EVALUASI EFEKTIFITAS LAYANAN BRT KORIDOR KORPRI-SUKARAJA DI BANDAR LAMPUNG

(1)

EVALUASI EFEKTIFITAS LAYANAN BRT

KORIDOR KORPRI-SUKARAJA DI BANDAR LAMPUNG

Skripsi

Oleh

Shan Dirgantara Putra 0745011075

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

EVALUASI EFEKTIFITAS LAYANAN BRT

KORIDOR KORPRI-SUKARAJA DI BANDAR LAMPUNG Oleh

Shan Dirgantara Putra ABSTRAK

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan bertransportasi ikut meningkat pula kepemilikan kendaraan bermotor, tetapi hal ini tidak diikuti penambahan jaringan jalan dan pelebaran jalan yang memadai sehingga dikhawatirkan akan terjadi kemacetan lalulintas dibanyak ruas jalan di Kota Bandar Lampung. Dengan adanya BRT (Bus Rapid Transit) sebagai angkutan umum massal diharapkan dapat mengurangi kemacetan yang timbul akibat perkembangan kota itu sendiri. Namun pada kenyataan nya BRT belum dapat mengatasi kemacetan yang ada di kota Bandar Lampung. Bahkan frekuensi pelayanan nya pun belum berjalan secara efektif, halte-halte sebagai tempat naik turun nya penumpang belum secara keseluruhan di bangun.

Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data-data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi efektifitas layanan BRT (Bus Rapid Transit) koridor Korpri-Sukaraja di kota Bandar Lampung. Proses pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan di lapangan, mencatat pergerakan naik turun penumpang, kuisioner dan wawancara.

Dari hasil penelitian pada koridor Korpri-Sukaraja dengan panjang rute 20,8 km dari arah korpri dan 19,6 dari arah sukaraja menunjukkan bahwa Load Factor nya tidak memenuhi standar, karena hanya mencapai 35,71%. Maka dapat dikatan bahwa BRT masih kurang optimal dalam melayani pergerakan penumpang.


(3)

EVALUATION SERVICE EFFECTIVENESS BRT CORRIDOR KORPRI-SUKARAJA ON BANDAR LAMPUNG

BY

Shan Dirgantara Putra ABSTRACT

Along with the increasing needs transport increasing as well ownership vehicle, but it is not followed by the addition of roads and widening of road network in place that is feared there will be traffic jams in many streets in the city of Bandar Lampung. With the BRT ( Bus Rapid Transit ) as mass public transport is expected to reduce congestion caused by the development of the city it self. But in fact its BRT can not solve traffic congestion in the city of Bandar Lampung. Even the frequency of its services were not effective, as the bus stops where passengers up and down his overall up yet builded.

This study begins with the collection of data needed to evaluate the effectiveness of services BRT (Bus Rapid Transit) corridor Korpri - Sukaraja in the city of Bandar Lampung. The process of data collection is done through observation in the field , noting the movement up and down the passenger, questionnaires and interviews.

From the results of research on the corridor Korpri- Sukaraja with a route length of 20,8 km and 19,6 Korpri direction from the direction of Sukaraja showed that its load factor does not meet the standard , because it only reaches 35,71 % . It can dikatan that BRT is still less than optimal in serving the movement of passengers .


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Batasan Masalah ... 4

1.5Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1Sistem Transportasi Angkutan Umum ... 6

2.1.1 Prasyarat Pelayanan ... 8

2.2Indikator dan Parameter Kinerja Pelayanan Angkutan Umum ... 11

2.2.1 Load Factor ... 12

2.2.2 Waktu Antara Kendaraan (Headway) ... 14

2.2.3 Waktu Henti Kendaraan ... 15

2.2.4 Waktu Perjalanan ... 15


(8)

2.2.6 Waktu Sirkulasi ... 17

2.2.7 Tingkat Ketersediaan ... 18

III. METODE PENELITIAN ... 3.1Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2Metode Pengumpulan Data ... 19

3.2.1 Survey Frekwensi Layanan Angkutan Umum ... 19

3.2.2 Survey Jumlah Penumpang dan Jarak Tempuh Rata-rata Per Penumpang... 20

3.3Prosedur Perhitungan Data... 20

3.4Analisis Hasil ... 21

3.5Lintasan BRT Koridor Korpri-Sukaraja dan Titik Kontrol Yang Dilalui ... 22

3.6Flow Chart Alur Penelitian ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4.1Pelaksanaan Survey ... 25

4.2Data Primer ... 25

4.2.1 Kapasitas Kendaraan ... 25

4.2.2 Panjang Rute ... 26

4.3Analisa Data ... 26

4.3.1 Karakteristik Operasi ... 26

4.3.2 Jarak Tempuh Rata-rata Penumpangan ... 28

4.3.3 Load Factor ... 29


(9)

4.3.5 Penumpang Kilometer ... 35 4.3.6 Intensitas Pengguna BRT Per Minggu ... 39 4.3.7 Aksesibilitas Halte ... 40

V. KESIMPULAN ...

5.1Kesimpulan ... 44 5.2Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pedoman Kualitas Pelayanan Angkutan Umum di Wilayah

Perkotaan Dalam Trayek Tetap dan Teratur ... 9

2.2 Kapasitas Kendaraan ... 10

2.3 Indikator kinerja dari angkutan umum ... 11

4.1 Perhitungan Kecepatan Bus ... 28

4.2 Nilai Load Factor Pada Hari Jum’at ... 29

4.3 Nilai Load Factor Pada Hari Minggu... 30

4.4 Nilai Load Factor Pada Hari Senin... 32

4.5 Persentase Nilai Rata-rata Load Factor Arah Korpri-Sukaraja... 34

4.6 Persentase Nilai Rata-rata Load Factor Arah Sukaraja-Korpri... 35

4.7 Nilai Penumpang Kilometer Pada Hari Jum’at... 36

4.8 Nilai Penumpang Kilometer Pada Hari Minggu... 37

4.9 Nilai Penumpang Kilometer Pada Hari Senin... 38

4.10 Pengguna BRT 1 Minggu Terakhir Dari 100 Responden ...39

4.11 Jarak Ideal Yang Diinginkan Penumpang Menuju ...40

4.12 Rata-rata Aksesibilitas Halte... 41


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Diagram Sistem Transportasi Makro dan Mikro ... 7

3.1 Lintasan BRT Koridor Korpri Sukaraja dan Titik Kontrol Yang Dilalui ... 22

3.2 Flow Chart Alur Penelitian ... 24

4.1 Grafik Load Factor Pada Arah Korpri-Sukaraja ... 29

4.2 Grafik Load Factor Pada Arah Sukaraja-Korpri ... 30

4.3 Grafik Load Factor Pada Arah Korpri-Sukaraja ... 31

4.4 Grafik Load Factor Pada Arah Sukaraja-Korpri ... 31

4.5 Grafik Load Factor Pada Arah Korpri-Sukaraja ... 32

4.6 Grafik Load Factor Pada Arah Sukaraja-Korpri ... 33

4.7 Grafik Penumpang Kilometer Arah Korpri-Sukaraja ... 36

4.8 Grafik Penumpang Kilometer Arah Sukaraja-Korpri ... 36

4.9 Grafik Penumpang Kilometer Arah Korpri-Sukaraja ... 37

4.10 Grafik Penumpang Kilometer Arah Sukaraja-Korpri ... 37

4.11 Grafik Penumpang Kilometer Arah Korpri-Sukaraja ... 38

4.12 Grafik Penumpang Kilometer Arah Sukaraja-Korpri ... 38

4.13 Diagram Naik BRT 1 Minggu Terakhir... 39

4.14 Diagram Jarak Ideal ... 40


(12)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan manusia terhadap perkembangan kota dapat kita lihat bahwa manusia selalu berhasrat untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain guna mendapatkan keperluan yang dibutuhkan. Dalam hal ini manusia sangat membutuhkan suatu sarana transportasi yang disebut moda atau angkutan. Kebutuhan akan sarana transportasi dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan akibat semakin banyaknya kegiatan yang membutuhkan jasa transportasi sehingga bertambah pula intensitas pergerakan lalu lintas kota.

Pertumbuhan perekonomian suatu daerah identik dengan adanya pergerakan manusia maupun barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Setiap pergerakan yang ada menuntut tersedianya sarana dan prasarana transportasi sehingga pergerakan menjadi relatif lebih singkat, efisien dan keamanannya terjamin. Jumlah kendaraan yang tersedia dengan jumlah penumpang haruslah seimbang, tidak boleh timpang antara satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan suatu kondisi ideal bagi suatu pengelolaan transportasi.

Kinerja pelayanan angkutan umum dapat dilihat dari efektifitas dan efisiensi suatu operasional angkutan umum. Penilaian kriteria efektif biasanya diberikan kepada


(13)

2

moda angkutan sedangkan kriteria efisien diberikan kepada aspek penumpang. Segi efektifitas dapat dilihat dengan indikator aksesibilitas (kemudahan pengguna untuk mencapai rute kendaraan), kerapatan (jumlah kendaraan atau panjang rute), kecepatan tempuh rata-rata dan headway/frekuensi (H.M, Nasution, 2003).

Pada umumnya besarnya kinerja operasi atau tingkat pelayanan suatu sistem angkutan umum dapat dilihat dari beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang umumnya dijadikan indikator kinerja dari angkutan umum adalah :

1. Aksesibilitas (kemudahan pengguna untuk mencapai rute kendaraan).

Pada dasarnya para pengguna BRT dapat dengan mudah mencapai rute kendaraan dikarenakan belum tersedianya halte bagi para penumpang. Hal ini yang menciptakan ketidak disiplinan para penumpang untuk tidak menunggu BRT di tempat-tempat yang sudah disediakan oleh pemerintah. Padahal halte merupakan salah satu penunjang untuk memaksimumkan kinerja BRT, dikarenakan belum tersedianya halte BRT beroprasi layaknya bus biasa.

Peningkatan aksesibilitas atau titik akses masyarakat terhadap layanan BRT perlu dilakukan peningkatan. Moda BRT yang baik tidak sepatutnya menaikturunkan penumpang di sembarang titik seperti angkutan reguler sehingga dengan demikian perlunya halte yang merata. Jarak antar halte BRT yang ideal menurut standar Kementerian Perhubungan adalah 400 meter. Pada saat ini, jika untuk membangun bangunan halte yang masif dianggap sulit karena keterbatasan lahan, maka dapat digantikan titik perhentian bus


(14)

3

portabel (portable bus stop). Dimensinya lebih ringkas dibandingkan halte BRT konvensional sehingga lebih fleksibel karena tidak membutuhkan luas lahan yang relatif besar dan konstruksi semasif halte. Adanya fasilitas titik akses yang merata ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam mengakses layanan BRT karena dapat dicapai dengan lebih dekat, baik dari tempat tinggal atau tempat kerja mereka.

2. Kepastian Jadwal Layanan Penumpang

Buruknya aspek pelayanan terkait erat dengan perencanaan yang lemah. Oleh karena perencanaan lemah, maka masalah waktu tempuh (travel time) sama sekali tidak mendukung keberadaan sistem BRT dikarenakan belum dikontrol secara ketat, padahal, soal ketepatan waktu itu merupakan salah satu daya tarik orang untuk menggunakan angkutan umum. Dilihat dari kondisi fasilitas BRT seperti halte dan jalur khusus BRT yang masih belum terealisasi secara maksimum, para penumpang tidak bisa memprediksikan berapa lama waktu tempuh yang akan dicapai untuk menuju tempat yang diinginkan.

Contohnya saja dari kedaton menuju jalur 2 korpri tepatnya menuju SMPN 21 membutuhkan waktu 15 menit di pagi hari, akan tetapi saat siang hari membutuhkan waktu tempuh 20 - 30 menit.

3. Faktor muat penumpang Per Kilometer

Suatu rasio perbandingan antara jumlah penumpang yang berada dalam bus dengan kapasitas muat bus merupakan definisi dari load factor. Pada umumnya semakin besar faktor beban, maka semakin menguntungkan sistem


(15)

4

yang ada. Namundalam aplikasinya, kondisi ini tidak disarankan mengingat tingkat kenyamanan penumpang akan terganggu dan dapat menimbulkan kriminalitas dalam bus. Pada jam-jam sibuk nilai load factor bisa melebihi batas-batas yang diinginkan sehingga tingkat pelayanan harus ditingkatkan agar tidak terjadi perpindahan moda yang dikarenakan adanya penurunan tingkat kenyamanan di dalam bus.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut maka dirumuskan tentang perlunya evaluasi efektifitas layanan BRT (Bus Rapid Transit) koridor Korpri-Sukaraja. Dan evaluasi rute layanan beserta penempatan posisi halte, dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada pihak pengelola maupun pengusaha dan masyarakat sebagai pertimbangan menentukan kebijakan di masa depan.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi efektifitas rute layanan BRT (Bus Rapid Transit) koridor Korpri-Sukaraja.

2. Mengevaluasi efektifitas halte/shelter BRT koridor Korpri-Sukaraja.

1.4 Batasan Masalah

Dalam mengevaluasi efektifitas layanan BRT, permasalahannya akan dibatasi pada kinerja pelayanan BRT. Kinerja pelayanan yang akan dievaluasi berdasarkan evisiensi dan efektifitas pelayanan angkutan.


(16)

5

1. Aksesibilitas (kemudahan pengguna untuk mencapai rute kendaraan). 2. Kepastian Penumpang Saat Menunggu BRT

3. Kapasitas penumpang per kilometer.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran dan masukan kepada pihak pengelola tentang kondisi pelayanan angkutan bus kota BRT (Bus Rapid Transit) koridor Korpri-Sukaraja.

2. Menjadikan penelitian ini sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait untuk pengembangan pelayanan transportasi koridor Korpri-Sukaraja.


(17)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Transportasi Angkutan Umum

Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam serta guna mendapatkan alternatif pemecahan masalah transportasi perkotaan yang baik, maka sistem transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil (mikro), dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem transportasi mikro (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 2008) tersebut adalah sebagai berikut :

a. Sistem Kegiatan (Transport Demand)

b. Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/Transport Supply) c. Sistem Pergerakan (Lalu Lintas/Traffic)

d. Sistem Kelembagaan.

Sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik dapat menciptakan suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah, handal dan sesuai dengan lingkungannya. Dalam upaya untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai dengan lingkungannya, maka dalam sistem transportasi makro terdapat suatu sistem mikro lainnya yang disebut Sistem Kelembagaan. Sistem ini terdiri atas individu, kelompok, lembaga,


(18)

7

instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro. Sistem kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah sebagai berikut :

Sistem Kegiatan : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah(Bappeda) Kota Sistem Jaringan : Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum

Sistem Pergerakan :Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR), Polisi Lalu Lintas(Polantas).

Gambar 2.1. Diagram Sistem Transportasi Makro dan Mikro Sumber : Tamin, 1997

SISTEM TRANSPOTASI MAKRO

TRANSPOTASI MIKRO

SISTEM KEGIATAN

SISTEM JARINGAN

SISTEM PERGERAKAN

SISTEM KELEMBAGAAN


(19)

8

2.1.1. Prasyarat Pelayanan

Dalam mengoperasikan kendaraan angkutan penumpang umum, operator harus memenuhi dua prasyarat minimum pelayanan. Berdasar kan SK Dirjen 687/2002, standar pelayanan angkutan umum di Indonesia adalah sebagai berikut :

a) Prasyarat umum

1. Waktu tunggu di pemberhentian rata-rata 5–10 menit dan maksimum 10–20 menit.

2. Jarak untuk mencapai perhentian di pusat kota 300–500 m; untuk pinggiran kota 500–1000 m.

3. Lama perjalanan ke dan dari tempat tujuan setiap hari, rata-rata 1,0–1,5 jam, maksimum 2–3 jam.

4. Biaya perjalanan, yaitu persentase perjalanan terhadap pendapatan rumah tangga.

b)Prasyarat khusus

1. Faktor layanan

2. Faktor keamanan penumpang

3. Faktor kemudahan penumpang mendapatkan bus 4. Faktor lintasan


(20)

9

Berdasarkan keempat factor prasyarat khusus itu, pelayanan angkutan umum diklasifikasikan kedalam dua jenis pelayanan, yaitu :

a. Pelayanan ekonomi : * Minimal tanpa AC b. Pelayanan non ekonomi : * Minimal dengan AC

Tabel 2.1. Pedoman Kualitas Pelayanan Angkutan Umum di Wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur.

Kwalitas Klasifikasi Pelayanan

Non Ekonomi Ekonomi

1. Kenyamanan Fasilitas tempat duduk

yang tersedia Juga mengangkut

penumpang dengan berdiri Dilengkapi AC

Fasilitas tempat duduk disediakan

Juga mengangkut

penumpang dengan berdiri

2. Keamanan Menyediakan

bagasi/tempat barang Kebersihan harus terjamin Awak bus terlatih dan terampil

Kebersihan harus terjamin

Awak bus harus terlatih dan terampil

Non AC 3. Kemudahan

mendapatkan bus

Tidak ngetem

Tempat perhentian harus khusus

Tidak ngetem

Tempat perhentian harus khusus

4. Lintasan Pada lintasan utama kota,

trayek utama dan langsung

Pada lintasan utama kota trayek cabang, ranting

5. kendaraan Bus besar lantai tunggal

Bus besar lantai ganda Bus tempel/artikulasi

Bus besar lantai tunggal Bus besar lantai ganda Bus tempel/artikulasi Bus sedang, kecil, MPU (hanya roda 4)

(Sumber: SK Dirjen Perhubungan Darat No. 687, 2002)

Ket. (*) Pendingin Udara (AC) dengan derajat 25° C yang diukur dari titik tengah bus.


(21)

10

Menurut Warpani (2002). Kinerja angkutan umum adalah hasil kerja dari angkutan umum yang berjalan selama ini untuk melayani segala kegiatan masyarakat dalam bepergian maupun beraktifitas. Lalu menurut Direktorat Jendral Perhubungan Darat (1996), Kapasitas kendaraan adalah daya muat penumpang pada setiap kendaraan angkutan umum, baik yang duduk maupun yang berdiri. Daya muat tiap jenis angkutan umum dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kapasitas kendaraan

No Jenis angkutan Kapasitas duduk Kapasitas berdiri Kapasitas total

1 Mobil penumpang umum 11 - 11

2 Bis kecil 14 - 14

3 Bis besar 20 10 30

4 Bis besar lantai tunggal 49 30 79

5 Bis besar lantai ganda 85 35 120

(Sumber : Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1996)

Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya, akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar/sedang di Indonesia biasanya timbul karena kebutuhan transportasi lebih besar dibanding prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana transportasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Suatu pergerakan membutuhkan sistem transportasi yang akan membuat transportasi tersebut teratur. Keteraturan itu menuntut adanya kelengkapan sarana dan prasarana seperti kendaraan angkut, fasilitas jalan, tempat bongkar muat atau


(22)

11

perpindahan antar moda (terminal, pelabuhan, bandara atau stasiun), sumber produksi, tempat pemasaran dan transaksi jual beli (pasar) dan perencanaan perkembangan selanjutnya (Tamin, 1997).

Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu, sistem pergerakan berperanan penting dalam mengakomodir suatu sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem pergerakan yang lancar, aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya.

2. 2. Indikator dan Parameter Kinerja Pelayanan Angkutan Umum

Pelayanan angkutan umum adalah sistem operasi yang dilihat berdasarkan penggunaan aktual dan potensial.Adapun faktor-faktor yang umumnya dijadikan indikator kinerja dari angkutan umum adalah seperti pada Tabel 2.3.

No Indikator

PARAMETER A. EFEKTIFITAS

Kemudahan

Panjang jaringan jalan yang dilewati angkutan kota / Luas area yang dilayani.

Kapasitas

Jumlah angkutan kota / panjang jalan yang dilalui angkutan kota.

Kwalitas

a. Frekuensi (f), headway (Hd), dan waktu tunggu (menit)

b. Kecepatan operasi (km/jam) dan waktu tempuh c. Jumlah kendaraan dan jumlah rit


(23)

12

Sumber : Bank Dunia (1986)

2.2.1. Load Factor

BRT Planning Guide (2007) mendefinisikan load factor sebagai ”the percentage

of a vehicle’s total capacity that is actually occupied”. Berdasarkan definisi itu, maka load factor atau faktor beban dapat diartikan sebagai suatu rasio perbandingan antara jumlah penumpang berada dalam bus dengan kapasitas muat bus. Pada umumnya semakin besar faktor beban, maka semakin menguntungkan sistem yang ada. Karena penumpang semakin banyak semakin banyak pula keuntungan yang dicapai.

Namun dalam aplikasinya, kondisi ini tidak disarankan mengingat tingkat kenyamanan penumpang dan beberapa konsekuensi negatif yang dapat ditimbulkan. Pada operasi dengan faktor beban 1 (100%), kendaraan dalam keadaan fully occupied dan dapat mengurangi jumlah kendaraan pribadi karena menggunakan angkutan umum. Secara umum, besarnya faktor beban sangat dipengaruhi oleh frekuensi bus dan besarnya demand penumpang. Besarnya faktor ini dapat diubah dengan meningkatkan frekuensi armada atau menghilangkan moda kompetitor pada koridor yang ada.

B.EFISIENSI

Utilitas Rata-rata kendaraan-km (km / hari)

Load Factor

Rasio jumlah penumpang dengan kapasitas tempat duduk per satuan waktu tertentu

Produktifitas Total produksi kendaraan (Seat-Km/Penduduk) Jam Operasi Waktu pelayanan yang dibutuhkan (Jam)


(24)

13

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1996), load factor merupakan perbandingan antara kapasitas terjual dengan kapasitas tersedia untuk satu perjalanan yang biasa dinyatakan dalam persen (%). Standar yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat untuk nilai load factor adalah 70% (0,7) dan terdapat cadangan 30% untuk mengakomodasi kemungkinan lonjakan penumpang, serta pada tingkat ini kesesakan penumpang di dalam kendaraan masih dapat diterima. Pada jam-jam sibuk nilai load factor bisa melebihi batas-batas yang diinginkan sehingga tingkat pelayanan harus ditingkatkan agar tidak terjadi perpindahan moda yang dikarenakan adanya kesan buruk.

Adapun faktor beban ini dapat dihitung dengan formula :

Dimana, Lf =load factor

Vp= volume penumpang rata- rata dalam bus (pnp) Cb =kapasitas bus (pnp)

(Menurut Suwardi, 2002), load factor diperoleh dari

Dimana :

= Jumlah penumpang dikalikan dalam perjalanan dalam satu waktu = Jumlah perjalanan dikalikan dengan kapasitas


(25)

14

2.2.2. Waktu Antara Kendaraan (Headway)

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2009), Waktu antara kendaraan (headway) adalah selang waktu antara kendaraan yang berada didepan dengan kendaraan yang berada dibelakangnya ketika melewati suatu titik tertentu. Secara garis besar, ukuran ini dapat diartikan sebagai frekuensi operasi dari suatu sistem angkutan yang hubungannya dinyatakan dalam model matematis :

Dimana,

h = headway (menit)

f =frekuensi kendaraan (kendaraan/jam)

Adapun dalam menentukan headway optimum dari suatu sistem angkutan pada suatu koridor perlu dipertimbangkan beberapa hal berikut :

• Ketersediaan armada yang dapat disuplai untuk memenuhi demand penumpang. • Waktu perjalanan.

• Waktu tunggu yang dapat diterima penumpang. • Tingkat keuntungan yang akan diperoleh.

Selain 4 faktor tersebut, pada penerapan BRT dengan jalur khusus (busway) konsekuensi masuknya kendaraan pribadi ke dalam jalur khusus juga harus dipertimbangkan untuk pengaplikasian headway yang terlalu panjang.


(26)

15

2.2.3. Waktu Henti Kendaraan (Dwell Time)

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2009), besarnya waktu berhenti tiap kendaraan pada perhentian sepanjang rute akan mempengaruhi efisiensi dari sistem angkutan secara keseluruhan. Adapun besarnya waktu ini disebut sebagai

dwell time. BRT Planning Guide (2007) menyebutkan besarnya waktu ini terdiri dari 3 waktu tundaan, yaitu waktu naik penumpang (boarding time), waktu turun penumpang (alighting time) dan dead time, diukur dengan formula :

Dt = T closed – T open

Dimana,

Dt = dwell time(menit)

Tclosed = waktu pintu tertutup (menit)

Topen = waktu pintu mulai terbuka (menit)

Beberapa faktor yang mempengaruhi dwelling time sebagai berikut : • Besarnya aliran penumpang • Karakteristik pintu

• Jumlah pintu kendaraan • Ruang bebas didepan pintu

• Lebar pintu kendaraan • Sistem kontrol pintu(otomatis atau manual)

2.2.4. Waktu Perjalanan

Waktu perjalanan (travel time) dapat didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menempuh suatu jarak tertentu dan akan mempunyai hubungan yang terkait dengan kecepatan rata-rata yang digunakan untuk menempuh jarak tertentu. Travel time merupakan suatu indikator yang menentukan tingkat


(27)

16

pelayanan dari suatu pengoperasian bus. Disini jelas terlihat dari kewajiban operator bus untuk mensuplai akan demand yang ada, sebagai indikator dari level of service. Menurut Morlok (1976) waktu ini dapat diasumsikan sebagai supply of service, dimana hubungan suplai dalam urban transit time tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Short Run Supply Relationship

Hubungan ini akan ditentukan sebagai suatu periode dalam suatu transit management, sehingga tidak diperlukan pengaturan jadwal/jumlah bus dan sopir yang harus dipersiapkan untuk pengoperasian bus pada suatu rute, sehingga perusahaan penyedia jasa transportasi, akan menentukan berapa frekuensi setiap bus akan berjalan sebagai hasil dari analisa jumlah armada yang ada dan pengemudi yang tersedia untuk setiap rute.

2. Intermediate Run Supply Relationship

Hubungan ini digunakan untuk menentukan suatu periode dari waktu yang dibutuhkan dalam transit management dalam menentukan jadwal, jumlah kendaraan dan lainnya bergantung dari volume lalu lintas yang ada untuk setiap rute. Selain itu perusahaan penyedia jasa biasanya juga mendapatkan informasi dari kurva demand untuk memperhitungkan jasa atau armada yang akan mereka sediakan.


(28)

17

2.2.5. Kecepatan

Kecepatan merupakan suatu ukuran lalulintas yang umumnya dijadikan tolak ukur dari kinerja sistem. Pada dasarnya kecepatan dan waktu perjalanan tidak dapat dipisahkan, mengingat kedua faktor ini sangat berhubungan. Semakin cepat kecepatan yang dapat disediakan suatu sistem, maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk mencapai tempat tujuan. Adapun besarnya kecepatan dapat dihitung dengan formula :

(SK Dirjen Perhubungan Darat No. 687, 2002) dimana,

V = kecepatan (km/jam) L = jarak tempuh (km) T = waktu tempuh (jam)

2.2.6 Waktu Sirkulasi

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1996), waktu sirkulasi adalah waktu yang ditempuh oleh angkutan umum penumpang dari terminal ujung ke pangkalan yang lain dan kemudian kembali lagi ke terminal ujung. Perhitungan waktu sirkulasi ini dapat dihitung dari survey di lapangan. Dimana besar waktu sirkulasi dapat ditentukan sebagai berikut:


(29)

18

dengan :

• CTABA = Waktu sirkulasi dari A ke B, kembali ke A (menit)

• TAB = Waktu perjalanan rata-rata dari A ke B (menit)

• TBA = Waktu perjalanan rata-rata dari B ke A (menit)

• δAB = Deviasi waktu tempuh dari terminal A ke B

• δBA = Deviasi waktu tempuh dari terminal B ke A

• TTA = Waktu henti di terminal A (menit)

• TTB = Waktu henti di terminal B (menit)

2.2.7 Tingkat Ketersediaan (Availability)

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (1996), availability (tingkat ketersediaan) adalah jumlah angkutan umum yang beroperasi dibandingkan dengan total jumlah angkutan umum yang melayani rute yang sama. Perbandingan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:


(30)

19

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dan pengumpulan data BRT (Bus Rapid Transit) koridor Korpri-Sukaraja dimulai dari pukul 06.30 – 17.30 WIB. Waktu pelaksanaan survey pada hari Jum’at, Minggu dan Senin.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan skunder.

a. Data primer didapat dari hasil survey frekwensi layanan angkutan umum, survey sejumlah penumpang (asal penumpang, tujuan penumpang, kendaraan yang digunakan sebelum dan sesudah) dan jarak tempuh rata-rata per penumpang.

b. Data sekunder berupa data jumlah kendaraan pada koridor Korpri-Sukaraja dan dari operator BRT berupa data jumlah bus yang disediakan untuk rute tersebut.

3.2.1 Survey Frekwensi Layanan Angkutan Umum

Tujuan survey frekwensi layanan angkutan umum ini adalah :

1. Menghitung Time Headway


(31)

20

3. Menghitung Cycle Time

4. Menghitung jumlah trip

Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut : Survey diawali dengan menempatkan seorang surveyor di dalam halte, kemudian surveyor mencatat nomor kendaran, jumlah penumpang saat berhenti di halte dan lama nya bis berhenti.

3.2.2 Survey Jumlah Penumpang dan Jarak Tempuh Rata-rata Per Penumpang

Pelaksanaan survey dilakukan di dalam bus mulai pukul 06.30 , survey dimulai dari titik nol keberangkatan kendaraan . Mencatat setiap pergerakan naik-turun penumpang dan jarak tempuh penumpang per titik kontrol yang sudah di tetapkan. Tujuan survey jumlah penumpang dan jarak tempuh rata-rata per penumpang adalah :

1. Menghitung jumlah penumpang BRT

2. Menghitung jarak tempuh rata-rata per penumpang 3. Menghitung nilai Load Factor

3.3 Prosedur Perhitungan Data

Dari hasil survey yang diperoleh, dilakukan beberapa analisis data sebagai berikut : 1. Menghitung jumlah BRT yang beroprasi saat ini

2. Menghitung Time Headway dan frekwensi layanan 3. Menghitung jumlah trip tiap kendaraan perhari 4. Menghitung Cycle Time


(32)

21

5. Menghitung Load Factor

6. Menghitung jumlah penumpang per trip

7. Menghitung jarak tempuh rata-rata penumpang per trip 8. Menghitung jumlah penumpang per bus per hari 9. Menghitung jumlah BRT yang dibutuhkan 10. Menghitung jarak tempuh BRT per hari 11. Menghitung kecepatan rata-rata

3.4 Analisis Hasil

Analisis dilakukan pada data yang diperoleh dari hasil survey, yaitu : 1. Menganalisis karakteristik operasi BRT koridor Korpri-Sukaraja

2. Menganalisis jumlah BRT yang diperlukan pada koridor Korpri-Sukaraja 3. Menganalisis keefektifitasan halte

4. Mengevaluasi rute layanan BRT koridor Korpri-Sukaraja

3.5 Lintasan BRT Koridor Korpri-Sukaraja dan Titik Kontrol Yang Dilalui

Untuk memudahkan survey yang akan dilakukan maka dibuatlah titik-titik kontrol di sepanjang rute yang dilalui oleh BRT koridor Korpri-Sukaraja sebagai berikut :


(33)

(34)

23

Ket :

R1 = Korpri R21 = Transit BCA

R2 = Pulau Damar R22 = Terminal Sukaraja

R3 = L. Merah Way Halim R23 = Halte Malahayati

R4 = Pos Polisi R24 = Halte Bank Buana

R5 = Halte Bakti Utama R25 = Halte Center Plaza

R6 = Halte RS Advent R26 = Halte Telkom

R7 = Halte Makam Pahlawan R27 = Halte Yamaha Kedaton

R8 = Halte Ramayana R28 = Halte Koga

R9 = Halte Simpur R30 = Halte Danrem

R10 = Halte Fajar Agung R 31 = Halte Radar Lampung

R11 = Bunderan Gajah R32 = Halte Yamaha Wayhalim

R12 = Halte Poltabes R13 = Patung Pengantin R14 = Halte Indosat R15 = Halte Mongonsidi R16 = Simpang K. Gubernur R17 = Simpang Polda R18 = Pom WR. Supratman R19 = Tugu Kurning


(35)

24

3.6 Flow Chart Alur Penelitian

Gambar 3.2. Flow Chart Alur Penelitian Mulai

Pengumpulan Data

Identifikasi Masalah dan Studi Pustaka

Data Primer : - survey frekwensi layanan - jumlah penumpah

- jarak tempuh brata-rata

Data Skunder : - Jumlah BRT yang terdaftar - Jumlah BRT yang di

tetapkan Walikota

Perhitungan Data : - Jumlah BRT yang dibutuhkan - Jumlah trip

- Headway, frekwensi layanan, cycle time, load factor - Jumlah penumpang - Jarang tempuh rata-rata

penumpang

Analisis Data :

-Karakteristik operasi , sistem antrian naik turun penumpang, jumlah awak BRT, jam operasi. -Perbandingan Jumlah penumpang dan BRT

Kesimpulan dan Saran


(36)

44

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan hasil perhitungan yang telah dilakukan pada BRT koridor Korpri-Sukaraja dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan dari hasil penelitian, rata-rata load factor dari arah Korpri-Sukaraja sebesar 0,233, sedang kan dari arah Korpri-Sukaraja-Korpri sebesar 0,247. 2. Segmen yang tingkat isian penumpangnya sangat sedikit pada hasil penelitian :

A. Korpri-Sukaraja

Hari Jum’at terdapat pada segmen 7 (makam pahlawan-ramayana), kemudian segmen 11 sampai Sukaraja.

Hari Minggu pada segmen 11 sampai Sukaraja.

Hari Senin pada segmen 7 (makam pahlawan-ramayana), kemudian segmen 13 sampai Sukaraja.

B. Sukaraja-Korpri

Hari Jum’at pada segmen 1 sampai segmen 3, yaitu dimulai dari Sukaraja-halte PU.

Hari Minggu pada segmen 1 sampai segmen 4, dimulai dari Sukaraja-halte Bumi Waras.


(37)

45

Hari Senin pada segmen 1 sampai segmen 5, yaitu dari Sukaraja-halte Central plaza.

3. Efektifitas halte meliputi persentase naik turun penumpang di dalam halte dan diluar halte :

Dari arah Korpri-Sukaraja yang naik turun pada halte sebesar 43,750 %, sedangkan yang diluar halte sebesar 56,231 %.

Dari arah Sukaraja-Korpri yang naik turun pada halte sebesar 53,185 %, sedangkan yang diluar halte 46,815 %.

4. Berdasarkan hasil survey dan penelitian, jumlah pengguna yang menginginkan jarak aksesibilitas tidak lebih dari 139 m adalah sebesar 24 %. Berdasarkan realitanya, pengguna BRT masih dapat menerima jarak aksesibilitas tidak lebih dari 263,66 m sekitar 61 %. Jadi dapat diartikan bahwa pengguna BRT mengalami keterpaksaan untuk mencapai halte, karena jarak mereka untuk mencapai halte sudah melebihi dari standar Dinas Perhubungan yaitu sebesar 250m, hal inilah yang membuat kecendrungan pengguna BRT lebih banyak yang naik turun di luar halte.

5.2 Saran

1. Trayek layanan Trans Bandar Lampung jurusan Korpri-Sukaraja dapat di pecah menjadi Korpri-Ramayana dan Ramayana-Sukaraja. Dimana untuk Ramayana-Sukaraja, layanannya bisa dikurangi dengan tujuan untuk meningkatkan Load Factor jurusan Ramayana-Sukaraja. Jadi diasumsikan pada halte ramayana di jadikan sebagai halte transit. Jadi pada saat BRT jurusan Korpri-Sukaraja tiba di halte ramayana, penumpang berpindah menuju BRT jurusan Ramayana-Sukaraja, namun untuk keberangkatan pada jurusan


(38)

46

Ramayana-Sukaraja harus menunggu setidaknya 3 BRT dari jurusan Korpri-Sukaraja untuk meningkatkan Load Factor pada jurusan Ramayana-Korpri-Sukaraja

2. Perlu diperbanyak serta dikaji ulang untuk penempatan halte. Ada beberapa halte yang ditempatkan sesuai dengan jarak yang disyaratkan namun sedikit menarik penumpang. Namun ada juga beberapa halte yang ditempatkan ditujukan untuk menarik banyak penumpang namun konsekuensinya penumpang harus menempuh perjalanan yang lebih panjang untuk sampai ke tempat tujuan. Sehingga ke depannya perlu diadakan kajian ulang di tempat mana saja harus ditempatkan halte yang tidak merugikan penumpang maupun operator.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Perhubungan, 1996, Direktorat Jenderal Perhubungan

Darat,”Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan

Penumpang UmumDepartemen Perhubungan, Jakarta.

Departemen Perhubungan, 2008, Direktorat Jenderal Perhubungan

Darat,”Sistem Transportasi Mikro Departemen Perhubungan, Jakarta.

Departemen Perhubungan, 2009, Direktorat Jenderal Perhubungan

Darat,”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta peraturan pelaksanaannya, Departemen Perhubungan, Jakarta.

Nasution, H.M, 2003, Management Transportasi, ghalia, Jakarta.

Surat Keputusan Dirjen 687/2002, Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum, Departemen Perhubungan, Jakarta.

Tamin, O.Z, 1997, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Penerbit ITB, Bandung, dalam Tomi, A. 2001. Evaluasi Angkutan Umum Untuk Moda

Angkutan Bus AC dan Bus Non AC Pada Jalur Bakauheni-Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 63 halaman.

Walpole, R. E, 1995, Pengantar Statistik Edisi ke-3. PT. Gramedia, Jakarta.

Warpani, Suwardjoko, 2002, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. ITB. Bandung.


(1)

Ket :

R1 = Korpri R21 = Transit BCA

R2 = Pulau Damar R22 = Terminal Sukaraja R3 = L. Merah Way Halim R23 = Halte Malahayati R4 = Pos Polisi R24 = Halte Bank Buana R5 = Halte Bakti Utama R25 = Halte Center Plaza R6 = Halte RS Advent R26 = Halte Telkom

R7 = Halte Makam Pahlawan R27 = Halte Yamaha Kedaton R8 = Halte Ramayana R28 = Halte Koga

R9 = Halte Simpur R30 = Halte Danrem

R10 = Halte Fajar Agung R 31 = Halte Radar Lampung R11 = Bunderan Gajah R32 = Halte Yamaha Wayhalim R12 = Halte Poltabes

R13 = Patung Pengantin R14 = Halte Indosat R15 = Halte Mongonsidi R16 = Simpang K. Gubernur R17 = Simpang Polda R18 = Pom WR. Supratman R19 = Tugu Kurning


(2)

3.6 Flow Chart Alur Penelitian

Gambar 3.2. Flow Chart Alur Penelitian Mulai

Pengumpulan Data

Identifikasi Masalah dan Studi Pustaka

Data Primer : - survey frekwensi layanan - jumlah penumpah

- jarak tempuh brata-rata

Data Skunder : - Jumlah BRT yang terdaftar - Jumlah BRT yang di

tetapkan Walikota

Perhitungan Data : - Jumlah BRT yang dibutuhkan - Jumlah trip

- Headway, frekwensi layanan, cycle time, load factor - Jumlah penumpang - Jarang tempuh rata-rata

penumpang

Analisis Data :

-Karakteristik operasi , sistem antrian naik turun penumpang, jumlah awak BRT, jam operasi. -Perbandingan Jumlah penumpang dan BRT

Kesimpulan dan Saran


(3)

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan hasil perhitungan yang telah dilakukan pada BRT koridor Korpri-Sukaraja dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan dari hasil penelitian, rata-rata load factor dari arah Korpri-Sukaraja sebesar 0,233, sedang kan dari arah Korpri-Sukaraja-Korpri sebesar 0,247. 2. Segmen yang tingkat isian penumpangnya sangat sedikit pada hasil penelitian :

A. Korpri-Sukaraja

Hari Jum’at terdapat pada segmen 7 (makam pahlawan-ramayana),

kemudian segmen 11 sampai Sukaraja.

Hari Minggu pada segmen 11 sampai Sukaraja.

Hari Senin pada segmen 7 (makam pahlawan-ramayana), kemudian segmen 13 sampai Sukaraja.

B. Sukaraja-Korpri

Hari Jum’at pada segmen 1 sampai segmen 3, yaitu dimulai dari Sukaraja-halte PU.

Hari Minggu pada segmen 1 sampai segmen 4, dimulai dari Sukaraja-halte Bumi Waras.


(4)

Hari Senin pada segmen 1 sampai segmen 5, yaitu dari Sukaraja-halte Central plaza.

3. Efektifitas halte meliputi persentase naik turun penumpang di dalam halte dan diluar halte :

Dari arah Korpri-Sukaraja yang naik turun pada halte sebesar 43,750 %, sedangkan yang diluar halte sebesar 56,231 %.

Dari arah Sukaraja-Korpri yang naik turun pada halte sebesar 53,185 %, sedangkan yang diluar halte 46,815 %.

4. Berdasarkan hasil survey dan penelitian, jumlah pengguna yang menginginkan jarak aksesibilitas tidak lebih dari 139 m adalah sebesar 24 %. Berdasarkan realitanya, pengguna BRT masih dapat menerima jarak aksesibilitas tidak lebih dari 263,66 m sekitar 61 %. Jadi dapat diartikan bahwa pengguna BRT mengalami keterpaksaan untuk mencapai halte, karena jarak mereka untuk mencapai halte sudah melebihi dari standar Dinas Perhubungan yaitu sebesar 250m, hal inilah yang membuat kecendrungan pengguna BRT lebih banyak yang naik turun di luar halte.

5.2 Saran

1. Trayek layanan Trans Bandar Lampung jurusan Korpri-Sukaraja dapat di pecah menjadi Korpri-Ramayana dan Ramayana-Sukaraja. Dimana untuk Ramayana-Sukaraja, layanannya bisa dikurangi dengan tujuan untuk meningkatkan Load Factor jurusan Ramayana-Sukaraja. Jadi diasumsikan pada halte ramayana di jadikan sebagai halte transit. Jadi pada saat BRT jurusan Korpri-Sukaraja tiba di halte ramayana, penumpang berpindah menuju BRT jurusan Ramayana-Sukaraja, namun untuk keberangkatan pada jurusan


(5)

Ramayana-Sukaraja harus menunggu setidaknya 3 BRT dari jurusan Korpri-Sukaraja untuk meningkatkan Load Factor pada jurusan Ramayana-Korpri-Sukaraja

2. Perlu diperbanyak serta dikaji ulang untuk penempatan halte. Ada beberapa halte yang ditempatkan sesuai dengan jarak yang disyaratkan namun sedikit menarik penumpang. Namun ada juga beberapa halte yang ditempatkan ditujukan untuk menarik banyak penumpang namun konsekuensinya penumpang harus menempuh perjalanan yang lebih panjang untuk sampai ke tempat tujuan. Sehingga ke depannya perlu diadakan kajian ulang di tempat mana saja harus ditempatkan halte yang tidak merugikan penumpang maupun operator.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Perhubungan, 1996, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat,”Pedoman Teknis Perekayasaan Tempat Perhentian Kendaraan

Penumpang UmumDepartemen Perhubungan, Jakarta.

Departemen Perhubungan, 2008, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat,”Sistem Transportasi Mikro Departemen Perhubungan, Jakarta. Departemen Perhubungan, 2009, Direktorat Jenderal Perhubungan

Darat,”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta peraturan

pelaksanaannya, Departemen Perhubungan, Jakarta.

Nasution, H.M, 2003, Management Transportasi, ghalia, Jakarta.

Surat Keputusan Dirjen 687/2002, Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum, Departemen Perhubungan, Jakarta.

Tamin, O.Z, 1997, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Penerbit ITB, Bandung, dalam Tomi, A. 2001. Evaluasi Angkutan Umum Untuk Moda

Angkutan Bus AC dan Bus Non AC Pada Jalur Bakauheni-Bandar

Lampung. Skripsi. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 63 halaman.

Walpole, R. E, 1995, Pengantar Statistik Edisi ke-3. PT. Gramedia, Jakarta.

Warpani, Suwardjoko, 2002, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. ITB. Bandung.