Pembahasan HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN MENGANDUNG PURIN DENGAN HIPERURISEMIA DI PUSKESMAS SUKARAJA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2014

diberikan oleh peneliti. Menurut Fauzi 2014, seseorang yang mengkonsumsi makanan mengandung tinggi purin hingga menyebabkan penyakit asam urat dapat bervariasi pada setiap individu antara satu sampai sepuluh tahun dengan rata-rata satu sampai dua tahun. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value sebesar 0,001. Berdasarkan kriteria uji Chi Square dapat dilihat bahwa p-value α 0,001 0,05, dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat diartikan bahwa konsumsi makanan mengandung tinggi purin merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung tahun 2014. Pada penelitian ini didapatkan nilai odds ratio OR sebesar 4,882. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki konsumsi makanan mengandung purin yang tidak baik, memiliki peluang sebesar 4,882 kali memiliki kadar asam urat darah yang tinggi atau hiperurisemia dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki konsurnsi makanan mengandung purin yang baik. Namun sayangnya, nilai interval kepercayaan 95 dalam penelitian ini adalah 1,174 - 13,691. Nilai tersebut terbilang cukup lebar sehingga mungkin hasil yang didapatkan oleh peneliti kurang mewakili populasi yang ada. Hal ini disebabkan karena semakin sempit nilai interval kepercayaan maka semakin besar kemungkinan sampel mewakili populasi dan sebaliknya semakin lebar nilai interval kepercayaan maka semakin besar kemungkinan sampel tidak mewakili populasi Dahlan, 2011. Adapun hal yang dapat menyebabkan nilai interval kepercayaan 95 yang lebar dalam penelitian ini adalah karena metode pemilihan sampel yang digunakan. Penelitian ini menggunakan pemilihan sampel dengan consecutive sampling yang merupakan metode sampling yang tidak acak. Sehingga memungkinkan sampel tidak mewakili populasi. Apabila dibandingkan dengan penelitian lain, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hensen dan Putra 2007, dimana didapatkan nilai odds ratio sebesar 60,182 dengan nilai P kurang dari 0,001. Walaupun terdapat perbedaan nilai odds ratio, penelitian Hensen dan Putra 2007 menunjukkan bahwa konsumsi purin tinggi merupakan faktor resiko hiperurisemia. Perbedaan odds ratio dapat ditimbulkan oleh berbagai hal seperti populasi, kebudayaan, perilaku makan, ketersediaan pangan dan lain- lain. Sebelumnya pada tahun 1997, penelitian Onno et al menunjukkan bahwa konsumsi daging tinggi memiliki peluang 6,94 kali lebih tinggi untuk mengalami hiperurisemia dengan nilai p kurang dari 0,01. Selain itu, konsumsi makanan berlemak tinggi memiliki peluang 4,05 kali lebih tinggi untuk mengalami hiperurisemia dengan nilai p kurang dari 0,01. Menurut Zang et al 2012, orang yang mengkonsumsi makanan yang digoreng dan olahan hewan memiliki memiliki peluang sebesar 2,15 kali untuk mengalami hiperurisemia. Hal ini diperkuat dengan nilai CI 95 sebesar 1,22-3,76 dengan nilai p kurang dari 0,001. Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolism purin nukleoprotein. Purin berasal dari makanan, penghancuran yang sudah tua, serta hasil sintesa dari bahan-bahan yang ada di dalam tubuh, seperti: CO2, glutamin, Glisin, asam folat. Asam urat sendiri adalah sampah dari hasil metabolisme normal dari pencernaan protein makanan yang mengandung purin terutama dari daging, hati, ginjal, dan beberapa, jenis sayuran seperti kacang-kacangan dan buncis. Seperti yang telah dibahas dalam tinjauan pustaka, kadar asam urat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, penyakit metabolik, konsumsi makanan mengandung purin, obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar asam urat dan obesitas. Melalui berbagai macam jalur, faktor tersebut dapat meningkatkan kadar asam urat yang akan membuat bias pada penelitian. Oleh karena itu peneliti membuat kriteria inklusi dan kriteria eksklusi untuk mengatasi hal tersebut. Akan tetapi, walaupun peneliti telah mengkondisikan responden agar tidak menimbulkan bias, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan tersebut adalah masih terdapat responden yang berusia tua yang mungkin lupa terhadap konsumsi makanannya selama seminggu, responden mungkin lupa terhadap makanan yang ia makan selama satu minggu terakhir, responden mungkin tidak terlalu serius menanggapi pertanyaan peneliti sehingga menjawab dengan seadanya, peneliti mungkin kurang memberikan penjelasan kepada responden sehingga mungkin responden salah tafsir terhadap yang dijelaskan oleh peneliti dan penelitian ini tidak menggunakan uji screening terhadap penyakit metabolik seperti DM, gagal ginjal dan penyakit metabolik lainnya yang mungkin pasien sendiri mungkin tidak menyadari bahwa ia menderita salah satu penyakit metabolik tersebut. Dalam penelitian Ryu et al 2014, konsumsi makanan yang mengandung kadar purin tinggi seperti daging, ikan dan kerang lebih tinggi pada responden dengan hiperurisemia. Sedangkan konsumsi sayuran, rumput laut dan produk olahan susu lebih rendah pada responden dengan hiperurisemia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana responden dengan hiperurisemia cenderung mengkonsumsi makan yang mengandung purin tinggi. Namun, dalam penelitian ini, sayuran seperti kangkung dan bayam banyak dikonsumsi oleh responden dengan hiperurisemia. Hal tersebut dapat disebabkan karena kangkung dan bayam mengandung kadar purin yang cukup tinggi sehingga perlu dibatasi dan dalam penelitian yang dilakuan Ryu et al 2014 tidak terdapat kejelasan sayuran apa saja yang dikonsumsi oleh respondennya. Selain konsumsi makanan mengandung purin, hiperurisemia memiliki berbagai faktor resiko. Hiperurisemia disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetik, usia, jenis kelamin, berat badan berlebih dan diet Liu et al, 2011; Villegas et al, 2012; Lee et al, 2013. Menurut Qiu et al 2013, faktor resiko hiperurisemia adalah jenis kelamin, tempat tinggal, usia, hiperkolestrolemia, hipertrigliseridemia, hipertensi, obesitas, perilaku meminum air dan waktu tidur. Adapun faktor resiko lain yang dapat ditelusuri dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Menurut Liu et al 2011, prevalensi hiperurisemia meningkat di atas usia 30 tahun pada pria dan di atas usia 50 tahun pada wanita. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang peneliti lakukan, dimana terdapat 17 orang yang mengalami hiperurisemia di bawah usia 31 tahun, 36 orang yang mengalami hiperurisemia diantara usia 31-50 tahun dan 35 orang yang mengalami hiperurisemia di atas usia 50 tahun. Menurut Mc Adam-De Maro et al 2013, pria memiliki resiko yang lebih tinggi dari pada wanita untuk mengalami hiperurisemia. Hal ini dikarenakan wanita memiliki hormon estrogen yang membantu dalam eksresi asam urat. Namun dalam penelitian ini didapatkan hasil yang berbeda yakni hanya 40 orang laki-laki dan 48 orang perempuan yang mengalami hiperurisemia. Namun perbedaan tersebut dapat disebabkan karena dalam penelitian ini digunakan teknik consecutive sampling. Teknik ini menyebabkan proporsi antara laki-laki dan perempuan tidak sama karena lebih mengutamakan pemenuhan kuota responden yang mengalami hiperurisemia dan yang memiliki kadar asam urat yang normal. Menurut Qiu et al 2013, tempat tinggal berpengaruh dengan hiperurisemia, dimana masyarakat pada daerah perkotaan terutama daerah pinggiran perkotaan lebih beresiko mengalami hiperurisemia. Hal ini sesuai dengan penelitian ini karena daerah sekitar Puskesmas Sukaraja merupakan daerah pinggiran perkotaan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Konsumsi makanan mengandung tinggi purin merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 dengan nilai P= 0,001; OR= 4,882; dan CI 95 = 1,174 - 13,691. 2. Makanan yang mengandung tinggi purin yang paling banyak dikonsumsi dan dapat menyebabkan hiperurisemia pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 adalah kopi, tahu, bayam, kangkung, tempe dan daging ayam. 3. Kadar asam urat darah pada kelompok responden di Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung 2014 berdasarkan penelitian ini bervariasi dari 2,6 mgdl hingga 12,4 mgdl. Adapun pada kelompok responden kontrol dominan pada kadar 5,6 mgdl dan pada kelompok responden kasus dominan pada kadar 10,1 mgdl.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mencoba memberikan beberapa saran sebagai berikut. 1. Bagi tenaga kesehatan baik di Puskesmas, dan instansi terkait disarankan untuk dapat lebih meningkatkan promosi kesehatan khususnya bagi masyarakat yang mengalami hiperurisemia yaitu dengan mengadakan penyuluhan tentang hiperurisemia beserta akibatnya dan edukasi tentang pola makan terutama konsumsi makanan yang mengandung purin tinggi agar kadar asam urat darah tetap normal. 2. Bagi masyarakat, dengan hasil penelitian ini, disarankan dapat semaksimal mungkin mengurangi asupan makanan yang banyak mengandung purin seperti jeroan hati, usus, ampela, daging, kacang- kacangan, melinjo, burung unggas, teh dan kopi. Karena dapat meningkatkan kadar asam urat darah di dalam tubuh. Harapannya masyarakat dapat menjaga kesehatannya dengan lebih baik. 3. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan uji screening terlebih dahulu untuk menghindari bias karena penyakit metabolik mungkin tidak pasien ketahui. DAFTAR PUSTAKA Adieni H. 2008. Asupan Karbohidrat, Lemak, Protein, Makanan Sumber Purin dan Kadar Asam Uratpada Vegetarian. Artikel Penelitian. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Apriyanti M. 2013. Menu Sehat bagi Penderita Asam Urat. Yogyakarta: Pustaka Baru. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riskesdas 2013. Terdapat dalam: http:www.litbang.depkes.go.idsitesdownloadrkd2013Laporan_Ris kesdas2013.PDF [diakses pada 22 Oktober 2014]. Dahlan MS. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi ke-5. Jakarta: Salemba. Fauzi I. 2014. Buku Pintar Deteksi Dini Gejala dan Pengobatan Asam Urat, Diabetes Hipertensi. Yogyakarta: Araska. Gustafsson D dan Unwin R. 2013. The Pathophysiology of Hyperuricaemia and Its Possible Relationship to Cardiovascular Disease, Morbidity and Mortality. BMC Nephrology. 14:164. Hensen dan Putra TR.2007. Hubungan Konsumsi Purin dengan Hiperurisemia pada Suku Bali di Daerah Pariwisata Pedesaan. J Peny Dalam. 81: 37-43. Jin M, Yang F, Yang I, Yin Y, Luo JJ, Wang H, Yang XF. 2012. Uric Acid, Hyperuricemia and Vascular Diseases. Front Biosci. 17: 656 –669. Krishnan E. 2014. Interaction of Inflammation, Hyperuricemia, and the Prevalence of Hypertension Among Adults Free of Metabolic Syndrome: NHANES 2009 –2010. J Am Heart Assoc. 32: 1-10. Lee MF, Liou TH, Wang W, Pan WH, Lee WJ,Hsu CT, Wu SF, Chen HH. 2013. Gender, Body Mass Index, and PPARg Polymorphism are Good Indicators in Hyperuricemia Predictionfor Han Chinese. Genetic Testing and Molecular Biomarkers. 171: 40-46. Liu B, Wang T, Zhao HN, Yue WW, Yu HP, Liu CX, Yin J, Jia RY, Nie HW. 2011. The Prevalence of Hyperuricemia in China: a Meta- Analysis. BMC Public Health. 11: 832. Mandel BF. 2008. Clinical Manifestation of Hyperuricemia and Gout. Clev Clin J Med. 755: 5-8. McAdams-DeMarco MA, Law A, Maynard JW, Coresh J, Baer AN. 2013. Risk Factors for Incident Hyperuricemia during Mid-Adulthood in African American and White Men and Women Enrolled in the ARIC Cohort Study. BMC Musculoskelet Disord. 14: 347. Murray RK,Granner DK, Rodwell VW. 2006. Harpers Illustrated Biochemistry 27 th Edition. New York: McGraw-Hill. Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo S. 2010. Pengetahuan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Ono K, Inaba R, Yoshida H, Iwata H. 1997. Evaluation of the relation of job stress and food intake to hyperuricemia. Nihon Koshu Eisei Zasshi. 444: 239-246. Putra TR. 2009. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Qiu L, Cheng XQ, Wu J, Liu JT, Xu T, Ding HT, Liu YH, Ge ZM, Wang YJ, Han HJ, Liu J, Zhu GJ. 2013. Prevalence of hyperuricemia and its related riskfactors in healthy adults from Northern andNortheastern Chinese provinces. BMC Public Health. 13664: 1-9. Ryu KA, Kang HH, Kim SY, Yoo MK,Kim JS, Lee CH, Wie GA. 2014. Comparison of Nutrient Intake and Diet Quality BetweenHyperuricemia Subjects and Controls in Korea. Clin Nutr Res. 31: 56-63. Soeroso J Algristian H. 2011. Asam Urat. Jakarta: Penebar Plus. Sutrani L, Alam S, Hadibroto I. 2004. Asam Urat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Thompson FE dan Byers T. 1994. Dietary assessment resource manual. J Nutr. 12411: 2245S-2317S.