Kajian Sifat Mekanis Aluminium Komersil Untuk Bahan Pipa AC Dengan Perlakuan Termomekanikal

(1)

KAJIAN SIFAT MEKANIS ALUMINIUM KOMERSIL

UNTUK BAHAN PIPA AC DENGAN PERLAKUAN

TERMOMEKANIKAL

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

]

JULIUS PUTRA BRATA NIM. 060401023

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang selalu terucap kehadirat Allah SWT, Rab yang maha segalanya. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang membawa kita ke zaman ilmu pengetahuan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul Kajian Sifat Mekanis Aluminium Komersil Untuk Bahan Pipa AC Dengan Perlakuan Termomekanikal

Dengan dukungan sepenuh hati dari pihak dibawah ini skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr.-ing.Ir.Ikhwansyah Isranuri sebagai ketua Departemen Teknik Mesin FT-USU

2. Bapak Dr.Eng.Ir. Indra Nasution , MT selaku dosen pembimbing penulis pada tugas sarjana ini.

3. Bapak Ir. Alfian Hamsi , MSc selaku dosen pembanding I dan Bapak Ir. Syahrul Abda, MSc selaku dosen pembanding II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahannya

4. Ibunda tercinta Nurhayati dan Ayahanda Bahrum. T , Kakak dan abang-abang tersayang Dr. Rumiyati , Dedi iskandar. ST , Dr. Julian Hidayat serta adik-adikku Pebrian Rahmat Rhamadhan dan Muhamad Ikhsan Fikri yang telah membimbing dan memberikan semangat serta menjadi motivasi bagi penulis.

5. Bapak Suprianto, ST. MT. yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis selama penyelesaian tugas akhir ini.

6. Bapak Sarjana,ST, Bapak Rustam, yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman – teman kelompok penelitian Boy Harpit Akroma, Marzuki, Miswar ABD, Rifai Usman dan Teuku Fahri yang telah banyak


(7)

memberikan sumbangan tenaga dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin khususnya angkatan 2006 yang selalu memberikan kesempatan bagi penulis untuk berdiskusi, menghibur dan memberikan semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bagi pembaca diharapkan saran dan kritik demi kebaikan penulis. Semoga skripsi ini berguna bagi penulis dan juga pembacanya. Amin ya rabbal alamin.

Medan, 20 September 2011

Penulis

Julius Putra Brata


(8)

ABSTRAK

Perbaikan sifat-sifat mekanis dari aluminium telah dilakukan dengan metode deformasi plastis. Termomekanikal diharapkan dapat meningkatkan kekuatan mekanis bahan tanpa perlu menambahkan bahan paduan lain. Termomekanikal adalah salah satu metode deformasi plastis menyeluruh yang menghalusan ukuran butir logam dan paduan logam konvensional untuk bahan kontruksi pipa aluminium salah satunya pipa AC . Teknik ini menggunakan mesin pengerolan logam konvensional. Material Aluminium dirol sehingga ketebalannya berkurang setelah dilakukan proses Heat Treatmnet. Proses Termomekanikal pada penilitian ini dilakukan mendapatkan deformasi 10%,30 %,dan 50 % dengan variasi suhu pada setiap kondisi. Pengujian yang dilakukan adalah uji tarik, uji kekerasan dan foto mikro.Dari penelitian didapat bahwa kenaikan sifat mekanis yang signifikan terjadi pada kondisi deformasi 30 % dengan dengan hasil kekerasan BHN 48,92 ,Tegangan batas 170,7 MPa , Tegangan luluh 108,3 MPa dan ukuran butiran 32,26 µm . Secara keseluruhan peningkatan terjadi pada sifat mekanis aluminium dan ukuran butiran meningkat seiring dengan meningkatnya kekerasan bahan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi deformasi plastis menyeluruh pada bahan.

Kata kunci: Deformasi Plastis Menyeluruh, Termomekanikal, Sifat Mekanis, Aluminium


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SPESIFIKASI TUGAS ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR NOTASI... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan penelitian ... 2

1.3.1 Tujuan umum ... 2

1.3.2 Tujuan khusus ... 2

1.4 Mamfaat Penelitian ... 3

1.5 Batasan masalah ... 3

1.6 Sistematika Penulisan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aluminium ... 5

2.1.1 Unsur-unsur paduan aluminium ... 7

2.1.2 Pemrosesan Aluminium. ... 8

2.1.3 Microstruktur Aluminium ... 11

2.1.4 Sifat-Sifat Aluminium ... 12

2.1.4.1 Sifat Fisik Aluminium ... 12

2.1.4.2 Sifat Mekanik Aluminium ... 13

2.1.5 Diagram Fasa Alumunium ... 15

2.1.6 Aplikasi Aluminium pada bahan pipa ... 16

2.2 Deformasi plastis menyeluruh (Severe Plastic Deformation) ... 16

2.3 Proses Termomekanikal ... 17

2.4 Pengujian Kekerasan (Hardness Test) ... 18

2.4.1 Metode Brinell ... 19

2.4.2 Metode Vickers ... 20


(10)

2.4.4 Metode Micro Hardness ... 20

2.6 Pengujian tarik ... 21

2.7 Foto Mikro (Metallography Test)... 23

2.7.1 Cutting (Pemotongan) Spesimen ... 24

2.7.2 Mounting Spesimen ... 25

2.7.3 Grinding (Pengamplasan) Spesimen ... 26

2.7.4 Polishing (Pemolesan) Spesimen ... 26

2.7.5 Etching (Etsa) Spesimen ... 27

2.8 Pertumbuhan Struktur Butir ... 27

2.8.1 Perhitungan Diameter Butir... 28

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 30

3.2 Prosedur Penelitian ... 30

3.2.1 Persiapan Bahan ... 30

3.2.2 Persiapan Alat ... 31

3.3.3 Pembuatan spesimenTermomekanikal ... 34

3.3 Pengujian……….. ... 35

3.3.1 Uji Tarik…… ... 35

3.3.1.1 Pembuatan Spesimen Uji Tarik ... 35

3.3.1.1.1 Persiapan Alat dan Bahan ... 36

3.3.1.1.2 Proses Pembuatan Spesimen Uji Tarik ... 37

3.3.1.2 Pengujian Tarik ... 37

3.3.2 Uji Kekerasan ... 38

3.3.3 Observasi Metalografi ... 39

3.3.3.1 Mounting Spesimen Observasi Metalografi ... 39

3.3.3.1.1 Persiapan Bahan Mounting ... 40

3.3.3.1.2 Prosedur Mounting... 40

3.3.3.2 Polishing Spesimen Observasi Metalografi ... 40

3.3.3.3 Etching Spesimen Observasi Metalografi ... 41

3.3.3.4 Proses Observasi Metalografi ... 41

3.4 Diagram Alir Penelitian ... 41

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian ... 43

4.1.1 Hasil Pengujian Kekerasan... 43

4.1.2 Hasil pengujianTarik ... 44

4.1.3 Hasil Pengujian Metalografi (Metallography Test) ... 46

4.1.4 Pengukuran Diameter Butiran ... 48

4.2 Pembahasan…… ... 49

4.2.1 Hubungan antara kekerasan dengan kekuatan tarik ... 49

4.2.2 Hubungan Antara Besar Butir Dengan Kekerasan ... 50

4.2.3 Hubungan besar butir kekuatan tarik ... 51

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 52


(11)

5.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur mikro dari aluminium murni 12

Gambar 2.2 Diagram fasa Al-Mn 15

Gambar 2.3 Alat uji kekerasan material logam (Lab Metallurgy USU) 19 Gambar 2.4 Prinsip Uji kekerasan brinell (Dieter : 1986) 20

Gambar 2.5 Kurva F vs Δl 21

Gambar 2.6 Kurva Tegangan-Regangan 23

Gambar 2.7 Alat uji struktur mikro (Lab Metallurgy USU) 24 Gambar 2.8 Perhitungan diameter butiran menggunakan metode planimetri 28

Gambar 3.1. Lembaran aluminium 31

Gambar 3.2 Mesin Pemotong Logam 31

Gambar 3.3 Roller 32

Gambar 3.4 Heat Treatment 33

Gambar 3.5 Termometer 33

Gambar 3.6 Proses heatreatment specimen 34

Gambar 3.7 Torsee Universal Testing Machine 35

Gambar 3.8 Spesimen uji tarik 36

Gambar 3.9 Spesimen Termomekanikal 36

Gambar 3.10 Mesin Sekrap Datar 37

Gambar 3.11 Brinell Hardness Tester 38

Gambar 3.12 Mikroskop Optik 39

Gambar 3.13 Spesimen yang sudah di-Mounting 40

Gambar 3.14 diagram alir penelitian 42

Gambar 4.1 Hubungan antara temperatur dan deformasi terhadap nilai kekerasan 44 Gambar 4.2 kurva tegangan- regangan pada kondisi deformasi 30 % 45 Gambar 4.3 Hubungan antara temperatur dengan tegangan luluh dan tegangan

batas pada deformasi 30% 46

Gambar 4.4 Foto mikro dengan pembesaran 100X, 200X dan 500X pada

deformasi 30 % 47

Gambar 4.5 Perbesaran 200X Aluminium setelah proses termomekanikal dengan deformasi 30% pada suhu 400 C (a) dan 450 C (b) 47


(13)

Gambar 4.6 HubunganTemperatur pada deformasi 30 % terhadap besar butiran 48 Gambar 4.7 Hubungan antara kekerasan dengan kekuatan tarik 49 Gambar 4.8 Hubungan Antara Besar Butir Dengan Kekerasan 50 Gambar 4.9 Hubungan antara besar butir dan kekuatan tarik 51


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat fisik aluminium 13

Tabel 2.2 Sifat mekanis pipa Aluminum 16

Tabel 2.3 Hubungan antara perbesaran yang digunakan dengan pengali Jeffries 29

Tabel 4.1 Sifat mekanis awal specimen 43

Tabel 4.2 Pengujian kekerasan badasarkan skala Brinell (BHN) 43

Tabel 4.3 Hasil uji tarik pada deformasi 30% 45


(15)

DAFTAR NOTASI

Lambang Keterangan Satuan

A luas penampang mm2

d diameter butir μm

D diameter mm2

ε regangan %

f pengali Jeffries butiran/mm2

F gaya tarik N

L panjang mm

σ tegangan MPa

N jumlah butir -

Δ perubahan -


(16)

ABSTRAK

Perbaikan sifat-sifat mekanis dari aluminium telah dilakukan dengan metode deformasi plastis. Termomekanikal diharapkan dapat meningkatkan kekuatan mekanis bahan tanpa perlu menambahkan bahan paduan lain. Termomekanikal adalah salah satu metode deformasi plastis menyeluruh yang menghalusan ukuran butir logam dan paduan logam konvensional untuk bahan kontruksi pipa aluminium salah satunya pipa AC . Teknik ini menggunakan mesin pengerolan logam konvensional. Material Aluminium dirol sehingga ketebalannya berkurang setelah dilakukan proses Heat Treatmnet. Proses Termomekanikal pada penilitian ini dilakukan mendapatkan deformasi 10%,30 %,dan 50 % dengan variasi suhu pada setiap kondisi. Pengujian yang dilakukan adalah uji tarik, uji kekerasan dan foto mikro.Dari penelitian didapat bahwa kenaikan sifat mekanis yang signifikan terjadi pada kondisi deformasi 30 % dengan dengan hasil kekerasan BHN 48,92 ,Tegangan batas 170,7 MPa , Tegangan luluh 108,3 MPa dan ukuran butiran 32,26 µm . Secara keseluruhan peningkatan terjadi pada sifat mekanis aluminium dan ukuran butiran meningkat seiring dengan meningkatnya kekerasan bahan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi deformasi plastis menyeluruh pada bahan.

Kata kunci: Deformasi Plastis Menyeluruh, Termomekanikal, Sifat Mekanis, Aluminium


(17)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Alumunium merupakan bahan yang mudah dijumpai, penjualan alimunium secara komersil memungkinkan pemamfaatan yang luas. Terutama pada Pipa, Pipa Aluminium memiliki kekuatan yang tinggi dengan massa yang ringan, sehingga aluminum alloy banyak dipilih dalam fabrikasi pipa salah satunya pipa AC. Pemakaian pipa yang membutuhkan sifat ketahanan dan kekuatan tinggi dapat direkayasa dengan pengurangan ukuran butiran material melalui proses rekayasa mikrostruktur. Perbaikan sifat mekanis dapat di rekayasa dengan cara menaikan atau menurunkan kekuatan dan kehandalannya. Perkembangan teknologi bahan dan rekayasa mikrostrukur telah mendorong perubahan kemampuan logam diproses dengan biaya produksi rendah tetapi kekukatan dan perbandingan volume, berat terhadap kekuatan sangat tinggi. Bedasarkan formulasi dasar bahan bahwasannya hubungan antara kekuatan dan ketangguhan adalah berbanding terbalik. Perkembangan rekayasa penghalusan butiran keristal dapat dihubungkan dengan kekuatan dan ketangguhan suatu bahan. Meskipun sulit untuk sama-sama menaikan sekaligus antara kekuatan dan ketangguhan.

Penghalusan ukuran butiran logam dan paduan dengan menggunakan proses termomekanikal treatment adalah suatu dari teknik yang efektif untuk memperbaiki sifat-sifat mekanis dan penyesuaian paduan logam konvensional khususnya alumnium. Dengan kata lain, penghalusan ukuran butiran (penguatan dengan pengerasan persipitasi) secara teknologi menjanjikan, karena pada umunya tidak merugikan pengaruh keuletan dan ketangguhan, berbeda dengan sebagian besar metode penguatan lain ( pengerasan larutan padat dan pengersan kerja). Oleh karena itu, metode deformasi plastis menyeluruh berpontesi unutk mendapatkan mikrostruktur (butiran sangat halus) dalam berbagai logam dan paduan. Formasi mikrostruktur adalah dasar perubahan utama dalam sifat-sifat bahan dan pencapaian karekteristik lanjut seperti kekuatan yang sangat tinggi dengan keuletan yang cukup, kekuatan kelelahan, umur, ketahanan aus, superelastis pada bahan kontruksi pipa aluminium.


(18)

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah melakukan metode termomekanikal dengan menggunakan bahan aluminium komersil yang dijual di Toko Waja, Jalan Pandu, Medan untuk bahan pipa dan menganalisa sejauh mana pengaruh Termomekanikal terhadap kekerasan,kekuatan tarik dan struktur mikro bahan alumunium

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi atas tujuan umum dan tujuan khusus :

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat mekanis alumunium komersil untuk bahan pipa dengan perlakuan Termomekanikal.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengamati pengaruh kekerasan akibat perlakuan Termomekanikal pada bahan aluminium komersil

2. Mengamati pengaruh kekuatan tarik akibat perlakuan Termomekanikal Termomekanikal pada bahan aluminium komersil

3. Mengamati pengaruh diameter mikrostruktur akibat perlakuan Termomekanikal pada bahan aluminium komersil

4. Melihat apakah bahan aluminium komersil telah diproses dengan perlakuan Termimekanikal ssudah memenuhi syarat untuk bahan Pipa

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penilitian ini:

1. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang metalurgi logam.

2. Bagi akademik, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan untuk penelitian tentang mikrosturktur logam.


(19)

3. Bagi industri dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam pembuatan bahan Aluminium (Al). Hal ini dapat ditingkatkan dengan termomekanikal sehingga dapat mengurangi biaya produksi sekaligus meningkatkan kualitas produk khususnya sifat mekanisnya.

1.5 Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini menitik berakan pada perubahan sifat mekanis terhadap besaran butir material dalam mikro. Adapun pembatasan masalah pada skripsi ini yaitu:

1. Material yang digunakan adalah Alumunium komersil yang dijual di Toko Waja, Jalan Pandu, Medan

2. Pemanasan awal pada suhu 400oC, 450oC, 500oC, 550oC dan 600oC selama 1 jam dengan derajat deformasi 10%, 30% dan 50%.

3. Pengujian kekerasan setelah dilakukan proses termomekanikal dengan menggunakan metode Brinell

4. Pengujian tarik sesudah dilakukan proses termomekanikal

5. Pengamatan struktur mikro sesudah dilakukan proses termomekanikal

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disusun sedemikian rupa sehingga konsep penulisan proposal menjadi berurutan dalam kerangka alur pemikiran yang mudah dan praktis. Sistematika tesebut disusun dalam bentuk bab-bab yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu:

Bab I Pendahuluan

Membahas mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, batasan masalah, sistematika penulisan.

Bab II Studi Literatur

Membahas mengenai dasar teori material Aluminium (Al) , proses heat treatment maupun termomekanikal threatment serta struktur mikro dan ukuran butiran.


(20)

Bab III Metodelogi Penelitian

Membahas metode dari uji tarik, pengukuran kekerasan bahan, dan pengambilan ukuran butiran mengunakan mikroskop optik. Berisi juga spesifikasi material yang dijadikan studi kasus dan juga mengenai langkah dalam proses termomekanikal.

Bab IV Pengujian dan Analisis Penelitian

Berisikan penyajian hasil yang diberikan dari pengujian kekerasan, uji tarik dan metalografi.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Berisikan jawaban dari tujuan penelitian

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aluminium

Aluminium pertama kali ditemukan oleh Sir Humphrey Davy pada tahun 1809 sebagai suatu unsur dan pertama kali direduksi sebagai logam oleh H. C. Oersted pada tahun 1825. Secara Industri tahun 1886, Paul Heroul di Prancis dan C. M. Hall di Amerika Serikat secara terpisah telah memperoleh logam aluminium dari alumina dengan cara elektrolisa dari garam yang terfusi. Penggunaan aluminium sebagai logam setiap tahunnya adalah pada urutan yang kedua setelah baja dan besi, yang tertinggi diantara logam non ferro.

Aluminium tahan terhadap korosi karena fenomena pasivasi. Pasivasi adalah pembentukan lapisan pelindung akibat reaksi logam terhadap komponen udara sehingga lapisan tersebut melindungi lapisan dalam logam dari korosi. Selama 50 tahun terakhir, Aluminium telah menjadi logam yang luas penggunaannya setelah baja. Perkembangan ini didasarkan pada sifat-sifatnya yang ringan, tahan korosi, kekuatan dan ductility yang cukup baik (Aluminium paduan), mudah diproduksi dan cukup ekonomis (Aluminium daur ulang). Yang paling terkenal adalah penggunaan Aluminium sebagai bahan pembuat komponen pesawat terbang, yang memanfaatkan sifat ringan dan kuatnya.

Aluminium murni adalah logam yang lunak, tahan lama, ringan, dan dapat ditempa dengan penampilan luar bervariasi antara keperakan hingga abu-abu, tergantung kekasaran permukaannya. Aluminium memiliki berat sekitar satu pertiga baja, mudah ditekuk, diperlakukan dengan mesin, dicor, ditarik (drawing), dan diekstrusi. Resistansi terhadap korosi terjadi akibat fenomena pasivasi, yaitu terbentuknya lapisan Aluminium Oksida ketika Aluminium terpapar dengan udara bebas. Lapisan Aluminium Oksida ini mencegah terjadinya oksidasi lebih jauh. Aluminium paduan dengan tembaga kurang tahan terhadap korosi akibat reaksi galvanik dengan paduan Tembaga.

Aluminium juga merupakan konduktor panas dan elektrik yang baik. Jika dibandingkan dengan massanya, Aluminium memiliki keunggulan dibandingkan dengan Tembaga, yang saat ini merupakan logam konduktor panas dan listrik yang cukup baik, namun cukup berat. Aluminium murni 100% tidak memiliki


(22)

kandungan unsur apapun selain Aluminium itu sendiri, namun Aluminium murni yang dijual di pasaran tidak pernah mengandung 100% Aluminium, melainkan selalu ada pengotor yang terkandung di dalamnya. Pengotor yang mungkin berada di dalam Aluminium murni biasanya adalah gelembung gas di dalam yang masuk akibat proses peleburan dan pendinginan/pengecoran yang tidak sempurna, material cetakan akibat kualitas cetakan yang tidak baik, atau pengotor lainnya akibat kualitas bahan baku yang tidak baik (misalnya pada proses daur ulang Aluminium). Umumnya Aluminium murni yang dijual di pasaran adalah Aluminium murni 99%, misalnya Aluminium Foil.

Pada Aluminium paduan, kandungan unsur yang berada di dalamnya dapat bervariasi tergantung jenis paduannya. Pada paduan 7075, yang merupakan bahan baku pembuatan pesawat terbang, memiliki kandungan sebesar 5,5% Zn, 2,5% Mg, 1,5% Cu, dan 0,3% Cr. Aluminium 2014, yang umum digunakan dalam penempaan, memiliki kandungan 4,5% Cu, 0,8% Si, 0,8% Mn, dan 1,5% Mg. Aluminium 5086 yang umum digunakan sebagai bahan pembuat badan kapal pesiar, memiliki kandungan 4,5% Mg, 0,7% Mn, 0,4% Si, 0,25% Cr, 0,25% Zn, dan 0,1% Cu.

Metoda pengolahan logam Aluminium adalah dengan cara mengelektrolisis Alumina yang terlarut dalam Cryolite. Metoda ini ditemukan oleh Hall di AS pada tahun 1886 dan pada saat yang bersamaan oleh Heroult di Perancis. Cryolite, bijih alami yang ditemukan di Greenland sekarang ini tidak lagi digunakan untuk memproduksi Aluminium secara komersil. Penggantinya adalah cariran buatan yang merupakan campuran Natrium, Aluminium dan Kalsium Fluorida. Aluminium murni, logam putih keperak-perakan memiliki karakteristik yang diinginkan pada logam. Unsur ini ringan, tidak magnetik dan tidak mudah terpercik, merupakan logam kedua termudah dalam soal pembentukan, dan keenam dalam soal ductility. Aluminium banyak digunakan sebagai peralatan dapur, bahan konstruksi bangunan dan ribuan aplikasi lainnya dimana logam yang mudah dibuat, kuat dan ringan diperlukan.


(23)

2.1.1 Unsur-unsur paduan aluminium

Aluminium murni mempunyai kemurnian hingga 99,96% dan minimal 99%. Zat pengotornya berupa unsur Fe dan Si. Aluminium paduan memiliki berbagai kandungan atom-atom atau unsur-unsur utama (mayor) dan minor. Unsur mayor seperti Mg, Mn, Zn, Cu, dan Si sedangkan unsur minor seperti Cr, Ca, Pb, Ag, Fe, Sn, Zr, Ti, Sn, dan lain-lain. Unsur- unsur paduan yang utama dalam Aluminium antara lain:

a. Silikon (Si)

Dengan atau tanpa paduan lainnya silikon mempunyai ketahanan terhadap korosi. Bila bersama aluminium ia akan mempunyai kekuatan yang tinggi setelah perlakuan panas, tetapi silicon mempunyai kualitas pengerjaan mesin yang jelek, selain itu juga mempunyai ketahanan koefisien panas yang rendah.

b. Tembaga (Cu)

Dengan unsur tembaga pada aluminium akan meningkatkan kekerasannya dan kekuatannya karena tembaga bisa memperhalus struktur butir dan akan mempunyai kualitas pengerjaan mesin yang baik, mampu tempa, keuletan yang baik dan mudah dibentuk.

c. Magnesium (Mg)

Dengan unsur magnesium pada aluminium akan mempunyai ketahanan korosi yang baik dan kualitas pengerjaan mesin yang baik, mampu las serta kekuatannya cukup.

d. Nikel (Ni)

Dengan unsur nikel aluminium dapat bekerja pada temperature tinggi, misalnya piston dan silinder head untuk motor.

e. Mangan (Mn)

Dengan unsur mangan aluminium sangat mudah dibentuk, tahan korosi baik, sifat dan mampu lasnya baik.


(24)

f. Seng (Zn)

Umumnya seng ditambahkan bersama-sama dengan unsur tembaga dalam prosentase kecil. Dengan penambahan ini akan meningkatkan sifat-sifat mekanik pada perlakuan panas, juga

kemampuan mesin.

g. Ferro (Fe)

Penambahan ferro dimaksud untuk mengurangi penyusutan, tapi penambahan ferro (Fe) yang besar akan menyebabkan struktur perubahan butir yang kasar, namun hal ini dapat diperbaiki dengan Mg atau Cr.

h. Titanium (Ti)

Penambahan titanium pada aluminium dimaksud untuk mendapat struktur butir yang halus. Biasanya penambahan bersama-sama dengan Cr dalam prosentase 0,1%, titanium juga dapat meningkatkan mampu mesin.

i. Bismuth

Digunakan untuk meningkatkan sifat mampu mesin dari aluminium.

2.1.2 Pemrosesan Aluminium

Pada umumnya tingkat kekuatan logam ditentukan oleh kemampuan atomatom dalam kristal mangalami pergeseran (dislokasi) ketika diberikan beban secara plastis. Semakin besar energi yang dibutuhkan untuk melakukan pergeseran atom-atom, berarti semakin kuat logam tersebut. Terbentuknya dislokasi tidak hanya ditentukan oleh kerapatan atom-atom, akan tetapi ditentukan juga oleh faktor rintangan (barrier) yang terjadi dalam kristal. Semakin besar rintangan, maka semakin besar energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan dislokasi, yang berarti semakin kuat logam tersebut (Adnyana, 1994).

Penguatan aluminium bisa dilakukan dengan proses pemaduan dengan elemen-elemen lain (solid solution hardening), penguatan dari batas kristal (grain boundary hardening), penguatan karena efek pengerjaan dingin (cold work), dan


(25)

penguatan dengan pembentukan partikel halus dalam kristal (precipitation hardening).

1. Penguatan Aluminium Karena Pemaduan (Solid Solution Hardening) Logam aluminium murni mempunyai kekuatan yang rendah, untuk menambah kekutan maka perlu ditambahkan elemen-elemen pemadu kedalam logam aluminium tersebut agar kekutannya dapat ditingkatkan. Elemen-elemen pemadu tersebut dapat menambah efek rintangan terhadap pergeseran atom-atom dalam kristal. Apabila atom terlarut (solute) kira-kira sama besarnya dengan atom pelarut (solvent) yang dalam hal ini aluminium maka atom terlarut akan menduduki tempat kisi (lattice point) dalam kisi kristal atom aluminium. Hal ini disebut larutan padat substitusi (substitutional solid solution). Akan tetapi apabila atom terlarut jauh lebih kecil dari atom pelarut, maka atom terlarut menduduki posisi sisipan (interstitial soild solution) dalam kisi pelarut. Hasil penambahan unsur terlarut pada umumnya adalah meningkatkan tegangan luluh, karena atom terlarut memberikan tahanan yang lebih besar terhadap gerakan dislokasi dari pada terhadap penguncian statis.

2. Penguatan Aluminium Akibat Batas Kristal (Grain Boundary Hardening)

Batas kristal atau batas butir dari struktur logam merupakan daerah pertemuan antara kristal, sehingga pada daerah tersebut susunan atom-atomnya menjadi tidak teratur (Adnyana, 1994). Akibatnya atom-atom pada batas kristal mempunyai mobilitas atau tingkat energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan atom-atom didalam kristalnya. Karena itu apabila terjadi deformasi plastis maka dislokasi pada umumnya terjadi dari batas kristal dan kemudian bergerak didalam dan berhenti pada batas kristal berikutnya. Hal ini berarti disamping sebagai tempat awal terjadinya dislokasi, batas kristal juga berlaku sebagai penghalang dislokasi. Jadi untuk logam yang mempunyai kristal tunggal, tidak memberikan halangan yang berarti terhadap pergerakan dislokasi, sehingga kekuatannya rendah. Karena


(26)

itu agar aluminium mempunyai kekuatan yang lebih besar maka perlu dilakukan penambahan elemen-elemen lain yang memungkinkan terbentuknya kristal majemuk. Pada logam dengan kristal yang besar, jumlah batas kristal (batas butir) tidak sebanyak jika dibandingkan logam dengan kristal yang kecil (butirannya halus), yang berarti semakin banyak batas kristal (kristal nya semakin halus) maka semakin besar tingkat rintangan yang terjadi terhadap gerakan dislokasi, yang berarti semakin kuat logam tersebut (Adnyana, 1994).

3. Penguatan Aluminium Karena Efek Pengerjaan Dingin (Strain Hardening)

Untuk meningkatkan kekuatan lembaran aluminium, setelah proses pengerolan panas (hot rolling) lalu dilanjutkan dengan proses pengerolan dingin (cold rolling). Hasil pengerolan panas belum memberikan kekuatan yang tinggi terhadap pelat, tetapi setelah dilakukan pengerolan dingin maka lembaran/pelat tersebut akan mengalami peningkatan kekuatan (Adnyana, 1994). Efek pengerolan dingin ini sering disebut sebagai efek strain hardening atau efek pengerasan akibat regangan. Mekanisme penguatan ini terjadi karena peningkatan kerapatan dislokasi dalam kristal logam dimana dislokasi yang telah terbentuk tersebut dapat berfungsi sebagai penghalang terhadap gerakan dislokasi pada deformasi berikutnya. Pada pengerjaan dingin kondisi energi intern logam lebih tinggi dibandingkan dengan logam yang tidak terdeformasi. Walaupun struktur sel dislokasi hasil pengerjaan dingin stabil secara mekanis, namun secara termodinamis struktur sel ini tidak stabil. Oleh karena itu, dengan meningkatnya temperatur, maka keadaan pengerjaan dingin menjadi semakin tidak stabil. Akibatnya logam menjadi lunak dan kembali ke kondisi bebas regangan.

4. Penguatan Aluminium Dengan Pembentukan Patikel Halus Dalam Kristal (Precipitation Hardening)

Dengan pengaturan komposisi kimia dan proses pengerjaan/perlakuan panas, paduan logam dapat memberikan struktur yang mengandung


(27)

partikelpartikel halus didalam kristal. Pembentukan partikel halus tersebut dapat dicapai melalui pengubahan tingkat kelarutan dari suatu unsur atau senyawa dari suatu paduan atau menambahkan partikel-partikel yang keras seperti oksida atau karbida kedalam logam (Adnyana, 1994). Cara ini mengahsilkan precipitation hardening atau age hardening dan dispersion hardening. Pengerasan presipitasi atau endapan (precipitation hardening) dihasilkan dengan perlakuan pelarutan dan pencelupan suatu paduan. Agar terjadi pengerasan endapan, fasa kedua harus dapat dilarutkan pada temperatur tinggi, tetapi harus memperlihatkan kemampuan larut yang berkurang dengan turunnya temperatur. Sebaliknya, fasa kedua dalam sistem pengerasan dispersi memiliki kemampuan larut yang sangat kecil di dalam matriksnya.

5. Deformasi plastis menyeluruh (Severe Plastic Deformation)

Deformasi plastis menyeluruh adalah salah satu proses untuk memperoleh struktur kristal yang sangat halus dalam logam, yang memiliki struktur kristalografi yang berbeda (Zrnik, J, 2008). Proses deformasi plastis menyeluruh dapat didefinisikan sebagai proses-proses yang menyebabkan regangan plastis yang sangat tinggi di logam untuk menghasilkankan penghalusan butir (Srinivasan, R, 2006).

2.1.3 Microstruktur Aluminium

Gambar 2.1 memperlihatkan struktur mikro aluminium murni.pada gambar terlihat foto mikrostruktur al murni tanpa perlakuan khusus


(28)

2.1.4 Sifat-Sifat Aluminium

Sifat teknik bahan aluminium murni dan aluminium paduan dipengaruhi oleh konsentrasi bahan dan perlakuan yang diberikan terhadap bahan tersebut. Aluminium terkenal sebagai bahan yang tahan terhadap korosi. Hal ini disebabkan oleh fenomena pasivasi, yaitu proses pembentukan lapisan aluminium oksida di permukaan logam aluminium segera setelah logamterpapar oleh udara bebas. Lapisan aluminium oksida ini mencegah terjadinya oksidasi lebih jauh. Namun, pasivasi dapat terjadi lebih lambat jika dipadukan dengan logam yang bersifat lebih katodik, karena dapat mencegah oksidasi aluminium.

2.1.4.1 Sifat Fisik Aluminium

Alumunium memiliki beberapa sifat fisik. Hal ini berpengaruh kepada keunggulan alumunium untuk dapat dipakai pada berbagai kegunaan.Sifat fisik dari aluminium dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sifat fisik aluminium

Sumber :

2.1.4.2 Sifat Mekanik Aluminium


(29)

1. Kekuatan tensil

Kekuatan tensil adalah besar tegangan yang didapatkan ketika dilakukan pengujian tensil. Kekuatan tensil ditunjukkan oleh nilai tertinggi dari tegangan pada kurva tegangan-regangan hasil pengujian, dan biasanya terjadi ketika terjadinya necking. Kekuatan tensil bukanlah ukuran kekuatan yang sebenarnya dapat terjadi di lapangan, namun dapat dijadikan sebagai suatu acuan terhadap kekuatan bahan.

Kekuatan tensil pada aluminium murni pada berbagai perlakuan umumnya sangat rendah, yaitu sekitar 90 MPa, sehingga untuk penggunaan yang memerlukan kekuatan tensil yang tinggi, aluminium perlu dipadukan. Dengan dipadukan dengan logam lain, ditambah dengan berbagai perlakuan termal,

2. Kekerasan

Kekerasan gabungan dari berbagai sifat yang terdapat dalam suatu bahan yang mencegah terjadinya suatu deformasi terhadap bahan tersebut ketika diaplikasikan suatu gaya. Kekerasan suatu bahan dipengaruhi oleh elastisitas, plastisitas, viskoelastisitas, kekuatan tensil, ductility, dan sebagainya. Kekerasan dapat diuji dan diukur dengan berbagai metode. Yang paling umum adalah metode Brinnel, Vickers, Mohs, dan Rockwell.

Kekerasan bahan aluminium murni sangatlah kecil, yaitu sekitar 65 skala Brinnel, sehingga dengan sedikit gaya saja dapat mengubah bentuk logam. Untuk kebutuhan aplikasi yang membutuhkan kekerasan, aluminium perlu dipadukan dengan logam lain dan/atau diberi perlakuan termal atau fisik. Aluminium dengan 4,4% Cu dan diperlakukan quenching, lalu disimpan pada temperatur tinggi dapat memiliki tingkat kekerasan Brinnel sebesar 135.

3. Ductility

Ductility didefinisikan sebagai sifat mekanis dari suatu bahan untuk menerangkan seberapa jauh bahan dapat diubah bentuknya secara plastis tanpa terjadinya retakan. Dalam suatu pengujian tensil, ductility


(30)

ditunjukkan dengan bentuk neckingnya; material dengan ductility yang tinggi akan mengalami necking yang sangat sempit, sedangkan bahan yang memiliki ductility rendah, hampir tidak mengalami necking. Sedangkan dalam hasil pengujian tensil, ductility diukur dengan skala yang disebut elongasi. Elongasi adalah seberapa besar pertambahan panjang suatu bahan ketika dilakukan uji kekuatan tensil. Elongasi ditulis dalam persentase pertambahan panjang per panjang awal bahan yang diujikan.

Aluminium murni memiliki ductility yang tinggi. Aluminium paduan memiliki ductility yang bervariasi, tergantung konsentrasi paduannya, namun pada umumnya memiliki ductility yang lebih rendah dari pada aluminium murni, karena ductility berbanding terbalik dengan kekuatan tensil, serta hampir semua aluminum paduan memiliki kekuatan tensil yang lebih tinggi dari pada aluminium murni.

4. Modulus Elastisitas

Aluminium memiliki modulus elastisitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan baja maupun besi, tetapi dari sisi strength to weight ratio, aluminium lebih baik. Aluminium yang elastis memiliki titik lebur yang lebih rendah dan kepadatan. Dalam kondisi yang dicairkan dapat diproses dalam berbagai cara. Hal ini yang memungkinkan produk-produk dari aluminium yang akan dibentuk pada dasarnya dekat dengan akhir dari desain produk.

5. Recyclability (daya untuk didaur ulang)

Aluminium adalah 100% bahan yang didaur ulang tanpa downgrading dari kualitas. Yang kembali dari aluminium, peleburannya memerlukan sedikit energy, hanya sekitar 5% dari energy yang diperlukan untuk memproduksi logam utama yang pada awalnya diperlukan dalam proses daur ulang.


(31)

6. Reflectivity (daya pemantulan)

Aluminium adalah reflektor yang terlihat cahaya serta panas, dan yang bersama-sama dengan berat rendah, membuatnya ideal untuk bahan reflektor misalnya perabotan ringan.

2.1.5 Diagram fasa aluminium

Diagram fasa Al-Mn seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Diagram fasa Al-Mn Sumber: ASM Handbook

Penambahan magan pada paduan akan berefek pada sifat dapat perlakuan pengerasan (work-hardening) pada alumunium paduan, sehingga didapatkan logam paduan dengan kekuatan tarik tinggi namun tidak terlalu rapuh. Mn adalah unsur yang memperkuat Al tanpa mengurangi ketahanan korosi dan dipakai untuk membuat paduan yang tahan korosi. Dalam diagram fasa, Al-Mn yang ada dalam keseimbangan dengan larutan padat Al adalah Al6Mn(25,3%). Sebenarnya paduan Al-1,2%Mn dan Al-1,2%Mn-1,0%Mg dinamakan paduan 3003 dan 3004 yang dipergunakan sebagai paduan melalui perlakuan panas. Seri 3003 dengan 1,2%Mn mudah dibentuk, tahan korosi, dan (weldability) baik. Banyak digunakan untuk pipa dan tangki minyak.


(32)

2.1.6 Aplikasi Aluminium Pada Bahan Pipa

Material pipa ada berbagai jenis, salah satunya adalah aluminium . Pipa aluminium digunakan untuk kebanyakan saluran utama dan lateral yang portable karena bobotnya yang ringan dan ketahanannya. Kekuatan pipa yang tinggi sangat di butuhkan untuk pemakaian di dalam tanah pengaruh adanya tekanan maupun lingkungan mengakibatkan pipa wajib memiliki sifat yang ringan dengan kekuatan

yang tinggi dengan biaya (cost) yang murah. Pipa aluminium banyak digunakan

untuk bebagai macam kegunaan salah satunya pipa untuk mengalirkan fluida karna sifat aluminium tahan korosif ,kekuatan dan ketahanannya seperti pipa alumunium pada AC (air conditioner).

Secara umum karekteristik lanjut seperti kekuatan yang sangat tinggi dengan keuletan yang cukup, kekuatan kelelahan, umur, ketahanan aus, superelastis dibutuhkan pada bahan kontruksi pipa aluminium. Sesuai dengan ASTM B241M-02-2004 maka bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pipa AC adalah alumunium dengan nomor seri 3003. Sifat mekanis alumunium 3003 dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 sifat mekanis pipa alumunium pada alumunium 3003 Tensile strenght

(Mpa) Yield Strength (Mpa)

Hardness (HB500)

Density ( x 1000 Kg/m 3 )

130 125 35 2.73

2.2 Deformasi plastis menyeluruh (Severe Plastic Deformation)

Deformasi plastis menyeluruh adalah salah satu proses untuk memperoleh struktur kristal yang sangat halus dalam logam, yang memiliki struktur kristalografi yang berbeda (Zrnik, J, 2008). Proses deformasi plastis menyeluruh dapat didefinisikan sebagai proses-proses yang menyebabkan regangan plastis yang sangat tinggi di logam untuk menghasilkankan penghalusan butir (Srinivasan, R, 2006).

Jumlah tegangan plastis yang dihasilkan oleh logam klasik dalam proses operasi seringkali terbatas karena kegagalan material atau alat. Membentuk kondisi tekan lebih disukai untuk menghambat terjadi nukleasi, pertumbuhan dan


(33)

koalesensi yang mengarah ke ulet fraktur. Dalam beberapa proses sekuensial seperti rolling atau menggambar pengurangan besar dari ketebalan material dapat dicapai. Namun, bentuk yang dihasilkan oleh proses cukup besar untuk digunakan untuk konversi lebih lanjut menjadi produk. Jadi proses pembentukan logam baru mampu menghasilkan deformasi plastis yang sangat besar atau menyeluruh (SPD) tanpa perubahan besar dalam geometri bilet telah dikembangkan (Olejnik, L, 2005).

2.3 Proses Termomekanikal

Proses termomekanikal pertama kali dikemukakan oleh Lips dan Van Zulein pada tahun 1954. Mereka menghasilkan sumbangan besar dalam prospek meningkatan sifat mekanis material dengan macam-macam kombinasi antara perlakuan panas dan mekanik. Untuk beberapa alasan, proses ini tidak diadopsi secara luas di bidang industri pada masa itu, tetapi sekarang proses ini menjadi sebuah pilihan untuk meningkatkan kekuatan suatu material.

Adapun proses termomekanikal adalah suatu proses dimana terdapat dua perlakuan pada suatu material. Proses pertama adalah proses termal, dimana material dipanaskan yang dapat membuat material tersebut menjadi lebih keras ataupun lebih lunak. Proses kedua adalah proses mekanik, dimana proses ini merupakan pemberian suatu penempaan, pengerolan atau pemotongan. Secara umum proses termomekanikal pada baja merupakan proses deformasi yang sangat panas pada kondisi austenik yang kemudian dilanjutkan dengan pendinginan yang terkontrol.

Proses termomekanikal ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi ukuran butir dan menambah jumlahnya. Dengan ukuran butir yang kecil dan banyak akan mempengaruhi kekerasan. Kekerasan alumunium akan meningkat akibat diameter butir kecil dan banyak tersebut. Butir yang kecil dan banyak akan menghambat pergerakan dislokasi, sehingga dengan terhambatnya dislokasi maka material akan sulit untuk terdeformasi.


(34)

2.4 Pengujian Kekerasan (Hardness Test)

Pengujian kekerasan Brinnel merupakan pengujian standar skala industri, tetapi karena penekannya terbuat dari bola baja yang berukuran besar dan beban besar maka bahan yang sangat lunak atau sangat keras tidak dapat diukur kekerasannya. Di dalam aplikasi manufaktur, material diuji untuk dua pertimbangan, sebagai riset karakteristik suatu material baru dan juga sebagai suatu analisa mutu untuk memastikan bahwa contoh material tersebut menghasilkan spesifikasi kualitas tertentu.

Pengujian yang paling banyak dipakai adalah dengan menekan alat penekan tertentu kepada benda uji dengan beban tertentu dan dengan mengukur ukuran bekas penekanan yang terbentuk di atasnya, cara ini dinamakan cara kekerasan dengan penekanan (brinnel).

Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk material yang dalam penggunaanya akan mangalami pergesekan (Frictional force), dalam hal ini bidang keilmuan yang berperan penting mempelajarinya adalah Ilmu Bahan Teknik (Engineering Materials). Kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan).

Didunia teknik, umumnya pengujian kekerasan menggunakan 4 macam metode pengujian kekerasan, yakni :

- Brinell (HB/BHN)

- Rockwell (HR/RHN)

- Vickers (HV/VHN)

- Micro Hardness (Namun jarang sekali dipakai-red)

Pemilihan masing-masing skala (metode pengujian) tergantung pada : - Permukaan material

- Jenis dan dimensi material - Jenis data yang diinginkan - Ketersedian alat uji


(35)

-

Gambar 2.2 Alat uji kekerasan material logam (Lab Metallurgy USU)

2.4.1 Metode Brinell

Pengujian kekerasan dengan metode Brinell bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja (identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (speciment). Idealnya, pengujian Brinell diperuntukan bagi material yang memiliki kekerasan

Brinell sampai 400 HB, jika lebih dati nilai tersebut maka disarankan

menggunakan metode pengujian Rockwell ataupun Vickers. Angka Kekerasan

Brinell (HB) didefinisikan sebagai hasil bagi (Koefisien) dari beban uji (F) dalam Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka

tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi.

Rumus perhitungan Brinell Hardness Number (BHN):

(2.1)

Dimana: P = beban penekan (Kg)

D = diameter bola penekan (mm) d = diameter lekukan (mm)


(36)

Gambar 2.3 . Prinsip Uji kekerasan brinell (Dieter : 1986) 2.4.2 Metode Vickers

Pengujian kekerasan dengan metode Vickers bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap intan berbentuk piramida dengan sudut puncak 136 Derajat yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut. Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F) dalam Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi.

2.4.3 Metode Rockwell

Skala yang umum dipakai dalam pengujian Rockwell adalah : - HRa (Untuk material yang yang lunak).

- HRb (Untuk material yang kekerasan sedang). - HRc (Untuk material yang sangat keras).

2.4.4 Metode Micro Hardness

Pada pengujian ini identornya menggunakan intan kasar yang di bentuk menjadi piramida. Bentuk lekukan intan tersebut adalah perbandingan diagonal panjang dan pendek dengan skala 7:1. Pengujian ini untuk menguji suatu material adalah dengan menggunakan beban statis. Bentuk identor yang khusus berupa knoop memberikan kemungkinan membuat kekuatan yang lebih rapat di bandingkan dengan lekukan Vickers. Hal ini sangat berguna khususnya bila mengukur kekerasan lapisan tipis atau mengukur kekerasan bahan getas dimana kecenderungan menjadi patah sebanding dengan volume bahan yang ditegangkan.


(37)

2.6 Pengujian Tarik

Pada uji tarik, kedua ujung benda uji dijepit, salah satu ujung dihubungkan dengan perangkat pengukur beban dari mesin uji dan ujung lainya dihubungkan ke perangkat peregang. Regangan diterpakan melalui kepala-silang yang diregangkan motor dan elongasi benda uji di tunjukkan dengan peregangan relatif dari benda uji. Beban yang diperlukan untuk menghasilkan regangan tersebut ditentukan dari defleksi elastis suatu balok atau poving ring, yang diukur dengan menggunakan metode hidrolik, optik, atau elektromekanik.

Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti digambarkan pada gambar 2.4. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang.

Gambar 2.4 Kurva F vs Δl

Perubahan panjang dalam kurva disebut sebagai regangan teknik(εeng.),

yang didefinisikan sebagai perubahan panjang yang terjadi akibat perubahan statik (∆L) terhadap panjang batang mula-mula (L0).Tegangan yang dihasilkan pada

proses ini disebut dengan tegangan teknik (σeng), dimana didefinisikan sebagai

nilai pembebanan yang terjadi (F) pada suatu luas penampang awal (A0).

Tegangan normal tesebut akibat gaya tarik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.2).

Ao F =


(38)

Dimana:

σ = Tegangan tarik (MPa) F = Gaya tarik (N)

Ao = Luas penampang spesimen mula-mula (mm2)

Regangan akibat beban tekan statik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.3).

L L ∆ =

ε (2.3) Dimana: ∆L=L-L0

Keterangan:

ε = Regangan akibat gaya tarik

L = Perubahan panjang spesimen akibat beban tekan (mm)

Lo = Panjang spesimen mula-mula (mm)

Pada prakteknya nilai hasil pengukuran tegangan pada suatu pengujian tarik pada umumnya merupakan nilai teknik. Regangan akibat gaya tarik yang terjadi, panjang akan menjadi bertambah dan diameter pada spesimen akan menjadi kecil, maka ini akan terjadi deformasi plastis. Hubungan antara stress dan strain dirumuskan pada persamaan (2.4)

E = σ / ε (2.4)

E adalah gradien kurva dalam daerah linier, di mana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E diberi nama “Modulus Elastisitas” atau “Young Modulus”. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurva SS (SS curve). Kurva ini ditunjukkan oleh gambar 2.5


(39)

Gambar 2.5 Kurva Tegangan-Regangan

Umumnya, limit elastis bukan merupakan definisi tegangan yang jelas, tetapi pada besi tidak murni dan baja karbon rendah, titik awal terjadinya deformasi plastis ditandai dengan penurunan beban secara tiba-tiba yang menunujukan adanya titik luluh atas dan titik luluh bawah. Perilaku luluh ini merupakan karakteristik bebagai jenis logam, khusunya yang memiliki struktur bcc dan mengandung sejumlah kecil elemen terlarut. Untuk material yang tidak memiliki titik luluh yang jelas, berlaku definisi konvensional mengenai titik awal deformasi plastis, yaitu tegangan uji 0,1 atau 0,2 %. Di sini ditarik garis sejajar dengan bagian elastis kurva tegangan-regangan dari titik dengan regangan 0,2 %.

2.7Foto Mikro (Metallography Test)

Analisa mikro adalah suatu analisa mengenai struktur logam melalui pembesaran dengan menggunakan mikroskop khusus metalografi. Alat uji struktur mikro dapat dilihat pada gambar 2.6. Dengan analisa mikro struktur, kita dapat mengamati bentuk dan ukuran kristal logam, kerusakan logam akibat proses deformasi, proses perlakuan panas, dan perbedaan komposisi. Sifat-sifat logam terutama sifat mekanis dan sifat fisis sangat mempengaruhi mikro struktur logam dan paduannya, disamping komposisi kimianya. Struktur mikro dari logam dapat diubah dengan jalan perlakuan panas ataupun dengan proses perubahan bentuk (deformasi) dari logam yang akan diuji.


(40)

Gambar 2.7 Alat uji struktur mikro (Lab Metallurgy USU)

Sebelum melakukan percobaan metalografi terhadap suatu material, terlebih dahulu harus ditentukan material logam apa yang akan diuji. Sebaiknya harus ada data pembanding antara data mikro struktur yang di dapat dari percobaan dengan data mikro struktur yang sebenarnya dari suatu material yang di jadikan benda uji.Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pada metalografi adalah sebagai berikut:

2.7.1 Cutting (Pemotongan) Spesimen

Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik merupakan hal yang sangat penting.Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan pengamatan yang hendak dilakukan.Pada umumnya bahan komersil tidak homogen, sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap representatif.Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis), dengan memperhatikan kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh, untuk pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang


(41)

berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda.

b. Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed diamond saw.

2.7.2 Mounting Spesimen

Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran metal tipis, potongan yang tipis, dan lain-lain.Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah:

a. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa) b. Sifat eksoterimis rendah

c. Viskositas rendah d. Penyusutan linier rendah e. Sifat adhesi baik

f. Memiliki kekerasan yang sama dengan spesimen

g. Flowability baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat pada spesimen.

h. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus kondusif.

Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang


(42)

dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan.Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras.Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit.Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb.in-2) dan panas (1490˚C) pada mold saat mounting.

2.7.3 Grinding (Pengamplasan) Spesimen

Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar.Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan.Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600 mesh). Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air.Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas.

2.7.4 Polishing (Pemolesan) Spesimen

Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan sampel. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Tahap


(43)

pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus.

2.7.5 Etching (Etsa) Spesimen

Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa.Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat.Pengamatan struktur makro dan mikro. Pengamatan metalografi dengan mikroskop optik dapat dibagi dua, yaitu:

a. Metalografi makro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10-100 kali.

b. Metalografi mikro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas 100 kali.

2.8 Pertumbuhan Struktur Butir

Struktur kristal alumunium akan rusak pada titik cairnya. Batas butir akan lenyap dan kekuatan mekanik tidak akan berarti lagi. Struktur kristal akan terbentuk kembali jika alumunium didinginkan. Sewaktu membeku, energi dilepaskan dalam bentuk panas laten pembekuan, dan laju pembekuan bergantung pada jumlah panas yang dapat dilepaskan.

Bila pendinginan berlangsung secara perlahan-lahan, terbentuklah kelompok atom pada permukaan cairan yang kemudian menjadi inti butiran padat. Selama solidifikasi dengan laju pendinginan lambat, inti pertama bertambah besar akibat kepindahan atom dari cairan kebahan padat. Akhirnya, semua cairan bertransformasi dan butir bertambah besar. Batas butir merupakan titik pertemuan pertumbuhan berbagai inti. Bilka pendinginan cepat, jumlah kelompok bertambah dan tiap-tiap kelompok tumbuh dengan cepat hingga akhirnya saling bertemu. Sebagai hasil akhir, diperoleh alumunium dengan jumlah butir yang banyak atau disebut alumunium padat berbutir halus.


(44)

Bila alumunim direntangkan melampaui batas elastik dan mengalami deformasi tetap sebagian energi deformasi tertumpuk dalam butir sebagai distorsi kisi dan rangkaian dislokasi. Pemanasan hingga temperatur tinggi hanya akan mengubah bentuk butir secara terbatas, terkecuali pada besi dan baja. Transformasi struktur padat terjadi jauh dibawah titik cair, dan mempunyai efek memperhalus butir struktur coran. Akan tetapi, umunya bahan teknik tidak mengalami transformasi seperti itu dan struktur coran akan tetap ada sampai dipecahkan secara mekanik.

2.8.1 Perhitungan Diameter Butir

Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengukur besar butir dari struktur mikro suatu material salah satunya adalah metode Planimetri yang dikembangkan oleh Jeffries. Dimana metode ini cukup sederhana untuk menetukan jumlah butir persatuan luas pada bagian bidang yang dapat dihubungkan pada standar ukuran butir ASTM E 112. Metode planimetri ini melibatkan jumlah butir yang terdapat dalam suatu area tertentu yang dinotasikan dengan NA. Secara skematis proses perhitungan menggunakan metode ini seperti

pada gambar 2.7.

Gambar 2.8 Perhitungan diameter butiran menggunakan metode planimetri Jumlah butir bagian dalam lingkaran (Ninside) ditambah setengah jumlah

butir yang bersingungan (Nintercepted) dengan lingkaran dikalikan oleh pengali


(45)

`

(2.5)

Dimana pengali Jeffries yang dipergunakan tergantung pada perbesaran yang digunakan pada saat melihat struktur mikro dan dapat ditetuklan melalui tabel 2.3

Tabel 2.3 Hubungan antara perbesaran yang digunakan dengan pengali Jeffries


(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Waktu penelitian ini dimulai dari Mei sampai dengan September 2011. Tempat dilaksanakannya penelitian adalah di Laboratorium Proses Produksi , Laboratorium Teknologi Mekanik, Laboratorium Metalurgi Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Khusus untuk pemotongan lembar Aluminium dilakukan di Bengkel Mesin Politeknik Medan.

3.2 Prosedur penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa proses pembuatan spesimen sebelum masuk kepada pengujian inti. Dari bahan awal berupa lembaran aluminium, hal yang pertama dilakukan adalah pemotongan aluminium lembaran tersebut menjadi bentuk strip dengan lebar 2 cm. Proses termomekanikal dilakukan dengan memanaskan specimen dan dilanjutkan dengan tahap rolling untuk mendapatkan variasi deformasi ketebalan yang diikuti dengan heatreatment dengan variasi suhu.uji coba sebelumnya yang penulis lakukan dengan metode trial and error. Setelah spesimen Termomekanikal selesai barulah kemudian masuk kepada proses pembuatan spesimen uji. Metode pengujian pada penelitian ini meliputi uji tarik, kekerasan, dan struktur mikro.

3.2.1 Persiapan Bahan

Dalam Penelitian ini bahan yang digunakan adalah aluminium komersil yang terdapat di pasaran. Bahan pada bulan Mei 2011, dibeli di Toko Waja, Jalan Pandu, Medan. Aluminium dengan jenis lembaran dan dimensi 1 x 2 m dan tebal 5 mm seperti yang terlihat pada gambar 3.1


(47)

Gambar 3.1. Lembaran aluminium

3.2.2 Persiapan Alat

Alat yang digunakan dalam pembuatan spesimen Termomekanikal adalah sebagai berikut:

1. Mesin Pemotong Logam

Alat ini digunakan untuk memotong lembar aluminium menjadi bentuk strip untuk menyesuaikan dengan kondisi furnace yang kecil. Spesifikasi :

Merk : HYDRACUT

Tipe : GUITOLINI

Max Cut : 5 meter – 5 mm


(48)

2. Roller

Alat ini digunakan untuk pengerolan dalam proses Termomekanikal. Tidak menggunakan mesin, hanya menggunakan tenaga manusia dengan tuas di kiri dan kanannya.

Spesifikasi :

Merk : FASTI Germany

Type : 1270X-2

Max : 40 Kp/mm²

Gambar 3.3 Roller

3. Furnace

Alat ini digunakan untuk melakukan pemanasan (Heat Treatment) pada spesimen sebelum di-rolling.

Spesifikasi :

Merk : NABER

Made in : Bremen Germany

Type : 2804


(49)

Gambar 3.4 Heat Treatment

4. Termometer

Alat ini digunakan sebagai pengukur suhu sebagai pengganti pengukur suhu yang rusak pada heat treatment.

Spesifikasi :

Merk : KRISBOW

Type : KW06-278

Rentang Suhu : -5 s/d 1300 ºC

Skala : Celcius, Fahreinheit, Kelvin


(50)

3.2.3 Pembuatan spesimen Termomekanikal

Spesimen yang akan dibuat untuk mendapatkan variasi deformasi dengan perlakuan heatreatmen pada lima kondisi suhu, berikutnya spesimen ini akan diproses lagi untuk menjadi spesimen uji tarik, uji kekerasan, dan metalografi.

Adapun proses pembuatan spesimen termomekanikal adalah sebagai berikut :

1. Semua alat dan bahan disiapkan.

2. Pelat aluminium dipotong menjadi strip dengan lebar 2 cm dengan menggunakan mesin pemotong logam.

3. Kemudian benda dipotong lagi sesuai dengan panjang 10 cm dan lebar 2 cm yang diinginkan untuk tiap layernya menggunakan gergaji tangan.

4.. Perlakuan Heatreatment pada spesimen, spesimen dipanaskan di dalam furnace dengan suhu 400 ºC ,450 ºC ,500 ºC ,550 ºC dan 600 ºC selama 60 menit.

5. Pengerolan spesimen dilakukan untuk untuk mendapatkan deformasi 10 %,30 % dan 50 % dari tebal spesimen.

6. Pesimen didinginkan pada suhu ruangan. 7. Langkah diatas dilakukan untuk setiap keadaan

Secara ilustrasi langkah pembuatan spesimen akan diperlihatkan pada gambar 3.6


(51)

3.3 Pengujian

Pengujian yang dilakukan pada spesimen meliputi pada uji tarik, uji kekerasan dan observasi metalografi.

3.3.1 Uji Tarik

Pengujian tarik dilakukan di Laboratorium Teknologi Mekanik Departemen Teknik Mesin USU dengan menggunakan Torsee Universal Testing Machine, seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.9.

Spesifikasi

Type : AMU-10 Beban max : 10 Ton Force Tahun : 1989

Gambar 3.7 Torsee Universal Testing Machine

3.3.1.1 Pembuatan Spesimen Uji Tarik

Spesimen yang dipakai pada pengujian tarik ini mengacu pada ASTM E 8-04 untuk subsize specimen, seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.8.


(52)

Gambar 3.8 Spesimen uji tarik Keterangan gambar:

1. G—Gage length : 25.0 ±6 0.1 mm

2. W—Width : 6.0 ± 0.1 mm

3. T—Thickness : Thickness of material (5 mm)

4. R—Radius of fillet : 6 mm

5. L—Over-all length : 100 mm

6. A—Length of reduced section : 32 mm 7. B—Length of grip section : 30 mm 8. C—Width of grip sction, approximate : 10 mm

3.3.1.1.1 Persiapan Alat dan Bahan

Bahan yang dipergunakan adalah spesimen hasil dari proses Termomekanikal yang ditunjukkan pada gambar.


(53)

Alat yang dipergunakan dipergunakan untuk membentuk spesimen adalah mesin sekrap datar dengan tipe L-450 keluaran tahun 1993 yang terdapat di Laboratorium Proses Produksi Departemen Teknik Mesin USU, seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.10.

Spesifikasi :

Type : L-450 Tahun : 1993

Gambar 3.10 Mesin Sekrap Datar

3.3.1.1.2 Proses Pembuatan Spesimen Uji Tarik

Untuk pembuatan spesimen uji tarik dilakukan beberapa yaitu : 1. Semua alat dan bahan disiapkan

2. Semua bahan disamakan terlebih dahulu ukuran panjangnya.

3. Semua bahan tumpuk bersama kemudian diberi lem pada pinggirannya.

4. Pola spesimen dibuat pada spesimen terluar dengan menggunakan spidol.

5. Penyekrapan dilakukan mengikuti pola.

3.3.1.2 Pengujian Tarik

Prosedur untuk pengujian tarik dilakukan sebagai berikut : 1. Mesin dihidupkan


(54)

3. Spesimen dipasang pada pencekam. 4. Atur jarum penunjuk pada keadaan awal. 5. Hidrolik dihidupkan.

4. Katup hidrolik dibuka perlahan, tunggu sampai spesimen patah 5. Matikan hidrolik, dan buka katup.

6. Lepaskan spesimen dan grafik.

3.3.2 Uji Kekerasan

Pengujian kekerasan dilakukan di Laboratorium Metalurgi Fisik Departemen Teknik Mesin USU dengan menggunakan Brinell Hardness Tester tipe BH-3CF dengan kapasitas maksimal 3000 kg, seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.11.

Spesifikasi :

Type : BH-3CF Kapasitas max : 3000 Kgf

Bola indentasi : 3, 5, dan 10 mm

Gambar 3.11 Brinell Hardness Tester

Prosedur pengujian uji kekerasan adalah sebagai berikut: 1. Siapkan spesimen dan alat uji.


(55)

2. Ganti bola indentasi dengan ukuran 5 mm. 3. Letakkan spesimen di meja uji.

4. Tutup katup hirolik.

5. Tekan tuas hingga 500 kg, tahan 15 detik. 6. Buka katup hidrolik dan lepaskan spesimen.

7. Amati jejak yang terjadi dan konversikan ke-Brinell Hardness Number kemudian di catat.

3.3.3 Observasi Metalografi

Pengujian ini dilakukan di Laboratorium Metalurgi Fisik Departemen Teknik Mesin USU, dengan menggunakan mikroskop optik seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.12.

Spesifikasi:

Merk : Rax Vision 3

Pembesaran Optik : 50X, 100X, 200X, 500X, dan 800X Conector : USB 2.0 to Computer

Resolusi : 2 MP

Gambar 3.12 Mikroskop Optik

3.3.3.1 Mounting Spesimen Observasi Metalografi

Mounting berguna agar pada proses polish spesimen dapat dipegang dengan baik. Untuk spesimen observasi metalografi bahan akan di-mounting


(56)

menggukan resin, dengan cetaka bulat bebentuk tabung , hasil mounting adalah seperti yang diperlihatkan gambar 3.13.

Gambar 3.13 Spesimen yang sudah di-Mounting

3.3.3.1.1 Persiapan Bahan Mounting

Bahan yang dipergunakan adalah spesimen hasil dari Termomekanikal yang ditunjukkan pada gambar 3.13, bahan kemudia dipotong kecil dengan ukuran 1,5 x 1.5 cm. sedangkan untuk resin dan hardener yang dipergunakan merk Eposchon.

3.3.3.1.2 Prosedur Mounting

Adapun prosedur mounting adalah sebagai berikut : 1. Siapkan spesimen dan alat

2. Spesimen dipotong kecil dengan ukuran 1,5 x 1,5 cm

3. Buat campuran resin dan rardener dengan perbandingan 2 : 1

4. letakkan spesimen didasar cetakan dan masukkan campuran kedalam cetakan.

5. Tunggu sampai mengeras kemudian keluarkan spesimen dari cetakan.

3.3.3.2 Polishing Spesimen Observasi Metalografi

Polishing berguna untuk menghaluskan permukaan spesimen sebelum di-Etching. Polishing dilakukan di Laboratorium Metalurgi Fisik Departemen Teknik Mesin USU, dengan menggunakan mesin polisher.


(57)

3.3.3.3 Etching Spesimen Observasi Metalografi

Pengetsaan (Etching) adalah membilas permukaan spesimen dengan larutan kimia dengan tujuan untuk menampilkan struktur yang lebih detail untuk pengamatan makro atau mikro. Etsa akan mempertegas ketajaman, kontras dan ukuran dari fasa pori dan batas butiran.

Pada penelitian ini etsa digunakan adalah Keller`s Reagent, yang mempunyai komposisi kimia sebagai berikut :

1. 95 ml Destilled H2O

2. 2,5 ml HNO3

3. 1.5 ml HCL 4. 1 ml HF

Prosedur untuk Etching adalah sebagai berikut : 1. Siapkan spesimen yang telah di-polish. 2. Buat campuran etsa Kellers Reagent .

3. Teteskan esta pada spesimen, tunggu 3 – 5 menit.

4. Kibaskan spesimen untuk membuang etsa yang tersisa, dan tunggu sampai sisa etsa mengering.

3.3.3.4 Proses Observasi Metalografi

Setelah melalui proses mounting , polishing dan etching maka spesimen siap untuk diobservasi untuk melihat mikrostruktur-nya.

Adapun prosedur dari observasi metelografi adalah sebagai berikut :

1. Siapkan spesimen yang telah di mounting , polishing dan etching. 2. Hidupkan Mikroskop Optik, sambungkan dengan komputer yang

telah ter-install sofware di dalamnya. 3. Letakkan spesimen di meja pengujian. 4. Pilih ukuran lensa yang akan digunakan. 5. Amati gambar pada layar.

6. Save gambar yang diperlukan untuk nantinya akan di-analisa.

3.4 Diagram Alir Penelitian


(58)

Gambar 3.14 diagram alir penelitian Membuat spesimen ARB

Berhasil

Analisa Data

Laporan

Selesai Studi Literatur

Mulai

Proses Termomekanikal

Persiapan Pengujian Tidak

Ya


(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil Pengujian

Dalam subbab ini berisikan data angka, grafik dan foto-foto hasil penelitian setelah dilakukan proses termomekanikal pada kondisi suhu dan deformasi tertentu. Untuk data awal spesimen dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Sifat mekanis awal specimen

Tegangan batas (Mpa) Tegangan luluh (Mpa) Kekerasan (BHN)

111,1 74,3 34,6

4.1.1 Hasil Pengujian Kekerasan

Proses pengujian kekerasan logam dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap, ketika gaya tertentu diberikan pada suatu benda uji. Pengujian kekerasan dalam penelitian ini dilakukan agar dapat diketahui pengaruh temperature dan deformasi terhadap perubahan kekerasan material Aluminium. Secara umum hasil pengujian kekerasan dari penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Pengujian kekerasan badasarkan skala Brinell (BHN)

T (°C) Deformasi ketebalan 10 % (BHN) deviasi Deformasi Ketebalan 30% (BHN) deviasi Deformasi Ketebalan 50% (BHN) deviasi

400 40.88 ±1.8 41.52 ±1.20 40.20 ±1.15

450 46.74 ±2.26 48.92 ±2.01 45.66 ±1.15

500 41.08 ±1.20 42.02 ±2.09 43.68 ±1.71

550 46.18 ±1.30 43.48 ±2.79 40.64 ±0.98


(60)

Tabel diatas jika disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat seperti gambar 4.2

Gambar 4.1 Hubungan antara temperatur dan deformasi terhadap nilai kekerasan Bedasarkan hasil pengujian kekerasan yang digambarkan pada grafik dapat dilihat bahwa peningkatan kekerasan optimum terjadi pada temperatur 4500C dengan nilai BHN 48,92 pada deformasi 30 % dan cenderung menurun pada temperatur diatasnya kemudian kekerasan naik pada suhu 550 0C untuk deformasi 10 % dan 30 % , sedangkan untuk deformasi 50 % mengalami penurunan untuk suhu berikutnya sampai pada suhu 600 0C hal ini dikarnakan suhu pada saat proses termomekanikal mendekati nilai melting point yaitu 680 0C sehingga kekuatan mekanis suatu bahan akan menurun.

4.1.2 Hasil Pengujian Tarik

Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis dari spesimen dalam penellitain ini. Pada penelitian ini pengujian tarik hanya dilakukan pada deformasi 30 % karena dari hasil pengujian kekerasan perubahan yang signifikan terjadi pada deformasi ini.


(61)

Hasil pengujian tarik terdiri dari tiga parameter yaitu tegangan luluh (yield strength), tegangan batas (ultimate strength) dan keuletan yang ditunjukkan oleh besarnya regangan. Secara umum hasil pengujian tarik dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil uji tarik pada deformasi 30%

Temperatur

Tegangan

luluh Tegangan Batas

Regangan (%)

(0C) (MPa) (Mpa)

400 86.9 151.1 9.9

450 108.3 170.7 8.5

500 104.2 157.6 7.3

550 100.5 162.6 9.4

600 96.8 151.1 10.2

Tabel diatas bila di sajikan dalam bentuk grafik dapat terlihat seperti pada gambar 4.3.dan gambar 4.4

Gambar 4.2 kurva tegangan- regangan pada kondisi deformasi 30 %


(62)

Gambar 4.3 Hubungan antara temperatur dengan tegangan luluh dan tegangan batas pada deformasi 30%

4.1.3 Hasil Pengujian Metalografi (Metallography Test)

Pengujian metalografi dilakukan untuk melihat mikrostruktur yang ada dipermukaan spesimen. Pengujian ini menggunakan Reflected Metallurgical Microscope dengan type Rax Vision No.545491, MM-10A,230V-50Hz. Pengujian mikrostruktur ini dilakukan untuk Aluminium melalui proses rolling setelah dipanaskan dengan furnance. Pengujian mikrostruktur dilakukan dengan pembesaran 100X, 200X dan 500X. Hasil foto mikro seperti diperlihatkan pada gambar-gambar berikut :

(a) (b) 0

20 40 60 80 100 120 140 160 180

400 450 500 550 600

σ

(M

p

a

)

Temperatur ( C)

Tegangan luluh Tegangan batas


(63)

(c)

Gambar 4.4 Foto mikro dengan pembesaran 100X, 200X dan 500X pada deformasi 30 %

Gambar struktur mikro dari spesimen menunjukkan besar butir yang berubah pada setiap suhu. Hal ini terlihat pada deformasi 30 % :

(a) (b)

Gambar 4.5 Perbesaran 200X Aluminium setelah proses termomekanikal dengan deformasi 30% pada suhu 4000C (a) dan 4500C (b)

Dari hasil foto mikro menunjukkan jumlah butiran yang diasumsikan berbentuk spherical. Pada gambar 4.4 melalui 3 kali pembesaran terlihat bahwa bentuk butir spherical hal ini sangat jelas terlihat pada pembesaran 500 x. pada gambar 4.5 terlihat diameter butiran mengecil akibat pengaruh suhu. Pada jumlah


(64)

butiran dan diameter butiran mengecil sehingga buiran terlihat rapat antara satu dan lainnya hal ini membuktikan terjadinya penyusutan ukuran butiran terhadap kenaikan suhu pada kondisi temperatur 400 0C menuju 450 0C dengan kondisi deformasi 30 % dari pengujian tarik terlihat bahwa kekutan specimen meningkat dari 151,1 MPa menjadi 170,7 MPa.

4.1.4 Pengukuran Diameter Butiran

Hasil perhitungan diameter ukuran butiran dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Pengukuran Butiran Badasarkan Metode Planimetri (μm)

Ukuran Butiran pada deformasi 30 % dapat dilihat bentuk grafik dapat ditunjukan seperti gambar 4.6 berikut ini.

Gambar 4.6 HubunganTemperatur pada deformasi 30 % terhadap besar butiran 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

350 400 450 500 550 600

Be sa r b ut ir an m )

Temperatur (º C) Suhu (°C) Deformasi Ketebalan 10% (μm) Deformasi Ketebalan 30% (μm) Deformasi Ketebalan 50% (μm)

400 0C 40,2 39,26 42,33

450 0C 33,4 32,26 34,9

500 0C 39,3 38,1 37,16

550 0C 34,5 37,3 41


(65)

Dari tabel 4.3 dapat dilihat besar butir aluminium komersil pada level 400

0

C, 500 0C, dan 6000C mengalami kenaikan yang besar dan pada level suhu 450

0

C dan 5500C mengalami penurunan . Dengan metoda Planimetri didapatkan diameter butir pada suhu 400 0C sebesar 39,26 µm, kemudian pada suhu 450 0C Besar butir menurun menjadi 32,26 µ m. dapat dilihat bahwa butiran mengalami penghalusan dari 39,26 µ m menjadi 32,26 µ m . Hal ini berbanding terbalik dengan kekerasan yang makin meningkat ketika besar butir menurun. Pada suhu 500 0C ukuran besar butir kembali naik menjadi 38,1 µ m dan turun menjadi 37,3 µ m pada suhu 550 0C . Penurunan ukuran butiran yang signifikan terjadi pada rentang suhu 450 0C dan 5500C hal ini menunjukkan bahwa ukuran butir makin halus dari keadaan suhu sebelumnya. Selanjutnya pada suhu 600 0C ukuran butiran menjadi 43,03 µ m yang merupakan ukuran butir terbesar pada deformasi 30 %. Ukuran butiran mengalami kenaikan pada suhu 400 0C ,500 0C ,600 0C. 4.2. Pembahasan

4.2.1 Hubungan antara kekerasan dengan kekuatan tarik

Jika dikaitkan hasil pengujian tabel 4.1 pada nilai kekerasan di deformasi 30% dengan tabel 4.2 maka didapat dihubungan bahwa semakin tinggi nilai kekerasan material maka kekuatan tarik material itu semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Hubungan antara kekerasan dengan kekuatan tarik y = 2,288x + 59,80

150 155 160 165 170 175

35,00 37,00 39,00 41,00 43,00 45,00 47,00 49,00 51,00

σ

(M P a ) Kekerasan (BHN)


(66)

Dari grafik didapat hubungan kekerasan dengan kekuatan tarik yang dapat dilihat melalui Regresi linear y = 2.288x + 59.80 . Pada grafik terlihat dimana y mewakili kekutan tarik σ (MPa) dan x merupakan nilai kekerasan (BHN). Pada nilai BHN 40 dan 41,52 mencapai nilai kekuatan tarik 151,1 MPa sedangkan untuk selanjutnya nilai kekutannya cenderung akan naik. Nilai kekuatan maksimal berbanding lurus dengan kekerasan. Bila dibandingkan dengan kondisi awal specimen nilai kekerasan BHN 34,6 dan kekuatan 111,1 MPa sedangkan kondisi specimen setelah dilakukan proses termomekanikal pada suhu 450 0C dengan deformasi 30 % nilai kekuatannya 170,7 dan nilai kekerasannya adalah BHN 48,92. Hal ini dikarnakan kekuatan maksimal dari bahan ini terdapat pada kondisi suhu 450 0C.

4.2.2 Hubungan Antara Besar Butir Dengan Kekerasan

Adapun hubungan antara besar butir dan kekerasan dapat dilihat pada gambar 4.8 :

Gambar 4.8 Hubungan Antara Besar Butir Dengan Kekerasan

Dari grafik terlihat bahwa diameter butiran mempengaruhi kekerasan dimana dapat dilihat melalui regresi linear y = -0.851x + 75.52. Semakin kecil diameter butiran maka semakin tinggi nilai kekerasan. Terlihat pada diameter butiran 43,03 μm kekerasan specimen mencapai nilai BHN 40 sedangkan untuk diameter butiran terkecil 32,26 µ m kekerasan meningkat menjadi 48,92. Pada diameter butiran terkecil

y = -0,851x + 75,52

0 10 20 30 40 50 60

30 32 34 36 38 40 42 44 46

k e k e ra sa n ( B H N )


(67)

kekerasan meningkat secara signifikan hal ini membuktikan telah terjadinya deformasi plastis dan specimen mencapai keunggulan sifat mekanisnya pada suhu 450 0C .

4.2.3 Hubungan besar butir kekuatan tarik

Perubahan besar butir akibat proses Termomekanikal treatment mempengaruhi nilai kekutan tarik Aluminium .Hubungan ini dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3.

Gambar 4.9 Hubungan antara besar butir dan kekuatan tarik

Dari grafik terlihat bahwa diameter butiran berpengaruh pada kekuatan specimen. Hal ini dapat terlihat pada dimater butiran terbesar 43,03 μm nilai kekuatan specimen 96,8 MPa pada keadaan suhu 600 0C , sedangkan untuk diameter butiran terkecil 32,26 μm kekuatan specimen mencapai 170,7 MPa pada keadaan suhu 450 0C. Hal ini membuktikan bahwa semakin kecil diameter butiran kekuatan specimen akan meningkat, sesuai dengan persamaan Hall-Petch (HP) yaitu

. Formulasi ini berlaku untuk butiran mikrostruktur yang halus dan ekstrim serta mekanisme penguatan lain yang dominan. Dimana mekanisme ini berhubungan dengan stabilitas dislokasi . dislokasi itu penting untuk menentukan (ukuran butir ) yaitu hubungan untuk bahan yang berbeda dan utnuk menentukan stabilitas hubungan yang tergantung pada pemprosesan awal.

y = -1,981x + 233,8 145 150 155 160 165 170 175

30 32 34 36 38 40 42 44

σ

(M

P

a

)


(68)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian adalah:

1. Kekerasan aluminium komersil mengalami peningkatan kekerasan yang signifikan pada deformasi 30 % suhu 450 0C dapat dilihat dari kekerasan awal alumunium BHN 34,6 meningkat menjadi BHN 48,92 Setelah mengalami proses Termomekanikal.

2. Dari pengujian diperoleh peningkatan tegangan batas sebesar 53,6 % dimana tegangan batas awal 111,1 MPa menjadi 170,7 MPa pada specimen dengan keadaan deformasi 30 % suhu 450 0C

3. Dari hasil pengujian didapat bahwa diameter butiran mengecil seiring menigkatnya kekerasan dan keuletan dimana ukuran butiran terkecil 32,26 µ m dengan nilai kekerasan BHN 48,92 ,Tegangan batas 170,7 MPa , Tegangan luluh 108,3 MPa

4. Keunggulan material Aluminium meningkat dari keadaan bahan awal dimana tegangan batas 111,1 MPa, Tegangan luluh 74,3 MPa dan kekerasan BHN 34,6 dan setelah pengujian mencapai kekerasan maksimal pada suhu 450 0C Pada deformasi 30 % sesuai dengan hasil kekerasan BHN 48,92 ,Tegangan batas 170,7 MPa , Tegangan luluh 108,3 MPa dan ukuran butiran 32,26 µm

5. Dari pengujian didapat sifat mekanis alumunium memenuhi sebagai bahan pipa, dimana alumunium komersil yang telah diuji memiliki kekerasan BHN 48,92 ,Tegangan batas 170,7 MPa , Tegangan luluh 108,3 MP. Sesuai dengan standar aluminium seri 3003 (ASTM B 241M – 02 – 2004) yaitu kekerasan BHN 35 Tegangan batas 130 MPa , Tegangan luluh 125 MPa

5.2 Saran

1. Untuk mendapatkan sifat mekanis yang lebih baik dari penelitian ini diharapkan memakai menggunakan mesin rolling yang dapat beroprasi dengan motor untuk mendapatkan kecepatan pengerollan yang stabil.

2. Untuk mendapatkan sifat mekanis yang lebih baik agar digunakan metode deformasi plastis yang lain


(69)

DAFTAR PUSTAKA

Al Hasa, M. Husna. Karakterisasi Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Paduan Intermetalik Alfeni Sebagai Bahan Kelongsong Bahan Bakar, J. Tek. Bhn. Nukl. Vol. 3 No. 2 Juni 2007: 49–109.

Amanto, Hari, dan Daryanto. Ilmu Bahan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999. ASM Handbook vol 9. Metallography and Microstructures, ASM International: USA, 2004.

ASM Handbook, Volume 1, Properties and Selection: Irons Steels and High Performance Alloys. ASM International, 2005.

ASTM E 10-01. Standard Test Method for Brinell Hardness of Metallic Materials. ASTM International, 2004

ASTM E 112-96 rev, Standart Test Methods for Determining Average Grain Size. ASTM International, 2000.

ASTM B 241M –02 Standard Specification for Aluminum and Aluminum-Alloy Seamless Pipe and Seamless Extruded Tube, ASTM International, 2004

Callister Jr, W.D. Material Science and Engineering: An Introduction. New York: John Wiley&Sons: 2004.

Dieter, George E. Metalurgi Mekanik, Jakarta: Erlangga, 1987.

Geels, Kay., Daniel B. Fowler., Wolf-Ulrich Kopp., and Michael Rückert, 2006, “Metallographic and Materialographic Specimen Preparation, Light Microscopy, Image Analysis and Hardness Testing”, ASTM International.

diunduh 1

juni 2011, 09.44 PM


(70)

John E Hatch. Alumunium Properties and Physical Metallurgy. Ohaio : Metal Park. 1983

Khzouz, Erik. Grain Growth Kinetics in Steels, Worcester Polytechnic Institute April 2011.

Leslie, William C. The physical metallurgy of Steel, McGraw-Hill, 1982

Nash, William.Strength of Materials. Schaum’s Outlines, 1998.

Smallman, R.E. Metalurgi Fisik Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1991.

Surdia, Tata, Saito, S .2006. Pengetahuan Bahan Teknik. edisi kesembilan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

W.O., Alexander;Djaprie, Sriati;E.J., Bradbury. Dasar Metalurgi Untuk Rekayasawan Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.


(71)

(1)

LAMPIRAN B

TABEL KEKERASAN SPESIMEN

Temperatur Deformasi Diameter indentor BHN Rata- rata Deviasi

400 ° C 10% 3.8 42.4 40.88 ± 1.8

3.8 42.4

4 38.1

3.9 40.2

3.85 41.3

30% 3.8 42.4 41.52 ± 1.20

3.8 42.4

3.8 42.4

3.9 40.2

3.9 40.2

50% 3.9 40.2 40.2 ± 1.15

3.8 42.4

3.9 40.2

4 38.1

3.9 40.2

450 ° C 10% 3.65 46.1 46.74 ± 2.26

3.5 50.3

3.7 44.9

3.7 44.9

3.6 47.5

30% 3.45 51.8 48.92 ± 2.01

3.6 47.5

3.5 50.3

3.6 47.5

3.6 47.5

`` 50% 3.7 44.9 45.66 ± 1.15

3.65 46.1

3.7 44.9

3.7 44.9

3.6 47.5

500 ° C 10% 3.9 40.2 41.08 ± 1.20

3.9 40.2

3.8 42.4

3.8 42.4

3.9 40.2

30% 3.95 39.1 42.02 ± 2.09


(2)

( lanjutan )

Temperatur Deformasi Diameter indentor BHN Rata- rata Deviasi

3.8 42.4

3.8 42.4

50% 3.7 44.9 43.68 ± 1.71

3.8 42.4

3.85 41.3

3.7 44.9

3.7 44.9

550 ° C 10% 3.7 44.9 46.18 ± 1.30

3.6 47.5

3.6 47.5

3.7 44.9

3.65 46.1

30% 3.95 39.1 43.38 ± 2.79

3.7 44.9

3.65 46.1

3.7 44.9

3.8 42.4

50% 3.8 42.4 40.64 ± 0.98

3.9 40.2

3.9 40.2

3.9 40.2

3.9 40.2

600 ° C 10% 3.9 40.2 39.98 ± 0.92

3.95 39.1

3.95 39.1

3.85 41.3

3.9 40.2

30% 4 38.1 40 ± 1.16

3.9 40.2

3.9 40.2

3.9 40.2

3.85 41.3

50% 3.95 39.1 41 ± 1.1

3.85 41.3

3.95 39.1

3.85 41.3


(3)

Suhu Deformasi N inside N intercepted f NA Average diameter (µm)

400 °C

10%

8 10 50 650 39,6

9 10 50 700 37,9

7 8 50 550 43

Diameter rata-rata 40,2 30%

6 9 50 525 43,9

7 11 50 675 38,7

11 11 50 825 35,2

Diameter rata-rata 39,26 50%

5 9 50 475 46,1

6 10 50 550 43

9 10 50 700 37,9

Diameter rata-rata 42,33 450 °C

10%

11 13 50 875 34,2

12 14 50 950 32,7

12 13 50 925 33,2

Diameter rata-rata 33,4 30%

14 11 50 1025 31,4

13 10 50 900 33,7

15 10 50 1000 31,7

Diameter rata-rata 32,26 50%

10 10 50 750 36,8

12 10 50 850 34,7

12 13 50 925 33,2


(4)

Lanjutan

Suhu Deformasi N inside N intercepted f NA Average diameter (µm)

500 °C

10%

7 9 50 575 42,2

7 11 50 625 40,4

11 11 50 825 35,2

Diameter rata-rata 39,3 30%

10 13 50 825 35,2

7 9 50 675 38,7

7 11 50 625 40,4

Diameter rata-rata 38,1 50%

9 12 50 750 36,8

9 12 50 750 36,8

8 12 50 700 37,9

Diameter rata-rata 37,16

550 °C

10%

10 12 50 800 35,8

12 10 50 850 34,7

12 13 50 925 33,2

Diameter rata-rata 34,5 30%

8 12 50 700 37,9

9 11 50 725 37,3

9 12 50 750 36,8

Diameter rata-rata 37,3 50%

6 9 50 525 43,9

7 11 50 675 42,3

10 11 50 775 36,6


(5)

Lanjutan

Suhu Deformasi N inside N intercepted f NA Average diameter (µm)

600 °C

10%

6 9 50 525 43,9

6 9 50 525 43,9

6 10 50 550 43

Diameter rata-rata 43,6 30%

8 7 50 575 42,2

6 7 50 525 43,9

6 10 50 550 43

Diameter rata-rata 43,03 50%

9 6 50 680 41,3

9 7 50 625 40,4

10 8 50 700 37,9

Diameter rata-rata 39,86 Contoh perhitungan :

Berdasarkan metode planimetri

NA = f (N inside +

)

=

50 (13

+

)

NA

= 900


(6)

Tabel Grain Size Relationships Computed For Uniform, Randomly Oriented, Equiaxed Grains

ASTM E-112