BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Toilet Training

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Toilet Training

1. Pengertian

Toilet training merupakan latihan kebersihan, dimana diperlukan kemampuan fisik untuk mengontrol sfincter ani dan urethra dan tercapai kadang-kadangsetelah anak bisaberjalan (Whaley & Wong, 1999).

Menurut Supartini (2004)toilet training merupakan aspek penting dalam perkembangan anak usia toddler yang harus mendapat perhatian orang tua dalam berkemih dan defekasi.

MenururtHidayat (2005)Toilet training merupakan suatu usaha untuk malatih anak agar mampu mengontrol dan melakukan buang air kecil dan buang air besar.Toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu umur 18 bulan sampai 2 tahun dalam melakukan latihan BAB dan BAK pada anak membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis maupun secara intelektual, melalui persipapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol BAB dan atau BAK.

2. Tahap pengendalian kandung kemih (Thomson, 2003):

a. Kurun waktu anak tidak memakai popok semakin lama. Ini artinya kandung

kemihnya makin berkembang dan kapasitas menyimpan lebih besar

b. Anak sadar kalau air seninya akan keluar dan memberitahukan kita apabila celananya basah

c. Anak bisa melapor tepat pada waktunya sehingga ibu bisa mengantarkannya ke toilet d. Anak bisa pergi kekamar kecil sendiri

e. Tidak mengompol disiang hari


(2)

3. Latihan Toilet training

Menurut Thomson (2003) melatih toilet training dapat dimulai pada anak usia 18 bulan. Namun, usia yang paling tepat adalah 2 tahun. Lebih lanjut Thomson (2003) menegaskan bahwa tidak ada cara yang cepat dan tepat untuk melatih batita ke kamar kecil. Biasanya anak perempuan sudah dapat dilatih sejak usia 18 bulan, sedangkan anak laki-laki setelah hampir berusia 30 bulan. terlalu cepat jika dilatih sebelum usia 18 bulan, tapi jika ingin, anak dapat dibiasakan duduk di toilet pada usia 15 bulan. Anak mungkin akan buang air besar setelah selasai makan. Namun kemampuan untuk ‘mengenali’ tanda-tanda buang air diusia ini bukan latihan kekamar kecil, melainkan suatu reflek. Jika anak berhasil menahan buang air, pujilah, tapi jika tidak, jangan beri komentar apa-apa.Berapapun umurnya waktu mulai berlatih, pilihlah saat ibu punya waktu dan dapat menyemangatinya.

Tahapan toilet trainingmenurut (Thomson, 2003):

a. Memulai menjelaskan apa yang kita ingin anak lakukan dengan bahasa sederhana b. Mengajarkan kata-kata untuk dipakai saat buang air besar

c. Memberitahukan bahwa sangat baik untuk buang air besar atau buang air kecil di

pispot

d. Memastikan pispotnya mempunyai dasar yang kuat sehingga tidak mudah terbalik

dan tidak ada bagian yang tajam

e. Menaruh pispot ditempat yang sama

f. Memakaikan baju yang mudah dilepas dan mengajari cara memelorotkan celana

g. jika anak laki-laki jangan memaksa berdiri sewaktu buang air kecil, karena saat


(3)

4. Pedoman pelatihan toilet menurut (Choby & George, 2008):

a. Memulai ketika anak menunjukkan tanda-tanda kesiapan (umumnya setelah usia 18

bulan)

b. Memuji keberhasilan menggunakan istilah positif

c. Menghindari hukuman, mempermalukan, atau kekuatan

d. Membuat pelatihan positif, tidak mengancam, dan alami

5. Masalah yang mungkin timbul dalam pelatihan toilet training (Thomson, 2003)

a. Rasa takut akan siraman air toilet adalah biasa, namun dapat mengganggu latihan

memakai toilet

b. Bagi beberapa anak rasa takut akan toilet membuatnya menahan trauma buang air

besar

c. Anak yang sudah dilatih dapat mengalami kemunduran dan mulai buang air lagi

ditempat yang tidak seharusnya

d. Anak bisa tertarik dengan fesesnya sendiri(anak tidak rela apabila fesesnya di

siram). Baginya prestasi buang air besar adalah prestasi menakjubkan dan anaksangat bangga bisa melakukannya.

e. Ada tahap ketika anak merasa tertarik dengan bagaimana anak yang jenis

kelaminnya berbeda buang air kecil.

6. Tanda-tanda anak siap melakukan toilet training (Hidayat, 2008):

a. Tidak mengompol beberapa jam sehari atau bila anak berhasil bangun tidur tanpa

mengompol sedikitpun


(4)

c. Sudah bisa memberitahu kalau celananya basah/sudah kotor

d. Tertarik dengan kebiasaan masuk wc dalam toilet seperti kebiasaan orang-orang lain dalam rumahnya

e. Meminta diajari menggunakan toilet

f. Tahu waktu buang air besar dan buang air kecil

g. Tidak betah memakai popok yang basah dan kotor

h. Bisa memegang alat kelamin atau minta kekamar mandi jika BAB

7. Tahap toilet training (Thompson, 2003).

a. Usia 15-18 bulan : dapat memberi tahu kalau popoknya basah b. Usia 2 tahun: memberi tahu apabila ingin kekamar kecil

c. Usia 3 tahun: Tidak mengompol disiang hari dan sesekali tidak mengompol

dimalam hari

8. Cara yang dilakukan oleh orang tua untuk melatih toilet training.

Latihan buang air besar atau kecil pada anak atau dikenal dengan namatoilet training merupakan suatu hal yang harus dilakukan pada orang tua anak, mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air besar dan buang air kecil tanpa merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia tumbuh kembang anak. Banyak carayang dapat dilakukan oleh orang tua dalam melatih anak untuk buang air besar dan air kecil, diantaranya (Hidayat, 2005):

a. Teknik Lisan

Melatih anak dengan cara memberikan intruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang air besar dan buang air kecil, cara ini kadang-kadang merupakan


(5)

hal biasa yang dilakukan pada orang tua akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil dan buang air besar dimana dengan lisan ini persiapan psikologis anak akan semakin matang dan akhirnya anak akan mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air besar.

b. Teknik modeling

Melatih anak dengan cara meniru untuk buang air besar atau memberikan contoh-contoh buang air kecil dan buang air besar atau membiasakan buang air kecil dan buang air besar dengan benar. Dampak yang jelek pada cara ini adalah apabila contoh yang diberikan salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga mempunyai kebiasaan yang salah. Selain cara tersebut diatas terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi waktu pada saat anak melakukan buang air besar dan buang air kecil, tempatkan anak di atas pispot atau ajak ke kamar mandi,berikan pispot dalam posisi aman dan nyaman, ingatkan pada anak bila akan melakukan buang air besar dan buang air kecil, dudukan anak di atas pispot atau orang tua duduk atau jongkok dihadapannya sambil mengajak bicara atau bercerita, berikan pujian jika anak berhasil jangan disalahkan dan dimarahi, biasakan akan pergi ke toilet pada jam-jam tertentu dan beri anak celana yang mudah dilepas dan dikembalikan.

9. Pengkajian masalah toilet training

Pengkajian kebutuhan terhadap toilet training merupakan suatu yang harus diperhatikan sebelum anak melakukan buang air kecil dan buang air besar, mengingat anak yang melakukan buang air besar dan buang air kecil melalui proses keberhasilan dan


(6)

kegagalan, selama buang air besar dan buang air kecil. Proses tersbut akan dialami setiap anak untuk mencegah terjadinya kegagalan maka perlu dilakukan suatu pengkajian fisik, psikologis, dan pengakajian intelektual (Hidayat, 2005).

a. Pengkajian fisik

Pengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan melakukan buang air besar dan buang air kecil dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti: berjalan, duduk, meloncat, dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas celana sendiri. Kemampuan motorik halus ini harus mendapat perhatian karena kemampuan untuk buang air besar ini lancar dan tidak ditunjang dari kemampuan fisik sehingga ketika anak berkeinginan untuk buang air kecil dan besar sudah mampu dan siap untuk melaksanakannya.Selain itu yang harus dikaji adalah pola buang air besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol setelah tidur, dan lain-lain.

b. Pengkajian psikologis

Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air kecil dan besar seperti

a) Anak tidak rewel ketika buang air besar b) Anak tidak menangis ketika buang air besar

c) Ekspresi wajah menunjukan kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri

d) Anak sabar dan tetap mau tinggal di toilet selama 5-10 menit tanpa rewel atau meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet training pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada orangtuanya.


(7)

c. Pengkajian intelektual

a) Kemampuan anak untuk mengerti buang air kecil atau buang air besar

b) Kemampuan mengkomunikasaikan buang air kecil dan buang air besar

c) Anak menyadari timbulnya buang air besar dan buang air kecil

d) Mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat seperti buang

air kecil dan buang air besar pada tempatnya serta etika dalam buang air kecil dan buang air besar

10.Hal – hal yang perlu diperhatikan selama toilet training, diantaranya (Hidayat, 2005):

a. Menghindari pemakain popok sekali pakai

b. Mengajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan dengan buang

air besar

c. Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci muka saat

bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki, dan lain-lain

d. Jangan marahi anak bila gagal melakukan toilet training. 11.Dampak toilet training

Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orangtua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat relatif dimana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir.Hal ini dapat dilakukan orangtua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil, atau melaranganak saat bepergian. Bila orangtua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2005)


(8)

12.Yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan dalam latihan memakai toilet (Thompson, 2003):

a. Tidak boleh membiarkan anak memilih sendiri dudukan toiletnya karena akan

berbahaya bagi anak

b. Membiarkan anakmenyiram toilet jika anak mau

c. Memastikan anak mencuci tangan dengan baik setelah buang air

d. Memastikan anak perempuan cebok dari arah depan kebelakang

e. Membandingkan kemajuan dengan anak lain

B. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh adalah model dan cara pemberian perlakuan seseorang kepada orang lain dalam suatu lingkungan sosial, atau dengan kata lain pola asuh adalah model dan cara dari orang tua memperlakukan anak dalam suatu lingkungan keluarga sehari-hari baik perlakuan berupa fisik maupun psikis (Gunarasa, 2000)

Pola asuh merupakan konsep yang menggambarkan variasi pengasuhan anak dalam hal pendisiplinan, kehangatan, perhatian terhadap kebutuhan anak, serta sikap dan keyakinan orangtua yang secara konsisten membentuk pola dalam memperlakukan anak (Baumrind, 1991)

2. Baumrind (1967) mendefinisikan macam-macam pola asuh diantaranya yaitu:

a. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakanya pada rasio-rasio atau


(9)

pemikiran-pemikiran.Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendektan kepada anak.

b. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus di turuti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman.Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang di katakan oleh orangtua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukun anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromidan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah.Orang tua tipe ini tidak memberlikan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

c. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar.Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya.Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak tidak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

3. Jenis – jenis pola asuh orang tua menurut Hurlok (2006) & Gunarsa (2002) yaitu: a. Pola asuh Permisif

Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orangtua yang menerapkan pola asuh permisif memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orang tua cenderung memberikan


(10)

kebebasan penuh pada anak tanpa ada batasan dan aturan dari orangtua, tidak adanya hadiah ataupun pujian meski anak berperilaku sosial baik, tidak adanya hukuman meski anak melanggar peraturan.

Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa orangtua yang menerapkan pola asuh permisif memberikan kekuasaan penuh pada anak, tanpa dituntut kewajiban dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap perilaku anak dan hanya berperan sebagai pemberi fasilitas, serta kurang berkomunikasi dengan anak.Pola asuh ini, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah, dan mudah mengalami kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada di lingkungannya. b. Pola asuh Otoriter

Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orangtua yang mendidik anak dengan menggunakan pola asuh otoriter memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orangtua menerapkan peraturan yang ketat, tidak adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat, anak harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh orang tua, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal), dan orang tua jarang memberikan hadiah ataupun pujian.

Menurut Gunarsa (2000), pola asuh otoriter yaitu pola asuh dimana orangtua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya.


(11)

c. Pola asuh Demokratis

Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan ciri-ciri adanya kesempatan anak untuk berpendapat mengapa anak melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan, hukuman diberikan kepada perilaku salah, dan memberi pujian ataupun hadiah kepada perilaku yang benar.

Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa dalam menanamkan disiplin kepada anak, orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan dan menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan bimbingan yang penuh pengertian antara anak dan orangtua, memberi penjelasan secara rasional dan objektif jika keinginan dan pendapat anak tidak sesuai. Pola asuh ini, anak tumbuh rasa tanggung jawab, mampu bertindak sesuai dengan norma yang ada.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

Sikap orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pengalaman masalalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap orangtua mereka, tipe kepribadian orangtua nilai-nilai yang dianut orangtua dalam kehidupan, perkawinan orangtua dan alasan orangtua mempunyai anak (Gunarasa, 2000).Mindell (1993)menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola asuh orangtua, diantaranya:

a. Budaya

Budaya setempat lingkungan masyarakat disekitar tempat tinggal memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk pola pengasuhan orangtua terhadap anak dalam


(12)

hal ini mencangkup segala aturan norma, adat dan budaya yang berkembang didalamnya.

b. Ideologi yang berkembang dalam diri orang tua

Orangua mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu cenderung menurunkan kepada anak-anaknya dengan harapan bahwa nantinya nilai dan ideolgi tersebut dapat tertanam dan di kembangkan oleh anak dikemudian hari.

c. Letak geografis norma etis

Dalam hal ini, letak suatu dearah serta norma etis yang berkembang dalam masyarakat memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk pola asuh yang nantinya diterapkan orangtua terhaadap anak.

d. Orientasi religius

Orientsi religius dapat menjadi pemicu diterapkan pola asuh dalam keluarga.Orang tua yang menganut agama dan keyakinan religus tertentu senantiasa berusaha agar anak nantinya juga menikmati agama dan keyakinan religius tersebut.

e. Status ekonomi

Status ekonomi juga mempengaruhi pola asuh yang nantinya akan diterapkan oleh orang tua pada anaknya. Dengan perekonomian yang cukup kesempatan dan vasilitas yang diberikan serta lingkungan material yang mendukung cenderung mengarahkan pola asuh orangtua menuju perlakuan tertentu yang dianggap sesuai oleh orangtua.

f. Bakat dan kemampuan orang tua

Orangtua yang mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dengan anak dan berhubungan dengan tepat,cenderung mengembangkan pola asuh sesuai dengan diri anak tersebut.


(13)

g. Gaya Hidup

Norma yang dianut dalam kehidupan sehari-hari sangat dipengaruhi faktor lingkungan yang nantinya akan mengembangkan gaya hidup. Gaya hidup masyarakat didesa dan dikota besar memiliki berbagai macam dan cara yang berbeda pula dalam interaksi serta hubungan orangtua dan anak. Sehingga nantinya hal tersebut juga mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anak.

C. Keberhasilan Toilet Training

Keberhasilan menguasai tugas-tugas perkembangan (mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil) pada toddler memerlukan bimbingan dari orangtua. Keberhasilan toilet training dapat di capai apabila anak mampu mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil, kemampuan fisik anak untuk mengontrol spinkter anal & uretral akan di capai pada usia anak 18-24 bulan (Whaley & Wong, 1999)

1. Toilet training dikatakan berhasil apabila :

a. Anak mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar b. Anak mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar. c. Anak mampu menahan buang air kecil atau buang air besar.

d. Anak tidak pernah ngompol atau buang air besar di celana. 2. Toilet training dikatakan terlambat apabila :

a. Anak terlambat memberi tahu bila merasa membuang air kecil atau buang air besar. b. Anak terlambat mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar. c. Anak terlambat mampu menahan buang air kecil atau buang air besar.


(14)

D. Usia Toddler

1. Konsep Toddler

Dalam perkembangan psikoseksual (Freud).Selama fase kedua, fase anal (1-3 tahun) yaitu menginjak tahun pertama sampai tahun ke tiga, kehidupan anak berpusat pada kesenangan anak, yaitu selama perkembangan otot sfingter.Anak senang menahan feses, bahkan bermain-main dengan fesesnya sesuai dengan keinginannya.Dengan demikian, toilet training adalah waktu yang tepat dilakukan pada periode ini (Supartini, 2004). Perkembangan psikososial (Erikson).Otonomi versus rasa malu dan ragu berpusat pada kemampuan anak mengontrol tubuh dan lingkungannya.Anak ingin melakukan hal-hal yang ingin dilakukannya sendiri dengan menggunakan kemampuan yang sudah mereka miliki, seperti berjalan, berjinjit, memanjat, dan memilih mainan atau barang yang diinginkannya. Pada fase ini anak akan meniru perilaku oranglain disekitarnya dan hal ini merupakan proses belajar. Sebaliknaya perasaan malu dan ragu-ragu akan timbul apabila anak merasa dirinya kerdil atau saat mereka dipaksa oleh orangtuannya atau orang dewasa lainnya untuk memilih berbuat sesuatu yang dikehendaki mereka (Supartini, 2004).

2. Tugas Perkembangan Toddler

Toddler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas penting khususnya meliputi deferensiasi diri dari oranglain, terutama ibunya, toleransi terhadap perpisahan dengan orangtua, kemampuan untuk menunda pencapaian kepuasan, pengontrolan fungsi tubuh, penguasaan perilaku yang dapat diterima sacara sosial, komunikasi memiliki makna verbal, dan kemampuan berinteraksi dengan oranglain dengan cara yang tidak terlalu egosentris. Apabila kebutuhan untuk membentuk dasar kepercayaan telah terpuaskan


(15)

mereka siap meninggalkan ketergantungan menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan otonomi (Wong, 2008).

Menurut Soetjiningsih (1995) tugas perkembangan pada usia 18 sampai 24 bulan meliputi menunjuk mata dan hidungnya, mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil dan menaruh minat kepada apa yang diajarkan oleh orang-orang yang lebih besar.

E. Kerangka Teori

Para peneliti mempercayai bahwa pola asuh memiliki pengaruh pada akibat-akibat (outcome) anak seperti penyesuaian, problem perilaku, kompetensi dan internalisasi nilai.Pola asuh merupakan konsep yang menggambarkan variasi pengasuhan anak dalam hal pendisiplinan, kehangatan, perhatian terhadap kebutuhan anak, serta sikap dan keyakinan orangtua yang secara konsisten membentuk pola dalam memperlakukan anak.Pola asuh sebagai sebuah konsep atau konstruk pertama kali dikemukakan oleh Baumrind (1991), yang pada dekade 60an melakukan berbagai penelitian tentang pengasuhan anak.Pada mulanya Baumrind (1966) hanya mengemukakan tiga kategoripola asuh, yaitu permissive (permissif), authoritarian (otoriter) dan authoritative (demokratis).kemudian Baumrind (1967) mendefinisikan macam-macam pola asuh diantaranya yaitu:

1. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakanya pada rasio-rasio atau pemikiran-pemikiran.Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.Orang tua tipe ini juga


(16)

memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatan kepada anak.

2. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman.Orangtua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orangtua, maka orangtua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromidan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah.Orangtua tipe ini tidak memberlikan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

3. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar.Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya.Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak tidak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Keberhasilan toilet training dapat dilihat apabila anak sudah bisa dan atau mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar, mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar, mampu menahan buang air kecil atau buang air besar, dan tidak pernah mengompol atau buang air besar di celana (Whaley & Wong, 1999).


(17)

Gambar 1: Teori modifikasi (Baumrind’s, 1966, 1991, 1996, 1967. Theory of authoritative parenting) & (Whaley and Wong,1999)

Pola asuh 1. Budaya

2. Ideologi 3. Letak geografis

norma etis 4. Orientasi religius

5. Status ekonomi

6. Bakat dan

kemampuan orang

7. Gaya hidup

Otoriter Demokratis

Permisif

Keberhasilan penerapan toilet training

Berhasil Bila :

1. Anak mau memberi tahu bila merasa buang air

kecil atau buang air besar

2. Anak mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar.

3. Anak mampu menahan buang air kecil atau

buang air besar.

4. Anak tidak pernah ngompol atau buang air


(18)

F. Kerangka Konsep

Variabel bebas

Variabel terkait

Gambar 2: Kerangka Konsep Pola Asuh Ibu dengan Keberhasilan Penerapan Toilet Training G. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori dan kerangka konsep yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dengan keberhasilan penerapan toilet training pada anak usiatoddler(1-3 tahun).

Pola Asuh ibu

a. Demokratis

b. permisif c. otoriter

Berhasil Bila :

1. Anak mau memberi

tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar

2. Anak mengatakan pada

ibu bila buang air kecil atau buang air besar.

3. Anak mampu menahan

buang air kecil atau buang air besar.

4. Anak tidak pernah

ngompol atau buang air besar di celana.

Toilet training

Keberhasilan penerapan toilet training pada anak usia toddler


(1)

g. Gaya Hidup

Norma yang dianut dalam kehidupan sehari-hari sangat dipengaruhi faktor lingkungan yang nantinya akan mengembangkan gaya hidup. Gaya hidup masyarakat didesa dan dikota besar memiliki berbagai macam dan cara yang berbeda pula dalam interaksi serta hubungan orangtua dan anak. Sehingga nantinya hal tersebut juga mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anak.

C. Keberhasilan Toilet Training

Keberhasilan menguasai tugas-tugas perkembangan (mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil) pada toddler memerlukan bimbingan dari orangtua. Keberhasilan toilet training dapat di capai apabila anak mampu mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil, kemampuan fisik anak untuk mengontrol spinkter anal & uretral akan di capai pada usia anak 18-24 bulan (Whaley & Wong, 1999)

1. Toilet training dikatakan berhasil apabila :

a. Anak mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar b. Anak mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar. c. Anak mampu menahan buang air kecil atau buang air besar.

d. Anak tidak pernah ngompol atau buang air besar di celana. 2. Toilet training dikatakan terlambat apabila :

a. Anak terlambat memberi tahu bila merasa membuang air kecil atau buang air besar. b. Anak terlambat mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar. c. Anak terlambat mampu menahan buang air kecil atau buang air besar.


(2)

D. Usia Toddler

1. Konsep Toddler

Dalam perkembangan psikoseksual (Freud).Selama fase kedua, fase anal (1-3 tahun) yaitu menginjak tahun pertama sampai tahun ke tiga, kehidupan anak berpusat pada kesenangan anak, yaitu selama perkembangan otot sfingter.Anak senang menahan feses, bahkan bermain-main dengan fesesnya sesuai dengan keinginannya.Dengan demikian, toilet training adalah waktu yang tepat dilakukan pada periode ini (Supartini, 2004). Perkembangan psikososial (Erikson).Otonomi versus rasa malu dan ragu berpusat pada kemampuan anak mengontrol tubuh dan lingkungannya.Anak ingin melakukan hal-hal yang ingin dilakukannya sendiri dengan menggunakan kemampuan yang sudah mereka miliki, seperti berjalan, berjinjit, memanjat, dan memilih mainan atau barang yang diinginkannya. Pada fase ini anak akan meniru perilaku oranglain disekitarnya dan hal ini merupakan proses belajar. Sebaliknaya perasaan malu dan ragu-ragu akan timbul apabila anak merasa dirinya kerdil atau saat mereka dipaksa oleh orangtuannya atau orang dewasa lainnya untuk memilih berbuat sesuatu yang dikehendaki mereka (Supartini, 2004).

2. Tugas Perkembangan Toddler

Toddler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas penting khususnya meliputi deferensiasi diri dari oranglain, terutama ibunya, toleransi terhadap perpisahan dengan orangtua, kemampuan untuk menunda pencapaian kepuasan, pengontrolan fungsi tubuh, penguasaan perilaku yang dapat diterima sacara sosial, komunikasi memiliki makna verbal, dan kemampuan berinteraksi dengan oranglain dengan cara yang tidak terlalu egosentris. Apabila kebutuhan untuk membentuk dasar kepercayaan telah terpuaskan


(3)

mereka siap meninggalkan ketergantungan menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan otonomi (Wong, 2008).

Menurut Soetjiningsih (1995) tugas perkembangan pada usia 18 sampai 24 bulan meliputi menunjuk mata dan hidungnya, mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil dan menaruh minat kepada apa yang diajarkan oleh orang-orang yang lebih besar.

E. Kerangka Teori

Para peneliti mempercayai bahwa pola asuh memiliki pengaruh pada akibat-akibat (outcome) anak seperti penyesuaian, problem perilaku, kompetensi dan internalisasi nilai.Pola asuh merupakan konsep yang menggambarkan variasi pengasuhan anak dalam hal pendisiplinan, kehangatan, perhatian terhadap kebutuhan anak, serta sikap dan keyakinan orangtua yang secara konsisten membentuk pola dalam memperlakukan anak.Pola asuh sebagai sebuah konsep atau konstruk pertama kali dikemukakan oleh Baumrind (1991), yang pada dekade 60an melakukan berbagai penelitian tentang pengasuhan anak.Pada mulanya Baumrind (1966) hanya mengemukakan tiga kategoripola asuh, yaitu permissive (permissif),

authoritarian (otoriter) dan authoritative (demokratis).kemudian Baumrind (1967)

mendefinisikan macam-macam pola asuh diantaranya yaitu: 1. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakanya pada rasio-rasio atau pemikiran-pemikiran.Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.Orang tua tipe ini juga


(4)

memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatan kepada anak.

2. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman.Orangtua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orangtua, maka orangtua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromidan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah.Orangtua tipe ini tidak memberlikan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

3. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar.Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya.Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak tidak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Keberhasilan toilet training dapat dilihat apabila anak sudah bisa dan atau mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar, mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar, mampu menahan buang air kecil atau buang air besar, dan tidak pernah mengompol atau buang air besar di celana (Whaley & Wong, 1999).


(5)

Gambar 1: Teori modifikasi (Baumrind’s, 1966, 1991, 1996, 1967. Theory of authoritative parenting) & (Whaley and Wong,1999)

Pola asuh 1. Budaya

2. Ideologi 3. Letak geografis

norma etis 4. Orientasi religius 5. Status ekonomi 6. Bakat dan

kemampuan orang 7. Gaya hidup Otoriter

Demokratis Permisif

Keberhasilan penerapan toilet training

Berhasil Bila :

1. Anak mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar

2. Anak mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar.

3. Anak mampu menahan buang air kecil atau buang air besar.

4. Anak tidak pernah ngompol atau buang air besar di celana.


(6)

F. Kerangka Konsep

Variabel bebas

Variabel terkait

Gambar 2: Kerangka Konsep Pola Asuh Ibu dengan Keberhasilan Penerapan Toilet Training G. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori dan kerangka konsep yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dengan keberhasilan penerapan toilet training pada anak usiatoddler(1-3 tahun).

Pola Asuh ibu a. Demokratis b. permisif c. otoriter

Berhasil Bila :

1. Anak mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar

2. Anak mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar. 3. Anak mampu menahan

buang air kecil atau buang air besar.

4. Anak tidak pernah ngompol atau buang air besar di celana.

Toilet training

Keberhasilan penerapan toilet training pada anak usia toddler