Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor

(1)

DI KABUPATEN BOGOR

FHENY FUZI LESTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(2)

PENERAPAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR

DI KABUPATEN BOGOR

FHENY FUZI LESTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(3)

Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan NINING PUSPANINGSIH.

Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung, tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor.

Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah. Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima peta tersebut di overlay dan dilakukan penghitungan skor kumulatif dengan menggunakan model pendugaan yang berasal dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tahun 2004, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor.

Penutupan lahan di daerah penelitian terdiri dari hutan, kawasan industri, kebun campuran/semak belukar, lahan kosong, perkebunan, pemukiman, sawah dan badan air. Daerah rawan longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu daerah kurang rawan longsor (17.879,40 ha / 17 %), daerah rawan longsor (78.128,16 ha / 74,5 %) dan daerah sangat rawan longsor (8.906,61 ha / 8,49 %). Ke tiga kelas kerawanan tersebut terdapat pada semua tipe penutupan lahan dengan jenis batuan yang mendominasi adalah bahan volkanik-1. Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat latosol kemerahan dengan kondisi curah hujan relatif sedang (2000-2500 mm/tahun). Daerah rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga curam, jenis tanah yang mendominasi podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan relatif tinggi (2500-3000 mm/tahun). Daerah sangat rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng landai hingga sangat curam, didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan sangat tinggi (>3000 mm/tahun).

Nanggung dan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki kelas kerawanan daerah rawan longsor dan daerah sangat rawan longsor. Kecamatan Nanggung memiliki daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 1.340,01 ha. Sementara itu, kecamatan Pamijahan memiliki daerah rawan longsor seluas 8.221,73 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan longsor tersebar luas terutama disekitar kecamatan Babakan Madang yaitu 4.201,35 ha. Kata Kunci : Pemetaan, Rawan longsor


(4)

SUMMARY

FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Geographic Information System Application In Mapping Areas With A Certain Of Landslide Potency In Bogor Regency. Under Supervision of NINING PUSPANINGSIH.

Landslide soil is result of disturbance in the balance that cause movement of soil mass and rock to a lower place. Mountainous topography, high number of settlement in mountainous area, with an incorrect use of land is several factors that have a bad impact to the ecosystem. Various actions need to be carried out to minimalize the negative consequences due to each landslide case. This effort will allow related to one of it is mapping and identification each area that I potent to landslide event. This effort will provide a better picture of the region and allow a better observation based on the factor that cause landslide.

An area that is potent to landslide is categorized based on five perimeters: level of rainfall, land coverage, geology, slope, and soil condition. Each perimeter are scored based on its impact on landslide case in the areas that became due object of this studies. Higher score means higher effect of the perimeter to cause landslide. There are 5 (five) map that is used, each contain one of the five perimeter. Those maps are overlayed and cumulatively scored by estimation method of 2004 Vulcanology and Geological Disaster Mitigation Directorat , that result a map of landslide area distribution.

Land coverage in areas of research consists of forest, industrial area, mixed plantation/bush, abandoned land, plantation area, settlement, rice cultivation, and water body. Areas potent to landslide are classified into three classes, which is areas that is lest potent to landslide (17.879, 40 hectare/17%), intermediate potent to landslide (78.128,6 hectare / 74,5%) and highly potent to landslide (8.906,61 hectare / 8,49%). Each land coverage contain all three classes of landslide potention (from low, intermediate, and high potention) with volcanic-1 material dominating the type of rocks. Areas with a low potention to landslide occurs in flat to a relatively steep slope with the type soil that dominating is association of brown latosol and reddish latosol and iintermediate level of rainfall intensity (2000-2500 mm per annum). Areas with an intermediate potention to landslide are identified in areas with flat to steep slope, yellowish red podsolic soil type , and rainfall intensity that is relatively high (2500-3000 mm annually). Areas that has a high potention of llandslide happens in areas that is has a very steep slope, dominated by yellowish red podsolic soil type and very intense rainfall (more than 3.000 mm per year).

Nanggung and Pamijahan district is largest area that has an intermediate high potention to landslide. There are 10.963,46 hectare of area that have an intermediate potention and 1.340,01 hectare of area that is highly potention to landslide in Nanggung district. Pamijahan district have an area of 8.221,73 hectares with a medium potention and 3.823,66 hectares with a high potention to landslide. An area that is less potention is widely identified around Babakan Madang district with a total 4.201,35 hectare.


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2008

Fheny Fuzi Lestari NRP E14103014


(6)

Judul : Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor

Nama : Fheny Fuzi Lestari

NRP : E14103014

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dra. Nining Puspaningsih, M.Si NIP. 131 918 662

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Dr.Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP.131 578 788


(7)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 26 Februari 1986 dari pasangan Patullah, S.Pd dan Euis Nurhayati. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1989 di TK Ibnu Sina dan lulus pada tahun 1991. Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah dasar di SDN Cibening 1 (tahun 1991-1997), sekolah menengah pertama di SMPN 1 Cibungbulang (tahun 1997-2000), serta sekolah menengah umum di SMA KORNITA (tahun 2000-2003).

Pada tahun yang sama (2003) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama masa studi di IPB, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Ngawi, BKPH Getas Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Agustus – September 2006, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada bulan April – Mei 2007 di HPHTI PT. Arara Abadi (Sinar Mas Group) Provinsi Riau.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih, M.Si.


(8)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor.

Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat berguna dalam pemanfaatannya di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan yang dapat berguna bagi kita semua. Penelitian ini dibimbing oleh Dra. Nining Puspaningsih, M.Si.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.

Bogor, Maret 2008 Penulis


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam perjalanan menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.

2. Papa dan mama, yang selalu memberikan dukungan dan doa

3. Septiana dan Fathur atas semangat dan semua keceriaan yang sudah diberikan sejak kecil hingga saat ini.

4. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si. Selaku dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

5. Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan.

6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan ucapan terima kasih.

7. Bapak Uus Saeful M. dan Mas Ewink atas ilmu dan bantuannya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini.

8. Maria Oktavia Peo Gambe, Novita Diah Arianti, Shinta Dewi Wisnu Wijayanti dan Melda Rianita Aruan. Terima kasih untuk seikat persahabatan, keceriaan, dan saat-saat indah yang pernah kita lalui bersama selama ini. 9. Aa Yana dan Botak yang selalu memberikan dukungan, doa, perhatian,

kesabaran dan kasih sayangnya selama ini.

10.Edy Saefrudin yang sudah membantu dalam pelaksanaan ground check

11.Teman satu perjuangan Danil dan Anna..terima kasih untuk kebersamaan kita semenjak P3h, PKL, penelitian sampai selesainya skripsi ini

12.Seluruh MNH’40 : Ariz, Ichal, Agus, Nur, Ubai gila, Tante Lita, Aa Yandi, Dhani, Zae, Elza, Maya, Broto, Achi, Latifah, Alim, Dwi, Irwan, Aziz, Dedi, Dede, Dali, Azam, Tegar, Okky, Eko (Alm), Beno, Abu, Ika, dan Guruh.


(10)

iii

Terima kasih atas semangat, keceriaan dan kenangan indah selama masa kuliah.

13.Keluarga besar ForsGe : Adila, Dega, Bety, Arfan, Adit, Iis, Hery, Asep, Anggit, Faery, Aan, Heru, Nanik, Nur, Mba Desy dan Mba. Siti. Terima kasih untuk keceriaan dan kebersamaan kita selama ini

14.Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik selama kuliah maupun penelitian yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.


(11)

DI KABUPATEN BOGOR

FHENY FUZI LESTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(12)

PENERAPAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR

DI KABUPATEN BOGOR

FHENY FUZI LESTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008


(13)

Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan NINING PUSPANINGSIH.

Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung, tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor.

Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah. Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima peta tersebut di overlay dan dilakukan penghitungan skor kumulatif dengan menggunakan model pendugaan yang berasal dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tahun 2004, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor.

Penutupan lahan di daerah penelitian terdiri dari hutan, kawasan industri, kebun campuran/semak belukar, lahan kosong, perkebunan, pemukiman, sawah dan badan air. Daerah rawan longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu daerah kurang rawan longsor (17.879,40 ha / 17 %), daerah rawan longsor (78.128,16 ha / 74,5 %) dan daerah sangat rawan longsor (8.906,61 ha / 8,49 %). Ke tiga kelas kerawanan tersebut terdapat pada semua tipe penutupan lahan dengan jenis batuan yang mendominasi adalah bahan volkanik-1. Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat latosol kemerahan dengan kondisi curah hujan relatif sedang (2000-2500 mm/tahun). Daerah rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga curam, jenis tanah yang mendominasi podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan relatif tinggi (2500-3000 mm/tahun). Daerah sangat rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng landai hingga sangat curam, didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan sangat tinggi (>3000 mm/tahun).

Nanggung dan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki kelas kerawanan daerah rawan longsor dan daerah sangat rawan longsor. Kecamatan Nanggung memiliki daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 1.340,01 ha. Sementara itu, kecamatan Pamijahan memiliki daerah rawan longsor seluas 8.221,73 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan longsor tersebar luas terutama disekitar kecamatan Babakan Madang yaitu 4.201,35 ha. Kata Kunci : Pemetaan, Rawan longsor


(14)

SUMMARY

FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Geographic Information System Application In Mapping Areas With A Certain Of Landslide Potency In Bogor Regency. Under Supervision of NINING PUSPANINGSIH.

Landslide soil is result of disturbance in the balance that cause movement of soil mass and rock to a lower place. Mountainous topography, high number of settlement in mountainous area, with an incorrect use of land is several factors that have a bad impact to the ecosystem. Various actions need to be carried out to minimalize the negative consequences due to each landslide case. This effort will allow related to one of it is mapping and identification each area that I potent to landslide event. This effort will provide a better picture of the region and allow a better observation based on the factor that cause landslide.

An area that is potent to landslide is categorized based on five perimeters: level of rainfall, land coverage, geology, slope, and soil condition. Each perimeter are scored based on its impact on landslide case in the areas that became due object of this studies. Higher score means higher effect of the perimeter to cause landslide. There are 5 (five) map that is used, each contain one of the five perimeter. Those maps are overlayed and cumulatively scored by estimation method of 2004 Vulcanology and Geological Disaster Mitigation Directorat , that result a map of landslide area distribution.

Land coverage in areas of research consists of forest, industrial area, mixed plantation/bush, abandoned land, plantation area, settlement, rice cultivation, and water body. Areas potent to landslide are classified into three classes, which is areas that is lest potent to landslide (17.879, 40 hectare/17%), intermediate potent to landslide (78.128,6 hectare / 74,5%) and highly potent to landslide (8.906,61 hectare / 8,49%). Each land coverage contain all three classes of landslide potention (from low, intermediate, and high potention) with volcanic-1 material dominating the type of rocks. Areas with a low potention to landslide occurs in flat to a relatively steep slope with the type soil that dominating is association of brown latosol and reddish latosol and iintermediate level of rainfall intensity (2000-2500 mm per annum). Areas with an intermediate potention to landslide are identified in areas with flat to steep slope, yellowish red podsolic soil type , and rainfall intensity that is relatively high (2500-3000 mm annually). Areas that has a high potention of llandslide happens in areas that is has a very steep slope, dominated by yellowish red podsolic soil type and very intense rainfall (more than 3.000 mm per year).

Nanggung and Pamijahan district is largest area that has an intermediate high potention to landslide. There are 10.963,46 hectare of area that have an intermediate potention and 1.340,01 hectare of area that is highly potention to landslide in Nanggung district. Pamijahan district have an area of 8.221,73 hectares with a medium potention and 3.823,66 hectares with a high potention to landslide. An area that is less potention is widely identified around Babakan Madang district with a total 4.201,35 hectare.


(15)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2008

Fheny Fuzi Lestari NRP E14103014


(16)

Judul : Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor

Nama : Fheny Fuzi Lestari

NRP : E14103014

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dra. Nining Puspaningsih, M.Si NIP. 131 918 662

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Dr.Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP.131 578 788


(17)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 26 Februari 1986 dari pasangan Patullah, S.Pd dan Euis Nurhayati. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1989 di TK Ibnu Sina dan lulus pada tahun 1991. Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah dasar di SDN Cibening 1 (tahun 1991-1997), sekolah menengah pertama di SMPN 1 Cibungbulang (tahun 1997-2000), serta sekolah menengah umum di SMA KORNITA (tahun 2000-2003).

Pada tahun yang sama (2003) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama masa studi di IPB, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Ngawi, BKPH Getas Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Agustus – September 2006, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada bulan April – Mei 2007 di HPHTI PT. Arara Abadi (Sinar Mas Group) Provinsi Riau.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih, M.Si.


(18)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor.

Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat berguna dalam pemanfaatannya di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan yang dapat berguna bagi kita semua. Penelitian ini dibimbing oleh Dra. Nining Puspaningsih, M.Si.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.

Bogor, Maret 2008 Penulis


(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam perjalanan menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.

2. Papa dan mama, yang selalu memberikan dukungan dan doa

3. Septiana dan Fathur atas semangat dan semua keceriaan yang sudah diberikan sejak kecil hingga saat ini.

4. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si. Selaku dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

5. Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan.

6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan ucapan terima kasih.

7. Bapak Uus Saeful M. dan Mas Ewink atas ilmu dan bantuannya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini.

8. Maria Oktavia Peo Gambe, Novita Diah Arianti, Shinta Dewi Wisnu Wijayanti dan Melda Rianita Aruan. Terima kasih untuk seikat persahabatan, keceriaan, dan saat-saat indah yang pernah kita lalui bersama selama ini. 9. Aa Yana dan Botak yang selalu memberikan dukungan, doa, perhatian,

kesabaran dan kasih sayangnya selama ini.

10.Edy Saefrudin yang sudah membantu dalam pelaksanaan ground check

11.Teman satu perjuangan Danil dan Anna..terima kasih untuk kebersamaan kita semenjak P3h, PKL, penelitian sampai selesainya skripsi ini

12.Seluruh MNH’40 : Ariz, Ichal, Agus, Nur, Ubai gila, Tante Lita, Aa Yandi, Dhani, Zae, Elza, Maya, Broto, Achi, Latifah, Alim, Dwi, Irwan, Aziz, Dedi, Dede, Dali, Azam, Tegar, Okky, Eko (Alm), Beno, Abu, Ika, dan Guruh.


(20)

iii

Terima kasih atas semangat, keceriaan dan kenangan indah selama masa kuliah.

13.Keluarga besar ForsGe : Adila, Dega, Bety, Arfan, Adit, Iis, Hery, Asep, Anggit, Faery, Aan, Heru, Nanik, Nur, Mba Desy dan Mba. Siti. Terima kasih untuk keceriaan dan kebersamaan kita selama ini

14.Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik selama kuliah maupun penelitian yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bencana Tanah Longsor... 5

2.1.1 Definisi... 5

2.1.2 Tanah longsor... 6

2.1.3 Faktor penyebab longsor ... 8

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 11

2.2.1 Definisi... 11

2.2.2 Komponen SIG ... 12

2.2.3 Cara kerja SIG... 13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

3.2 Alat dan Bahan... 15

3.3 Metode Penelitian ... 17

3.3.1 Pengumpulan data ... 17

3.3.2 Pengolahan data spasial... 17

3.3.3 Analisis data spasial ... 19

3.3.4 Analisis daerah rawan longsor ... 23

BAB IV Kondisi Umum Lokasi 4.1 Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian... 25


(22)

v

4.3 Tanah... 26 4.4 Geologi... 26 4.5 Penutupan Lahan... 26 4.6 Iklim ... 27 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor... 28 5.1.1 Curah hujan ... 28 5.1.2 Geologi... 30 5.1.3 Jenis tanah ... 32 5.1.4 Kemiringan lereng... 34 5.1.5 Penutupan lahan ... 36 5.2 Analisis Kerawanan Tanah Longsor ... 39 5.2.1 Daerah kurang rawan longsor ... 42 5.2.2 Daerah rawan longsor ... 44 5.2.3 Daerah sangat rawan longsor ... 47 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 51 6.2 Saran... 52 PUSTAKA ACUAN ... 53 LAMPIRAN... 55


(23)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Pengkelasan kemiringan lereng... 19 2. Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah ... 20 3. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi ... 20 4. Pembagian kelas jenis tanah ... 20 5. Klasifikasi intensitas curah hujan ... 21 6. Kelas penutupan lahan ... 22 7. Pengkelasan jenis batuan ... 22 8. Jumlah sample yang diambil pada setiap kelas kerawanan ... 24 9. Keadaan topografi di daerah penelitian... 25 10. Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian... 26 11. Jenis batuan yang terdapat di daerah penelitian... 26 12. Pola penutupan lahan di daerah penelitian... 27 13. Luas curah hujan daerah penelitian... 28 14. Luas formasi geologi daerah penelitian ... 30 15. Luas jenis tanah daerah penelitian ... 32 16. Luas kelas kemiringan lereng daerah Penelitian... 34 17. Luas penutupan lahan daerah penelitian ... 36 18. Luas tingkat daerah rawan longsor di daerah penelitian... 39


(24)

vii

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Peta lokasi penelitian... 16 2. Bagan alir tahap penelitian... 18 3. Peta curah hujan ... 29 4. Peta geologi... 31 5. Peta tanah ... 33 6. Peta kelas kemiringan lereng ... 35 7. Peta penutupan lahan... 38 8. Peta tingkat daerah rawan longsor ... 40 9. Peta titik survey... 41 10. Lokasi longsor di daerah kurang rawan longsor ... 44 11. Lokasi longsor di daerah rawan longsor ... 47 12. Lokasi longsor di daerah sangat rawan longsor ... 50


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat ... 55 2. Desa-desa yang termasuk dalam lokasi penelitian... 56 3. Luas kelas kerawanan per faktor penyebab longsor ... 61


(26)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pada masa 10 tahun terakhir ini, Kabupaten Bogor sebagai salah satu “hinterland” yang terletak di bagian selatan Jakarta untuk sektor pemukiman, industri maupun pariwisata. Tanpa disadari, perkembangan tersebut ternyata merupakan ancaman bagi keberadaan fungsi Kabupaten Bogor sebagai daerah konservasi air dan tanah. Perubahan penutupan lahan dan vegetasi yang sekaligus meningkatkan wilayah pemukiman serta industri mempunyai andil yang cukup signifikan dalam penurunan fungsinya sebagai daerah resapan.

Penurunan luas hutan dan peningkatan lahan kosong terjadi selama rentang waktu 5 tahun (dari tahun 1998 ke tahun 2003), dimana luas hutan/vegetasi lebat di kawasan hutan produksi menurun seluas 1.502 Ha (dari 4.385 Ha menjadi 2.883 Ha). Luas tanah kosong meningkat cukup drastis yaitu dari 13.508 Ha menjadi 23.748 Ha, sedangkan luas tutupan hutan/vegetasi lebat menurun sekitar 1.357 Ha (dari 8.594 Ha menjadi 7.237 Ha). ( Jaya et al. 2003)

Peluang perubahan lahan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang–Bekasi (Jabotabek) baik yang disebabkan oleh pertambahan alami (pertumbuhan penduduk), maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan sumberdaya alam lahan yang meningkat. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi dan mengganggu pemanfaatan lahan dan keseimbangan ekosistem di wilayah Jabotabek. Akibat selanjutnya adalah terjadinya dampak yang sering bersifat negatif seperti bencana alam berupa banjir, erosi maupun tanah longsor.

Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997).


(27)

Elemen-elemen yang ikut berpengaruh terhadap terjadinya longsor adalah intensitas curah hujan, jenis tanah, faktor geologi atau batuan penyusunnya, penutupan lahan yang terjadi dan kemiringan lahan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng dan penambangan.

Sepanjang tahun 1998-2006 tercatat berbagai bencana alam terjadi di Indonesia, antara lain tanah longsor, banjir, badai, gunung meletus, tsunami dan kebakaran hutan. Dan menurut Bakornas (2004) dari seluruh kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu lima tahun (1998-2003) tercatat 85% adalah kejadian longsor dan banjir.

Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Disamping itu, juga disebabkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lain yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik.

Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan rawan longsor di provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota, antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002, diacu dalam Alhasanah 2006). Wilayah rawan longsor di provinsi Jawa Barat secara lengkap per kecamatan disajikan pada Lampiran 1.

Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan padat penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat kejadian


(28)

3

tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya.

Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor. Salah satu kegiatan mitigasi bencana tanah longsor adalah pemetaan daerah rawan tanah longsor skala nasional dan skala wilayah/daerah. Peta ini secara umum dapat dijadikan panduan bagi pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor di suatu wilayah.

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan teknologi yang mempunyai kemampuan untuk memasukkan, mengelola, manipulasi dan melakukan analisis data ruang spasial misalnya tanah, curah hujan, ataupun kemiringan lereng. Teknik SIG adalah merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai teknik analisis yang menghasilkan informasi tentang berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya tanah longsor di suatu daerah. Melalui proses penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) dengan sistem skoring atau pembobotan dari masing-masing parameter akan menghasilkan bobot nilai baru yang akan menentukan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kejadian tanah longsor. Informasi akhir dari proses tersebut dapat menghasilkan peta sebaran daerah rawan longsor yang dapat dijadikan sumber informasi bagi pihak-pihak yang terkait.

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Memetakan tingkat daerah rawan longsor 2. Melakukan analisis daerah rawan longsor


(29)

1.3Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi yang termuat dalam bentuk peta mengenai daerah rawan longsor dan memberikan peringatan sedini mungkin (early warning system) atau antisipasi terhadap kemungkinan kejadian longsor sehingga dapat mengurangi jumlah kerugian yang akan ditimbulkan dan juga dapat membantu pemerintah dalam perencanaan pengembangan wilayah serta mempercepat pengambilan keputusan dalam pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Selain itu juga sebagai salah satu bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Tanah Longsor 2.1.1 Definisi

Quarantelli (1998) diacu dalam Alhasanah (2006) memberikan pengertian bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar.

Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.

Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat disuatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard

mempunyai kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah jadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan.


(31)

2.1.2 Tanah longsor

Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja disepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng karena penyerapan air hujan dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak mengokupasi tanah-tanah berlereng sangat berpengaruh terhadap peningkatan resiko longsor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara lain: tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi dan aktivitas manusia di wilayah tersebut (Sutikno 1997).

Cruden (1991) diacu dalam Alhasanah (2006) mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan pencampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur.

Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini, besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (kelerengan). Semakin besar kelerengan, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu juga sebaliknya.

Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau batuan. kondisi tersebut sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari


(32)

7

keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Suryolelono 2005, diacu dalam Alhasanah 2006).

Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut: a. Komposisi dan tekstur material

b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan seragam

c. Reaksi kimia

d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung e. Pengaruh tekanan air pori

f. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.

Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain:

a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan kemiringan lereng, dan pemotongan lereng

b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan diatas lereng dan genangan air di atas lereng

c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan

d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, penambangan batuan, pembuatan terowongan dan eksploitasi air tanah berlebihan

e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antar butiran tanah dan pengembangan tanah

f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antar batuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar dan perlapisan batuan yang terlampau miring

g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah


(33)

dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang kompak

h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong munculnya pergerakan tanah atau longsor

i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai penahan masa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tersebut tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor.

2.1.3 Faktor penyebab longsor

Terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya satu volume tanah di atas satu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncuran (Arsyad 1989).

Karnawati (2003) diacu dalam Febriana (2004) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka semakin besar


(34)

9

volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara gemuruh.

Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor (Suryolelono 2005, diacu dalam Purnamasari 2007).

Menurut Arsyad (1989) longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut:

a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau meluncur ke bawah

b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan lunak, yang akan menjadi bidang luncur

c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.

Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi atau dapat juga berupa lapisan batuan, seperti Napal Liat (Clay shale). Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) faktor alam dan faktor manusia merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor. a. Faktor alam

Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi, erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke atas lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran.


(35)

b. Faktor manusia

Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan hutan sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.

Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang seharusnya, dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk menyebabkan perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng bukit) yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki lereng, terjadinya kembang susut material pembentuk lereng, dan lain-lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.

Longsor merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai tindakan/perbuatan manusia (Sutedjo et al. 1985). Sehubungan dengan proses-prosesnya secara alami maupun buatan, dengan demikian secara keseluruhannya yang menjadi penyebab dan mempengaruhi besarnya laju longsor terdapat lima faktor utama dan satu faktor sebagai penyebab besarnya resiko terjadinya bencana longsor, yaitu :

1. Iklim 2. Tanah 3. Topografi

4. Penutupan lahan/vegetasi 5. Geologi atau jenis batuan 6. Kegiatan/aktivitas manusia.


(36)

11

Faktor-faktor penyebab tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama lainnya dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-faktor ini satu sama lainnya.

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.2.1 Definisi

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan data, pengelolaan atau manajemen data (menyimpan atau pengaktifan kembali), analisis dan manipulasi data serta keluaran data. Pemasukan data ke dalam SIG dilakukan dengan cara digitasi dan tabulasi (Aronoff 1989, diacu dalam Prahasta 2001).

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis informasi yang bereferensi geografis (Jaya 2002).

Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya dalam menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format dan tingkat ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran, dapat dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam pemetaan bahaya longsoran adalah kemampuannya menumpang-tindihkan longsoran dalam unit peta tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif (Barus 1999).


(37)

2.2.2 Komponen SIG

Menurut Lo (1995) SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.

Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada tiga kategori data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu: Alfanumerik, Piktorial atau grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo 1995).

Gistut (1994) diacu dalam Prahasta (2001) menyatakan bahwa SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem ini terdiri dari beberapa komponen, yaitu:

1. Perangkat keras (hardware)

SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC (personal computer) desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (hard disk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah computer (PC),

mouse, keyboard, digitizer, printer, scanner dan CD-Writer. 2. Perangkat lunak (software)

SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul


(38)

13

program yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. Saat ini terdapat banyak sekali perangkat lunak SIG baik yang berbasis vektor maupun yang berbasis raster. Nama perangkat lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO, Arc VIEW, Map INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat lunak SIG yang berbasis raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS dan sebagainya.

3. Data-data geografis

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.

4. Manajemen

Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah sumberdaya manusia yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia ini adalah untuk menjalankan sistem yang meliputi pengoperasian perangkat keras dan perangkat lunak, serta menangani data geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia juga merupakan sistem analis yang menerjemahkan permasalahan riil di permukaan bumi dengan bahasa SIG, sehingga permasalahan tersebut bisa teridentifikasi dan memiliki pemecahannya.

2.2.3 Cara kerja SIG

SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas. Tetapi, SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang dipresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya taman, sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa berupa titik, garis dan polygon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya.

SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut basis data. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya dalam tabel-tabel. Setelah itu SIG menghubungkan unsur-unsur diatas dengan tabel-tabel


(39)

bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atributnya. Karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan berdasarkan atribut-atributnya.

SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administratif, perkebunan dan hutan merupakan contoh layer. Kumpulan layer tersebut membentuk basis data SIG. Dengan demikian, perancangan basis data akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran (Prahasta 2001).

SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Klasifikasi/Reklasifikasi

Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.

b. Overlay

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau polygon yang terbentuk dari irisan dari beberapa peta. Selain itu, Overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan.


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2007, dengan lokasi penelitian di 18 Kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Babakan Madang, Caringin, Ciampea, Ciawi, Cibungbulang, Cigombong, Cijeruk, Ciomas, Cisarua, Dramaga, Leuwiliang, Leuwisadeng, Mega Mendung, Nanggung, Pamijahan, Sukaraja, Tamansari dan Tenjolaya, yang disajikan pada Gambar 1. Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

3.2Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah perangkat keras (hardware) terdiri dari PC Komputer, Printer dan Scanner. Perangkat lunak (software) terdiri dari Arc View versi 3.2 dan MS-Office, selain itu juga digunakan GPS (Global Positioning System), kamera dan alat tulis.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:

1. Peta digital Rupa Bumi Bogor Skala 1: 250.000, BAKOSURTANAL,Bogor 2. Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000 tahun 1998 diperoleh dari Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor

3. Peta digital Curah Hujan Bogor Skala 1 : 100.000 tahun 2003 diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor

4. Peta digital Kontur Bogor tahun 2001 , BAKOSURTANAL,Bogor

5. Peta digital Jenis Tanah Bogor Skala 1 : 250.000 tahun 2002 diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor

6. Peta digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor tahun 2003 skala 1 : 100.000 7. Peta digital Administrasi kabupaten Bogor (Bapeda Bogor, 2005)


(41)

(42)

17

3.3Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan data

Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dasar berupa peta-peta pendukung, studi pustaka dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan sejarah kejadian tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi ke instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang kejadian tanah longsor.

Selain itu juga diperlukan data yang menyatakan posisi keberadaan suatu tempat di permukaan bumi dalam bentuk koordinat yang disebut Ground Control Points (GCP). Data GCP didapatkan dengan melakukan survey langsung di lapangan. Data GCP ini selanjutnya dijadikan acuan dalam validasi kejadian longsor di daerah penelitian.

3.3.2 Pengolahan data spasial

Data spasial dalam SIG dipresentasikan dalam dua format, yaitu format vektor dan format raster. Data spasial itu sendiri merupakan data yang bersifat keruangan. Data yang telah dikumpulkan sebelumnya dalam format vektor berupa peta analog, yaitu Peta Geologi dan data GPS lokasi kejadian longsor. Peta analog tersebut selanjutnya dikonversi menjadi peta digital melalui proses digitasi on screen, kemudian dilakukan koreksi geometri atau georeferensi. Proses pemasukan data GPS dan peta analog dilakukan melalui seperangkat komputer dengan software Arc View 3.2.

Koreksi geometri atau georeferensi merupakan proses memproyeksi peta ke dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman data-data ke dalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah proses pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTM (Universal Transverse Mercator) datum WGS 84 dan zone 48S, menggunakan software ArcView versi 3.2 dengan extension Projection Utility Wizard.

Setelah proses koreksi terhadap peta selesai, maka dilanjutkan dengan pemotongan peta untuk menentukan daerah penelitian, dengan acuan peta batas administrasi desa Kabupaten Bogor.


(43)

Gambar 2 Bagan Alir Tahap Penelitian Persiapan dan pengumpulan data

Peta digital Peta analog

Proses Digitasi dan Georeferensi

Peta Curah Hujan

Peta Geologi Peta Lereng Peta Penutupan Lahan

Peta Kelas Lereng Peta Kelas

Tanah

Peta Kelas Curah Hujan Peta Kelas

Penutupan Lahan Peta Kelas

Geologi

Peta Tanah Peta Geologi

Analisis spasial daerah rawan longsor

Ground check Mulai

Peta tingkat daerah rawan longsor


(44)

19

3.3.3 Analisis data spasial

Setelah semua data spasial dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk peta digital, kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pembobotan pada setiap parameter. Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, topografi, curah hujan dan geologi (batuan induk).

Derajat dan panjang lereng adalah unsur yang mempengaruhi terjadinya longsor. Semakin tinggi derajat lereng maka akan memberikan bahaya rawan longsor yang lebih tinggi, sehingga diberi nilai bobot yang paling tinggi. Pemberian skor dan pengkelasan lereng dapat dibagi dalam lima kelas yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Pengkelasan kemiringan lereng

No Kelas (%) Bentuk lereng Skor

1. 0-8 Datar 1

2. 8-15 Landai 2

3. 15-25 Agak curam 3

4. 25-45 Curam 4

5. > 45 Sangat curam - Tegak 5

Sumber: Nicholas and Edmunson (1975) dalam Purnamasari (2007)

Pemberian skor kerawanan tanah longsor untuk masing-masing kelas jenis tanah didasarkan pada ciri morfologi tanah berupa tekstur tanah (pasir, debu dan lempung) dan sifat permeabilitasnya yang disajikan pada Tabel 2. Selain itu dipengaruhi juga oleh tingkat kepekaan tanah terhadap erosi yang dapat menyebabkan longsor, yang disajikan pada Tabel 3. Jenis tanah yang memiliki potensi untuk terjadinya longsor terutama bila terjadi hujan adalah jenis tanah yang kurang padat dalam hal ini adalah tanah yang mempunyai tekstur pasir dan tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5m. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. Air permukaan yang meresap ke dalam lapisan tanah yang mempunyai tekstur pasir akan mempercepat kondisi tanah tersebut menjadi jenuh air dan menjadi labil serta pada kemiringan lereng yang relatif curam akan mempermudah terjadinya tanah longsor. Pemberian skor dan pembagian kelas jenis tanah disajikan pada Tabel 4.


(45)

Tabel 2 Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah

No Jenis tanah Tekstur Permeabilitas

1. Aluvial Liat; pasir < 50% Rendah

2. Glei Humik Lempung hingga liat Rendah

3. Latosol Liat, tetap dari atas hingga ke bawah Tinggi

4. Andosol Lempung hingga debu Tinggi

5. Litosol Aneka, umumnya berpasir Aneka

6. Regosol Pasir, kadar liat < 40% Tinggi

Sumber: Soepraptohardjo (1961)

Tabel 3 Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi

Kelas Jenis tanah Kepekaan Tanah

1. Aluvial, Gleisol, Planosol, Hidromorf kelabu, Laterik air tanah

Tidak peka

2. Latosol Agak peka

3. Brown forest soil, Non calcik brown, Mideteranian Agak peka 4. Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolik Peka

5. Regosol, Litosol, Renzina Sangat peka

Sumber: Rahim, S.Effendi (2000)

Tabel 4 Pembagian kelas jenis tanah

No Jenis tanah Skor

1. Aluvial 1

2. Asosiasi latosol coklat latosol kekuningan, asosiasi latosol merah latosol coklat kemerahan, kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan asosiasi latosol coklat latosol kemerahan.

2

3. Asosiasi latosol coklat regosol 3

4. Andosol, podsolik merah kekuningan, asosiasi andosol regosol, podsolik kekuningan dan podsolik merah.

4

5. Regosol 5

Sumber: PUSLITANAK (1976)

Pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras namun berlangsung terus menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat (1-2 jam). (Subhan, 2006). Faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, mencakup terjadinya peningkatan curah hujan (tekanan air pori bertambah besar, kandungan air dalam tanah naik dan terjadi pengembangan lempung dan mengurangi tegangan geser, lapisan tanah jenuh air), rembesan air yang masuk dalam retakan tanah serta genangan air. Adanya pengaruh curah hujan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gerakan tanah sehingga daerah yang mempunyai curah


(46)

21

hujan yang tinggi relatif akan memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih tinggi. Penentuan skor dan pembagian kelas intensitas curah hujan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi intensitas curah hujan

No Intensitas hujan (mm/tahun) Parameter Skor

1. 2.000 – 2.500 Sedang/lembab 1

2. 2.500 – 3.000 Basah 2

3. > 3.000 Sangat basah 3

Sumber: PUSLITANAK (2004)

Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan bumi dalam hal ini adalah pemetaan. Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand 1990). Karena keterbatasan data maka pada penelitian ini digunakan data penutupan lahan. Pengaruh penutupan lahan terhadap terjadinya gerakan tanah longsor merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan, dimana penutupan lahan yang langsung berhubungan dengan kemungkinan menyebabkan terjadinya tanah longsor diberikan nilai bobot yang paling tinggi sedangkan daerah yang masih tertutup oleh hutan bila terkena gerakan tanah akan memberikan bahaya yang paling rendah sehingga dalam pembobotannya diberikan nilai bobot yang paling rendah. Ada beberapa pustaka yang digunakan untuk menentukan skoring parameter penutupan lahan yaitu menurut Subhan (2006), Febriana (2004), Alhasanah (2006) dan hasil wawancara dengan beberapa ahli di PUSLITANAK. Maka pada penelitian ini di buat justifikasi nilai skoring parameter penutupan lahan yang disesuaikan dengan lokasi penelitian. Penutupan lahan dibagi kedalam enam kelas dengan nilai skoring dapat dilihat pada Tabel 6.


(47)

Tabel 6 Kelas penutupan lahan

No Tipe penggunaan lahan Skor

1. Awan dan bayangan awan 0

2. Hutan / vegetasi lebat dan badan-badan air 1

3. Kebun campuran / semak belukar 2

4. Perkebunan dan sawah irigasi 3

5. Kawasan industri dan permukiman / perkampungan 4

6. Lahan-lahan kosong 5

Faktor geologi yang memicu terjadinya suatu longsor ditentukan oleh struktur batuan dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan erosi dan longsor yang dicirikan dengan jenis batuan. Jenis batuan yang menyusun suatu daerah mempunyai tingkat bahaya yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan besar butirnya, batuan yang berbutir halus pada umumnya mempunyai bahaya terhadap gerakan tanah yang lebih tinggi, sedangkan bila dilihat dari kekompakannya maka batuan yang kompak dan masif lebih kecil kemungkinan terkena gerakan tanah. Pengkelasan jenis batuan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengkelasan jenis batuan

No Jenis batuan Skor

1. Bahan Aluvial (Qav, Qa, a) 1

2. Bahan Volkanik-1 (Qvsl, Qvu, Qvcp, Qvl, Qvpo, Qvk, Qvba)

2

3. Bahan Sediment-1 (Tmn, Tmj) 3

4. Bahan Volkanik-2 (Qvsb, Qvst, Qvb, Qvt) dan bahan Sediment-2 (Tmb, Tmbl, Tmtb)

4

Sumber: PUSLITANAK (2004)

Cara untuk mengetahui sebaran daerah rawan tanah longsor dilakukan dengan menggunakan software Arc View 3.2. Dengan melakukan analisis tumpang susun (map overlay) peta – peta tematik yang merupakan parameter fisik penentu daerah rawan longsor, yaitu peta kelas lereng, peta geologi, peta jenis tanah, peta curah hujan dan peta penutupan lahan.

Penentuan tingkat daerah rawan longsor diperoleh dari pengolahan dan penjumlahan bobot nilai dari masing-masing parameter. Sehingga akan menghasilkan bobot nilai baru yang merupakan nilai potensi rawan longsor setelah parameter-parameter tersebut ditumpang susunkan (overlay).


(48)

23

Nilai skor kumulatif untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor diperoleh melalui model pendugaan sedangkan pemberian bobot untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor disesuaikan dengan faktor dominan atau faktor terbesar penyebab terjadinya tanah longsor.

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (2004) Curah hujan merupakan faktor dominan penyebab terjadinya bencana longsor sehingga nilainya lebih tinggi dari parameter lainnya. Curah hujan memiliki bobot sebesar 30% dari total pembobotan, sedangkan tanah dan geologi memiliki bobot yang sama yaitu 20% dan 15% merupakan bobot yang diberikan untuk faktor penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Model pendugaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Sumber: Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2004)

Berdasarkan hasil skor kumulatif maka daerah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; dan (iii) kurang rawan. Dengan skor kelas kerawanan:

1. Kurang rawan (≤ 2,5) 2. Rawan (≥ 2,6 – ≤ 3,6) 3. Sangat rawan (≥ 3,7)

3.3.4 Analisis daerah rawan longsor

Pada penelitian ini analisis daerah rawan longsor dilakukan dengan cara deskriptif yaitu melakukan pengecekan kejadian longsor yang ada di lapangan pada setiap tingkat kerawanan daerah rawan longsor. Ground check di lakukan secara purposif sampling pada setiap kelas kerawanan dengan jumlah sample yang diambil dapat dilihat pada Tabel 8.

Skor Kumulatif = (30% x Faktor Curah Hujan) + (20% x Faktor Tanah) + (20% x Faktor Geologi) + (15% x Faktor Penggunaan Lahan) + (15% x Faktor Kemiringan Lereng)


(49)

Tabel 8 Jumlah sample yang diambil pada setiap kelas kerawanan Titik koordinat

No. Kelas

kerawanan

Jumlah

sample X Y keterangan

1. Daerah kurang

rawan longsor 6

707382 707369 708068 708372 708577 717550 9259754 9259750 9259302 9258915 9259802 9259614 Cibedug 1 Cibedug 2 Cibedug 3 Cibedug 4 Bojong Murni Tugu Selatan

2. Daerah rawan

longsor 3

717982 710578 710569 9260715 926217 926218 Tugu Utara Kopo 1 Kopo 2

3. Daerah sangat

rawan longsor 4

667520 667557 667614 668361 926274 926362 926363 926527 Malasari Curug Bitung 1 Curug Bitung 2 Curug Bitung 3


(50)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan di 18 kecamatan yang dipilih berdasarkan daerah rawan longsor yang ada di Kabupaten Bogor. Daerah ini secara geografis terletak di antara 106º21' - 107º13' BT dan 6º19' - 6º47' LS. Secara administratif, batas-batas dari daerah penelitian adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kec.Cigudeg, Kec.Rumpin, Kec.Cibinong Sebelah Selatan : Banten, Cianjur, Sukabumi

Sebelah Barat : Kec. Sukajaya

Sebelah Timur : Kec. Citeureup, Kec. Sukamakmur

Luas derah penelitian sekitar 104.914,17 Ha yang mencakup 187 desa yang terletak di 18 kecamatan. Luas wilayah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Topografi

Kabupaten Bogor berada pada ketinggian berkisar antara 15-2.500 M Dpl, dengan penyebarannya sebagai berikut:

• Wilayah dataran rendah 15-100 m terletak diwilayah bagian Utara

• Wilayah dataran bergelombang 100-500 m terletak di wilayah bagian Tengah,

Pegunungan 500-1.000 m, serta pegunungan tinggi dan daerah Puncak 2.000-2.500 meter ada dibagian Selatan

Luas dan penyebaran kelas lereng daerah penelitian, disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9Keadaan topografi di daerah penelitian

No Kelas lereng Luas (ha)

1. 0-8 46.603,40

2. 8-15 16.371,19

3. 15-25 17.417,87

4. 25-45 22.231,29

5. >45 2.290,42


(51)

4.3 Tanah

Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Bogor khususnya didaerah penelitian terdiri dari 9 jenis. Luas dan penyebaran masing-masing jenis tanah di daerah penelitian di perlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian

No Jenis tanah Luas (ha)

1. Aluvial 1.387,36

2. Andosol 3.078,74

3. Assosiasi Latosol merah Latosol coklat kemerahan 6.570,31 4. Assosiasi Latosol coklat Latosol kekuningan 9.141,30

5. Assosiasi Andosol Regosol 1.605,54

6. Kompleks Latosol merah kekuningan Latosol coklat

kemerahan dan Litosol 6.662,93

7. Podsolik merah kekuningan 27.909,96

8. Podsolik kekuningan 2.433,69

9. Podsolik merah 5.243,27

10. Regosol 7.923,48

11. Tidak ada data 677,89

12. Assosiasi Latosol coklat Latosol kemerahan 16.727,23

13. Assosiasi Latosol coklat Regosol 15.552,45

Sumber : PUSLITANAK (2002)

4.4 Geologi

Wilayah Kabupaten Bogor dari struktur geologi tersusun dari jenis batuan Aluvial, Volkanik dan Sedimen. Luas dan penyebaran masing-masing batuan tersebut disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Jenis batuan yang terdapat di daerah penelitian

No Jenis batuan Luas (ha)

1. Bahan Aluvial 6.534,56

2. Bahan Sedimen-1 5.423,26

3. Bahan Sedimen-2 4.729,32

4. Bahan Volkanik-1 53.617,21

5. Bahan Volkanik-2 34.131,25

Sumber : PUSLITANAK (1998)

4.5 Penutupan Lahan

Penutupan lahan di kabupaten Bogor secara umum terdiri dari 9 jenis tutupan lahan. Luas dan penyebaran masing-masing jenis penutupan lahan disajikan pada Tabel 12.


(52)

27

Tabel 12 Pola penutupan lahan di daerah penelitian

No Tutupan lahan Luas (ha)

1. Awan dan bayangan awan 7.390,69

2. Badan-badan air 41,14

3. Hutan/vegetasi lebat 33.879,06

4. Kawasan Industri 601,51

5. Kebun campuran/semak belukar 53.934,03

6. Lahan-lahan kosong 503,62

7. Perkebunan 1.762,39

8. Permukiman/perkampungan 6.019,71

9. Sawah irigasi 782,02

Sumber : Hasil klasifikasi Citra Spot 5, K/J 284-363, 2003-07-10

4.6 Iklim

Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schimdt dan Ferguson termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian Selatan dan tipe B (Basah) di bagian Utara. Suhu berkisar rata-rata antara 200 C sampai 300 C. Curah hujan tahunan antara 2.500 mm sampai lebih dari 5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi curah hujannya kurang dari 2.500 mm/tahun.


(53)

5.1Parameter Penyebab Tanah Longsor 5.1.1 Curah hujan

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap kejadian longsor. Infiltrasi air hujan ke dalam lapisan tanah akan menjenuhi tanah dan melemahkan material pembentuk lereng sehingga memicu terjadinya longsor. Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi akan memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih tinggi.

Berdasarkan Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa daerah penelitian terbagi ke dalam 3 wilayah curah hujan rata-rata tahunan yaitu curah hujan dengan kisaran 2.000-2.500 mm/tahun dengan luasan 20.419,28 ha (19,46%), kisaran 2.500-3.000 mm/tahun dengan luas 71.706,70 ha (68,35%) dan kisaran >3.000 dengan luas 12.788,19 (12,19%). Curah hujan dengan kisaran 2.500-3.000 mm/tahun mendominasi daerah penelitian, hal ini berarti daerah penelitian berada pada kawasan yang mempunyai curah hujan rata-rata tahunan yang relatif tinggi. Sebaran spasial curah hujan dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 13 Luas curah hujan daerah penelitian

No Kelas curah hujan (mm/tahun) Luas (ha) Persentase (%) 1. 2.000-2.500 20.419,28 19,46 2. 2.500-3.000 71.706,70 68,35

3. >3.000 12.788,19 12,19

Jumlah 104.914,17 100


(54)

29


(55)

5.1.2 Geologi

Struktur batuan dan komposisi mineralogi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya longsor. Di daerah pegunungan, jenis batuan didominasi oleh bahan Sedimen dan Volkanik. Dimana batuan ini terbentuk dari batu liat, batu liat berkapur dan batu berkapur yang mempunyai sifat kedap air sehingga pada kondisi jenuh air dapat berfungsi sebagai bidang luncur pada kejadian longsor.

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor dari BPPT, batuan dasar/induk daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 satuan batuan yaitu Bahan Aluvial, Bahan Volkanik-1, Bahan Sedimen-1, Bahan Volkanik-2 dan Bahan Sedimen-2. Daerah penelitian didominasi oleh formasi geologi bahan vulkanik-1 yaitu 53.617,21 ha (51,34%) dari luas daerah penelitian sedangkan formasi geologi bahan Sedimen-2 merupakan formasi geologi dengan luasan terkecil di daerah penelitian dengan luasan 4.729,32 ha (4,53%) (Tabel 14). Sebaran spasial geologi di daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 4.

Tabel 14 Luas formasi geologi daerah penelitian

No Jenis batuan Luas (ha) Persentase (%)

1. Bahan Aluvial 6.534,56 6,23

2. Bahan Sedimen-1 5.423,26 5,17

3. Bahan Sedimen-2 4.729,32 4,51

4. Bahan Volkanik-1 53.617,21 51,10

5. Bahan Volkanik-2 34.131,25 32,50

6. Tidak ada data 478,57 0,46

Jumlah 104.914,17 100


(56)

31


(57)

5.1.3 Jenis tanah

Kedalaman atau solum, tekstur dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan.

Jenis tanah yang bersifat lempung dan pasir merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada diatas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka tanah tersebut akan berpotensi menggelincir menjadi longsor. Berdasarkan tabel 15 dapat dijelaskan bahwa jenis tanah yang mendominasi daerah penelitian adalah Podsolik merah kekuningan dengan luas 27.909,96 ha (26,6%), sedangkan jenis tanah Aluvial merupakan jenis tanah yang luasannya tersempit yaitu 1.387,36 ha (1,32%). Sebaran spasial jenis tanah di daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 5

Tabel 15 Luasan jenis tanah daerah penelitian

No Jenis tanah Luas (ha) Persentase (%)

1. Aluvial 1.387,36 1,32

2. Andosol 3.078,74 2,93

3. Assosiasi Latosol merah Latosol coklat

kemerahan 6.570,31 6,26

4. Assosiasi Latosol coklat Latosol

kekuningan 9.141,30 8,71

5. Assosiasi Andosol Regosol 1.605,54 1,53

6. Kompleks Latosol merah kekuningan

Latosol coklat kemerahan dan Litosol 6.662,93 6,35

7. Podsolik merah kekuningan 27.909,96 26,6

8. Podsolik kekuningan 2.433,69 2,32

9. Podsolik merah 5.243,27 5

10. Regosol 7.923,48 7,55

11. Tidak ada data 677,89 0,65

12. Assosiasi Latosol coklat Latosol

kemerahan 16.727,23 15,9

13. Assosiasi Latosol coklat Regosol 15.552,45 14,8

Jumlah 104.914,17 100


(58)

33


(59)

5.1.4 Kemiringan lereng

Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor adalah kemiringan lereng. Semakin curam lerengnya maka semakin besar dan semakin cepat longsor terjadi. Pada lereng > 40% longsor sering terjadi, terutama disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Namun pada kenyataannya tidak semua lahan/wilayah berlereng mempunyai potensi terjadinya longsor melainkan tergantung pada karakter lereng beserta materi penyusunnya terhadap respon tenaga pemicu, terutama respon lereng tersebut terhadap curah hujan, selain itu potensi terjadinya longsor tergantung dari keberadaan vegetasi pada kondisi lereng tersebut karena lereng mampu bertahan dalam kondisi kestabilan vegetasi yang terbatas.

Berdasarkan hasil pengolahan peta kontur daerah penelitian menjadi peta kelas lereng dengan menggunakan analisis DEM (Digital Elevation Model), daerah penelitian diklasifikasikan menjadi lima kelas kemiringan lereng, yaitu kelas kemiringan lereng datar dengan sudut lereng berkisar antara 0-8%, kelas kemiringan lereng landai (8-15%), kelas kemiringan lereng agak curam (15-25%), kelas kemiringan lereng curam (25-45%) dan kelas kemiringan lereng sangat curam (>45%). Kelas kemiringan lereng landai mendominasi daerah penelitian dengan luas sekitar 46.603,40 ha (44,4%) sedangkan kelas kemiringan lereng sangat curam merupakan kelas kemiringan dengan luasan terkecil di daerah penelitian luas sekitar 2.290,42 ha (2,18%) (Tabel 16). Sebaran spasial kemiringan lereng daerah penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.

Tabel 16 Luas kelas kemiringan lereng daerah penelitian

No Kelas lereng Luas (ha) Persentase (%)

1. 0-8 46.603,40 44,4

2. 8-15 16.371,19 15,6

3. 15-25 17.417,87 16,6

4. 25-45 22.231,29 21,2

5. >45 2.290,42 2,18

Jumlah 104.914,17 100


(60)

35


(1)

Warungmenteng 286,054

Jumlah 4.726,249

8 CIOMAS Ciapus 170,296

Ciomas 120,997

Ciomasrahayu 84,775

Kotabatu 249,386

Laladon 151,551

Mekarjaya 74,985

Padasuka 160,072

Pagelaran 206,865

Parakan 213,733

Sukaharja 192,342

Sukamakmur 188,449

Jumlah 1.813,451

9 CISARUA Batulayang 273,902

Cibeureum 1.086,448

Cilember 296,687

Cisarua 246,974

Citeko 583,042

Jogjogan 236,321

Kopo 659,464

Leuwimalang 131,534

Tugu Selatan 2.162,924

Tugu Utara 1.137,844

Jumlah 6815,14

10 DRAMAGA Babakan 392,305

Ciherang 266,934

Cikarawang 283,365

Dramaga 217,071

Neglasari 190,059

Petir 328,266

Purwasari 222,266

Sinarsari 130,405

Sukadamai 361,416

Sukawening 243,176

Jumlah 2.635,263

11 LEUWILIANG Barengkok 545,757

Cibeber I 453,163

Cibeber II 560,761

Karacak 694,573

Karehkel 453,476

Karyasari 461,218


(2)

Leuwimekar 317,438

Pabangbon 1.320,225

Purasari 2.186,472

Puraseda 1.608,494

Jumlah 8.877,273

12 LEUWISADENG Babakansadeng 366,932

Kalong I 353,664

Kalong II 301,798

Leuwisadeng 542,367

Sadeng 629,167

Sadengkolot 531,643

Sibanteng 563,458

Wangunjaya 248,395

Jumlah 3.537,424

13 MEGAMENDUNG Cipayungdatar 972,972

Cipayunggirang 192,684

Gadog 191,574

Kuta 552,486

Megamendung 2.495,278

Sukagalih 405,646

Sukakarya 435,046

Sukamahi 258,211

Sukamaju 247,796

Sukamanah 189,611

Sukaresmi 301,506

Jumlah 6242,81

14 NANGGUNG Bantarkaret 3.016,813

Cisarua 1.354,432

Curugbitung 1353,92

Hambaro 239,252

Kalongliud 434,722

Malasari 4.585,538

Nanggung 1.093,214

Pangkaljaya 369,603

Parakanmuncang 670,704

Sukaluyu 383,537

Jumlah 13.501,735

15 PAMIJAHAN Ciasihan 934,035

Ciasmara 2.908,299

Cibening 329,892

Cibitungkulon 308,491

Cibitungwetan 315,934


(3)

Cimayang 168,989

Gunungbunder I 384,778

Gunungbunder II 822,653

Gunungmenyan 295,461

Gunungpicung 806,647

Gunungsari 1.707,047

Pamijahan 430,202

Pasarean 299,85

Purwabakti 775,378

Jumlah 12.087,914

16 SUKARAJA Cadasngampar 260,888

Cibanon 331,797

Cijujung 408,591

Cikeas 320,819

Cilebut Barat 336,423

Cilebut Timur 162,476

Cimandala 338,94

Gununggeulis 601,829

Nagrak 601,606

Pasirjambu 202,162

Pasirlaja 363,187

Sukaraja 250,14

Sukatani 168,165

Jumlah 4.347,023

17 TAMANSARI Pasireurih 244,327

Sirnagalih 162,527

Sukajadi 326,67

Sukajaya 212,27

Sukaluyu 276,496

Sukamantri 331,506

Sukaresmi 298,784

Tamansari 1.559,392

Jumlah 3.411,972

18 TENJOLAYA Cibitungtengah 323,349

Cinangneng 271,349

Gunungmalang 1.853,714

Situdaun 369,259

Tapos I 1.051,298

Tapos II 254,206

Jumlah 4.123,175


(4)

Lampiran 3. Luas Kelas kerawanan per faktor penyebab longsor

Luas Kelas kerawanan tanah longsor pada tiap kecamatan KECAMATAN

KURANG RAWAN

(ha)

RAWAN (ha)

SANGAT RAWAN

(ha)

TOTAL (ha) BABAKANMADANG 4.201,355 5.035,988 0,425 9.237,768

CARINGIN 429,805 6.822,05 358,942 7.610,797 CIAMPEA 581,06 2.707,194 16,129 3.304,383 CIAWI 232,426 4.215,42 191,157 4.639,003 CIBUNGBULANG 1.431,795 2.404,177 9,412 3.845,384

CIGOMBONG 115,702 3.701,099 340,603 4.157,404 CIJERUK 96,775 4.277,481 351,993 4.726,249 CIOMAS 34,818 1.770,235 8,398 1.813,451 CISARUA 1.465,706 5.296,417 53,017 6.815,14 DRAMAGA 430,239 2.176,66 28,364 2.635,263 LEUWILIANG 1.450,342 7.232,246 194,685 8.877,273 LEUWISADENG 1.770,634 1.754,721 12,069 3.537,424 MEGAMENDUNG 1.317,64 4.897,224 27,946 6.242,81 NANGGUNG 1.198,264 10.963,461 1340,01 13.501,735 PAMIJAHAN 42,52 8.221,732 3.823,662 12.087,914 SUKARAJA 3.047,995 1.298,103 0,925 4.347,023 TAMANSARI 17,384 2.486,481 908,107 3.411,972 TENJOLAYA 14,935 2.867,47 1240,77 4.123,175 TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan kelerengan KELAS

KELERENGAN (%)

KURANG RAWAN

(ha)

RAWAN (ha)

SANGAT RAWAN

(ha)

TOTAL (ha)

>45 - 807,648 1.482,774 2.290,422 0-8 15.943,283 30.658,251 1,866 46.603,4 15-25 594,254 15.080,018 1.743,595 17.417,867 25-45 0,061 16.650,42 5.580,81 22.231,291 8-15 1.341,797 14.931,822 97,569 16.371,188 TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168


(5)

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan jenis tanah JENIS TANAH

KURANG RAWAN

(ha)

RAWAN (ha)

SANGAT RAWAN

(ha)

TOTAL (ha)

Aluvial 1.306,917 80,389 0,055 1.387,361 Andosol 8,142 1.362,389 1.708,212 3.078,743 Assosiasi latosol merah

latosol coklat

kemerahan 2.706,361 3.057,421 806,532 6.570,314 Assosiasi andosol

regosol 804,94 800,602 1.605,542

Assosiasi latosol coklat

latosol kekuningan 889,713 8.205,827 45,763 9.141,303 Assosiasi Latosol coklat

latosol kemerahan 4.425,863 12.059,526 241,84 16.727,229 Assosiasi latosol coklat

regosol 3.267,066 12.192,415 92,967 15.552,448 Kompleks Latosol

merah kekuningan latosol coklat

kemerahan dan litosol 2.601,783 4.047,36 13,791 6.662,934 Podsolik merah

kekuningan 121,826 24.648,091 3.140,044 27.909,961 Podsolik kekuningan 0,217 1.818,161 615,316 2.433,694

Podsolik merah 2.021,152 3.181,805 40,313 5.243,27

Regosol 0,079 6.527,591 1.395,808 7.923,478 Tidak ada data 530,276 142,244 5,371 677,891

TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan Curah Hujan CURAH HUJAN

(mm/th)

KURANG RAWAN

(ha)

RAWAN (ha)

SANGAT RAWAN

(ha)

TOTAL (ha)

2.500-3.000 5.862,374 63.664,368 2.179,961 71.706,703 >3.000 1,331 6.060,747 6.726,111 12.788,189 2.000-2.500 12.015,69 8.403,044 0,542 20.419,276 TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168


(6)

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan penutupan lahan PENUTUPAN LAHAN

KURANG RAWAN

(ha)

RAWAN (ha)

SANGAT RAWAN

(ha)

TOTAL (ha) Awan (no data) 799,318 3.007,727 887,7 4.694,745 Badan-badan air 28,257 12,661 0,221 41,139 Bayangan awan (no data) 503,541 1.696,962 495,446 2.695,949 Hutan/vegetasi lebat 3.135,684 26.175,759 4.567,613 33.879,056 Kawasan Industri 39,746 337,87 223,897 601,513 Kebun campuran/semak

belukar 12.021,68 39.929,224 1.983,123 53.934,027 Lahan-lahan kosong 74,053 282,331 147,234 503,618

Perkebunan 175,195 1.270,797 316,398 1.762,39 Permukiman/perkampungan 959,753 4.879,145 180,81 6.019,708

Sawah irigasi 142,168 535,683 104,172 782,023 TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan batuan geologi JENIS BATUAN

KURANG RAWAN

(ha)

RAWAN (ha)

SANGAT RAWAN

(ha)

TOTAL (ha) Bahan Aluvial 5.711,462 811,654 11,443 6.534,559 Bahan Sedimen-1 2.725,66 2.694,856 2,741 5.423,257 Bahan Sedimen-2 1.864,503 2.864,268 0,547 4.729,318 Bahan Volkanik-1 6.188,209 42.245,933 5.183,067 53.617,209 Bahan Volkanik-2 1.057,967 29.366,776 3.706,508 34.131,251 Tidak ada data 331,594 144,672 2,308 478,574 TOTAL 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168