Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film Captain Phillips Karya Paul Greengrass (Analisis Semiotik John Fiske Mengenai Nilai Kepahlawanan Dalam Film Captain Phillips Karya Paul Greengrass)

(1)

(Analisis Semiotik John Fiske Mengenai Nilai Kepahlawanan Dalam Film Captain Phillips Karya Paul Greengrass)

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata I (S1) pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik

Oleh : Dita Ayu Ananda

NIM. 41810059

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

viii DAFTAR ISI

hal

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.2.1 Pertanyaan Makro ... 5

1.2.2 Pertanyaan Mikro... 5

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Maksud Penelitian ... 6

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Kegunaan Penelitian ... 6

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 6


(3)

ix

2.1.1.1 Tabel Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 12

2.1.2 Tinjauan Ilmu Komunikasi ... 14

2.1.2.1 Definisi Ilmu Komunikasi... 14

2.1.3 Tinjauan tentang Komunikasi Massa ... 16

2.1.3.1 Karakteristik Komunikasi Massa ... 17

2.1.3.2 Fungsi Komunikasi Massa ... 19

2.1.4 Tinjauan Tentang Film ... 21

2.1.5 Film Dalam Komunikasi Massa ... 22

2.1.6 Tinjauan Tentang Semiotika ... 22

2.1.6.1 Film dalam Semiotika... 24

2.1.6.2 Kode-Kode Televisi John Fiske ... 25

2.1.7 Tinjauan Tentang Ideologi ... 28

2.1.8 Teori Komunikasi Kelompok ... 30

2.2 Kerangka Pemikiran ... 35

2.2.1 Pengertian Representasi ... 36

2.2.2 Pengertian Kepahlawanan ... 38

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian... 43

3.1.1 Film Captain Phillips ... 43


(4)

x

3.1.3 Tim Produksi dan Kru Film ... 47

3.1.4 Subjek Penelitian ... 48

3.2 Metode Penelitian ... 52

3.2.1 Desain Penelitian ... 53

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 55

3.2.2.1 Studi Pustaka ... 55

3.2.2.2 Studi Lapangan ... 56

3.2.3 Teknik Penentuan Informan Pendukung ... 57

3.2.4 Teknik Analisa Data ... 59

3.2.5 Uji Keabsahan Data ... 60

3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 64

3.2.6.1 Lokasi Penelitian ... 64

3.2.6.2 Waktu Penelitian ... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Informan Pendukung ... 67

4.2 Hasil Penelitian ... 68

4.2.1 Hasil Analisis Film Captain Phillips Sequence Prolog ... 81

4.2.2 Hasil Analisis Film Captain Phillips Sequence Ideological Content ... 96

4.2.3 Hasil Analisis Film Captain Phillips Sequence Epilog ... 99

4.3 Pembahasan ... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 121


(5)

xi


(6)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 12

Tabel 3.1 Tampilan Sequence Prolog Dalam Film Captain Phillips ... 49

Tabel 3.2 Tampilan Sequence Ideological Content Dalam Film Captain Phillips ... 50

Tabel 3.3 Tampilan Sequence Epilog Dalam Film Captain Phillips ... 51

Tabel 3.4 Data Informan Pendukung ... 57

Tabel 3.5 Rancangan Penelitian Skripsi ... 65

Tabel 4.1 Tabel Informan Pendukung, Tempat dan Waktu Wawancara ... 67

Tabel 4.2 Sequence Prolog ... 82

Tabel 4.3 Sequence Ideological Content ... 97


(7)

xiii

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Analisis Semiotika “Representasi Makna

Heroisme Dalam Film Captain Phillips” ... 42

Gambar 3.1 Cover Film Captain Phillips... 43

Gambar 4.1 Hendra Purnama ... 67

Gambar 4.2 Penampilan Sequence Prolog ... 82

Gambar 4.3 Kostum Sequence Prolog ... 83

Gambar 4.4 Riasan Sequence Prolog ... 84

Gambar 4.5 Kapal Maersk Alabama ... 85

Gambar 4.6 Behaviour Sequence Prolog ... 86

Gambar 4.7 Gesture Sequence Prolog ... 87

Gambar 4.8 Ekspresi Sequence Prolog ... 88

Gambar 4.9 Kamera Sequence Prolog ... 89

Gambar 4.10 Pencahayaan Sequence Prolog ... 90

Gambar 4.11 Datangnya Perompak ... 92

Gambar 4.12 Konflik Dengan Awak Kapal ... 92

Gambar 4.13 Karakter Protagonis Sequence Prolog ... 93

Gambar 4.14 Karakter Antagonis Sequence Prolog ... 94

Gambar 4.15 Aksi Sequence Prolog ... 95

Gambar 4.16 Penampilan Sequence Ideological Content ... 97


(8)

xiv

Gambar 4.18 Tata Rias Sequence Ideological Content ... 99

Gambar 4.19 Lingkungan Sequence Ideological Content... 99

Gambar 4.20 Cara Berbicara Sequence Ideological Content ... 100

Gambar 4.21 Gerakan Sequence Ideological Content ... 101

Gambar 4.22 Perilaku Sequence Ideological Content ... 101

Gambar 4.23 Pencahayaan Sequence Ideological Content ... 102

Gambar 4.24 Konflik Sequence Ideological Content ... 104

Gambar 4.25 Karakter Sequence Ideological Content ... 105

Gambar 4.26 Aksi Sequence Ideological Content ... 105

Gambar 4.27 Penampilan Sequence Epilog ... 110

Gambar 4.28 Tata Rias Sequence Epilog ... 110

Gambar 4.29 Perilaku Sequence Epilog ... 111


(9)

xv

Lampiran 1 Surat Persetujuan Pembimbing ... 125

Lampiran 2 Berita Acara Bimbingan ... 126

Lampiran 3 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Seminar Usulan Penelitian ... 127

Lampiran 4 Pengajuan Pendaftaran Seminar Usulan Penelitian ... 128

Lampiran 5 Lembar Revisi Usulan Penelitian ... 129

Lampiran 6 Pedoman Wawancara Informan Penelitian ... 130

Lampiran 7 Pedoman Observasi Informan Penelitian ... 131

Lampiran 8 Identitas Informan Pendukung ... 132

Lampiran 9 Transkrip Wawancara ... 133

Lampiran 10 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Sidang Sarjana... 141

Lampiran 11 Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Sarjana...142

Lampiran 12 Lembar Revisi Skripsi ...143


(10)

123

DAFTAR PUSTAKA

BUKU – BUKU :

Adian, Donny Gahral. 2011. Setelah Marxisme. Depok: Penerbit Koekoesan Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama

Media

Budiono, Kabul. 2012. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Alfabeta

Dominick, Joseph R. 2000. The Dynamic Of mass Communication. New York: Random House

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : Citra Aditya Bakti.

____________________. 2006. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Fiske, John. 1987. Television Culture. E-book : British Library Cataloguing in Publication Data

Fiske, John. 2004. Communication And Cultural Studies. Jogjakarta: Jalasutra Hiebert, Ray Eldon, Donald F. Ungurait, Thomas W. Bohn. 1975. Mass Media:

An Introduction to Mass Communication. New York : David Mc.Kay Company

Matta, Anis. 2004. Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta: The Tarbawi Center Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi “Suatu Pengantar”. Bandung: PT.


(11)

124 Rosda Karya.

Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika Dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari Rakhmat, Jalaluddin, 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono.2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung:

CV.Alfabeta

INTERNET SEARCHING :

1. http://balibackpacker.blogspot.com/2013/10/sinopsis-film-captain-phillips-tom-hanks.html

(19:00, 18 Februari 2014)

2. http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-film.html (18 Februari 2014, 22:03)

3. http://wallchips.cm/captain-phillips-cover-movie-hd-wallpaper.html, 2014

KARYA ILMIAH :

1. Skripsi Susi Deviyana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011

2. Skripsi Reno Kurniawan, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013 3. Skripsi Berry Arneldi, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013 4. Skripsi Lina Afriyanti, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2013


(12)

145

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dita Ayu Ananda

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 19 Agustus 1992 Nomor Induk Mahasiswa : 41810059

Program Studi : Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Umur : 22 Tahun

Tinggi, berat badan : 157 cm, 51 kg Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Bukit Cimanggu City, Blok AA1 no 10, Bogor Nama Ayah : Sujarwo Effendi (Alm.)

Pekerjaan : -

Nama Ibu : Cahya Indri Anita


(13)

146 Telepon / HP : 082111119459

Email : ayuuanandda@ymail.com

Pendidikan Formal

Tahun Pendidikan Keterangan

1998 – 2004 SD Regina Pacis Bogor Berijazah

2004-2006 SMP Regina Pacis Bogor Pindah

2006 – 2007 SMP Semen Gresik Berijazah

2007 – 2010 SMA PGRI 4 Bogor Berijazah

2010 - sekarang

Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM)

Sedang Proses

Pelatihan Seminar

Tahun Seminar Keterangan

2010 Table Manner @Amaroossa Hotel Bersertifikat 2010 Putri Terbaik IK & PR 2010 @Unikom Bersertifikat 2010 Orientasi Pelatihan Jurnalistik,

Menumbuhkan Profesionalisme Insan Pers @UIN Bandung

Bersertifikat

2011 One Day Workshop Mc & Radio Announcer @Unikom Bandung

Bersertifikat

2011 TBI Training Certificate @TBI Bandung Bersertifikat 2012 “Kreatif Menulis, Rejeki Tak Akan Bersertifikat


(14)

147

Habis” Bersama Raditya Dika @Unikom 2012 Workshop Sinematografi Communiaction

@Unikom Bandung

Bersertifikat

2014 Succesfully Completed as Announcer & Producer @DJArie Radio

Bersertifikat

2014 Cepat dan Mudah Membuat Website Online dalam 30 Menit @Lab Hardware

Unikom

Bersertifikat

2014 Hardware Komputer Unikom @Unikom Bandung

Bersertifikat

2014 EPT @English Department Unikom Bersertifikat

Bandung, Juli 2014

Hormat Saya,


(15)

v Salam Sejahtera

Puji Syukur Yesus Kristus karena atas kehendak-Nyalah peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat Sidang Skripsi.

Terima kasih kepada Ibuku, yang selalu mengiringi langkahku dengan doa, Mendiang ayahku yang sudah tenang disana, serta keluarga cemara dirumah yang sudah membesarkan saya hingga saat ini dengan kasih sayang dan doa sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar dan terselesaikan.

Dalam penyusunan skripsi ini peneliti menghadapi banyak kendala namun berkat adanya doa, dorongan dan dukungan akhirnya kendala itu dapat teratasi. Dan usulan penelitian ini bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.

Pada kesempatan kali ini, dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan rasa hormat, terimakasih, dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth. Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A Selaku Dekan FISIP Universitas Komputer Indonesia Bandung. yang telah memberikan izin peneliti untuk melakukan penelitian

2. Yth. Bapak. Drs. Manap Solihat., M.Si selaku Dosen Pembimbing, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia dan dosen wali yang telah memberikan dukungan dan pembelajaran yang baik, terima


(16)

vi

kasih untuk kepercayaan yang diberikan selama ini, juga canda tawa disetiap waktunya. Terimakasih juga untuk setiap saran dan dukungan saat memasuki tiap semesternya. Terimakasih banyak Pak.

3. Yth. Ibu Melly Maulin P, S.Sos, M.Si, selaku Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Komputer Indonesia yang telah memberikan arahan sebelum dan sesudah peneliti melaksanakan skripsi.

4. Yth. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Khususnya Konsentrasi Ilmu Jurnalistik, yang telah membantu peneliti dalam setiap perkuliahan sehingga dapat diterapkan dalam skripsi ini.

5. Yth. Ibu Astri Ikawati., A.Md kom selaku

Sekretariat Program Studi Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relation.

6. Untuk keluargaku, Ibu Cahya Indri Anita, Mas Dani dan Mas Andri, Mbak Phiwi dan Mbak Karina, Keponakanku Richel dan Milan. Ayahku, Sudjarwo Effendi.

7. Yts. Mohammad Husyein yang selalu memberi

motivasi dan doa kepada penulis hingga selesainya penelitian ini di susun. 8. Untuk kru DJ Arie Radio generasi 1 (Mas Ari, Mas

Ukun, Ka Al, Ka Mirza, Pita, Nunga, Pepe, Nysa, Ardi, Bang Daeng,

Danu, Rere, Bagas, Tasya, Bagja, dll) khususnya kelas 112 untuk dukungan dan semangatnya.


(17)

vii

selalu menghibur, menggila, menangis dan tertawa bersama.

10. Untuk Sekretariat Mapaligi dan seluruh

anggotanya, terimakasih banyak atas supportnya dan candaannya yang tiada akhir.

11. Terimakasih untuk penghuni Kosan Bobi dan

Kompan 5 Liter (Gusti, Erwin).

12. Terimakasih untuk WARNAGRIPA atas

dukungannya, tetap berkarya dan tetap menjadi keluarga.

13. Dan Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih banyak, Tuhan Memberkati.

Dalam skripsi ini, peneliti sangat mengharapkan sekali kritik serta saran yang membangun sehingga tercapai kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini.

Dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi mahasiswa komunikasi konsentrasi jurnalistik.

Bandung, Juli 2014

Peneliti


(18)

viii


(19)

1 1.1 Latar Belakang

Sifat pahlawan adalah sifat dengan keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan. Pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan patriotisme (Budiono, 2012).

Seiring perkembangan zaman, kepahlawanan masa kini tidak dapat diartikan sempit sebagai seorang individu yang berperang menggunakan tombak panjang. Namun kepahlawanan masa kini dipandang lebih luas sebagai sosok yang memiliki keyakinan dan dengan keyakinan itu dapat mendorong seorang individu memperjuangkan sesuatu. Hal yang diperjuangkan itu haruslah bersifat positif karena kepahlawanan sangat identik dengan nilai positif.

Banyak sekali film-film bertemakan kepahlawanan, seperti Rambo dan Saving Private Ryan namun peneliti tertarik untuk meneliti film baru yaitu Captain Phillips. Captain Phillips merupakan sebuah film yang digarap oleh sutradara Paul Grengrass dan rilis pada Oktober 2013 lalu. Mengisahkan tentang Kapten Richard Phillips, seorang Kapten dari kapal Maersk Alabama yang mengangkut kargo sebesar 24.000 ton dengan 20 orang awak dan sedang melakukan perjalanan menuju Mombasa, Kenya. Film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 2009 dan kisahnya pun sudah dituangkan ke dalam novel berjudul A Captain’s Duty : Somali Pirates, Navy SEALs, and Dangerous


(20)

2

Days at Sea yang ditulis oleh Richard Phillips dan Stephan Talty1. Film Captain Phillips sudah banyak meraih prestasi secara komersial maupun nominasi penghargaan dunia. Film ini menarik dengan alur ceritanya yang menegangkan dan tidak jarang membuat penonton menghela napas di akhir cerita.

Film ini bersetting di sebuah kapal yang sedang melewati perairan Somalia. Sejak tahun 2005 silam, organisasi internasional telah menyorot sejumlah ancaman pembajakan kapal di pesisir Somalia yang semakin meningkat dan dilakukan oleh para perompak di pesisir Somalia tersebut. Kapal Maersk Alabama adalah salah satu kapal yang menjadi korban perompak di Somalia ini. Para perompak ini mengincar sejumlah uang yang besar dari kapal ini dan tidak hanya itu saja, pemimpin dari perompak itu yang bernama Muse juga menginginkan awak-awak kapal Maersk Alabama. Namun, Kapten Phillips menyembunyikan keberadaan para awak kapal dan mengatakan bahwa hanya ia dan asistennya yang ada di dalam kapal tersebut. Peneliti mendapatkan gambaran tentang kepahlawanan secara tersirat dari salah satu adegan ini. Film ini akhirnya menjadi ramai saat Kapten Phillips disandera oleh para perompak Somalia dan menciptakan adegan penyelamatan yang sengit oleh Angkatan Laut Amerika.

Dalam film ini, peneliti memperhatikan segi semiotikanya dimana akan membantu peneliti dalam menelaah suatu bentuk komunikasi dan mengungkap makna di dalamnya.

“Penyingkapan kode di dalam pengertian semiotika, secara sederhana

berarti pencarian kode teretentu, yang membentuk satu ekspresi bahasa, dan dengan demikian berfungsi sebagai pembentuk makna dari ekspresi

1

http://balibackpacker.blogspot.com/2013/10/sinopsis-film-captain-phillips-tom-hanks.html (19:00, 18 Februari 2014)


(21)

tersebut. Penyingkapan kode, dengan demikian, berarti “pencarian makna

-makna yang dikodekan”.” (Yasraf Amir Piliang, 2012:164)

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, Semeion yang berarti tanda. Kemudian diturunkan dalam bahasa Inggris menjadi Semiotics. Dalam bahasa Indonesia, semiotika atau semiologi diartikan sebagai ilmu tentang tanda. Dalam berperilaku dan berkomunikasi tanda merupakan unsur yang terpenting karena bisa memunculkan berbagai makna sehingga pesan dapat dimengerti.Menurut John Fiske, Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama: Pertama, Tanda itu sendiri. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dilambangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat tanda dan kode bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. (Fiske, 1990:60)

John Fiske dalam bukunya Television Culture merumuskan teori The Codes of Television yang menyatakan peristiwa yang dinyatakan telah di-enkode oleh kode-kode sosial. Pada teori The Codes of Television John Fiske merumuskan tiga level proses pengkodean : 1) Level realitas 2) Level representasi 3) Level Ideologi. Maka dari itu proses pengkodean Fiske tersebut dapat menjadi acuan sebagai pisau analisa peneliti dalam mengungkap Representasi Heroisme Dalam Film Captain Phillips karya Paul Greengrass. Berbeda dengan tokoh- tokoh semiotik yang lain, Fiske sangat mementingkan akan hal-hal mendasar pada


(22)

4

gejala – gejala sosial seperti halnya keadaan sosial dan kepopuleran budaya yang sangat mempengaruhi masyarakat dalam memaknai makna yang di encoding kan. Representasi yang dimaksud peneliti dalam judul adalah gambaran suatu makna yang diberikan pada benda, sedangkan representasi di dalam level pengkodean John Fiske ialah kode-kode teknis yang membantu peneliti dalam membedah nilai kepahlawanan dalam film yang diteliti.

Sebagai media massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan bentuk realitas itu sendiri. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat berbentuk fiksi atau non-fiksi. Lewat film, informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam karena film adalah media audio visual. Media ini digemari banyak orang karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan penyalur hobi.

Film sebenarnya mengajarkan tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat dimana individu hidup didalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing. Memahami beragam budaya terutama melalui sebuah film. Film juga dilihat sebagai media sosialisasi dan media publikasi budaya yang ampuh dan persuasif. Buktinya adalah ajang-ajang festival film semacam Jiffest (Jakarta International Film Festival), Festival Film Cannes, Festival Film Venice dan sejenisnya merupakan ajang tahunan yang rutin diselenggarakan di masing-masing negaranya.

Film-film yang disajikan dalam berbagai festival tadi telah berperan sebagai duta besar kebudayaan mereka sendiri, untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki budaya yang tentunya berbeda dengan budaya yang diangkat ke dalam film tersebut. Duta besar yang tidak birokratis. Unsur-unsur


(23)

dan nilai budaya ini yang sering luput dari sajian televisi. Media televisi tidak bisa atau lebih tepatnya tidak merasa perlu menyajikan nilai budaya sebagaimana yang tersajikan melalui media film. Film digunakan sebagai cerminan untuk berkaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat.

Film tidak hanya mengkontruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film tersebut. Film juga menjadi media propaganda untuk mempengaruhi khalayak atau penikmatnya yang sangat cukup memiliki efektifitas yang tinggi dalam capaian capaian yang bisa dilihat dalam fenomena kehidupan sehari hari- hari.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Pertanyaan Makro

Dari uraian dan latar belakang masalah di atas yang telah di jelaskan, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut. “Bagaimana Representasi Kepahlawanan dalam Film Captain Phillips ?”

1.2.2 Pertanyaan Mikro

Subfokus yang diangkat masalah berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah diatas adalah sebegai berikut :


(24)

6

2. Bagaimana representasi nilai Kepahlwanan dalam Film Captain Phillips?

3. Bagaimana ideologi nilai Kepahlawanan dalam Film Captain Phillips ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Representasi Kepahlawanan dalam Film Captain Phillips.

1.3.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui realitas nilai Kepahlawanan dalam Film Captain Phillips.

2. Untuk mengetahui representasi nilai Kepahlawanan dalam Film Captain Phillips.

3. Untuk mengetahui ideologi nilai Kepahlawanan dalam Film Captain Phillips.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori semiotika dalam konteks komunikasi massa. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kajian bahwa suatu film dapat mencerminkan nilai budaya dan pengaruhnya besar dalam kehidupan.


(25)

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Bagi Peneliti

Dapat dijadikan sebagai bahan pengalaman dan pengetahuan, khususnya mengenai analisis semiotika John Fiske mengenai makna Kepahlawanan dalam film Captain Phillips serta untuk mengaplikasikan ilmu yang selama studi diterima oleh peneliti secara teori.

2. Bagi Universitas

Bagi universitas, khususnya program studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Ilmu Jurnalistik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi ilmu untuk pengembangan disiplin ilmu bersangkutan dan dapat dijadikan sebagai literatur untuk penelitian di bidang yang sama.

3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dapat memberikan pemahaman tentang kajian semiotika John Fiske secara menyeluruh mengenai sebuah pemaknaan yang ada di dalam sebuah film. Serta menambah pengetahuan masyarakat mengenai arti kepahlawanan secara luas.


(26)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tinjauan penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi yang diambil oleh peneliti. Melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu, yang mana ada dasarnya peneliti mengutip beberapa pendapat yang dibutuhkan oleh penelitin sebagai pendukung penelitian. Tentunya dengan melihat hasil karya ilmiah yang memiliki pembahasan serta tinjauan yang sama sebagai acuan.

1. Skripsi Susi Deviyana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta,

2011

Penelitian Susi Deviyana yang berjudul “Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film Harap Tenang Ada Ujian”, bertujuan

untuk mengetahui lebih dalam apakah tanda-tanda yang digunakan untuk merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan yang ada dalam

film “Harap Tenang Ada Ujian!” tersebut. Dengan mengetahui dan

memahami tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan diharapkan kita dapat meneladani nilai-nilai tersebut.

Penelitian ini termasuk studi kualitatif dengan pendekatan analisa semiotika Roland Barthes. Hasil dari penelitian ini adalah nilai-nilai kepahlawanan ditunjukkan melalui simbol-simbol


(27)

ditampilkan melalui sikap dan aksi dari para tokoh. Nilai-nilai tersebut antara lain keberanian, percaya pada kekuatan sendiri, pantang menyerah, rela berkorban, persatuan dan kesatuan, toleransi dan kesetiakawanan sosial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan. 2. Skripsi Reno Kurniawan, Universitas Komputer Indonesia,

Bandung, 2013

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui makna semiotik tentang pesan kekerasan yang terdapat dalam film Crows Zero, menganalisis apa saja makna yang terdapat dalam film Crows Zero yang berkaitan dengan pesan kekerasan, yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi yang merupakan kode-kode televisi John Fiske. Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika John Fiske. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, studi dokumentasi, studi pustaka, dan penelusuran data online. Objek yang dianalisis merupakan sequence yang terdapat dalam film Crows Zero dengan membagi kedalam tiga sequence yaitu sequence Prolog, Ideological Content, dan Epilog yang merepresentasikan 3 level yaitu level realitas, level representasi, level ideologi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi kekerasan dalam film Crows Zero, terdapat tiga level yang sesuai dengan kode-kode televisi John Fiske.Pada level realitas menggambarkan


(28)

10

penyampaian pesan kekerasan yang terkodekan melalui penampilan, kostum, riasan, lingkungan, perilaku, gerakan, dan ekspressi. Level representasi mengulas teknis tentang film Crows Zero mulai dari segi kamera, editing, efek suara hingga dalam kode konvensional seperti konflik, dan dialog banyak tersampaikan pesan kekerasan. Lalu yang terakhir level ideologi, yaitu pesan yang ingin disampaikan dalam film Crows Zero, dan penulis menemukan pesan kekerasan dalam film Crows Zero melalui adegan-adegan yang ada pada tiap sequencenya. Peneliti juga menghubungkan pesan film Crows Zero ini dengan teori Ideologi Hegemoni Antonio Gramsci, yang mengacu pada dominasi suatu kelas sosial atas yang lain, bagaimana tokoh utama yakni Genji digambarkan sebagai tokoh Hegemonik yang berhasil membuat perubahan disekolah Suzuran.

3. Skripsi Berry Arneldi, Universitas Komputer Indonesia,

Bandung, 2013

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui makna semiotik tentang representasi waktu yang terdapat dalam film In Time, menganalisis apa saja makna yang terdapat dalam film In Time yang berkaitan dengan representasi waktu dengan menggunakan The Codes Of Televisoin John Fiske yaitu, level realitas, level representasi dan level ideologi agar dapat diketahui level realitas representasi waktu dalam film In Time, level representasi waktu dalam film In Time dan level Ideologi representasi waktu dalam film


(29)

In Time. Penelitian ini merupakan Penelitian Kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik John Fiske. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi, studi pustaka, dan penelusuran data online. Objek yang dianalisis adalah film In Time, sementara subjek yang dianalisis merupakan sequence yang terdapat dalam film In Time dengan mengambil empat sequence.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi waktu dalam film In Time terdapat tiga level sesuai dengan semiotik John Fiske. Level realitas yang terdapat dalam film In Time menggambarkan kehidupan dengan kelas sosial yang berbeda yang dijadikan sebagai petanda untuk memperkuat pesan. Level representasi didapati bagaimana waktu itu bekerja dan dikuasai oleh kapitalis. Level Ideologi yang dapat diambil adalah bahwa kapitalisme menguasai dan mendominasi waktu.Kesimpulan penelitian, pada level realitas ada keterkaitan antara manusia dan waktu ketika menyadari seberapa banyak waktu yang dimiliki dan memaknai waktu tersebut dengan mengisi tiap-tiap detiknya. Level representasi, waktu di kuasai oleh penguasa yang memiliki banyak waktu yang sengaja menjaga dan mendominasi waktu tersebut dari subordinasinya. Pada level ideologi, terlihat jelas bahwa pembagian dari waktu oleh kapitalis tidak merata sehingga membentuk kelas-kelas sosial. Peneliti menyarankan untuk masyarakat agar lebih aktif dalam menanggapi film yang ada. Dan untuk peneliti selanjutnya diharapkan agar lebih mempelajari film


(30)

12

dengan semiotika terutama John Fiske dalam memaknai tiap-tiap tanda.

2.1.1.1 Tabel Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Nama /tahun

Uraian

Susi Deviyana Reno Kurniawan Berry Arneldi

2011 2013 2013

Perguruan Tinggi UNS UNIKOM UNIKOM

Judul

Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film Harap

Tenang Ada Ujian

Representasi Kekerasan Dalam Film Crows Zero

Representasi Makna Waktu Dalam Film In

Time

Metode Kualitatif (Semiotika Roland Barthes) Kualitatif (Semiotika John Fiske) Kualitatis (Semiotika John Fiske) Hasil Hasil dari penelitian ini adalah nilai-nilai

kepahlawanan ditunjukkan melalui simbol-simbol ditampilkan

melalui sikap dan aksi dari para tokoh. Nilai-nilai tersebut antara lain keberanian, percaya pada Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi kekerasan dalam film Crows Zero, terdapat tiga level yang sesuai dengan kode-kode televisi John Fiske. Pada level realitas menggambarkan penyampaian pesan kekerasan yang terkodekan melalui Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi waktu dalam film In Time terdapat tiga level

sesuai dengan semiotik John Fiske.

Level realitas yang terdapat dalam film In Time menggambarkan

kehidupan dengan kelas sosial yang


(31)

kekuatan sendiri, pantang menyerah, rela berkorban, persatuan dan kesatuan, toleransi dan kesetiakawanan

sosial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang menunjukkan nila-nilai kepahlawanan. penampilan, kostum, riasan, lingkungan, perilaku, gerakan, dan

ekspressi. Level representasi mengulas

teknis tentang film Crows Zero mulai dari segi kamera, editing, efek suara hingga dalam kode konvensional seperti

konflik, dan dialog banyak tersampaikan pesan kekerasan. Lalu

yang terakhir level ideologi, yaitu pesan

yang ingin disampaikan dalam film Crows Zero, dan

penulis menemukan pesan kekerasan dalam film Crows Zero melalui

adegan-adegan yang ada pada tiap sequencenya. dijadikan sebagai petanda untuk memperkuat pesan. Level representasi didapati bagaimana waktu itu bekerja dan

dikuasai oleh kapitalis. Level Ideologi yang dapat diambil adalah bahwa kapitalisme menguasai dan mendominasi waktu. Perbedaan Dengan Penelitian Peneliti Penelitian Susi Deviyana mengenai film Harap Tenang Ada

Ujian dan semiotika Roland Barthes Penelitian Reno Kurniawan mengenai makna kekerasan dalam film Crows

Zero

Penelitian Berry Arneld imengenai makna waktu dalam

film In Time


(32)

14

2.1.2 Tinjauan Ilmu Komunikasi

Komunikasi merupakan sebuah aktifitas, sebuah ilmu sosial, sebuah seni liberal dan sebuah profesi. Ilmu komunikasi merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Dapat dikatakan bahwa lahirnya ilmu komunikasi dapat diterima baik di Eropa maupun di Amerika Serikat bahkan di seluruh dunia, adalah merupakan hasil perkembangan dari publisistik dan ilmu komunikasi massa. Hal ini dimulai oleh adanya pertemuan antara tradisi Eropa yang mengembangkan ilmu publisistik dengan tradisi Amerika yang mengembangkan ilmu komunikasi massa.

2.1.2.1 Definisi Ilmu Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris

berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama,” communico, communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to

make common). Istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana,2007:46). Komunikasi membuat orang dapat menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya kepada orang lain. Melalui komunikasi, seseorang dapat membuat dirinya untuk tidak terasing dan terisolir dari lingkungan di sekitarnya. Banyak definisi-definisi yang muncul tentang komunikasi. Hal tersebut disebabkan oleh komunikasi yang terus berkembang dari masa ke masa. Banyaknya definisi tersebut, membuat komunikasi


(33)

diklasifikasikan kepada tiga konseptualisasi, yaitu komunikasi sebagai tindakan satu arah, komunikasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi (Mulyana, 2007:67).

Adapun pendapat para ahli mengenai definisi komunikasi, yaitu: A. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner

Komunikasi merupakan transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik dan sebagainya (Mulyana,2007:67).

B. Carl I. Hovland

Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate) (Mulyana, 2007:67).

C. Gerald R. Miller

Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima (Mulyana, 2007:67).

D. Everett M. Rogers

Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Mulyana, 2007:67).


(34)

16

E. Harold Lasswell

Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : Who Says What In

Which Channel To Whom With What Effect?” Atau Siapa

Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? (Mulyana, 2007:67).

Pendapat para ahli tersebut menggambarkan bahwa komponen-komponen pendukung komunikasi termasuk efek yang ditimbulkan, antara lain adalah:

1. Komunikator (communicator, source, sender) 2. Pesan (message)

3. Media (channel)

4. Komunikan (communican, receiver) 5. Efek (effect)

Dari beberapa pengertian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa komunikasi merupakan proses pertukaran makna/pesan baik verbal maupun nonverbal dari seseorang kepada orang lain melalui media dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain.

2.1.3 Tinjauan tentang Komunikasi Massa

Setiap masyarakat pasti pernah berhadapan dengan media massa, dimana pesan dari media itu secara langsung ataupun tidak langsung dapat memengaruhinya. Setidaknya, orang itu pasti pernah mendengarkan radio, menonton televisi, membaca koran, maupun menonton film dan pesannya


(35)

pasti akan terserap. Ini mencerminkan bahwa komunikasi massa dengan berbagai bentuknya, senantiasa hadir di tengah-tengah kehidupan manusia dan manusia membutuhkan komunikasi massa juga.

2.1.3.1 Karakteristik Komunikasi Massa

Karakteristik komunikasi massa menurut Ardianto Elvinaro,dkk (Ardianto Elvinaro, dkk. 2007: 7) adalah sebagai berikut:

1. Komunikator terlambangkan

Ciri komunikasi masa yang pertama adalah komunikatornya. Komunikasi massa itu melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.

2. Pesan bersifat umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.

3. Komunikannya anonim dan heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya mengunakan media dan tidak tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

4. Media massa menimbulkan keserempakan

Effendy mengartikan keserempakan media massa itu sebagai keserempakan konteks dengan sejumlah besar penduduk dalam


(36)

18

jumlah yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.

5. Komunikasinya mengutamakan isi ketimbang hubungan

Salah satu prinsipkomunikasi adalah bahwa komunikasi mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan. Dimensi isi menunjukan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakanya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu.

6. Komunikasi massa bersifat satu arah

Karena komunikasinya melalui mediamassa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog.

7. Stimulasi Alat Indera Terbatas

Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indrabergantung pada jenis media massa. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar.

8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung(Indirect). Komponen umpan balik atau yang lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam proses komunikasi


(37)

massa. Efektivitas komunikasi sering dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan.

2.1.3.2 Fungsi Komunikasi Massa

Fungsi komunikasi massa menurut Dominick dalam Ardianto, Elvinaro (Dominick dalam Ardianto, Elvinaro. dkk. 2007: 14-17) terdiri dari :

1. Surveillance (Pengawasaan)

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang suatu ancaman; fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Interpretation (penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca, pemirsa atau pendengar untuk memperluas wawasan.

2. Interpretation (Penafsiran)

Fungsi penafsiran hampir sama dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga membeberkan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting.


(38)

20

Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjutdalam komunikasi antarpesona atau komunikasi kelompok. Contoh nyata penafsiran media dapat dilihat pada halaman tajuk rencana (editorial) surat kabar.

3. Linkage (Pertalian)

Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.

4. Transmission of Values (Penyebaran nilai-nilai)

Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilali kelompok .media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan. Dengan kata lain, Media mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk menirunya.

5. Entertainment (Hiburan)

Sulit dibantah pada kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi hiburan. Televisi adalah media massa yang


(39)

mengutamakan sajian hiburan. Hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tayangan hiburan. Memang ada beberapa stasiun televisi dan radio siaran yang lebih mengutamakan tayangan berita. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali.

2.1.4 Tinjauan Tentang Film

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusam juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahunnya.

Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adala bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri. (Dominick, 2000: 306)


(40)

22

2.1.5 Film Dalam Komunikasi Massa

Komunikasi massa dapat memberikan efek yang sangat besar untuk manusia. Diantaranya behavioral effects (efek perilaku), attitudinal effects (efek kesopanan), cognitive effects (efek pemikiran), physiological effects (efek fisiologis). Efek ini dapat terjadi dikarenakan dalam semua komunikasi mengharuskan adanya respon timbal balik dari setiap komunikannya. Begitu juga dalam media, terutama penonton televisi maupun film yang bersifat pasif akan menyerap begitu saja konten yang disuguhkan. (Harris, 2009:3-30)

Hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya, lingkup penyebarannya pun secara massal. Dengan lingkupnya yang massal itulah, pesan yang terdapat di dalam komunikasi level ini selalu ditujukan kepada khalayak luas, tersebar secara serempak dalam waktu yang bersamaan, dan disalurkan melalui saluran tertentu.

2.1.6 Tinjauan Tentang Semiotika

Semiotika adalah studi tentang pertandaan dan makna dari sistem

tanda; imu tentang tanda; tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks”

media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun yang mengkomunikasikan makna. Semiotika, begitulah kita akan menyebutnya, mempunyai tiga bidang studi utama :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna,


(41)

dan cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. (Fiske,1990:60).

“Semiotika digunakan sebagai paradigma, baik dalam pembacaan maupun penciptaan, di sebabkan ada kecenderungan untuk melihat objek-objek desain sebagai fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda, pesan yang inging disampaikan, aturan atau kode yang mengatur, serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user)(Yasraf Amir Piliang, 2012:299)

Semiotik telah memberikan alat bantu yang kuat untuk menguji pengaruh media massa. Isi adalah penting, tetapi isi merupakan hasil dari penggunaan tanda-tanda (Littlejohn, 2009: 408). Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.

Dari beberapa keterangan yang dikatakan para ahli di atas, peneliti dapat memahami bahwa semiotika adalah pemahaman akan tanda yang dimana tanda itu adalah semua yang ada di sekitar kita dan di kehidupan kita yang dapat dimaknakan oleh pengguna tanda itu sendiri baik itu makna yang di sepakati secara konsensus ataupun tanda yang memiliki makna yang


(42)

24

berbeda. Pada dasarnya makna pada tanda dapat berubah sesuai dengan perkembangannya dan kebutuhan manusia. Semiotika memiliki pemahaman yang sangat luas karena semiotika melibatkan setiap aspek kehidupan kita meski terkadang kita tidak menyadari akan hal itu. Untuk itu semiotika merupakan hal yang menarik untuk diperdalam guna memahami bahwa kita merupakan bagian dari tanda itu sendiri dan bagaimana memaknai tanda tersebut.

2.1.6.1 Film dalam Semiotika

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis semiotika karena film dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjukkannya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar. Semiotika film untuk membuktikan hak keberadaannya yang dalam hal-hal penting menyimpang dari sintaksis dan semantik teks dalam arti harfiah, harus memberikan perhatian khusus pada kekhususan tersebut. (Van Zoest dalam Sobur, 2004).


(43)

2.1.6.2 Kode-Kode Televisi John Fiske

Kode-kode televisi (television codes) yaitu teori yang dikemukakan oleh John Fiske atau yang biasa disebut kode-kode yang digunakan dalam dunia pertelevisian. Kode-kode yang digunakan dalam acara televisi itu saling berhubungan hingga terbentuk sebuah makna. Menurut John Fiske, sebuah realitas tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga diolah melalui penginderaan serta referensi yang telah dimiliki oleh penontonnya dan akhirnya sebuah kode akan dipersepsikan secara berbeda oleh individu yang berbeda pula.

Dalam kode-kode televisi dalam teori John Fiske menyebutkan bahwa peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah di en-kode oleh kode-kode social yang terbagi dalam tiga level, yaitu :

1. Level realitas (Reality)

Kode sosial yang termasuk didalamnya adalah appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behavior (kelakuan), speech (cara berbicara), gesture (gerakan) dan expression (ekspresi).

2. Level representasi (Representation)

Kode-kode sosial yang termasuk didalamnya adalah kode teknis, yang melingkupi camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik) dan sound (suara). Serta kode representasi konvensional yang terdiri dari narative (naratif),


(44)

26

conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (percakapan), setting (layar) dan casting (pemilihan pemain). 3. Level ideologi (Ideology)

Kode sosial yang termasuk didalamnya adalah individualism (individualisme), feminism (feminisme), race (ras), class (kelas), materialism (materialisme), capitalism (kapitalisme) dan lain-lain.


(45)

Gambar 2.1

Kode-Kode Televisi John Fiske (Fiske, 1987:5)

Level Satu: Realitas

Penampilan, kostum, tata rias, lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, gerak tubuh, ekspresi, suara, dll

Hal ini terkodekan secara elektronis melalui kode – kode teknis seperti :

Level Dua: Representasi

Kamera, cahaya, editing, musik, suara. Yang mentransmisikan kode – kode representasi konvensional, yang membentuk representasi dari, contohnya: Naratif, konflik, karakter, aksi,

dialog, setting, casting, dll

Level Tiga: Ideologi

Yang terorganisir kepada penerima hubungan sosial oleh kode – kode ideologi, seperti individualisme, feminisme, ras, kelas,

materialisme, kapitalisme, dll Sumber : Fiske, 1987


(46)

28

2.1.7 Tinjauan Tentang Ideologi

Althusser dianggap sebagai pemikir pertama yang merevisi konsep ideologi dalm tradisi Marxis. Ia mengikuti Marx dalam pandangannya bahwa ideologi berperan memastikan pekerja untuk tunduk pada kelas penguasa. Hal itu dicapai dengan menyebarkan ajaran moral dan penghormatan yang diperlukan guna menegakkan tatanan yang mapan. Althusser menegaskan

“ideologi yang abadi”, maksudnya orang pasti berpikir tentang kondisi nyata

keberadaan mereka dengan sebuah cara tertentu.

Adapun yang menjadi perhatian Althusser yaitupernyataan sederhana yang mengandung suasana ideologis, yaitu that’s obvious ! Inilah kondisi yang dirujuk oleh Althusser, spontanitas tanpa pertanyaan. Argumen ini terlihat aneh, seolah-olah Althusser sedang menjelaskan sebuah masalaha dengan cara yang terlalu bertele-tele. Tapi, ia sangat jelas dalam satu hal yaitu ideologi yang bukan berarti seperangkat ide atau keyakinan, tapi tindakan-tindakan yang disisipkan ke dalam praktik material.

Matriks tindakan yang diajukan oleh Althusser muncul karena subjek bertindak sesuai dengan sistem yang diikutinya. Artinya, tindakan itu ditetapkan pada sesuatu yang benar-benar mendeterminasinya. Dengan begitu, ideologi muncuk dalam sebuah kondisi material dari aparatus ideologis dn praktik-praktik material itu diatur melalui ritual yang bersifat material. Konsekuensinya, praktik-praktik tersebut eksis dalam tindakan material dri subjek yang didasarkan pada keyakinannya sendiri.


(47)

Situasi “kejelasan” menurut Althusser menjadi titik permulaan dari penyelidikan ideologi yang selalu berhubungan dengan subjek. Frase yang digunakan Althusser untuk menjelaskan hubungan antara subjek dan ideologi ini adalah interpelasi atau panggilan. Althusser menolak keabstrakan ideologi dan statusnya yang dinyatakan sebagai produk dari kelompok sosial tertentu (hegelian). Dengan begitu, Althusser memungkinkan kita untuk melihat ideologi sebagai sesuatu yang terjdi dalam diri kita dan ditujukan kepada kita. Tentu saja sejauh ideologi itu ada dalam diri kita dan kita tidak menyadari dampaknya.

Ideologi tetap saja merupakan aktivitas yang tepat dilakukan orang di dunia nyata. Sebagian dari aktivitas itu adalah ritual yang merupakan imajinasi manusia yang memberikan makna sosial. Menurutnya, aktivitas berpikir merupakan praktik material. Maksudnya, bukan hanya wacana verbal eksternal (wicara dan teks), tapi juga untuk wacana verbal internal (kesadaran).

Gagasan tentang ideologi tersebut tergantung pada konsep subjek individu ideologis yang dibentuk oleh ideologi sebagai pembawa kesadaran dan keagenan. Dengan kata lain, ideologi dan subjek yang saling menentukan, anda tinggal secara alami dalam sebuah ideologi dan percaya bahwa anda bertindak secara spontan dan mandiri.


(48)

30

2.1.8 Teori Komunikasi Kelompok

Untuk memperkuat pemahaman dalam penelitian, peneliti menggunakan teori komunikasi kelompok sebagai salah satu acuannya. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2007).

Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara

beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat,

pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Kedua definisi komunikasi kelompok di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, peserta komunikasi lebih dari dua orang, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu untuk mencapai tujuan kelompok.

Anggota-anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan yaitu melaksanakan tugas kelompok dan memelihara moral anggota-anggotanya. Tujuan pertama diukur dari hasil kerja kelompok-disebut prestasi (performance) tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi, bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya


(49)

kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok.

Jalaluddin Rakhmat (2004) meyakini bahwa faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik kelompok, yaitu:

1. Faktor situasional karakteristik kelompok: a. Ukuran kelompok.

Hubungan antara ukuran kelompok dengan prestasi krja kelompok bergantung pada jenis tugas yang harus diselesaikan oleh kelompok. Tugas kelompok dapat dibedakan dua macam, yaitu tugas koaktif dan interaktif. Pada tugas koaktif, masing-masing anggota bekerja sejajar dengan yang lain, tetapi tidak berinteraksi. Pada tugas interaktif, anggota-anggota kelompok berinteraksi secara teroganisasi untuk menghasilkan suatu produk, keputusan, atau penilaian tunggal. Pada kelompok tugas koatif, jumlah anggota berkorelasi positif dengan pelaksanaan tugas. Yakni, makin banyak anggota makin besar jumlah pekerjaan yang diselesaikan. Misal satu orang dapat memindahkan tong minyak ke satu bak truk dalam 10 jam, maka sepuluh orang dapat memindahkan pekerjaan tersebut dalam satu jam. Tetapi, bila mereka sudah mulai berinteraksi, keluaran secara keseluruhan akan berkurang.

Faktor lain yang mempengaruhi hubungan antara prestasi dan ukuran kelompok adalah tujuan kelompok. Bila tujuan kelompok


(50)

32

memelukan kegiatan konvergen (mencapai suatu pemecahan yang benar), hanya diperlukan kelompok kecil supaya produktif, terutama bila tugas yang dilakukan hanya membutuhkan sumber, keterampilan, dan kemampuan yang terbatas. Bila tugas memerlukan kegiatan yang divergen (seperti memhasilkan gagasan berbagai gagasan kreatif), diperlukan jumlah anggota kelompok yang lebih besar.

Dalam hubungan dengan kepuasan, Hare dan Slater (dalam Rakmat, 2004) menunjukkan bahwa makin besar ukuran kelompok makin berkurang kepuasan anggota-anggotanya. Slater menyarankan lima orang sebagai batas optimal untuk mengatasi masalah hubungan manusia. Kelompok yang lebih dari lima orang cenderung dianggap kacau, dan kegiatannya dianggap menghambur-hamburkan waktu oleh anggota-anggota kelompok.

b. Jaringan komunikasi.

Terdapat beberapa tipe jaringan komunikasi, diantaranya adalah sebagai berikut: roda, rantai, Y, lingkaran, dan bintang. Dalam hubungan dengan prestasi kelompok, tipe roda menghasilkan produk kelompok tercepat dan terorganisir.

c. Kohesi kelompok.

Kohesi kelompok didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok, dan mencegahnya meninggalkan kelompok. McDavid dan Harari (dalam


(51)

Jalaluddin Rakmat, 2004) menyarankam bahwa kohesi diukur dari beberapa faktor sebagai berikut: ketertarikan anggota secara interpersonal pada satu sama lain; ketertarikan anggota pada kegiatan dan fungsi kelompok; sejauh mana anggota tertarik pada kelompok sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan personal.

Kohesi kelompok erat hubungannya dengan kepuasan anggota kelompok, makin kohesif kelompok makin besar tingkat kepuasan anggota kelompok. Dalam kelompok yang kohesif, anggota merasa aman dan terlindungi, sehingga komunikasi menjadi bebas, lebih terbuka, dan lebih sering. Pada kelompok yang kohesifitasnya tinggi, para anggota terikat kuat dengan kelompoknya, maka mereka makin mudah melakukan konformitas. Makin kohesif kelompok, makin mudah anggota-anggotanya tunduk pada norma kelompok, dan makin tidak toleran pada anggota yang devian.

d. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Kepemimpinan adalah faktor yang paling menentukan kefektifan komunikasi kelompok. Klasifikasi gaya kepemimpinan yang klasik dilakukan oleh White dan Lippit (1960). Mereka mengklasifikasikan tiga gaya kepemimpinan: otoriter; demokratis; dan laissez faire. Kepemimpinan otoriter ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan


(52)

34

demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu anggota kelompok untuk membicarakan dan memutuskan semua kebijakan. Kepemimpinan laissez faire memberikan kebebasan penuh bagi kelompok untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi pemimpin yang minimal.

2. Faktor personal karakteristik kelompok: a. Kebutuhan interpersonal

William C. Schultz (1966) merumuskan Teori FIRO (Fundamental Interpersonal Relations Orientatation), menurutnya orang menjadi anggota kelompok karena didorong oleh tiga kebutuhan intepersonal sebagai berikut:

1) Ingin masuk menjadi bagian kelompok (inclusion).

2) Ingin mengendalikan orang lain dalam tatanan hierakis (control). 3) Ingin memperoleh keakraban emosional dari anggota kelompok yang lain.

b. Tindak komunikasi

Mana kala kelompok bertemu, terjadilah pertukaran informasi. Setiap anggota berusaha menyampaiakan atau menerima informasi (secara verbal maupun nonverbal). Robert Bales (1950) mengembangkan sistem kategori untuk menganalisis tindak komunikasi, yang kemudian dikenal sebagai Interaction Process Analysis (IPA).


(53)

c. Peranan

Seperti tindak komunikasi, peranan yang dimainkan oleh anggota kelompok dapat membantu penyelesaian tugas kelompok, memelihara suasana emosional yang lebih baik, atau hanya menampilkan kepentingan individu saja (yang tidak jarang menghambat kemajuan kelompok). Beal, Bohlen, dan audabaugh (dalam Rakhmat, 2004: 171) meyakini peranan-peranan anggota-anggota kelompok terkategorikan sebagai berikut:

1) Peranan Tugas Kelompok. Tugas kelompok adalah memecahkan masalah atau melahirkan gagasan-gagasan baru. Peranan tugas berhubungan dengan upaya memudahkan dan mengkoordinasi kegiatan yang menunjang tercapainya tujuan kelompok.

2) Peranan Pemiliharaan Kelompok. Pemeliharaan kelompok berkenaan dengan usaha-usaha untuk memelihara emosional anggota-anggota kelompok.

3) Peranan individual, berkenaan dengan usahan anggota kelompokuntuk memuaskan kebutuhan individual yang tidak relevan dengan tugas kelompok.

2.2 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran sangat penting dalam memberikan arah bagi peneliti dalam proses penelitiannya dan menyamakan persepsi antara peneliti dan orang maupun yang membaca hasil penelitian ini.


(54)

36

Maksud dari kerangka berpikir sendiri adalah “supaya terbentuknya suatu alur penelitian yang jelas dan dapat diterima secara akal.” (Sugiyono, 2009:92)

2.2.1 Pengertian Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang

akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk

merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk

menjelaskan gagasan mengenai representasi. “representasi” adalah sebuah

cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia.

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja

sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai

direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstititif darinya.


(55)

Ada tiga pendekatan representasi menurut Stuart Hall (1997) hingga suatu objek (yang dalam hal ini dituliskan sebagai bahasa) dapat dikatakan mempresentasikan sebuah nilai.

1. Reflective Approach (Pendekatan Reflektif)

Dalam pendekatan reflektif, suatu arti atau makna dipertimbangkan berada dalam suatu benda, orang, ide, atau kejadian di dunia nyata dan fungsi bahasa seperti sebuah cermin untuk mereflesikan arti atau makna yang sebenarnya ketika sudah ada di dunia. Makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.

2. Intentional Approach (Pendekatan Maksud dan Tujuan)

Pendekatan ini menganggap bahwa penulis yang menentukan arti atau makna uniknya pada bahasa. Bahasa dugunakan untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan segala sesuatu yang khusus atau unik pada kita. Namun, kita tidak bisa menjadi sumber arti atau makna yang tunggal dalam bahasa karena itu akan berarti bahwa kita bisa mengungkapkan diri kita sendiri seluruhnya dalam bahasa pribadi. Tetapi esensi bahasa adalah komunikasi dan itu secara bergiliran bergantung pada kaidah linguistik yang sama – sama digunakan. Bahasa tidak pernah menjadi seluruhnya sebuah permainan pribadi. Bahasa adalah benar – benar sebuah system sosial. Ini berarti bahwa gagasan atau pikiran pribadi kita harus berunding dengan semua arti atau maknalain untuk berbagai kata atau gambar yang telah tersimpan


(56)

38

dalam bahasa dimana secara tidak terelakkan pengunaan sistem bahasa kita akan mencetuskan tindakan.

3. Constructionist Approach (Pendekatan Konstruktif)

Pendekatan ini mengakui karakter publik atau sifat publik bahasa. Ini menyatakan bahwa baik segala sesuatu pada diri mereka sendiri maupun para pemakai bahasa secara perorangan dapat menetapkan arti atau makna dalam bahasa. Pendekatan konstruktif mengatakan keberadaan sistem bahasa atau sistem apa saja yang kita gunakan untuk memrepresentasikan konsep kita. Ini adalah para aktor sosial yang menggunakan sistem konseptual mengenai budaya dan linguistik mereka, serta sistem representasi lain untuk menciptakan arti atau makna, untuk membuat dunia menjadi bermakna dan untuk mengkomunikasikan tentang dunia yang bermakna bagi orang lain. 2.2.2 Pengertian Kepahlawanan

Kepahlawanan dapat didefinisikan sebagai sosok yang memiliki keyakinan, dan dengan keyakinan itu ia terdorong untuk memperjuangkan sesuatu . Karena kepahlawanan identik dengan nilai positif,maka sesuatu yang diperjuangkan pun pasti suatu hal yang positif.

”Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung.

Karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama

.” (Matta, 2004 : 13)

Simbol Sosial adalah suatu objek yang meliputi segala sesuatu hal yang dapat dirasakan atau dialami, yang menunjukkan nilai-nilai yang


(57)

berlaku dalam relasi sosial, dimana dalam relasi sosial dapat berperan sebagai pembentuk individu dalam masayarakat. Pada penelitian ini peneliti menggunakan simbol-simbol sosial yang merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan, antara lain :

A. Keberanian

Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang diterimanya. (Matta, 2004 : 13)

B. Kesabaran

Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan.

Kesabaran merupakan aspek defensif dari naluri kepahlawanan, bila keberanian merupakan aspek ekspansifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanandan sekuat apa seseorang mampu bertahan dalam menghadapi tekanan hidup. (Matta, 2004 : 24)

C. Rela Berkorban

Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan


(58)

40

masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampaui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya dimana segenap pikiran dan jiwa yang tercurahkan. Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang. (Matta, 2004 : 27)

D. Pantang Menyerah

Pantang menyerah adalah sebuah wujud kepribadian seseorang yang tanpa rasa bosan bangkit dari kegagalan ke kegagalan lain dan akhirnya sukses mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang menyerah adalah orang yang memiliki daya imajinasi dan kreativitas yang Sumbertinggi karena dengan kedua daya itu, ia senantiasa berusaha member jawaban atas tantangan yang akan dihadapinya.

E. Kompetisi

Kompetisi adalah semangat yang melekat dalam diri para pahlawan, karena ini merupakan cara terbaik untuk mengeksploitasi potensi-potensi mereka. Maka, mereka membutuhkan medan kompetisi yang tak terbatas, sebab ketidakterbatasan itu akan


(59)

mendorong munculnya semua potensi tersembunyi dalam diri mereka. (Matta, 2004 : 30)

F. Kesetiakawanan Sosial

Dalam perjuangannya, seorang pahlawan tidaklah sendiri. Dia ditemani rekan-rekan seperjuangan serta orang-orang yang nasibnya sedang diperjuangkan. Demi mencapai tujuan bersama, seorang pahlawan haruslah mempunyai kesetiakawanan social yang tinggi. Kesetiakawanan social mengandung aspek-aspek solidaritas, tenggang rasa, empatidan bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang lain atau egois. (Matta, 2004 : 57)


(60)

42

Gambar 2.2

Kerangka Pemikiran Analisis Semiotika “Representasi Makna Heroisme Dalam Film Captain Phillips”

Sumber : Peneliti, 2014 SEMIOTIKA

KODE-KODE TELEVISI JOHN FISKE

LEVEL IDEOLOGI LEVEL

REPRESENTASI LEVEL

REALITAS

REPRESENTASI MAKNA KEPAHLAWANAN FILM CAPTAIN PHILLIPS


(61)

43 BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana analisis semiotika nilai kepahlawanan dalam film Captain Phillips. Adapun objek penelitian ini adalah film Captain Phillips. Dimana film Captain Phillips merupakan film cerita yang sarat makna kepahlawanan dari tokoh utamanya. Fokus penelitiannya yaitu adegan yang menggambarkan kepahlawanan dalam film Captain Phillips. Kategori adegan yang menggambarkan tentang kepahlawanan ini meliputi beberapa sequence yang diteliti meliputi sequence prolog, ideological content dan epilog.

3.1.1 Film Captain Phillips

Gambar 3.1

Cover Film Captain Phillips


(62)

44

Captain Phillips adalah film action Amerika tahun 2013 berdasarkan kisah nyata yang terjadi tahun 2009 karya Paul Greengrass yang sudah di novelkan pada tahun 2010 dengan judul A Captain's Duty: Somali Pirates, Navy SEALs, and Dangerous Days at Sea yang ditulis Richard Phillips dan Stephan Talty. Film ini sukses secara komersial dan baru 3 bulan setelah rilis film ini berhasil masuk ke dalam 4 nominasi Golden Globes Awards yaitu kategori Best Motion Picture (Drama), Best Actor (Tom Hanks), Best Director (Paul Greengrass), dan Best Supporting Actor (Barkhad Abdi). Film Captain Phillips juga mendapatkan penghargaan sebagai yang terbaik dalam ajang Writers Guild of America (WGA) Awards tahun ini. Barkhad Abdi pun memenangkan award dari nominasi BAFTA (British Academy of Film and Television Arts) Awards untuk kategori Best Supporting Actor. Tidak tanggung-tanggung, film Captain Phillips masuk nominasi dari berbagai kategori di 25 program penghargaan film dunia.

3.1.2 Sinopsis Film Captain Phillips

Kapten Richard Phillips (Tom Hanks) mendapatkan tugas untuk berangkat menuju Mombasa, Kenya dari Salalah, Oman. Ia bertugas untuk memimpin perjalanan kapal muatan Maersk Alabama. Somalia sudah sangat terkenal dengan kasus pembajakannya di laut yang menjadi perhatian organisasi Internasional. Cekungan Somalia pun dijuluki “Tanduk Afrika” karena banyaknya perompak membuat keresahan semakin terlihat di wajah Kapten Phillips. Ia pun memastikan semua teralis terkunci dan gembok tak


(63)

ada yang rusak. Kantor Perdagangan Maritim Inggris pun memperingatkan Kapal Alabama tentang waspada perompak di sepanjang perairan Somalia.

Abduwali Muse, seorang perompak Somalia yang sudah dipercaya oleh timnya. Dengan sebutan Si Kurus, ia memilih satu persatu penduduk untuk dibawanya membajak kapal. Pergilah mereka menuju kapal induk yang berada di bawah Panglima Perang Garaad. Disana mereka berstrategi dan mengincar kapal-kapal yang terdeteksi di radar Kapal Induk bekas Kapal Taiwan yang mereka bajak tahun lalu.

Esoknya perompak menyambangi mereka. Perompak yang berjumlah 4 orang itu langsung naik ke kapal dan selang yang sudah dinyalakan airnya dengan keras itu tak berpengaruh sama sekali. Seluruh kru kapal diperintahkan untuk bersembunyi di ruang mesin oleh Kapten Phillips sehingga perompak hanya menemukannya dan dua asistennya. Kapten Phillips memerintahkan kru kapal untuk tetap bersama dan tidak keluar dari persembunyian karena ia tidak mau ada yang disandera.

Muse curiga di kapal seperti itu tidak ada awak yang lain, maka ia memaksa Kapten Phillips untuk menemaniny berkeliling kapal mencari para awak kapal Maersk Alabama. Para kru kapal yang sedang bersembunyi pun berstrategi, mereka mematikan listrik di seluruh bagian kapal agar perompak tidak dapat jelas melihat sekitar kapal. Shane yang menyelinap ke ruang penyimpanan makanan melihat salah satu perompak ada yang tidak memakai alas kaki dan mengkomunikasikan kepada kru lainnya untuk menaburkan pecahan kaca di balik pintu masuk ruang mesin. Satu perompak akhirnya


(64)

46

terluka kakinya dan Muse sangat marah. Kondisi perompak yang terluka itu semakin parah sehingga Muse memerintahkan Kapten Phillips dan anak itu untuk kembali ke anjungan sementara Muse yang teteap bersikeras mencari. Muse yang sedang sendiri menjadi sasaran empuk bagi kru Maersk Alabama, mereka pun menyandera Muse dan mebuat kesepakatan bahwa Muse akan ditukar dengan Kapten. Terjadilah kesepakatan diantara mereka. Setelah dipertemukan, ketegangan semakin terjadi karena para perompak tidak menepati kesepakatannya, mereka membawa Kapten Phillips turut serta bersama mereka di dalam sekoci menuju Somalia.

Kabar bahwa Kapten disandera ini pun sudah terdengar sampai gedung putih. Navy SEALS dan kapal USS Bainbridge ditugaskan melakukan misi penyelamatan kepada Kapten Phillips. Kapten Phillips berkata bahwa ini adalah perairan Internasional dan kapalnya mengangkut pangan untuk Afrika termasuk Somalia, jadi tidak seharusnya Somalia melakukan pembajakan. Muse tidak memperdulikannya dan tetap saja merasa tidak bersalah atas pembajakan yang telah dilakukanannya.

Kapal USS Bainbridge berada dalam jarak terdekat dengan sekoci Alabama dan bernegosiasi kepada Muse untuk menyerahkan Kapten Phillips secara aman dan damai. Perompak meminta bayaran lagi senilai 10 juta dolar, namun tidak semudah itu dapat memberikannya sehingga mereka menawarkan dengan memberikan minuman dan makanan terlebih dahulu. Kapten Phillips meminta tim Bainbridge untuk memberitahu kepada keluarganya bahwa ia baik-baik saja dan ia duduk di kursi nomor 15.


(65)

Tiba-tiba terjadi keributan hebat di dalam sekoci, karena Kapten Phillips tidak tahan berada dalam kondisi kehausan. Salah seorang prajurit Navy SEALs mengaitkan tali di sekoci tersebut dan menarik ke kapal induk USS Bainbridge sembari menyorot dengan lampu tembak yang membuat pengemudi sekoci tak dapat melihat daerah di depannya. Kapten Phillip dalam kondisi yang sangat frustasi dengan tangan diikat dan matanya ditutup. Dari kapal induk USS Bainbridge, telah bersiap sejumlah penembak jitu untuk mengeksekusi 2 perompak yang ada di dalam kapal. Sebelumnya, Muse sudah di bawa ke kapal induk dengan bernegosiasi bahwa ada tetua daerahnya yang akan datang menjemputnya. Muse pun menyanggupinya, karena iming-iming uang banyak dan dijemput oleh tetua pula. Penembak jitu yang sudah melihat dua targetnya secara jelas langsung menembakan peluru ke arah mereka yang menyebabkan kedua perompak tewas seketika. Muse langsung ditangkap dan dibawa ke pihak yang berwajib dan Kapten Phillips mengalami histeria sehingga ia menangis dengan sangat sedih atas kejadian yang menimpanya. Namun, setahun kemudian Kapten Phillips kembali berlayar sebagai seorang Kapten.

3.1.3 Tim Produksi dan Kru Film

1. Produksi : Sony Pictures 2. Sutradara : Paul Greengrass

3. Pemain Utama : Tom Hanks, Barkhad Abdi 4. Produser : Paul Greengrass


(66)

48

6. Penata Musik : Henry Jackman 7. Editing : Christopher Rouse

8. Novel Karya : Richard Phillips dan Stephan Talty

3.1.4 Subjek Penelitian

Sequence adalah segala hal yang berada di depan kamera dan sequence menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini. Sequence memiliki elemen pokok yaitu setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make up. Bukan hanya itu saja, sequence memiliki elemen tambahan yaitu acting dan gerakan. Sequence juga merupakan serangkaian shot-shot yang merupakansuatu kesatuan yang utuh.

Action dari sejumlah shot yang beruntun dengan cut langsung hingga melukiskan kejadian yang berlangsung sebagaimana kenyataan sebenarnya dan ini harus berkait secara tepat dalam sebuah sequence. Sebuah sequence dapat berlangsung pada satu setting maupun di beberapa setting. Sebuah sequence dapat dimulai sebagai adegan exterior, lalu dilanjutkan di dalam ruangan karena sang pemain masuk dan terlibat percakapan dengan yang lainnya. Bisa juga diawali atau diakhiri dengan sebuah “fade” atau “dissolve”.

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah sequence film Captain Phillips. Dari keseluruhan film, peneliti membagi sequence kedalam 3 bagian yaitu prolog, ideological content, dan epilog. Ketiga bagian itu dihubungkan dengan fungsi narasi propp untuk mempermudah dalam proses pengambilan sequence. Fungsi narasi Propp dikelompokan oleh Fiske menjadi enam


(67)

bagian, yaitu preparation (persiapan), complication (komplikasi), transference (pemindahan), struggle (perjuangan), return (kembalinya), serta recognition (pengakuan). Berikut adalah sequence yang menurut peneliti sangat memperlihatkan adegan yang heroik :

Tabel 3.1

Tampilan Sequence Prolog Dalam Film Captain Phillips

TIMELINE SEQUENCE

Sequence Prolog : Preparation,pada durasi

00:11:45-00:13:33

Sequence Prolog : Complication, pada durasi

00:18:57-00:26:22

Sumber : Peneliti, 2014

Pada sequence prolog ini dibagi menjadi dua bagian yaitu preparation dan complication. Pada sequence preparation durasi ke 00:11:45-00:13:33 menceritakan tentang tahap situasi awal pembentukan cerita dalam film Captain Phillips. Awal masalah bermula saat Kapten Phillips berdialog dengan asistennya, Shane. Keraguan tampak karena kapalnya akan melewati cekungan Somalia yang sudah tenar akan tindakan pembajakan kapalnya. Kapten Phillips memerintahkan Shane untuk mempersiapkan segala


(68)

50

sesuatunya yang mungkin saja terjadi dan memperbaiki teralis-teralis perompak yang rusak.

Pada sequence complication durasi ke 00:18:57 – 00:26:22 menceritakan tentang tahap menunjukan permasalahan dan kesulitan yang dihadapi oleh Kapten Phillips. Kapten Phillips yang sedang memperhatikan radar kapal melihat ada 2 titik yang menunjukkan bahwa ada kapal yang sedang mendekat. Kapten Phillips langsung keluar menuju dek dan meneropong kedua kapal tersebut. Kapten Phillips langsung berpura-pura menghubungi Angkatan Udara Amerika guna mengusir para perompak yang hendak mendatangi kapalnya tersebut. Alhasil, 1 kapal perompak pergi namun 1 lagi tetap mendatangi Kapal Maersk Alabama. Kapten Phillip langsung menyuruh seluruh awaknya untuk bersembunyi dan jangan keluar sampai ia memberikan kode kepada awak-awaknya.

Tabel 3.2

Tampilan Sequence Ideological Content Dalam Film Captain Phillips

TIMELINE SEQUENCE

Sequence Ideological Content : Transference dan Struggle pada


(1)

sekaligus sebagai upaya untuk mengkaji keabsahan penelitian. Cara ini dilakukan dengan mengekspos hasil sementara dan atau hasil akhir untuk didiskusikan secara analistis. Diskusi bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran hasil penelitian serta mencari titik – titik kekeliruan interpretasi dengan klasifikasi penafsiran dari pihak lain.

4. Uraian Rinci

Teknik ini dimaksud adalah suatu upaya untuk memberi penjelasan kepada pembaca dengan menjelaskan hasil penelitian dengan penjelasan yang serinci – rincinya. Suatu temuan yang baik akan dapat diterima orang apabila dijelaskan dengan penjelasan yang terperinci dan gamblang, logis, dan rasional. Sebaliknya penjelasan yang panjang lebar berulang – ulang akan menyulitkan orang memahami hasil penelitian itu sendiri.

3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.6.1 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian berada di Kota Bandung, Jawa Barat. 3.2.6.2 Waktu Penelitian

Adapun waktu penelitian ini dilakukan secara bertahap yakni selama 6 bulan yakni terhitung dari bulan Januari 2014 sampai dengan bulan Juli 2014. Waktu penelitian ini meliputi persiapan, pelaksanaan, dan penelitian.


(2)

65

Tabel 3.5

Rancangan Penelitian Skripsi

No. Kegiatan

Bulan

Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengajuan Judul 2 Penulisan

Bab 1 3 Bimbingan 4 Penulisan

Bab II 5 Bimbingan 6 Pengumpulan

Data Lapangan 7 Penulisan

Bab III 8 Bimbingan 9 Seminar UP 10 Penulisan

BAB IV 11 Bimbingan 12 Penulisan

BAB V 13 Bimbingan 14 Penyusunan

Keseluruhan Draft 15 Sidang

Skripsi


(3)

121

1. Dari level realitas, nilai kepahlawanan terlihat. Dengan menggunakan aspek di dalam kode-kode sosial yaitu penampilan, kostum, tata rias, lingkungan, perilaku, cara berbicara, gerakan, dan ekspresi dari beberapa sequence dapat terlihat bahwa tokoh utama di film ini serta beberapa tokoh penyelamat memiliki jiwa sifat kepahlawanan.

2. Dari level representasi, diperlihatkan bagaimana kepahlawanan sangat apik dikemas. Berlatar samudra luas, aksi dari tokoh utama dalam mempertahankan kapal dan awaknya, pemain yang dengan kualitas terbaik serta suara-suara yang mendukung, membuat penonton merasakan ketegangan namun kagum dengan Kapten Phillips yng mampu bertahan tanpa ada rekannya yang terluka.

3. Dari level ideologi, makna sesungguhnya kepahlawanan adalah sebuah sosok yang memiliki keyakinan dan berjuang atas keyakinannya tersebut terlepas seseorang tersebut memiliki kelemahan secara fisik atau tidak. Kepahlawanan sejatinya tidak hanya diperuntukan untuk diri sendiri, namun untuk kepentingan orang lain seperti halnya kelompok. Karena itulah diperlukan keseimbangan di dalam sebuah kelompok untuk mencapai suatu tujuan. Setiap orang pasti memiliki jiwa kepahlawanannya masing-masing, selama yang dilakukannya menguntungkan bagi


(4)

122

sekitarnya dan itu bernilai positif makan individu tersebut sudah memberikan tindak kepahlawanan bagi sekitarnya.

Film Captain Phillips menyadarkan kita bahwa dalam keterbatasan, melakukan tindakan sosial yang menguntungkan orang lain bukanlah hal yang tindak mungkin. Disini juga diperlihatkan bagaimana kita bersikap saat menghadapi masalah. Kepanikan bukanlah jalan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, melainkan pemikiran yang jernih dan tenang dapata membuat semuanya berjalan lancar.

5.2 Saran

1. Untuk perfilman Indonesia hendaknya lebih kretif dari segi genre, cerita dan benar-benar menyeleksi pemain dengan baik. Film horor berbau pornografi sebaiknya tidak lagi beredar di kalangan masyarakat. Hal ini ditakutkan memberikan dampak negatif ke masyarakat seperti terlalu bergantung kepada takhayul dan maraknya pornoaksi di kalangan masyarakat.

2. Untuk masyarakat, film-film yang ditonton harus dapat dikontrol pemikirannya. Di dalam film ada saja pesan tersembunyi yang dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Ambilah pesan positif yang ditayangkan oleh setiap film.


(5)

PHILLPS KARYA PAUL GREENGRASS

(Analisis Semiotik John Fiske Mengenai Nilai Kepahlawanan Dalam Film Captain Phillips Karya Paul Greengrass)

Ditri Ayu Ananda 41810059

Telah disetqiui untuk

diajukan

Sidang Ujian Sarjana

Disahkan

Bandung, Agustus 2014

NIP. 4127 35 30 007

Mengetahui, Menyetujui,


(6)