Latar Belakang DETERMINAN AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI PROVINSI JAWA BARAT
No Provinsi 2008
2010 2013
9 Riau 199
191 326
10 Sumatera Selatan 152
226 183
11 Lampung 314
167 208
12 Sumatera Barat 178
158 149
13 Kalimantan Timur 148
111 117
14 Kalimantan Barat 181
103 100
15 Jambi 93
90 88
16 Kalimantan Tengah 51
57 56
jumlah 9.017
8.146 15.132
Sumber : BPS, 2013
Berdasarkan Tabel 2, jumlah IBS di Kawasan Barat Indonesia KBI mengalami penurunan dari tahun 2008 sebanyak 9.017 unit menjadi sebanyak 8.146 unit di
tahun 2010, dan tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak 15.132 unit. Dari 16 Provinsi yang termasuk di dalam KBI terdapat 1 yang memiliki jumlah IBS
terbanyak yaitu Provinsi Jawa Barat. Hal itu yang menjadikan dasar penulis mengambil Provinsi Jawa Barat sebagai
lokasi penelitian. Salah satu faktor yang menjadi ukuran terjadinya aglomerasi disuatu wilayah adalah banyaknya industri di wilayah tersebut, hal ini
mengindikasi bahwa perkembangan industri manufaktur juga menjadi sektor dominan.
Perkembangan industri manufaktur merupakan faktor dominan dalam memacu dan mengangkat pembangunan sektor lainnya. Peningkatan produktifitas industri
manufaktur diharapkan dapat memacu produktifitas dari sektor sektor yang lain sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berikut merupakan data
jumlah IBS dan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat.
Tabel 3. Jumlah IBS dan Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan KabKota 2008
– 2013 Unit dan persen
No Kabupaten
Kota 2008
2010 2013
IBS Laju
pertumbuhan IBS
Laju pertumbuhan
IBS Laju
Pertumbuhan 1
Bogor 664
5.58 648
5.09 697
6.04 2
Sukabumi 272
3.90 267
4.02 254
4.7 3
Cianjur 98
3.92 90
4.53 96
4.67 4
Bandung 889
4.04 862
5.88 1012
5.96 5
Garut 140
5.30 158
5.34 184
4.82 6
Tasikmalaya 30
5.31 33
4.27 53
4.46 7
Ciamis 109
4.69 94
5.07 84
5.09 8
Kuningan 41
4.02 35
4.99 36
4.84 9
Cirebon 490
4.95 447
4.96 321
4.83 10
Majalengka 459
4.28 433
4.59 413
4.87 11
Sumedang 84
4.91 75
4.22 77
4.6 12
Indramayu 112
4.57 80
4.03 81
3.33 13
Subang 27
4.57 26
4.34 27
3.1 14
Purwakarta 164
4.58 159
5.77 161
7.39 15
Karawang 287
4.55 325
11.87 529
7.92 16
Bekasi 698
1.66 802
6.18 1114
6.11 17
Bandung Barat 166
4.33 159
5.47 170
5.94 18
Kota Bogor 95
4.24 92
6.14 93
5.86 19
Kota Sukabumi 22
4.87 20
6.11 20
4.88 20
Kota Bandung 745
10.84 680
8.45 476
8.87 21
Kota Cirebon 54
11.10 48
3.81 48
4.79 22
Kota Bekasi 194
6.07 186
5.84 191
6.81 23
Kota Depok 99
6.42 89
6.36 95
6.92 24
Kota Cimahi 134
4.77 139
5.3 139
5.18 25
Kota Tasikmalaya
107 5.70
62 5.73
65 5.92
26 Kota Banjar
15 4.82
20 5.28
21 5.34
Jumlah 6.195
133.99 6.029
143.64 6.457
143.24 rata - rata
238,26 5,1
231,88 5,5 248,34
5,6
Sumber : BPS Jawa Barat, 2013
Berdasarkan Tabel 3, perkembangan industri di Provinsi Jawa Barat dimulai pada tahun 2008 sebesar 6.195 unit, pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar
6.029 unit, pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 6.457 unit. Dampak dari terjadinya krisis global di tahun 2009
– 2010 menngakibatkan penurunan jumlah industri pada tahun 2010. Meningkat kembali di tahun 2013 disebabkan
kestabilan ekonomi pada tahun tersebut. Hal itu mendorong meningkatnya kembali jumlah IBS di Provinsi Jawa Barat dan membuat perkembangan industri
mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat ditunjukan dari data
laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat yang semakin meningkat di setiap tahun dari tahun 2008 sebesar 5,1 , tahun 2010 5,5 dan tahun 2013 5,6 .
Aglomerasi industri manufaktur di Jawa Barat masih terkonsentrasi di Kabupaten Bandung, Kota bandung , Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan yang menjadi
daerah perluasan aglomerasi yaitu Kabupaten Karawang, hal itu dapat dilihat dari data perkembangan jumlah IBS di Provinsi Jawa Barat Sementara secara sektoral
industri yang paling dominan di Jawa Barat adalah industri tekstil, dan pakaian jadi yang banyak terdapat di daerah Bandung. Didukung juga oleh letak geografis
Jawa Barat yang mengelilingi Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia. Penelitian dari Arifin 2006 tentang Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur
Berbasis Perikanan di Jawa Timur Studi Kasus Industri Besar Sedang diperoleh hasil daerah industri dan non industri. SIG yang digunakan digunakan untuk
mengidentifikasi dimana industri manufaktur cenderung berkumpul atau membentuk kluster. Sehingga penelitian ini akan menunjukkan konsentrasi spasial
yang terjadi di Jawa Timur yang dapat menimbulkan ketimpangan distribusi lokasi industri manufaktur antar pulau yang cukup besar.
Sedangkan yang membedakan dari penelitian ini adalah dari lokasi yang berada di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2008 hingga tahun 2013. Provinsi Jawa Barat
yang memiliki jumlah industri terbesar di wilayah KBI menjadikan indikasi awal dalam penelitian ini, tahun 2008 merupakan tahun dimana terjadinya kenaikan
harga bahan bakar minyak BBM yang berdampak pada sektor industri manufaktur,terjadinya penurunan jumlah IBS pada tahun tersebut. Hal ini
menjadikan indikasi terjadi atau tidaknya aglomerasi di wilayah tersebut. Serta
membatasi faktor lainnya yang berpengaruh dalam terjadinya aglomerasi industri manufaktur di Provinsi Jawa Barat menjadi beberapa faktor yaitu: Pertumbuhan
ekonomi , Jumlah tenaga kerja sektor industri, dan biaya tenaga kerja upah. Faktor lainnya yang menjadi penyebab terjadinya aglomerasi yaitu adanya tenaga
kerja sektor industri yang mendorong Struktur perekonomian suatu negara sebagai salah satu indikator dalam menilai kinerja pembangunan ekonominya. Tenaga
kerja merupakan salah satu faktor produksi penting dalam struktur biaya usaha, karena perusahaan membayar upah sebagai balas jasa terhadap perusahaan . Teori
perubahan struktural menyatakan bahwa mekanisme yang memungkinkan negara- negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian
dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi perkotaan, serta memiliki sektor industri
manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa yang tangguh Todaro dan Smith, 2006.
Kawasan industri di Jawa Barat merupakan bagian dari Greater Jakarta dan Bandung, maka akan terlihat fenomena yang cukup menarik untuk diamati lebih
lanjut. Di wilayah Jawa Barat terdapat kecenderungan perkembangan aktifitas industri manufaktur di kota-kota inti dalam hal ini Kabupaten Bogor sebagai core
dari greater Jakarta dan Bandung terlihat menurun. Sementara itu di kota-kota pinggiran fringe region seperti Bekasi, Karawang, Purwakarta aktifitas industri
manufaktur justru semakin meningkat.
Fakta ini dapat dilihat dari sudut pangsa tenaga kerja, nilai tambah maupun jumlah perusahaan yang beroperasi di wilayah ini. Berikut merupakan data jumlah tenaga
kerja sektor industri di Provinsi Jawa Barat. Tabel 4. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Besar Dan Sedang di
Provinsi Jawa Barat Berdasarkan KabKota 2008, 2010, 2013Jiwa
No Kabupaten Kota
2008 2010
2013 Total
TKSI 1
Bogor 222.445
180.148 177.316
402.593 2
Sukabumi 86.620
68.192 123.929
154.812 3
Cianjur 11.764
9.386 15.025
21.150 4
Bandung 207.261
139.819 166.104
347.080 5
Garut 21.415
16.630 20.487
38.045 6
Tasikmalaya 2.258
1.764 6.201
10.223 7
Ciamis 8.263
5.315 4.546
18.124
8 Kuningan
4.049 2.498
2.920 9.467
9 Cirebon
5.4679 34.303
23.488 112.470
10 Majalengka
30.412 19.861
28.643 78.916
11 Sumedang
32.356 21.284
22.564 76.204
12 Indramayu
5.793 4.116
9.662 19.571
13 Subang
16.580 14.287
27.992 58.859
14 Purwakarta
73.057 51.142
53.527 177.726
15 Karawang
134.203 136.591
187.100 457.894
16 Bekasi
290.562 235.889
278.169 804.620
17 Bandung Barat
42.541 28.487
33.398 104.426
18 Kota Bogor
28.024 20.213
19.466 67.703
19 Kota Sukabumi
5.774 3.361
3.343 12.478
20 Kota Bandung
132.408 89.545
78.189 300.142
21 Kota Cirebon
8.094 5.383
4.621 18.098
22 Kota Bekasi
62.141 50.668
57.074 169.883
23 Kota Depok
37.263 27.529
31.164 95.956
24 Kota Cimahi
110.999 94.037
72.711 277.747
25 Kota Tasikmalaya
9.792 5.520
6.421 21.733
26 Kota Banjar
2.860 3.140
4.407 10.407
Jumlah 1.641.613 1.269.108 1.458.467 3.866.327
Sumber : BPS Jawa Barat, 2013
Berdasarkan Tabel 4, jumlah pekerja yang terserap oleh sektor industri pengolahan Jawa Barat pada tahun 2008 berjumlah 1.641.613 jiwa, pada tahun
2010 berjumlah 1.269.108, dan pada 2013 berjumlah 1.458.467. Dampak terjadinya krisis ekonomi dan pemutusan hubungan kerja PHK besar-besaran
oleh perusahaan tersebut menjadikan indikasi menurunnya jumlah tenaga kerja
sektor industri di setiap tahunnya. Daerah yang paling banyak menyerap tenaga kerja pada tahun 2008 -2013 adalah Kabupaten Bekasi dengan jumlah pekerja
sebanyak 804.620 jiwa. Sedangkan yang paling sedikit menyerap tenaga kerja adalah Kabupaten Kuningan yang hanya menyerap 9.467 jiwa. Akibat pemekaran
wilayah ditahun 2000 menjadikan distribusi tenaga kerja sektor industri belum merata, hal itu juga di pengaruhi oleh jumlah IBS di wilayah tersebut. Jumlah
Tenaga Kerja memiliki pengaruh positif terhadap jumlah IBS, dimana tenaga kerja akan mencari kerja di lokasi yang terkonsentrasi.
Selain tenaga kerja sektor industri ada faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya aglomerasi industri manufaktur di Provinsi Jawa Barat yaitu upah yang
merupakan biaya input yang harus dikeluarkan oleh perusahaan memiliki kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah untuk mendukung dan
melindungi kedua belah pihak. Penetapan UMK yang terlalu tinggi di suatu daerah akan menyebabkan peningkatan biaya produksi yang harus dikeluarkan
oleh suatu perusahaan. Sehingga salah satu daya tarik keputusan berlokasi di suatu tempat adalah dengan tingkat upah yang rendah. Berikut merupakan data upah
minimum kabupatenkota UMK di Provinsi Jawa Barat.
Tabel 5. Upah Minimum KabupatenKota UMK di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan KabKota 2008
– 2013 Rupiah
NO. KABUPATENKOTA
2008 2010
2013
1 Kota Bandung
939.000,00 1.118.000,00 1.538.703,- 2
Kabupaten Bandung 895.980,00 1.060.500,00 1.388.333,-
3 Kabupaten Bandung Barat
895.980,00 1.105.225,00 1.396.399,- 4
Kota Cimahi 910.894,00 1.107.304,00 1.388.333,-
5 Kabupaten Sumedang
886.000,00 1.058.978.00 1.381.700,- 6
Kabupaten Cianjur 616.000,00
743.500,00 970.000,-
7 Kabupaten Sukabumi
571.500,00 671.500,00 1.201.020,-
8 Kota Sukabumi
700.000,00 850.000,00 1.050.000,-
9 Kota Bogor
830.000,00 971.200.00 2.002.000,-
10 Kabupaten Bogor
873.231,00 1.056.914,00 2.002.000,- 11
Kota Depok 962.500,00 1.157.000,00 2.042.000,-
12 Kabupaten Majalengka
605.000,00 720.000,00
850.000,- 13
Kota Cirebon 682.000,00
840.000,00 1.082.500,- 14
Kabupaten Cirebon 661.000,00
825.000.00 1.081.300,- 15
Kabupaten Kuningan 572.000,00
700.000,00 857.000,-
16 Kabupaten Indramayu
696.000,00 854.145,00 1.125.000,-
17 Kabupaten Garut
588.500,00 735.000,00
965.000,- 18
Kota Tasikmalaya 632.500,00
780.000,00 1.045.000,- 19
Kabupaten Tasikmalaya 621.500,00
775.000,00 1.035.000,- 20
Kabupaten Ciamis 573.146,00
699.815,00 854.075,-
21 Kota Banjar
570.000,00 689.800,00
950.000,- 22
Kabupaten Purwakarta 763.000,00
890.000,00 1.693.167,- 23
Kabupaten Subang 630.000,00
746.400,00 1.220.000,- 24
Kabupaten Karawang 912.225,00 1.111.000,00 2.000.000,-
25 Kota Bekasi
990.000,00 1.155.000,00 2.100.000
26 Kabupaten Bekasi
980.000,00 1.168.974,00 2.002.000
Sumber : Dinas Ketenagakerjaan Jawa Barat, 2013
Berdasarkan Tabel 5, menunjukan bahwa UMK tertinggi terdapat di Kota Bekasi sebesar Rp 990.000 pada tahun 2008, pada tahun 2010 Rp 1.168.974 di
Kabupaten Bekasi dan pada tahun 2013 Rp 2.042.000 di Kota Depok. Sedangkan untuk UMK terendah tahun 2008 terdapat di Kota Banjar Rp 570.000, tahun 2010
terdapat di Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 671.500 dan tahun 2013 terdapat di Kabupaten Majalengka sebesar Rp 850.000. sehingga perlunya upah yang juga
tinggi untuk memenuhinya. Penetapan nilai UMK yang harus dibayar oleh perusahaan adalah sesuai dengan kebijakan pemerintah masing-masing daerah.
Hal ini berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak KHL yang berbeda-beda di setiap
KabupatenKota. Hipotesis yang digunakan adalah UMK yang semakin kecil pada suatu wilayah akan mempercepat pembentukan aglomerasi sektor industri
manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur. Jumlah
upah memiliki pengaruh positif terhadap jumlah industri dengan melihat konsep “penghematan aglomerasi” melalui konsep eksternalitas, dalam hal ini upah
merupakan penghematan skala ekonomis Scott, 1992. infrastruktur jalan merupakan urat nadi perekonomian yang menghubungkan
kegiatan ekonomi antar wilayah sehingga distribusi barang dan jasa dapat bergerak dengan lancar Taryono dan Ekwarso, 2013. Pentingnya pembangunan
jalan akan mempermudah akses kemajuan suatu daerah.Dengan jalan yang baik, proses distribusi barang dan jasa akan mudah dilakukan. Keberadaan jalan dengan
sendirinya akan menghidupkan berbagai aktivitas ekonomi suatu daerah. Sehingga pembangunan jalan yang baik akan membuka peluang bagi kemajuan dan
tumbuhnya berbagai kegiatan ekonomi. Berikut merupakan data kondisi Infrastruktur jalan di Indonesia, dalam
perekonomian sangat penting sebagai pendorong peningkatan mobilitas dan aksesibilitas suatu industri.
Tabel 6. Kondisi Infrastruktur Indonesia Tahun 2008 – 2013
Tahun Panjang Jalan Menurut
Tingkat Kewenangan km
2008 476.373
2010 487.314
2013 496.607
Sumber: Statistik Indonesia, 2012
Tabel 6 merupakan kondisi infrastruktur Indonesia periode Tahun 2008 – 2013
panjang jalan provinsi. Infrastruktur panjang jalan menurut tingkat kewenangan negara, provinsi, dan kabupaten, selama kurun waktu 3 tahun mengalami
peningkatan pada Tahun 2013 panjang jalan sebesar 496.607 Km. Panjang jalan beraspal yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan propinsi
maupun jalan kabupatenkota di masing masing kabupatenkota. Kondisi jalan yang baik dan sedang diharapkan lebih menentukan kelancaran kegiatan ekonomi
dibandingkan jalan yang rusak, sehingga panjang jalan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memasukkan jalan yang rusak.