REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM (Studi analisis semiotik nilai nilai kepahlawanan yang di representasikan dalam film Harap Tenang Ada Ujian)
commit to user
REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM
(Studi analisis semiotik nilai-nilai kepahlawanan yang di representasikan dalamfilm Harap Tenang Ada Ujian)
SUSI DEVIYANA D1207555
SKRIPSI
Digunakan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi
PROGRAM ILMU KOMUNIKASI NON REGULER FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
(2)
commit to user
HALAMAN PERSETUJUAN
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D Nora Nailul Amal. S.Sos, MLMEd, Hons NIP. 196008131987022001 NIP. 198014292005012002
(3)
commit to user
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada hari : Tanggal : Panitia Penguji :
1. Drs. A. Eko Setyanto. MS ( )
NIP. 195806171987021001
2. Tanti Hermawati, S.Sos, M.Si ( )
NIP.196902071995122001
3. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D ( )
NIP. 196008131987022001
4. Nora Nailul Amal. S.Sos, MLMEd, Hons ( )
NIP. 198014292005012002
Mengetahui, Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pr of. Dr s. Paw it o, Ph.D
(4)
commit to user DAFTAR ISI Halaman Judul
Halaman Persetujuan i
Halaman Pengesahan ii
Halaman Motto iii
Halaman Persembahan iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 1
2. Rumusan Masalah 9
3. Tujuan Penelitian 10
4. Manfaat Penelitian 10
5. Telaah Pustaka 11
5.1Definisi Komunikasi 12
5.2Pesan Komunikasi 17
5.3Film Sebagai Media Komunikasi Massa 20
5.4Film Sebagai Representasi 25
5.5Film Pendek 27
(5)
commit to user
5.7Nilai-Nilai Kepahlawanan 44
5.8Aspek Sinematografi 53
6. Definisi Konseptual 57
6.1Film Pendek 57
6.2Kepahlawanan 58
7. Kerangka Pikir 60
8. Metode Penelitian 62
8.1Teknik Pengumpulan Data 65
8.2Analisis Data 66
BAB II SEKILAS TENTANG FILM “HARAP TENANG, ADA UJIAN!” DAN FOURCOLOURS FILMS
1. Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” 68
2. Festival dan Awards 69
3. Profil Sutradara 70
4. Profil Fourcolours Films 71
BAB III ANALISIS DATA
1. Aplikasi Sistem Pertandaan Dalam semiologi Roland Barthes 73
(6)
commit to user
Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” 76
2.1Keberanian 76
2.2Pantang Menyerah 90
2.3Rela Berkorban 95
2.4Kesetiakawanan Sosial 101
BAB IV PENUTUP
1. KESIMPULAN 108
2. SARAN 109
DAFTAR PUSTAKA 111
(7)
commit to user ABSTRAK
Susi Deviyana, D1207555, Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” (Studi Deskriptif Kualitatif menggunakan Analisis Semiologi Terhadap Film “Harap Tenang, Ada Ujian!”)
Nilai-nilai kepahlawanan merupakan salah satu hal yang harus di teladani, karena seiring perkembangan jaman tidak jarang orang semakin menjadi individualistis. Untuk menyampaikan pesan mengenai nilai kepahlawanan dapat disampaikan melalui film karena film merupakan salah satu bentuk dari media massa, dan cerita dalam film biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi disekitar kita. Seperti film “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang mengambil tema tentang kepahlawanan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam apakah tanda-tanda yang digunakan untuk merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan yang ada dalam film “Harap Tenang, Ada Ujian!” tersebut. Dengan mengetahui dan memahami tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan diharapkan kita dapat meneladani nilai-nilai tersebut.
Penelitian ini termasuk studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiotika. Data dalam penelitian ini didapat melalui scene-scene pada film “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang didalamnnya terdapat unsure-unsur yang berkaitan dengan penelitian ini, yakni nilai-nilai kepahlwanan yang tediri dari Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Serta mencari data dari berbagai tulisan artikel, buku-buku, internet dan lian sebagainya. Melalui gabungan antara scene-scene terpilih dan data-data tertulis, penulis melakukan analisis dengan menggunakan tanda-tanda yang terdapat dalam film “Harap
(8)
commit to user
Tenang, Ada Ujian!” dengan teori semiotika Roland Barthes. Analisis dilakukan melalui dua tahap, yaitu signifikasi tingkat pertama, yaitu makna denotasi yang terkandung dalam scene-scene tersebut dan dilanjutkan dengan signifikasi tingkat kedua yang menguraikan makna konotasinya. Dalam tahap inilah terkandung mitos.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai-nilai kepahlwanan ditunjukkan melalui symbol-simbol sosial ditampilkan melalui sikap dan aksi dari para tokoh. Nilai-nilai tersebut antara lain Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan.
ABSTRACT
Susi Deviyana, D1207555, The Representation heroism values in the movie “Be Quiet, Exam is in Progress!” (Qualitative Descriptive Research Semiology analysis on the movie “Be Quiet, Exam is in Progress!”
The value of heroism is one thing we hold as a role model, in this era of globalization, when individualism became a common thing. Movie as a media, can be used for sending message about current issues to the public. It is usually inspired by the actual phenomena and “Be Quiet, Exam is in Progress!” is one of them.
This research studied the symbols of heroism in “Be Quiet, Exam is in Progress!”. By knowing and understanding the symbols of heroism value in the movie, it would be easier to make it as a role model.
The research is a qualitative semiotics analysis research. The data used in this research was taken from the scenes of “Be Quiet, Exam is in Progress!” which have correlations with heroism topic. They are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity.
The data used in this research is from literatures which were taken from sources such as books, journals, articles and any other information that is related to the subject matter. The researcher analyzed the film symbols in selected scenes using Roland Barthes’ semiotics theory combined with the literatures. There were two steps in the analyzing process. Firstly, the researcher figured out the
(9)
commit to user
significance of denotation meaning in those scenes. Secondly, the analysis discovered the connotation. Myth appeared on this step.
The researcher concluded that the value of heroism in this movie was shown by attitude and action of the characters. The values are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. This film could send various messages or symbols that show heroism value.
Keywords: symbols, values, semiotics,
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di duina para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang bearasal dari Cinema + tho = phythos
(cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus yang biasa kita sebut dengan kamera.
(10)
commit to user
Garin Nugroho menyebutkan “film sebagai penemuan komunal dari penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll), dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya. Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus persitegangan hakikat seni dan media komunikasi massa”.1
Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit. Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas. 2
Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong – bondong ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam batas – batas tertentu, namun film tidak pernah sahih
1
Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995 hal 77 2
David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press, 1985. hal xi
(11)
commit to user
sebagai representasi kenyataan apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung hanyalah subjek yang beradu dengan subjek. 3
Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film.
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh
3
(12)
commit to user
kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop. Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.
Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia mengalami mati suri sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia mulai bangkit setelah munculnya film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)” pada tahun 2002 yang mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan kehausan masyarakat akan tontonan yang berkualitas dan menghibur, dan film adalah jawabannya. Keunggulan lain dari film adalah karena penayangannya yang sekali habis (cerita sampai selesai) dan bukan cerita bersambung. Itulah alas an masyarakat memilih film.
Film merupakan salah satu media yang berperan penting dalam menanamkan pesan-pesan yang baik bagi generasi penerus bangsa agar tidak menjadi bangsa yang hilang ingatan terhadap sejarah bangsa. Film lebih dari sekedar hiburan. Seperti apa yang diungkapkan oleh seorang kritikus film, Eric
(13)
commit to user
Sasono, dalam tulisannya “Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik
Sosial?” yang dimuat pada KOMPAS Edisi Minggu (17 Juli 2005). Eric
menyatakan bahwa film adalah media yang ampuh untuk melancarkan kritik sosial. Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film:
“…bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila".4
Salah satu fungsi film memang sebagai kritik sosial, seperti film Gie dimana Mira Lesmana dan Riri Riza ingin menyalurkan kegelisahannya melalui film ini. Selain itu bahkan film dapat dijadikan alat legitimasi5, seperti ketika zaman orde barunya Soeharto dengan film Jnaur Kuning, Serangan Fajar dan Enam Jam di Jogya sampai Pengkhianatan G-30 S/PKI. Dengan segala potensi yang dimilikinya, maka sangat disayangkan apabila film yang sangat ampuh dalam mempengaruhi seseorang itu hanya dijadikan alat untuk legitimasi kekuasaan atau kepentingan komersil belaka.
James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori. Sebagai Cinema (dilihat dari segi estetika dan sinematografi), Film (hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan politik), dan Movies (sebagai barang dagangan). Film sebagai “Film” adalah
4
Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 5
(14)
commit to user
fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara Cinema (art
film) dengan Movies (film komersil).6
Jelas bahwa film adalah media yang tepat untuk mengedukasi masyarakat, terutama akan pentingnya nasionalisme, karena jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda sekarang telah memudar. Bahkan film yang paling menghibur sekalipun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat yang pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Rusia. Seperti yang pernah ditulis oleh Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia bahwa menonton film Hollywood, kita terbius dengan layar peraknya, dan tak terasa pikiran kita dimasuki propaganda mereka, misalnya kekerasan dan seks bebas saat kita mnikmatinya. Sementara itu, menonton film yang dianggap bagus dan sarat dengan nilai-nilai, biasanya bikin ngantuk. 7
Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan meminta pendapat tentang gaya (propaganda) film yang sesuai dengan revolusi Indonesia, apakah gaya Rusia (yang kurang menghibur namun padat dengan misi) ataukah Hollywood (yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan propagandanya masuk secara halus). Bung Karno saat itu mengatakan yakni, ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme Italia.8
Neorealisme yang diperkenalkan pertamakali pada 1942-1943 oleh kritikus Antinion Pietrangeli dan Umberto Barbaro berfokus pada manusia dan memihak pada kemanusiaan. Ciri pokoknya terlihat pada penggambaran yang
6
Ibid, Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 7
Ibid.
8
(15)
commit to user
langsung, sederhana, dan alamiah mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat kelas bawah dengan infrastruktur utamanya bukanlah kapital, teknologi, atau hal lain yang berada di awang-awang, melainkan lebih bertumpu pada wilayah dalam penciptanya, seperti kepekaaan sosial, empati, nalar, intelektualitas, dan sebagainya.9 Genre neorealisme ini kini diadopsi oleh para sineas Iran. Hasilnya adalah sebuah film sarat makna, tapi juga “sehat” dalam hal akidah dan nilai-nilai keislaman, serta bermutu dalam segi sinematografi dan isi cerita yang universal dan karenanya bias diterima oleh pihak internasional.
Film yang baik adalah film yang diniatkan untuk penyampaian pesan-pesan lewat cerita-cerita yang diambil dari cerita kehidupan nyata. Selain itu, film juga mampu membuat kita memahami pandangan dunia dari perdaban lain, atau kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita mengetahui budaya negara lain. Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer menyatakan,
“film suatu bangsa, mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistic lainnya”10
Keresahan para pelaku film atas komersialisasi karya film dan film sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salah satu isu utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek sendiri telah dikenal sebagaian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui film-film “Gelora Pembangunan” pada era Soekarno. Film-film tersebut
9
Totot Indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November, 2001 10
Sigfried Kracauer, From Caligari to Hitler : A Psychological History of the German Film, New Jersey, Princeton University Press, 1974, hal. 6
(16)
commit to user
diputarkan di kampong-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun ini berlanjut pada era pemerintahan Soeharto yang memiliki program pemutaranfilm melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan film-film (yang kebanyakan film-film pendek) propaganda pemerintah dengan ideology pembangunannya.
Salah satu film yang mengangkat wacana nilai-nilai kepahlwanan adalah Harap Tenang, Ada Ujian. Film ini diproduksi tahun 2006 oleh Fourcolours Film dari Jogja yang bekerja sama dengan Freemovie dan disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Film berdurasi 15 menit ini sebenarnya mengangkat tema cerita yang cukup berat, namun sang sutradara menceritakannya dengan sangat ringan. Dengan berlatar belakang kota Jogjakarta yang pada tanggal 27 mei 2006 pada jam 05.55 pagi dikejutkan oleh gempa dengan kekuatan 5,9 SR yang menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hari itu adalah sepuluh hari sebelum ujian akhir nasional untuk murid sekolah dasar dan empat belas hari sebelum piala dunia 2006. Cerita difokuskan pada anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta, yang akan menjalani ujian sejarah. Pada saat bersamaan, dating sukarelawan Jepang ke daerahnya untuk member bantuan. Anak itu mengira kalau sukarelawan Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia, seperti yang dibacanya dalam buku sejarah. Maka dengan segala cara anak ingusan itu mencoba untuk menghalau para sukarelawan Jepang.
Film ini merupakan film independent atau film pendek yang notabene diproduksi dengan budget terbatas. Film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya harus bisa
(17)
commit to user
lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap ‘shot’ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Dengan berlatar kejadian gempa di Jogjakarta, dan alur cerita yang sangat ringan, film ini nampaknya sarat dengan pesab yang mengandung nilai-nilai kepahlawanan. “Harap Tenang Ada Ujian”, produksi Fourolours juga berhasil menembus festival bertaraf internasioanl dan meraih penghargaan sebagai film pendek terbaik. Hal inilah yang menjadi alasan penulis memilihnya untuk diteliti.
Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah satunya adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung dari referensi dan kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu dalam hal ini analisis semiotik sangat berperan. Dengan semiotik tanda-tanda dan simbol-simbol dianalisa dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang berlaku, dengan demikian proses intrepertasi akan menemukan sebuah “kebenaran makna” dalam masyarakat, semiotik akan menemukan makna yang hakiki, makna yang terselubung dalam sebuah pesan (film). Oleh karena itu penulis ingin melakukan kajian semiotik mengenai bagaimanakah perfilman Indonesia menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan dalam film yang mereka buat.
(18)
commit to user
Setelah melihat pemaparan di atas,maka peneliti akan menganalisis bagaimana simbol-simbol kepahlawanan yang terkandung dalam film Harap Tenang Ada Ujian disampaikan ditinjau dari pendekatan semiotik.
Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Secara umum:
· Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan direpresentasikan dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ?
Secara Khusus :
· Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
· Mengetahui simbol-simbol sosial dan pemaknaan yang merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam film ”Harap Tenang, Ada Ujian”
· Mengetahui pemaknaan simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial.
4. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Akademis :
(19)
commit to user
Memberikan sumbangan terhadap kajian tentang simbol-simbol sosial nilai-nilai kepahlawanan. Sekaligus mendorong munculnya kajian penelitian serupa dan dapat memperkaya permasalahan ini.
2. Manfaat Praktis :
Penelitian ini diharapkan akan memberikan wacana kepada khalayak akademisi dan masyarakat pada umumnya tentang nilai-nilai kepahlawanan melalui simbol yang dikonstruksikan dalam film.
3. Manfaat Sosial :
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat berupa analisis bagaimana nilai-nilai kepahlawanan harus tetap dipelihara dan diteladani. Hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana baru bahwa nilai-nilai kepahlawanan harus diteladani dan dipelihara oleh setiap orang terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Sehingga perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak akan sia-sia, dan persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga.
5. Telaah Pustaka
Manusia merupakan mahluk Tuhan yang mempunyai kemampuan adaptasi terbaik diantara mahluk lainnya. Kemampuan beradaptasi yang dimiliknya, baik terhadap alam maupun sesama telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang selalu mampu bertahan dalam menghadapi seleksi alam. Kemampuan ini ditunjang oleh berbagai macam faktor, dimana salah satunya adalah kemampuannya berkomunikasi. Sebagai mahluk sosial, komunikasi menjadi sedemikian penting dalam kehidupan manusia. Selain untuk menjalin hubungan
(20)
commit to user
antara satu dan lainnya, yang lebih penting adalah untuk mengantisipasi perpecahan dengan jalan saling mengerti dan memahami. Komunikasi merupakan sarana utama manusia dalam segala hal, sehingga tanpa adanya komunikasi yang baik, dapat dipastikan akan terjadi gesekan-gesekan dalam berbagai macam sendi kehidupan sosial.
Logika berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah merancang struktur layaknya sebuah piramida. Menjabarkan hal yang bersifat umum terlebih dahulu dan kemudian menariknya menjadi lebih khusus. Dimulai dari pengertian komunikasi, bagian-bagian, dan sarana yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Film sendiri adalah salah satu media komunikasi massa yang dirasa cukup efektif untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Setelah menetapkan film sebagai salah satu sarana komunikasi massa, maka tahap selanjutnya adalah representasi terhadap film itu sendiri yang kemudian disusul oleh pengelompokan film menurut tema, durasi, dan sebagainya. Seperti kebanyakan sarana komunikasi massa lainnya, film pendek juga membutuhkan kemampuan semiologi untuk menangkap pesan yang terkandung didalamnya sehingga tujuan utama untuk menjadikan film sebagai sarana komunikasi dapat tercapai.
5.1 Definisi Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang diakui oleh setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan. Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; ataupun kritik sastra, daftar ini tak habis-habisnya. Inilah salah satu masalah yang dihadapi para akademisi:
(21)
commit to user
bisakah kita menerapkan secara tepat istilah “subjek studi” terhadap sesuatu yang sungguh berbeda dan banyak segi seperti komunikasi insani (human
communication)? 11
Untuk menjawab masalah-masalah diatas, John Fiske, dalam bukunya yang berjudul Cultural Communication: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,
membagi studi Komunikasi dalam dua Mazhab Utama. Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menejemahkannya (decode),
dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of
mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil dari yang
diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya mazhab ini sebagai “Mazhab Proses”.12
Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan
orang-orang dalam kebudayaan kita. Ia berkenaan dengan bagaimana menghasilkan makna; yakni, ia bekenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yag penting dari kegagalan
11
John Fiske, Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hal. 7 12
(22)
commit to user
komunikasi, hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna), dan itu adalah label yang akan di gunakan untuk mengidentifikasikan pendekatanini. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya “Mazhab
Semiotika”.13
“Mazhab Proses” cenderung mempergunakan imu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan
komunikasi. Sedangkan “Mazhab Semiotika” cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni, cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi.14
Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi berhubungan dengan pribadi yang lain, atau memperngaruhi perilaku, state of
mind atau respon emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih
dekat denga akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase tersebut. Sementara “Mazhab Semiotika” mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. 15
Pada penelitian ini peneliti menggunakan Mazhab yang kedua yakni mazhab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna dimana
13
Ibid. hal 9 14
ibid
15
(23)
commit to user
peneliti menggunakan film, yang sarat akan pertukaran makna, menjadi pusat objek penelitian. Penelitian ini erat kaitannya dengan teks dan kebudayaan.
Kedua mazhab tersebut juga berbeda dalam pemahaman mereka atas apa yang membentuk sebuah pesan. Pada satu sisi, “Mazhab Proses” melihat pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Kebanyakan pengikutnya percaya bahwa tujuan (intention) merupakan suatu faktor yang krusial dalam memutuskan apa yang membentuk sebuah pesan. Tujuan pengirim mungkin tidak dinyatakan atau dinyatakan, disadari atau tidak disadari, namun harus dapat diperoleh kembali dengan analisis. Pesan adalah apa yang pengirim sampaikan dengan sarana apa pun.16
Bagi “Mazhab Semiotika”, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang, melalui interaksinya dengna penerima, menghasilkan makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurut arti pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Dan, membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana koran-koran yang berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk merealisasikan betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang tiap-tiap koran bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman
16
(24)
commit to user
sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.17
Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis (lihat skema 1)18
Skema 1. Pesan dan Makna
Dalam komunikasi terdapat beberapa level komunikasi yaitu komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Film adalah salah satu bentuk media komunikasi massa. Pada penelitian ini, peneliti memandang pesan sebagai sebuah teks yang dibaca. Peneliti mencoba menemukan makna pada sebuah film yang
17
ibid
18
(25)
commit to user
berhubungan dengan pengalaman budaya serta kode dan tanda yang menyusun film tersebut.
5.2 Pesan Komunikasi
Menurut Stephen W.Littlejohn, pesan atau message merupakan inti dari studi ilmu komunikasi. Dalam disiplin ilmu komunikasi memiliki cabang yang bertingkat dimana yang memiliki titik sentral adalah pesan atau message.19
Secara rinci Riyono Praktikto mengatakan bahwa pesan merupakan semua bentuk komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Yang dimaksud dengan komunikasi verbal adalah komunikasi lisan, sedangkan komunikasi non-verbal adalah komunikasi dengan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan penciuman.20
Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pesan merupakan bentuk gagasan verbal maupun non-verbal yang disampaikan kepada orang lain, yang bertujuan menyatakan maksud tertentu sesuai dengan keperluan orang lain berkenaan dengan manfat dan kebutuhannya.
Dalam menyampaikan pesan kita seringkali menggunakan lambang-lambang. Salah satu lambang yang paling banyak digunakan adalah bahasa. Karena dalam komunikasi bahasa sebagai lambang mampu mentrasnmisikan pikiran, ide, pendapat dan sebagainya baik mengenai hal yang abstrak maupun yang kongkret; tidak saja tentang hal ataupun peristiwa yang terjadi saat sekarang tetapi juga pada waktu yang lalu atau masa mendatang.
19
Little John, S.W, Theories of Human Communication, Wadsworth Publishing Company, Belmont california, 2002 hal. 61.
20
Pratikno, Riyono, berbagai Aspek Ilmu Komunikasi, CV. Remaja Karya, Bandung, 1987 hal.42.
(26)
commit to user
Selain bahasa, isyarat adalah basis dari seluruh komunikasi. Suatu isyarat menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan suatu obyek atau ide dan suatu isyarat. Konsep dasar ini mengikat bersama seperengkat teori yang sungguh luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana isyarat berhubungan dengan artinya dan bagaimana isyarat disusun.21
Komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Tetapi komunikasi berpusat pada pesan bersandar pada informasi dan beberapa teori telah memaparkan tentang pemrosesan pesan. Teori ini melihat pembuatan dan penerimaan pesan sebagai persoalan psikologis, memfokuskan pada sifat-sifat, keadaan-keadaan dan proses-proses individual.
Teori pembuatan dan penerimaan pesan menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis: penjelasan sifat, penjelasan keadaan, dan penjelasan proses. Penjelasan sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat dan variable lain, hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis-jenis pesan tertentu.22
Selain teori diatas dalam konteks pesan, terdapat teori-teori penerimaan dan pemrosesan pesan teori ini mencakup bagaimana pesan itu diterima, dipahami, dan manusia dapat mengorganisasikan serta menggunakan informasi yang terkandung didalam pesan. Teori penerimaan dan pemrosesan pesan
21
Little John, S.W, Op. Cit, hal 64. 22
(27)
commit to user
sebagian besar masih terdapat dalam level kognisi, yaitu studi tentang pemikiran dan pemrosesan informasi.
Menurut Dean Hewes kognisi menuntut dua elemen sentral, yaitu struktur-struktur pengetahuan dan proses-proses kognitif. Struktur pengetahuan terdiri dari organisasi informasi di dalam sistem kognitif seseorang. Bahkan pesan yang paling sederhanapun membutuhkan banyak sekali informasi untuk bisa dipahami. Di dalam kognitif potongan-potongan informasi saling dihubungkan satu sama lain kedalam sebuah pola yang teratur. Tujuh proses kognitif yang paling utama menurut Hewes yang saling berinterelasi adalah, pertama pemfokusan, yaitu sebuah proses menghadapi detil-detil tertentu dari informasi. Proses kedua adalah integrasi atau pembuatan hubungan antara potongan-potongan informasi. Ini merupakan proses penggabungan apa yang dilihat dan didengar kedalam informasi pengetahuan yang menyeluruh. Ketiga adalah pengambilan kesimpulan, sebuah proses pengisian, ketika seseorang membuat asumsi-asumsi tentang hal-hal yang tidak teramati berdasarkan hal-hal-hal-hal yang teramati.23
Proses yang keempat dan kelima melibatkan ingatan, penyimpanan dan pengungkapan. Struktur pengetahuan harus disimpan dan digunakan di lain waktu dan ia harus diingat secara tepat. Proses keenam dan ketujuh adalah seleksi dan implementasi juga berjalan bersamaan. Seleksi adalah pemilihan perilaku dan simpanan seseorang dan implementasi bertindak sesuai dengan perilaku yang sudah dipilih dengan melakukannya.24
5.3 Film sebagai Media Komunikasi Massa
23
Ibid. hal. 129 24
(28)
commit to user
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan komunikasi. Dengan melakukan komunikasi, manusia bisa saling tukar informasi, gagasan, ide dan pengalaman. Adanya komunikasi akan membentuk suatu jaringan interaksi yang kompleks bagi manusia. Di abad ini komunikasi telah mencapai suatu titik dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Hal ini berarti tidak ada lagi batasan – batasan yang menghambat berlangsungnya komunikasi antar personal.
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan Bitner sebagai berikut :
“ Mass communication is massage communicated through a mass medium to a large member of people “ ( komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang ) 25
Film adalah salah satu media massa yang berfungsi untuk menyampaikan pesan dari komunikator (produser) kepada komunikan (penonton). Dalam menyampaikan pesan, film tidak bisa berdiri sendiri sebagi media yang benar-benar netral. Film mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi pesan lewat bahasa audio visual. Realitas atau fakta yang berada dalam film seolah-olah muncul sebagai representasi peristiwa yang objektif, jujur, adil, transparan. Penonton hanya menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film. Kekuatan film sebagai media massa dibandingkan dengan jenis media massa lain adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. 26
Setiap kegiatan yang di komunikasi – massakan dapat dipecah dalam dua elemen : komunikator yang mengirimkan pesan tertentu melalui sebuah saluran
25
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal.188
26
Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala, ed : Rema Karyanti S. Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. PT Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. 2007 hal. 137
(29)
commit to user
kepada audiens dengan sejenis efek. Dalam komunikasi massa, media yang digunakan adalah media massa. Perbedaan media massa dengan media yang terbatas bukanlah pada alat itu sendiri, tetapi justru pada cara penggunaan alat itu. Untuk dapat digolongkan sebagai media massa, sebuah alat tidak hanya memberikan kemungkinan komunikasi melalui suatu alat mekanik, menciptakan suatu hubungan yang dekat antara komunikator dengan audience-nya tetapi juga harus benar-benar digunakan untuk berkomunikasi dari sebuah sumber tunggal kepada sejumlah besar orang ( massa ). Jadi, film yang diputar di rumah tangga bukanlah suatu media massa, tetapi kalau sebuah film diputar di bioskop dan ditonton oleh banyak orang secara serempak, maka film bisa disebut sebagai media komunikasi massa.
Film sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai peran penting di dalam sosial kultural, artistik, politik, dan dunia ilmiah. Pemanfaatan film dalam usaha pembelajaran masyarakat ini sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film mempunyai kemampuan mengantar pesan secara unik.27 Film tidak lagi dimaknai sekedar karya seni (film as art), tetapi lebih sebagai praktik sosial (Turner, 1991) serta komunikasi massa (Jowett dan Linton, 1981). Terjadinya pergeseran perspektif ini,paling tidak telah mengurangi bias normatif dari teoritisi film yang cenderung membuat idealisasi dan karena itu mulai meletakkan film secara objektif.28
27
McQuail, Denis, 1994, Mass Communication Theories, Fourth editions, Sage Publications, London.
28
Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Media Pressindo, Yogyakarta,1999.
(30)
commit to user
Selain itu film juga merupakan sebuah media hiburan yang sederhana dan murah. Tidak ada media lain yang memiliki kemampuan yang sama untuk memikat kepentingan penonton, untuk melibatkan penonton, dan membuat pengalaman emosional. Tidak ada media lain yang efektif dalam menciptakan pengalaman yang benar-benar berkesan.29
Sejak diketemukannya sampai dengan saat ini, film telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sebagai cara dominan untuk mengungkapkan ekspresi. Hal ini terjadi karena film adalah media komunikasi yang didalamnya memuat pesan dari kreator. Film sebagai media komunikasi dapat dinyatakan sebagai proses sosial, media yang mentransmisikan signal, dan signal-signal itu diperlakukan sebagai pesan.30
Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong-bondong ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam batas-batas tertentu, namun film tidak pernah sahih sebagai representasi kenyataan
29
Kirsch, Christina, Film and Collective Storytelling in Corporate Identity : a Case Study, www.emeraldinsight.com
30
Jowett, Garth and Linton JM. 1971. Movies as Mass Communications, Sage Publication, London.
(31)
commit to user
apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung hanyalah subjek yang beradu dengan subjek. 31
Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit. Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan, dengan makna yang lebih luas. 32
Kepekaan artistik dalam memaknai pesan dalam film dibutuhkan karena film memiliki bahasa tersendiri yang terdapat pada teknik-teknik penyajian gambar (cut), pemotretan jarak dekat (close up ), pemotretan dua sisi ( two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran atau pengecilan gambar (zoom
out/zoom in), pelarutan dua gambar secara halus (disolve), sampai kepada yang
melibatkan efek khusus (special effect) sperti gerakan lambat (slow motion), gerakan dipercepat (speeded up), dan special effect digital yang lebih canggih lainnya, yang melibatkan animasi atau permainan program komputer.33 Karena memiliki kekayaan dalam bentuk-bentuk tanda untuk mengkodekan pesan, maka film juga menjadi lebih menarik bagi masyarakat dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya.
31
Seno Gumira Ajidarma. Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34 32
David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press, 1985. hal xi
33
Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cetakan ke.3 Hal. 131
(32)
commit to user
Dalam teori komunikasi, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang disampaikan kepada komunikan. Sedangkan makna tidak terdapat pada pesan melainkan pada penerima pesan. Bagaimana kreator mengurangi bisa makna yang terjadi sehingga pesan itu bisa dipersepsi secara seragam itulah yang penting kecuali jika film diangap barang seni yang cenderung susah dipahami dan lebih banyak menjadi familiar bagi kreatornya daripada audiencenya. Efektifitas komunikasi bisa diukur secara berbeda-beda tergantung seperti apa tujuan dari proses komunikasi itu sendiri. Bagaimana tanda itu dipersepsi oleh penerima atau interpreter sehingga terjadi komunikasi yang efektif.
Cara bertutur adalah bagian dari teknik komunikasi, yakni bagaimana sebuah film menancapkan pesan ke benak penonton dengan cara yang mengesankan. Pengertian mengesankan dalam hal ini adalah penonton dapat memahami sebuah pesan bukan karena pemberitahuan mentah-mentah, melainkan berdasarkan pengalaman yang didapatnya dari sebuah film.
Media film sebenarnya memiliki kekuatan lebih dibandingkan media lain dalam melakukan representasi terhadap kenyataan. Jurnalisme mungkin mendasarkan kerjanya pada realitas, tetapi jurnalisme dikendalikan oleh prinsip kelayakan berita yang memotong realitas itu dalam satuan-satuan kelayakan berita tersebut. Sedangkan film nyaris tak terbatasi oleh hukum-hukum ekstrinsik semacam itu. Ketika pembuat film memilih sebuah tema, maka yang membatasinya adalah hukum-hukum intrinsik film itu sendiri. Dengan pilihan
(33)
commit to user
yang nyaris sama luasnya dengan kehidupan itu sendiri, film punya kemungkinan yang tak terbatas.34
5.4Film Sebagai Representasi
Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah ingin menggambarkan kembali sesuatu hal yang ada pada cerita di sebuah film. Representai menunjuk baik pada proses maupun dari produk pemaknaan suatu tanda. Representasi sendiri adalah suatu proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk yang konkrit. Representasi juga mempunyai beberapa pengertian diantaranya adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, fotografi, film, dan sebagainya.35
Terkait dengan film yang akan diteliti, representasi merupakan konvensi-konvensi yang dirancang untuk menarik perhatian sekaligus dapat dipahami dengan mudah secara luas oleh audiencenya. Konvensi dalam bahasa representasi film tercermin pada kode-kode sinematografis dan naratif yang digunakannya.
Penulis mengkategorikan film yang akan diteliti menjadi dua aspek. Kedua aspek tersebut meliputi:
1. Aspek Sosial
Aspek sosial adalah aspek yang menyangkut kondisi sosial yang terdapat dalam film. Bagaimana kondisi tokoh-tokoh dalam film,
34
Eric Sasono, Film sebagai Kritik Sosial, dalam http://ericsasono.blogspot.com/, diakses pada
tanggal 8 Juni 2010
35
Budi K Zaman, Bahasa Film: Teks dan Ideologi, Laporan Penelitian, Yogyakarta: FISIPOL UGM. 1993, hal:83
(34)
commit to user
hubungan antar tokoh, dalam film dan situasi yang digambarkan dalam film merupakan bagian dari aspek sosial.
2. Aspek Sinematografi
Aspek sinematografi adalah segala hal yang menyangkut tata cara dan teknis pembuatan film. Bagaimana angle kamera dalam menangkap obyek, besar kecilnya obyek yang tertangkap pada kamera (shot distance), pencahayaan, setting dan efek-efek yang dihasilkan dari teknis-teknis tersebut. Termasuk didalamnya adalah setting pengambilan gambar serta seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut.
5.5 Film Pendek
Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang, film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan menuju film cerita panjang.
Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas. Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film main-stream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses
(35)
commit to user
menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas lingkungan atau dunia secara umum.36
Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen. Alur cerita adalah cara yang bagus untuk menciptakan pemahaman bersama tentang mengkomunikasikan pengalaman.
Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi dibawah 50 menit.37 Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang secara konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi
36
Gotot Prakosa, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Yayasan Layar Putih, 2001hal 25-26 37
Derek Hill, dalam Gotot Prakosa, Film Pinggiran : Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film Dokumenter, FFTV IKJ & YLP, 1997
(36)
commit to user
para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema.
Istilah ‘independent film’ dan ‘independent filmmaker’ memang muncul pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai menyutradarai film. Definisi ‘independent film’ pun masih terus menjadi polemik besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan:
“ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the subsequent production and/or distribution financing comes from.”38
Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu ‘sempit’ untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara universal. Untuk konteks Amerika Serikat khususnya Hollywood mungkin definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana. Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan tentu saja praktis. Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini
38
Gregory Goodell, Independent Feature Film Production : A Complete Guide from Concept Through Distribution, St. Martin’s Griffin; Rev Upd Su edition, 1998
(37)
commit to user
tidak bijaksana. Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti Moran & Willis yang menyatakan bahwa:
“Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” (Moran & Willis,….)39
Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya. Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka:
“Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.” 40
Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’ mulai populer sejak dekade 50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan Perancis; para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek
39
http://www.konfiden.or.id/videotex/pages/vtex_makalah03.php, diakses pada tanggal 8Juni 2010
40
(38)
commit to user
menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampir setiap sudut kota di Eropa.41
Hubungan internasional mulai terbangun, diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk pertama kalinya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan pemerhati film. Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja
Di Indonesia, film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal, dari sudut pandang pemirsa karena tidak mendapatkan media distribusi dan eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra. Film pendek memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Film pendek Indonesia secara praktis mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts pada era 70-an dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena
41
(39)
commit to user
kekurangan Dana. Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian.42
Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi.43
5.6 Semiologi dalam film
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non-verbal sehingga bersifat komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Disamping itu,
42
Ibid
43
(40)
commit to user
semiotika ( semiotics ) adalah salah satu dari ilmu yang beberapa ahli atau pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika "...pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)."44
Semiologi adalah istilah untuk ilmu tentang tanda-tanda yang dikemukakan ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de Saussure. Perbedaan ilmu tentang tanda, semiotik, pertama kali dikembangkan oleh filosof Amerika yang bernama Charles sanders Pierce. Sifat alami tanda yaitu menunjuk suatu karakter yang mengandung makna tersembunyi yang akan diterjemahkan sebagi tanda. Sebuah tanda akan disebut demikian dalam kenyataannya, berdasarkan penerimaan sebuah penafsiran dimana berdasarkan pula ketentuan tanda lain dalam suatu obyek yang sama. Struktur tanda tidak hanya terbatas pada representasi yang digunakan untuk menjabarkan hubungan antara tanda dan obyek, tapi juga membangkitkan suatu keyakinan.45
Semiotika adalah istilah yang saat ini secara umum digunakan untuk menunjukkan kedua sistem tersebut di atas. Keduanya menaruh perhatian mengenai bagaimana makna dibangkitkan didalam sebuah teks (film, program
44
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003, hal. 43-44
45
Pretelli, Susan, Abaout a Master of Sign, Starting the Sign and it’s Masters. www.augustoponzio.com
(41)
commit to user
acara televisi, lagu, dan bentuk kebudayaan lainnya) yang melibatkan komunikasi dan transfer informasi.
Semiotika, atau dalam istilah barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal –hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.46 Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, dan keinginan.
Obyek semiotika adalah teks. Teks dipahami bukan sebagai sesuatu yang dibaca saja tetapi juga semua hal yang memiliki kode-kode yang bisa dimaknai. Proses memaknai (signifikasi) teks, tidak hanya terbatas dalam bahasa saja, tetapi juga hal-hal lain. Barthes sendiri didalam bukunya yang berjudul mytologies, memperlakukan obyek-obyek studinya (seperti margarin, sabun mandi sampul majalah, film charlie chaplin, dan novel) seperti memperlakukan bahasa.47
Pada dasarnya film harus dilihat sebagai salah satu bentuk komunikasi sehingga pemahaman makna dalam film dapat dilihat dalam konteks yang jauh lebih luas. Makna yang diperoleh dari film akan lebih lengkap jika dikaji dengan melibatkan keseluruhan unsur-unsur komunikator dan komunikan, komunikasi juga melibatkan kebudayaan yang ada disekitarnya.
46
Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cetakan ketiga 2006, Hal.15
47
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan INDONESIATERA, Magelang, cetakan pertama, Februari 2001. Hal 54
(42)
commit to user
Terlebih dari perkembangannya film telah mampu menjadi alat untuk refleksi dari masyarakat, dan tampaknya menjadi perspektif yang secara umum sebagaimana dikemukakan Garth Jowett:48
“(Its is more generally agree that mass media are capable of reflecting society because they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will guarantee the widst possible audiens.“
Yaitu lebih mudah disepakati bahwa media massa yang diwakili oleh film, telah mampu merefleksikan masyarakat karena ia didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatnya akan menjamin kemungkinan audiens yang luas. Tetapi tidak hanya itu saja film ternyata juga memiliki banyak pesan didalamnya. Untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam film tersebut, maka dapat dilihat melalui kacamata semiotika. Dalam semiotika ada beberapa tahapan, tahap pertama adalah denotasi, makna denotasi merupakan makna harfiah dari suatu objek atau citra, yaitu apa yang tergambarkan pada objek atau citra tersebut. Bagi masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama, makna denotasi tidak akan berbeda secara signifikan. Sedangkan konotasi kadangkala dinamakan sebagi signifikasi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda pertama dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya, konotasi adalah suatu tanda yang berhubungan dengan satu atau lebih fungsi tanda, makna konotasi dapat bervariasi diantara satu orang dengan orang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan diantara mereka, entah perbedaan usia, gender, kelas rasial dan sebagainya49.
48
Irawanto, Budi, Film,Ideologi, dan Militer, Hegemoni militer dalam sinema Ind, Media Pressindo, 1999, hal.13
49
Kris Budiman, Jejaring Tanda – Tanda Strukturalisme Dan Semiotik Dalam Kritik Kebudayaan, Indonesiatera, Magelang, hal 108-109
(43)
commit to user
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan / memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Di dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Namun mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya.
Semiologi akan menghasilkan makna-makna yang berasal dari kajian elemen-elemen film yang luas dan beragam, sehingga dapat diperoleh makna yang meliputi berbagai dimensi. Semiologi memberikan pemahaman bahwa sebuah makna tidak dipahami secara pasif, tetapi secara aktif dalam proses interpretasi. Dan semiologi akan mengkaji simbol-simbol yang ada dalam film untuk direpresentasikandalam kehidupan nyata, sehingga dapat diperoleh makna tertentu
Berikut adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh mereka, yakni, Charles Alexander Peirce, Ferdinand de Saussure dan Roland Bhartes.
a. Charles Alexander Peirce
Semiotika komunikasi yang mempunyai jejaknya pada pemikiran Charles Sander Peirce menekankan “produksi tanda” secara secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Peirce, yang merupakan ahli filsafat dan logika, mengungkapkan bahwa tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Pada teori semiotik yang dikembangkannya,
(44)
commit to user
Peirce memusatkan perhatian pada tanda pada umumnya. Sedangkan semiotik signifikasi berakar pada pemikiran bahasa Ferdinand de Saussure. Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.50
Semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh
(influence), atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object)
dan interpretan (interpretant). Yang dimaksud dengan subjek pada semiotika Peirce bukan subjek manusia, tetapi tiga entitas semiotika yang sifatnya abstrak sebagaimana disebutkan di atas yang tidak dipengaruhi oleh kebiasaan berkomunikasi secara kongkret. Menurut Peirce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi seseorang jika hubungan yang “berarti” ini diperantarai oleh interpretan.51
Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya unsur perantara adalah contoh dari Keketigaan. Peirce berusaha untuk menemukan struktur terner dimanapun mereka bisa terjadi. Keketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan yang membaca tanda sebagai bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa dikatakan oleh
50
Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-Serbi Komunikasi (Jakarta: Gramedia, 1992) hal. 2
51
Umberto Eco, Sebuah Pengantar Menuju Logika Kebudayaan dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-Serbi Komunikasi (Jakarta: Gramedia, 1992) hal.43
(45)
commit to user
penafsir lainnya. Penafsir ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar bisa ada sebagai suatu tanda, maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti harus memilik penafsir).
Peirce mengungkapkan “Sign is something which stands to somebody
for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar
tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni
ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce
mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisgn, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu.
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda;
misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh
yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisgn adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu-lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.52
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan
52
(46)
commit to user
yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi,
simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda
dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian masyarakat).
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas
rheme, dicent sign, atau dicisign, dan argument. Rheme adalah tanda yang
memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki serangga, atau baru bangun, atau mengantuk. Dicentsign atau disign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan di pasang rambu lalu-lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.53
b. Ferdinand de Saussure
Sumbangan utama Saussure pada dunia semiologi adalah diperkenalkannya dua model analisis bahasa, yaitu analisis bahasa sebagai
53
(47)
commit to user
sebuah sistem (langue), dan bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi (parole). Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat individu.54 Saussure membandingkan langue dengan sebuah kamus yang dibagikan pada setiap pemakai bahasa tertentu. Dalam berkomunikasi, seorang penutur seakan-akan mencari dalam kamus itu citra akustis yang sesuai dengan konsep yang ingin diungkapkannya. Lawan bicara memiliki kamus yang sama (kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi komunikasi). Setelah menangkap rangkaian bunyi yang diucapkan penutur, ia mencari konsep dan citra akustis yang ditangkapnya agar dapat memecahkan kode-kode tersebut. Saussure membayangkan ”kamus” ini sebagai suatu kumpulan guratan ingatan dalam otak setiap pemakai bahasa tersebut. Adapun parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari “kamus” tersebut. Secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi juga sekaligus bergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan
parole, di lain pihak pengungkapan parole serta pemahamannya hanya
mungkin berdasarkan penelusuran langue sebagai sistem.55 Jika langue
mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah
living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat
dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya
54
Ibid, hal 50 55
Martin krampen, Ferdinand de Saussure Dan Perkembangan Semiologi dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba serbi komunikas (Jakarta: Gramedia, 1992) hal.55
(48)
commit to user
“tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole
lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar
langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat. Kalau langue
bersifat synchronic dalam arti tanda atau kode itu dianggap baku sehingga mudah disusun sebagai suatu sistem, maka parole boleh dianggap bersifat
diachronic dalam arti sangat terikat oleh dimensi waktu pada saat terjadi
pembicaraan.
Dalam kerangka langue, Saussure menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan yakni signifier (penanda) dan signified
(petanda). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistam tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak bisa dilepaskan. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas”, kata Saussure.56 Dalam melihat relasi petandaan ini, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social
convention), yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.
56
(49)
commit to user
Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut signifikasi (signification). Semiotika signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Meskipun demikian, signifikasi tidaklah sederhana sebagai relasi antara penanda dan petanda. Sesungguhnya ada beberapa tingkat relasi tertentu, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Kompleksitas relasi ini yang digambarkan oleh Roland Barthes lewat “tingkatan signifikasi”
(staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang
juga bertingkat-tingkat. c. Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi saussurean. Minat utama Saussure adalah sistem linguistik, minat keduanya adalah cara sistem berealisasi dengan realitas yang diacunya, dan yang paling sulit dari semua itu adalah cara sistem berelasi dengan pembaca dan sosio-kulturnya. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna; dia kurang tertarik terhadap kenyataan bahwa kalimat bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.57
Dengan kata lain, dia tak sungguh-sungguh memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi antara pembaca/penulis dan teks. Dia menekankan
57
(50)
commit to user
pada teks, bukan cara tanda-tanda didalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, tidak juga tertarik pada cara konvensi di dalam teks berinteraksi dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.58 Disinilah Bhartes mengambil peran untuk menyempurnakannya. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). Dalam pegertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”. Pada proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya meagacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. 59
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes karena dalam semiotika Roland Barthes terdapat dua tingkatan makna yaitu denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat unsur mitos,
58
Ibid. hal. 118 59
(1)
commit to user
suasana pada saat itu menunjukkan bahwa relawan Jepang datang kembali bersama dengan relawan lain dalam jumlah yang lebih banyak.
c. Mitos
Kesetiakawanan sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spiritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakwanan Sosial merupakan nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi social sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial (social capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu masyarakat sejahtera.
Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi actual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita. Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan social dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudia dikenal sebagai bangsa Indonesia. Jiwa dan
(2)
commit to user
semangat kesetiakawanan social tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan.108
Salah satu faktor yang mendukung kelestarian dan tercapainya tujuan kehidupan bersama ialah sikap setia terhadap apa yang telah menjadi kesepakatan bersama. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan suatu kesetiaan terhadap bangsa dan negara untuk mempertahankan dan melestarikan kelangsungan hidup bangsa dan usaha untuk mencapai tujuan didirikannya negara. Menurut W.J.S Poerwodarminta dalam kamus Bahasa Indonesia, ‘kesetiaan’ bersala dari kata dasar ‘setia’ yang berarti “tetap dan teguh hati (dalam keluarga, persahabatan)”. Misalnya, bagaimanapun berat tugas yang harus dijalankan, ia tetap setia (patuh dan taat) melaksanakannya.
Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamannya menderita. Kalau toh menderita,
108
http://najmudincianjur.blogspot.com/2009/10/arti -dan-makna -kesetiakawanan-sosial.html,
(3)
commit to user
“harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Itulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek. Peristiwa 49 tahun ynag lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Ketika baru saja berhasil menumpas pemberontakan PKI Madiun, secara mendadak Belanda melancarkan aksi militernya yang kedua, 19 Desember 1945. Dengan taktik “perang kilat”, Belanda melancarkan serangan di semua front wilayah Republik Indonesia. Pangkalan Maguwo Yogyakarta menjdi basis serangan hingga akhirnya berhasil menduduki ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan siasat gerilya. Jendral Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya memberikan “suntikan” dan kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan prajurit RI. Dengan semangat setia kawan yang tinggi, seluruh rakyat dan prajurit kita terus berjuang, bahu-mambahu, saling rangkul dan saling berkorban dalam upaya mempertahankan kemerdekaaan.109
109
http://saawali.info/2007/07/15/kesetiakawanan -sosial-versus-masyarakat-konsumtif/, diakses
(4)
commit to user BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan
Sasaran akhir dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan penelitian dan membuktikan tujuan penelitian. Untuk itu, berdasarkan hasil interpretasi dan analisis data menggunakan semiotika model Roland Barthes maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada film Harap Tenang Ada Ujian terdapat nilai-nilai kepahlawanan. Nilai-nilai tersebut ditunjukan melalui simbol-simbol sosial yang ditampilkan melalui peran para tokoh dalam film. Nilai-nilai kepahlawanan tersebut antara lain:
a) Keberanian, ditunjukan oleh peran seorang anak kecil sebagai tokoh yang berani mengambil resiko untuk mencapai cita-cita atau tujuan yang hendak diraih.
(5)
commit to user
b) Pantang Menyerah ditunjukan oleh anak kecil sebagai seseorang yang gigih dan juga mempunyai semangat juang yang tinggi.
c) Rela Berkorban, ditunjukan relawan Jepang sebagai tokoh yang senantiasa membantu orang-orang yang disekitarnya dengan mengorbankan jiwa raganya.
d) Kesetiakawanan Sosial, ditunjukan relawan Jepang sebagai seseorang yang memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi dicerminkan dari sikap relawan Jepang yang peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga peduli untuk melakukan perbuatan bagi kepentingan lingkungan sosialnya tersebut.
2. Pesan tentang nilai kepahlawanan secara khusus berhubungan dengan elemen-elemen dasar dari karakter pahlawan yaitu, Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan Sosial banyak disampaikan melalui tanda-tanda non verbal maupun verbal. Tanda non verbal dan verbal ini disampaikan sesederhana mungkin untuk menyelami karakter tokoh, dialog, dan situasi cerita.
3. Dari ketujuh nilai kepahlawanan yang disebutkan penulis, hanya beberapa nilai saja yang terlihat menonjol yaitu keberanian, pantang menyerah, rela berkorban, serta kesetiakawanan sosial.
2. Saran
Dari hasil penelitian serta kesimpulan yang diambil, peneliti dapat menyarankan
(6)
commit to user
1. Bagi para pembuat film agar dapat menghasilkan film yang tidak hanya mengejar sisi komersil belaka. Oleh karena itu, kini sudah saatnya para sineas film untuk lebih memahami bahwa film dapat menjadi wahana bagi pembebasan dan pengaktualisasikan kondisi nyata untuk mampu menampilkan nilai-nilai ideal yang kini telah luntur atau bahkan telah hilang dari bangsa Indonesia.
2. Bagi penikmat film agar dapat menjadi penonton yang cerdas. Sikap yang mestinya dimiliki oleh penonton film adalah kritis menanggapi fenomena yang disajikan dalam film. Jika sikap kritis ini dimiliki, maka pembaca tidak akan mudah terjerumus dalam penjara simbol-simbol yang mengekang cara berpikir yang bebas, kreatif dan humanis. Hal ini terjadi karena pembaca tidak mempunyai sifat kritis dan cenderung menganggap apa yang disajikan dalam film sebagai realitas yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Selain sifat kritis, pembaca mestinya juga mengembangkan sifat pro aktif. Pembaca sebagai bagian dari masyarakat yang paling dekat dengan media massa mestinya mau dan berani untuk mengungkapkan keluhan akan ketidakbenaran yang sekiranya dirasakan akibat konstruksi makna dalam film. Dengan demikian maka penonton mampu menempatkan dirinya sebagai ”penonton yang aktif”, bukan sebagai silent majority dari sebuah film sebagai industri hiburan.
3. Film hanyalah representasi realitas, bukan cermin dari realitas itu sendiri. Dalam sebuah film, realitas yang ditampilkan sudah mengalami konstruksi makna. Oleh sebab itu, bagi peneliti lain yang ingin