Penggunaan Mannanoligosakarida Dari Bungkil Inti Sawit Sebagai Pengendali Salmonella Sp Pada Ternak Unggas

Karya Ilmiah
PENGGUNAAN MANNANOLIGOSAKARIDA DARI BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI PENGENDALI Salmonella sp PADA TERNAK UNGGAS
Di susun oleh Dr. Nevy Diana Hanafi, SPt, MSi.
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, MSi
DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

PENDAHULUAN

Mikroba seperti virus atau bakteri berpotensi membahayakan ternak

yang dapat ditemukan di udara, makanan atau air. Bakteri yang sering

mengkontaminasi ternak ayam, baik pada saat penetasan, pembesaran dan

pascapanen diantaranya kelompok Salmonella sp. Bakteri tersebut selain

akan berpengaruh terhadap kesehatan ternak juga akan berpengaruh terhadap

aspek keamanan pangan ditinjau dari segi mikrobiologis. Potensi yang


ditimbulkannnya yaitu dapat mengkontaminasi produk daging atau telur yang

akan dikonsumsi manusia.

Beberapa upaya telah ditempuh untuk mengatasi hal tersebut seperti

melakukan vaksinasi, sanitasi ataupun penggunaan antibiotik. Upaya tersebut

disamping mempunyai banyak manfaat juga mempunyai keterbatasan, sebagai

contoh untuk antibiotik sekarang ini ditemukan beberapa strain bakteri yang

resisten terhadap antibiotik. Selain itu penggunaannya terutama pada negara

maju pengaturannya sangat ketat karena akan berpengaruh pada aspek

keamanan pangan untuk manusia. Upaya alternatif dicoba untuk mengatasi

keterbatasan tersebut, diantaranya dengan menggunakan karbohidrat.


Devegowda et al. (1997) melaporkan bahwa tiga oligosakarida utama yang

dapat memperbaiki produksi ternak, yaitu mannanoligosakarida (MOS),

fruktooligosakarida, dan galaktooligosakarida, dan

MOS dilaporkan

memberikan hasil yang paling baik.

Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan

diketahuinya pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan.

Diketahui bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan

dalam menempelnya mikroba patogen. Bakteri seperti Salmonella, E. coli, dan

Vibrio cholera mempunyai lektin pada permukaan selnya yang penempelannya


spesifik terhadap mannosa, dengan demikian mannosa dapat menghambat

proses penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan (Center for

Food and Nutrition Policy (CFNP) Technical Advisory Panel (TAP) Review 2002).

Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil ikutan dari industri pengolahan

kelapa sawit dan di Indonesia ketersediaannya sangat tinggi. Luas lahan

kelapa sawit pada tahun 2004 di proyeksikan sekitar 4.4 juta ha (Jakarta

Future Exchange 2001) dan pada tahun 2006 mencapai luas 5.2 juta ha

1

(Kompas 2006). Produksi tandan buah segar kelapa sawit sekitar 12.5 – 27.5 ton/ha, dan sekitar 2 persennya berupa bungkil inti sawit (Sinurat 2001). Penggunaan BIS sebagai salah satu pakan potensial telah banyak dilaporkan baik pada ternak ruminansia ( Elisabeth dan Ginting 2003; Mathius et al. 2003), ayam (Sundu dan Dingle 2005), bahkan ikan (Keong dan Chong 2005).
Makalah ini mencoba menjelaskan mengenai potensi bungkil inti sawit serta bahan sejenis yang dapat menghasilkan mannanoligosakarida yang dapat dimanfaatkan sebagai pengendali bakteri Salmonella sp.
MIKROFLORA PADA SALURAN PENCERNAAN UNGGAS
Saluran pencernaan pada unggas yang baru ditetaskan umumnya steril. Sesaat setelah menetas unggas yang masih muda secara alami mikroflora saluran pencernaannya berkembang melalui kontaminasi dari material feses yang berasal dari ayam dewasa. Faktor lain yang berpengaruh yaitu transfer mikroba dari induk pada anak, dan kontak dengan bakteri dari lingkungan. Saluran pencernaan unggas apabila dilihat dari aspek mikrobiologis dapat dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu : tembolok (crop); rempela; usus halus; sekum; kolon dan kloaka (Gambar 1).

Gambar 1 menunjukkan bahwa faktor utama yang menentukan populasi mikroba adalah pH. Escherichia coli dan Enterococci merupakan organisme yang dominan yang ditemukan pada unggas yang baru menetas. Pada bagian tembolok, Lactobacillus menjadi dominan pada lima hari pertama, sedangkan pada usus halus memerlukan waktu dua minggu. Kolonisasi bakteri pada usus halus lebih lambat dibandingkan pada bagian lain dari saluran pencernaan dan pada hari pertama konsentrasinya dibawah 105 CFU/g (Coloni Forming Unit). Pada bagian sekum, pada umur unggas sekitar dua sampai empat minggu bakteri obligat aerob meningkat. Pada saat ini bakteri Bifidobacteria, Bacteroides, Eubacteria, Peptostreptococci, dan Clostridia menjadi predominan. Selain itu pada sekum ditemukan juga kelompok bakteri selulolitik pada tingkat diatas 103 CFU/g (Spring 1997).
2

Gambar 1. Mikroflora pada saluran pencernaan unggas (Spring 1997).
Sekarang ini telah diketahui bahwa mikroflora yang secara alami sudah ada dalam saluran pencernaan (indegenous) pada hewan dan manusia dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi mikroorganisme yang bersifat patogen. Istilah yang menjelaskan perlindungan tersebut dikenal dengan nama ‘colonization resistance’. Penelitian yang menunjukkan hal tersebut diantaranya dilakukan pada mencit dan diamati pada tiga fase yaitu sebelum, selama, dan sesudah pemberian antibiotik (streptomycin dan neomycin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pemberian antibiotik ‘colonization resistance’ tinggi terhadap tiga mikroba (E coli; Klebsiela pneumoniae; Pseudomonas aeroginosa). Selama pemberian antibiotik akan menurunkan resistensi dan mencit lebih mudah terinfeksi tiga mikroba patogen tersebut karena hilangnya flora pada usus. Selanjutnya pada fase setelah pemberian
3

antibiotik resistensi ini kembali menuju normal karena terjadinya repopulasi flora saluran pencernaan yang tahan terhadap antibiotik (Hentges 1992).
Hentges (1992) menjelaskan beberapa hipotesis muncul untuk menjelaskan mekanisme yang dapat menekan bakteri patogen. Beberapa faktor tersebut diantaranya muncul teori kompetisi terhadap nutrien; merubah kondisi lingkungan yang tidak ideal bagi patogen seperti dihasilkannya asam lemak terbang oleh flora usus ; dan kompetisi untuk menempati ruang yang ada pada saluran pencernaan. Selanjutnya Mulder et al. (1997) menjelaskan teori “competitive exclusion (CE)” yaitu perlakuan terhadap anak ayam (DOC) yang diberi mikroflora yang menghasilkan resistensi terhadap mikroorganisme yang berpotensi patogen. Beberapa percobaan telah dilakukan menggunakan kultur mikroba murni maupun kultur campuran (undefined microflora). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kultur murni ternyata pemberian dengan “undefined microflora” yang berasal dari sekum ayam memberikan hasil yang lebih baik. Kultur tersebut mengandung sejumlah besar mikroba aerobik yang telah diketahui dan banyak bakteri anaerobik yang belum diketahui.
Teori “competitive exclusion (CE)” pertama kali dikemukakan oleh Rantala dan Nurmi (1973) dan banyak mengilhami peneliti selanjutnya untuk mengamati pencegahan bakteri merugikan seperti Salmonella pada ternak unggas. Beberapa hasil positif ditemukan yaitu dengan menurunnya kolonisasi bakteri Salmonella pada ayam broiler dengan digunakannya kultur yang mengandung 29 strain bakteri dari sekum (Corrier et al. 1995). Selanjutnya Ziprin dan Deloach (1993) meneliti pada ayam broiler dan petelur dengan menggunakan bakteri normal dari sekum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri Salmonella menurun meskipun kultur mikroba dari sekum tersebut diberikan tiga hari setelah dilakukan uji tantang terhadap Salmonella typhimurium.
Selanjutnya Spring (1997) merangkum beberapa mekanisme pengaturan bakteri yang mempengaruhi mikroflora pada saluran pencernaan. Tabel 1 menjelaskan bahwa mekanisme yang tercakup dalam CE sangat kompleks dan dapat dilihat bahwa populasi bakteri mempunyai pendekatan berbeda dalam melakukan kompetisi terhadap bakteri pendatang. Secara garis besar
4

mekanisme yang terjadi dapat dibedakan secara tidak langsung dan secara langsung. Secara tidak langsung merupakan akibat dari mikroflora normal meningkatkan respon fisiologis inang dan akan mempengaruhi interaksi antara inang dengan mikroba. Mekanisme secara langsung adalah terjadinya saling penekanan antara suatu populasi bakteri terhadap populasi bakteri lainnya.

Tabel 1. Mekanisme pengaturan bakteri terhadap mikroflora saluran pencernaan pada unggas

Mekanisme Pengaturan

Faktor Pengontrol


Perangsangan proses kekebalan Modifikasi garam empedu Stimulasi peristalsis

Ig pada usus halus Asam empedu tak berkonjugasi Laju lintas

Penggunaan nutrient Penempelan

Kompetisi nutrien atau faktor pertumbuhan Pemanfaatan nutrient sinergis
Kompetisi tempat reseptor
Stimulasi pergantian epitel sel

Pembentukan lingkungan terbatas

pH Asam laktat VFA Hidrogen sulfida Modifikasi garam empedu Perangsangan proses kekebalan

Produksi substansi antimikroba Sumber : Spring (1997).

Ammonia Hidrogen peroksida hemolisin Enzim bakteri Bakteriofage Bakteriosin Antibiotik

5


PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA TERNAK
Kemajuan peternakan ayam broiler sekarang ini menuntut optimalisasi baik dari segi pertumbuhan, perbaikan konversi ransum, dan kepadatan ternak per satuan luas. Meningkatnya kepadatan akan membawa akibat semakin mudahnya ayam akan terkena serangan penyakit. Upaya pencegahan dan pengobatan yang dilakukan sekarang ini masih bergantung pada penggunaan antimikroba, bahkan dapat dikatakan secara ekonomis tidak mungkin mengembangkan ternak ayam broiler komersial tanpa antimikroba. Pada negara-negara maju seperti Masyarakat Uni Eropa penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan pengaturannya sangat ketat, dan sampai sekarang penggunaan beberapa antibiotik seperti virginiamycin, tylosin, spiramycin, dan zinc bacitracyn telah dilarang. Pelarangan penggunaan antibiotik yang bersifat pencegahan ini akan membawa akibat meningkatnya penggunaan antibiotik yang bersifat terapetik (menggunakan dosis tinggi), lebih banyak ayam yang akan terkena bakteri patogen dan pada akhirnya kerugian ekonomis akan lebih besar (Bouliane 2003).
Penggunaan antibiotik secara tidak terkontrol akan membawa dampak negatif diantaranya terjadinya resistensi dan ternak yang mengkonsumsi pakan yang mengandung antibiotik, juga akan mengekskresikannya. Levy (2000a). mengemukakan bahwa pada beberapa kasus ditemukan bahwa 80 persen antibiotik yang diberikan secara oral akan lewat dan tidak mengalami perubahan oleh hewan dan masuk ke kolam limbah yang kaya akan bakteri. Selanjutnya akan menyebar ke lahan pertanian karena digunakan sebagai pupuk, dan mengakibatkan pencemaran air permukaan dengan membawa baik obat tersebut maupun bakteri yang resisten ke dalam tanah dan air. Todar (2000) menjelaskan bahwa resistensi mikroba dapat diakibatkan beberapa hal. Pertama, resistensi alamiah, sebagai contoh streptomycete mempunyai gen yang bertanggung jawab untuk resistensi terhadap antibiotiknya sendiri; atau bakteri gram negatif mempunyai membran luar yang menghambat permeabilitas terhadap antibiotik; atau organisme tersebut mempunyai keterbatasan dalam sistem transport terhadap antibiotik; atau terbatasnya target atau reaksi yang akan dicapai oleh antibiotik. Kedua, resistensi buatan, bakteri akan mengembangkan resistensi terhadap antibiotik, yaitu bakteri yang
6

dahulunya sensitif menjadi resisten. Resistensi seperti ini dihasilkan dari perubahan gen dan dicapai dengan dua cara yaitu ; (1)mutasi dan seleksi; dan (2) pertukaran gen antara strain dan spesies.
Selanjutnya Levy (2000b) menjelaskan bahwa di Amerika Serikat (AS) lebih dari 40 persen antibiotik yang diproduksi diberikan pada hewan baik untuk pencegahan dan pengobatan infeksi, dan pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan kadarnya sangat kecil untuk melawan infeksi dan diberikan dalam jangka waktu yang lama (beberapa minggu sampai bulan). Pemberian dalam jangka waktu yang lama dan dosis rendah ini menjadikan bakteri terseleksi dan menjadi resisten. Environmental Media services (EMS) (2000) menjelaskan bahwa bakteri Salmonella umum ditemukan pada produk ternak (daging dan telur) dan di AS dilaporkan infeksi Salmonella pada manusia lebih dari 40.000 kasus setiap tahun. Selain itu ditemukan pula strain Salmonella DT-104 yang resisten terhadap lima antimikroba: ampicillin, chloramphenic, streptomycin, sulfonamide, dan tetrasiklin.
MANNANOLIGOSAKARIDA (MOS)
Sumber Mannanoligosakarida (MOS)
MOS dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu dari fungi (dinding sel fungi) dan dari sumber lain seperti dinding sel tanaman atau berupa limbah pertanian. Uraian berikut ini menjelaskan mengenai beberapa sumber yang dapat digunakan untuk memproduksi MOS. Faktor yang perlu diperhatikan dalam memproduksi MOS yaitu kandungan komponen gula mannosa yang dikandung sumber bahan yang akan diekstraksi.
Hasil penelitian Tafsin (2000) menunjukkan bahwa Dinding sel fungi Penicillium sp didominasi oleh mannosa. Urutan selengkapnya komponen gula dari dinding sel Penicillium sp adalah tersusun atas glukosa; mannosa; galaktosa; asam glukoronat; arabinosa : dan glukosamin dengan perbandingan konsentrasi berturut-turut 119 ; 169; 11; 15; 1; 1 . Penelitian lanjutan mengenai derajat antigenisitas dengan mengukur produksi antibodi poliklonal dengan menggunakan metode ELISA (Enzymes Link Immunosorbant Assay) menunjukkan bahwa baik glikoprotein maupun polisakarida yang diekstraksi
7

dari miselium fungi tersebut bersifat imunogenik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai absorbansi yang lebih tinggi (300-400 persen) dibandingkan dengan hewan kontrol. Percobaan tersebut menggunakan hewan kelinci sebagai model percobaannya.
Bungkil inti sawit tinggi akan serat kasar yakni berkisar antara 13.0– 15.7% dan ADF (Acid Detergent Fiber) 31.7% (Daud et al. 1993). Total dinding sel terbanyak adalah mannosa sebesar 56.4%. Formasi linier mannan berbentuk kristal yang cukup tinggi dan ikatan β-(1-4) sulit untuk dipecah. Adapun secara lengkap komponen dinding sel dari bungkil inti sawit tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS)

Komponen gula netral


Persentase dari dinding sel (%)

Mannosa

56.4 ± 7.0

Selulosa

11.6 ± 0.7

Xylosa

3.7 ± 0.1

Galaktosa

1.4 ± 0.2

Total


73.1 ± 7.2

Sumber : Daud et al. (1993).

Turner et al. (2000) menyebutkan bahwa sumber yang paling umum

yang dapat digunakan untuk menghasilkan MOS adalah dari Saccharomyces

cerevisae. Hal tersebut dipakai karena kandungan gula mannosanya yang

tinggi yang mencapai 45% dari keseluruhan dinding selnya. Sumber lain yaitu

CFNP TAP Review (2002) menyebutkan kandungannnya dapat mencapai 50

persen.

Ishihara et al. (2000) menjelaskan sumber MOS dari tumbuhan yaitu

dari guar gum (Cyamoposis tetragonolobus). Guar gum diperoleh dari biji guar


yang selanjutnya diproses dengan menggunakan enzim -D-mannanase untuk

memecah ikatan tulang punggung (backbone) , dan mengandung

galaktomannan dengan bobot molekul 20.000 Da.

8

Peranan MOS sebagai Pengendali Salmonella.
Polisakarida dari nilai nutrisinya secara umum dikenal sebagai penyumbang sumber energi untuk ternak disamping sebagai bagian integral struktur seperti asam nukleat, glikolipid dan glikoprotein. Devegowda et al. (1997) melaporkan bahwa ada tiga oligosakarida utama yang dapat memperbaiki produksi ternak, yaitu Mannanoligosakarida, fruktooligosakarida, dan galaktooligosakarida. Mannanoligosakarida (MOS) dilaporkan memberikan hasil yang paling baik. Selanjutnya pada ayam broiler yang dilakukan uji tantang menggunakan strain liar Salmonella menunjukkan hasil yang lebih baik pada ayam yang diberi MOS. Selain itu MOS juga mempunyai fungsi untuk mengikat mikotoksin seperti zearalenone dan aflatoksin (Lyons 1997; Power 1997).
Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan diketahuinya pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam menempelnya patogen, dengan demikian mannosa dapat menghambat proses penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan. Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan dan efek ini juga berperan dalam melawan bakteri Salmonella (Spring 1997).
Mekanisme kerja yang terjadi dari pencegahan kolonisasi bakteri merugikan oleh MOS dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Bakteri

Lektin
Permukaan Karbohidrat

Karbohidrat


ab
Gambar 2. Mekanisme kerja MOS mencegah kolonisasi bakteri merugikan (CFNP Technical Advisory Panel (TAP) Review 2002).

9

Gambar 2a menjelaskan mekanisme terjadinya kolonisasi bakteri pada saluran pencernaan, sedangkan Gambar 2b menunjukkan efek penggunaan karbohidrat seperti MOS dalam mencegah kolonisasi bakteri yang merugikan. Karbohidrat pada permukaan sel merupakan faktor utama yang bertanggung jawab dalam pengenalan oleh sel. Bakteri mempunyai lektin pada permukaan selnya yang dapat mengenal gula spesifik dan membiarkan sel untuk menempel pada gula tersebut. Gula tersebut dapat ditemukan pada permukaaan sel epitel. Pengikatan Salmonella, E. coli, dan Vibrio cholera dimediasi oleh substansi seperti lektin yang spesifik terhadap mannosa dari permukaan sel bakteri. MOS akhirnya dapat mencegah penempelan bakteri patogen pada usus halus sehingga tidak terjadi kolonisasi yang dapat menimbulkan penyakit, dan dapat menjadi sumber makanan terhadap bakteri lain yang menguntungkan (CFNP TAP review 2002).
Turner et al. (2000) menunjukkan adanya efek yang menguntungkan dari MOS terhadap kesehatan pada saluran pencernaan dan sistem kekebalan. Sebagai contoh terhadap Salmonella thypimurium invitro akan dihambat dengan adanya mannosa, dan selanjutnya setelah dilakukan pemberian melalui air minum pada ayam ternyata menurunkan kolonisasi S. thypimurium pada sekumnya. Selanjutnya pada ternak kalkun, ternyata penggunaan MOS akan meningkatkan level plasma IgG dan konsentrasi IgA pada cairan empedu.
Ishihara et al. (2000) melakukan penelitian MOS yang diperoleh dari Guar gum dan mengamati efeknya terhadap Salmonella enteridis (SE) pada ayam broiler dan ayam petelur. Hasil penelitian menunjukkan penambahan MOS secara oral menurunkan adanya SE pada organ, Peningkatan ekskresi SE pada feses, menurunkan titer antibodi terhadap SE pada serum. Efek lain yang ditimbulkan yaitu meningkatkan jumlah bakteri Bifidobacterium spp dan Lactobacillus spp. Keadaan yang sama ditemui pada ayam petelur dengan menurunnya SE baik pada permukaan kerabang, putih dan kuning telur. Kadar optimum MOS pada penelitian ini yaitu 0.025% dari ransum.
Spring et al. (2000) meneliti efek MOS pada ayam broiler menemukan bahwa MOS dapat mengaglutinasikan lima dari tujuh strain E.coli dan 7 dari 10 strain Salmonella thypimurium dan Salmonella enteridis. Sedangkan terhadap strain Salmonella pullorum, Salmonella choleraesuis, dan
10

Campylobacter tidak terjadi agglutinasi. Selanjutnya dilakukan uji tantang terhadap bakteri Salmonella thypimurium 29E sebanyak 104 cfu pada umur anak ayam tiga hari. Kadar MOS yang diberikan sebanyak 4000 ppm, dan hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi Salmonella thypimurium dari 5.40 menjadi 4.01 log cfu pada hari ke sepuluh. Hasil penelitian lainnya yang diperoleh menunjukkan bahwa MOS tidak menurunkan konsentrasi coliform pada sekum, dan tidak mempunyai efek terhadap konsentrasi laktobacillus, enterococcus, bakteri anaerob, laktat, VFA, dan pH sekum.
Secara umum, Ferket et al. (2002) membandingkan antara penggunaan antibiotik dengan MOS dan terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 menjelaskan bahwa penggunaan antibiotik jelas akan memperbaiki efisiensi pertumbuhan dan kesehatan ternak, tetapi potensi bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan yang tidak tepat sangat besar, diantaranya semakin meningkatnya ancaman dari bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotik. Alasan tersebut mendorong industri peternakan untuk menggunakan bahan alternatif yang lebih aman. MOS dapat dikatakan menjadi alternatif terbaik terhadap antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan, dan MOS dapat lebih menguntungkan daripada antibiotik jika digunakan secara strategis bersamasama dengan bahan non obat-obatan seperti probiotik, fruktoosoligosakarida, bio-aktif peptide, dan daun-daunan (‘herb’).
11

Tabel 3 Perbandingan penggunaan antibiotik dengan MOS

Antibiotik


• Menghambat

viabilitas

dan

proliferasi beberapa mikroflora

patogen dan mikroba pencernaan

yang menguntungkan

• Mempunyai aktivitas spektrum luas

terhadap bakteri gram positif

• Menurunkan efek merugikan dari

metabolit mikroba dengan menekan

mikrofloranya

• Menurunkan stress imunologis

dengan

cara

menurunkan

masuknya mikroba pada saluran

pencernaan

• Penggunaan secara jangka panjang

dan tidak tepat dapat menghasilkan

patogen yang resisten

• Memberikan keuntungan pada

inang untuk menyerap zat

makanan penting dengan jalan

menekan kompetisi dari mikroba

saluran cerna.

• Memperbaiki ketersedian Energi

Netto (EN) untuk produksi dengan

jalan memperbaiki Energi Metabolis

(EM) pakan dan menurunkan

kebutuhan energi tubuh untuk

hidup pokok.

• Secara konsisten memperbaiki

penampilan pertumbuhan pada

kondisi lingkungan yang berbeda.

• Menurunkan perlindungan mukosa yang non spesifik dengan jalan menurunkan kolonisasi bakteri yang menguntungkan (sebagai contoh ; laktobasilus)

Sumber : Ferket et al. (2002)

Mannanoligosakarida (MOS)

• Mencegah

penempelan

dan

kolonisasi beberapa bakteri pada

saluran pencernaan, tapi tidak

membunuhnya

• Mempunyai aktivitas spesifik

terhadap bakteri gram negatif yang

mempunyai Fimbriae tipe I yang

spesifik terhadap mannose

• Menurunkan efek merugikan dari

metabolit

mikroba

dengan

meningkatkan profil mikroflora

• Merangsang sistem kekebalan

dengan jalan berlaku seperti antigen

mikroba yang bersifat non patogen

• Tidak menghasilkan bakteri yang resiten baik terhadap antibiotik atau MOS
• Memberikan keuntungan pada inang untuk menyerap zat makanan penting dengan jalan memperbaiki kesehatan ‘brush borders’.

• Memperbaiki ketersedian Energi Netto (EN) untuk produksi dengan jalan memperbaiki Energi Metabolis (EM) pakan.

• Memperbaiki

penampilan

pertumbuhan terutama ketika

dilakukan uji tantang dengan

patogen dari saluran pencernaan.

• Meningkatkan perlindungan mukosa

yang non spesifik dengan jalan

peningkatan relatif jumlah sel goblet

dan sekresi mucus dan

meningkatnya koloni bakteri yang

menguntungkan.

12

BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI SUMBER MOS Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk menghasilkan mannan. Penelitian Tafsin (2007) yaitu mencoba kombinasi perlakuan fisik dan kimia dicoba untuk mendapatkan komponen tersebut. Kandungan total gula terekstrak yang dihasilkan mencapai sekitar 2-3 persen dari total BIS (as fed), sedangkan jumlah mannosa terekstrak dari total mannan BIS pada perlakuan kombinasi ekstraksi menggunakan kaca mencapai 5.49% dan 7.58%, berturut-turut pada pelarut menggunakan air dan NaOH 0.05 N. Hasil tersebut masih lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan oleh Yokomizo (2005) serta Morikoshi dan Yokomizo (2006) yang menggunakan enzim mannanase terhadap BIS yang mencapai 10-20 % dari total mannan yang ada pada BIS yang diperoleh dengan waktu reaksi selama 24-72 jam dan pada temperatur 60 oC. Analisis dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel (Sephadex G-50) menunjukkan komponen terekstrak berupa polisakarida. Selanjutnya, analisis komponen monosakarida dengan HPLC (Carbohydrate column) menunjukkan bahwa komponen polisakarida tersusun atas glukosa, galaktosa, dan mannosa, dengan komponen dominan berupa galaktomannan. Penggunaan pelarut yang berbeda yaitu air dan NaOH (0.05 dan 0.1N) menghasilkan rasio komponen gula yang berbeda. Penggunaan NaOH ternyata meningkatkan komponen galaktosa, sehingga rasio komponen gula antara mannosa:galaktosa menjadi lebih kecil dibandingkan menggunakan pelarut air. Hal tersebut menunjukkan komponen galaktosa lebih mudah terekstrak karena dalam struktur polisakarida BIS, komponen galaktosa ada pada rantai sisi (side chain) berupa -D-galactopyranosil dengan ikatan (1 6) (Kennedy dan White 1988b). Penggunaan NaOH 0.1 N selain menghasilkan kandungan total gula terekstrak paling rendah, juga menunjukkan kandungan mannosa yang terkecil dibandingkan perlakuan lainnya. Komponen utama dari dinding sel bungkil inti sawit (BIS) adalah linear (1-4)- –D-Manp (Carre 2002), dan menunjukkan kesamaan dengan guar gum, tetapi dengan rasio galaktomannan yang berbeda. Rasio galaktomannan pada guaran adalah 1:2 (Kennedy dan White 1988). Respons penggunaan bahan sejenis Mannan terhadap pertumbuhan ayam menunjukkan hasil yang beragam. Laporan Menocal et al. (2005) yang
13

menggunakan S cerevisiae menunjukkan efek positif dan menyamai penggunaan antibiotik (avilamisin) sebagai pemacu pertumbuhan pada ayam broiler. Efek positif penggunaan MOS terhadap pertumbuhan pada ternak babi dilaporkan oleh Davis et al. (2002), selanjutnya pada kalkun (Zdunczyk et al. 2005) dan pada ayam broiler (Waldroup et al. 2003). Dosis MOS yang digunakan pada penelitian tersebut berkisar 0.05-0.4% dari ransum. Selanjutnya beberapa laporan menyebutkan tidak adanya pengaruh penggunaan MOS terhadap pertumbuhan ayam broiler (Ma et al. 2006; Flemming et al. 2004; dan Shafey et al. 2001) dengan dosis penggunaan berkisar 0.05-0.3%. Hooge (2004) mengumpulkan informasi beberapa penelitian dari tahun 1993-2003 tentang penggunaan MOS menunjukkan bahwa terjadi perbaikan relatif terhadap pertumbuhan sebesar 1.61% dibandingkan pakan kontrol.
Penggunaan mannan dari BIS dari penelitian Tafsin (2007) juga menunjukkan hasil yang beragam terhadap pertumbuhan ayam. Pada keadaan tanpa infeksi, penggunaan mannan dari BIS tidak memberikan pengaruh terhadap PBB. Hasil sebaliknya ditunjukkan pada perlakuan infeksi S thyphimurium yaitu ayam yang diberi mannan dari BIS menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan perlakukan kontrol infeksi. Secara konsisten terlihat bahwa pada penggunaan sebanyak 2 000-3 000 ppm menunjukkan PBB sekitar 10% dan 20% lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol infeksi, berturut-turut pada tingkat infeksi 104 dan 107 CFU S thyphimurium.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa mannan memberikan efek positif pada kondisi lingkungan yang buruk (ancaman mikroba pathogen tinggi) dan mungkin dapat menjelaskan mengapa penggunaan bahan sejenis seperti MOS memberikan hasil yang beragam terhadap pertumbuhan ayam. Efek tersebut diakibatkan penekanan terhadap pertumbuhan akibat kehadiran bakteri yang merugikan seperti S thyphimurium dapat dihindari, dan hal tersebut terlihat pada hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya penurunan jumlah koloni dan insiden Salmonella pada penelitian ini.
Penggunaan mannan dari BIS dalam ransum tidak mempengaruhi tingkat konsumsi ransum ayam. Selanjutnya pengamatan terhadap konversi
14

ransum ayam menunjukkan hasil yang beragam. Nilai konversi ransum pada percobaan 1 dipengaruhi oleh penggunaan mannan, dan penggunaan pada tingkat 4 000 ppm menunjukkan hasil lebih buruk dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil sebaliknya ditunjukkan pada percobaan 3 yang menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap konversi ransum ayam. Perbedaan perlakuan yang diberikan yaitu pada percobaan ke 3 dilakukan periode penyesuaian selama 5 hari dengan menggunakan ransum kontrol, sedangkan pada percobaan 1 ransum perlakuan sudah diberikan pada hari pertama. Dampak buruk penggunaan mannan dalam dosis yang tinggi (4 000 ppm) terlihat lebih berat ketika digunakan pada umur ayam satu hari(DOC).
Hal tersebut diakibatkan mannan terekstrak dari BIS ada dalam bentuk komponen yang terlarut dan tergolong pada polisakarida bukan pati (NSP; Non Starch Polysacharides) dan bersifat antinutritif yang mengakibatkan gangguan pencernaan dan absorpsi nutrien dengan jalan meningkatnya viskositas dari digesta. Efek buruk tersebut berkurang pada periode penyesuaian pemberian selama 5 hari, dan hal tersebut diduga terkait dengan telah berkembangnya mikroba yang ada dalam saluran pencernaan ayam yang dapat mengeluarkan enzim yang dapat memotong rantai polisakarida menjadi lebih pendek sehingga viskositasnya menurun dan mengakibatkan dampak buruk efek anti nutrisinya menjadi berkurang.
Efek antinutritif NSP sangat tergantung pada ukuran berat molekulnya. Percobaan Choct (2002) menunjukkan hal tersebut yang menggunakan NSP berupa arabinoxylan dan diuji dalam bentuk utuh (BM 758 000 Da) dibandingkan dengan yang sudah didegradasi oleh xylanase sehingga viskositasnya menurun empat kali lipat dan ternyata ketika diuji pada level yang sama (3%), bentuk yang terdegradasi tidak menunjukkan efek antinutrisi pada ayam broiler. Lin dan Hsu (2006) yang meneliti pada angsa menyebutkan bahwa pakan yang mengandung 9% NSP nyata menurunkan penampilan ternak.
Pengujian mannan (in vitro) terhadap Salmonella menunjukkan bahwa mannan dari BIS tidak mempunyai aktivitas yang bersifat membunuh bakteri (bakterisidal) maupun menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik), tetapi aktivitas yang ditimbulkannya berupa penempelan antara komponen
15

mannosa dari mannan dengan reseptor bakteri (fimbriae tipe I) yang tampak secara mikroskopik. Tidak terjadinya aktivitas yang bersifat bakterisidal maupun bakteriostatik tersebut ditinjau dari perspektif lingkungan dan penggunaannya dimasa akan datang sangat menguntungkan. Hal tersebut diakibatkan tidak terjadinya proses adaptasi oleh mikroba yang memungkinkan terjadinya mutasi. Efek terjadinya mutasi bakteri yang membahayakan pada manusia terlihat pada penggunaan antibiotik seperti dilaporkan Environmental Media services (EMS) (2000) yang menjelaskan ditemukannya strain Salmonella DT-104 yang resisten terhadap beberapa antimikroba seperti ampisilin, kloramfenikol, streptomisin, dan tetrasiklin.
PENUTUP Bungkil Inti Sawit (BIS) sebagai produk samping dari industri pengolahan kelapa sawit mempunyai potensi ketersediaan dan kontinuitas yang tinggi di Indonesia. Nilai manfaat BIS sampai sekarang ini masih lebih banyak ditujukan sebagai salah satu komponen dari pakan baik untuk ternak ruminansia maupun monogastrik. Struktur polisakarida yang spesifik dari BIS didominasi komponen gula mannosa, dan hal ini dapat menjadi nilai tambah untuk mengendalikan bakteri merugikan seperti dari kelompok Salmonella sp.dan dapat menjadi prebiotik. Hasil tersebut menjadikan potensi BIS tidak hanya sebagai bahan pakan tetapi dapat ditingkatkan nilai manfaatnya sebagai pengendali bakteri yang merugikan pada ternak.
DAFTAR PUSTAKA Bouliane M. 2003. Can We Farm Poultry Without Antimicrobials?. Quebec; Fac.
of Veterinary Medicine, Univ. of Montreal. [CFNP TAP] Center for Food and Nutrition Policy Technical Advisory Panel
Review. 2002. Cell Wall Carbohydrates : Livestock. Virginia; CFNP. Choct M. 2002. Non-starch Polysaccharides: effect on nutritive value. Di
dalam: McNab JM and Boorman KN, editor. Poultry Feedstuff: supply, composition, and nutritive value. Nottingham; CAB international. Corrier DE et al. 1995. Treatment of commercial broiler chickens with a characterized culture of caecal bacteria to reduce salmonella colonization. Poult Sci 74: 1093-1101. Daud MJ, Jarvis MC, Rasidah A. 1993. Fibre of PKC and its potential as poultry feed. Proceeding. 16th MSAP Annual Conference, Kuala Lumpur, Malaysia
16

Davis ME et al. 2002. Effect of mannan oligosaccharides and (or)

pharmacological additions of copper sulphate on growth performance

and immunocompetence of weanling and growing/finishing pig. J Anim

Sci 80:2887-2894.

Devegowda G et al. 1994. Biotechnology in the feed industry. Proc. Alltech’s

10th Annual Symposium. Nottingham University Press. 235-245.

Elisabeth W, Ginting SP. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa

sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Pros. Lokakarya

Nasional Sistem Integrasi Kelapa-Sawit Sapi (9-10 September 2003),

Bengkulu.

[EMS] Environmental Media services. 2000. Public Health Concerns.

http:www.ems.org/antibiotics/antibiotics_public.html. [31 Januari 2000]

Ferket PR, Park CW, Grimes JL. 2002. Benefits of dietary antibiotics and

mannanoligosaccharide supplementation for poultry. Multi-State Poultry

meeting. Raleigh; North Carolina State Univ.

Flemming JS, Freitas JRS, Fontoura P, Monthaninhi NR, Arruda JS. 2004.

Use of Mannanoligosaccharides in Broiler Feeding. Braz J Poult Sci.

6(2):159-161.

Hentges JD. 1992. Gut Microflora and Disease Resistance. Di dalam: Fuller

R., editor. Probiotics : The Scientific Basis. Chapman and Hall, London.

Hooge DM. 2004. Meta-analysis of broiler chicken pen trials evaluating dietary

mannan oligosaccharides, 1993-2003. Int J Poult Sci 3(3): 163-174.

Ishihara N, Shu DC, Akachi S, Juneja LR. 2000. Preventive effect of partially

hydrolyzed guar gum on infection of Salmonella enteridis in young and

laying hen. Poult Sci 79:689-697.

Jakarta Future Exchange. 2001. Perkembangan produk minyak goreng sawit

di Indonesia. http/www.bbj.jfx.com.

Keong NW, Chong KK. 2002. The nutritive value of palm kernel meal and the

effect of enzyme supplementation in practical diets for red hybrid tilapia

(Oreochromis sp.). Asian Fish Sci 15:167-176.

Kennedy JF, White CA. 1988. The Plant, Algae, and Microbial Polysaccharides.

Di dalam: Kennedy JF, editor. Carbohydrate Chemistry. Oxford;

Clarendon Press.

[KOMPAS]. 2006. Malaysia kuasai 330.000 hektar lahan sawit, 25 Agustus

2006.

Levy BS. 2000a. Environmental Concerns:The antibiotics paradox; How miracle

drugs are destroying the miracle. http:www.ems.org/antibiotics/

antibiotics-concerns.html. [30 oktober 2000].

Levy BS.

2000b.

The Challenge of Antibiotics Resistance.

http/www.sciam.com/1998/0398issue/0398levy.html. [31 Oktober

2000].

Lin PH, Hsu JC. 2006. Effects of different sources of dietary non-starch

polysaccharides on the growth performance and carbohydrase

development in intestine of goslings. XIIth AAAP Animal science congress

2006 Busan, Korea.

Ma D, Shan A, Li Q, Du J. 2006. Influence of mannan oligosaccharide,

Ligustrum lucidum and Schsandra chinesis on antioxidant and immunity

of chicken. XIIth AAAP Animal Science Congress 2006, Busan.Korea.

Mathius IW, Sitompul D, Manurung BP, Azmi. 2003. Produk samping

tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan

17

komplit untuk sapi: suatu tinjauan. Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa-Sawit Sapi (9-10 September 2003), Bengkulu. Menocal JA et al. 2005. Effect of Saccharomyces cerevisiae cell walls on productive parameters in broiler chicks. T c Pecu M x 43(2):155-162. Morikoshi T, Yokomizo F, penemu; 6 April 2006. -1,4 mannobiose- containing composition. US patent 2006 0073191. Mulder RW, Havenaar R, Huis in’t Veld JHJ. 1997. Interventions Strategies: The Use of Probiotics and Competitive Exclusion Microfloras Againts Contamination with Pathogens in Pig and Poultry. Di dalam: Fuller, R, editor. Probiotics 2; Application and Practical Aspect. London; Chapman and Hall. Rantala M, Nurmi E. 1973. Prevention of the growth Salmonella infantis in chick by the flora of the allimentary tract of chicken. Br Poult Sci 14:627630. Shafey TM, Al-mufarez M, Shalaby I, Jarlenabi, AJ. 2001. The effect of feeding mannanoligosaccharides (BioMos) on the performance of meat chicken under two different vaccination programs. Asian-Aust J Anim Sci 14: 559-563. Sinurat AP. 2001. Pemanfaatan bahan pakan lokal. Makalah pada dies natalis HIMASITER III, Fapet IPB Bogor. Spring P. 1997. Understanding the development of the avian gastrointestinal microflora : an essential key for developing competitive exclusion products. Proc. Alltech 11th Annual Asia Pacific Lecture Tour. 149-160. Spring P, Wenk C, Dawson KA, Newman KE. 2000. The effects of dietary mannanoligosaccharides on cecal parameters and the concentration of enteric bacteria in the ceca of salmonella-challenge broiler chicks. Poult Sci 79: 205-211. Sundu B, Dingle J. 2005. Use of enzyme to improve the nutritional value of palm kernel meal and copra meal. Proc. Quensland Poult Sci Symp, Australia 11:1-15. Tafsin M. 2000. Studi Kimia Polisakarida Dinding Sel Cunninghamella spp dan Penicillium spp yang Diisolasi dari Pakan serta Efek Toksiknya pada Mencit [tesis]. Bogor; Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Todar K. 2000. Bacterial resistance to antibiotics. Dept. of bacteriology, Univ.of Wisconsin. http/www.bact.wise.edu/Bact330/lecturebactres. [31 Oktober 2000]. Turner JL, Dritz PAS, Minton JE. 2000. Alternatives to conventional microbials in swine diets. Prof Anim Sci 17:217-226. Waldroup PW, Edgar O, Oviedo-Rondon, Fritts CA. 2003. Comparison of BioMOS and antibiotic feeding programs in broiler diet containing cooper sulfate. Int J Poult Sci 2(1):28-31. Yokomizo F, penemu; Fuji Oil Co. LTD; 24 Mei 2005. Mannose-containing palm kernel meal. US patent 6 896 918. Zdunczyk Z, Juskiewicz J, Jankowski J, Biedrzycka E, Koncicky A. 2005. Metabolic response of the Gastrointestinal tract of turkeys to diet with different level of mannan-oligosaccharides. Poult Sci 84:903-909 Ziprin RL, Deloach JR. 1993. Comparison of proboitic maintained by in vivo passage through laying hens and broiler. Poult Sci 72: 628-635.
18