POLISAKARIDA MENGANDUNG MANNAN DARI BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI IMMUNOSTIMULAN

5. POLISAKARIDA MENGANDUNG MANNAN DARI BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI IMMUNOSTIMULAN

PADA AYAM PENDAHULUAN Perbaikan respons kekebalan tubuh dalam peternakan unggas komersial sangat penting dilakukan dalam upaya mencegah infeksi penyakit yang merugikan produktivitas ternak. Beberapa polisakarida seperti glukan dan mannan sekarang ini banyak dikembangkan dan diisolasi baik dari fungi dan tanaman. Aktivitas biologis dari polisakarida ini menarik untuk dikaji baik dari segi biokimia dan medis karena efeknya antara lain sebagai immunostimulan. Penggunaan immunostimulan adalah salah satu cara untuk perbaikan sistem kekebalan tubuh dan mencegah infeksi oleh bakteri yang merugikan. Muir et al. 2000 menjelaskan bahwa potensi strategi baru imunisasi untuk merangsang kekebalan intestinal banyak dikembangkan diantaranya penggunaan substansi yang bersifat immunostimulan dan manipulasi mikroflora saluran pencernaan. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan ekstrak polisakarida β- glukan yang berasal dari jamur seperti lentinan Hobbs 2000; Chihara 1992 , kemudian dari tanaman seperti Astragalus membranaceaus Chen et al. 2003, selanjutnya inulin yang mengandung β2-1D-fruktosa dari Platicodon grandiflorum Han et al. 2001 sebagai immunostimulan. Bahan aktif lain yang banyak dikembangkan sekarang ini yaitu mannanoligosakarida MOS yang berasal dari Saccharomyces cerevisiae Devegowda et al. 1997; Shashidara et al. 2003. Mekanisme MOS sebagai immunostimulan belum sepenuhnya diketahui Swanson et al. 2002. Hipotesis yang muncul adalah MOS dapat merangsang sekresi protein pengikat mannosa dari hati yang mengikat kapsul bakteri yang masuk. Studi lainnya menunjukkan bahwa MOS merangsang sistem kekebalan dengan jalan meningkatkan aktivitas fagosit Lyons 1996; Power 1997. Selanjutnya Shashidara et al. 2003 menjelaskan bahwa sel pertahanan tubuh pada GALT gut associated lymphoid tissue mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP patogen-associated molecular pattern yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan seperti fagositosis dan jalur lektin. Laursen dan Nielsen 2000 menjelaskan bahwa protein pengikat mannosa tersebut dikenal dengan istilah mannan binding lektin MBL yang dapat mengaktivasi sistem komplemen yang berperan dalam pertahanan terhadap beragam mikroba patogen dan menurut Stahl dan Etzekewitz 1998 dimediasi reseptor mannosa. BIS mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber mannan. Kandungan ekstrak polisakarida yang mengandung mannan PM yang diperoleh dari BIS pada tahapan sebelumnya dari penelitian ini mencapai 74 persen. Informasi penggunaan PM dari BIS sebagai immunostimulan masih terbatas, dan melihat potensi ketersediaan BIS yang tinggi di Indonesia maka kami tertarik untuk meneliti pengaruh PM dari BIS sebagai immunostimulan pada ternak ayam. Respons immunostimulan diamati dengan cara mengukur titer ND Newcastle Disease dan IBD Infectious Bursal Disease. ND adalah salah satu penyakit yang tersebar luas di seluruh dunia dan secara ekonomis sangat merugikan Shane 2004, selanjutnya Saif 1998 menjelaskan bahwa virus IBD dapat menyebabkan efek yang bersifat immunosupresif yang mengakibatkan menurunnya ketahanan terhadap beragam penyakit yang menginfeksi ayam. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penggunaan PM dari BIS sebagai immunostimulan untuk ternak ayam dengan melihat respons terhadap titer ND and IBD. Informasi lain yang akan dikumpulkan yaitu mengetahui pengaruh galur ayam layer dan broiler dan dosis vaksin yang digunakan terhadap peubah tersebut. Selain itu, respons terhadap penampilan ternak yaitu konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum juga akan diamati. BAHAN DAN METODE Bahan Polisakarida mengandung mannan PM diperoleh dengan melakukan proses ekstraksi terhadap bungkil inti sawit seperti yang dijelaskan pada tahapan sebelumnya dari penelitian ini. Metode yang digunakan yaitu kombinasi perlakuan menggunakan pecahan kaca dengan pelarut menggunakan air. Pengujian polisakarida mengandung mannan PM menggunakan ayam sebanyak 360 ekor. Ayam yang digunakan yaitu ayam broiler Lohman dengan jenis kelamin campuran unsexed dan ayam petelur jantan Isa Brown, masing masing sebanyak 180 ekor. Rataan bobot badan awal untuk ayam broiler yaitu 41.78±3.31 gramekor, sedangkan bobot badan awal untuk ayam petelur adalah 41.70±3.38 gramekor. Susunan ransum dasar percobaan disajikan pada Tabel 14 dengan kandungan protein kasar 23 persen dan kandungan energi metabolis 3 000 kkalkg. Ransum tersebut memenuhi kebutuhan untuk ayam broiler, sedangkan untuk ayam petelur lebih tinggi dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh NRC 1994 Tabel 14 Susunan ransum percobaan Komposisi No Bahan Pakan Jumlah Kandungan Nutrisi 1 Jagung 50 Energi metabolis kkalkg 3 020 2 Dedak padi 12 Protein kasar 23.03 3 Bungkil kedelai 16.7 Lemak kasar 4.55 4 Corn gluten meal 11 Serat kasar 4.19 5 Tepung ikan 5.5 Ca 0.96 6 Minyak kelapa 2 P 0.63 7 Dikalsium fosfat 1 Na 0.15 8 CaCO 3 1 Cl 0.70 9 L-Lisina 0.3 K 0.51 10 DL-Metionina 0.2 Lisina 1.20 11 Premiks mineral 0.3 Metionina 0.67 Total 100 keterangan : berdasarkan perhitungan dari tabel komposisi zat makanan NRC, 1994. Metode Metode yang digunakan untuk mengetahui adanya aktivitas perangsangan sistem kekebalan tubuh dilakukan dengan cara vaksinasi terhadap penyakit ND pada saat umur ayam 4 hari 0.2 ml, subkutan dan vaksinasi terhadap penyakit IBD pada umur 14 hari dengan vaksin IBD air minum. Selanjutnya pada umur ayam 28 hari dilakukan vaksinasi gabungan ND dan IBD intramuskular dan jenis vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif Olvac G Killed. Dosis yang digunakan disesuaikan dengan anjuran dari produsen vaksin yaitu sebanyak 0.25 ml untuk perlakuan setengah dosis V1 dan 0.5 ml untuk perlakuan dosis penuh V2. Serum darah diambil untuk diuji titernya tiga minggu setelah pemberian vaksin kedua. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Petak Petak Terbagi RPPT. Perlakuan yang diberikan terdiri atas petak utama galur ayam; anak petak dosis vaksin; dan anak anak petak Taraf PM. Perlakuan selengkapnya sebagai berikut : Petak Utama : A = Ayam broiler B = Ayam Petelur Anak Petak : Dosis vaksin : V1 = 12 Dosis V2 = Dosis penuh Anak-anak Petak : Taraf PM dalam ransum R0 = Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM kontrol R1 = Ransum yang disuplementasi 1 000 ppm PM R2 = Ransum yang disuplementasi 2 000 ppm PM R3 = Ransum yang disuplementasi 3 000 ppm PM R4 = Ransum yang disuplementasi 4 000 ppm PM Model matematik rancangan percobaan yang digunakan yaitu : Y ijkl = + A i + Є il + B j + AB ij + δ ijl + C k + AC ik + BC jk + ABC ijk + λ ijkl Keterangan : Y ijkl = nilai pengamatan = Rataan umum A i = Pengaruh aditif galur ayam Є il = Galat petak utama B j = Pengaruh aditif dosis vaksin AB ij = Interaksi faktor A dan B δ ijl = Galat anak petak C k = Pengaruh aditif Penambahan PM AC ik = Interaksi faktor A dan C BC jk = Interaksi faktor B dan C ABC ijk = Interaksi faktor A; B dan C λ ijkl = Galat anak-anak petak Penelitian diulang sebanyak 3 kali, dan setiap petak percobaan digunakan 6 ekor ayam. Jumlah petak percobaan sebanyak 60 petak, dan jumlah ayam yang digunakan seluruhnya 360 ekor. Ukuran petak kandang yang digunakan adalah 0.75 m x 1 m panjang x lebar. Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, titer ND dengan metode Haemagglutination Inhibition Allan et al. 1978 dan titer IBD dengan metode Tissue Culture Kruse dan Patterson 1973. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Jarak berganda Duncan dengan bantuan program SAS SAS Institute 1994. HASIL Penampilan Ayam Konsumsi Ransum. Data pengamatan pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum ayam disajikan pada Tabel 15. Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan galur x dosis vaksin; galur x dosis PM; dan galur x dosis vaksin x dosis PM tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap konsumsi ransum ayam. Tabel 15 Pengaruh penggunaan polisakarida mengandung mannan PM dari bungkil inti sawit BIS pada dosis vaksin dan galur ayam berbeda terhadap konsumsi ransum selama 6 minggu gekor Galur Petelur Broiler Dosis vaksin V1 V2 Rataan V1 V2 Rataan Ransum ………………….gekor ………………. R0 1 194.5 1 218.5 1 207 2 914.1 2 779.9 2 847 R1 1 167.5 1 380.3 1 274 2 798.4 2 761.4 2 780 R2 1 254.7 1 358.9 1 307 2 938.3 2 711.5 2 825 R3 1 159.5 1 341.4 1 251 3 013.3 2 742.4 2 878 R4 1 155.4 1 290.9 1 223 2 843.9 2 821.4 2 833 Rataan konsumsi pada perlakuan V1 : 2 043.96 V2 : 2 040.66 keterangan : R0 = Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM kontrol R1 = Ransum yang disuplementasi 1 000 ppm PM R2 = Ransum yang disuplementasi 2 000 ppm PM R3 = Ransum yang disuplementasi 3 000 ppm PM R4 = Ransum yang disuplementasi 4 000 ppm PM V1= Dosis setengah V2= Dosis penuh Respons pada ayam petelur menunjukkan bahwa suplementasi PM dalam ransum tidak mempengaruhi tingkat konsumsi ransum. Selanjutnya, perlakuan dosis vaksin juga tidak mempengaruhi konsumsi ransum ayam petelur. Hasil yang sejalan terjadi juga pada ayam broiler, yaitu perlakuan tingkat PM dalam ransum dan dosis vaksin tidak mempengaruhi tingkat konsumsi ransum ayam broiler. Pertambahan Bobot Badan PBB dan Bobot Akhir Data pengamatan pengaruh perlakuan terhadap PBB ayam disajikan pada Tabel 16. Analisis terhadap interaksi setiap faktor perlakuan menunjukkan bahwa pada keseluruhan interaksi tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap PBB ayam. Tabel 16 Pengaruh penggunaan PM dari BIS pada dosis vaksin dan galur ayam berbeda terhadap PBB selama 6 minggu gekor Galur Petelur Broiler Dosis vaksin V1 V2 Rataan V1 V2 Rataan Ransum ………………….gekor ………………. R0 534.15 549.90 542.0 1 630.19 1 555.54 1 592.9 R1 549.97 499.78 524.9 1 519.46 1 521.49 1 520.5 R2 548.33 570.88 559.6 1 560.29 1 472.43 1 516.4 R3 506.16 507.31 506.7 1 602.80 1 467.78 1 535.3 R4 584.61 514.18 549.4 1 595.75 1 526.43 1 561.1 Rataan PBB pada perlakuan V1 : 1063.17 V2 : 1018.57 Hasil pengamatan pada ayam petelur menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi PM dalam ransum tidak mempengaruhi PBB ayam petelur. Hasil yang sama terjadi pada perlakuan dosis vaksin yang tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap PBB ayam petelur. Pengamatan pada ayam broiler juga menunjukkan hasil yang sejalan yaitu suplementasi PM dalam ransum maupun dosis vaksin tidak mempengaruhi PBB ayam broiler. Pengamatan pengaruh perlakuan terhadap bobot akhir ayam percobaan disajikan pada Tabel 17. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot akhir ayam percobaan. Tabel 17 Pengaruh penggunaan PM dari BIS pada dosis vaksin dan galur ayam berbeda terhadap bobot akhir selama 6 minggu gekor Galur Petelur Broiler Dosis vaksin V1 V2 Rataan V1 V2 Rataan Ransum ………………….gekor ………………. R0 574.47 591.57 583.0 1 672.40 1 596.70 1 634.6 R1 592.25 543.55 567.9 1 561.96 1 564.13 1 563.1 R2 591.34 612.34 601.8 1 602.33 1 514.50 1 558.4 R3 546.68 549.91 548.3 1 643.86 1 508.60 1 576.2 R4 625.45 554.39 589.9 1 637.23 1 568.26 1 602.8 Rataan bobot akhir pada perlakuan V1 : 1 104.80 V2 : 1 060.40 Pengaruh perlakuan pada ayam petelur menunjukkan bahwa bobot akhir ayam petelur tidak dipengaruhi oleh perlakuan dosis vaksin maupun tingkat PM dalam ransum. Selanjutnya, respons perlakuan pada ayam broiler menunjukkan bahwa supplementasi PM dalam ransum tidak mempengaruhi bobot akhir ayam broiler. Hasil yang sama terjadi pada perlakuan dosis vaksin yang tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap bobot akhir ayam broiler. Konversi Ransum Data pengamatan pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum ayam disajikan pada tabel berikut : Tabel 18 Pengaruh penggunaan PM dari BIS pada dosis vaksin dan galur ayam berbeda terhadap konversi ransum selama 6 minggu. Galur Petelur Broiler Dosis vaksin V1 V2 Rataan V1 V2 Rataan Ransum R0 2.31 2.40 2.35 1.79 1.79 1.79 R1 2.37 2.43 2.40 1.84 1.81 1.83 R2 2.35 2.23 2.29 1.89 1.84 1.87 R3 2.38 2.29 2.34 1.88 1.87 1.88 R4 2.29 2.29 2.29 1.78 1.85 1.82 Rataan konversi ransum pada perlakuan V1 : 2.09 V2 : 2.08 Pengamatan terhadap keseluruhan interaksi antar perlakuan dari analisis ragam tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap nilai konversi ransum ayam percobaan. Pengaruh perlakuan yang terjadi pada ayam petelur menunjukkan bahwa dosis vaksin maupun suplementasi PM dalam ransum tidak mempengaruhi tingkat konversi ransum ayam petelur. Pengamatan pada ayam broiler menunjukkan bahwa suplementasi PM dalam ransum tidak mempengaruhi konversi ransum ayam broiler. Selanjutnya, perlakuan dosis vaksin juga tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap konversi ransum ayam broiler. Titer ND dan IBD Pengaruh perlakuan terhadap titer ND Newcastle Disease disajikan pada tabel berikut : Tabel 19 Pengaruh penggunaan PM dari BIS pada dosis vaksin dan galur ayam berbeda terhadap titer ND 2 log Galur Petelur Broiler Dosis vaksin V1 V2 Rataan V1 V2 Rataan Rataan Ransum …………………………….. 2 log………………………………….. R0 7.00 8.00 7.50 3.00 4.00 3.50 5.50 R1 6.67 7.67 7.17 5.00 4.00 4.50 5.83 R2 5.67 7.67 6.67 4.00 4.00 4.00 5.33 R3 6.33 7.00 6.67 3.33 5.67 4.50 5.58 R4 6.67 6.67 6.67 3.33 5.33 4.33 5.50 Rataan 6.93 a 4.17 b Rataan titer ND pada perlakuan V1 : 5.10 V2 : 6.00 keterangan : superskrip dengan huruf berbeda kearah baris menunjukkan perbedaan nyata p0.05 Perlakuan galur ayam mempengaruhi p0.05 titer ND. Hasil uji lanjut dengan uji Duncan menunjukkan bahwa titer ND ayam petelur nyata lebih tinggi dibandingkan ayam petelur 6.93 vs 4.17. Pengamatan terhadap pengaruh dosis vaksin yang berbeda menunjukkan bahwa penggunaan dosis vaksin tidak mempengaruhi titer ND, tetapi dari analisis ragam menunjukkan dosis vaksin penuh V2 mempunyai nilai lebih tinggi 6.00 vs 5.10 dibandingkan dosis setengah V1 pada selang kepercayaan 90 p=0.1004. Penggunaan PM dari BIS dalam ransum ternyata tidak mempengaruhi titer ND. Pengujian terhadap interaksi antar faktor perlakuan menunjukkan bahwa untuk keseluruhan interaksi tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Data pengamatan pengaruh perlakuan terhadap titer IBD Infectious Bursal Disease disajikan pada tabel berikut : Tabel 20 Pengaruh penggunaan PM dari BIS pada dosis vaksin dan galur ayam berbeda terhadap titer IBD 2 log Galur Petelur Broiler Dosis vaksin V1 V2 Rataan V1 V2 Rataan Rataan Ransum …………………………….. 2 log………………………………….. R0 4.33 4.00 4.17 4.00 4.00 4.00 4.08 a R1 4.67 5.67 5.17 5.00 4.67 4.84 5.00 b R2 5.00 5.33 5.17 4.33 4.67 4.50 4.83 ab R3 4.67 4.67 4.67 4.67 5.67 5.17 4.92 b R4 5.33 5.00 5.17 4.67 5.33 5.00 5.08 b Rataan 4.87 4.70 Rataan titer IBD pada perlakuan V1 : 4.67 V2 : 4.90 keterangan : superskrip dengan huruf berbeda kearah kolom menunjukkan perbedaan nyata p0.05 Pengujian terhadap interaksi antar faktor perlakuan menunjukkan bahwa untuk keseluruhan interaksi yang ada tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa galur ayam yang digunakan tidak mempengaruhi titer IBD. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh perlakuan dosis vaksin yang tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap titer IBD. Penggunaan PM dari BIS dalam ransum mempengaruhi titer IBD p=0.08, analisis lanjutan dengan menggunakan uji Duncan 5 terlihat pada tabel di atas. Penggunaan PM 1 000; 3 000; 4 000 ppm nyata meningkatkan titer IBD dibandingkan kontrol, sedangkan antara perlakuan penggunaan PM 1 000-4 000 ppm tidak menunjukkan adanya perbedaan. Selanjutnya antara perlakuan kontrol dengan penggunaan PM 2 000 ppm tidak menunjukkan adanya perbedaan, walaupun nilai titernya untuk perlakuan R2 tetap lebih tinggi 4.08 vs 4.83. Analisis polinomial ortogonal Lampiran 15 menunjukkan kurva respons yang bersifat linear dan mengikuti persamaan Y=0.0002x + 4.3999 R 2 =0.57. PEMBAHASAN Penampilan Ayam Hasil penelitian pada tahap ini menunjukkan bahwa galur ayam mempengaruhi penampilan ternak. Ayam broiler mempunyai tingkat konsumsi dan PBB yang lebih tinggi, serta konversi ransum yang lebih rendah dibandingkan ayam petelur. Hasil tersebut menunjukkan perbedaan potensi genetik yang dimiliki kedua ayam itu berbeda terhadap peubah pertumbuhan. Penggunaan dosis vaksin tidak mempengaruhi konsumsi, PBB, maupun konversi ransum. Takahashi et al. 2000 menjelaskan bahwa respons cekaman akibat perangsangan sistem kekebalan akan menimbulkan efek tambahan terhadap penampilan ternak karena lebih banyak nutrien yang terbagi untuk pembentukan antibodi dan perkembangan organ kekebalan sehingga menurunkan ketersediaan nutrien untuk pertumbuhan. Sebaliknya, Klasing 1998b menjelaskan bahwa efek perangsangan sistem kekebalan tidak mempengaruhi pertumbuhan karena kebutuhan jumlah nutrien untuk sistem kekebalan relatif lebih kecil dibandingkan untuk pertumbuhan. Stress kekebalan yang diakibatkan efek immunostimulan berbeda dengan stress yang diakibatkan infeksi yang dapat menyebabkan reaksi keseluruhan dari tubuh yang meliputi perubahan fisiologis dan metabolis seperti demam, menurunnya konsumsi dan meningkatnya katabolisme nutrien. Penggunaan PM dari BIS juga tidak mempengaruhi konsumsi, PBB, maupun konversi ransum dari ayam percobaan. Banyak laporan penggunaan bahan sejenis MOS disebutkan tidak mempengaruhi parameter pertumbuhan. Hasil penelitian tersebut ditunjukkan beberapa peneliti yang menggunakan ayam broiler dengan penggunaan 0.05 MOS Ma et al. 2006; Flemming et al. 2004, dan 0.3 MOS Shafey et al. 2001 yang menunjukkan tidak adanya pengaruh MOS terhadap PBB. Sebaliknya, laporan yang menyebutkan adanya peningkatan PBB pada kalkun dilaporkan Zdunczyk et al. 2005 dan pada ayam broiler dilaporkan Waldroup et al. 2003. Titer ND dan IBD Respons terhadap titer ND ternyata dipengaruhi p0.05 galur ayam yang digunakan. Titer log2 terhadap ND untuk ayam petelur lebih tinggi dibandingkan pada ayam broiler 6.93 vs 4.17. Perlakuan dosis vaksin juga berpengaruh p=0.10 terhadap titer ND, dan pada vaksin V2 menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan pada V1 6.00 vs 5.10. Selanjutnya penggunaan PM ternyata tidak berpengaruh terhadap titer ND ayam percobaan. Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan efek genetik dari ayam yang digunakan. Juul-Madseen et al. 2002 meneliti efek perbedaan genetik ayam pada respons immun terhadap infeksi virus IBD. Ayam yang digunakan pada penelitian ini yaitu tipe petelur Galur 1: 6.25 Red Jungle Fowl+93.75 Scandinavian White leghorn, tipe pedaging Galur 131 :50 white Cornish+50 Scandinavian White leghorn, dan Galur 21 100 International White Leghorn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Galur 1 yang mengandung darah Red Jungle Fowl mempunyai titer antibodi lebih baik dibandingkan ayam lainnya. Analisis terhadap kemampuan recovery bursa terhadap infeksi, bobot relatif bursa, dan jumlah CD4 limfosit menunjukkan bahwa galur 1 berbeda dibanding dua jenis ayam lainnya. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan tipe MHC Major Histocompatability Complex yang dimilikinya. Pengamatan terhadap titer IBD ternyata menunjukkan respons yang berbeda dibandingkan terhadap titer ND. Nilai rataan titer IBD ayam petelur lebih besar dibandingkan ayam broiler 4.87 vs 4.70, dan dosis vaksin V2 lebih tinggi dibandingkan V1 4.90 vs 4.67, tetapi analisis ragam menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Sebaliknya, penggunaan PM dalam ransum nyata p=0.08 meningkatkan titer IBD. Analisis lanjutan digunakan dengan menggunakan uji DMRT dan menunjukkan penggunaan PM dari BIS sebanyak 1 000; 3 000; 4 000 ppm mempunyai titer IBD lebih tinggi p0.05 dibandingkan kontrol dengan nilai titer log2 berturut-turut 5.00; 4.92; dan 5.08. Secara statistik, penggunaan 2 000 ppm tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap titer IBD dibandingkan kontrol, tetapi nilai titer penggunaan 2 000 ppm tetap lebih tinggi 4.83 vs 4.08. Hasil tersebut menunjukkan adanya efek immunostimulan penggunaan PM dari BIS pada ternak ayam. Tampaknya komponen mannan dari BIS mampu memainkan peran untuk merangsang sistem kekebalan lebih aktif untuk pembentukan antibodi. Efek tersebut sejalan dengan penggunaan MOS seperti yang dilaporkan Shashidara et al. 2003 yang menjelaskan bahwa pengggunaan MOS meningkatkan titer antibodi terhadap IBD pada ayam pembibit broiler. Dugaan yang muncul yang menjelaskan fenomena ini yaitu sel pertahanan tubuh mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP patogen-associated molecular pattern yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan seperti fagositosis dan jalur lektin. Klasing 1998a menjelaskan bahwa makrofage merupakan kunci pengaturan sel dari sistem kekebalan yang meliputi inisiasi dan mengatur respon immun yang bersifat alami maupun spesifik. Aktivasi yang ditimbulkannya yaitu dapat mensintesa dan mensekresikan beragam molekul seperti cytokine, cytokine inhibitor, hormon endokrin, neurotransmitter dan reactive oxygen intermediates. Aktivasi lain yang mungkin ditimbulkan akibat adanya komponen mannan terhadap sistem kekebalan tubuh adalah jalur lektin. Istilah Mannan Binding Lectin MBL digunakan terhadap protein pengikat mannosa tersebut, yang dapat mengaktivasi sistem komplemen yang berperan dalam pertahanan terhadap beragam mikroba patogen Laursen dan Nielsen 2000. Sistem komplemen juga berperan dalam imunitas humoral dan dapat merangsang inflamasi, dan secara langsung dapat melisiskan sel Decker 2000 dan meningkatkan aktivitas fagositosis dan sekresi imunoglobulin Arora et al. 2001; Epstein et al. 1996 dan efek yang ditimbulkan dari aktivasi MBL sama dengan jalur aktivasi komplemen klasik Kaiser 2002. Selanjutnya Juul-Madsen et al. 2003 yang meneliti kandungan MBL yang diinfeksi virus Infectious Bronchitis IB pada ayam menyebutkan bahwa MBL memainkan peran utama pada kekebalan alami garis pertama terhadap patogen yang mengindikasikan netralisasi virus sebelum respons antibodi humoral mengambil alih Kemampuan bioaktif polisakarida dan kompleks polisakarida–protein untuk merangsang beragam sel sistem kekebalan diakibatkan variabilitas dan beragamnya struktur dari makromolekul ini. Berbeda dengan protein atau asam nukleat, polisakarida mengandung struktur yang berulang yang merupakan polimer dari monosakarida dan mempunyai kapasitas yang tinggi untuk membawa informasi biologis karena mempunyai variasi struktur yang lebih besar Ooi dan Liu 2000. Informasi penggunaan mannan PM sebagai immunostimulan masih sedikit dibandingkan bahan lain seperti glukan. Xia et al. 1999 menunjukkan kemampuan β-glukan untuk memediasi aktivasi sitotoksik pada mencit. Beberapa laporan sumber glukan yang telah dilaporkan antara lain penggunaan lentinan Lentinus edodes yang mengandung rantai utama berupa β1-3glc dan rantai sisi β1-6glc dilaporkan sebagai immunostimulan dan anti kanker Chihara 1992; Hobbs 2000 dan glukan dari jamur G. lucidum Wang et al. 1997. Penggunaan bahan sejenis dengan PM yaitu MOS sebagai immunostimulan hasilnya bervariasi. Sauerwein et al. 2007 meneliti penggunaan ekstrak dinding sel ragi S cerevisiae sebagai immunomodulator pada babi menunjukkan bahwa efeknya terhadap status kekebalan aktivitas fagosit, konsentrasi Ig G dan A, dan immunohistokimia hasilnya tidak konsisten, dan efeknya terhadap peubah usus dan penampilan ternak tidak berbeda nyata. Ma et al. 2006 meneliti pengaruh beragam suplemen pakan terhadap kekebalan ayam menunjukkan bahwa pemberian MOS tidak meningkatkan titer antibodi terhadap ND. Sebaliknya, laporan Shashidara et al. 2003 menjelaskan bahwa pengggunaan MOS meningkatkan titer antibodi terhadap IBD. Penggunaan PM dari BIS menunjukkan efektivitasnya sebagai immunostimulan yang ditunjukkan dengan semakin baiknya titer terhadap IBD, tetapi belum menunjukkan adanya respons terhadap titer ND. Penggunaan mannan sebagai immunostimulan cukup konsisten responsnya terhadap titer IBD, dan diduga aktivitas yang ditimbulkannya adalah terhadap immunitas yang bersifat seluler cellular immunity atau terkait dengan kuat tidaknya respons dari jenis vaksin yang digunakan. Hasil diatas menunjukkan bahwa penggunaan PM menunjukkan hasil yang baik pada jenis vaksin yang mempunyai respons yang lebih rendah IBD dibandingkan dengan vaksin ND yang mempunyai respons yang kuat. Laporan Chen et al. 2003 yang meneliti efek herbal polisakarida terhadap kekebalan dan pertumbuhan ayam broiler menunjukkan bahwa adanya efek perbedaan bobot molekul ekstrak Achirantan APS,BM 1400 vs Astragalan ACH, BM 67.600 terhadap titer ND. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua polisakarida tersebut menunjukkan adanya efek immunostimulan meningkatnya konsentrasi Nitric Oxide, interleukin-2, tetapi perlakuan Astragalan tidak meningkatkan titer ND. Hasil tersebut menunjukkan lebih efektifnya penggunaan oligosakarida dibandingkan polisakarida sebagai immunostimulan. Penelitian lanjutan masih diperlukan untuk menggunakan PM dengan panjang rantai lebih pendek yaitu dalam bentuk oligosakarida sebagai immunostimulan untuk ternak ayam. KESIMPULAN 1. Penggunaan polisakarida mengandung mannan PM dari BIS tidak mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan PBB maupun konversi ransum ayam. Perlakuan dosis vaksin juga tidak mempengaruhi penampilan ternak. Penampilan umum ternak ayam broiler menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan ayam petelur. 2. Titer ND tidak dipengaruhi perlakuan penggunaan PM, sedangkan perlakuan galur ayam menunjukkan titer lebih tinggi pada ayam petelur dibandingkan ayam broiler. Selanjutnya, penggunaan vaksin pada dosis penuh juga menunjukkan titer lebih tinggi dibandingkan dosis setengah. 3. Pengamatan terhadap peubah titer IBD menunjukkan hasil yang berbeda. Galur ayam dan dosis vaksin tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap titer IBD, sebaliknya penggunaan PM menunjukkan pengaruh. Penggunaan PM pada tingkat 1 000;3 000;dan 4 000 ppm menunjukkan titer IBD lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan diantara penggunaan 1 000-4 000 ppm tidak menunjukkan perbedaan nyata. Hasil tersebut menunjukkan adanya aktivitas immunostimulan dari PM pada ternak ayam.

6. PEMBAHASAN UMUM