POLISAKARIDA MENGANDUNG MANNAN DARI

4. POLISAKARIDA MENGANDUNG MANNAN DARI

BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI PENGENDALI Salmonella thypimurium PADA AYAM PENDAHULUAN Kondisi peternakan ayam komersial yang mempunyai tingkat kepadatan yang tinggi menghadapi bahaya rentannya terkena serangan penyakit dari mikroba patogen. Upaya yang dilakukan yaitu menggunakan antimikroba dan sampai sekarang kebanyakan antimikroba yang digunakan adalah antibiotik. Akibat negatif penggunaan antibiotik pada ternak antara lain terdapatnya residu pada produk ternak dan terjadinya resistensi mikroba yang pada akhirnya dapat membahayakan manusia. Bouliane 2003 menyebutkan bahwa pada negara- negara maju seperti Masyarakat Uni Eropa penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan pengaturannya sangat ketat, dan sampai sekarang penggunaan beberapa antibiotik seperti virginiamycin, tylosin, spiramycin, dan zinc bacitracyn telah dilarang. Laporan dari Jones dan Ricke 2003 menyebutkan bahwa di Amerika Serikat ditemukan 32 jenis antimikroba yang digunakan pada pakan broiler diberikan tanpa resep dokter hewan, dan 7 komponen tersebut juga digunakan sebagai pengobatan untuk manusia. Antibiotik sebagai imbuhan pakan pada unggas biasanya digunakan dalam dosis yang rendah. Roe dan Pillai 2003 menyebutkan bahwa penggunaan subterapetik tanpa pengawasan yang ketat akan menyebabkan penyebaran resistensi bakteri, dan ada keterkaitan antara penggunaan antibiotik di pertanian dengan kejadian infeksi yang resisten terhadap antibiotik pada manusia. Contoh kejadian resitensi bakteri dilaporkan Environmental Media services EMS 2000 bahwa galur Salmonella DT-104 resisten terhadap lima antimikroba yaitu ampisilin, kloramfenikol, streptomisin, sulfanoamida, dan tetrasiklin. Salmonella thypimurium adalah salah satu bakteri yang sering menyerang unggas dan dapat mengkontaminasi produk yang akan membahayakan pada manusia yang mengkonsumsinya Ohl dan Miller 2001. Kejadian infeksi Salmonella di Amerika Serikat dilaporkan pada manusia lebih dari 40.000 kasus setiap tahun EMS 2000, dan prevalensinya pada daging unggas di Washington mencapai 4.2 Zhao et al. 2001. Selanjutnya Rifqi 2006 memperoleh data bahwa 5.77 telur ayam lokal di Tangerang terkontaminasi S enteridis. Kolonisasi bakteri Salmonella dalam saluran pencernaan diperantarai oleh reseptor yang dikenal dengan nama fimbriae tipe I dan penempelannya spesifik terhadap mannosa Muller et al.1991; Althouse 2003; De Buck et al. 2005. Dengan demikian, penambahan komponen mannosa dalam pakan akan mencegah terjadinya penempelan pada saluran pencernaan, sehingga proses kolonisasi bakteri tidak terjadi. Ghosh et al. 1996 melaporkan penelitian pada tikus yang menunjukkan bahwa 69.2 kapasitas maksimum pengikatannya dihambat akibat adanya D-mannosa. Selanjutnya Oyofo et al. 1989 melaporkan efektifnya penggunaan D-mannosa untuk mencegah kolonisasi Salmonella pada ayam broiler. Penggunaan D-mannosa secara aplikatif pada peternakan unggas tidak ekonomis, oleh karena itu sekarang ini banyak dikembangkan bahan alam yang banyak mengandung komponen mannosa. Turner et al. 2000 menyebutkan bahwa sumber yang paling umum digunakan untuk menghasilkan MOS adalah dari Saccharomyces cerevisiae, dengan kandungan gula mannosanya mencapai 45 dari keseluruhan dinding selnya. Sumber lain yaitu CFNP TAP Review 2002 menyebutkan kandungannnya dapat mencapai 50 persen. Selanjutnya Ishihara et al. 2000 menjelaskan sumber lain dari tumbuhan yaitu guar gum Cyamoposis tetragonolobus yang mengandung galaktomannan efektif menghambat kolonisasi S enteridis pada ayam petelur. Sumber lain yang dapat digunakan dengan ketersediaan yang tinggi di Indonesia adalah BIS. Hasil penelitian tahap pertama dari penelitian ini mendapatkan informasi bahwa ekstrak BIS didominasi oleh mannosa dengan kandungan mencapai 74 dari total gulanya. Informasi penggunaan BIS sebagai sumber mannosa dan aplikasinya sebagai pengendali Salmonella thyphimurium pada ayam masih terbatas. Melihat potensi tersebut menarik untuk diteliti efek penggunaan polisakarida mannan dari BIS untuk mencegah kolonisasi Salmonella thyphimurium pada ayam. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan polisakarida mengandung mannan PM dari BIS sebagai pengendali Salmonella thyphimurium in vitro dan in vivo. Pengujian in vivo dilakukan pada ternak ayam broiler dan petelur. Informasi lain yang dikumpulkan yaitu mengetahui efeknya terhadap penampilan ternak yang meliputi : konsumsi dan konversi ransum serta pertambahan bobot badan ayam. BAHAN DAN METODE Bahan Kultur bakteri Salmonella thypimurium diperoleh dari koleksi Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Media yang digunakan pada tahapan ini meliputi media nutrient agar, nutrient broth, dan Salmonella shigella agar SS agar. Polisakarida mengandung mannan PM diperoleh dengan melakukan proses ekstraksi terhadap bungkil inti sawit seperti yang dijelaskan pada tahapan sebelumnya dari penelitian ini. Metode yang digunakan yaitu kombinasi perlakuan menggunakan pecahan kaca dengan pelarut menggunakan air. Proses pemisahan padatan dan supernatan dilakukan menggunakan menggunakan mesin cuci dengan kecepatan 180 rpm. Susunan ransum dasar percobaan disajikan pada Tabel 6 dengan kandungan protein kasar 23 persen dan kandungan energi metabolis sekitar 3 000 kkalkg. Pengujian In vitro Uji Aglutinasi Uji aglutinasi yaitu melihat kemampuan mannan untuk mengikat bakteri. Pengujian ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode Spring et al. 2000. Standarisasi konsentrasi bakteri dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri selama 24 jam dengan menggunakan media nutrient broth. Sel bakteri dipanen dengan cara sentrifugasi dan disuspensikan kedalam Phosphate Buffer Saline PBS 0.05M, pH 7.2 dan diukur pada kerapatan optik OD 660nm= 1.60. Hal yang sama dilakukan pada PM dengan melarutkan pada PBS untuk mencapai pada OD 660nm= 1.60. Uji aglutinasi dilakukan dengan menambahkan 1 ml suspensi bakteri dan 1ml suspensi PM dan dibiarkan selama 5 menit, dan selanjutnya diamati aglutinasi dengan menggunakan mikroskop. Tabel 6 Susunan ransum dasar percobaan Komposisi No Bahan Pakan Jumlah Kandungan Nutrisi 1 Jagung 50 Energi metabolis kkalkg 3 020 2 Dedak padi 12 Protein kasar 23.03 3 Bungkil kedelai 16.7 Lemak 4.55 4 Corn gluten meal 11 Serat kasar 4.19 5 Tepung ikan 5.5 Ca 0.96 6 Minyak kelapa 2 P 0.63 7 Dikalsium fosfat 1 Na 0.15 8 CaCO 3 1 Cl 0.70 9 L-Lisina 0.3 K 0.51 10 DL-Metionina 0.2 Lisina 1.20 11 Premiks mineral 0.3 Metionina 0.67 Total 100 keterangan : berdasarkan perhitungan dari tabel komposisi zat makanan NRC, 1994. Uji Resistensi Bakteri Pengujian aktivitas penghambatan secara invitro dilakukan terhadap bakteri Salmonella dan E. Coli dengan melakukan kultur bakteri pada cawan petri dengan media Nutrient Agar. Metode yang digunakan untuk uji resistensi yaitu menggunakan kertas cakram yang sudah diberi polisakarida mengandung mannan PM. Konsentrasi PM yang diuji yaitu yaitu 1 000; 2 000; 3 000; dan 4 000 ppm berdasarkan kandungan total gula, dan dimasukan sebanyak 50 ul ke dalam kertas cakram. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 24-48 jam dan diamati ada atau tidak adanya pembentukan zona bening clearing zone pada kultur media tersebut. Uji Hambat pada Media cair Pengujian dilakukan terhadap bakteri Salmonella dan E. Coli dalam media Nutrient Broth yang ditambah PM dengan konsentrasi 0; 1 000; 2 000; 3 000; dan 4 000 ppm berdasarkan kandungan total gulanya. Jumlah koloni awal yang dimasukkan yaitu 10 3 cfu, selanjutnya kultur tersebut diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37 o C dan pengamatan dilakukan terhadap jumlah koloni yang terbentuk CFU. Perhitungan koloni dilakukan dengan melakukan pengenceran secara seri menggunakan NaCl Fisiologis dan dilanjutkan kultur pada cawan petri dengan menggunakan media Nutriet Agar. Jumlah koloni dihitung setelah dilakukan inkubasi selama 48 jam pada suhu 37 o C. Pengujian in vivo Tahap I Pengujian in vivo dilakukan terhadap ternak ayam broiler unsexed Cobb dan petelur betina Isa Brown dengan berat badan awal berturut-turut 44.30± 1.23 g dan 34.90±0.61 g. Uji tantang bakteri Salmonella thyphimurium dimasukkan ke ayam secara oral sebanyak 10 4 CFU Corrier et al. 1995; Spring et al. 2000 pada anak ayam umur 3 hari. Ransum perlakuan mulai diberikan pada hari pertama perlakuan. Setiap petak percobaan diisi oleh 12 ekor ayam dengan ukuran petak 1x1 m, jumlah total ayam yang digunakan sebanyak 432 ekor. Pengamatan terhadap jumlah koloni Salmonella dilakukan pada hari ke 5; 10; dan 15 hari setelah dilakukan uji tantang, dan pada setiap periode tersebut diambil dipotong secara acak satu ekor dari masing-masing petak percobaan. Sampel berupa isi sekum diambil sebanyak 0.5 gram, selanjutnya dilakukan pengenceran secara serial dan dilakukkan kultur pada cawan petri dengan menggunakan media SS Agar dan diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 24–48 jam. Pengamatan yang dilakukan yaitu menghitung jumlah koloni bakteri yang terbentuk CFU. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan petak terbagi RPT. Faktor pertama sebagai petak utama adalah galur ayam sedangkan faktor kedua sebagai anak petak adalah taraf penggunaan PM dalam ransum. Jumlah ulangan yang diberikan yaitu 3 kali. Perlakuan yang diberikan yaitu : Petak utama : A. Ayam Broiler B. Ayam Petelur Anak petak : sebanyak enam perlakuan yaitu : R0A = Kontrol tanpa infeksi + Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM R0B= Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM R1 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 1 000 ppm PM R2 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 2 000 ppm PM R3 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 3 000 ppm PM R4 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 4 000 ppm PM Model matematik yang digunakan untuk rancangan tersebut adalah : Y ijk = + A i + δ ik + B j + AB ij + ε ijk Keterangan : Y ijk = nilai pengamatan = Rataan umum A i = Pengaruh aditif galur ayam δ ik = Galat petak utama B j = Pengaruh aditif penambahan PM AB ij = Interaksi faktor A dan B ε ijk = Galat anak petak Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi penampilan umum ternak pertambahan bobot badan PBB, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Pengukuran PBB dilakukan setiap minggu, pengukuran konsumsi ransum dilakukan setiap hari, sedangkan nilai konversi ransum diperoleh dengan membagi konsumsi ransum dengan PBB dalam periode mingguan. Pengukuran tersebut dilakukan selama empat minggu. Data lainnya yang diukur yaitu jumlah koloni bakteri CFU Salmonella pada sekum. Data yang diperoleh selanjutnya diuji menggunakan analisis ragam, dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan SAS Institute 1994. Analisis data berupa proporsi ternak terinfeksi dengan menggunakan uji Chi-kuadrat Gasperz 1994 dengan perlakuan kontrol terinfeksi R0B sebagai pembanding. Tahap II Tahapan lanjutan uji in vivo dilakukan terhadap ayam broiler Lohman sebanyak 60 ekor yang dibagi menjadi lima grup perlakuan yang terdiri atas : R0 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM R1 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 1 000 ppm PM R2 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 2 000 ppm PM R3 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 3 000 ppm PM R4 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 4 000 ppm PM Uji tantang dilakukan dengan memasukkan secara oral sebanyak 10 7 CFU pada anak ayam umur 8 hari, dan ransum perlakuan juga mulai diberikan pada umur tersebut. Pengambilan sampel isi sekum dilakukan pada saat 7, 14, dan 21 hari setelah infeksi. Sampel yang diperoleh ditimbang sebanyak 1 g dan disuspensikan terlebih dahulu dengan menggunakan NaCl fisiologis 9 ml, selanjutnya sebanyak 1 ml suspensi tersebut di kultur dalam 9 ml media nutrient broth dan diinkubasikan selama 24 jam pada temperatur 37 C. kemudian dilanjutkan pada media SS agar selama 1–2 hari dalam inkubator 37 C. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk. Jumlah ayam yang diambil dari setiap periode pengambilan sampel sebanyak 3 ekor sebagai ulangan dari setiap grup perlakuan. Peubah lain yang diamati meliputi penampilan ternak konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, pH isi sekum, dan bobot relatif bursa Fabricius. Data penampilan ternak yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, sedangkan data lainnya dianalisis menggunakan analisis ragam dengan menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Data koloni bakteri sebelum dianalisis ragam dilakukan transformasi data menggunakan log y+1 Steel dan Torrie 1980. Uji jarak berganda Duncan digunakan sebagai uji lanjutan apabila ditemukan adanya pengaruh nyata dari perlakuan. HASIL Pengujian i n vitro Uji Aglutinasi Hasil uji aglutinasi menggunakan pada Salmonella thphimurium menunjukkan bahwa polisakarida mengandung mannan secara visual belum menampakkan adanya penggumpalan, namun secara mikroskopis terlihat adanya perbedaan antara perlakuan kontrol dengan perlakuan PM. Gambaran Foto mikroskopis uji agglutinasi dapat dilihat pada Gambar 11 . a b Gambar 11. Hasil uji aglutinasi terhadap Salmonella thphimurium pembesaran 40x a Penggunaan PM dari BIS; b Kontrol Gambar 11 menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan kontrol dengan perlakuan yang diberi PM. Perbedaan yang nampak yaitu adanya penumpukan bakteri tanda panah pada partikel yang mengandung PM yang berwarna lebih gelap, sedangkan pada perlakuan kontrol bakteri nampak tersebar cukup merata pada bidang pandang. Uji Resistensi Hasil uji resistensi bakteri 6 galur Salmonella dan 4 galur E coli pada medium agar dengan menggunakan kertas cakram yang mengandung konsentrasi polisakarida mengandung mannan berbeda 1 000- 4 000 ppm dengan indikator pembentukan zona bening clearing zone menunjukkan hasil negatif. Uji zona bening yang negatif mengindikasikan bahwa polisakarida mengandung mannan dari BIS tidak bersifat bakterisidal. Uji Hambat pada Media Cair Hasil uji hambat pada media cair menggunakan media nutrient broth yang ditambah polisakarida mannan 0–4 000 ppm disajikan pada gambar berikut : 2 4 6 8 10 12 Jumlah Bakteri log CFU 1000 2000 3000 4000 Polisakarida-Mannan ppm Salmonella E coli Gambar 12 Pengaruh penambahan polisakarida mengandung mannan dari BIS terhadap koloni bakteri yang terbentuk log CFUml. Gambar 12 menunjukkan adanya penurunan koloni bakteri seiring dengan meningkatnya kandungan polisakarida mannan dalam media cair, dan penurunan jumlah koloni bakteri E coli lebih besar dibandingkan dengan bakteri Salmonella. Dilihat dari jumlah koloni awal yang dimasukkan ke dalam media 10 3 CFU, kedua bakteri tersebut masih mampu tumbuh dengan baik dan tampaknya PM tidak menimbulkan efek yang bersifat bakteriostatik. Pengujian in vivo Tahap I Konsumsi Ransum Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum ayam percobaan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan dari BIS terhadap konsumsi ransum ayam umur 1-28 hari gekor Galur ayam Perlakuan Broiler Petelur R0A 1 388.1± 47.9 432.3± 4.1 R0B 1 282.8±150.9 450.1±39.6 R1 1 420.8± 27.6 463.2±18.6 R2 1 399.2± 47.0 459.4±11.2 R3 1 428.2±125.7 461.2±15.2 R4 1 321.7± 27.4 469.5±26.4 R0A= Kontrol tanpa infeksi + Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM R0B= Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM R1 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 1 000 ppm PM R2 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 2 000 ppm PM R3 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 3 000 ppm PM R4 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 4 000 ppm PM Tabel di atas menunjukkan konsumsi ransum ayam percobaan selama empat minggu pengamatan. Pengaruh perlakuan penggunaan polisakarida mannan dalam ransum terhadap konsumsi ransum baik pada ayam broiler maupun ayam petelur menunjukkan bahwa nilai rataan tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan penggunaan PM sebanyak 3 000 ppm R3. Nilai konsumsi pada ayam broiler terendah ditunjukkan oleh perlakuan kontrol infeksi R0B. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsumsi ransum ayam tidak dipengaruhi oleh perlakuan infeksi dan jenis ransum yang diuji, dan interaksinya dengan galur ayam juga tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Hasil tersebut menunjukkan penggunaan polisakarida mannan sampai tingkat 4 000 ppm tidak mengganggu palatabilitas ayam, dan efek infeksi bakteri S. thypimurium pada tingkat tersebut belum menunjukkan adanya efek yang drastis terhadap konsumsi ayam. Pertambahan Bobot Badan PBB dan Bobot Badan Akhir Data pengaruh perlakuan terhadap PBB ayam percobaan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh penggunaan polisakarida mannan dari BIS terhadap pertambahan bobot badan PBB ayam umur 1-28 hari gekor Galur ayam Perlakuan Broiler Petelur R0A 740.4 ab ± 36.58 189.93 ± 12.44 R0B 693.1 ab ± 93.27 197.54 ± 27.55 R1 738.6 ab ± 47.42 198.57 ± 14.92 R2 739.2 ab ± 26.91 186.58 ± 11.15 R3 780.4 a ± 25.84 192.25 ± 10.19 R4 664.7 b ± 29.93 175.91 ± 20.99 keterangan : Superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan perbedaan nyata P0.05. Rataan PBB tertinggi baik pada ayam broiler maupun petelur ditunjukkan oleh perlakuan penggunaan PM sebanyak 3 000 ppm R3, sedangkan PBB paling rendah terdapat pada perlakuan PM sebanyak 4 000 ppm R4. Selanjutnya, interaksi antara galur ayam dengan perlakuan penggunaan PM tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Respons terhadap PBB pada ayam broiler yang terinfeksi dan diberi PM yang dianalisis menggunakan polinomial orthogonal Lampiran 3 membentuk kurva kuadratik dan mengikuti persamaan Y=-2E-05x 2 + 0.079x +685.94 R 2 =0.70. Penggunaan polisakarida mannan sampai tingkat 3 000 ppm akan meningkatkan pertambahan bobot badan, tetapi hasil sebaliknya ditunjukkan pada penggunaan sebanyak 4 000 ppm R4 yang mempunyai nilai PBB lebih rendah dibandingkan penggunaan PM 3 000 ppm R3. Perlakuan R3 juga mempunyai pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan kontrol infeksi R0B. Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya penghambatan terhadap pertumbuhan ayam yang terinfeksi oleh S thypimurium. Penggunaan PM pada tingkat 3 000 ppm mampu mengatasi efek buruk penghambatan pertumbuhan akibat adanya mikroba patogen S thypimurium dalam saluran pencernaan ternak. Hasil yang sejalan dengan PBB ditunjukkan terhadap peubah bobot badan akhir yang tersaji pada Tabel 9. Tabel 9. Pengaruh penggunaan polisakarida mannan dari BIS terhadap bobot badan akhir ayam umur 1-28 hari gekor Galur ayam Perlakuan Broiler Petelur R0A 784.42 ab ± 35.72 224.21 ± 11.97 R0B 737.50 ab ± 93.28 232.51 ± 27.84 R1 781.63 ab ± 49.80 233.37 ± 14.38 R2 783.20 ab ± 27.20 221.59 ± 11.10 R3 825.68 a ± 25.55 227.61 ± 10.74 R4 709.58 b ± 29.80 211.04 ± 21.73 keterangan : Superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan perbedaan nyata P0.05. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antar faktor perlakuan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Analisis polinomial secara terpisah menunjukkan bahwa bobot akhir ayam petelur tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Respons pada ayam broiler menunjukkan bahwa penggunaan PM dalam ransum pada perlakuan R3 mempunyai bobot akhir nyata lebih tinggi p0.05 dibandingkan perlakuan R4. Penggunaan PM 3 000 ppm R3 juga menunjukkan bobot akhir sekitar 10 lebih baik dibandingkan kontrol infeksi R0B. Analisis polinomial orthogonal Lampiran 4 menunjukkan bahwa penggunaan PM terhadap berat akhir pada ayam broiler yang terinfeksi membentuk kurva kuadratik dan mengikuti persamaan Y=-2E-05x 2 + 0.079x +685.94 R 2 =0.70. Konversi Ransum Data pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum ayam disajikan pada Tabel 10. Hasil analisis ragam menunjukkan interaksi antara perlakuan galur ayam dan penggunaan PM tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Tabel 10 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan dari BIS terhadap konversi ransum ayam umur 1-28 hari Galur ayam Perlakuan Broiler Petelur R0A 1.88 ± 0.06 2.28 a ± 0.14 R0B 1.85 ± 0.04 2.29 a ± 0.14 R1 1.93 ± 0.13 2.34 a ± 0.11 R2 1.89 ± 0.09 2.47 a ± 0.09 R3 1.83 ± 0.13 2.40 a ± 0.06 R4 1.99 ± 0.06 2.68 b ± 0.17 keterangan : Superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan perbedaan nyata p0.05. Respons terhadap konversi ransum pada ayam broiler menunjukkan nilai konversi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan R4, sedangkan nilai rataan terendah ditunjukkan pada perlakuan R3. Analisis polinomial orthogonal secara terpisah Lampiran 5 menunjukkan bahwa konversi ransum ayam broiler tidak dipengaruhi oleh perlakuan infeksi ataupun tingkat PM dalam ransum. Nilai konversi ransum pada ayam petelur mempunyai kecenderungan semakin meningkat seiring meningkatnya penggunaan PM dalam ransum. Penggunaan polisakarida mannan sampai tingkat 3 000 ppm tidak mempengaruhi nilai konversi ransum, hasil sebaliknya ditunjukkan pada penggunaan 4 000 ppm yang mempunyai nilai konversi lebih buruk dibandingkan perlakuan lainnya. Pengaruh PM terhadap konversi ransum pada ayam petelur menunjukkan adanya peningkatan seiring dengan meningkatnya PM dalam ransum. Analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa kurva respons bersifat linear dan mengikuti persamaan Y=8E-05x + 2.268 R 2 =0.76. Hasil tersebut menjelaskan bahwa pada ayam petelur penggunaan PM yang tinggi 4 000 ppm harus dipertimbangkan ulang ketika digunakan mulai umur ayam satu hari DOC. Pengaruh perlakuan terhadap Infeksi bakteri Salmonella Hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap jumlah ternak yang terinfeksi dan koloni bakteri disajikan pada Tabel 11. Hasil analisis Chi-kuadrat menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya perbedaan nyata tingkat infeksi antara ayam broiler dan petelur. Data yang disajikan pada Tabel 11 merupakan data gabungan tingkat infeksi yang terjadi pada ayam broiler dan petelur. Tabel 11. Pengaruh penggunaan polisakarida mannan dari BIS terhadap insiden Salmonella ternak terinfeksitotal sampel Perlakuan Hari setelah infeksi R0A R0B R1 R2 R3 R4 Proporsi ternak terinfeksi 5 36 46 36 56 36 06 10 06 16 16 16 16 26 15 06 26 16 06 06 06 Total 318 718 518 618 418 218 16.67 38.89 27.78 33.33 22.22 11.11 Keterangan : berbeda nyata dibandingkan perlakuan kontrol infeksi R0B; χ 2 0.1: 1 berbeda nyata dibandingkan perlakuan kontrol infeksi R0B; χ 2 0.01: 1 Tabel 11 menunjukkan persentase insiden ternak terinfeksi Salmonella semakin menurun seiring dengan meningkatnya penggunaan polisakarida mannan sampai tingkat 4 000 ppm. Persentase ternak terinfeksi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan kontrol infeksi R0B, dan persentase paling rendah ditunjukkan oleh penggunaan PM 4 000 ppm. Total ternak terinfeksi pada hari ke-5 setelah infeksi pada penggunaan polisakarida mannan 4 000 ppm R4 sebanyak 0 ekor dari 6 ekor sampel percobaan 06 dan nyata lebih rendah p0.01 dibandingkan perlakuan kontrol infeksi R0B. Penggunaan PM sampai 3 000 ppm pada periode ini belum menunjukkan pengaruh terhadap penurunan proporsi ternak terinfeksi dibandingkan perlakuan kontrol terinfeksi. Selanjutnya pengamatan terhadap jumlah koloni bakteri Salmonella yang terdapat pada sekum disajikan pada Gambar 13. Pengamatan lanjutan pada hari ke-15 setelah infeksi menunjukkan pada penggunaan polisakarida mannan 2 000– 4 000 ppm tidak ditemukan adanya Salmonella, sedangkan pada kontrol infeksi dan penggunaan 1 000 ppm masih ditemukan insiden Salmonella, yaitu sebanyak 2 ekor dari 6 ekor sampel percobaan 26. Hasil tersebut menunjukkan penggunaan polisakarida mannan dari BIS sebanyak 2 000-4 000 ppm efektif menekan kolonisasi Salmonella pada ayam. Gambar 13 Pengaruh penggunaan PM dari BIS terhadap jumlah koloni bakteri Salmonella log cfug. Jumlah koloni bakteri Salmonella CFU yang terdeteksi pada tahapan penelitian ini relatif masih rendah, bagitu juga dengan persentase insiden yang hanya mencapai 39. Penelitian lanjutan dilakukan dengan menggunakan tingkat infeksi yang lebih tinggi yaitu menjadi 10 7 CFUekor. Penelitian tersebut dilakukan pada ayam broiler yang akan dijelaskan pada tahapan lanjutan dari uji in vivo. 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 log cfug 5 10 15 Hari setelah infeksi R0A R0B R1 R2 R3 R4 Tahap II Data hasil pengamatan pengaruh penggunaan polisakarida mannan PM terhadap penampilan ternak ayam broiler yang terinfeksi Salmonella pada tingkat 10 7 CFU disajikan pada Tabel 12. Tabel tersebut menunjukkan bahwa konsumsi ransum dan PBB ayam yang terinfeksi Salmonella tanpa menggunakan PM menunjukkan hasil yang paling rendah. Selanjutnya konversi ransum pada tingkat penggunaan PM sampai tingkat 3 000 ppm tidak jauh berbeda, dan pada tingkat 4 000 ppm menunjukkan nilai konversi tertinggi. Tingkat konsumsi tertinggi ditunjukkan oleh penggunaan PM 4 000 ppm, dan lebih tinggi 10.7 dibandingkan kontrol, sedangkan PBB tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan penggunaan PM 2 000 ppm, dan 10.5 lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tabel 12 Pengaruh polisakarida mannan PM terhadap konsumsi dan konversi ransum serta pertambahan bobot badan PBB ayam broiler 0-42 hari Perlakuan Konsumsi gekor PBB gekor Bobot akhir gekor Konversi R0 2 684.88 1 452.36 1 493.51 1.85 R1 2 917.38 1 540.26 1 581.81 1.89 R2 2 964.12 1 602.66 1 644.88 1.85 R3 2 767.08 1 523.46 1 565.83 1.82 R4 2 974.8 1 542.96 1 585.32 1.93 keterangan : R0 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 0 ppm PM R1 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 1 000 ppm PM R2 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 2 000 ppm PM R3 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 3 000 ppm PM R4 = Infeksi S thypimurium + Ransum yang disuplementasi 4 000 ppm PM Pengamatan terhadap bobot badan secara mingguan menunjukkan bahwa penekanan pertumbuhan akibat hadirnya Salmonella terjadi sampai empat minggu setelah infeksi. Analisis mingguan tersebut ditunjukkan pada Gambar 14. 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 1 2 3 4 5 6 umur minggu B o b o t B a d a n g e k o r R0 R1 R2 R3 R4 Gambar 14 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan PM terhadap bobot badan ayam broiler gekor . Gambar 14 menunjukkan bahwa penggunaan PM pada ayam yang terinfeksi Salmonella akan meningkatkan PBB pada umur 0-5 minggu. Peningkatan PBB pada penggunaan 1 000; 2 000; 3 000; 4 000 ppm PM berturut turut 12.2 ; 21.3; 18.5; 20.5 dibandingkan kontrol. Rataan PBB yang terjadi pada penggunaan 2 000–4 000 ppm yaitu sekitar 20 lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil sebaliknya ditunjukkan pada pertumbuhan minggu ke-6 yang menunjukkan adanya penurunan PBB seiring dengan meningkatnya penggunaan PM dalam ransum. Pengaruh penggunaan PM terhadap insiden infeksi, pH isi sekum, dan indeks bursa Fabricius disajikan pada Tabel 13. Penggunaan PM 4 000 ppm menunjukkan insiden infeksi paling rendah dan secara statistik nyata p0.1 lebih rendah di bandingkan kontrol. Hasil tersebut terjadi pada pengamatan 7, dan 14 hari setelah infeksi dan terhadap pengamatan keseluruhan total. 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 1 2 3 4 5 6 Umur minggu B o b o t B a d a n g e k o r R0 R1 R2 R3 R4 Tabel 13 Penggunaan polisakarida mannan PM dari BIS terhadap insiden infeksi ternak terinfeksitotal sampel, pH sekum dan indeks Bursa Fabricius. Perlakuan Peubah R0 R1 R2 R3 R4 Insiden pada hari ke- setelah infeksi 7 33 33 23 33 13 14 33 33 23 33 13 21 13 13 23 03 13 total 79 79 69 69 39 pH sekum 6.85 a 6.90 a 6.65 ab 6.76 ab 6.48 b Bursa Fabricius gkgBB 1.130 b 1.750 ab 1.047 b 2.643 a 1.923 ab Keterangan : Superskrip dengan huruf berbeda ke arah baris menunjukkan perbedaan nyata p0.05 Berbeda nyata dibandingkan perlakuan kontrol infeksi R0; χ 2 0.1: 1. Gambaran pengaruh penggunaan PM dari BIS terhadap rataan koloni bakteri Salmonella yang terbentuk disajikan pada Gambar 15. Gambar 15 Pengaruh penggunaan PM dari BIS terhadap jumlah koloni Salmonella log cfuml. 4 .4 3 a 3 .8 8 a b 2 .1 1 a b 3 .8 4 a b 1 .2 3 b 4 .6 4 3 .9 1 2 .8 9 4 .2 6 1 .5 4 1 .4 6 1 .5 2 .7 8 .0 1 .3 7 3 .5 1 a 3 .1 a b 2 .5 9 a b 2 .7 a b 1 .3 8 b 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 7 14 21 rataan Hari se te lah infe ksi R0 R1 R2 R3 R4 Pengamatan terhadap jumlah koloni bakteri cfu menunjukkan terjadinya penurunan jumlah koloni bakteri Salmonella akibat penggunaan PM dari BIS. Pengamatan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali pengamatan yaitu 7, 14, dan 21 hari setelah infeksi Salmonella. Analisis statistika menunjukkan adanya pengaruh nyata p0.05 perlakuan terhadap penurunan koloni Salmonella dalam sekum pada pengamatan 7 hari setelah infeksi dan rataan keseluruhan . Analisis lanjutan Duncan Multiple Range Test menunjukkan bahwa penggunaan 4 000 ppm nyata menurunkan jumlah koloni bakteri Salmonella dibandingkan kontrol. Pengamatan terhadap pH sekum menunjukkan adanya pengaruh nyata p0.05 perlakuan terhadap penurunan pH isi sekum. Kecenderungan yang muncul yaitu terjadinya penurunan pH dengan meningkatnya penggunaan PM dalam ransum. Analisis lanjutan menggunakan uji Duncan menunjukkan bahwa penggunaan PM 4 000 ppm mempunyai pH lebih rendah dibandingkan penggunaan 0, dan 1 000 ppm, sedangkan bila dibandingkan dengan penggunaan 2 000–3 000 ppm tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Penggunaan PM dalam ransum juga mempengaruhi secara nyata p0.05 berat bursa Fabricius. Data berat bursa pada tabel di atas dilakukan pada saat umur ayam 4 minggu. Analisis lanjutan menggunakan uji Duncan menunjukkan bahwa penggunaan PM 3 000 ppm mempunyai berat bursa lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan pada penggunaan PM 1 000–4 000 ppm tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. PEMBAHASAN Uji resistensi terhadap Salmonella dan E.Coli menunjukkan bahwa penggunaan PM dari BIS tidak mempunyai aktivitas yang bersifat membunuh bakterisid, dengan kata lain semua bakteri yang diuji resisten terhadap PM. Pengamatan terhadap penambahan PM dalam media cair menunjukkan bahwa Salmonella thyphimurium dan E coli masih dapat berkembang biak yang menunjukkan PM tidak bersifat bakteriostatik. Pengamatan terhadap jumlah koloni bakteri tersebut dalam media cair menunjukkan adanya penurunan, tetapi penurunan yang terjadi relatif sangat kecil. Hal tersebut memperkuat hasil uji resitensi sebelumnya yang menunjukkan hasil negatif. Penurunan jumlah koloni bakteri seiring dengan meningkatnya penggunaan PM dalam media diduga diakibatkan terjadinya efek penggumpalan clumping bakteri, sehingga ketika dilakukan kultur pada media agar jumlah koloni yang terhitung menjadi lebih sedikit. Efek penggumpalan tersebut terlihat secara mikroskopik pada pengamatan uji aglutinasi. Penurunan jumlah koloni tersebut juga mengindikasikan bahwa bakteri Salmonella thyphimurium dan E coli tidak dapat menggunakan PM sebagai salah satu sumber makanan untuk pertumbuhannya. Pengamatan terhadap uji aglutinasi yang dilanjutkan dengan pengamatan secara mikroskopik menunjukkan adanya perbedaan bakteri S thypimurium yang ditambah PM dengan kontrol. Hasil pengamatan menunjukkan adanya semacam penggumpalan clumping pada penggunaan PM dari BIS. Hasil tersebut menunjukkan adanya penempelan antara reseptor bakteri dengan komponen mannosa dari PM yang diekstrak dari BIS, dan Fimbriae tipe I merupakan reseptor yang penempelannya sensitif terhadap mannosa Muller et al. 1991; Althouse 2003; De Buck et al. 2005. Hasil uji aglutinasi secara visual pada penelitian ini tidak sejelas seperti yang dijelaskan oleh Spring et al. 2000 dan Perez-Sotelo et al. 2005 yang menggunakan sel S cerevisiae sebagai bahan uji. Perbedaan tersebut diduga karena pada penelitian ini menggunakan ekstrak yang berupa cairan bukan sel sehingga menyebabkan secara visual efek aglutinasinya belum tampak, tetapi pengamatan secara mikroskopik serupa dengan yang dilaporkan Perez-Sotelo et al. 2005. Pengujian in vivo penggunaan PM dari BIS terhadap penampilan ternak diukur dengan melihat konsumsi, PBB dan konversi ransum. Tingkat rataan konsumsi ransum yang teramati pada tahap 1dan 2 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol terinfeksi menunjukkan nilai terendah, tetapi analisis stastistik menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum. Pemberian PM dalam ransum memperbaiki PBB ayam yang terinfeksi Salmonella. Pada tahap pertama, PBB ayam yang mendapat PM 3 000 ppm 10 lebih baik dibandingkan kontrol infeksi. Selanjutnya pada tahap kedua, PBB ayam broiler yang mendapat PM 2 000-4 000 ppm mempunyai PBB 0-5 minggu 20 lebih baik dibandingkan kontrol. PBB pada minggu ke-6 menunjukkan penurunan PBB seiring dengan meningkatnya penggunaan PM dalam ransum, tampaknya pada periode ini efek buruk adanya Salmonella sudah berkurang yang ditandai dengan persentase insiden sekitar 33 persen dan koloni bakteri 1.42 log cfu yang rendah pada minggu ke-3 setelah infeksi. Tingkat konversi ransum pada penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa penggunaan PM 4 000 ppm nyata p0.05 lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan terjadi peningkatan sekitar 12.5 , sedangkan pada tahap kedua peningkatannya relatif kecil 3.24. Perbedaan tersebut kemungkinan diakibatkan cara pemberian ransum perlakuan yang berbeda, yaitu pada tahap pertama ransum perlakuan mulai diberikan pada hari pertama, sedangkan pada tahap kedua diberikan setelah umur ayam satu minggu. Choct 2002 menjelaskan bahwa polisakarida mannan termasuk kedalam komponen polisakarida bukan pati NSP; Non Starch Polysacharides. Kandungan NSP yang tinggi dalam ransum bersifat antinutritif, dan akan mempengaruhi penampilan ternak karena adanya gangguan pencernaan dan absorpsi nutrien. Efek tersebut diakibatkan meningkatnya viskositas dari digesta, dan merubah ekosistem pada saluran pencernaan. Efek tersebut meliputi meningkatnya waktu transit pada saluran pencernaan, meningkatnya kehilangan endogenous nutrien, dan berubahnya proses pencernaan dari proses pencernaan enzimatis kearah fermentasi oleh mikroba. Selanjutnya Lee et al. 2003 melaporkan bahwa penggunaan β-mannanase efektif untuk mengatasi hal tersebut. Beberapa penelitian efek bahan sejenis yaitu MOS terhadap pertumbuhan ternak menunjukkan hasil yang beragam. Efek positif penggunaan MOS terhadap pertumbuhan pada ternak babi dilaporkan oleh Davis et al. 2002 dan pada kalkun Zdunczyk et al. 2005. Dosis MOS yang digunakan pada penelitian tersebut berkisar 0.2-0.4 dari ransum. Hasil lainnya yang menunjukkan tidak adanya pengaruh MOS 0.1 terhadap produksi telur Sashidara dan Devegowda 2003. Selanjutnya beberapa peneliti yang menggunakan ayam broiler dengan penggunaan 0.05 MOS Ma et al. 2006 ;Waldroup et al. 2003; Flemming et al. 2004, dan 0.3 MOS Shafey et al. 2001 menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap PBB. Melihat kondisi diatas, tampaknya pengaruh penggunaan bahan yang mengandung komponen mannosa MOS atau PM terhadap pertumbuhan ternak sangat tergantung pada kadar yang digunakan dan tingkat infeksi dari bakteri yang merugikan ternak. Hal tersebut didukung oleh data pada penelitian ini yang menunjukkan penggunaan PM pada ayam dengan tingkat infeksi yang tinggi 10 7 cfuekor mempunyai nilai peningkatan PBB yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat infeksi yang rendah 10 4 cfuekor. Hal tersebut menunjukkan bahwa efek buruk kehadiran Salmonella dapat ditekan dengan adanya PM dalam ransum karena kolonisasi Salmonella dalam saluran pencernaan terhambat. Penggunaan PM dari BIS dalam ransum mampu menurunkan kolonisasi bakteri Salmonella pada sekum. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa penggunaan 4 000 ppm menunjukkan tingkat infeksi 06 lebih rendah p0.01 pada hari ke-5 setelah infeksi, dan juga pengamatan keseluruhan sampai 15 hari setelah infeksi p0.1. Pengamatan pada hari ke 15 setelah infeksi menunjukkan bahwa penggunaan 2 000-4 000 ppm sudah tidak ditemukan adanya Salmonella, yang menunjukkan bahwa kecepatan pengeluaran exclution Salmonella lebih tinggi akibat penggunaan PM dari BIS. Hasil penelitian tahap kedua memperkuat hasil penelitian tahap pertama tentang efektifnya penggunaan PM dari BIS untuk menekan kolonisasi Salmonella. Tingkat insiden dan jumlah koloni cfug Salmonella pada penggunaan 4 000 ppm secara statistik nyata p0.1 lebih rendah dibandingkan kontrol. Penggunaan 2 000-3 000 ppm secara statistik belum menunjukkan perbedaan dengan kontrol, tetapi penurunan koloni bakteri pada tingkat ini sudah cukup besar sekitar 10 log 1, dan hal tersebut tercermin dari nilai PBB yang lebih baik dibandingkan kontrol. Spring et al. 2000 meneliti efek MOS pada ayam broiler yang dilakukan uji tantang terhadap bakteri Salmonella thypimurium 29E 10 4 cfu. Kadar MOS yang diberikan sebanyak 4 000 ppm, dan hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi Salmonella thypimurium dari 5.40 menjadi 4.01 log cfu pada hari ke sepuluh. Selanjutnya Fernandez et al. 2002 melaporkan hal yang sama pada infeksi bakteri Salmonella enteridis PT4. Ishihara et al. 2000 melakukan penelitian PM yang diperoleh dari Guar gum PHGG dan mengamati efeknya terhadap Salmonella enteridis SE pada ayam broiler dan ayam petelur. Hasil penelitian menunjukkan penambahan PHGG secara oral menurunkan adanya SE pada organ, peningkatan ekskresi SE pada feses, menurunkan titer antibodi terhadap SE pada serum. Efek lain yang ditimbulkan yaitu meningkatkan jumlah bakteri Bifidobacterium spp dan Lactobacillus spp. Keadaan yang sama ditemui pada ayam petelur dengan menurunnya SE baik pada permukaan kerabang, putih dan kuning telur. Kadar optimum PHGG pada penelitian ini yaitu 0,025 dari ransum. Hasil lainnya dilaporkan oleh Allen et al. 1997, yang menggunakan mannosa dan bungkil inti sawit sebanyak 2.5 mampu menekan kolonisasi Salmonella enteridis dan tiga minggu setelah infeksi sudah tidak ditemukan adanya Salmonella. Hasil penelitian penggunaan polisakarida mannan dari BIS menunjukkan hasil yang sejalan dengan beberapa penelitian diatas. Hasil tersebut menunjukkan BIS dapat menghasilkan mannan yang berpotensi sebagai pengendali S. thyphimurium pada ayam. Kemampuan tersebut diakibatkan oleh adanya komponen mannosa dari bahan yang digunakan. Penggunaan D-mannosa juga efektif untuk mencegah kolonisasi Salmonella Oyofo et al. 1989, karena beberapa bakteri Salmonella mempunyai reseptor yang dikenal dengan nama fimbriae tipe I dan penempelannya sensitif terhadap mannosa Muller et al. 1991; Althouse 2003. Berat relatif bursa Fabricius umur 4 minggu dipengaruhi oleh perlakuan PM. Penggunaan PM sebanyak 3 000 ppm mempunyai berat lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan penggunaan 1 000;2 000; dan 4 000 ppm tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol. Hasil tersebut mengindikasikan adanya aktivitas sebagai immunostimulan dari PM. Penggunaan polisakarida mannan juga mempengaruhi pH isi sekum. Kecenderungan yang muncul yaitu semakin tinggi penggunaan PM akan menurunkan pH sekum. Penggunaan PM 4 000 ppm mempunyai pH nyata p0.05 lebih rendah dibandingkan kontrol. Penggunaan MOS dilaporkan tidak mempengaruhi pH sekum, VFA Volatile Fatty Acid, serta populasi bakteri Lactobacillus dan Bifidobacteria Spring et al. 2000; Zdunczyk et al. 2005. Hasil sebaliknya ditunjukkan pada penggunaan PHGG Partially hydrolized Guar Gum yang mengandung galaktomannan dilaporkan oleh Ishihara et al. 2000. Tampaknya penggunaan PM dari BIS serupa dengan penggunaan PHGG yang berasal dari guar gum. Kesamaan tersebut tercermin dari struktur polisakarida berupa galaktomannan dengan ikatan β-1-4 hanya rasionya yang berbeda yaitu untuk guar gum 1:2 Robinson et al. 1982, sedangkan galaktomannan dari BIS yaitu 1:3. Struktur polisakarida S cerevisiae sebagai sumber MOS berbeda dengan BIS atau guar gum, yaitu dengan rantai utama berupa α-1-6 dan mempunyai rantai sisi berupa oligosakarida α-Man1-2- α-Man dan α-Man1-3 α-Man1-2 α-Man Carpenter dan Nepogodiev 2005. Perbedaan struktur tersebut tampaknya menjadi penyebab berbedanya respons MOS dengan PM terhadap pH sekum, dan tampaknya penggunaan PM dari BIS mempunyai sifat seperti prebiotik. KESIMPULAN 1. Pengujian in vitro menunjukkan bahwa ektrak polisakarida mannan PM dari bungkil inti sawit tidak menunjukkan aktivitas yang membunuh bakteri bakterisidal maupun yang bersifat menekan pertumbuhan bakteri bakteriostatik. Hasil uji agglutinasi menunjukkan hasil positif dengan terjadinya penggumpalan bakteri yang diamati secara mikroskopis. 2. Penggunaan PM dalam ransum mampu menurunkan insiden Salmonella pada ayam dan juga menurunkan jumlah koloni Salmonella pada sekum ayam. Penggunaan PM juga menunjukkan proses pengeluaran Salmonella yang lebih cepat, dan penggunaan pada tingkat 2 000-4 000 ppm pada tingkat infeksi 10 4 CFU insiden Salmonella sudah tidak ditemukan lagi pada hari ke-15 setelah infeksi. 3. Penggunaan PM tidak menunjukkan pengaruh terhadap konsumsi ransum, tetapi terjadi perbaikan dalam pertambahan berat badan PBB pada penggunaan sampai tingkat 2 000-3 000 ppm sebesar 10 dan 20 lebih baik dibandingkan kontrol, berturut-turut pada tingkat infeksi S thypimurium 10 4 dan 10 7 log cfu. Penggunaan PM sebanyak 4 000 ppm menunjukkan adanya efek antinutritif yang ditunjukkan dengan nilai konversi yang lebih buruk dibandingkan perlakuan lainnya.

5. POLISAKARIDA MENGANDUNG MANNAN DARI BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI IMMUNOSTIMULAN