HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN MENGANDUNG PURIN DENGAN HIPERURISEMIA DI PUSKESMAS SUKARAJA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2014

(1)

ABSTRAK

HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN MENGANDUNG PURIN DENGAN HIPERURISEMIA DI PUSKESMAS SUKARAJA BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2014

Oleh:

ANGGA ALPIANSYAH

Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari 7,0 mg/dL pada laki-laki dan lebih dari 5,7 mg/dL darah pada wanita. Hingga saat ini kejadian pasti hiperurisemia dimasyarakat masih belum jelas.Kejadian hiperurisemia disebabkan oleh berbagai faktor resiko dan salah satunya adalah konsumsi makanan yang mengandung purin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi makanan mengandung tinggi purin sebagai faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014. Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatancase control, penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling dan memiliki 176 responden yang terdiri dari 88 orang responden sebagai kasus hiperurisemia dan 88 orang responden kontrol dengan kadar asam urat normal. Pada hasil penelitian yang memiliki konsumsi purin yang tidak baik, memiliki resiko 4,882 kali lebih tinggi untuk mengalami hiperurisemia daripada orang yang memiliki konsumsi yang baik dengan nilai P sebesar 0,001 dan interval kepercayaan 95% (1,174-13,691). Hal ini berarti konsumsi makanan mengandung purin merupakan faktor resiko terjadinyahiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung tahun 2014. Kata Kunci: Faktor Resiko, Hiperurisemia, Kasus Kontrol, Konsumsi Makanan.


(2)

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN CONSUMPTION OF FOODS CONTAINING PURINE WITH HYPERURICEMIA IN SUKARAJA

PUBLIC HEALTH CENTER BANDAR LAMPUNG 2014

By:

ANGGA ALPIANSYAH

Hyperuricemia is elevated uric acid levels in the blood, more than 7.0 mg / dL in men and more than 5.7 mg / dL in women. Until recently, the incidence of hyperuricemia in society is still unclear. The incidence of hyperuricemia caused by a variety of risk factors and one of them is the consumption of foods containing purines. The purpose of this study is to determine the consumption of foods containing high purine as a risk factor for hyperuricemia in Sukaraja Public Health Center Bandar Lampung 2014. This study is a case-control study approach. This study use consecutive sampling technique and has 176 respondents consisting 88 case respondents with hyperuricemia and 88 control respondents with normal uric acid level. People who have bad purine consumption, they have 4.882 times higher risk for experiencing hyperuricemia than those who have good purine consumption with P value of 0.001 and convidence interval 95% (1,174-13,691). This means that the consumption of foods containing purines is a risk factor for hyperuricemia in Sukaraja Public Health Center Bandar Lampung 2014. Keywords: Case Control, Food Consumption, Hyperuricemia, Risk Factors.


(3)

Oleh

ANGGA ALPIANSYAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Hiperurisemia ... 7

B. Diet ... 12

C. Konsep Perilaku Kesehatan ... 13

D. Metode Survei Konsumsi Pangan untuk Individu ... 16

1. Metode Food Recall 24 jam ... 16

2. Metode Estimated Food Records ... 18

3. Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency) ... 19

E. Kerangka Penelitian ... 21


(8)

2. Kerangka Konsep ... 22

F. Hipotesis ... 22

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 23

A. Rancangan Penelitian ... 23

B. Tempat dan Waktu ... 23

C. Populasi dan Sampel ... 24

D. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 27

1. Identifikasi Variabel... 27

2. Definisi Operasional ... 28

E. Prosedur Penelitian ... 28

F. Pengolahan dan Analisis Data ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Hasil Penelitian ... 33

1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 33

2. Karakteristik Responden ... 33

3. Analisis Univariat ... 36

4. Analisis Bivariat... 37

B. Pembahasan ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Kesimpulan ... 46


(9)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Sintesis Asam Urat ... 11 2. Skema Kerangka Teori... 7 3. Kerangka Konsep ... 8


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Daftar Makanan yang Mengandung Purin ... 12

2. Pengelompokkan Bahan Makanan Menurut Kadar Purin ... 13

3. Identifikasi variabel dan definisi operasional ... 28

4. Distribusi Jenis Kelamin Responden ... 35

5. Distribusi Usia Responden ... 35

6. Hasil Konsumsi Makanan yang Mengandung Purin ... 36 7. Hasil Uji Statistik Konsumsi Makanan Mengandung Purin Terhadap

Kadar Asam Urat ... 37


(12)

1. SURAT KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK

2. SURAT SELESAI MELAKUKAN PENELITIAN DI PUSKESMAS SUKARAJA KOTA BANDAR LAMPUNG

3. SURAT IZIN PENELITIAN DINAS KESEHATAN

4. SURAT IZIN PENELITIAN BADAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK

5. LEMBAR INFORMED CONSENT

6. KUISIONER KONSUMSI MAKANAN MENGANSUNG PURIN 7. TABEL HASIL KONTROL

8. TABEL HASIL KASUS

9. HASIL REKAPITULASI MAKANAN 10. ANALISA DATA


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja Sumatera Selatan pada tanggal 26 Maret 1992, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak Alm. Kamaruddin, SEdan Ibu Ismiyati.

Pendidikan penulis dimulai dari pendidikan TK Taman Siswa, Bandar Lampungdiselesaikan pada tahun 1997, SD diselesaikan di SD 2 Labuhan Ratu Bandar Lampung pada tahun 2004, SMP diselesaikan diSMP 25 Bandar Lampung pada tahun 2007 dan SMA diselesaikan di SMA YP UNILA Bandar Lampungpada tahun 2010.

Tahun2011,penulis terdaftarsebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(14)

SANWACANA

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa terhaturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.

Proposal penelitian dengan judul “Hubungan konsumsi makanan mengandung purin dengan hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung tahun 2014” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. BapakProf.Dr.Ir.Sugeng P.Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedoketran Universitas Lampung.

3. dr. M. Yusran, M.Sc., Sp.M., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penulisan proposal penelitian ini.


(15)

4. dr. TA Larasati, M.Kes., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyusunan proposal penelitian ini.

5. dr. Sahab Sibuea, M.Sc.,selaku Penguji Utama. Terimakasih atas waktu, ilmu serta saran-saran yang telah diberikan.

6. dr. Ety Apriliana, M. Biomed., selaku Pembimbing Akademik atas nasehat dan bimbingannya selama berada di FK Unila.

7. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mama (Ismiyati), atas kiriman do’anya setiap saat dan setiap sholat, kesabaran, keikhlasan, kasih sayang, perhatian dan segala sesuatu yang telah dan akan selalu diberikan kepada penulis. Papa (Alm. Kamaruddin, SE) yang selalu memberikan do’a, semangat berpendidikan tinggi, pelajaran hidup, perencanaan masa depan, motivasi yang kuat, dan semangat berjuang yang tinggi.

8. Kepada saudara sekandung saya dr. Ika Artini dan Andri Depriansyah, yang selalu menghibur serta menemani penulis dikala gundah.

9. Terima kasih Rizki Amalia Sari atas semangat, kesabaran, do’a, kasih sayang, perhatian, canda tawa dan menemani langkah saya selama ini. 10. Terima kasih kepada Kepala Puskesmas Sukaraja beserta jajarannya yang

telah membantu dalam penelitian yang telah saya lakukan.

11. Terima kasih kepada Kgs. Mahendra Effendy atas saran dan masukannya selama penelitian ini berjalan.


(16)

12. Para sahabat saya Rozi, Ibor, Ate, Tegar, Tagor yang telah menemani dari awal belajar, membagi kasih sayang, canda tawa, kebersamaan dan persahabatan selama ini.

13. Terima kasih kepada Resti, Ika, Budiman dan Tata atas saran dan masukannya selama penelitian ini berjalan.

14. Kepada teman-teman Cherry (Adit, Yogie, Rozi, Ferly, Tagor, Prianggara, Fadil, Dika, Diano, Vandy, Tegar, Robby, Ibor, Bajie, Danar, Amal, Desta, Filla, Anwar, Ate, Ario, Satria, Nor, Gulbud) yang selalu berpetualang tak tentu arah.

15. Tutorial 3 semester 7 terkasih, Jaya, Berta, Neola, Eja, Maradewi, Selvia, Purin, Kevin, Fitri dan Yuda Ayu, sebagai salah satu pelengkap puzzle di FK Unila tercinta.

16. Teman-teman FK Unila 2011 serta seluruh civitas akademika FK Unila yang selalu menemani dalam pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari proposal penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap proposal ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala perhatian, kebaikan dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan dari Allah SWT. Terima kasih.

Bandar Lampung, 1 januari 2015 Penulis


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah, lebih dari 7,0 mg/dL pada laki-laki dan lebih dari 5,7 mg/dL darah pada wanita (Soeroso dan Algristian, 2011). Hiperurisemia adalah hasil dari interaksi multifaktor antara jenis kelamin, umur, genetik, dan faktor lingkungan. Kondisi seperti konsumsi alkohol, obesitas, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, diabetes mellitus, litiasis, gagal ginjal, dan penggunaan obat-obatan seperti diuretik, siklosporin, dan aspirin dosis rendah berkaitan dengan hiperurisemia. Hiperurisemia dapat berkembang menjadi berbagai penyakit seperti gout, penyakit kardiovaskular, dan sindrom metabolik lainnya (Liu et al, 2011).

Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hiperurisemia adalah ekskresi asam urat menurun (90% pasien) atau sintesis asam urat meningkat (10% pasien). Keadaan eksresi asam urat yang menurun terdapat pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal, penyakit jantung, terapi obat-obatan seperti diuretik, dan penurunan fungsi ginjal karena usia. Sedangkan keadaan sintesis asam urat meningkat terdapat pasien-pasien dengan predisposisi genetik, diet


(18)

tinggi purin dan konsumsi alkohol. Selain hiperurisemia ada beberapa faktor resiko yang dapat membuat seseorang menjadi lebih mudah untuk terkena penyakit atritis gout. Secara garis besar, terdapat 2 faktor resiko untuk pasien dengan penyakit atritis gout, yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia dan jenis kelamin. Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah pekerjaan, Glomerular Filtration Rate (GFR), kadar asam urat dan penyakit-penyakit penyerta lainnya seperti Diabetes Melitus (DM), hipertensi, dan dislipidemia yang membuat individu tersebut memiliki resiko lebih besar untuk terserang penyakit atritis gout (Sylvia, 2006).

Prevalensi hiperurisemia berbeda-beda pada setiap golongan umur dan meningkat pada usia 30 tahun pada pria dan usia 50 tahun pada wanita (Liu et al, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mc Adam - De Maro et al (2013), dari 8.342 orang yang diteliti selama 9 tahun, insidensi kumulatifnya adalah 4%, yakni 5% pada pria dan 3% pada pada wanita. Pada studi hiperurisemia di rumah sakit akan ditemukan angka prevalensi yang lebih tinggi antara 17-28% karena pengaruh penyakit dan obat-obatan yang diminum penderita. Prevalensi hiperurisemia pada penduduk di Jawa Tengah adalah sebesar 24,3% pada laki-laki dan 11,7% pada perempuan (Hensen dan Putra, 2007).

Prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis tenaga kesehatan di Indonesia adalah 11,9% dan berdasar diagnosis atau gejala 24,7%.


(19)

Prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Bali (19,3%), diikuti Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%). Di Provinsi Lampung sendiri, Prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis tenaga kesehatan adalah 11,5% dan berdasar diagnosis atau gejala 18,9% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

Kadar asam urat serum merupakan refleksi dari perilaku makan. Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolism purin dan memakan makanan tinggi purin akan mengakibatkan meningkatnya kadar asam urat total. Makanan tinggi yang protein mengandung banyak purin (Villegas et al, 2012).

Pada penelitian ini, peneliti telah melakukan survei mengenai kejadian hiperurisemia pada tahun 2014 di tiga Puskesmas, yaitu Puskesmas Kupang Kota, Puskesmas Sumur Batu, dan Puskesmas Sukaraja. Pada Puskesmas Kupang Kota, terdapat 985 orang atau 7,37% mengalami hiperurisemia dari 13.363 pasien yang berkunjung. Pada Puskesmas Sumur Batu, terdapat 907 orang atau 7,35% mengalami hiperurisemia dari 12.335 pasien yang berkunjung. Pada Puskesmas Sukaraja, terdapat 1.786 orang atau 12,59% mengalami hiperurisemia dari 14.190 pasien yang berkunjung. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian hiperurisemia terbanyak diantara ketiga Puskesmas tersebut adalah di Puskesmas Sukaraja.


(20)

Wilayah kerja Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung adalah daerah tepi pantai. Tepat di belakang Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung terdapat pasar ikan sehingga konsumsi makanan hasil laut pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung cukup tinggi. Menurut Wahyuningsih (2013), makanan hasil laut seperti ikan sarden, ikan makarel, remis, dan kerang merupakan diet tinggi purin sehingga dapat memicu hiperurisemia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, yang menjadi perumusan masalah yaitu “Apakah konsumsi makanan mengandung tinggi purin merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung tahun 2014?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui konsumsi makanan mengandung tinggi purin sebagai faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran konsumsi makanan mengandung purin dengan hiperurisemia pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014.


(21)

b. Mengetahui gambaran kadar asam urat darah pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas

Membantu mengidentifikasi masalah makanan yang mengandung purin dengan kadar asam urat darah di wilayah kerja Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung.

2. Bagi Masyarakat

Sebagai bahan masukan untuk mengetahui tentang hubungan konsumsi makanan yang mengandung purin dengan kadar asam urat darah khususnya bagi penderita dalam pencegahannya.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat menambah bahan referensi dan dapat menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut tentang kadar asam urat darah di Indonesia khususnya.

4. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta wawasan peneliti khususnya tentang makanan yang mengandung purin yang mengakibatkan kadar asam urat dalam darah dan sebagai upaya pencegahannya serta sebagai aplikasi ilmu pengetahuan yang telah peneliti peroleh selama penelitian.


(22)

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

A. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk melakukan penelitian-penelitian yang lain atau serupa atau yang lebih lanjut terkait dengan hiperurisemia.

E. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dibuat berupa skema sederhana yang menggambarkan secara singkat proses pemecahan masalah yang dikemukakan dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Gambar 2. Skema Kerangka Teori

Usia

↑Usia Proses Degenerasi  ↓Fungsi Ginjal ↓Eksresi

Asam Urat ↑Kadar Asam Urat Darah Jenis Kelamin Penyakit Metabolik Seperti Hipertensi dan Diabetes Mellitus

Konsumsi Makanan yang Mengandung

Purin

Obat-obatan yang Meningkatkan Kadar Asam Urat

Obesitas

Pada Pria Tidak Ada Estrogen  Tidak ada ↑Eksresi Asam Urat oleh

Estrogen

↑Kerja Ginjal Kelelahan Ginjal ↓Fungsi Ginjal 

↓Eksresi Asam Urat

↑Konsumsi Purin ↑Produksi Asam Urat

↑Produksi Asam Urat + ↓Absorpsi Asam Urat

Obesitas ↑Adiposa  ↑Produksi Asam Urat +


(23)

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau teori-teori yang mendukung penelitian tersebut. Oleh sebab itu, kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel serta hubungan variabel yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kerangka konsep akan mengarahkan kits untuk menganalisis hasil penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas maka penulis membuat kerangka konsep penelitian sebagai berikut.

Gambar 3. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti membuat hipotesis sebagai berikut, “Konsumsi makanan mengandung purin merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung tahun 2014”.

Kasus

Kontrol

Konsumsi Makanan Mengandung Purin

Kadar Asam Urat Darah


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah. Untuk laki-laki, ambang normalnya dalam darah adalah 7,0 mg/dL. Adapun pada perempuan normalnya adalah 5,7 mg/dL darah (Soeroso dan Algristian, 2011).

Penegakkan diagnosa hiperurisemia meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya faktor keturunan, kelainan atau penyakit lain sebagai penyebab hiperurisemia sekunder. Pemeriksaan fisik untuk mncari kelainan atau penyakit sekunder seperti tanda-tanda anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskuler dan tekanan darah, keadaan dan tanda kelainan ginjal serta kelainan pada sendi. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk mengarahkan dan memastikan peyebab hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin asam urat darah, kreatinin darah, pemeriksaan urin rutin, dan kadar asam urat urin 24 jam (Putra, 2009).


(25)

Saat ini kejadian pasti hiperurisemia di masyarakat masih belum jelas. Pada studi hiperurisemia di rumah sakit akan ditemukan angka prevalensi yang lebih tinggi antara 17-28% karena pengaruh penyakit dan obat-obatan yang diminum penderita. Prevalensi hiperurisemia pada penduduk di Jawa Tengah adalah sebesar 24,3% pada laki-laki dan 11,7% pada perempuan (Hensen dan Putra, 2007). Dalam penelitian yang dilakukan oleh McAdam-DeMaro et al (2013), dari 8.342 orang yang diteliti selama 9 tahun, insidensi kumulatifnya adalah 4%, yakni 5% pada pria dan 3% pada pada wanita. Prevalensi hiperurisemia berbeda-beda pada setiap golongan umur dan meningkat pada usia 30 tahun pada pria dan usia 50 tahun pada wanita (Liu et al, 2011).

Kejadian hiperurisemia disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik, usia, jenis kelamin, berat badan berlebih dan diet (Liu et al, 2011; Villegas et al, 2012; Lee et al, 2013). Gen PPARγ berperan dalam meningkatkan kadar asam urat. Gen PPARγ berhubungan dengan aktivitas xantin oksidase maupun xantin reduktase, glukosa, tekanan darah, obesitas dan metabolisme lipid (Lee et al, 2013).

Hiperurisemia juga berhubungan dengan usia, prevalensi hiperurisemia meningkat di atas usia 30 tahun pada pria dan di atas usia 50 tahun pada wanita. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi proses degeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Penurunan fungsi ginjal akan menghambat eksresi dari asam urat dan akhirnya menyebabkan hiperurisemia (Liu et al, 2011).


(26)

Jenis kelamin juga mempengaruhi kadar asam urat. Prevalensi pria lebih tinggi daripada wanita untuk mengalami hiperurisemia. Hal ini dikarenakan wanita memiliki hormon estrogen yang membantu dalam eksresi asam urat. Hal ini menjelaskan mengapa wanita pada post-menopause memiliki resiko hiperurisemia (Mc Adam-De Maro et al, 2013).

Obesitas memiliki peran dalam terjadinya hiperurisemian. Pada orang yang mengalami obesitas, akan terjadi penumpukan adipose yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan produksi asam urat dan penurunan eksresi asam urat (Lee et al, 2013).

Berdasarkan patofisiologisnya, hiperurisemia atau peningkatan asam urat terjadi akibat beberapa hal, yaitu peningkatan produksi asam urat, penurunan eksresi asam urat, dan gabungan keduanya. Peningkatan produksi asam urat terjadi akibat peningkatan kecepatan biosintesa purin dari asam amino untuk membentuk inti sel DNA dan RNA. Peningkatan produksi asam urat juga bisa disebabkan asupan makanan kaya protein dan purin atau asam nukleat berlebihan. Asam urat akan meningkatkan dalam darah jika eksresi atau pembuangannya terganggu. Sekitar 90 % penderita hiperurisemia mengalami gangguan ginjal dalam pembuangan asam urat ini. Dalam kondisi normal, tubuh mampu mengeluarkan 2/3 asam urat melalui urin (sekitar 300 sampai denga 600 mg per hari). Sedangkan sisanya dieksresikan melalui saluran gastrointestinal (Soeroso dan Algristian, 2011).


(27)

Purin terdapat dalam semua makanan yang mengandung protein. Contoh makanan yang mengandung tinggi purin adalah jeroan (misalnya, pankreas dan timus), ikan asin, ikan sarden, daging kambing, sapi, hati, ikan salmon, ginjal, ayam kalkun dan lain-lain. Kadar asam urat serum merupakan refleksi dari perilaku makan. Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin dan konsumsi makanan tinggi purin akan mengakibatkan meningkatnya kadar asam urat total (Villegas et al, 2012).

Asam urat juga berhubungan dengan berbagai penyakit seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus dan berbagai penyakit metabolik lainnya. Mekanisme terjadinya hiperurisemia pada penyakit metabolik adalah karena peningkatan kerja ginjal sehingga lama-kelamaan menyebabkan kelelahan ginjal dan menurunkan kerja ginjal sehingga eksresi asam urat berkurang (Jin et al, 2012; Gustafsson dan Unwin, 2013). Peningkatan asam urat juga dapat menyebabkan peningkatan C-Reactive Protein (CRP). CRP merupakan biomarker terjadinya inflamasi sistemik, yang kemudian mempermudah terjadinya penyakit metabolik seperti hipertensi dan penyakit kardiovaskular (Krishnan, 2014).

Purin adalah protein yang termasuk dalam golongan nukleo-protein. Selain didapat dari makanan, purin juga berasal dari penghancuran sel-sel tubuh yang sudah tua. Pembuatan atau sintesis purin juga bisa dilakukan oleh tubuh sendiri dari bahan-bahan seperti CO2, glutamin, glisin, asam urat, dan asam folfat. Diduga metabolit purin diangkut ke hati, lalu mengalami oksidasi


(28)

menjadi asam urat. Kelebihan asam urat dibuang melalui ginjal dan usus (Sutrani et al, 2004).

Gambar 1. Sintesis Asam Urat (Jin et al, 2012).

Manusia mengubah adenosin dan guanosin menjadi asam urat. Adenosin mula-mula diubah menjadi inosin oleh adenosin deaminase. Selain pada primata tingkat tinggi, uratase (uricase) mengubah asam urat menjadi alatoin, suatu produk yang larut-air pada mamalia. Namun, karena manusia tidak memiliki uratase, produk akhir metabolism purin adalah asam urat. Ketika kadar asam urat serum melebihi batas kelarutannya, terjadilah kristalisasi natrium urat di jaringan lunak dan sendi sehingga menimbulkan reaksi inflamasi, artritis gout. Namun, sebagian besar kasus gout mencerminkan gangguan pengaturan asam urat di ginjal (Murray et al, 2006).


(29)

B. Diet

Asam urat merupakan hasil pemecahan dari purin. Oleh karena itu, makanan yang mengandung tinggi purin seharusnya dihindari. Makanan yang mengandung tinggi purin contohnya adalah jeroan (misalnya, pankreas dan timus), ikan smelt, ikan sarden, dan mussels. Makanan yang memiliki purin cukup tinggi seperti ikan asin, ikan trout, haddock, scallops, daging kambing, sapi, hati, ikan salmon, ginjal, dan ayam kalkun. Purin terdapat dalam semua makanan yang mengandung protein. Oleh karena itu, penghentian konsumsi sumber purin secara total tidak dapat dilakukan (Sutrani et al, 2004).

Tabel 1. Daftar Makanan yang Mengandung Purin (Apriyanti, 2013)

Makanan Purin

(mg/100 gram) Kopi ,Cokelat 2300 Limpa domba/kambing 773

Hati sapi 554

Ikan Barden 480 Jamur kuping 448

Limpa sapi 444

Daun melinjo 366 Paru-paru sapi 339 Kangkung ,bayam 290 Ginjal sapi 269 Jantung sapi 256

Hati ayam 243

Jantung domba /kambing 241

Ikan teri 239

Udang 234

Biji melinjo 222 Daging kuda 200 Kedelai dan kacang 190 Dada ayam dengan kulit 175 Daging ayam 169 Daging angsa 165

Lidah sapi 160


(30)

Menghindari mengkonsumsi purin sangatlah tidak mungkin karena purin terdapat dalam hampir seluruh makanan yang mengandung protein sehingga yang dapat dilakukan adalah membatasi kadar purin yang dikonsumsi. Kadar purin maksimal yang dapat dikonsumsi oleh pasien gout adalah 100-150 mg/hari (Soeroso dan Algristian, 2011).

Tabel 2. Pengelompokkan Bahan Makanan Menurut Kadar Purin (Wahyuningsih, 2013)

Kelompok Contoh Bahan Makanan

Kelompok 1 Kandungan Purin Tinggi

(100-1000 mg purin/100 gram bahan makanan)

Otak, hati, jantung, ginjal, jeroan, ekstrak daging/kaldu, bouillon, bebek, ikan sarden, makarel, remis, kerang

Kelompok 2 Kandungan Purin Sedang

(9-100 mg purin/100 gram bahan makanan)

Maksimal 50-75 gram (1-1½ potong) daging, ikan atau unggas, atau 1 mangkok (100 gram) sayuran sehari

Daging sapi dan ikan (kecuali yang termasuk kelompok 1), ayam, udang, kacang kering beserta olahannya seperti tahu dan tempe, asparagus, bayam, jamur, kembang kol, daun singkong, kangkung, daun dan biji melinjo Kelompok 3

Kandungan Purin Rendah

(dapat diabaikan, dapat dimakan setiap hari)

Nasi, ubi, singkong, jagung, roti, mie, bihun, tepung beras, cake, kue kering, pudding, susu, keju, telur, lemak dan minyak, gula, sayuran dan buah-buahan (kecuali sayuran dalam kelompok 2)

C. Konsep Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2010).


(31)

Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap dan tindakan proaktif untuk memelihara dan mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit (Notoatmodjo, 2010).

Seorang ahli kesehatan Becker mengklasifikasikan perilaku kesehatan yaitu: 1. Perilaku hidup sehat

Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.

2. Perilaku sakit (illness behavior)

Perilaku, sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang: penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya.

3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior)

Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup semua hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarga) yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick-role). Perilaku ini meliputi:

a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

b. Mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/ penyembuhan penyakit yang layak.

Mengetahui hak seperti hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan ha lainya serta kewajiban orang sakit seperti memberitahukan


(32)

penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya.

Perilaku kesehatan yang mempengaruhi asam urat adalah: 1. Menjaga berat badan sehat

Penderita gout biasanya pria atau wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan memiliki berat badan berlebih. Tapi harus diingat bahwa penurunan berat badan yang cukup signifikan dalam waktu singkat justru bisa menyebabkan serangan gout. Oleh karena itu, secara perlahan turunkan berat badan sampai mencapai berat yang sehat. Setelah mendapatkan berat badan yang sehat, pertahankan dengan mengonsumsi nutrisi yang tepat serta olahraga rutin untuk menurunkan kadar asam urat. Ini akan membantu menghindari terjadinya serangan gout.

2. Hindari konsumsi alkohol

Alkohol dalam jumlah banyak terutama bir dan wine, memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Alkohol juga mencegah pengeluaran asam urat oleh ginjal melalui saluran kencing, sehingga asam urat terus menumpuk di dalam tubuh.

3. Meningkatkan asupan susu dan produk susu lainnya

Susu, yoghurt, dan keju yang rendah lemak merupakan produk susu yang dianggap membantu penderita gout.

4. Minum banyak air

Minumlah minimal delapan gelas air dalam sehari. Cairan yang kandungan kafein dan kalorinya rendah membantu menghilangkan asam


(33)

urat dari aliran darah. Karena air putih adalah cairan yang paling murni, maka minumlah air putih lebih banyak dari minuman lainnya.

5. Konsumsi buah dan sayuran yang rendah kandungan purin Buah-buahan segar seperti strawberi, blueberi, pisang, dan ceri adalah beberapa buah yang harus dikonsumsi oleh penderita gout dalam diet harian mereka. Sayuran yang bisa dikonsumsi oleh penderita gout antara lain seledri, tomat, kol, peterseli, dan kale.

6. Mengonsumsi obat dan suplemen yang dianjurkan oleh dokter Penderita gout harus berkonsultasi dengan dokter mengenai kondisi dan penyakitnya. Dokter biasanya akan memberikan resep obat-obatan ataupun suplemen tambahan untuk membantu menghilangkan atau mengurangi kadar asam urat dalam darah (Mandel, 2008).

D. Metode Survei Konsumsi Pangan untuk Individu 1. Metode Food Recall 24 jam

Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu, biasanya 24 jam. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT, setelah itu baru dikonversikan ke dalam satuan berat (Zuraida dan Angraini, 2013).

Kelebihan metode food recall 24 jam antara lain:

a. Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden. b. Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan


(34)

c. Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden. d. Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.

e. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari (Thompson dan Byer, 1994).

Kekurangan metode food recall 24 jam antara lain:

a. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan satu hari.

b. Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden. Oleh karena itu, responden harus mempunyai daya ingat yang baik, sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia 7 tahun, orang tua berusia 70 tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang yang pelupa.

c. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung untuk melaporkan konsumsinya lebih sedikit (under estimate).

d. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

e. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.

f. Untuk mendapat gambaran konsumsi makanan sehari-hari recall jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, akhir pekan, pada


(35)

saat melakukan upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain (Thompson dan Byers, 1994).

2. Metode Estimated Food Records

Metode estimated food records disebut juga food records atau dietary records, yang digunakan untuk mencatat jumlah yang dikonsumsi. Responden diminta mencatat semua yang respnden makan dan minum setiap kali sebelum makan. Menimbang dalam ukuran berat pada periode tertentu, termasuk cara persiapan dan pengelolaan makanan. Metode ini dapat memberikan informasi konsumsi yang mendekati sebenarnya tentang jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi oleh individu (Thompson dan Byers, 1994).

Kelebihan metode estimated food records antara lain: a. Metode ini relatif murah dan cepat.

b. Dapat menjagkau sampel dalam jumlah besar. c. Dapat diketahui konsumsi zat gizi sehari.

d. Hasilnya relatif lebih akurat (Thompson dan Byers, 1994).

Kekurangan metode estimated food records antara lain:

A. Metode ini terlalu membebani responden, sehingga sering menyebabkan responden merubah kebiasaan makannya.


(36)

C. Sangat tergantung pada kejujuran dan kemampuan responden dalam mencatat dan memperkirakan jumlah konsumsi (Thompson dan Byers, 1994).

3. Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)

Food Frequency Questionare/FFQ dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan untuk memperoleh informasi pola asumsi pangan. Metode ini untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu. Meliputi hari, minggu, bulan, atau tahun, sehingga diperoleh gambaran pola konsumsi makanan secara kualitatif. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kuantitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Zuraida dan Angraini, 2013).

Beberapa jenis FFQ adalah sebagai berikut:

a. Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi sehingga menggunakan standar porsi. b. Semiquantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi


(37)

c. Quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi, seperti kecil, sedang atau besar (Zuraida dan Angraini, 2013).

Kelebihan metode frekuensi makanan: a. Relatif murah dan sederhana.

b. Dapat dilakukan sendiri oleh responden. c. Tidak membutuhkan latihan khusus.

d. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan (Thompson dan Byers, 1994).

Kekurangan metode frekuensi makanan antara lain: a. Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari. b. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data. c. Cukup menjemukan bagi pewawancara.

d. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner.

e. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi (Thompson dan Byers, 1994).


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan dalam penelitian ini adalah rancangan analitik dengan pendekatancase control, yaitu suatu penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospective (Notoatmodjo, 2010).Studi kasus kontrol dilakukan dengan mengindentifikasi kelompok kasus dan kelompok kontrol, kemudian secara retrospektif diteliti faktor-faktor resiko yang mungkin dapat menerangkan apakah kasus dan kontrol dapat terkena paparan atau tidak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi makanan mengandung tinggi purin sebagai faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung dan akan dimulai setelah proposal skripsi ini disetujui.


(39)

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi bukan hanya orang, tetapi juga benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh obyek atau subyek itu (Notoatmodjo, 2010).

Terdapat dua jenis populasi dalam penelitian ini, yaitu populasi kasus dan populasi kontrol. Populasi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan hiperurisemia yang berkunjung di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung pada 3 bulan terakhir di Puskesmas Sukaraja yang berjumlah rata-rata 112 orang. Populasi kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tanpa hiperurisemia yang berkunjung di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung yang berjumlah sama dengan populasi kasus.

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel yang digunakan dalam penilitian ini adalah seluruh pasien yang terdiri dari pasien dengan hiperurisemia simptomatik berjumlah 88 orang dan pasien yang tidak mengalami hiperurisemia dengan jumlah yang sama yaitu 88 orang, dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010).


(40)

n = 87,5 di bulatkan menjadi 88 sampel

Keterangan: n : Ukuran sampel

N: Besar sampel populasi sasaran

d: derajat ketetapan yang di inginkan 0,05 (5%)

Subjek atau populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang memeriksakan kesehatannya tentang asam urat di Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung.

1. Kriteria Kasus a. Kriteria inklusi

1) Pasien yang berobat di Puskesmas Sukaraja dengan hiperurisemia simptomatik yaitu bengkak disertai rasa panas dan kemerahan pada sendi ibu jari kaki atau sendi kaki lainnya, nyerinya mendadak dan timbul pada malam hari.

2) Pasien bersedia menandatangani informed consent dan mengikuti penelitian ini.


(41)

b. Kriteria eksklusi

1) Pasien yang mengkonsumsi alupurinol dalam 36 jam terakhir. 2) Pasien yang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat

meningkatkan kadar asam urat seperti diuretik, siklosporin, dan aspirin dosis rendah.

3) Pasien yang mengalami obesitas (BMI > 30). 4) Pasien dengan hipertensi.

5) Pasien dengan diabetes mellitus.

6) Pasien memiliki riwayat gangguan fungsi ginjal seperti batu saluran kemih, nefritis, glomerulonefritis, gagal ginjal dan kanker ginjal.

2. Kriteria Kontrol a. Kriteria inklusi

1) Pasien yang berobat di Puskesmas Sukaraja yang tidak mengalami hiperurisemia.

2) Pasien bersedia menandatangani informed consent dan mengikuti penelitian ini.

3) Pasien berumur 30-69 tahun. b. Kriteria eksklusi

1) Pasien yang mengkonsumsi alupurinol dalam 36 jam terakhir. 2) Pasien yang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat

meningkatkan kadar asam urat seperti diuretik, siklosporin, dan aspirin dosis rendah.


(42)

3) Pasien yang mengalami obesitas (BMI > 30). 4) Pasien dengan hipertensi.

5) Pasien dengan diabetes mellitus.

6) Pasien memiliki riwayat gangguan fungsi ginjal seperti batu saluran kemih, nefritis, glomerulonefritis, gagal ginjal dan kanker ginjal.

D. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

1. Identifikasi Variabel

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan untuk satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2010).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan variabel: a. Variabel Bebas (Independent)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsumsi makanan yang mengandung purin pasien.

b. Variabel Terikat (Dependent)


(43)

2. Definisi Operasional

Tabel 3. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Instrument Hasil ukur Skala Ukur

1 Kadar Asam urat darah

Jumlah

kandungan asam urat yang berada dalam darah

Pengambilan sampel dalam darah

Uji tes asam urat darah dengan alat

easy touch GCU

Nilai kadar asam urat dalam darah: Normal

Pria: 3,5-7 mg/dl Wanita: 2,6-6 mg/dl Tinggi

Pria: > 7 mg/dl Wanita: > 6 mg/dl

Ordinal 2 Perilaku responden terhadap makanan yang mengandung Purin Usaha responden dalam menjaga konsumsi makanan yang mengandung purin Wawancara Kuisioner Semiquantita tive Food Frequency

Perilaku Diet Purin: Baik: < 150 mg purin/hari

Tidak Baik: > 150 mg purin/hari

Ordinal

E. Prosedur Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat Tes Asam Urat Darah Easy Touch GCU, lembar informed consent dan Kuisioner Semiquantitative Food Frequency.

2. Bahan Penelitian Kapas, Alkohol 3. Cara Kerja

a. Sebelum dilakukan perlakuan, pasien diminta untuk membaca dan menantangani lembar informed consent.


(44)

b. Ambil chip warna kuning masukan ke dalam alat untuk cek alat. c. Apabila pada layar muncul “OK” artinya alat siap dipakai.

d. Setiap botol strip pada gula darah, asam urat dan kolestrol terdapat chip test.

e. Gunakan chip asam urat untuk test asam urat

f. Pada layar akan muncul angka/kode sesuai pada botol strip. g. Setelah itu akan muncul gambar tetes darah dan kedip-kedip.

h. Masukan jarum pada lancing/alat tembak berbentuk pen dan atur kedalaman jarum sesuai nomor.

i. Gunakan tisu alkohol untuk membersihkan ujung jari.

j. Tembakkan jarum pada ujung jari lalu tekan supaya darah keluar. k. Darah disentuh pada tepi samping strip dan bukan ditetes diatas

tengah strip alat test darah.

l. Sentuh pada bagian garis yang terdapat tanda panah.

m. Darah akan langsung meresap sampai ujung strip dan bunyi beep. n. Tunggu sebentar, hasil akan keluar beberapa detik pada layar. o. Cabut jarumnya dari lancing juga stripnya dan buang.

p. Meminta pasien untuk mengisi kuisioner semiquantitative food frequency.

F. Pengolahan dan Analisis Data

Jenis Data 1. Kuantitatif


(45)

Kuantitatif yaitu skor dari variabel yang diteliti, meliputi konsumsi makanan yang mengandung purin, dan hiperurisemia.

2. Observasi langsung tentang kejadian hiperurisemia berdasarkan hasil diagnosis melalui tes asam urat darah.

Sumber Data 1. Data Primer

Data primer yaitu data yang langsung diambil dari responden dengan menggunakan cheklist dengan pedoman pada wawancara dan observasi. 2. Data Sekunder

Data sekunder dari Puskesmas Sukaraja kota Bandar Lampung berupa keterangan mengenai keadaan profil Puskesmas dan jumlah pasien dengan hiperurisemia simptomatik yang berkunjung di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung.

3. Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data dengan wawancara menggunakan kuesioner yang sudah tervaliditas dan tereabilitas untuk mengetahui pengetahuan dan perilaku. Sedangkan pengambilan data untuk melihat apakah responden mengalami peningkatan kadar asam urat darah maka dilakukan observasi dengan dasar hasil uji kadar asam urat darah.

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumus tertentu


(46)

(Notoatmodjo, 2010). Pengolahan dan analisis data meliputi kegiatan sebagai berikut.

1. Penyunting (Editing)

Editing adalah memeriksa kembali data yang telah terkumpul untuk mengecek kelengkapan dan kebenaran data jika ada kekeliruan akan diperbaiki.

2. Pengkodean (Coding)

Pemberian atau pembuatan kode-kode dan tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka-angka atau huruf-huruf yang memberikan petunjuk/identitas pada suatu informasi atau data yang akan dianalisis.

3. Memasukkan data (Entry)

Entry data dilakukan dengan memasukkan data pada jawaban yang telah terkumpul sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.

4. Pembersihan data (Cleaning)

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan dan kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi (Notoatmodjo, 2010).


(47)

Analisis Data

1. Analisa Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel, baik bebas, dan variabel terikat. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan statistik sederhana yaitu persentasi atau proporsi.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dapat dilakukan dengan uji parametrik yaitu Chi-Square untuk mengetahui hubungan (Dahlan, 2011) yang signifikan antara masing-masing variabel bebas dan variabel terikat. Dasar pengambilan hipotesis penelitian berdasarkan pada signifikan (nilai p) yaitu:

a. Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak. b. Jika nilai p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.

Penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan case control, yang bertujuan untuk mencari faktor resiko dengan melihat nilai odds ratio. Odds Ratio (OR) adalah ukuran asosiasi paparan (faktor resiko) dengan kejadian penyakit; dihitung dari angka kejadian penyakit pada kelompok beresiko (terpapar faktor resiko) dibanding angka kejadian penyakit pada kelompok yang tidak beresiko (tidak terpapar faktor resiko).


(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1-30 November 2014 di Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung yang memiliki wilayah kerja di Kecamatan Bumi Waras Kota Bandar Lampung dengan luas 374,2 Ha. Puskesmas ini memiliki 5 kelurahan binaan yaitu Kelurahan Sukaraja, Kelurahan Bumi Waras, Kelurahan Bumi Raya, Kelurahan Garuntang dan Kelurahan Kangkung. Secara Topografi, wilayah kerja Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung merupakan tanah yang kurang subur. Sebagian wilayah dipergunakan untuk pemukiman penduduk, sebagian lainnya untuk industri, gudang dan daerah pantai. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sukaraja pada tahun 2013 adalah sebanyak 63.464 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebesar 13.206 kepala keluarga.


(49)

2. Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini, responden merupakan pasien yang datang dengan berbagai keluhan ke Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung. Masyarakat sebelumnya telah dihimbau oleh Kepala Puskesmas agar besedia menjadi responden peneliti. Agar masyarakat tertarik untuk menjadi responden peneliti, masyarakat tidak dipungut biaya dalam pemeriksaan kadar asam urat darah. Masyarakat juga diperbolehkan bertanya dan mendapatkan saran mengenai kadar asam urat dan konsumsi makanan mengandung purin yang baik.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 176 orang, dimana 88 orang merupakan responden untuk kontrol dan 88 orang lainnya merupakan responden untuk kasus. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

consecutive sampling, dimana peneliti memeriksa pasien yang datang ke Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung dan bersedia menjadi responden untuk diperiksa kadar asam uratnya. Setelah pemeriksaan kadar asam urat, peneliti mengelompokkan respoden menjadi responden untuk sampel kasus dan sampel kontrol. Pemeriksaan tersebut dilakukan hingga kuota responden yang telah ditentukan terpenuhi, yaitu 88 orang untuk masing-masing sampel kasus dan kontrol.


(50)

a. Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini, responden berjumlah 176 orang. Dari 176 orang responden tersebut, terdapat 71 orang atau sebanyak 41,3 % laki-laki dan 105 orang atau 59,7% perempuan. Untuk menggambarkan distribusi jenis kelamin responden dalam penelitian ini, peneliti menyajikan data sebagai berikut.

Tabel 4. Distribusi Jenis Kelamin Responden

Kelompok

Laki-laki Perempuan

P-value Jumlah

Persentase

(%) Jumlah

Persentase (%)

Kasus 40 45,46 48 54,54

0,219

Kontrol 31 35,23 57 64,77

Pada responden kasus terdapat 40 orang atau sebanyak 45,46% responden laki-laki dan 48 orang atau sebanyak 54,54% responden perempuan. Pada responden control terdapat 31 orang atau sebanyak 35,23% responden laki-laki dan 57 orang atau sebanyak 64,77% responden perempuan. P-value dari tabel di atas adalah 0,219 sehingga tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dengan kelompok kasus dan kontrol karena P-valuelebih dari 0,05.

b. Usia

Dalam penelitian ini, responden berasal dari berbagai macam golongan usia mulai dari usia 23 tahun hingga usia 69 tahun. Untuk


(51)

melihat distribusi usia responden dalam penelitian ini, peneliti menyajikan data sebagai berikut.

Tabel 5. Distribusi Usia Responden

Usia (Tahun) Frekuensi Persentase (%)

≤ 30 28 15,9

31-50 90 51,1

≥ 51 58 33

Total 176 100

Berdasarkan tabel di atas, peneliti mengelompokkan usia responden menjadi 3 kelompok yaitu kelompok usia kurang dari sama dengan 30 tahun, usia 31 hingga 50 tahun dan usia lebih dari sama dengan 51 tahun. Dari 176 orang responden, terdapat 28 orang atau sebanyak 15,9 % berada pada kelompok usia kurang dari sama dengan 30 tahun, 90 orang atau 51,1% berada pada kelompok usia 31-50 tahun dan 58 orang atau 33% berada pada kelompok usia lebih dari sama dengan 51 tahun.

3. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsumsi makanan yang mengandung purin. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar asam urat darah.


(52)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung, didapatkan hasil mengenai konsumsi makanan yang mengandung purin sebagai berikut.

Tabel 6. Hasil Konsumsi Makanan yang Mengandung Purin Konsumsi Makanan

yang Mengandung Purin Frekuensi

Persentase (%)

Baik 25 14,2

Tidak Baik 151 85,8

Total 176 100

Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 25 orang responden atau 14,2% memiliki konsumsi makanan yang mengandung purin dengan kategori baik. Sedangkan 151 orang responden atau 85,8% lainnya memiliki konsumsi makanan yang mengandung purin dengan kategori tidak baik.

4. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara masing-masing variabel bebas dan variabel terikat. Untuk mempermudah pembacaan hasil, hasil disajikan dengan tabel tabulasi silang sebagai berikut.

Tabel 7. Hasil Tabulasi Silang Konsumsi Makanan Mengandung Purin Dengan Kadar Asam Urat

Hiperurisemia Tidak Hiperurisemia Jumlah Konsumsi Makanan Mengandung Purin

Tidak Baik 83 68 151

Baik 5 20 25


(53)

Berdasarkan tabel di atas, pada responden yang memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang tidak baik terdapat 151 orang. Dari 151 orang tersebut, 83 orang mengalami hiperurisemia dan 68 orang lainnya tidak mengalami hiperurisemia. Pada responden yang memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang baik terdapat 25 orang. Dari 25 orang tersebut, 5 orang mengalami hiperurisemia dan 20 orang tidak mengalami hiperurisemia. Untuk mengatahui nilai odds ratiodari tabel di atas, dapat digunakan perhitungan sebagai berikut.

Odds Ratio = ad/bc

Odds Ratio = 83x20/68x5

Odds Ratio = 4,882

Pada uji chi square, didapatkan nilai P sebesar 0,001 dengan CI 95% (1,174-13,691). Odds ratio dalam penelitian ini adalah 4,882. Hal tersebut berarti orang yang mengkonsumsi makanan mengandung purin yang tidak baik, memiliki peluang sebesar 4,882 kali memiliki kadar asam urat darah yang tinggi atau hiperurisemia dibandingkan dengan masyarakat yang mengkonsumsi makanan mengandung purin yang baik.

B. Pembahasan

Hiperurisemia terjadi saat terdapat penumpukan asam urat dalam tubuh secara berlebihan, baik akibat produksi yang meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang menurun, atau akibat peningkatan asupan makanan kaya purin. Setiap orang memiliki asam urat di dalam tubuh, karena pada setiap metabolisme normal dihasilkan asam urat. Sedangkan pemicunya adalah


(54)

makanan, dan senyawa lain yang banyak mengandung purin. Untuk mengetahui apakah seseorang memiliki tingkat kadar asam urat tinggi atau rendah dapat digunakan alat pengukur digital seperti yang dilakukan dalam penelitian ini seperti Easy Touch GCU.

Dalam penelitian ini penentuan makanan yang paling banyak dikonsumsi dan yang memiliki kadar purin yang tinggi, didapatkan dari kuisioner

semiquantitative food record yang dimodifikasi oleh peneliti agar mencakup makanan yang mengandung purin terbanyak. Kuisioner ini berisi nama-nama makanan seperti hati, jeroan, kerang, daging bebek, ikan sarden, daging sapi, daging ayam, udang, kacang-kacangan, tempe, tahu, bayam, kangkung, daun singkong, melinjo dan kopi. Dalam pelaksanaanya, peneliti menyebutkan nama-nama makanan tersebut beserta ukurannya lalu menanyakan kepada responden mengenai seberapa sering responden mengkonsumsi makanan tersebut selama satu minggu terakhir.

Setelah itu, peneliti mendapatkan data mengenai konsumsi purin responden yang merupakan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung. Apabila diurutkan dari makanan yang paling sering dikonsumsi hingga makanan yang paling jarang dikonsumsi oleh responden adalah tempe, tahu, daging ayam, kacang-kacangan, kopi, bayam, kangkung, daun singkong, daging sapi, ikan sarden, udang, melinjo, jeroan, hati, daging bebek dan kerang. Namun, apabila dilihat dari kandungan purinnya, urutan tersebut menjadi berubah. Apabila makanan tersebut diurutkan dari makanan


(55)

yang memiliki kandungan purin terbanyak dan paling sering dikonsumsi hingga yang memiliki kandungan purin paling sedikit dan paling jarang dikonsumsi oleh responden adalah kopi, tahu, bayam, kangkung, tempe, danging ayam, ikan sarden, daging sapi, melinjo, daun singkong, kacang-kacangan, jeroan, udang, hati, daging bebek dan udang. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa 5 besar makanan yang paling banyak dikonsumsi dengan kandungan purin terbanyak adalah kopi, tahu, bayam, kangkung, tempe dan daging ayam.

Hasil survei konsumsi makanan yang mengadung purin menunjukkan bahwa dari 176 sampel, terdapat 25 responden atau 14,2% memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang baik. Sedangkan 151 responden atau 85,8% lainnya memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang tidak baik.

Pada hasil penelitian juga didapatkan terdapat 5 orang yang mengalami hiperurisemia namun memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakjujuran saat menjawab kuisioner yang diberikan oleh peneliti maupun karena sebab lain yang disebabkan oleh kurangnya uji screening yang dilakukan oleh peneliti.

Selain itu, terdapat 68 orang yang memiliki kadar asam urat normal namun memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang tidak baik. Hal ini

mungkin sebabkan oleh responden yang menggunakan obat-obat


(56)

diberikan oleh peneliti. Menurut Fauzi (2014), seseorang yang mengkonsumsi makanan mengandung tinggi purin hingga menyebabkan penyakit asam urat dapat bervariasi pada setiap individu antara satu sampai sepuluh tahun dengan rata-rata satu sampai dua tahun.

Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value sebesar 0,001. Berdasarkan kriteria uji Chi Square dapat dilihat bahwa p-value < α (0,001 < 0,05), dengan

demikian Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat diartikan bahwa konsumsi makanan mengandung tinggi purin merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung tahun 2014.

Pada penelitian ini didapatkan nilai odds ratio (OR) sebesar 4,882. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang tidak baik, memiliki peluang sebesar 4,882 kali memiliki kadar asam urat darah yang tinggi atau hiperurisemia dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki konsurnsi makanan mengandung purin yang baik. Namun sayangnya, nilai interval kepercayaan 95% dalam penelitian ini adalah 1,174 - 13,691. Nilai tersebut terbilang cukup lebar sehingga mungkin hasil yang didapatkan oleh peneliti kurang mewakili populasi yang ada. Hal ini disebabkan karena semakin sempit nilai interval kepercayaan maka semakin besar kemungkinan sampel mewakili populasi dan sebaliknya semakin lebar nilai interval kepercayaan maka semakin besar kemungkinan sampel tidak mewakili populasi (Dahlan, 2011).


(57)

Adapun hal yang dapat menyebabkan nilai interval kepercayaan 95% yang lebar dalam penelitian ini adalah karena metode pemilihan sampel yang digunakan. Penelitian ini menggunakan pemilihan sampel dengan consecutive sampling yang merupakan metode sampling yang tidak acak. Sehingga memungkinkan sampel tidak mewakili populasi.

Apabila dibandingkan dengan penelitian lain, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hensen dan Putra (2007), dimana didapatkan nilai odds ratio sebesar 60,182 dengan nilai P kurang dari 0,001. Walaupun terdapat perbedaan nilai odds ratio, penelitian Hensen dan Putra (2007) menunjukkan bahwa konsumsi purin tinggi merupakan faktor resiko hiperurisemia. Perbedaan odds ratio dapat ditimbulkan oleh berbagai hal seperti populasi, kebudayaan, perilaku makan, ketersediaan pangan dan lain-lain.

Sebelumnya pada tahun 1997, penelitian Onno et al menunjukkan bahwa konsumsi daging tinggi memiliki peluang 6,94 kali lebih tinggi untuk mengalami hiperurisemia dengan nilai p kurang dari 0,01. Selain itu, konsumsi makanan berlemak tinggi memiliki peluang 4,05 kali lebih tinggi untuk mengalami hiperurisemia dengan nilai p kurang dari 0,01.

Menurut Zang et al (2012), orang yang mengkonsumsi makanan yang


(58)

untuk mengalami hiperurisemia. Hal ini diperkuat dengan nilai CI 95% sebesar 1,22-3,76 dengan nilai p kurang dari 0,001.

Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolism purin (nukleoprotein). Purin berasal dari makanan, penghancuran yang sudah tua, serta hasil sintesa dari bahan-bahan yang ada di dalam tubuh, seperti: CO2, glutamin, Glisin, asam folat. Asam urat sendiri adalah sampah dari hasil metabolisme normal dari pencernaan protein makanan yang mengandung purin (terutama dari daging, hati, ginjal, dan beberapa, jenis sayuran seperti kacang-kacangan dan buncis).

Seperti yang telah dibahas dalam tinjauan pustaka, kadar asam urat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, penyakit metabolik, konsumsi makanan mengandung purin, obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar asam urat dan obesitas. Melalui berbagai macam jalur, faktor tersebut dapat meningkatkan kadar asam urat yang akan membuat bias pada penelitian. Oleh karena itu peneliti membuat kriteria inklusi dan kriteria eksklusi untuk mengatasi hal tersebut.

Akan tetapi, walaupun peneliti telah mengkondisikan responden agar tidak menimbulkan bias, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan tersebut adalah masih terdapat responden yang berusia tua yang mungkin lupa terhadap konsumsi makanannya selama seminggu, responden mungkin lupa terhadap makanan yang ia makan selama satu minggu terakhir,


(59)

responden mungkin tidak terlalu serius menanggapi pertanyaan peneliti sehingga menjawab dengan seadanya, peneliti mungkin kurang memberikan penjelasan kepada responden sehingga mungkin responden salah tafsir terhadap yang dijelaskan oleh peneliti dan penelitian ini tidak menggunakan uji screening terhadap penyakit metabolik seperti DM, gagal ginjal dan penyakit metabolik lainnya yang mungkin pasien sendiri mungkin tidak menyadari bahwa ia menderita salah satu penyakit metabolik tersebut.

Dalam penelitian Ryu et al (2014), konsumsi makanan yang mengandung kadar purin tinggi seperti daging, ikan dan kerang lebih tinggi pada responden dengan hiperurisemia. Sedangkan konsumsi sayuran, rumput laut dan produk olahan susu lebih rendah pada responden dengan hiperurisemia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana responden dengan hiperurisemia cenderung mengkonsumsi makan yang mengandung purin tinggi. Namun, dalam penelitian ini, sayuran seperti kangkung dan bayam banyak dikonsumsi oleh responden dengan hiperurisemia. Hal tersebut dapat disebabkan karena kangkung dan bayam mengandung kadar purin yang cukup tinggi sehingga perlu dibatasi dan dalam penelitian yang dilakuan Ryu et al (2014) tidak terdapat kejelasan sayuran apa saja yang dikonsumsi oleh respondennya.

Selain konsumsi makanan mengandung purin, hiperurisemia memiliki berbagai faktor resiko. Hiperurisemia disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik, usia, jenis kelamin, berat badan berlebih dan diet (Liu et al, 2011; Villegas et al, 2012; Lee et al, 2013). Menurut Qiu et al(2013), faktor resiko


(60)

hiperurisemia adalah jenis kelamin, tempat tinggal, usia, hiperkolestrolemia, hipertrigliseridemia, hipertensi, obesitas, perilaku meminum air dan waktu tidur. Adapun faktor resiko lain yang dapat ditelusuri dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, dan tempat tinggal.

Menurut Liu et al (2011), prevalensi hiperurisemia meningkat di atas usia 30 tahun pada pria dan di atas usia 50 tahun pada wanita. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang peneliti lakukan, dimana terdapat 17 orang yang mengalami hiperurisemia di bawah usia 31 tahun, 36 orang yang mengalami hiperurisemia diantara usia 31-50 tahun dan 35 orang yang mengalami hiperurisemia di atas usia 50 tahun.

Menurut Mc Adam-De Maro et al (2013), pria memiliki resiko yang lebih tinggi dari pada wanita untuk mengalami hiperurisemia. Hal ini dikarenakan wanita memiliki hormon estrogen yang membantu dalam eksresi asam urat. Namun dalam penelitian ini didapatkan hasil yang berbeda yakni hanya 40 orang laki-laki dan 48 orang perempuan yang mengalami hiperurisemia. Namun perbedaan tersebut dapat disebabkan karena dalam penelitian ini digunakan teknik consecutive sampling. Teknik ini menyebabkan proporsi antara laki-laki dan perempuan tidak sama karena lebih mengutamakan pemenuhan kuota responden yang mengalami hiperurisemia dan yang memiliki kadar asam urat yang normal.


(61)

Menurut Qiu et al (2013), tempat tinggal berpengaruh dengan hiperurisemia, dimana masyarakat pada daerah perkotaan terutama daerah pinggiran perkotaan lebih beresiko mengalami hiperurisemia. Hal ini sesuai dengan penelitian ini karena daerah sekitar Puskesmas Sukaraja merupakan daerah pinggiran perkotaan.


(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Konsumsi makanan mengandung tinggi purin merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 dengan nilai P= 0,001; OR= 4,882; dan CI (95%) = 1,174 - 13,691. 2. Makanan yang mengandung tinggi purin yang paling banyak

dikonsumsi dan dapat menyebabkan hiperurisemia pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 adalah kopi, tahu, bayam, kangkung, tempe dan daging ayam.

3. Kadar asam urat darah pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 berdasarkan penelitian ini bervariasi dari 2,6 mg/dl hingga 12,4 mg/dl. Adapun pada kelompok responden kontrol dominan pada kadar 5,6 mg/dl dan pada kelompok responden kasus dominan pada kadar 10,1 mg/dl.


(63)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mencoba memberikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Bagi tenaga kesehatan baik di Puskesmas, dan instansi terkait disarankan untuk dapat lebih meningkatkan promosi kesehatan khususnya bagi masyarakat yang mengalami hiperurisemia yaitu dengan mengadakan penyuluhan tentang hiperurisemia beserta akibatnya dan edukasi tentang pola makan terutama konsumsi makanan yang mengandung purin tinggi agar kadar asam urat darah tetap normal. 2. Bagi masyarakat, dengan hasil penelitian ini, disarankan dapat

semaksimal mungkin mengurangi asupan makanan yang banyak mengandung purin seperti jeroan (hati, usus, ampela), daging, kacang-kacangan, melinjo, burung unggas, teh dan kopi. Karena dapat meningkatkan kadar asam urat darah di dalam tubuh. Harapannya masyarakat dapat menjaga kesehatannya dengan lebih baik.

3. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan uji screening terlebih dahulu

untuk menghindari bias karena penyakit metabolik mungkin tidak pasien ketahui.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Adieni H. 2008. Asupan Karbohidrat, Lemak, Protein, Makanan Sumber Purin dan Kadar Asam Uratpada Vegetarian. Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Apriyanti M. 2013. Menu Sehat bagi Penderita Asam Urat. Yogyakarta: Pustaka Baru.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riskesdas 2013.

Terdapat dalam:

http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Ris kesdas2013.PDF [diakses pada 22 Oktober 2014].

Dahlan MS. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi ke-5. Jakarta: Salemba.

Fauzi I. 2014. Buku Pintar Deteksi Dini Gejala dan Pengobatan Asam Urat, Diabetes & Hipertensi. Yogyakarta: Araska.

Gustafsson D dan Unwin R. 2013. The Pathophysiology of Hyperuricaemia and Its Possible Relationship to Cardiovascular Disease, Morbidity and Mortality. BMC Nephrology. 14:164.

Hensen dan Putra TR.2007. Hubungan Konsumsi Purin dengan Hiperurisemia pada Suku Bali di Daerah Pariwisata Pedesaan. J Peny Dalam. 8(1): 37-43.

Jin M, Yang F, Yang I, Yin Y, Luo JJ, Wang H, Yang XF. 2012. Uric Acid, Hyperuricemia and Vascular Diseases. Front Biosci. 17: 656–669. Krishnan E. 2014. Interaction of Inflammation, Hyperuricemia, and the

Prevalence of Hypertension Among Adults Free of Metabolic Syndrome: NHANES 2009–2010. J Am Heart Assoc. 3(2): 1-10. Lee MF, Liou TH, Wang W, Pan WH, Lee WJ,Hsu CT, Wu SF, Chen HH.

2013. Gender, Body Mass Index, and PPARg Polymorphism are Good Indicators in Hyperuricemia Predictionfor Han Chinese. Genetic Testing and Molecular Biomarkers. 17(1): 40-46.


(65)

Liu B, Wang T, Zhao HN, Yue WW, Yu HP, Liu CX, Yin J, Jia RY, Nie HW. 2011. The Prevalence of Hyperuricemia in China: a Meta-Analysis. BMC Public Health. 11: 832.

Mandel BF. 2008. Clinical Manifestation of Hyperuricemia and Gout. Clev Clin J Med. 75(5): 5-8.

McAdams-DeMarco MA, Law A, Maynard JW, Coresh J, Baer AN. 2013. Risk Factors for Incident Hyperuricemia during Mid-Adulthood in African American and White Men and Women Enrolled in the ARIC Cohort Study. BMC Musculoskelet Disord. 14: 347.

Murray RK,Granner DK, Rodwell VW. 2006. Harper's Illustrated Biochemistry 27th Edition. New York: McGraw-Hill.

Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo S. 2010. Pengetahuan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ono K, Inaba R, Yoshida H, Iwata H. 1997. Evaluation of the relation of job stress and food intake to hyperuricemia. Nihon Koshu Eisei Zasshi. 44(4): 239-246.

Putra TR. 2009. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Qiu L, Cheng XQ, Wu J, Liu JT, Xu T, Ding HT, Liu YH, Ge ZM, Wang YJ, Han HJ, Liu J, Zhu GJ. 2013. Prevalence of hyperuricemia and its related riskfactors in healthy adults from Northern andNortheastern Chinese provinces. BMC Public Health. 13(664): 1-9.

Ryu KA, Kang HH, Kim SY, Yoo MK,Kim JS, Lee CH, Wie GA. 2014. Comparison of Nutrient Intake and Diet Quality BetweenHyperuricemia Subjects and Controls in Korea. Clin Nutr Res. 3(1): 56-63.

Soeroso J & Algristian H. 2011. Asam Urat. Jakarta: Penebar Plus.

Sutrani L, Alam S, Hadibroto I. 2004. Asam Urat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Thompson FE dan Byers T. 1994. Dietary assessment resource manual. J Nutr. 124(11): 2245S-2317S.


(66)

Villegas R, Xiang YB, Elasy T, Xu WH, Cai H, Cai Q,Linton MR, Fazio S, Zheng W, Shu XO. 2012. Purine-rich foods, protein intake, and the prevalence of hyperuricemia: The Shanghai Men’s Health Study. Nutr Metab Cardiovasc Dis. 22(5): 409-416.

Wahyuningsih R. 2013. Penatalaksanaan Diet pada Pasien. Yogyakarta: Graha Ilmu.

William PT. 2008. Effects of diet, physical activity and performance, and body weight on incident gout in ostensibly healthy, vigorously active men. Am J Clin Nutr. 87(5):1480–1487.

Zhang M, Chang H, Gao Y, Wang X, Xu W, Liu D, Li G, Huang G. 2012. Major dietary patterns and risk of asymptomatic hyperuricemia in Chinese adults.J Nutr Sci Vitaminol. 58(5): 339-345.

Zuraida R dan Angraini DI. 2013. Penilaian Konsumsi Pangan. Bandar Lampung: FK Universitas Lampung.


(1)

45

Menurut Qiu et al (2013), tempat tinggal berpengaruh dengan hiperurisemia, dimana masyarakat pada daerah perkotaan terutama daerah pinggiran perkotaan lebih beresiko mengalami hiperurisemia. Hal ini sesuai dengan penelitian ini karena daerah sekitar Puskesmas Sukaraja merupakan daerah pinggiran perkotaan.


(2)

46

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Konsumsi makanan mengandung tinggi purin merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 dengan nilai P= 0,001; OR= 4,882; dan CI (95%) = 1,174 - 13,691. 2. Makanan yang mengandung tinggi purin yang paling banyak

dikonsumsi dan dapat menyebabkan hiperurisemia pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 adalah kopi, tahu, bayam, kangkung, tempe dan daging ayam.

3. Kadar asam urat darah pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 berdasarkan penelitian ini bervariasi dari 2,6 mg/dl hingga 12,4 mg/dl. Adapun pada kelompok responden kontrol dominan pada kadar 5,6 mg/dl dan pada kelompok responden kasus dominan pada kadar 10,1 mg/dl.


(3)

47

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mencoba memberikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Bagi tenaga kesehatan baik di Puskesmas, dan instansi terkait disarankan untuk dapat lebih meningkatkan promosi kesehatan khususnya bagi masyarakat yang mengalami hiperurisemia yaitu dengan mengadakan penyuluhan tentang hiperurisemia beserta akibatnya dan edukasi tentang pola makan terutama konsumsi makanan yang mengandung purin tinggi agar kadar asam urat darah tetap normal. 2. Bagi masyarakat, dengan hasil penelitian ini, disarankan dapat

semaksimal mungkin mengurangi asupan makanan yang banyak mengandung purin seperti jeroan (hati, usus, ampela), daging, kacang-kacangan, melinjo, burung unggas, teh dan kopi. Karena dapat meningkatkan kadar asam urat darah di dalam tubuh. Harapannya masyarakat dapat menjaga kesehatannya dengan lebih baik.

3. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan uji screening terlebih dahulu untuk menghindari bias karena penyakit metabolik mungkin tidak pasien ketahui.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adieni H. 2008. Asupan Karbohidrat, Lemak, Protein, Makanan Sumber Purin dan Kadar Asam Uratpada Vegetarian. Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Apriyanti M. 2013. Menu Sehat bagi Penderita Asam Urat. Yogyakarta: Pustaka Baru.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riskesdas 2013.

Terdapat dalam:

http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Ris kesdas2013.PDF [diakses pada 22 Oktober 2014].

Dahlan MS. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi ke-5. Jakarta: Salemba.

Fauzi I. 2014. Buku Pintar Deteksi Dini Gejala dan Pengobatan Asam Urat, Diabetes & Hipertensi. Yogyakarta: Araska.

Gustafsson D dan Unwin R. 2013. The Pathophysiology of Hyperuricaemia and Its Possible Relationship to Cardiovascular Disease, Morbidity and Mortality. BMC Nephrology. 14:164.

Hensen dan Putra TR.2007. Hubungan Konsumsi Purin dengan Hiperurisemia pada Suku Bali di Daerah Pariwisata Pedesaan. J Peny Dalam. 8(1): 37-43.

Jin M, Yang F, Yang I, Yin Y, Luo JJ, Wang H, Yang XF. 2012. Uric Acid, Hyperuricemia and Vascular Diseases. Front Biosci. 17: 656–669. Krishnan E. 2014. Interaction of Inflammation, Hyperuricemia, and the

Prevalence of Hypertension Among Adults Free of Metabolic Syndrome: NHANES 2009–2010. J Am Heart Assoc. 3(2): 1-10. Lee MF, Liou TH, Wang W, Pan WH, Lee WJ,Hsu CT, Wu SF, Chen HH.

2013. Gender, Body Mass Index, and PPARg Polymorphism are Good Indicators in Hyperuricemia Predictionfor Han Chinese. Genetic Testing and Molecular Biomarkers. 17(1): 40-46.


(5)

Liu B, Wang T, Zhao HN, Yue WW, Yu HP, Liu CX, Yin J, Jia RY, Nie HW. 2011. The Prevalence of Hyperuricemia in China: a Meta-Analysis. BMC Public Health. 11: 832.

Mandel BF. 2008. Clinical Manifestation of Hyperuricemia and Gout. Clev Clin J Med. 75(5): 5-8.

McAdams-DeMarco MA, Law A, Maynard JW, Coresh J, Baer AN. 2013. Risk Factors for Incident Hyperuricemia during Mid-Adulthood in African American and White Men and Women Enrolled in the ARIC Cohort Study. BMC Musculoskelet Disord. 14: 347.

Murray RK,Granner DK, Rodwell VW. 2006. Harper's Illustrated Biochemistry 27th Edition. New York: McGraw-Hill.

Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo S. 2010. Pengetahuan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ono K, Inaba R, Yoshida H, Iwata H. 1997. Evaluation of the relation of job stress and food intake to hyperuricemia. Nihon Koshu Eisei Zasshi. 44(4): 239-246.

Putra TR. 2009. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Qiu L, Cheng XQ, Wu J, Liu JT, Xu T, Ding HT, Liu YH, Ge ZM, Wang YJ, Han HJ, Liu J, Zhu GJ. 2013. Prevalence of hyperuricemia and its related riskfactors in healthy adults from Northern andNortheastern Chinese provinces. BMC Public Health. 13(664): 1-9.

Ryu KA, Kang HH, Kim SY, Yoo MK,Kim JS, Lee CH, Wie GA. 2014. Comparison of Nutrient Intake and Diet Quality BetweenHyperuricemia Subjects and Controls in Korea. Clin Nutr Res. 3(1): 56-63.

Soeroso J & Algristian H. 2011. Asam Urat. Jakarta: Penebar Plus.

Sutrani L, Alam S, Hadibroto I. 2004. Asam Urat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Thompson FE dan Byers T. 1994. Dietary assessment resource manual. J Nutr. 124(11): 2245S-2317S.


(6)

Villegas R, Xiang YB, Elasy T, Xu WH, Cai H, Cai Q,Linton MR, Fazio S, Zheng W, Shu XO. 2012. Purine-rich foods, protein intake, and the prevalence of hyperuricemia: The Shanghai Men’s Health Study. Nutr Metab Cardiovasc Dis. 22(5): 409-416.

Wahyuningsih R. 2013. Penatalaksanaan Diet pada Pasien. Yogyakarta: Graha Ilmu.

William PT. 2008. Effects of diet, physical activity and performance, and body weight on incident gout in ostensibly healthy, vigorously active men. Am J Clin Nutr. 87(5):1480–1487.

Zhang M, Chang H, Gao Y, Wang X, Xu W, Liu D, Li G, Huang G. 2012. Major dietary patterns and risk of asymptomatic hyperuricemia in Chinese adults.J Nutr Sci Vitaminol. 58(5): 339-345.

Zuraida R dan Angraini DI. 2013. Penilaian Konsumsi Pangan. Bandar Lampung: FK Universitas Lampung.