentuk modal saham (equity), tetapi dalam bentuk obligasi konversi (convertible bond) atau bagi hasil (profit sharing).4 Obligasi konversi (semi equity financing) diartikan sebagai bentuk pembiayaan yang pada awalnya dalam bentuk

2

Budi Rachmat, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha mikro, kecil dan menengah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 31-33.

3

Ibid., hal. 31

4


(20)

hutang piutang yang kemudian nantinya dikonversikan menjadi saham.5 Pola pembiayaan bagi hasil (profit and loss sharing) adalah bentuk penyertaan oleh PMV yang didasarkan pada prinsip-prinsip bagi hasil dalam suatu usaha bersama antara PMV dan PPU.6 Namun perlu diingat prinsip bagi hasil yang diterapkan di dalam perjanjian modal ventura berbeda dengan prinsip bagi hasil yang diketahui umumnya di dalam masyarakat. Di dalam perjanjian pembiayaan modal ventura, bagi hasil yang diterapkan adalah prinsip bagi hasil yang ditentukan oleh PMV secara sepihak berdasarkan laporan keuangan PPU.

Meskipun ada beberapa bentuk penyertaan modal yang ditawarkan oleh PMV, namun dalam praktiknya bentuk pembiayaan dengan pola bagi hasil yang banyak dilakukan. Dipilihnya bentuk pembiayaan dengan pola bagi hasil ini disebabkan oleh latar belakang kondisi PPU dan faktor keterbatasan dari PMV. PPU pada umumnya merupakan usaha mikro, kecil dan menengah bentuk usahanya sebagian besar usaha perseorangan dan belum berbadan hukum. Dengan bentuk badan usaha yang demikian, PMV tidak mungkin untuk melakukan penyertaan modal dalam bentuk saham atau obligasi konversi. Di sisi lain, PMV juga akan kesulitan mengingat masih adanya keterbatasan-keterbatasan, baik dari segi kemampuan dana maupun dari segi sumber daya manusianya, yang akan ditempatkan pada manajemen PPU.7 Pola bagi hasil inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

Pasal 13 ayat 1 Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 menentukan bahwa untuk memperoleh izin usaha, diajukan permohonan kepada menteri dengan

5

Ibid., hal. 34.

6

Ibid., hal. 35.

7


(21)

melampirkan contoh perjanjian pembiayaan yang diperlukan. Berdasarkan pasal tersebut disimpulkan bahwa kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh PMV dalam bentuk penyertaan modal pada PPU harus dilakukan dengan membuat perjanjian, dan perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk tertulis. Hal ini juga merupakan alat pembuktian yang sah bagi PMV dan PPU dan bahwa kegiatan pembiayaan tersebut benar dilaksanakan.

Perjanjian dalam bentuk tertulis (kontrak) merupakan dasar bagi terjadinya penyertaan modal dalam usaha modal ventura. Mengingat yang dibahas di dalam tesis ini adalah pola bagi hasil maka perjanjian yang mendasari terjadinya penyertaan modal dalam hal ini adalah Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil.

Keberadaan modal ventura dalam tatanan bisnis Indonesia diawali dengan dikeluarkannya peraturan yang mengatur tentang lembaga pembiayaan, yakni Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 (Keppres No. 61 Tahun 1988) yang dikeluarkan tanggal 20 Desember 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 yang dikeluarkan tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua peraturan tersebut kemudian dikenal atau disebut dengan Paket Desember 1988. Keppres No. 61 Tahun 1988 kemudian diganti dengan keluarnya Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, sedangkan Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 ditambah dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 468/KMK.017/1995 (Kepmenkeu No. 468/KMK.017/1995) tentang Perubahan Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kemudian, pada tahun 1995 keluar


(22)

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 469/KMK.017/1995 (Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995) tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura. Akan tetapi peraturan tersebut tetap mengacu kepada peraturan mengenai lembaga pembiayaan sehingga Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995 menjadi lex spesialis, dan Perpres No. 9 Tahun 2009 dan Kepmenkeu No. 468/KMK.017/1995 menjadi lex generalis untuk modal ventura.

Praktik modal ventura diakui oleh Bank Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-undang Pokok Perbankan. Pengaturan mengenai kredit macet di dalam undang-undang tersebut membenarkan bank untuk menyertakan modalnya ke dalam perusahaan debitur, dengan ketentuan bahwa sampai jangka waktunya berakhir bank tersebut akan menarik kembali penyertaan modal tersebut. Kemiripan inilah yang mendasari bahwa modal ventura diakui oleh Bank Indonesia.

Pengawasan dan pembinaan modal ventura dilakukan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia (Pasal 11 Perpres No. 9 Tahun 2009). Hal ini berbeda dengan lembaga pembiayaan lainnya yang pengawasannya dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan dibantu oleh Bank Indonesia. Pengawasan dan pembinaan oleh Menteri Keuangan dilakukan dengan bentuk penyampaian laporan operasional dan laporan keuangan secara tahunan kepada Menteri Keuangan (Pasal 17 Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988).

Secara faktual, Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil belum diatur secara tegas dan rinci di dalam sistem hukum di Indonesia. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak yang menuntut


(23)

adanya kesatuan pemahaman para pihak atas isi dan tujuan perjanjian (Pasal 1320 jo. Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Asas tersebut dijadikan acuan oleh para pihak dalam setiap perjanjian yang dibuat di Indonesia, termasuk dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil. Selain itu mengingat di dalam praktiknya perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaril, maka isi dan proses pembuatannya juga harus mengacu kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 2004) tentang Jabatan Notaris.

Berdasarkan penelitian awal yang diperoleh, PMV umumnya menentukan isi dari perjanjian pembiayaan, termasuk besarnya imbalan jasa bagi hasil, sehingga walaupun kebebasan berkontrak dan ketentuan mengenai akta notaril mendasari perjanjian pembiayaan tersebut, PMV cenderung mendominasi pelaksanaan pembiayaan modal ventura.

Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil berbentuk perjanjian standar (baku). PMV menetapkan rancangan perjanjian tersebut terlebih dahulu dan diperlihatkan kepada PPU dan setelah PPU setuju dituangkan dalam bentuk akta di hadapan notaris yang telah dipilih oleh perusahaan tersebut dan selanjutnya ditandatangani oleh para pihak. Hal ini merupakan keuntungan bagi PMV karena PMV dapat menerapkan klausula-klausula yang dikehendakinya, sedangkan bagi PPU perjanjian ini menimbulkan ketidakseimbangan dengan adanya klasula-klausula yang tidak adil dan memberatkannya.

Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata memperbolehkan para pihak untuk mengadakan perjanjian standar (baku) karena kepada para pihak tersebut diberikan hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya


(24)

(leave it). Oleh karena itu, setelah PMV menetapkan rancangan perjanjian, PPU memiliki hak untuk menyetujui atau menolak rancangan tersebut, dan akhirnya kebebasan berkontrak tidak terlanggar.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka untuk dapat lebih mengetahui modal ventura dan perjanjian pembiayaan antara PMV dan PPU maka perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan membuat penelitian yang berjudul TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk perjanjian antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha?

2. Bagaimanakah kedudukan para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha?

3. Bagaimanakah cara penyelesaian wanprestasi bagi para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha?


(25)

C. Tujuan Penelitian

Setiap pelaksanaan suatu kegiatan penelitian memiliki tujuan yang akan dicapai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk perjanjian antara perusahaan modal ventura dengan perusahaan pasangan usaha.

2. Untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dengan perusahaan pasangan usaha.

3. Untuk mengetahui cara penyelesaian wanprestasi bagi para pihak dalam perjanjian bagi hasil antara perusahaan modal ventura dengan perusahaan pasangan usaha.

D. Manfaat Penelitian

Bertitik tolak pada rumusan masalah yang dikemukakan, manfaat dari penelitian ini adalah

1. Secara teoritis

a. Sebagai bahan informasi dan tambahan bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan.

b. Menambah khasanah kepustakaan, khususnya dalam hukum pembiayaan. 2. Secara praktis

a. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mengenai pemberian modal ventura.


(26)

b. Sebagai bahan masukan bagi PT. Sarana Sumut Ventura, PMV dan PPU. c. Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran bagi

masyarakat tentang pemberian modal ventura sesuai dengan ketentuan mengenai lembaga pembiayaan.

d. Sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan nasional khususnya yang berhubungan dengan pemberian modal ventura.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA, belum pernah ada yang melakukan penelitian ini sebelumnya. Dengan demikian, maka dari segi keilmuan penelitian ini dapat dikatakan asli, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.


(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kata teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta.8

Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.9 Konsep mengekspresikan suatu abstraksi yang terbentuk melalui generalisasi dari pengamatan terhadap fenomena (obyek, kejadian, atribut atau proses).10

Otje Salman dan Anton F. Susanto menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat dari berbagai ahli, yaitu teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.11

Penetapan suatu kerangka teori merupakan suatu keharusan dalam penelitian. Hal ini disebabkan, kerangka teori digunakan sebagai landasan berpikir untuk

8

Ensiklopedia Bebas, Wikipedia Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/teori, diakses 6 Januari 2010.

9

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 194.

10

Kerlinger, Definisi Teori, http://www.pdf-search-engine.com/definisi-teori-pdf.html, diakses 6 Januari 2010.

11

H. R. Otje Salman S dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21.


(28)

menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu mengenai pelaksanaan perjanjian bagi hasil perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha. Teori yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak lahir dan berkembang seiring dengan pertumbuhan aliran filsafat yang menekankan semangat individualisme dan pasar bebas. Teori ini sangat mendominasi teori hukum kontrak. Inti permasalahan hukum kontrak lebih tertuju kepada realisasi kebebasan berkontrak. Dalam bidang ekonomi berkembang aliran laissez faire yang dipelopori Adam Smith yang menekankan prinsip non-intervensi oleh pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar, tetapi Adam Smith tidak menolak campur tangan pemerintah hanya dikurangi seminimal mungkin. Pemerintah hanya diperkenankan untuk ikut campur secara minimal, khususnya dengan alasan demi tegaknya keadilan. Campur tangan yang berlebihan yang bersifat distorsif dianggap sebagai pelanggaran akan keadilan.12

Pandangan moral yang membela kebebasan berkontrak ditemukan dalam tulisan filsuf moral terkenal dari Jerman, Immanuel Kant. Menurut Kant, hukum harus ditopang oleh landasan moral, yang disebut sebagai otonomi kehendak (autonomie willens atau autonomy of the will). Otonomi kehendak berkaitan dengan moralitas otonom, yakni kesadaran manusia akan kewajiban yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sangat baik.

Berdasarkan rumusan otonomi kehendak itu, Kant merumuskan esensi kontrak. Esensi kontrak adalah bersatunya 2 (dua) kehendak pihak yang satu dengan

12

Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 43


(29)

pihak lainnya. Apa yang diperoleh dari analisis Kant mengenai kontrak adalah suatu hal personal, yakni suatu hak yang hanya berlaku terhadap seseorang dan tidak yang lainnya.13

Doktrin liberalis-individualisme yang berkembang pada abad ke-19 berpengaruh langsung atas kebebasan berkontrak yang berimbas kepada lahirnya paradigma baru hukum kontrak yang timbul dari 2 (dua) dalil di bawah ini:

Setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd)

Setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang

Dalam paradigma baru ini, dalam kontrak timbul 2 (dua) aspek, yaitu pertama, kebebasan (sebanyak mungkin) untuk mengadakan suatu kontrak, dan kedua, kontrak tersebut harus diperlakukan sakral oleh pengadilan, karena para pihak secara bebas dan tidak ada pembatasan dalam mengadakan kontrak tersebut. Dengan demikian, kebebasan berkontrak dan kesucian (sanctity) kontrak menjadi dasar keseluruhan hukum kontrak yang berkembang saat itu. Dengan perkataan lain, orientasi mereka adalah kesucian dan kebebasan berkontrak. Sebagai konsekuensi adanya penekanan kebebasan berkontrak, kemudian dianut pula dogma bahwa kewajiban dalam kontrak hanya dapat diciptakan oleh maksud atau kehendak para pihak. Hal tersebut menjadi prinsip mendasar hukum kontrak yang mengikat untuk dilaksanakan segera begitu mereka telah mencapai kesepakatan. Dengan demikian kebebasan berkontrak di dalam teori hukum kontrak klasik memiliki 2 (dua) gagasan utama, yakni kontrak

13


(30)

didasarkan kepada persetujuan dan kontrak sebagai produk kehendak (memilih) bebas.14

Konsep modern kebebasan berkontrak menjadi dasar signifikan dalam leksikon hukum kontrak dan signifikansi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki hak otonomi untuk menentukan bargain mereka sendiri dan menuntut pemenuhan dari apa yang mereka sepakati. Dengan adanya konsensus para pihak, maka timbul kekuatan mengikat kontrak sebagaimana layaknya undang-undang. Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka (cum nexum faciet mancipimque, uti lingua mancouassit, ita jus esto). Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya kontrak (verbindende kracht van de overereenkomst)15, dan menjadi kekuatan yang mengikat Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil yang dapat dilihat dari adanya kebebasan untuk menentukan isi perjanjian yang kemudian menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Kebebasan berkontrak merupakan teori universal dan dianut oleh hukum perjanjian di hampir seluruh negara di dunia pada saat ini. Dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggris, teori ini dituangkan dalam berbagai istilah, antara lain Freedom of Contract, Liberty of Contract atau Party Autonomy.16

Di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat ditemukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk

14

Ibid., hal 81-90.

15

Ibid., hal 91-102.

16

Felix S. Subagjo, Perkembangan Azas-azas Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis selama 25 Tahun Terakhir, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Perkembangan Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis Indonesia, Jakarta, 18-19 Februari 1993, hal. 5.


(31)

Wetboek (BW), terutama pada Pasal 1338 yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun dengan adanya teori ini bukan berarti para pihak dapat seenaknya membuat suatu perjanjian, dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu kontrak dimulai dari adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya, yang terutama untuk kontrak-kontrak bisnis kerapkali dilakukan secara tertulis.17 Adakalanya, kesepakatan suatu kontrak yang ditandai dengan penandatanganan kontrak dilakukan tidak berdasarkan keinginan salah satu pihak, misalnya karena ada kekhilafan, paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata), untuk hal tersebut harus diingat bahwa masing-masing pihak harus mengalaskan pembuatan perjanjian dengan adanya itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata) dan juga harus sesuai dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang (Pasal 1339 KUH Perdata).

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, semua orang cakap (berwenang) membuat kontrak kecuali mereka yang tergolong sebagai berikut yaitu orang yang

17

Munir Fuady (Munir Fuady I), Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 36.


(32)

belum dewasa, orang yang ditempatkan di bawah pengampuan, wanita bersuami, dan orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.

Tetapi sejak adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 (SEMA RI No. 3 Tahun 1963) maka kedudukan seorang perempuan yang telah bersuami itu dianggap derajatnya sama dengan laki-laki, sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak memerlukan bantuan dari suaminya lagi. Hal ini semakin dipertegas oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) dalam Pasal 31 ayat 1 bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat serta keduanya sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

c. Suatu hal tertentu

Hal tertentu adalah hal yang merupakan obyek dari suatu kontrak. Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undagan terhadap obyek tertentu dari suatu kontrak, khususnya jika obyek kontrak tersebut berupa barang, yaitu (1) merupakan barang yang dapat diperdagangkan, (2) pada saat kontrak dibuat, barang telah dapat ditentukan jenisnya, (3) jumlah barang tersebut tidak boleh tertentu, (4) boleh merupakan barang yang akan


(33)

ada di kemudian hari, (5) bukan merupakan barang yang termasuk ke dalam warisan yang belum terbuka.18

d. Suatu sebab yang halal

Dalam Pasal 1337 KUH Perdata, dapat ditarik rumusan negatif mengenai pengertian sebab yang halal yaitu sebab yang dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban sosial.19

Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih syarat-syarat sahnya kontrak tersebut yaitu kontrak menjadi batal demi hukum, dapat dibatalkan, tidak dapat dilaksanakan dan/atau mendapat sanksi administratif.20

Kontrak yang dibahas di dalam penelitian ini adalah Perjanjian Modal Ventura. Namun sebelum membahas mengenai Perjanjian Modal Ventura, terlebih dahulu akan dipaparkan pengertian-pengertian mengenai modal ventura itu sendiri.

Modal ventura merupakan terjemahan dari terminologi bahasa Inggris yaitu Venture Capital dan dewasa ini istilah modal ventura tersebut telah dipergunakan secara meluas dalam tata hukum pergaulan hukum dan bisnis di Indonesia.

Dalam Dictionary of Business Terms disebutkan

“Modal ventura adalah suatu sumber pembiayaan yang penting untuk memulai suatu perusahaan yang melibatkan resiko investasi tetapi juga menyimpan potensi keuntungan di atas keuntungan rata-rata dari investasi dalam bentuk lain. Karena itu modal ventura disebut juga sebagai risk capital.” 21

18

Ibid., hal. 37.

19

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 163.

20

Munir Fuady I, op.cit, hal. 36.

21

Munir Fuady (Munir Fuady II), Hukum tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 135.


(34)

Menurut Handowo Dipo, modal ventura adalah suatu dana usaha dalam bentuk saham atau pinjaman yang dapat dialihkan menjadi saham. Dana tersebut bersumber dari PMV yang mengharapkan keuntungan dari investasinya tersebut.22

Suharsono Sagir memberikan pengertian modal ventura, yaitu sebagai suatu tindakan masyarakat atau individu pemilik dana yang berani mengambil resiko dalam bentuk investasi atau pemilikan saham dengan ikut serta dalam kegiatan operasional usaha.23

Pihak yang terlibat di dalam modal ventura terbagi 2 (dua) yaitu Perusahaan Modal Ventura (PMV) dan Perusahaan Pasangan Usaha (PPU).

Secara yurudis formal Pasal 1 huruf h Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 memberi definisi bahwa PMV (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu PPU (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu. Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 9 Tahun 2009 disebutkan bahwa PMV (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.

22

Handowo Dipo, Sukses Memperoleh Dana Usaha dengan Tinjauan Khusus Modal Ventura, Grafiti, Jakarta, 1993, hal. 10.

23

Ali Ridho, Hukum Dagang tentang Prinsip-prinsip dan Fungsi Asuransi dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Pembiayaan Modal Ventura dan Asuransi Haji, Alumni, Bandung, 1992, hal. 317.


(35)

Pada Pasal 1 huruf i Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 disebutkan bahwa PPU adalah perusahaan yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dari PMV. Untuk lebih mengkhususkan PPU yang dimaksud di maka perlu diuraikan bahwa yang menjadi PPU di dalam perjanjian yang dibahas dalam tulisan ini adalah usaha mikro, kecil dan menengah. Hal ini disebabkan hanya PPU yang berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah yang menjadi PPU Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil tersebut.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 (UU No. 20 Tahun 2008) tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Pasal 6 ayat 1 usaha mikro yaitu entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Pasal 6 ayat 2 menguraikan yang disebut dengan Usaha Kecil adalah entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah). Sementara itu, yang disebut dengan Usaha Menengah (Pasal 6 ayat 3) adalah entitas usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,- (dua


(36)

milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).

Para pihak di dalam modal ventura diikat dengan suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil. Perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari adanya kesepakatan antara PMV dan PPU yang isinya memuat persyaratan tertentu24, termasuk jumlah fasilitas dana yang diberikan dan imbalan jasa bagi hasil. Perjanjian inilah yang mendasari kerjasama antara PMV dan PPU dan kemudian melahirkan hak dan kewajiban antara kedua perusahaan tersebut.

Menurut Munir Fuady,

“Dokumen pokok yang paling penting sebagai bukti adanya kerja sama dalam usaha modal ventura adalah perjanjian modal ventura. Oleh karena itu, di dalam praktik bentuk-bentuk penyertaan modal yang dilakukan PMV ada beberapa macam, maka jenis perjanjiannya pun tergantung pada masing-masing bentuk penyertaan modal mana yang dipilihnya.”25

Syarat-syarat Top of For yang lazim diperjanjikan dalam perjanjian pemberian modal ventura yaitu:26

1. Suku bunga atau besarnya persentase bagi hasil dari modal ventura yang diberikan.

2. Jangka waktu penggunaan modal ventura oleh PPU.

3. Cara-cara pengembalian modal ventura dari PPU kepada PMV. 4. Jaminan atau agunan atas pemberian modal ventura tersebut. 5. biaya yang harus dikeluarkan dan menjadi tanggungan PPU. 6. Asuransi jiwa dan kerugian.

7. Bantuan manajemen atau keikutsertaan pihak PMV ke dalam manajemen/operasional PPU, dan sebagainya termasuk di dalamnya syarat-syarat positive covenant dan negative covenant seperti halnya dengan

24

Sunaryo, op,cit, hal. 28.

25

Munir Fuady II, op.cit, hal. 167.

26

Hasanuddin Rahman, Segi-segi dan Manajemen Modal Ventura, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 119.


(37)

pemberian kredit oleh bank kepada debiturnya dan atau perusahaan leasing (lessor) kepada lessee.

Pola bagi hasil merupakan bentuk penyertaan oleh PMV yang didasarkan pada prinsip-prinsip bagi hasil dalam suatu usaha bersama antara PMV dan PPU27. Perlu diperhatikan bahwa prinsip bagi hasil di dalam perjanjian tersebut berbeda dengan praktik-praktik bagi hasil pada umumnya yang membagi keuntungan dan kerugian secara bersama. Prinsip bagi hasil di dalam perjanjian modal ventura merupakan prinsip pembagian dengan berdasarkan atas perhitungan dari keuntungan (laba) yang diperoleh PPU sebelum atau sesudah pemberian dana. Jadi dapat dikatakan pola bagi hasil di dalam PMV ditentukan oleh PMV itu sendiri.

Acapkali dalam praktik pelaksanaan perjanjian modal ventura terdapat prestasi atau kewajiban yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya yang telah dibebankan kepada pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Hal ini disebut dengan wanprestasi (wanprestatie, default).

Berkenaan dengan perbuatan wanprestasi, R. Setiawan mengemukakan 3 (tiga) bentuk wanprestasi sebagai berikut:28

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali b. Terlambat memenuhi prestasi

c. Memenuhi prestasi secara tidak baik

Menurut R. Setiawan, wanprestasi membawa akibat yang dapat merugikan para pihak yang bersangkutan dalam melakukan perjanjian, oleh karena itu

27

Sunaryo, op.cit, hal. 35.

28


(38)

hendaknya para pihak harus mentaati ketentuan yang sudah ditetapkan sebelum perjanjian dilakukan.

Sebagai penyelesaian dari adanya wanprestasi, di dalam Pasal 1243 KUH Perdata disebutkan bahwa pihak yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan penggantian biaya, rugi dan bunga. Namun di dalam praktik pembiayaan dengan pola bagi hasil diambil 5 (lima) bentuk penyelesaian wanprestasi, yaitu dengan penyelamatan (restucturing, reconditioning, rescheduling dan injection), take over, penjualan aset PPU, offseting dan legal action. Penyelamatan yang terdiri dari restucturing, reconditioning, dan rescheduling dilakukan mengingat diperbolehkannya upaya penyelamatan kredit bermasalah dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/12/BPPP (SEBI No. 23/12/BPPP) tanggal 28 Februari 1991 tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan atas Aktiva yang Diklasifikasikan dan Upaya Penyelamatan Kredit yang Dapat Dilakukan oleh Bank.

Di dalam praktik para pihak menyelesaikan wanprestasi dengan didahului oleh musyawarah. Di dalam musyawarah disebutkan alasan mengapa PPU melakukan wanprestasi dan bentuk penyelesaian yang sesuai untuk permasalahan yang dihadapi oleh PPU sehingga terjadi wanprestasi. Musyawarah biasanya menghasilkan keputusan untuk penyelamatan tersebut di atas yaitu restucturing, reconditioning, rescheduling dan injection. Bentuk penyelesaian ini diambil karena lebih efektif dan efisien bagi PMV sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar dan PMV dapat tetap melaksanakan kegiatan usahanya tanpa terganggu.


(39)

2. Konsepsional

Konsepsional merupakan salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsepsi adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. Peranan konsepsional dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realistis.29

Agar menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman mengenai konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan definisi operasional dari konsep yang dipergunakan, yaitu:

1) Modal ventura adalah salah satu bentuk lembaga pembiayaan yang melakukan penyertaan modal dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk membantu usaha yang membutuhkan investasi modal dan kemudian mendapatkan keuntungan dari penyertaan modal tersebut.

2) Perusahaan Modal Ventura (PMV) adalah suatu perusahaan di dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil yang memberikan modal kepada PPU dengan jangka waktu tertentu dan mendapat keuntungan berupa imbalan jasa dan laba dari PPU tersebut sesuai yang diperjanjikan. Adapun yang dimaksud dengan PMV dalam penelitian ini adalah PT. Sarana Sumut Ventura.

3) Perusahaan pasangan usaha (PPU) adalah suatu bentuk usaha yang berbentuk usaha mikro, kecil dan menengah yang membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya dan menerima suntikan modal dari PMV dengan disertai jaminan terlebih dahulu yang kemudian akan dikembalikan dengan

29


(40)

melakukan pembayaran imbalan jasa dan laba yang diperolehnya kepada PMV.

4) Bagi hasil yaitu suatu bentuk pemberian imbalan jasa yang diterima PMV sebagai akibat dari adanya pembiayaaan kepada PPU yang didasarkan pada perhitungan dari laporan keuangan PPU yang ditentukan sepihak oleh PMV. 5) Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil adalah suatu perjanjian

kerjasama antara PMV dan PPU yang didasari oleh prinsip bagi hasil yang diterapkan di dalam PMV (PT. Sarana Sumut Ventura), di mana PMV terikat untuk memberikan bantuan modal kepada PPU dan PPU terikat untuk memberikan imbalan jasa dan laba yang diperolehnya kepada PMV.

6) Wanprestasi adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan oleh PMV atau PPU yang berupa kesalahan pemenuhan prestasi yang telah diperjanjikan di dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil, baik karena kesengajaan atau kelalaian, yang penyelesaiannya telah dicantumkan dalam perjanjian ataupun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah


(41)

hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.30

Sifat penelitian penulisan ini yaitu deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimaksudkan berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.31

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. Sarana Sumut Ventura tepatnya di Jalan Abdullah Lubis No. 62A Medan. Hal ini mengingat PT. Sarana Sumut Ventura memiliki ruang lingkup pemasaran di daerah kota Medan dan sekitarnya, dan perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan di Sumatera Utara yang lingkup kegiatan usahanya hanya pembiayaan modal ventura.

3. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Berdasarkan kekuatan mengikatnya, bahan hukum untuk memperoleh data terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

30

Ibrahim Johni, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hal. 336.

31

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hal. 101.


(42)

a. Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan.32 Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu perjanjian modal ventura antara PT. Sarana Sumut Ventura dan PPU, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Kepmenkeu No. 468/KMK.017/1995 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura, UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer33 yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan obyek penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder34, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian.

Di samping itu, data juga dikumpulkan melalui wawancara dengan responden yang berhubungan dengan materi penelitian ini, yaitu

32

Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 55.

33

Ibid., hal. 55.

34


(43)

a. Direktur PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Bapak Julfizar, S.H.

b. Kepala Bagian Legal dan SDM PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Ibu Jumaliati, S.H.

c. PPU PT. Sarana Sumut Ventura yang berjumlah 205 (dua ratus lima) PPU, dan yang diambil menjadi responden sebanyak 5 % (lima persen) dari jumlah tersebut yaitu 10 (sepuluh) PPU yang dianggap representatif atau merupakan perwakilan dari seluruh populasi.

4. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier35, yaitu buku-buku, majalah-majalah, tulisan dan karangan ilmiah yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. Di samping itu juga digunakan studi dokumentasi yaitu cara memperoleh data melalui pengkajian dan penelaahan terhadap catatan tertulis maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Alat pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu

a. studi dokumen, yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori-teori, buku-buku, hasil penelitian dan dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan.

35


(44)

b. wawancara dengan responden, yang dilakukan secara langsung dan mendalam, terarah dan sistematis kepada narasumber yaitu sebagai berikut: 1) Direktur PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Bapak Julfizar, S.H.

2) Kepala Bagian Legal dan SDM PT. Sarana Sumut Ventura, yaitu Ibu Jumaliati, S.H.

3) PPU PT. Sarana Sumut Ventura yang berjumlah 205 (dua ratus lima) PPU, dan yang diambil menjadi responden sebanyak 5 % (lima persen) dari jumlah tersebut yaitu 10 (sepuluh) PPU yang dianggap representatif atau merupakan perwakilan dari seluruh populasi.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.36

Kegiatan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menginventarisasi peraturan perundang-perundangan yang terkait dengan persoalan yang menjadi obyek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan kemudian dilakukan penganalisisan secara kualitatif berupa pembahasan, antara berbagai data sekunder yang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang telah diinventarisir dan pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkretnya, sehingga penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika

36

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 103.


(45)

berpikir deduktif, yang menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara umum yang terkait dengan tesis ini dan kemudian dihubungkan dengan Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil.


(46)

BAB II

PERJANJIAN ANTARA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

A. Pengertian Perjanjian

Berbicara mengenai perjanjian tidak dapat terlepas dari perikatan maka sebelum sampai pada pengertian perjanjian, ada baiknya dibahas mengenai pengertian perikatan.

KUH Perdata di dalam Buku III memakai istilah perikatan yang berasal dari bahasa Belanda verbintenis. R. Subekti memberi rumusan perikatan sebagai hubungan antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.37

Istilah perikatan dipergunakan untuk menggambarkan suatu hubungan hukum antara 2 (dua) pihak atau lebih yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu yang disebabkan suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perikatan lahir dari suatu peristiwa di mana 2 (dua) orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini tepatnya dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan.

Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dirumuskan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Sedang dalam Pasal

37


(47)

1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

R. Subekti berpendapat bahwa istilah perjanjian dinamakan persetujuan karena kedua belah pihak bersetuju untuk melakukan sesuatu.38

Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa Pasal 1313 kurang begitu memuaskan memberikan perumusan tentang perjanjian disebabkan perumusan pasal tersebut mengandung kelemahan-kelemahan antara lain: 39

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

2. Kata perbuatan tidak mencakup konsensus. 3. Kata perjanjian terlalu luas.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dengan demikian Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana 2 (dua) orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.40

Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapat prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Hal ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa debitur dapat menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Sanksi dalam hal ini berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa.

38

R. Subekti I, op.cit, hal. 20.

39

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 8.

40


(48)

Untuk melihat pengertian perjanjian dimaksud, dikemukakan beberapa pendapat yang dapat dilihat di bawah ini.

M. Yahya Harahap merumuskan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara 2 (dua) orang atau lebih yang memberikan kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh potensi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi.41

Wirjono Prodjodikoro merumuskan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai benda antara 2 (dua) pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.42

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil adalah sebagai berikut:

1. Lahir dari adanya kesepakatan 2. Mengikat PMV dan PPU

3. Menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak

B. Syarat-syarat Sah Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

41

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6

42

Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro I), Pokok-pokok Hukum Perdata tentang Perjanjian Tertentu, Sumur, Bandung, 1981, hal. 11.


(49)

3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, keempat unsur tersebut digolongkan ke dalam:43

Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Syarat yang pertama dan yang kedua disebut dengan syarat subyektif, karena langsung menyangkut orang atau subyek pembuat perjanjian. apabila salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, artinya salah satu pihak dapat memintakan supaya perjanjian dibatalkan.

Syarat yang ketiga dan keempat disebut dengan syarat obyektif, karena apabila salah satu syarat obyektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian itu dengan sendirinya batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat adalah bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang diadakan.

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, sepakat yang telah diberikan menjadi tidak sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena:

a. Salah pengertian atau kekhilafan

43


(50)

b. Paksaan c. Penipuan

Sepakat karena salah pengertian (kekhilafan), paksaan atau penipuan menjadi tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal. Salah pengertian terhadap obyeklah yang dapat menyebabkan perjanjian batal. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1322 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

Paksaan terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menyetujui perjanjian tersebut. Sejalan dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa

“Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang dibolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.”44

Penipuan adalah segala tipu muslihat ataupun memperdayakan dengan terang dan nyata, sehingga pihak lain tidak akan membuat perikatan seandainya tipu

44

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 101.


(51)

muslihat itu akan dilakukan (Pasal 1328 KUH Perdata). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa penipuan tidak boleh dipersangkakan akan tetapi dapat dibuktikan.

Tentang penipuan ini, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan lain merupakan satu tipu muslihat.45

Penipuan haruslah merupakan pernyataan yang tidak benar tentang sesuatu kenyataan (bukan pendapat) yang ada pada waktu pernyataan dibuat. Suatu maksud atau kehendak dari seseorang adalah merupakan suatu kenyataan.46

Ad. 2. Cakap membuat perjanjian

Suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan yang melakukan perbuatan harus dapat menginsyafi tanggung jawab yang akan dipikul sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikiran adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian yaitu

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

45

Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro II), Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal. 31.

46

Harjan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 72.


(52)

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Pasal 330 KUH Perdata menyatakan orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin. Jadi jika seseorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun namun telah kawin mengadakan perjanjian, dia dianggap sudah dewasa.

Terhadap mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, termasuk orang yang kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya juga orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Dalam hal ini undang-undang menganggap bahwa mereka tidak mampu menginsyafi tanggung jawab dan karena itu mereka tidak dapat bertindak melakukan perjanjian, dan untuk mewakilinya ditunjuk orang tua dan wali pengampunya (kurator).

Mengenai perempuan yang telah bersuami KUH Perdata memandang mereka tidak cakap untuk melakukan perjanjian (Pasal 108 KUH Perdata). Dalam melakukan perjanjian mereka harus didampingi oleh suaminya. Tetapi sejak tahun 1963 dengan SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, maka kedudukan seorang perempuan yang telah bersuami itu dianggap derajatnya sama dengan laki-laki, sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak


(53)

memerlukan bantuan dari suaminya lagi, dan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi.

Hal ini semakin dipertegas oleh UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 1 bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat serta keduanya sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Ad. 3. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu mempunyai arti bahwa obyek yang diperjanjikan harus jelas bedanya, jenisnya dan dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata). Dengan demikian barang-barang di luar ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata ini tidak dapat menjadi obyek perjanjian, misalnya barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak seperti jalan umum, benda-benda terlarang seperti narkotika dan sejenisnya.

Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa barang yang dijadikan obyek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, apakah sebagai benda yang tidak berwujud. Obyek perjanjian dapat pula barang-barang yang baru diharapkan akan ada di kemudian hari. Dengan kata lain, barang tersebut belum ada pada waktu perjanjian dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi obyeknya adalah batal demi hukum.


(54)

Ad. 4. Sebab yang halal

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.

Perjanjian dikatakan dibuat tanpa sebab jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai, misalnya suatu perjanjian tentang tempat pelaksanaan perjanjian yang sebenarnya tidak pernah ada. Perjanjian juga dikatakan dibuat dengan sebab yang palsu jika sebab yang dibuat oleh para pihak adalah untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu, misalnya apabila para pihak membuat perjanjian jual beli morfin dengan alasan untuk kepentingan pengobatan tetapi ternyata dalam praktiknya disebarluaskan untuk keuntungan pribadi.

Dalam Pasal 1336 KUH Perdata ditegaskan bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sesuatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.

Selain itu, ditambahkan juga dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

R. Subekti menyatakan

“Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi perjanjian, dengan menghilangkan suatu sangkaan bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Yang diperhatikan adalah tindakan yang menjadi kelanjutan dari perjanjian tersebut.47

47


(55)

Beberapa hal yang termasuk sebab tak halal menurut Abdul Kadir Muhammad dinyatakan sebagai berikut

“Perjanjian yang berkausa tidak halal (dilarang oleh undang-undang), misalnya jual beli ganja, perjanjian membunuh orang. Perjanjian tidak halal (yang bertentangan dengan kepentingan umum), misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran tertentu. Perjanjian yang berkausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan), misalnya membocorkan rahasia perusahaan.48

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi dasar dari suatu sebab yang halal adalah isi atau maksud dari perjanjian yang dibuat itu, apakah bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Akibat hukum yang timbul jika perjanjian itu dilakukan atas dasar sebab yang halal adalah perbuatan itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Jadi sekalipun kepada para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian dalam bentuk apapun, kebebasan itu harus tetap didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Dengan perkatan lain, perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat unsur penentu suatu perjanjian agar dapat dianggap sah menurut hukum.

Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil telah sah menurut hukum karena telah memenuhi syarat sah perjanjian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:

1. Perjanjian Pembiayaan dengan Pola Bagi Hasil merupakan hasil dari adanya kesepakatan antara PMV dan PPU yang dituangkan dalam bentuk akta notaril dan dibuktikan dengan adanya tanda tangan para pihak.

2. Para pihak di dalam perjanjian tersebut merupakan pihak yang cakap yaitu pihak yang berwenang untuk mewakili dan telah dewasa (berumur 21 (dua

48


(56)

puluh satu) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 330 KUH Perdata atau berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 39 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2004). PMV yang berbentuk perseroan terbatas diwakili oleh direktur, dan PPU yang merupakan usaha kecil diwakili oleh pemilik usaha.

3. Obyek perjanjian telah jelas yaitu untuk pemberian fasilitas dana investasi dari PMV kepada PPU.

4. Perjanjian dibuat dengan sebab yang halal atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum mengingat perjanjian dibuat berdasarkan Perpres No. 9 Tahun 2009, Kepmenkeu No. 468/KMK.017/1995, Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995, UU No. 20 Tahun 2008 dan UU No. 30 Tahun 2004.

C. Perjanjian Modal Ventura

Perjanjian modal ventura merupakan suatu perjanjian antara PMV dan PPU yang menjadi dasar pengikatan dalam pelaksanaan investasi dari PMV ke dalam PPU. Di Indonesia, kegiatan modal ventura secara yuridis telah di back up oleh 3 (tiga) kelompok besar yaitu49

1. Prinsip kebebasan berkontrak 2. Dasar hukum perseroan 3. Hukum administratif

49


(57)

Ad. 1 Prinsip Kebebasan Berkontrak

Seperti lembaga finansial lainnya, maka modal ventura juga mempunyai dasar berupa prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) vide Pasal 1320 KUH Perdata, sebab dalam pengucuran dana lewat modal ventura ini juga dimulai dari tahap penandatanganan kontrak terlebih dahulu yang merupakan hasil kesepakatan dari para pihak.

Ad. 2. Dasar Hukum Perseroan

Modal ventura mempunyai dasar hukum perseroan mengingat lembaga modal ventura selaku penyerta modal sangat terkait dengan hukum perseroan sebagai dasar dari bentuk usahanya. Hukum perseroan bersumber dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan berbagai peraturan lainnya, praktik perseroan maupun yurisprudensi yang relevan.

Ad. 3. Dasar hukum administratif

Seperti terhadap lembaga finansial lainnya, lembaga modal ventura juga diatur oleh berbagai peraturan yang administratif, antara lain

a. PP No. 18 tahun 1973 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan dalam Bidang Pengembangan Usaha Swasta Nasional, yang menjadi dasar berdirinya PMV pertama di Indonesia yaitu PT. (Persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia yang sahamnya dipegang oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) dan Bank Indonesia.

b. Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan yang menggantikan Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan


(58)

yang menjadi dasar diakuinya modal ventura sebagai salah satu lembaga pembiayaan.

c. Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang diubah dengan Kepmenkeu No. 468/KMK.017/1995 tentang Perubahan Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan Sebagaimana Telah Diubah dengan Kepmenkeu No. 1256/KMK.00/1989 Tanggal 18 November 1989. d. Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan

Usaha Modal Ventura.

e. UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Isi dari perjanjian modal ventura tergantung dari jenis penyertaan yang disepakati oleh para pihak. Di dalam praktik pelaksanaan pemberian modal ventura dikenal 2 (dua) bentuk penyertaan modal, yaitu penyertaan langsung dan penyertaan tidak langsung. Di bawah ini akan dibahas mengenai kedua bentuk penyertaan tersebut.

1. Penyertaan Secara Langsung

Penyertaan langsung (direct invesment) adalah penyertaan perusahaan modal ventura ke dalam PPU secara langsung dalam bentuk penyertaan modal saham (equity investment).50 Penyertaan langsung ini dilakukan dengan cara mengambil jumlah saham tertentu dari PPU. Saham yang diambil PMV pada umumnya berasal dari

50


(59)

saham-saham dalam portepel (porto folio), artinya saham-saham tersebut masih belum diambil bagian dan disetor oleh pemegang saham lainnya.

Pembiayaan dengan cara penyertaan secara langsung ini dilakukan dalam hal badan usaha PPU telah atau akan berbentuk perseroan terbatas. Dengan demikian, dalam penyertaan secara langsung dalam bentuk saham ini dapat dilakukan dengan cara mendirikan suatu usaha bersama dalam bentuk perseoran terbatas, dan penyertaan/pengambilan sejumlah saham dalam simpanan (porto folio) pada PPU.

Penyertaan secara langsung ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu dengan mendirikan suatu usaha bersama dalam bentuk perseroan terbatas dan Penyertaan/Pengambilan Sejumlah Saham dalam Simpanan (Porto Folio) pada PPU.51

a. Mendirikan Suatu Usaha Bersama dalam Bentuk Perseroan Terbatas Penyertaan modal yang dilakukan dengan cara mendirikan usaha bersama dalam bentuk perseroan terbatas ini biasanya dilakukan apabila calon PPU yang akan dibiayai bentuk usahanya berbentuk persekutuan komanditer (CV), firma, atau perusahaan perseorangan. Meskipun cara ini memerlukan waktu yang lebih lama, namun karena pada umumnya PMV lebih senang jika PPU berbentuk perseroan terbatas, maka alternatif pembentukan perseroan terbatas baru merupakan cara yang paling tepat bagi PMV dalam upaya memperkecil resiko atas investasinya.52

Pendirian usaha bersama ini dilakukan dengan harus berpedoman pada ketentuan hukum perjanjian, khususnya ketentuan tentang kebebasan berkontrak

51

Ibid., hal. 32-33.

52


(60)

(Pasal 1338 KUH Perdata) dan ketentuan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata). Di samping itu, harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 dan peraturan pelaksananya. Peraturan lain yang juga harus diperhatikan dalam rangka pendirian usaha bersama ini adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang usaha modal ventura, yaitu Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan yang kemudian diubah dengan Kepmenkeu No. 468/KMK.017/1995 Perubahan Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan Sebagaimana Telah Diubah dengan Kepmenkeu No. 1256/KMK.00/1989 Tanggal 18 November 1989, dan Kepmenkeu No. 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura.

b. Penyertaan/Pengambilan Sejumlah Saham dalam Simpanan (Porto Folio) pada PPU

Pembiayaan dengan cara ini dapat dilakukan apabila PPU telah berbentuk badan hukum perseroan terbatas, dalam arti anggaran dasarnya telah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Untuk melakukan penyertaan dalam bentuk ini yang perlu diperhatikan adalah ketentuan yang ada dalam anggaran dasar dalam PPU, keputusan rapat umum pemegang saham, rapat direksi dan dewan komisaris, serta ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007.

Proses penyertaan dengan cara ini dinilai lebih praktis karena cukup dilakukan dengan mengubah akta pendirian PPU. Penyertaan modal oleh PMV dilakukan


(61)

dengan cara pembelian sebagian saham PPU, dan diikuti dengan peralihan hak atas saham tersebut. Pembelian saham oleh PMV akan berdampak pada komposisi kepemilikan saham, yang akan berpengaruh pada susunan kepengurusan pada PPU karena PMV dimungkinkan untuk menempatkan pegawainya di dalam susunan pengurus PPU yang bersangkutan.53

2. Penyertaan secara Tidak Langsung

Bentuk-bentuk penyertaan secara langsung di atas merupakan cara yang ideal sekaligus diminati oleh PMV dalam melakukan pembiayaan pada PPU. Meskipun demikian, mengingat tingkat perkembangan dan kemampuan calon PPU sangat beragam, maka dalam rangka melakukan pembiayaan pada PPU di samping dapat dilakukan dengan cara penyertaan secara langsung, juga dapat dilakukan dengan cara penyertaan secara tidak langsung.

Penyertaan secara tidak langsung (indirect investment) adalah penyertaan modal oleh PMV pada PPU tidak dalam bentuk modal saham (equity), tapi dalam bentuk obligasi konversi (convertible bond) atau partisipasi terbatas/bagi hasil (profit sharing). Kedua bentuk penyertaan secara tidak langsung ini sudah tentu dalam operasionalnya akan mempunyai konsekuensi yang berbeda satu sama lainnya, begitu pula dengan bentuk dari penyertaan secara langsung.

53


(62)

a. Obligasi Konversi (Convertible Bond)

Obligasi merupakan salah satu jenis surat berharga alternatif yang dapat dipilih para investor untuk melakukan investasi. Para investor ini tertarik untuk membeli obligasi karena nilai bunga yang diberikan pada umumnya lebih tinggi dari bunga deposito, atau jika bunganya rendah, mungkin tertarik karena kelebihan lainnya, seperti dapat ditukarkan dengan saham (convertible) sehingga ada jenis obligasi yang disebut obligasi konversi (convertible bond).54

Menurut Munir Fuady obligasi konversi merupakan

“Obligasi di mana pihak pemegang obligasi tersebut mempunyai hak atau kewajiban untuk menukarkan obligasi tersebut dengan saham dari perusahaan penerbit pada waktu yang ditentukan. Dalam kaitannya dengan modal ventura, penyertaan dalam bentuk obligasi konversi merupakan suatu pola pembiayaan PMV pada PPU yang awalnya dilakukan dalam bentuk utang piutang yang nantinya akan dikonversi menjadi saham. Untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bentuk ini antara lain anggaran dasar PPU, ketentuan tentang pengeluaran saham, kewenangan direksi dan dewan komisaris serta keputusan rapat umum pemegang saham.55

Obligasi konversi dapat dilakukan baik terhadap PPU yang telah berbadan hukum maupun pada perusahaan dalam proses pendirian perseroan terbatas. Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam bentuk ini adalah harus tersedia saham porto folio dalam jumlah yang cukup apabila obligasi konversi tersebut akan dikonversi menjadi saham. Dalam bentuk ini apabila ada jaminan, maka sejak konversi dilakukan semua jaminan atau beban yang melekat pada barang jaminan, seketika itu juga berakhir. Setelah konversi dilakukan, kedudukan PMV dan para pesero PPU adalah sama

54

Ibid., hal. 34.

55


(63)

dalam arti selaku pemegang saham yang terikat pada ketentuan yang berlaku pada anggaran dasar dan ketentuan lain mengenai perseroan terbatas.

b. Partisipasi Terbatas/Bagi Hasil

Penyertaan modal dalam bentuk partisipasi terbatas atau bagi hasil digunakan apabila dalam hasil pemeriksaan awal yang dilakukan oleh PMV terhadap PPU, baik dari segi finansial, manajemen, maupun dari segi hukum dianggap tidak tepat jika dilakukan dengan cara penyertaan langsung atau obligasi konversi.56

Penyertaan modal dengan pola bagi hasil (profit sharing) merupakan bentuk penyertaan oleh PMV yang didasarkan pada prinsip-prinsip bagi hasil dalam suatu usaha bersama antara PMV dan PPU.57 Prinsip bagi hasil di dalam perjanjian modal ventura merupakan prinsip pembagian dengan berdasarkan atas perhitungan dari keuntungan (laba) yang diperoleh PPU sebelum atau sesudah pemberian dana yang dilihat dari laporan keuangan PPU tersebut.58

Bentuk penyertaan modal dengan partisipasi terbatas/bagi hasil tersebut adalah bentuk penyertaan yang paling sering dipakai dalam pelaksanaan modal ventura. Dipilihnya bentuk pembiayaan dengan pola bagi hasil ini disebabkan oleh latar belakang kondisi PPU yang umumnya merupakan merupakan usaha kecil dan bentuk usahanya sebagian besar usaha perseorangan dan yang tidak berbadan hukum, dan faktor keterbatasan dari PMV, baik dari segi kemampuan dana maupun dari segi

56

Sunaryo, op.cit, hal. 34.

57

Ibid., hal. 35.

58

Wawancara dengan Ibu Jumaliati, Kepala Bagian Legal dan SDM PT. Sarana Sumut Ventura, di Medan, tanggal 16 Februari 2011, pukul 11.00 WIB.


(1)

berlanjut dikhawatirkan akan terjadi hambatan dan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Amir, Zafril Razief, 1992, Pokok-pokok Ceramah Umum dalam Seminar Nasional Aspek Hukum Modal Ventura dalam Peranannya sebagai Alternatif Permodalan Indonesia, Surabaya: Fakultas Hukum UNAIR

Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Alumni

---, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti

Dipo, Handowo, 1993, Sukses Memperoleh Dana Usaha dengan Tinjauan Khusus Modal Ventura, Jakarta: Grafiti

Fuady, Munir, 2001, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti

---, 2006, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti

Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni

Johni, Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing

Kadarisman, KPHN Hoediono, 1995, Modal Ventura Alternatif Pembiayaan Usaha Masa Depan, Jakarta: IBEC


(3)

Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Komariah, 2001, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika

Marbun, B.N., 1996, Manajemen Perusahaan Kecil, Jakarta: Pustaka Binaan Pressindo

Meliala, Qirom S., 1995, Pokok-pokok Hukum Perjanjian beserta Perkembangan, Yogyakarta: Liberty

Muhammad, Abdul Kadir, 1990, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti

Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: Citra Aditya Bakti

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Moleong, Lexy J., 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya

Prodjodikoro, Wirjono, 1981, Pokok-pokok Hukum Perdata tentang Perjanjian Tertentu, Bandung: Sumur

---, 1981, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur

Rachmat, Budi, 2005, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan Menengah, Bogor: Ghalia Indonesia


(4)

Ridho, Ali, 1992, Hukum Dagang tentang Prinsip-prinsip dan Fungsi Asuransi dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Pembiayaan Modal Ventura dan Asuransi Haji, Bandung: Alumni

Rusli, Harjan, 1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

S., HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Bandung: Refika Aditama

Sembiring, M.U., 1997, Teknik Pembuatan Akta, Medan: Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Setiawan, R., 1989, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta

Singarimbun, Masri dkk, 1999, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mulyadi, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Subekti, R., 1983, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa

---, 1991, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa

Sunaryo, 2009, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika

Supranto, J., 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta

Tirtodiningrat, R. T., 1960, Ichtiar Hukum Perdata dan Dagang, Jakarta: Pembangunan


(5)

B. Bahan Kepustakaan Lain

Subagjo, Felix S., 18-19 Februari 1993, Perkembangan Azas-azas Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis selama 25 Tahun Terakhir, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Perkembangan Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis Indonesia, Jakarta

Sirait, Ningrum Natasya, 2009, Bahan Perkuliahan Hukum Kontrak Bisnis, Medan: Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum Program Pascasarjana Magister Kenotariatan

C. Internet

http://www.pdf-search-engine.com/definisi-teori-pdf.html, diakses 6 Januari 2010

http://id.wikipedia.org/wiki/teori, diakses 6 Januari 2010

http://unisri.ac.id/anggo/?p=5.html, diakses tanggal 2 Januari 2011

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/restrukturisasi-hutang-alasan-proses.html, diakses 28 Februari 2011

D. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Dagang

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan


(6)

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 468/KMK.017/1995 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura

Surat Edaran Bank Indonesia No. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan atas Aktiva yang Diklasifikasikan dan Upaya Penyelamatan Kredit yang Dapat Dilakukan oleh Bank

E. Wawancara

Wawancara dengan Ibu Jumaliati, Kepala Bagian Legal dan SDM PT. Sarana Sumut Ventura Medan

Wawancara dengan Bapak Julfizar, Direktur PT. Sarana Sumut Ventura Medan


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Perusahaan Pasangan Usaha Dalam Perjanjian Pembiayaan Pola Bagi Hasil Pada Perusahaan Modal Ventura (Studi Pada Pt. Sarana Sumut Ventura)

9 131 132

KEGIATAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DALAM PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

0 4 6

KEGIATAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DALAM PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

0 6 6

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN PENYERTAAN MODAL ANTARA PT. SARANA SURAKARTA TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN PENYERTAAN MODAL ANTARA PT. SARANA SURAKARTA VENTURA DENGAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA.

0 1 28

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN PENYERTAAN MODAL ANTARA PT. SARANA SURAKARTA VENTURA DENGAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA.

0 1 22

KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN POLA BAGI HASIL ANTARA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA.

0 0 17

ANALISIS PENGARUH PEMBIAYAAN MODAL VENTURA TERHADAP PENDAPATAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA (PPU)

1 1 13

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN MODAL VENTURA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Pertanggungjawaban Perusahaan Pasangan Usaha Dalam Perjanjian Pembiayaan Pola Bagi Hasil Pada Perusahaan Modal Ventura (Studi Pada Pt. Sarana Sumut Ve

0 1 42

KATA PENGANTAR - Pertanggungjawaban Perusahaan Pasangan Usaha Dalam Perjanjian Pembiayaan Pola Bagi Hasil Pada Perusahaan Modal Ventura (Studi Pada Pt. Sarana Sumut Ventura)

0 0 23

KARAKTERISTIK PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PERUSAHAAN PASANGAN USAHA DAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA SKRIPSI

0 0 15