BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Istilah “narkotika” ini muncul sekitar tahun 1998. Istilah ini bukan

  lagi istilah yang asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita, baik dari media cetak maupun media elektronik yang memberitakan tentang penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya.

  Masalah penyalahgunaan narkotika mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks. Penggunaan narkotika dapat merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah atau kampus, bahkan langsung atau tidak langsung merupakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan negara Indonesia. Pada saat ini, Narkotika merupakan musuh terbesar negara yang dimana orang yang menggunakan narkotika ini tidak mengenal usia baik muda maupun tua.

  Kasus-kasus narkotika yang melibatkan warga masyarakat, narkotika dapat sampai ke tangan seorang pengguna atau pemakai adalah dari pedagang gelap. Demikian pula dengan para pemakai narkotika, mereka menggunakan barang haram tersebut tidak lagi melihat tempat, baik itu di dalam perjalanan, di sekolah ataupun di kampus, di tempat-tempat hiburan malam, dan sebagainya.

1 Ada dua faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yaitu faktor

  lingkungan dan faktor individu adalah sebagai berikut :

  2

  1. Faktor lingkungan Faktor ini meliputi keluarga dan lingkungan pergaulan baik di sekitar rumah, sekolah atau kampus, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor orang tua ataupun keluarga merupakan penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna barang haram atau yang biasa disebut dengan narkotika tersebut adalah sebagai berikut :

  a. Komunikasi yang kurang baik antara orang tua dengan anak;

  b. Akibat Orang tua yang mengalami perceraian, selingkuh dan atau kawin lagi; c. Orang tua yang terlalu sibuk atau tidak acuh terhadap anaknya;

  d. Orang tua yang serba melarang;

  e. Sekolah yang kurang disiplin;

  f. Sekolah yang dekat dengan tempat hiburan ataupun dekat dengan tempat penjualan narkotika; g. Adanya murid atau mahasiswa yang menggunakan narkotika; h. Kurangnya pengawasan.

  2. Faktor individu Faktor ini menjadi salah satu penyebab bagi penyalahguna narkotika dikarenakan adanya perubahan biologik, psikologik, maupun sosial di dalam diri para pengguna narkotika. Terdapat ciri- ciri tertentu bagi para pengguna yang mempunyai resiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkotika (NAPZA), antara lain sebagai berikut : a. Kurangnya Ibadah dari para pengguna yang mengakibatkan

  Imannya mudah tergoda;

  b. Hilangnya rasa percaya diri;

  c. Adanya keinginan untung mengikuti mode zaman yang semakin lama semakin tidak terbatas; d. Bersifat memberontak dan menolak otoritas;

  e. Keinginan agar diterima di dalam suatu pergaulan;

  f. Adanya keingintahuan yang besar untuk mencoba;

  g. Tidak adanya sikap tegas dan kesiapan mental dalam hal untuk menolak penawaran yang diberikan didalam pergaulan. 1 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), cetakan pertama hlm 2. 2 Singlesmilesoup.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-penyalahgunaan-narkoba. html? m=1

  Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi serta dengan (polisi) untuk mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi

  3 generasi penerus bangsa.

  Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa adanya pengawasan yang ketat. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakan serta dapat menimbulkan ketergantungan pada

  4 pengguna itu sendiri.

  Maraknya penyalahgunaan narkotika tidak hanya di kota-kota besar, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia 3 A.Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan narkotika dan Psikotropika, (jakarta :Sinar

  Grafika,1994), hal.6) 4 .A. W. Widjaya, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika,(Bandung: armico,1995), hal 25-26 mulai dari tingkat social economi menengah bawah sampai tingkat social

  economi menengah atas. Penyalahgunaan narkotika paling banyak berumur strategis oleh pedagang gelap narkotika.

  Akibat maraknya penyalahgunaan narkotika membuat para pasien pengguna narkotika di panti-panti rehabilitasi medis ataupun non medis di beberapa kota besar semakin hari semakin bertambah. Dengan situasi penduduk yang semakin bertambah, pengangguran dan kemiskinan juga semakin meningkat, maka muncul keinginan orang untuk memperoleh rejeki dengan cara apapun. Kalau di tahun 1970-an Indonesia hanya sebagai wilayah pemilik, maka di tahun 1990-an berubah sebagai pemakai dan sekaligus menjelang tahun 1998 sebagai negara produsen.

  Hasil riset di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut bahwa di dapat pengungkapan Tindak Pidana Narkoba yang dilakukan Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut dan jajaran sebagai berikut :

  O 15 N THN JENIS NARKOBA J U M L A H HEROIN KOKA IN MORFIN GA NJA PUTA UW SHA BU ECSTA SY OBA T/ZA T BERBA HA YA PSIKOTROPI KA JENIS PIL HA PPY FIVE (ERIMIN 5) KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK 1. 2. 3. 4. 5. 6. 2010 2011 2012 2013 2014 Maret 2015 - 1 - 2 1 - - 3 - 2 1 - - -

  • - 1 - - - -
    • - 1 - - - - - - - - - - - - - - 1.230 854 841 871 784 193 1.956 1.072 1.023 1.123 1.012 228
    • 5 12 1 2 1 - 5 15 1 3 2 - 1.433 1.795 1.516 2.165 2.811 866 1.720 2.349 2.103 3.019 3.717 1.177 33 38 57 51 68 38 41 47 88 59 89 51 17 28 16 2 1 - 14 28 21 2 2 - - - - 1 4 2 - - - 1 5 2 2.718 2.728 2.432 3.094 3.670 1.099 3.736 3.514 3.237 4.209 4.828 1.458 J U M L A H 4 6 1 1 - - 4.773 6.414 21 26 10.586 14.085 285 375 64 67 7 8 15.741 20.982

        Sumber : Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut - 2015 Universitas Sumatera Utara

        16 Sumber : Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut - 2015

        Universitas Sumatera Utara Dari data tersebut diatas, dapat diuraikan sebagai berikut :

        1. Tahun 2013 berhasil mengungkap sebanyak 3.094 (tiga ribu sembilan puluh empat) Kasus dengan 4.209 (empat ribu dua ratus sembilan) Tersangka

        2. Tahun 2014 berhasil mengungkap sebanyak 3.670 (tiga ribu enam ratus tujuh puluh) Kasus dengan 4.828 (empat ribu delapan ratus dua puluh delapan) Tersangka

        3. Bulan Januari s/d Maret 2015 berhasil mengungkap sebanyak 1.099 (seribu sembilan puluh sembilan) Kasus dengan 1.458 (seribu empat ratus lima puluh delapan) Tersangka Hasil pengungkapan tersebut, ditemukan pelaku Tindak Pidana

        Narkoba yang berstatus Mahasiswa sebagai berikut :

        1. Tahun 2013 sebanyak 46 (empat puluh enam) Tersangka

        2. Tahun 2014 sebanyak 65 (enam puluh lima) Tersangka

        3. Bulan Januari s/d Maret 2015 sebanyak 15 (lima belas) Tersangka Dilihat dari jumlah tersangka tersebut, terjadi peningkatan Tahun 2013 ke Tahun 2014 sebanyak 19 (sembilan belas) Tersangka. Hal ini berarti masih maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan para mahasiswa, yang dapat mengakibatkan dampak buruk terhadap kampus dimana mahasiswa tersebut menerima pembelajaran.

        Petugas Reskrim Polsek Medan Timur Polresta Medan Polda Sumut pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2015 telah melakukan penangkapan I dan NCS, 20 tahun, warga Jalan Pelita I yang sedang keluar dari Jalan Mesjid Taufik Medan dan selanjutnya sepeda motor yang dikendarai mahasiswa tersebu diberhentikan di jalan rakyat Medan kemudian dilakukan penggeledahan dan ditemukan 2 (dua) amplop yang berisi narkotika jenis

        5 ganja.

        Pada hari Sabtu tanggal 02 Mei 2015 di Jalan Gagak Hitam/Ringroad Medan, Satresnarkoba Polresta Medan Polda Sumut telah melakukan penangkapan terhadap seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kota Medan berinisial MR (22), warga Jalan BL Kelurahan Helvetia Kecamatan Medan Helvetia Medan yang diduga terlibat peredaran narkotika jenis sabu dengan barang bukti satu kilogram sabu, yang seharga Rp 2 miliar, satu unit

        6 timbangan digital, 50 buah plastik klip kosong dan satu handphone.

        Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Pasal 13 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga peranan Polisi sangat besar di dalam kehidupan masyarakat terutama pada penyalahgunaan dan pengedar

        5 KOMPOL J. Silaban, Kasubbag Min Opsnal Bag Bin Opsnal Polda Medan, Wawancara Pribadi, Medan, 18 Mei 2015 6 Ibid.

        7

        narkotika. Dimana di dalam proses penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, undang-undang tidak ada mengatur bahwa polisi menghindari adanya pertikaian dengan warga kampus agar tidak terjadi kontak fisik. Oleh karena itu, polisi memerlukan kerjasama berupa informasi dari dalam maupun luar kampus untuk upaya penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana narkotika di area kampus.

        Dari uraian dan latar belakang diatas, sebagaimana yang telah penulis paparkan, maka faktor inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana

        Narkotika Di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut ”.

      B. PERUMUSAN MASALAH

        Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

        1. Bagaimana pengaturan hukum Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ?

        2. Bagaimana peran polisi dalam penegakan hukum untuk menangani Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah 7 hukum Polda Sumut ?

        Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

        3. Hambatan yang dihadapi polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut ?

      C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

        1. Tujuan Penulisan Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

        a. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana mengenai Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

        b. Untuk mengetahui peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia (polisi) dalam penegakan hukum untuk menangani Tindak Pidana Narkotika

        c. Untuk mengetahui apa hambatan yang dihadapi polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus

        2. Manfaat Penelitian Disamping tujuan, penulis juga mengharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca baik secara teoritis maupun praktis, yaitu : a. Secara Teoritis

        Hasil penulisan skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia khususnya dalam tindak pidana narkotika. Dengan kata lain diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang tidak mengenal umur dan terutama para remaja, dimana mereka adalah generasi muda masa depan bangsa dan juga bagaimana upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menanggulangi dan mencegah serta memberantas tindak pidana narkotika ini melihat pesatnya perkembangan teknologi sekarang yang semakin canggih. Dan juga agar para penerus- penerus bangsa yaitu anak-anak ataupun remaja sekarang tidak lagi menjadi salah satu dari penyalahguna dan pengedar narkotika yang semakin lama semakin marak berkembang.

        b. Secara Praktis Hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk kita dalam membantu para penegak hukum untuk upaya pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan kasus-kasus narkotika yang semakin lama marak dan tidak lagi mengenal usia maupun tempat untuk memakainya.

      D. KEASLIAN PENULISAN

        Adapun judul penulisan dalam skripsi ini yakni mengenai “Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana

        

      Narkotika Di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut , dimana sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membahas atau mengangkat hal tersebut kedalam sebuah tulisan ilmiah. tidak ada penulisan yang secara khusus membahas tentang Penegakan Hukum oleh Polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus.

        Jadi penelitian ini dapat dikatakan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

      E. TINJAUAN PUSTAKA

        1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi

        8 8 nyawa manusia.

        Supramono, G, Hukum Narkotika Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001)

        Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepentingan- kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan, memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman

        9 papaver,koka dan ganja.

        Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika. Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir (organizeci crime) dan sudah bersifat 9 transnasional (transnational crime).

        Soedjono Dirjosisworo, Hukum narkotika di Indonesia ( Bandung: PT. citra Aditya bakti, 1990)

        Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hukum yang telah dikodifikasikan dalam suatu kitab undang-undang mengena i definisi hukum pidana yaitu “hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana”. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :

        a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan

        c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Pidana berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak kejahatan. Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan

        “straft”, tetapi menurut beliau istilah

        “pidana” lebih baik daripada “hukuman”. Menurut Muladi dan “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat- sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai

        strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana

        dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik. Di antara istilah-istilah itu, yang paling tepat dan baik digunakan adalah istilah tindak pidana dengan pertimbangan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum juga sangat praktis untuk diucapkan. Disamping itu, di dalam peraturan perundang-undangan Negara Indonesia pada umumnya menggunakan istilah tindak pidana.

        Berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang

        a. Menanam, memelihara, mempunyai, dalam persediaan, memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman.

        b. Memiliki, menyimpan, untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II dan Golongan III.

        c. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika golongan I, II, III.

        d. Membawa, mengirim, mangangkut atau mentransito narkotika Golongan I, II, dan III.

        e. Mengimport, mengeksport, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I, II, III.

        f. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, II, III untuk digunakan oleh orang lain.

        g. Menggunakan narkotika golongan I, II, III. Bahaya narkotika karena penyalahguna menjadi

        “addict” (pecandu) setelah

        melewati ketergantungan jiwa dan fisik. Belum lagi bahaya sampingan lainnya, situasi ketertiban dan keamanan bagi masyarakat seperti pencurian, penodongan, perampokan, perampasan, pembunuhan, pemerkosaan.

        10

        terjadi karena beberapa alasan, yaitu :

        a. Faktor Intern (dari dalam dirinya) 1)

        Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang; 2)

        Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual; 3)

        Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan- tindakan yang berbahaya dan penuh resiko; 4)

        Berusaha untuk mencari atau mendapatkan arti daripada hidup; 5)

        Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman sensasional dan emosional; 6)

        Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang kesibukan; 7)

        Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan setia kawan; 8) Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng.

        b. Faktor Ekstern 1)

        Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda kelembah siksa narkotika; 2)

        Adanya situasi yang disharmoniskan (broken home) dalam keluarga, tidak adanya rasa kasih sayang, renggangnya hubungan antara ayah dan ibu, orang tua dan anak;

        3) Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan menjerumuskan generasi muda atau remaja;

        4) Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan penanggulangan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu. Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum, sehingga menjadi jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi

        11

        lainnya untuk tidak berbuat. Kebijakan sanksi pidana dan pemidaannya sebagai berikut :

        10 11 Supramono. G, Hukum Narkotika Indonesia. (Jakarta: Djambatan), hal 26.

        AW. Widjaja, masalah kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika, (bandung,amrico, 1985) a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati), tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga negara asing).

        b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan seumur hidup.

        c. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda); d. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda); e. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).

        Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminalisasi dari undang-undang narkotika tampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :

        a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan b. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika.

        Oleh karena itu, semua perumusan delik dalam Undang-Undang Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dari peredaran narkotikanya sampai ke pemakaiannya, dan pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan (property atau asets) yang diperoleh dari tindak pidana “narkotika” itu sendiri. Dalam ilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak pidana. Van Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu definisi sebagai berikut : “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas, jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seseorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan”.

        Pemberlakuan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada hakekatnya merupakan reformasi hukum aspek

      • –aspek yang direformasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1997 dan Undang –undang nomor 5 tahun 1997 yang dimaksud adalah :

        a. Realitas gradasi karena variasi golongan dalam narkotika dengan ancaman hukuman yang berbeda dengan golongan 1 yang terberat di susul dengan golongan II dan III (tidak disamaratakan), suatu yang patut di puji justru dalam pemberatan pidana penjara ada ketentuan hukum minimal

        (paling singkat). Hal ini adalah hal baru dalam kaedah hukum pidana. realitas bahwa dalam penyalahgunaan narkotika banyak dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan (konspirasi), maka bila penyalahgunaan beberapa orang dengan konspirasi sanksi hukumnya diperberat.

        c. Demikian pula Penanggulangan dan Pemberantasan di lakukan bila pelaku penyalahgunaan narkotika terorganisasi. Ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika telah ada sindikat

      • –sindikat yang terorganisasi rapi dalam operasionalnya.

        d. Demikian pula apabila koporasi yang terlibat maka pidana dendanya diperberat, tetapi pertanggung jawaban pidana korporasi belum tegas, apakah direkturnya dapat dikenakan hukum pidana penjara. Hal ini mungkin harus melalui yurisprudensi. Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan cara mengobati korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan

        12 mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu.

        Istilah polisi sepanjang sejarah mempunyai arti yang berbeda- beda, sehingga pengertian polisi diantaranya adalah sebagai beriku : a.

        Polisi sebenarnya berasal dari bahasa yunani “politea” yang berarti seluruh permintaan negara kota, negara Yunani pada abad sebelum masehi terdiri dari kota-kota saja yang disebut sebagai Negara Kota.

        b. Di Belanda pada jaman dahulu polisi dikenal melalui konsep

        praja van vallenhoven yang membagi pemerintahan menjadi 4

        (empat) bagian yaitu : 1)

        Bestur (pemerintahan) 2)

        Politie (Polisi) 3)

        Rechtspaark ;dan 4)

        Regeling Dengan demikian polisi dalam pengertian ini sudah dipisahkan dengan bestur (pemerintahan) tetapi merupakan bagian dari pemerintahan itu sendiri. Pada pengertian ini polisi termasuk organ-organ pemerintah yang mempunyai wewenang

        13 melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum.

        12 Ruby Hardiati Jhony, diktat kuliah hukum pidana khusus Tindak Pidana Narkotika, (Purwekerto: Fakultas Hukum. Unsoed. 1985) 13 Van Vollenhoven dalam Memet Tanumidjaja dikutip Momo Kelana, op.cith. 17 c.

        Lain halnya istilah “polisi” dalam bahasa inggris yang mengandung arti lain yang dinyatakan oleh Charles Reith dalam sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini bertolak belakang dengan pemikiran bahwa manusia adalah mahluk sosial, hidup berkelompok dan membuat peraturan yang disepakati bersama. Diantara kelompok-kelompok itu terdapat anggota-anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama sehingga tumbuh masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar, dari pemikiran tersebut kemudian diperlukanlah polisi.

        Kepolisian yang telah dibentuk sejak tanggal 19 Agustus 1945, mencoba memakai sistem kepolisian federal yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri dengan kekuasaan yang berada di wilayah Indonesia. Maka mulai tanggal 1 juli 1946, polisi menganut sistem Kepolisian Nasional (The Indonesian

        National Polite) . Sistem kepolisian ini dirasa lebih pas dengan

        Indonesia sebagai Negara Kesatuan, karena dalam waktu singkat polisi dapat membentuk komando-komando sampai ke tingkat sektor (kecamatan) dan sistem inilah yang dipakai polisi sampai sekarang. d. Disamping itu, pengertian polisi menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Kepolisian yaitu : “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang- undangan”

        Dari pengertian diatas, maka Kepolisian Negara berarti berkaitan dengan lembaganya, sedangkan polisi menunjukkan person atau orang yang termasuk dalam anggota kepolisian dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dengan undang- undang. Jadi Polisi adalah anggota atau pejabat kepolisian yang mempunyai wewenang umum kepolisian yang dimiliki berdasarkan undang-undang yang berstatus pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

        e. Sedangkan menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dikatakan bahwa kepolisian adalah alat negara yang menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

        f. Menurut S adjijono, istilah “polisi” dan “kepolisian” mengandung pengertian yang berbeda. Istilah “polisi” adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara, sedangkan istilah “kepolisian” adalah sebagai organ dan sebagai terorganisir dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, pengayoman dan pelayan

        14 masyarakat.

        3. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi 14 subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya

        Sadjijono, Hukum Kepolisian, Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo 2006), hal.6 aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

        Karena itu, penerjemahan perkataan “law enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan

        “penegakan hukum” dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah “penegakan peraturan

        ” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah

        ‘the rule of law” versus “the rule of

        just law

        ” atau dalam istilah “the rule of law and not of man” versus istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”. Dalam istilah “the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah

        “the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law

        and not of man

        ” dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan “the rule by

        law

        ” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, penegakan hukum dapat ditentukan sendiri batas-batasnya.

        Penegakan hukum secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materil.

        Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang- undangan yang tertulis, sedangkan hukum materil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian

        “law enforcement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of

        ” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang mendasar. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah,

        issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan

        ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna yang baru terhadap ide-ide demokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional

        democracy) . Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya tidaklah terlalu tepat tersendiri. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan

        “hak asasi manusia ”. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kita pun memang belum berkembang secara sehat.

        Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali

        (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak

        hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

        a. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; b. budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan c. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi.

        Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian secara seksama sebagai berikut :

        a. Pembuatan hukum

        (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’); b. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum

        (socialization and promulgation of law) ; dan

        d. Adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting dan yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas,

        “the administration of law” itu mencakup pengertian

        pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan

        (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.

        Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri bahwa apa yang dianggap berguna (secara filosofis ), belum tentu berguna bagi masyarakat.

        Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat sementara. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

        Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.

        Melalui sistem pendekatan revisi atau pembentukan undang- undang yang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang berkaitan erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik,

        dan demopolitik, sosiopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak

        berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Sempitnya pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dan

        15 menerjemahkan perasaan keadilan hukum di masyarakat.

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengetahuan Konsumen Mengenai Perbankan Syariah dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Menjadi Nasabah pada Bank Syariah Muamalat Cabang Rantau Prapat

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka - Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

0 0 7

Evaluasi Kinerja Operasi dan Pemeliharaan Sistem Irigasi Suka Damai di Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 22

Evaluasi Kinerja Operasi dan Pemeliharaan Sistem Irigasi Suka Damai di Kecamatan Sei Bamban Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun - Optimasi Konsentrasi Kitosan Molekul Tinggi dalam Sabun Transparan Antibakteri

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak 2.1.1 Definisi Anak - Peranan Yayasan Pusaka Indonesia Dalam Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak

0 1 36

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Peranan Yayasan Pusaka Indonesia Dalam Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak

0 0 11

Peranan Yayasan Pusaka Indonesia Dalam Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak

0 0 15

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. PENGGOLONGAN NARKOTIKA - Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut

0 0 23