Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Kesesuaian Tera Dispenser Pengukur Bahan Bakar Minyak (BBM) Dengan Sistem Teknologi Digital Di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Untuk Umum (SPBU) Yang Tidak Sesuai Dengan Volume Sebenarnya Dihubungkan Dengan Undang-U

(1)

!

" # $ %%%

& ' ( &) * &

+ (

$ ,

-++( *.% $ *% / *0 0 1 .2


(2)

*

' ) ' )

' )

' ) ' )

' ) ' )*

4 (

!

%*2 (

$

( ( ( ( (

( (

(

5 (

*


(3)

' )

' ) 6 7

'6 7 ) 8 ! 8

2

(

(

-9

2

-++ $ # " , *0 0 .


(4)

.

!

"#$" % &

$ "### :

' ()( *( * +

-,

" * $ %# 4 8 " #

$ %%% & 8

" $ *00# $ ; <

*

' )

, " #

$ %%% & <


(5)

= (

-,

" * $ %# 4

8 " # $ %%%

& 8 " $ *00#

$ ;

*

' )

,

" # $ %%% &

, ( (

=

->


(6)

?

.( (

! %.1

-9 (

:

( (

! %.1

-9&

( (

!

" " 6

&

@ ; &


(7)

+ ( & :

$ (

! %.1

( (

(

9 ( : ,

> &

! (

' )

'2) ! %.1

( (

, .

.

! > 6 / ( >


(8)

#

6 8 ( " '6 8 ") *001 *0*1

(

6 8 " . *0 0 *0 .

( 6

8 " '6 8 ") *0 0 *0 .

( (

"

6 ! %.11

'2) 2 ! %.1

B" " > C >

" & 6

' )

' ) ' )

' )

'2) ! %.1 2 ' )

( ( (

(

** 6 8

" '6 8 ")

1


(9)

' $;&) ( ( (

$ ; (

(

'

) (

$;&

! (

!

( (

" # $ %%% &

(


(10)

0

(

+ ( (

( (

+ (

+

( ?

(

(

( ( A

" # $ %%% &

( ( (

-( ( (

( + ( (

( (

( + ( +

+ (

( +

+ ( ( +

+

?

D 3 ( ( = @ $


(11)

+

+ (

+

+ (

( (

( +( (

(

! (

( (

( (

" # $

%%% & A

" * $ %# 4

A

-++( $ 20 / *0 0


(12)

*

(

( (

!

(

(

' )

=

,

( &

( (

! " $ *00#

$ ; (

'*)

-9$

( :

( (


(13)

/ 0' ( (

" #

$ %%% & " *

$ %# 4

(

*

#

#

( ( !


(14)

.

(

(

2 $

& '# $ )

-)

-" * $ %# 4

" # $ %%% &

" $ *00#

$

*) >

2)

(

'% $ )


(15)

. $ ! $

(

1 = !

!

! 1

" .# *00%

& & 9 (

: (

(

? 4

4

-8 ! " ? A

$ 8 3 "

8


(16)

-?

-++

www.hukumonline.com


(17)

! "

! " #$ %

&

' (


(18)

)

* "

+ % % ,

-. ' / $ ' # % %

/ "

+ 0 (

*

1 ,1

& - ,2 - (

" 3

3

&4 5 / *


(19)

2

6

/ 1

( (

5 ) ' 333 .

#

+ 7 ,

-.

#

# #

,

-#

6

+ ' 8 9

1 0 .66: 7

## # # .7;<: )3# . ;# #63=6.63 ( ' : 5 % .6 6 .) 912


(20)

.6

,

-/ +

; 5 ) ' 333

"

# # #

(

#

# %

(

(

# #

(

(


(21)

7

/ ; 5 ) ' 333

+

3 5 ) ' 333

" #

#

8 ,

-#

" #

" ,

, -

,.-, -

,.-"

2 3 5 ) ' 333

" "

0

7

+ 8 0 .666


(22)

..

.7 5 ) ' 333

> #

#

3 , - ,.-

,7-

,;-?

2 ) 5 ) ' 333

# #

' '

'

' "

# '

#

( '

#

' " "

# (

' '


(23)

#

' ( #

1

(

( ;+

%

# "

% @

1

@ &

(

( /

/ , - 5 ) ' 333

;


(24)

.;

>

?

;

/ ,

-, - ' "

" "

,

-.

/ ,

-' "

<

' " #

, #

-(

' " #

, #

<

""" # # A A A A A

A A< <)#A A " A A A B C:B C B C B C B C( ( D ' 7 / .6 6 . < 912


(25)

# '

# ,

-#

# #

#

"

"

" " "

, !

-) 7

/ ,

-,

-, - ' "

" ( "


(26)

-.:

(

0 ,

-, - "

"

# ,

-,

-; / , #

-,

-" "

' "

+ 2


(27)

! ! ! # " " #!

1 ( %

(

0 (

, - &

:

+

&

( (

/

:

## #.6 6#6;# A A ( A

B C;B C B C B C B C( ( D ' 7 / .6 6 .7 ;: 912

""" # A A A A A A A

22*B C;B C B C B C ' ; / .6 6 6 .


(28)

.)

*

E

$

22* + 2

&

" #

, - # , - )

# ( ( (

$ %&' ' ' ' ( '

* " # ( $ '

' ( ' &' ( '

' ' '

#

# &

3

)

+ & 2 33:

3


(29)

+ 1

5 . ' 3) * ! , *!

.# 3) - . >+

+1> +1 , )% +

1 + - (

%

% * .6

2 :

1 5 ' .66:

2 / 1 2 /

/ 2 2 * /

8 2 *

/

.

5 . ' 3) * !

9 / +

.6

## " # # #A A A A


(30)

76

&

.<

5 . ' 333 * !

& &

. (

& &

" &

4 . (

(

:

/ .) 5 . ' 333

* !


(31)

* 2

"

" (

4

/ 5 ' .66) 1 (

' =


(32)

,.-7.

>'

?

2

( 7 5

' .66) 1 ( ' = > (

(

(

? 2

" (

( (

;

5 .66) 1 ( ' =

* ( *

* ( %

*

( (

" *


(33)

/

77 5 ' .66) 1 (

' = >+

"

#

? / "

+ 2

7) , - 5

' .66) 1 ( ' = >+

# (


(34)

34

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN DALAM HAL KETIDAKSESUAIAN TERA DISPENSER PENGUKUR BBM DI SPBU

DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM TEKNOLOGI DIGITAL

A. Pihak-pihak Yang Terkait DalamKegiatan Penggunaan Pengukur BBM di SPBU Dengan Menggunakan Sistem Teknologi Digital

Usaha-usaha untuk mencari cara kerja yang efektif dan efisien dalam manajemen pabrik dan perkantoran, telah dilakukan sejak abad 18 dengan adanya revolusi industri. Usaha yang mempercepat dan memperlancar pekerjaan kantor (office work) dilakukan dengan mengubah pekerjaan tangan (manual), yang sejak tahun 1812 sampai saat ini dikenal dengan.21

1. Mesin-mesin yang dioperasikan langsung oleh manusia, seperti mesin tik, mesin fotokopi, mesin jumlah, mesin hitung, dan mesin pembukuan. 2. Mesin-mesin yang dioperasikan melalui bahasa mesin, seperti unit record

machine (punched record), dan komputer.

Teknologi telah begitu maju dalam segala bidang dan begitu terbuka bagi semua orang, menyebabkan perusahaan harus berpacu dengan kebutuhan teknologi yang tumbuh didalam perusahaan dengan tingkat kemajuan teknologi diluar perusahaan. Penggunaan teknologi dalam dunia usaha nasional relatif maju. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa saat ini

21

Op.cit, Heru Supraptomo, 1996, hlm. 19-20.


(35)

banyak pelayanan kegiatan usaha yang dilakukan dengan menggunakan kecanggihan teknologi. Seperti salah satu layanan kegiatan usaha di SPBU yang dilakukan dengan menggunakan alat ukur dengan menggunakan sistem teknologi digital. Layanan kegiatan usaha dengan menggunakan teknologi ini memberikan kemudahan dalam bertransaksi. Ada beberapa pihak yang terkait dalam penyelenggaraan layanan kegiatan usaha di SPBU, yaitu :

1. Pelaku usaha

Pengelola SPBU bisa katakan juga sebagai pelaku usaha, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:

a. Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.

b. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha selanjutnya dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni:


(36)

36

1) Badan hukum. Menurut hukum, badan usaha yang dapat

dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum adalah PT, yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.

2) Bukan badan hukum. Jenis badan usaha selain keempat bentuk badan usaha diatas dapat dikategorikan sebagai badan usaha bukan badan hukum, seperti CV dan firma.

Pengertian ini di dalam berbagai bidang eokonomi sangat luas, bukan hanya pada bidang produksi saja. Demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut UU PK sangat luas. Pengertian pelaku usaha Yang dimaksud bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).22

Pelaku usaha juga meliputi Manajer operasi industri contohnya yaitu, pada pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan lain-lain.

Manajer operasi industri disini bertanggung jawab

mengkoordinasi dan menyediakan jasa pelayanan yang baik.

2. Konsumen

Manusia dalam kehidupan sehari-hari tak lepas dari predikat konsumen, sebab dalam setiap aktifitas, manusia selalu melakukan konsumsi baik berupa barang maupun jasa. Konsumsi barang (produk) maupun jasa ini bisa didahului dengan transaksi jual beli, yaitu menukarkan sejumlah

22

www.tunardy.com/pengertian+pelaku+usaha+menurut+uu+pk/+artikel+definisi+p elaku+usaha+SPBU&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id, diakses pada Tanggal 9 Desember 2010, pukul 17.13 WIB


(37)

uang dengan barang atau jasa, bisa juga tanpa didahului transaksi jual beli, sebagai contoh mengkonsumsi barang atau jasa karena mendapatkan hadiah, voucher, pemberian, dan lain-lain.

Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), pengertian konsumen dalam pasal 1 angka 2 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Melaihat pada prakteknya, konsumen seringkali pernah mengalami ketidakpuasan dalam pemakaian barang atau jasa. Ketidakpuasan biasanya diakibatkan karena cacat produk, layanan jasa yang tidak sesuai dengan diiklankan, dan masih banyak hal lainnya. Akan tetapi seringkali konsumen kesulitan untuk mengajukan keluhan, menukar ataupun mendapatkan ganti rugi atas barang atau jasa yang tidak sesuai dengan yang diharapkam.

UUPK merupakan suatu instrumen hukum yang bertujuan untuk melindungi konsumen. Jual beli barang atau jasa terdapat hak dan kewajiban konsumen yang telah diatur oleh UUPK, yang merupakan sebuah produk hukum yang mengatur secara khusus tentang konsumen. Bila dicermati, mengenai asas hukum yaitu azas lex specialis derogate lex generalis, UUPK menjadi instrumen hukum yang secara khusus dipakai jika terjadi persengketaan antara konsumen dan pelaku usaha. Walaupun sebenarnya bisa digunakan BW untuk mengaturnya, namun dalam BW tidak dikenal istilah


(38)

38

konsumen, UUPK memang diundangkan dengan tujuan memberi perlindungan terhadap konsumen. Namun sebenarnaya UUPK ini tidak hanya mengatur tentang perlindungan konsumen semata tetapi juga mengatur tentang perlindungan terhadap pelaku usaha dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik terhadap pelaku usaha.23

B. Kendala-kendala dalam penggunaan Tera Pengukur BBM di SPBU Dengan Menggunakan Sistem Teknologi Digital

Kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi kegiatan oprasional dan mutu pelayanan dalam masa sekarang ini, perkembangan teknologi menyebabkan berbagai jenis usaha dan kompleksitas produk dan jasa dalam dunia usaha berkembang dengan pesat. Persaingan dunia usaha saat ini semakin ketat sehingga pelaku usaha harus mampu berkompetisi secara lebih efisien dengan teknologi yang semakin berkembang. Penerapan teknologi dilingkungan dunia usaha berjalan sangat cepat dan membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Penggunaan teknologi dalam dunia usaha sekarang ini menjadikan perlakuan terhadap konsumen mulai berubah, hal tersebut dapat dilihat dalam melakukan suatu transaksi layanan saat ini sangat mengutamakan aspek kemudahan, feksibilitas, efisiensi dan kesederhanaan dengan tujuan untuk memudahkan konsumen dalam bertransaksi.

23

http://kakak.org/home.php%3Fpage%3Dartikel%26id%3D38+artikel+pengertian+ Konsumen+berdasarkan+UUPK&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id, diakses pada Tanggal 13 Desember 2010, pukul 10.31 WIB


(39)

Mengingat kegiatan usaha sangat rentan dengan aturan hukum, hal ini bukan menjadikan dunia usaha menjadi kompleks dan rumit, tetapi dengan adanya aturan-aturan yang ketat, diharapkan kepercayaan masyarakat serta kesinambungan dunia usaha akan terus dapat dikembangkan. Dampak dari ketatnya pengaturan mengenai dunia usaha ini akan menjamin kredibilitas dari dunia usaha itu sendiri.

Kegiatan usaha sebagai perantara antara para pihak, membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara konsumen dan pelaku usaha dalam pelayanan di BBM di SPBU. Melalui interaksi yang demikian antara pelaku usaha dengan konsumen, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi suatu masalah yang apabila tidak diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.

Interaksi yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen pada setiap masalah dapat menurunkan kualitas dunia usaha dalam hubungannya dengan kepercayaan masyarakat. Dari berbagai pengalaman yang ada timbulnya kendala antara pelaku usaha dengan konsumen disebabkan oleh :

1. Informasi yang kurang memadai antara produk atau jasa yang ditawarkan

2. Pemahaman terhadap aktivitas dan produk atau jasa dalam dunia usaha masih kurang

3. Penggunaan teknologi yang kurang menjamin pelayanan yang baik


(40)

40

5. Tidak ada saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal

masalah yang timbul antara pelaku usaha dengan konsumen.

UUPK diberlakukan dalam rangka menyesuaikan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi Negara, UUD NKRI Tahun 1945.

Industri dunia usaha yang merupakan bagian dari kegiatan dunia usaha menjadikan teknologi sebagai alat untuk bersaing. Perkembangan teknologi yang terjadi di seluruh dunia berkembang dengan sangat cepat. Khususnya dalam layanan kegiatan usaha yang semakin dimudahkan dengan pelayanan-pelayanan yang sistematis. Berbagai kemudahan diberikan oleh pelaku usaha. Seperti halnya memberikan kemudahan dalam berbagai layanan dengan menggunakan sistem teknologi digital.

Penggunaan sistem teknologi digital dalam dunia usaha menjanjikan berbagai kemudahan dan diharapkan memberikan kepuasan pada konsumen, tapi hal ini tidak berarti merupakan suatu sistem yang terbatas dari masalah karena pada kenyataannya terdapat berbagai kendala, salah satu contoh yaitu permasalahan SPBU No. 34-14402 yang berlokasi di Jl Marina Jaya Ancol, Jakarta Utara, dimana 4 unit mesin dispenser yang berada di SPBU tersebut


(41)

diketahui tidak sesuai dengan takaran atau standar ukuran volume sebenarnya, dalam hal ini pembelian solar setiap 20 liter oleh konsumen akan berkurang hingga sebanyak 1 liter.24

Metode yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen dalam pelayanan di SPBU yaitu dengan menggunakan alat rakitan yang dapat mengurangi takaran BBM, kemudian untuk mengurangi takaran tidak perlu mengubah tera meter pada dispenser. Sehingga saat ada pemeriksaan dari Balai Metrologi tidak terdeteksi.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 telah memiliki pengaturan yang komprehensif tentang sebagian kegiatan metrologi legal, yaitu peneraan alat ukur, alat takar dan perlengkapannya, yang diatur dalam Bab IV: "Alat Ukur, Takar Timbang dan Perlengkapannya", Bab V: "Tanda Tera" serta Bab VI: "Barang Dalam Keadaan Terbungkus". Pengaturan kegiatan metrologi legal ini juga telah dilengkapi dengan ketentuan tentang Penegakan Hukum yang diatur dalam Bab VII: "Perbuatan yang Dilarang", Bab VIII: "Ketentuan Pidana" dan Bab IX: "Pengawasan dan Penyidikan". Dalam hal ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan metrologi legal, diperlukan perhatian khusus terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 untuk meningkatkan keefektifan kegiatan metrologi legal dalam melindungi kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha, tentunya dengan cara yang tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing produknya.

24

http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=32558, diakses pada Tanggal 17 Desember 2010, pukul 14.49 WIB


(42)

42

ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981 yang memerlukan perhatian khusus tersebut adalah:

BAB IV: Alat Ukur, Takar Timbang dan Perlengkapannya Pasal 12 Undang-undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, yaitu :

Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang:

a. Wajib ditera dan ditera ulang;

b. Dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya; syarat-syaratnya harus dipenuhi.

Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, yaitu :

Menteri mengatur tentang:

a. pengujian dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang dan

perlengkapannya;

b. pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang;

c. tempat-tempat dan daerah-daerah dimana dilaksanakan tera dan tera ulang alatalat

d. ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis-jenis tertentu.

Pasal 12 dari UU No. 2 Tahun 1981 merupakan ketentuan pertama yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai ketentuan tentang lingkup


(43)

kegiatan metrologi legal yang berkaitan dengan peralatan ukur yang diatur dalam Undang-Undang. Secara eksplisit Pasal 12 hanya memberikan ketentuan bahwa jenis alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang "wajib tera/tera ulang" dan dapat dibebaskan dari "tera/tera ulang" ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pernyataan ini dengan sendirinya memiliki implikasi bahwa yang dimaksud kegiatan metrologi legal terhadap peralatan ukur yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 adalah hanya mencakup tera dan tera ulang.

Terkait dengan peran metrologi untuk meningkatkan daya saing, metrologi legal seharusnya dapat berkontribusi dalam hal penerapan regulasi teknis untuk mencegah alat ukur yang memiliki mutu rendah, serta menyiapkan infrastruktur teknis yang setara dengan infrastruktur teknis metrologi legal negara lain. Dengan demikian, pemenuhan terhadap persyaratan metrologi legal yang ditetapkan oleh pemerintah sekaligus dapat menjadi produk alat ukur yang berkualitas.

Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengukuran (the science of measurement). Dalam hal ini supaya pengukuran itu dapat dilakukan dengan benar dan hasilnya dapat dipercayai. Metrologi legal adalah cabang

metrologi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengukuran yang

dipersyaratkan oleh aturan hukum. Dalam peraturan perundang-undangan, mungkin saja ada beberapa aturan yang harus ditegakkan dengan melakukan pengukuran. Pengukuran semacam itu harus dilakukan oleh lembaga atau instansi yang diberi wewenang secara hukum. Khususnya, hal-hal yang


(44)

44

berdampak pada transaksi perdagangan, kesehatan dan keselamatan. Namun, acuan untuk menentukan kebenaran hasil pengukuran tetap didapat dari ranah metrologi ilmiah.25

Kejahatan dalam dunia usaha muncul sebagai akibat dari ketidak tahuan oleh konsumen atas pelayanannya dan atau kurangnya sosialisasi, kejahatan dunia usaha mempunyai ciri khas dan karakteristik. Karakteristik dari kejahatan dalam dunia usaha tersebut antara lain menyangkut lima hal berikut:

1. Ruang lingkup kejahatan;

2. Sifat kejahatan;

3. Pelaku kejahatan;

4. Modus kejahatan;

5. Jenis kerugian yang ditimbulkan.

Banyak metode yang sering digunakan oleh pelaku usaha untuk dapat mengelabui konsumen yaitu salah satunya dengan menggunakan alat rakitan canggih untuk mengurangi takaran pada alat ukur dispenser di SPBU.

25

http://probodj.wordpress.com/category/metrology/, diakses pada Tanggal 18 Desember 2010, pukul 07.57 WIB


(45)

BAB IV

ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN DALAM HAL PENGGUNAAN SISTEM PENGUKUR BBM

DI SPBU DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM TEKNOLOGI DIGITAL

A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Hal Ketidaksesuaian Pengukur BBM di SPBU Dengan Menggunakan Sistem Teknologi Digital Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pemahaman bahwa semua masyarakat adalah konsumen, maka melindungi konsumen berarti juga melindungi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, sesuai dengan amanat Alinea IV Pembukaan UUD 1945, maka perlindungan konsumen menjadi penting, untuk menghindarkan konsumen dan dampak negatif penggunaan teknologi, sehingga dapat melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga keseimbangan pembangunan nasional.

Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi saat ini harus mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan barang dan/atau jasa yang memiliki unsur penggunaan teknologi yang dapat


(46)

46

meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh tanpa mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperoleh dari kegiatan usaha. Konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi dirinya serta meningkatkan sikap pelaku usaha yang tanggung jawab. Adapun para pihak yang terkait dalam layanan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan pengukur sistem teknologi digital memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dilaksanakan.

Pihak pertama yaitu pengelola SPBU, di mana dalam hal ini disebut sebagai pelaku usaha. Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menjelaskan tentang pelaku usaha, yaitu : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”

Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, pedagang, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, dan sebagainya. Cukup luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang


(47)

dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku, pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengam produk asli, pada produk tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (sup-plier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.26

Terkait dengan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan alat ukur dengan menggunakan sistem teknologi digital, pengertian pelaku usaha dimaksudkan sebagai pihak penyedia barang dan/atau jasa yang merupakan orang perorangan atau badan usaha, berbentuk badan hukum ataupun tidak. Kedudukan konsumen dan pelaku usaha dalam pelaksanaan kegiatan usaha di Indonesia tidak seimbang dikarenakan tidak adanya banyak pilihan bagi konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi. Hukum di Indonesia harus memposisikan pada tempat yang adil di mana hubungan konsumen dengan pelaku usaha berada pada kedudukan yang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi. Hubungan konsumen dengan pelaku usaha menjadi seimbang apabila adanya keadilan dalam pelaksanaan kegiatan usaha, karena setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 Undang-undang Dasar 1945. Hubungan antara pelaku usaha

26

Johannes Gunawan, “Product Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia, 1994, hlm. 7.


(48)

48

dan konsumen terdapat prinsip yang timbul karena hubungan tersebut yaitu prinsip Caveat Emptor. Prinsip ini mewajibkan konsumen untuk berhati-hati dalam memilih suatu produk terlebih dalam layanan dengan menggunakan sistem teknologi digital pada mesin pengukur di SPBU.

Kegiatan usaha yang dilakukan di SPBU oleh pelaku usaha dalam hal ukuran, di Indonesia mengenai ukuran diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi legal, dalam pasal 2 menjelaskan bahwa Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal, dengan menggunakan satuan-satuan SI. SI (singkatan dari le Systeme International d’Unites atau Sistem Internasional Satuan) adalah suatu sistem yang mendefinisikan satuan-satuan pengukuran yang digunakan secara universal oleh negara-negara anggota Konvensi Meter. Ukuran atau timbangan dalam kegiatan usaha menggunakan alat ukur untuk mengetahui atau menghitung besaran persentasi per jenis, wajib ditera dan di tera ulang oleh lembanga metrologi yang berwenang, dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal menjelaskan tentang larangan untuk memakai atau menyuruh memakai alat ukur, takar, timbang dan perlengkapan untuk mengukur, menakar atau menimbang melebihi kapasitas maksimumnya.

Selanjutnya, pada suatu layanan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan sistem teknologi digital adalah untuk mengukur secara otomatis penghitungan aliran BBM yang keluar dari mesin dispenser yang diperuntukan oleh konsumen. Kelemahan dari mesin pengukur dengan menggunakan sistem teknologi digital dimungkinkan ketika tidak sesuainya


(49)

penghitungan aliran yang keluar dari mesin yang diolah oleh sistem teknologi digital yang disebabkan oleh perubahan suhu udara atau mesin rusak sehingga terganggunya sistem yang mengakibatkan sistem tidak dapat bekerja dengan baik seperti yang terjadi pada SPBU No. 34-14402 yang berlokasi di Jl. Marina Jaya Ancol, Jakarta Utara, dimana 4 unit dispenser yang berada di SPBU tersebut diketahui tidak sesuai dengan takaran atau standar ukuran volume sebenarnya, dalam hal ini pembelian solar setiap 20 liter oleh masyarakat sebagai konsumen akan berkurang hingga sebanyak 1 liter dan ada juga kemungkinan karena kesengajaan oleh pelaku usaha dengan cara menggunakan alat teknologi lain pada meteran mesin dispenser sehingga sistemnya dapat berubah sewaktu-waktu sehingga berfungsi untuk mengurangi standar ukuran yang dikeluarkan dari mesin dispenser seperti pada SPBU yang berlokasi di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat, sehingga hal ini mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sebagai konsumen yang nantinya akan menjadi tanggung jawab dari pelaku usaha.

Berdasarkan contoh kasus di atas, maka konsumen diharapkan akan lebih berhati-hati dalam memilih barang dan/atau jasa yang diperuntukan untuk konsumen dan memilih pelaku usaha yang mempuyai reputasi yang lebih terpercaya, di samping itu untuk mengatasi kasus seprti yang di atas, perlu adanya perhatian lebih dari pemerintah atau lembaga yang berwenang agar hak-hak konsumen lebih terjamin. Kaitannya dalam hal ini adalah penggunaan alat ukur di SPBU dengan menggunakan pengukur sistem teknologi digital.


(50)

50

Selanjutnya, dari permasalahan di atas dapat dilihat bahwa kegiatan usaha di SPBU oleh pelaku usaha membawa kerugian bagi konsumen. Kegiatan usaha yang membawa kerugian bagi konsumen ini bertentangan dengan kewajiban pengelola SPBU atau dapat disebut pelaku usaha dalam penyelenggaraan kegiatan usaha sebgaimana yang tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha haruslah beritikat baik dan melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif karena konsumen mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh pengelola SPBU sebagai pelaku usaha dalam kegiatan usaha, yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penggunaan alat ukur oleh pengelola SPBU sebagai pelaku usaha yang diperuntukan untuk konsumen dijelaskan pada Pasal 28 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, yaitu dilarang pada tempat-tempat seperti tersebut dalam Pasal 25 undang-undang ini memakai atau menyuruh memakai alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk mengukur melebihi kapasitas maksumum, sehubungan dengan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunaka pengukur sistem teknologi digital oleh pelaku usaha, dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, hal ini diatur dalam pasal 8 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan


(51)

ketentuan ini apabila pelaku usaha terbukti melanggar ketentuan tersebut dalam pelaksanaan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan pengukur sistem teknologi digital, maka dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

Berkaitan dengan penggunaan teknologi pada dunia usaha dalam hal ini penggunaan alat ukur di SPBU dengan menggunakan sistem teknologi digital maka pemanfaatan teknologi dapat dilihat pada pasal 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu “pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi”. Berdasarkan isi dari pasal ini menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi harus berdasarkan kehati-hatian dan itikad baik dalam hal ini berhubungan dengan penyelenggaraan usaha oleh pengelola SPBU sebagai pelaku usaha yang harus berdasarkan itikad baik dan berhati-hati dalam penggunaan teknologi agar konsumen tidak dirugikan. Adapun larangan terhadap pelaku usaha dapat dilihat dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu “Setiap orang dengan sengaja dan


(52)

52

tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya”. Di sini dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan apapun yang mengganggu sistem elektronik agar dapat bekerja sebagaimana mestinya, dalam hal ini pada penyelenggaraan kegiatan usaha oleh pelaku usaha di SPBU dengan menggunakan sistem teknologi digital.

Pelayanan kegiatan usaha di SPBU oleh pelaku usaha adalah kegiatan usaha yang melakukan pelayanan, penyediaan atau penjualan bahan bakar minyak kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan.

Pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha yang dapat dituntut dalam kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan sistem teknologi digital yang tidak sesuai dengan volume sebenarnya adalah tanggung jawab berdasarkan produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Hal ini karena antara pelaku usaha dan konsumen terjadi hubungan hukum yang didasarkan dari mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha kepada konsumen sesuai teori Product Liability. Dengan demikian apabila terjadi kerugian yang disebabkan karena mengkonsumsi barang dan/atau jasa, maka konsumen dapat menuntut tanggung jawab dari pelaku usaha yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Selanjutnya pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hak konsumen dapat dipergunakan ketika


(53)

konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Seperti terdapat dalam pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berisikan tentang tanggung jawab pelaku usaha, yaitu :

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

d. Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

e. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Berdasarkan pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi kepada konsumen ketika konsumen merasa dirugikan atas kesalahan atau kelalaian pihak pelaku usaha baik yang disengaja ataupun tidak disengaja.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi :

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan

2. Tanggung jawab ganti kerugian pencemaran dan


(54)

54

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.27

Berdasarkan penjelasan tersebut maka kerugian yang dialami konsumen pada SPBU No. 34-14402 yang berlokasi di Jl. Marina Jaya Ancol, Jakarta Utara dan SPBU yang berlokasi di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat dalam kegiatan usaha ini dengan menggunakan pengukur sistem teknologi digital menjadi tanggung jawab pelaku usaha karena konsumen mengalami kerugian yang didasarkan pada Pasal 19 Undang-undang Nomor 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Selanjutnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain tanggung jawab pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berisikan tentang hak pelaku usaha menyebutkan bahwa, yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam menyelesaikan

hukum sengketa konsumen

d. Hak untuk rehablitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

27

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 126.


(55)

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha mempunyai hak yang menjadi kewajiban dari konsumen, kaitannya dengan hak pelaku usaha dimana pelaku usaha juga mempunyai kewajiban terhadap konsumen yang tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berisikan tentang kewajiban pelaku usaha menyebutkan bahwa, yaitu :

a. Beritikat baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Member kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau jasa yang diperdagangkan

f. Member kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g. Member kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pengelola SPBU sebagai pelaku usaha berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan konsumen dalam penyelenggaraan kegiatan usaha. Dengan adanya hak dan kewajiban serta tanggung jawab dari pelaku usaha khususnya pengelola SPBU, diharapkan dapat terjalin hubungan yang baik antara pengelola SPBU sebagai pelaku usaha dengan masyarakat sebagai konsumen dalam kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan pengukur yang menggunakan sistem teknologi digital.


(56)

56

Pihak kedua, seanjutnya peraturan perundang-undangan di Indonesia menjelaskan mengenai konsumen, dalam hal ini masyarakat sebagai konsumen pada penyelengaraan kegiatan usaha di SPBU, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 menyatakan, Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sama dengan pelaku usaha, konsumen juga mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen bertujuan untuk :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri

b. Meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa

c. Meninkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha

f. Meningkatkan barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keselamatan konsumen.


(57)

Tujuan UUPK meliputi hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan seperti yang tercantum dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu menyebutkan hak dari konsumen :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berisikan tentang kewajiban konsumen menyebutkan bahwa, yaitu :

a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan b. Beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut


(58)

58

Pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan pengukur sistem teknologi digital terdapat dalam pasal 4, 5, 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dan konsumen juga memiliki tanggung jawab dalam hal ini agar masing-masing pihak mempunyai tujuan untuk dapat menghindari hal-hal yang merugikan salah satu pihak. Tanggung jawab para pihak timbul karena adanya hubungan hukum antara para pihak dimana pelaku usaha adalah pihak yang menyediakan barang dan/atau jasa sedangkan konsumen adalah pihak yang mengkonsumsi barang dan atau jasa tersebut.

Layanan kegiatan usaha di SPBU merupakan kegiatan usaha berupa penjualan BBM yang menyediakan dan menyalurkan kepada masyarakat sehingga badan usaha ini terikat dalam pengaturan peraturan perundang-undangan.

Peningkatan dalam rangka efisiensi kegiatan operasional dan mutu pelayanan dalam masa sekarang ini perkembangan teknologi menyebabkan berbagai jenis usaha dan kompleksitas produk dan jasa dalam dunia usaha berkembang dengan pesat. Persaingan dunia usaha saat ini semakin ketat sehingga pelaku usaha harus mampu berkompetisi secara lebih efisien dengan teknologi yang semakin berkembang. Penerapan teknologi dilingkungan dunia usaha berjalan sangat cepat dan membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Dengan penggunaan teknologi dalam dunia usaha sekarang ini perlakuan terhadap konsumen mulai berubah, hal tersebut dapat dilihat dalam


(59)

melakukan suatu transaksi layanan saat ini sangat mengutamakan sapek kemudahan, feksibilitas, efisiensi dan kessederhanaan dengan tujuan untuk memudahkan konsumen dalam bertransaksi.

Alat-alat ukur dengan menggunakan teknologi dalam kaitannya dengan pelaku usaha adalah yaitu dimana terdapat larangan bagi pelaku usaha, dapat dilihat pada pasal 25 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Metrologi Legal, yaitu dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai :

a. Alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang bertanda batal

b. Alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya tidak bertanda tera sah yang berlaku atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku, kecuali seperti yang tersebut dalam pasal 12 huruf b Undang-undang ini.

c. Alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang tanda teranya rusak.

d. Alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang setelah padanya dilakukan perbaikan atau perubahan yang dapat mempengaruhi panjang, isi, berat, atau penunjukannya, yang sebelum dipakai kembali tidak disahkan oleh pegawai yang berhak.

e. Alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang panjang, isi, berat, atau penunjukannya menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan berdasarkan pasal 12 huruf c Undang-undang ini untuk ditera ulang.

f. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang mempunyai tanda khusus yang memungkinkan orang menentukan ukuran, takaran, atau timbangan menurut dasar dan sebutan lain daripada yang dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang ini.

g. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya untuk keperluan lain daripada yang dimaksud dalam atau berdasarkan Undang-undang ini.

Penggunaan alat ukur oleh pelaku usaha dijelaskan pada pasal 28 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Metrologi Legal, yaitu dilarang pada tempat-tempat seperti tersebut dalam pasal 25 Undang-undang ini memakai atau menyuruh memakai :


(60)

60

a. alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dengan cara lain atau dalam kedudukan lain daripada yang seharusnya.

b. alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk mengukur, menakar atau menimbang malebihi kapasitas maksimumnya.

c. alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk mengukur, menakar, menimbang atau menentukan ukuran kurang daripada batas terendah yang ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri.

Berkaitan dengan sistem pengukur yang digunakan pada masa sekarang ini, tidak bisa terlepas dari penggunaan teknologi demi mempermudah kegiatan dalam dunia usaha dalam rangka kemajuan ekonomi.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pada hakikatnya, terdapat landasan hukum yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu:

1. Undang-undang dasar 1945, sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi sehingga memproduksi barang dan/atau jasa yang layak.

2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, sebagai aturan mengenai mengelola satuan-satuan ukuran, metoda-metoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan


(61)

peraturan berdasarkan Undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, lahirnya undang-undang ini diharapkan agar masyarakat Indonesia terlindungi dari kerugian yang diakibatkan oleh pelaku usaha.

Setiap manusia secara kodratnya memiliki hak asasi sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Begitu juga dengan masyarakat dalam hal ini adalah konsumen, mempunyai hak sebagai konsumen untuk mendapat perlakuan yang adil dan wajar atas layanan usaha di SPBU oleh pelaku usaha yang telah menimbulkan kerugian baik secara materil maupun immateril, maka konsumen berhak untuk melakukan tindakan dan perlindungan serta jaminan hukum secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perbuatan pihak pelaku usaha terhadap konsumen telah menimbulkan kerugian baik secara materil maupun immateril, dalam hal ini pelayanan kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di SPBU yaitu dalam hal ketidaksesuaian pengukur BBM di SPBU dengan menggunakan sistem teknologi digital.

Pengaturan mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen dirumuskan dalam pasal 2, yang berbunyi : “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,


(62)

62

keamanan, dan keselamatan konsumen serta partisipasi hukum. Penjelasan asas-asas ini dapat dilihat pada UU No.8 Tahun 1999. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :28

1. Asas manfaat

2. Asas keadilan

3. Asas keseimbangan

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

5. Asas kepastian hukum

Pelayanan kegiatan usaha pada saat ini, khususnya pelayanan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan sistem teknologi digital telah mempermudah pelayanan kegiatan usaha di SPBU yang diperuntukan kepada masyarakat, namun dalam pemanfaatan ini pihak konsumen merupakan salah satu pihak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan hukum. Pelayanan di SPBU dengan menggunakan alat ukur sistem teknologi digital pada kenyataannya telah menimbulkan sejumlah permasalahan hukum, salah satunya perlindungan hukum terhadap masyarakat atas ketidaksesuaian tera dispenser dengan menggunakan sistem teknologi digital di SPBU.

28


(63)

B. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Hal Ketidaksesuaian Tera Dispenser Pengukur BBM Dengan Menggunakan Sistem Teknologi Digital di SPBU Yang Tidak Sesuai Dengan Volume Sebenarnya Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Sengketa konsumen adalah sengketa konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu.29 Adapun yang mengatakan sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata Negara.30

Umumnya pelanggan mengiginkan pelayanan yang sempurna, namun ada kalanya pelayanan tersebut tidak terpenuhi, hal ini akan memnyebabkan pelanggan akan kecewa kepada pelayanan di SPBU. Keadaan tersebut mengharuskan seorang karyawan yang sudah terlatih harus bisa menghadapi kondisi ini dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Dengarkan keluhan pelanggan dengan teliti dan simpati tanpa memotong

pembicaraannya.

b. Tetaplah tenang. Bila perlu ambil tindakan yang diperlukan seperti mencatat, mencari data, mengecek apakah komplain tersebut benar atau tidak.

c. Ajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memperjelas atau menegaskan.

d. Jawab komplain setelah pelanggan selesai bicara

e. Jika pihak SPBU memang bersalah, akui kesalahan, minta maaf dan perbaiki kesalahan jika dapat mengakhiri masalah.

29

Az. Nasution, Op.Cit, 2002, hlm. 221.

30


(64)

64

f. Jika masih tidak puas, tawarkan solusi singkat dan sederhana sesuai dengan wewenang yang diberikan.

g. Jika tidak berhasil tawarkan pelanggan untuk menemui pengusaha SPBU

atau karyawan lain yang telah diberikan wewenag untuk mengatasi masalah ini dengan waktu penyelesaian yang spesifik dan konsisten dengan waktu tersebut.

h. Catat setiap keluhan pada buku keluhan untuk perbaikan.

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan atau yang biasa disebut dengan non litigasi diantaranya melalui proses mediasi, arbitrase atau konsiliasi, yang diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan tertentu dalam upaya menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian yang di derita oleh konsumen. Hal ini dilakukan berdasarkan azas Choice of law atau azas pilihan hukum sesuai dengan keinginan para pihak, di Indonesia apabila terjadi pengaduan terhadap pelaku usaha maka Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perlindungan dan Perdagangan dapat memberikan peringatan ataupun bentuk lainnya kepada pelaku usaha dalam hal penyelenggaraan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan dispenser pengukur sistem teknologi digital, hal ini dilakukan untuk menegakan hak-hak konsumen dan memberikan rasa aman bagi konsumen.

Selanjutnya dalam penyelenggaraan kegiatan usaha oleh pelaku usaha dengan menggunakan dispenser pengukur dengan menggunakan sistem teknologi digital memberikan kemudahan dan keyamanan dalam pelayanan agar mendorong kemajuan dunia usaha di Indonesia. Terlepas dari pelayanan yang baik yang dilakukan dengan menggunakan teknologi tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian yang di derita konsumen berupa tidak sesuainya produk atau barang dan/atau jasa


(65)

yang diterima oleh konsumen seperti tidak sesuainya ukuran yang dikeluarkan oleh mesin dispenser dengan menggunakan sistem teknologi digital di SPBU No. 34-14402 yang berlokasi di Jl. Marina Jaya Ancol, Jakarta Utara dan SPBU yang berlokasi di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen. Ukuran yang tidak sesuai dengan sebenarnya sehingga mengakibatkan kerugian bagi konsumen, dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Metrologi Legal menerangkan larangan dimana pelaku usaha dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli, atau dengan memperdagangkan dengan cara apapun juga, semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya. Tidak sesuainya ukuran yang dikeluarkan oleh mesin dispenser dengan menggunakan sistem teknologi digital akan menjadi persoalan karena menimbulkan kerugian bagi konsumen yang disebabkan oleh pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha sehingga menimbulkan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di mana konsumen sebagai pihak yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha yang didasarkan pada Pasal 46 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yaitu gugatan atas kerugian yang dialami konsumen.

Selengkapnya Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan yaitu :

“Badan penyelesaian konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen baru memberikan makna apabila dihubungkan dengan substansi penjelasannya, sehingga pengertian tersebut


(66)

66

seharusnya menyatakan, “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang menangani dan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan antara pelaku usaha dan konsumen secara efisien, cepat, murah, dan professional”.

Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekuasaan. Karena sejak awal, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum atau konsumen dapat memilih jalan penyelesaian diluar pengadilan. Pasal 45 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) dengan penjelasannya maka dapat disimpulkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan melalui cara-cara sebagai berikut :

1. Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dengan konsumen), tanpa melibatkan pengedilan atau pihak ke tiga yang netral.

2. Penyelesaian melalui pengadilan. Penyelesaian konsumen melalui

pengadilan mengacu kepada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku

3. Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).


(67)

Penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen dalam hal penyelenggaraan kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan pengukur sistem teknologi digital di SPBU No. 34-14402 yang berlokasi di Jl. Marina Jaya Ancol, Jakarta Utara dan SPBU yang berlokasi di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat yang mengekibatkan kerugian bagi seorang konsumen yang menjadi pelanggan di SPBU tersebut karena tidak sesuai dengan ukuran, takaran dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran sebenarnya dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari ke tiga cara penyelesaian yang ditawarkan oleh Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas, sesuai keinginan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa sehingga dapat menciptakan hubungan yang baik antara pelaku usaha dengan konsumen.

1. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Peradilan Umum (BPSK)

Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan diperadilan umum, maka UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan umum. Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang lain yang bersengketa, dalam hal ini berarti penyelesaian sengketa dipengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.


(68)

68

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam pasal 47 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan yaitu :

“Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau jasa megenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian yang diderita konsumen.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Alternative Dispute Resolution (ARD) dapat ditempuh oleh seorang konsumen yang mengalami kerugian di SPBU dengan berbagai cara. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam pasal 52 tentang tugas dan wewenang BPSK, memberikan tiga macam cara penyelesaian sengketa yaitu :

a. Mediasi

b. Arbitrase dan

c. Konsiliasi

Secara lengkap tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) menurut pasal 52 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. melakukan pengawasan terhadap terhadap pencantuman klausula baku

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan


(69)

e. menerima pengadaan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindngan kinsmen

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap

Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, tetapi juga melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pengelola SPBU sebagai pelaku usaha.

Tugas BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang menjadi pembahasan dalam hal ini yaitu dengan cara-cara mediasi, arbitrase dan konsuliasi di mana dengan cara-cara tersebut seorang konsumen yang menjadi pelanggan di SPBU No. 34-14402 yang berlokasi di Jl. Marina Jaya Ancol, Jakarta Utara dan SPBU yang berlokasi di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat mengalami kerugian yang di karenakan tidak sesuainya ukuran yang dikeluarkan oleh mesin dispenser di SPBU tersebut dan dapat melakukan gugatan yang nantinya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dapat diselesaikan di luar pengadilan dengan cara sebagai berikut :

1. Mediasi

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, dimana majelis BPSK bersifat aktif sebagai perantara dan atau penasihat.


(70)

70

Pada dasarnya mediasi adalah salah satu proses di mana pihak ketiga, suatu pihak luar yang netral terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati.31 Setiap batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.

Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan dari persengketaan yang dihadapi antara pengelola SPBU sebagai pelaku usaha dengan konsumen sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya. Keuntungan yang didapat jika menggunakan proses mediasi dalam penyelesaian sengketa adalah karena pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi beban yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berarti menyelesaikan sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasiah, tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional.32 2. Arbitrase

Arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputuskan oleh juru pisah

31

Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 23

32

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, hlm. 186.


(71)

yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.33

Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, dalam hal ini pengelola SPBU sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak mematuhi putusan dengan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan.

Lembaga arbitrase memiliki kelebihan, antara lain : a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak

b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini

mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan adil

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalah temasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase

e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.

3. Konsiliasi

33

Rahcmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 257


(72)

72

Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dimana majelis BPSK bertugas sebagai perantara antara pihak yang bersengketa.

Seorang konsiliator dalam konsiliasi akan mengklarifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam penawaran pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Pendapat dari konsiliator namun tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikat putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada sukarela para pihak.

UUPK memberikan wewenang kepada badan BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen (di luar pengadilan). UUPK tidak menentukan adanya pemisahan tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator, maupun konsiliator sehingga setiap anggota dapat bertindak baik sebagai mediator, arbitrator, maupun konsiliator. Oleh karena tidak ada pemisahan keanggotaan BPSK tersebut, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti kata


(73)

bahwa setiap sengketa diusahakan melalui mediasi, jika gagal, penyelesaian ditingkatkan melalui konsiliasi dan jika masih gagal juga barulah penyelesaian melalui cara peradilan arbitrase.

2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum

Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahawa setiap konsumen yang dirugikan sebagaimana yang terjadi di SPBU No. 34-14402 yang berlokasi di Jl. Marina Jaya Ancol, Jakarta Utara dan SPBU yang berlokasi di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat dapat mengugat pengelola SPBU sebagai pelaku usaha yang didasarkan pada Pasal 46 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yaitu gugatan atas kerugian yang dialami konsumen yang menjadi tanggung jawab oleh pengelola SPBU sebagai pelaku usaha sesuai isi Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi kepada konsumen ketika konsumen merasa dirugikan atas kesalahan atau kelalaian pihak pelaku usaha baik yang disengaja ataupun tidak disengaja melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Pasal 48 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dari pasal 45 UUPK.


(74)

74

Gugatan yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. 1) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan 2) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama 3) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

4) pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atai dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit

b. gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

Peraturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga


(75)

yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum. Sedangkan gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c, atau huruf d pasal 46 ayat (1) UUPK, peneyelesaian konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui peradilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila :

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di lauar pengadilan atau

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihakl yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara baik secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi negara, membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya, antara lain tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak penggugat. Keadaan ini sebenarnya lebih banyak membawa kesulitan bagi konsumen jika berperkara diperadilan umum, adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa di pengadilan adalah :


(76)

76

b. Biaya perkara yang mahal

c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif

d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

Diantara semakin banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang termasuk banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya waktu penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak mengharapkan penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka.

Usaha-usaha penyelesaian sengketa konsumen secara cepat terhadap gugatan atau tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap pelaku usaha telah di atur di dalam UUPK yang memberikan kemungkinan setiap konsumen untuk mengajukan penyelesaian sengketanya di luar pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang dalam undang-undang putusannya dinyatakan final dan mengikat.


(77)

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan, sebagai berikut :

1. Kegiatan usaha yang dilakukan di SPBU oleh pengelola sebagai pelaku usaha dalam hal ukuran di Indonesia mengenai ukuran diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi legal, serta penggunaan alat ukur dengan menggunakan sistem teknologi digital menyinggung pula mengenai pemanfaatan teknologi yang dapat dapat dilihat pada pasal 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penyelenggaraan kegiatan tersebut mensyaratkan pelaku usaha untuk tidak memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, hal ini diatur dalam pasal 8 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan demikian pelaku usaha dan konsumen memiliki hak dan kewajiban yang harus diperhatikan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, 5, 6, dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain hak dan kewajiban para pihak, pelaku usaha memiliki tanggung jawab berdasarkan pasal 19


(1)

vi

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS KETIDAKSESUAIAN TERA DISPENSER PENGUKUR BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DENGAN SISTEM TEKNOLOGI DIGITAL DI STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UNTUK UMUM (SPBU) YANG TIDAK SESUAI

DENGAN VOLUME SEBENARNYA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL JUNCTO

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

ABSTRAK Oleh : Harriyanto Thawil

31606010

Salah satu perkembangan teknologi adalah dengan adanya sistem teknologi digital. Kegiatan usaha di SPBU dengan menggunakan sistem teknologi digital adalah untuk mengukur secara otomatis penghitungan aliran BBM yang dikeluarkan dari mesin dispenser yang diperuntukkan kepada konsumen. Kelemahan dari mesin pengukur dengan menggunakan sistem teknologi digital dimungkinkan ketika tidak sesuainya penghitungan aliran yang keluar dari mesin yang diolah olah sistem teknologi digital. Persoalan timbul ketika berbicara mengenai hak dari konsumen yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usaha. Bagaimana perlindungan terhadap konsumen atas ketidaksesuaian tera dispenser pengukur BBM dengan sistem teknologi digital di SPBU yang tidak sesuai dengan volume sebenarnya berdasarkan undang Metrologi Legal Juncto undang Perlindungan Konsumen Juncto Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan upaya penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen berdasarkan Undang-undang perlindungan konsumen.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, yang dilakukan dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Pencarian berupa bahan-bahan hukum baik primer, sekunder, maupun tersier yang dibutuhkan. Dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan yang diolah dan dianalisis secara yuridis kualitatif.

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis bahan-bahan hukum, ditemukan kesimpulan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan menggunakan dispenser pengukur sistem teknologi digital didasarkan pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi legal dan Undang-Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan upaya perlindungan konsumen dalam kegiatan usaha dengan menggunakan dispenser pengukur sistem teknologi digital berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam pasal 1 angka 1 yang memberikan jaminan adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, serta memperhatikan hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan upaya penyelesaian sengketa yang diatur dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(2)

vii

A LEGAL PROTECTION TO THE CUSTOMER ON UNSUITABILITY DISPENSER CALIBRATION OF FUEL GAUGE WITH DIGITAL TECHNOLOGY SYSTEM AT

THE GAS STATION WITHOUT PROPER VOLUME IN DISCHARGE ACCORDING TO THE REGULATION NUMBER 2 OF 1981 ON LEGAL METROLOGI IN CORRELATION WITH REGULATION NUMBER 8 OF 1999 ON

CUSTOMER PROTECTION

ABSTRACT By :

Harriyanto Thawil 31606010

The technological development was result in digital system. Business activity of gas station with the digital system aimed to measure automatically fuel account by the dispenser to the customer. The drawback of digital engine is possible when the fuel discharge inappropriate in the calculation. The problem has arise when it talk about customer right that must be accomplished by business in application—how the legal protection to the customer on unsuitability dispenser calibration of fuel gauge with digital technology system at the gas station without proper volume in discharge according to the Metrology Legal Act, juncto Customer Protection Act, juncto Information and Electronic Transaction Act, and the dispute settlement between producer and customer in correlation with the Customer Protection Act.

The study arranged by normative juridical approach with analytical descriptive method in the specification. The law material research of primary, secondary and tertiary by literature and field study then proceed and analyze by qualitative juridical method.

According to the material process and analysis, it is found that business activity using of dispenser with digital technology system according to the Act No. 2 of 1981 on Legal Metrology and Act No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transaction. Meanwhile, customer protection effort in this case, according to the Act No. 8 of 1999 on Customer Protection as depicted on Article 1 paragraph 1 provides guarantee on legal certainty in protection and considering the right as described on Article 4 of Act No. 8 of 1999 on Customer Protection and Dispute Settlement according to the Article 45 of Act No. 8 of 1999 on Customer Protection.


(3)

A LEGAL PROTECTION TO THE CUSTOMER ON UNSUITABILITY

DISPENSER CALIBRATION OF FUEL GAUGE WITH DIGITAL

TECHNOLOGY SYSTEM AT THE GAS STATION WITHOUT PROPER

VOLUME IN DISCHARGE ACCORDING TO THE REGULATION

NUMBER 2 OF 1981 ON LEGAL METROLOGI IN CORRELATION WITH

REGULATION NUMBER 8 OF 1999 ON CUSTOMER PROTECTION

By:

Harriyanto thawil

31606010

BACKGROUND

The development of increasingly advanced technology

Business activity

The use of digital technology systems

Violations against consumers by businessman

Higher technology more trouble

PROBLEM IDENTIFICATION

How the customer protection against unsuitability of dispenser seal of fuel

gauge with digital technology system in the gas station without proper

volume?

How the dispute settlement between businessman and customer in case of

dispenser seal of fuel gauge with improper digital technology system on

volume?

DISCUSSION

Inappropriateness of measure dispenser with digital technology system

Responsibility of businessman to the customer

Case of business in the gas station


(4)

Implementation of UU No. 8 Article 8 paragraph (1) point (c) of 1999 on

customer protection inappropriate measure of fuel dispenser in the gas

station

Implementation of Article 45 on customer protection

Implementation of Article 33 of UU No. 11 of 2008 on information and

electronic transaction

CONCLUSION

Implementation of Article 8 paragraph (1) point (c) on inappropriate

measure of fuel dispenser in the gas station

Article 45 paragraphs 1 and 2 can implemented to settlement of dispute

between customer and businessman

SUGGESTION

Fix and recondition of law

Awareness in struggling of customer right

THE END


(5)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

ATAS KETIDAKSESUAIAN TERA DISPENSER

PENGUKUR BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DENGAN

SISTEM TEKNOLOGI DIGITAL DI STASIUN

PENGISIAN BAHAN BAKAR UNTUK UMUM (SPBU)

YANG TIDAK SESUAI DENGAN VOLUME

SEBENARNYA DI HUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG

METROLOGI LEGAL JUNCTO UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

Oleh:

Harriyanto thawil

31606010

LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi yang semakin maju

Kegiatan usaha

Penggunaan sistem teknologi digital

Pelanggaran terhadap konsumen oleh pelaku usaha

Semakin tingginya teknologi

menimbulkan permasalahan

IDENTIFIKASI MASALAH

Bagaimana perlindungan terhadap konsumen atas

ketidaksesuaian tera dispenser pengukur BBM dengan

menggunakan sistem teknologi digital di SPBU yang tidak

sesuai dengan volume sebenarnya?

Bagaimana upaya penyelesaian sengketa antara pelaku usaha

dengan konsumen dalam hal penggunaan tera dispenser

pengukur BBM dengan menggunakan sistem teknologi digital

yang tidak sesuai dengan volume sebenarnya?


(6)

PEMBAHASAN

Ketidaksesuaian dispenser pengukur dengan menggunakan

sistem teknologi digital

Tangguna jawab pelaku usaha terhadap konsumen

Kasus dalam kegiatan usaha di SPBU

Penerapan Pasal 28 Undang-undang No. 2 Tahun 1981 tentang

Metrologi Legal

Penerapan Pasal 8 angka (1) huruf (c) Undang-undang No. 8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terhadap kasus

ketidaksesuaian pengukur dispenser BBM di SPBU

Penerapan pasal 45 UU perlindungan konsumen

Penerapan Pasal 33 Undang-undang Informasi dan Transaksi

Elektronik

SIMPULAN

Pasal 8 angka (1) huruf (c) UU Perlindungan Konsumen dapat

diterapkan dalam hal perlindungan terhadap konsumen

Pasal 45 ayat 1 dan 2 UU Perlindungan Konsumen dapat

diterapkan dalam upaya penyelesaian sengketa dengan cara

melakukan gugatan

SARAN

Memperbaiki dan memperbaharui Undang-undang

Kesadaran memperjuangkan hak-hak konsumen

THE END