BENTUK, TIPOLOGI, DAN DAMPAK BULLYING DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (STUDI PADA PELAJAR SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KECAMATAN BUMI NABUNG, KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

(1)

SHAPE, TYPOLOGY, AND BULLYING IMPACT IN THE JUNIOR HIGH SCHOOL

(STUDY ON STUDENT OF JUNIOR HIGH SCHOOL IN BUMI NABUNG DISTRICT, LAMPUNG TENGAH)

By

HIDAYATURROHMAN

This research is aimed to find out a shape and bullying typology, and to understanding bullying impact on junior high school student in Bumi Nabung district. This research is done in four school: SMP Negeri 2 Bumi Nabung, SMP PGRI 1 Bumi Nabung, MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung, MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung by used the qualitative methode. Data collected techniques by documents study, observation, and in-depth interview. This research have found: first, form bullying direct-verbal contact, that is to give a mocking nickname, and to extortion with intimidation. Shape bullying non direct-verbal contact, that is to mischiveous with scratch spidol to the body. Second, two bullying typology is the overt violence and divert violence. Third, bullying impact to individual life, that is to afraid and secluded. Bullying impact to social life, that is reluctant to interacting, and mindering. Bullying impact to academic life, that is uncomfortable learning atmosphere, and prevent a learning achievement.


(2)

BENTUK, TIPOLOGI, DAN DAMPAK BULLYINGDI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

(STUDI PADA PELAJAR SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KECAMATAN BUMI NABUNG, KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

Oleh

HIDAYATURROHMAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan tipologi bullying, serta memahami dampak bullying yang terjadi pada pelajar di kecamatan Bumi Nabung. Penelitian ini dilakukan di empat sekolah, yaitu: SMP Negeri 2 Bumi Nabung, SMP PGRI 1 Bumi Nabung, MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung, MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung dengan memakai metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik studi dokumen, observasi, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menemukan: pertama, bentuk bullying kontak verbal langsung, yaitu: memberi nama panggilan/julukkan, pemerasan beserta ancaman. Bentuk

bullying non-verbal langsung, yaitu: menjahili dengan mencoret tubuh menggunakan spidol. Kedua, tipologi bullying kekerasan terbuka (overt), dan kekerasan agresif. Ketiga, dampak bullying terhadap kehidupan individu: menimbulkan rasa takut, dan suka menyendiri, dampak bullying terhadap kehidupan sosial: enggan berinteraksi, dan merasa minder, serta dampak bullying

terhadap kehidupan akademik: suasana belajar tidak nyaman, dan prestasi nilai menjadi standar.


(3)

(STUDI PADA PELAJAR SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KECAMATAN BUMI NABUNG, KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

Oleh

HIDAYATURROHMAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(STUDI PADA PELAJAR SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KECAMATAN BUMI NABUNG, KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

(Skripsi)

Oleh:

HIDAYATURROHMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

Gambar Halaman

1. Skema Kerangka Berpikir………... 35

2. Suasana Interaksi antar Siswa SMP Negeri 2 Bumi Nabung ... 44

3. Tugu masuk SMP N 2 Bumi Nabung ... 53

4. Interaksi antar siswa SMP Negeri 2 Bumi Nabung ... 54

5. Interaksi antar siswa SMP Negeri 2 Bumi Nabung ... 55

6. Tugu masuk SMP PGRI 1 Bumi Nabung ... 57

7. Interaksi antar siswa SMP PGRI 1 Bumi Nabung ... 58

8. Tugu Masuk dan Visi MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung... 60

9. Suasana interaksi antar siswa MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung... 61

10. Sesudahsiswa MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung menjalankan shalat sunnah dhuha…………... 62

11. Gerbang masuk MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung... 64

12. Suasana santai siswa di kantin MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung... 65

13. MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung... 67

14. Suasana interaksi siswa MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung di kantin Ibu Sri. 73 15. Suasana interaksi antar siswa SMP N 2 Bumi Nabung ... 84


(6)

1. Daftar Inisial Nama Informan Penelitian ... 41

2. Lingkup Kegiatan yang Diteliti... 51

3. Keadaan Siswa SMP Negeri 2 Bumi Nabung... 55

4. Kegiatan Ektrakurikuler ... 56

5. Keadaan Siswa SMP PGRI 1 Bumi Nabung ... 59

6. Kegiatan Ektrakurikuler ... 59

7. Keadaan Siswa MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung... 62

8. Kegiatan Ektrakurikuler ... 63

9. Keadaan Siswa MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung... 66

10. Kegiatan Ektrakurikuler ... 66

11. Ringkasan bentukbullyingdi SMP di Bumi Nabung ... 75

12. Ringkasan tipologibullyingdi SMP di Bumi Nabung ... 77


(7)

(8)

Buah dari segenap kesabaran akan sebuah perjuangan.

Puji syukur kepada Allah SWT, pencipta segala yang ada di dunia ini, yang telah memberikan keajaiban-keajaiban besar bagiku agar selalu bersabar dan bersyukur, sehingga aku mampu berdiri dan menatap ke depan dengan optimis, aku persembahkan karya kecil ini kepada;

1. Kedua Orang Tuaku Tercinta

Bapak Paimin dan Ibu Jumini, yang senantiasa berjuang tanpa lelah, memeberi tanpa harap, berdoa tanpa henti dalam setiap hembusan nafasnya, mendidik dengan penuh cinta kasih, merawat dan membesarkan dengan tulus, menanti dengan penuh kesabaran, serta memberikan nafkah lahir batin dengan tetesan peluh dan linangan air mata. Semoga Allah SWT, membalas setiap tetesan keringat dan jejak langkah Ayah dan Ibu dengan kebahagiaan.

2. Istriku

Ani Murniati, S.Pd.I., yang selama ini selalu mendukung, memberi motivasi, semangat, doa serta penantian tiada akhir di setiap putaran waktu dan tempat. 3. Almamaterku tercinta Universitas Lampung.


(9)

(10)

"Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti soal-soal yang

meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya dikuasai oleh

nafsunya"

(Nabi Muhammad saw)

Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai berkelahi, tetapi orang

yang mampu menguasai dirinya ketika marah"

Aku tidak sebaik yang kau ucapkan, tapi aku juga tidak seburuk

apa yang terlintas di hatimu


(11)

Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 19 Maret 1992, sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Paimin dan Ibu Jumini. Pendidikan penulis diawali di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Sumber Katon diselesaikan pada tahun 2004, yang kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bumi Nabung, diselesaikan pada tahun 2007. Pada masa SMP pernah aktif di pramuka Penggalang Kwaran SMPN 2 Bumi Nabung, aktif di berbagai cabang olah raga. Dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Seputih Surabaya yang diselesaikan pada tahun 2010. Pada masa SMA penulis pernah aktif di PASKIBRA Seputih Surabaya.

Pada Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi kemahasiswaan eksternal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan kerap mengikuti diskusi politik di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Penulis pernah aktif di Komunitas Sosiolog Muda Lampung yang memandu tema penelitian ini juga dijadikan artikel opini berjudul “Bullying, Duri Pendidikan Kita”, dan terbit di tabloid TEKNOKRA UNILA No. 134/XIV Edisi Mei 2014. Pada tahun 2013, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Gedung Riang Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan.


(12)

Bismillahhirrahmaanirrahim,

Puji syukur penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan kuasa- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Bentuk, Tipologi, dan Dampak Bullying di Sekolah Menengah Pertama (Studi Pada Pelajar Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah)”.

Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari hambatan yang datang, baik dari luar maupun dari dalam penulis. Penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan petunjuk dari Bapak Dr. Hartoyo, M. Si. selaku pembimbing. Terimakasih telah memeberikan pengarahan, motivasi, dan bimbingannya kepada penulis. Selain itu penulis juga terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmus Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Susetyo, M.Si., selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Hartoyo, M.Si., selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan pengarahan, saran dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.


(13)

5. Abdul Haris, S.Pd.I., selaku Kepala Sekolah MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung, yang telah memebrikan izin untuk melakukan penelitian di pesantren tersebut dan membantu penulis dalam memberikan informasi yang mendukung terselsainya skripsi ini.

6. Juwarlan, S.Pd.I., selaku Kepala Sekolah MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung, yang telah membantu mengarahkan serta memenuhi segala informasi yang penulis butuhkan.

7. Drs. I Wayan Mawan Setiawan. M.M., selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Bumi Nabung, yang telah membantu dan mendukung segala proses pengumpulan data yang penulis butuhkan.

8. Nuryadi, S.Pd., selaku Kepala Sekolah SMP PGRI 1 Bumi Nabung, yang sangat mendukung dan menyediakan segala informasi dan data untuk penulis dalam menyelasaikan skripsi ini.

9. Guru-guru dan informan yang tentunya telah meluangkan waktu untuk penulis dan memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam rangkamenyelesaikan tugas akhir skripsi.

10. Staf tata usaha dan karyawan Universitas Lampung.

11. Ibu dan Ayah yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materiil. Motivasi, nasihat bijaksana, kasih sayang, doa dan keikhlasan yang selalu menyertai penulis.

12. Seluruh keluarga besar yang terus memberikan dukungan dan doa yang menanti keberhasilanku.


(14)

menjadi perantau. Tetap selalu ingat bahwa nasi adalah lauk.

14. Sahabat-sahabat terbaiku M. Saddam SSDC, agan Emil, Bayu Mars, Septian Dwi Sondiana, terimakasih telah memberikan makna persahabatan yang begitu indah dan berwarna, semangat, motivasi serta canda tawa dalam kebersamaan kita, semoga kita menjadi orang yang sukses sesuai dengan yang kita harapkan Aamiin.

15. Teman-teman seperjuanganku di Sosiologi 2010, Zaqy Ilman Jiwandiono (Ketum), Aji, Azis, Arif, Ardi (Kiyay), Angga (Bob), Dany Prayoga, Hesti Elisa, Ayu Megarani, dan semua teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, semoga kebersamaan kita ini dapat kita kenang selama-lamanya. 16. Teman-teman KKN 2013 di Desa Gedung Riang, Rio, Dr. Sulaiman (Sule),

Debri, Trisara, Anisa, Rio Setiawan, terimakasih atas sikap kekeluargaan selama 40 hari yang menciptakan sikap persaudaraan erat dalam kerasnya kehidupan nyata di desa Gedung Riang.

17. Keluarga besa Desa Gedung Riang Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan.

18. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulisan skripsi ini hingga selesai.

Semoga amal baik yang telah bapak/ ibu, saudara/ i serta teman-teman berikan akan mendapatkan pahala dan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala kritik dan saran yang


(15)

berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, Juni 2015 Penulis,


(16)

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

SURAT PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

HALAMAN MOTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

SANWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. TinjauanTentang Bullying ... 11

1. Pengertian Bullying ... 11

2. Bentuk Bullying ... 14

3. Tipologi Bullying ... 15

4. Faktor Penyebab Bullying ... 16

5. Karakteristik Korban Bullying ... 17

6. Dampak Bullying ... 18

7. Masalah Bullying di Sekolah ... 20

B. Bullying dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik ... 25

1. Prinsip-prinsip Interaksionisme Simbolik ... 25

2. Bullying di Sekolah dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik ... 31

C. Kerangka Berpikir ... 34

D. Skema Kerangka Berpikir ... 35


(18)

D. Informan Penelitian ... 38

1. Kriteria Informan ... 38

2. Cara Memperoleh Informan ... 39

3. Informan Penelitian ... 40

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

1. Studi Dokumen ... 42

2. Observasi ... 43

3. Wawancara Mendalam (Indepth Interview) ... 45

F. Teknik Analisa Data ... 48

1. Reduksi Data ... 48

2. Sajian Data ... 50

3. Penarikan Simpulan dan Verivikasi ... 50

G. Lingkup Kegiatan yang Diteliti ... 51

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 53

A. Gambaran Umum SMP Negeri 2 Bumi Nabung ... 53

1. Interaksi antar Siswa SMP Negeri 2 Bumi Nabung ... 54

2. Kondisi SMP Negeri 2 Bumi Nabung ... 55

B. Gambaran Umum SMP PGRI 1 Bumi Nabung ... 57

1. Interaksi antar Siswa SMP PGRI 1 Bumi Nabung ... 58

2. Kondisi SMP PGRI 1 Bumi Nabung ... 59

C. Gambaran Umum MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung ... 60

1. Interaksi antar Siswa MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung ... 60

2. Kondisi MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung ... 62

D. Gambaran Umum MTs Ma’arif 08Bumi Nabung ... 64

1. Interaksi antar Siswa MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung ... 65

2. Kondisi MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung ... 66

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Bentuk Bullying Pelajar SMP di Bumi Nabung ... 69

1. Diejek, Diperas, Hingga Diancam ... 69

2. Dijahili Teman Sepermainan ... 72

B. Tipologi Bullying Pelajar SMP di Bumi Nabung ... 75

1. Kekerasan yang Terbuka ... 76

2. Kekerasan yang Agresif ... 77

C. Keterangan Pelaku Bullying Pelajar SMP di Bumi Nabung. ... 78

1. Dendam Pengalaman Korban Bullying ... 78

2. Terbiasa Memeras Uang Jajan ... 80

3. Terpengaruh Kawan Sepermainan ... 81

D. Dampak Korban Bullying Pelajar SMP di Bumi Nabung ... 83

1. Malu dan pasrah ... 83

2. Takut dan Tertekan ... 87


(19)

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN


(20)

A. Latar Belakang Masalah

Maraknya pemberitaan di media massa terkait dengan tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, nampaknya semakin melegitimasi tuduhan miring soal gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Kekerasan yang terjadi bukan hanya yang kasat mata bisa diamati seperti tawuran antar pelajar saja. Melainkan, ada bentuk kekerasan lain yang bersifat laten dengan dampak buruk yang jangka panjang namun terus terjadi secara terselubung, yakni

bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap pihak lain hingga mengakibatkan keadaan tidak nyaman bahkan terluka secara fisik maupun psikis (Prasetyo, 2011).

Fakta-fakta berikut barangkali cukup membuktikan bagaimana bullying yang dilakukan oleh pelajar di lingkungan sekolah. Seperti diberitakan

VIVAnews.com tahun 2011 silam, dunia pendidikan Lampung dihebohkan dengan beredarnya video aksi bullying yang dilakukan siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Bandar Lampung. Dari tayangan video terlihat para pelaku mencaci maki, menjambak, menendang, menampar, dan menarik dasi seragam korban. Setahun kemudian diberitakan detiknews.com


(21)

muncul kasus bullying lain yang tidak kalah menghebohkan pendidikan di Indonesia adalah tidakan kekerasan yang dilakukan siswa senior terhadap junior di SMA Don Boscos. Dari keterangan korban, mereka mengaku ditempeleng, dipukul, dan disundut rokok oleh seniornya yang menyebabkan korban mengalami luka pada beberapa bagian tubuh akibat sundutan rokok dan pukulan. Sementara Tribunnews.com memberitakan kasus bullying teranyar yang menelan korban jiwa adalah meninggalnya Muhammad Syukur (6), bocah kelas 1 SD di Makasar yang tewas akibat dikeroyok tiga orang teman sekelasnya saat pulang sekolah.

Perhatian khusus terhadap fenomena bullying di sekolah sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa maupun Amerika. Banyaknya kasus bullying yang terjadi di sekolah membuat pemerintah di negara-negara tersebut memberikan peraturan tersendiri terkait dengan kasus

bullying itu. Di Amerika Serikat sekitar 160.000 anak usia sekolah lebih memilih tinggal di rumah setiap hari, dibandingkan pergi ke sekolah dan

di-bully. Sekitar 1 dari 3 anak sekolah menjadi korban bullying di sekolah, dan lebih dari 60% anak pernah menyaksikan aksi bullying namun tidak bisa melakukan apapun (Wiyani, 2012).

Sementara dunia pendidikan di Indonesia saat ini nampaknya juga harus mulai memberikan perhatian khusus terhadap fenomena bullying yang terjadi di sekolah. Terkait dengan tindak kekerasan fisik maupun psikis yang sering terjadi diantara para pelajar di sekolah, baik yang dilakukan oleh individu terhadap individu, kelompok terhadap individu, ataupun kelompok dengan


(22)

kelompok seperti tawuran antar pelajar. Terkadang ditemukan pula kasus

bullyingyang dilakukan oleh oknum guru baik disadari maupun tidak.

Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada tahun 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 66,1% di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kekerasan yang dilakukan sesama siswa tercatat sebesar 41,2% untuk tingkat SMP, dan 43,7% untuk tingkat SMA, dengan kategori tertinggi kekerasan verbal atau mengejek, dan terakhir kekerasan fisik atau memukul (Wiyani, 2012).

Berdasarkan data tersebut di atas, bullying seolah-olah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak pelajar di zaman yang penuh persaingan ini. Kiranya, perlu dipikirkan mengenai resiko dan dampak yang akan dihadapi anak, agar selanjutnya dapat dicarikan jalan keluar untuk memutus mata rantai kekerasan yang saling berkelindan tanpa habis-habisnya. Tentunya, berbagai pihak turut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak sebagai generasi penerus, karena anak-anak juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh negara, orang tua, guru, dan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan komitmen bersama dan langkah nyata untuk mencegah mewabahnya praktikschool bullying.

Pada dasarnya bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja di mana ada interaksi sosial antar manusia berpotensi terjadi bullying didalamnya, antara lain di sekolah (school bullying), kampus, tempat kerja (work pleace bullying),


(23)

dunia maya (cyber bullying), lingkungan politik (political bullying), lingkungan militer (military bullying), dan lingkungan masyarakat (preman, geng motor). Dalam hal ini, bullying di sekolah adalah kasus yang sering dilupakan. Padahal, bullying di sekolah dapat menyebabkan efek yang sangat serius baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi para korbannya. Dalam jangka pendek bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, depresi atau bahkan menderita stress yang dapat berakhir dengan bunuh diri bagi si korban. Sedangkan dalam jangka panjang, korban bullying dapat menderita masalah gangguan emosional dan perilaku (Prasetyo, 2011).

Sekolah menjadi tempat yang efektif untuk melakukan tindakan bullying, karena sekolah merupakan ruang menimba ilmu bagi begitu banyaknya siswa dengan latar belakang dan jenjang pendidikan yang majemuk. Dalam kesehariannya, siswa intensif berinteraksi dengan teman sebaya yang kemudian berpotensi terjadibullyingdiantara mereka. Terlebih di periode anak-anak yang memang belum mengerti tata pemilihan dalam bersikap. Tentu bullying

bukanlah tujuan yang ingin dicapai dari proses pendidikan.

Keberhasilan seorang siswa cukup dipengaruhi oleh proses pembelajaran di sekolah, ketika lingkungan sekolah menjadi wabah praktik bullying, hal ini dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan siswa baik secara psikis maupun fisik yang akan berdampak terhadap prestasi atau hasil belajar siswa. Sekolah yang menjadi cambuk terdepan menciptakan generasi penerus bangsa harus mulai berbenah guna dapat mencegah praktik bullying ini, mengingat


(24)

berbagai dampak negatif yang diterima korbannya. Apalagi bullying terjadi kepada mereka para siswa dengan kategori usia yang sangat muda dan masih menerima semua apa yang dialami.

Seperti halnya virus, bullying dapat menyerang siapa saja mereka yang memiliki daya tahan lemah. Apalagi terhadap anak-anak yang kestabilan berpikir mengenai perilaku yang baik dan buruk masih dalam proses pembentukan. Pada masa pertumbuhannya, anak jenjang usia 12-15 tahun yang tergolong sebagai remaja awal atau yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), memiliki tingkat kematangan berpikir yang sangat labil dan mudah terpengaruh terhadap hal-hal negatif yang dapat menggangu proses sosialisasi di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan masyarakat.

Selain di rumah dan lingkungan sekitarnya, anak-anak cukup banyak menghabiskan waktu bersosialisasi di lingkungan sekolah, disanalah biasanya anak remaja cenderung untuk menunjukan jati dirinya masing-masing. Dalam hal ini, perilaku remaja yang terbentuk akan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosialnya, terutama teman sepermainan. Teman yang baik akan memberi pengaruh positif pada anak, tetapi sebaliknya teman yang kurang baik akan memberi pengaruh yang negatif. Sehingga di lingkungan sekolah inilah seharusnya dapat tercipta sebuah interaksi sehat yang dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan anak.

Melihat fenomena bullying seperti yang terjadi di sekolah tersebut, dalam sosiologi terdapat pendekatan teori yang dapat dilakukan untuk menganalisis fenomena ini, yaitu teori interaksionisme simbolik yang memberikan pokok


(25)

perhatiannya kepada pemahaman tentang proses-proses interaksi sosial dan akibat-akibatnya bagi individu dan masyarakat. Interaksi adalah suatu proses dimana kemampuan untuk berpikir dikembangkan dan diungkapkan. Segala macam interaksi menyaring kemampuan kita untuk berpikir. Lebih dari itu, berpikir mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Dalam kebanyakan tingkah laku, seorang aktor harus memperhitungkan orang lain dan memutuskan bagaimana harus bertingkah laku supaya cocok dengan orang lain. Namun demikian tidak semua interaksi melibatkan proses berpikir, maka dapat dibedakan dua macam interaksi, yakni interaksi non-simbolik yang tidak melibatkan proses berpikir dan interaksi simbolik yang melibatkan proses berpikir (Raho, 2007).

Arti dan simbol-simbol memberikan aksi dan interaksi menjadi memiliki suatu kekhasan. Tindakan sosial atau aksi pada dasarnya adalah sebuah tindakan dimana seseorang bertindak dengan selalu mempertimbangkan orang lain dalam pikirannya. Dengan kata lain, dalam bertindak manusia selalu mengukur dampak untuk orang lain yang terlibat dalam tindakan itu. Sekalipun ada manusia yang bertindak tanpa berpikir namun manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan sosial, yakni tindakan yang terarah atau yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam proses interaksi sosial, manusia mengkomunikasikan arti-arti kepada orang lain melalui simbol-simbol. Kemudian orang lain menginterpretasi simbol-simbol itu dan mengarahkan tingkah laku mereka berdasarkan interpretasi mereka. Dengan kata lain, dalam suatu interaksi sosial, aktor-aktor selalu terlibat dalam proses saling mempengaruhi (Raho, 2007).


(26)

Atas dasar hal ini, menjadi penting untuk dilakukan sebuah penelitian, mengingat begitu tingginya angka kekerasan atau bullying yang terjadi di sekolah di Indonesia dan berbagai dampak negatif yang dialami oleh para korbannya. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar, bermain yang nyaman dan aman bagi anak, justru menjadi momok menakutkan yang harus dihindari. Pendidikan yang diharapkan mampu menciptakan generasi penerus yang berbudi pekerti luhur dan bermanfaat bagi orang tua, bangsa dan negara kini harus terkontaminasi oleh tindakan-tindakan pelakubullyingyang pastinya menimbulkan suatu social disorder atau kekacauan dalam sistem kehidupan masyarakat.

Adapun penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah. Peneliti memilih lokasi tersebut karena sebagai sekolah yang mempunyai letak geografis jauh dari pusat kota, maka apa yang terjadi di sana jauh dari sentuhan kontrol sosial seperti ekspos media massa dan partisipasi masyarakat umum. (Yulianti, Poernomo, dan Mangku 2003) menjelaskan bahwa gambaran tentang kondisi sosial masyarakat pedesaan merupakan ketidakberdayaan yang kemudian menjadi kebiasaan dan melembaga menjadi tata nilai atau norma umum atau kemahfuman yang berlebih pada kekurangan. Anak-anak di pedesaan pada umumnya memiliki sikap yang cenderung pasrah, mudah menerima hal-hal baru tanpa menyaring terlebih dahulu apakah hal tersebut baik atau buruk untuk dirinya, hal ini berbeda dengan anak-anak di perkotaan yang cenderung lebih kritis dalam menilai hal-hal baru, sekalipun juga mereka tetap mencoba dan menerimanya.


(27)

Kontrol sosial dilakukan oleh orangtua di masyarakat perkotaan juga lebih proaktif terhadap perkembangan anak dalam proses pendidikan di sekolah, terutama dengan kerjasama antar orangtua dan guru melalui pendekatan-pendekatan persuasif. Berbeda dengan orangtua di masyarakat pedesaan yang cenderung bersikap pasif terhadap perkembangan anak di sekolah, dengan lebih mempercayakan sepenuhnya kepada pihak sekolah sebagai rumah keduanya.

Sumber daya manusia guru di perkotaan pun mimiliki kualitas yang cukup tinggi selain dari kelengkapan fasilitas. Sementara sumber daya manusia guru untuk pedesaan belum mempunyai kualitas yang mumpuni dan kompetitif dalam menghadapi perkembangan zaman sekarang ini. Sehingga dari berbagai keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan di pedesaan, sangat memungkinkan terjadinya tindak kekerasan bullying yang akan berdampak negatif pada perkembangan anak yang menjadi korban dalam kehidupan sosialnya kelak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian yang telah peneliti paparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa saja bentuk bullyingyang terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah?

2. Apa saja tipologi bullying yang terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah?


(28)

3. Bagaimanakah dampak bullying terhadap korban yang terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk bullying yang terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah. 2. Untuk mengetahui tipologi bullying yang terjadi di Sekolah Menengah

Pertama (SMP) di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah. 3. Untuk memahami dampakbullyingterhadap korban yang terjadi di Sekolah

Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan dalam dua aspek, yaitu secara Teoritis dan Praktis.

1. Aspek Teoritis

Memberikan sumbangan berupa khasanah pengetahuan sosiologi pendidikan dan teori interaksionisme simbolik, terutama dalam menganalisa


(29)

2. Aspek Praktis

Menjadi sumbangan pertimbangan untuk penyusunan kebijakan pendidikan oleh Dinas Pendidikan, dan lembaga terkait dalam rangka menanggulangi


(30)

A. Tinjauan TentangBullying 1. PengertianBullying

Katabullyingsendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan destruktif. Berbeda dengan negara lain seperti Norwegia, Finlandia, dan Denmark yang menyebut

bullying dengan istilahmobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari bahasa Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak serta terlibat kekerasan (Wiyani, 2012).

Secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakanmenyakat, yang berasal dari kata sakatdan pelakunya disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain. Sedangkan secara terminologi menurut Olweus, 1952 (dalam Wiyani, 2012) mengatakan bahwa bullying adalah perilaku negatif yang mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka dan biasanya terjadi berulang-ulang,repeated during successiveencounters. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya bullying adalah perilaku negatif


(31)

berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat merugikan orang lain.

Secara sosiologis, bullying adalah wujud ketidakberimbangan kekuasaan. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti apa yang diinginkan dan diperintahkan pihak tertentu. Pihak yang memerintah adalah profil yang berkuasa. Adapun yang cuma menjalankan perintah adalah pihak yang dikuasai. Bullying serupa dengan aksi-aksi dalam kerajaan binatang. Hukum yang diterapkan adalah siapa paling kuat maka dia boleh hidup (Lukmantoro, 2012).

Berdasarkan definisi tersebut, menurut Prasetyo (2011) bullying terjadi karena:

a. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bulying dan target (korban). ketidakseimbangan kekuatan ini bisa berupa ukuran badan, kekuatan fisik, kepandaian bicara atau pandai bersilat lidah, gender (jenis kelamin), status sosial, perasaan lebih superior. Unsur ketidakseimbangan kekuatan inilah yang membedakan bullying dengan bentuk konflik yang lain. Dalam konflik antar dua orang yang kekuatannya sama, masing-masing memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi dan berkompromi untuk menyelesaikan masalah. Dalam kasus bullying, ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku

bullying dan korbannya menghalangi keduanya untuk menyelesaikan konflik mereka sendiri, sehingga perlu kehadiran pihak ketiga. Sebagai


(32)

contoh, anak kecil yang mendapat perlakuan bullying dari teman sebayanya, perlu bantuan orang dewasa.

b. Adanya perilaku tidak wajar (penyalahgunaan) ketidakseimbangan kekuatan tersebut dengan cara mengganggu, menyerang secara berulang kali, atau dengan cara mengucilkan (mendiamkan).

Contoh dari perilakubullyingitu sendiri antara lain mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti atau intimidasi, mengancam, menindas, memalak atau menyerang secara fisik seperti mendorong, menampar, atau memukul. Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa perilaku bullying tersebut merupakan hal sepele atau bahkan normal dalam tahap kehidupan manusia atau dalam kehidupan sehari-hari. Namun faktanya, perilaku bullying merupakan learned behaviorskarena manusia tidak terlahir sebagai penggertak dan pengganggu yang lemah. Bullying merupakan perilaku tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele pun kalau dilakukan secara berulang kali pada akhirnya dapat menimbulkan dampak serius dan fatal. Membiarkan atau menerima perilaku bullying, berarti memberikan bullies powerkepada pelaku bullying, menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan meningkatkan budaya kekerasan. Interaksi sosial yang tidak sehat dapat menghambat pengembangan potensi diri secara optimal sehingga memandulkan budaya unggul (Wiyani, 2012).


(33)

2. BentukBullying

Berkaitan dengan kekerasan di sekolah atau bullying, maka school bullying

dapat didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa-siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Berdasarkan definisi diatas, kemudian menurut Wiyani (2012), perilaku

bullyingdikelompokan ke dalam lima bentuk, sebagai berikut: a. Kontak fisik langsung, yaitu:

Memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mencubit, mencakar.

b. Kontak verbal langsung, yaitu:

Mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi nama panggilan atau julukkan (name-calling), sarkasme, merendahkan (putdowns), mencela atau mengejek, mengintimidasi, memaki dan menyebar gosip, dan pemerasan.

c. Perilaku non-verbal langsung, yaitu:

Melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, menjahili.

d. Perilaku non-verbal tidak langsung, yaitu:

Mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan hingga retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirim surat kaleng.

e. Pelecehan seksual


(34)

3. TipologiBullying

Budaya kekerasan sepertinya semakin hari semakin menguat dalam berbagai aspek kehidupan kita. Julukan bangsa yang penuh adab, sopan santun, toleran, dan memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, lambat laun mulai menghilang dari khazanah kehidupan kita, baik dalam konteks hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Budaya kekerasan telah menjelma dalam berbagai bentuk, seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan kita menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.

Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks sempit, yang biasanya berkaitan dengan perang, pembunuhan, atau kekacauan. Padahal, kekerasan itu bentuknya bermacam-macam, termasuk bullying di dalamnya. Kekerasan mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran yang kompleks dan kerapkali saling bertentangan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka maupun tertutup, baik yang bersifat menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, menurut Wiyani (2012) ada empat tipologi kekerasan

bullyingyang dapat diidentifikasi, yaitu:

a. Kekerasan terbuka (overt)

Kekeraasan yang dapat dilihat secara langsung, misalnya perkelahian ataupun tawuran antar pelajar.


(35)

b. Kekerasan tertutup (covert)

Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam.

c. Kekerasan agresif

Kekerasan yang tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki.

d. Kekerasan defensif

Kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri atau pembelaan diri dari ancaman pihak lain.

4. Faktor Penyebab MelakukanBullying

Banyak faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan atau bullying dalam diri anak, diantaranya menurut Coloroso (2007):

a. Budaya paternalistik

Dalam budaya tersebut berkembang pandangan bahwa lelaki yang hebat adalah lelaki yang tidak takut mengalami tindakan kekerasan.

b. Tidak ada ruang publik yang aksesibel

Remaja menjadi liar antara lain karena tidak adanya ruang publik yang dapat diakses mereka untuk bertemu dan melakukan beragam kegiatan misalnya gelanggang remaja agar kreativitas mereka tersalurkan.

c. Menjadi korban kekerasan

Sebagian besar faktor penyebab kekerasan yang dilakukan remaja adalah karena sebelumnya pernah menjadi korban dari kekerasan itu sendiri,


(36)

sehingga terdapat unsur “balas dendam” kepada juniornya dan akhirnya menjadi tradisi.

d. Pengaruh lingkungan masyarakat, budaya dan media

Lingkungan masyarakat amat berpengaruh terhadap perkembangan remaja. Masyarakat sekarang ini penuh polemik dan hampir selalu diwarnai dengan kekerasan dalam menyelesaikan masalah sehingga remaja mudah meniru. Ditambah lagi siaran media khususnya media elektronik yang menampilkan aneka bentuk kekerasan turut membentuk mental remaja.

5. Karakteristik Korban Bullying

Korban bullying adalah seseorang yang berulang kali mendapatkan perlakuan agresi dari kelompok teman sebaya, baik dalam bentuk serangan fisik, verbal, atau kekerasan psikologis. Menurut Setiawati (2008) biasanya anak yang menjadi korbanbullyingadalah mereka yang paling lemah secara fisik. Anak yang menjadi korban bullying kebanyakan dari keluarga atau sekolah yang overprotective sehingga mereka tidak dapat mengembangkan secara maksimal kemampuan untuk memecahkan masalah (coping skill).

Seperti halnya Coloroso (2007) menyebutkan beberapa karakteristik anak yang rentan menjadi korban bullying adalah anak yang baru di lingkungan itu, anak termuda di sekolah, anak yang pernah mengalami trauma, anak penurut, anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau berkelahi, anak yang pemalu, anak yang miskin atau kaya, anak yang ras suku etnisnya dipandang inferior oleh penindas, anak yang


(37)

agamanya dipandang inferior oleh penindas, anak yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan orang lain, anak dengan ketidak cakapan mental atau fisik, dan anak yang berbeda di tempat yang keliru pada saat yang salah.

Apabila anak telah menjadi korban bullying, anak tidak akan memberitahukan kepada orang lain secara terus terang. Mereka mempunyai alasan untuk tidak memberitahukan masalah itu. Menurut Coloroso (2007) terdapat beberapa alasan anak tidak mau berterusterang mengenai hal tersebut, diantaranya:

a. Merasa malu karena pernah ditindas;

b. Takut akan aksi balas dendam kalau orang dewasa diberitahu; c. Mereka berpikir tidak ada orang yang dapat menolong mereka; d. Mereka tidak berpikir kalau ada orang yang akan menolong.

6. DampakBullying

Suyatno (2003), menjelaskan bahwa terdapat berbagai dampak negatif yang dialami anak-anak yang menjadi korbanbullyingyaitu:

a. DampakBullyingterhadap kehidupan individu • Kurangnya motivasi atau harga diri,

• Problem kesehatan mental, misalnya; kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur,

• Sakit yang serius dan luka parah sampai cacat permanen: patah tulang, radang karena infeksi, dan mata lebam, termasuk juga sakit kepala, perut, otot dan lain-lain yang bertahun-tahun meski bila ia tak lagi dianiaya,


(38)

• Problem-problem kesehatan seksual, misalnya; mengalami kerusakan organ reproduksinya, kehamilan yang tak diinginkan, ketularan penyakit menular seksual,

• Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dari pergaulan,

• Mimpi buruk dan serba ketakutan, selain itu kehilangan nafsu makan, tumbuh, dan belajar lebih lamban, sakit perut, asma, dan sakit kepala, • Kematian.

b. Dampakbullyingterhadap kehidupan sosial

Dampak negatif jangka panjang daribullyingpada anak dalam kehidupan bermasyarakat biasanya sebagai berikut:

• Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari generasi ke generasi.

• Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orangtua mempunyai hak untuk melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk hak melakukan kekerasan.

• Kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab anak yang dianiaya tak mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan kemasyarakatan.

c. Dampakbullyingterhadap kehidupan akademik

Bullying ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri.Bullyingjuga


(39)

menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa (Cynantia, 2012). Dalam penilitian ini, peneliti mencoba menelusur dampak dari bullying yang terjadi pada anak SMP, terutama perihal prestasi belajar maupun hubungan sosial yang dialaminya. Semisal apakah ia mengalami keterlambatan dalam proses aktualisasi potensi dirinya di sekolah.

Dari segi tingkah laku anak-anak yang menjadi korban bullying sering menujukkan: penarikan diri, ketakutan, atau mungkin juga tingkah laku agresif, emosi yang labil. Mereka juga sering menunjukan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur,phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stres pascatrauma, dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif. Mereka mungkin juga berupaya menutupi luka yang dideritanya dan tetap bungkam merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam. Mungkin juga akan mengalami kelambatan dalam tahap perkembangannya, sering mengalami kesulitan dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukan tingkah laku menyakiti diri sendiri, dan bahkan perilaku bunuh diri (Suyatno, 2010).

7. MasalahBullyingdi Sekolah

Kasusbullying di sekolah ini bisa saja terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pembagian jenjang pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab IV pasal 14


(40)

menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal yang berlaku di Indonesia terdiri dari pendidikan dasar yang mencakup tingkat Sekolah Dasar (SD) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Atas (SMA) ataupun Kejuruan, dan terakhir pendidikan tinggi yang mencakup tingkat Diploma, Strata Satu, dan seterusnya.

Penelitian ini, Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi fokus penelitian dikarenakan pada tingkatan sekolah formal ini, peserta didik yang dicakup berada dalam jenjang umur antara 12–15 tahun. Fase ini tergolong sebagai remaja awal, yaitu para peserta didik sedang mengalami masa peralihan dimana anak sudah tidak layak diperlakukan sebagai anak kecil, namun pertumbuhan fisik dan mentalnya pun belum layak dianggap dewasa. Pada fase ini remaja mengalami masa storm and stress, dimana kerap terjadi pergolakan emosi yang labil dengan diiringi pertumbuhan fisik yang pesat, perkembangan psikis mereka juga sangat rentan terpengaruh oleh lingkungan. Remaja juga memiliki kecenderungan untuk menemukan jati dirinya, dan memiliki dorongan kuat untuk memperoleh pengakuan atau eksistensi dirinya terhadap orang lain (Yusuf, 2004).

Beberapa permasalahan yang kerap dihadapi oleh peserta didik dijenjang SMP yang tergolong sebagai remaja awal menurut Sunarto, dkk (2008) adalah:


(41)

a. Psikologis, yakni kontrol emosi yang masih labil, seperti cenderung sensitif, egois, ingin mendapatkan perhatian lebih, minder, bully, kekanak-kanakan, dan sebagainya.

b. Biologis, fungsi organ seksual yang dapat menimbulkan kebingungan dalam memahaminya, tak jarang mereka melakukan kesalahan yang melanggar norma umum.

c. Sosiologis, kehidupan masyarakat yang mulai menuntut mereka untuk cepat beradaptasi seringkali tidak berjalan selaras dengan kemampuan remaja, hal ini menimbulkan gejala frustasi maupun resistensi sehingga terkadang remaja menyalurkannya melalui perilaku yang dianggap menyimpang.

d. Religiusitas, aturan agama yang cukup ketat sering dipandang sebagai bentuk pengekangan yang menghalangi remaja untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga seringkali remaja lebih identik dengan ketidaktaatan dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya. e. Ekonomi, dorongan budaya liberal yang massif telah mendorong remaja

untuk mengikuti perkembangan life style, sehingga mereka berlomba-lomba dalam gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan maupun kemampuan ekonominya.

Dari beberapa permasalahan anak tersebut sangat memungkinkan terjadi

bullying dengan berbagai bentuk dan tipologi bullying yang ada di sekolah yaitu, memukul, mendorong, mencubit, mengancam, mempermalukan, merendahkan, melihat dengan sinis, menjulurkan jari tengah, mendiamkan seseorang, dan bentuk-bentuk lain dengan tipologi berbeda-beda yang


(42)

dilakukan antar siswa. Kekerasan bullying seperti ini bisa saja dilakukan secara perorangan atau kelompok, mereka yang melakukan secara mandiri biasanya memiliki kekuatan (power) berupa kekuatan fisik, ekonomi. Sementara, mereka yang melakukan tindak kekerasan bullying yang dilakukan secara kelompok, mereka melakukan tindakan tersebut karena motif menunjukan rasa solidaritas. Misalnya, tawuran antar pelajar dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang membela teman. Fenomena ini disadari adanya seperti disebut Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok siswa tersebut (Martono, 2012).

Tindak kekerasanbullying yang terdapat di sekolah bisa saja dilakukan oleh oknum guru seperti, kekerasan fisik yaitu mencubit, memukul, menampar dan tindakan lainnya yang dapat menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat terhadap fisik anak atau seseorang. Sementara kekerasan psikis yang dilakukan oleh guru dapat berupa kata-kata kasar, atau makian dan

labelling (nama panggilan) yang kadang dianggap sebagai hal sepele. Tindak kekerasan berupa labelling yang biasanya berarti negatif dan dapat berbekas terhadap anak, misalnya menyebut siswa Si Bodoh, Si Gagap, Si Gaboh (gagah tapi bodoh) dan labelling lainnya dapat menyebabkan tekanan mental dan kurangnya rasa percaya diri siswa. Selain itu juga sering terjadi kekerasan berupa pemberian tugas yang berlebihan, pengancaman dan tindak kekerasan tak langsung berupa diskriminasi terhadap siswa.

Terdapat beberapa alasan kasus bullying di sekolah ini kurang banyak mendapatkan perhatian hingga akhirnya jatuh korban menurut Prasetyo


(43)

(2011) yaitu: Pertama, efeknya tidak tampak secara langsung, kecuali

bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Akan tetapi, ini pun tidak terendus karena banyak korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang dialaminya, entah karena takut, malu, diancam atau karena alasan-alasan lain. Kedua, banyak kasus bullying yang secara kasatmata tampak seperti bercandaan biasa khas anak-anak sekolah atau remaja yang dikira tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan-ejekan dan olok-olokan verbal termasuk dalam kategori ini. banyak orangtua dan guru yang mengira bahwa teguran saja mungkin sudah cukup untuk menyelesaikan bercandaan bocah-bocah itu. Padahal luka psikis dan emosional yang dialami korban kekerasan verbal itu jauh lebih dalam dan menyakitkan.Ketiga, sebagian orangtua dan guru masih belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bullying

dan dampaknya bagi kehidupan anak. Sehingga sebagian orangtua dan guru benar-benar tidak tahu bahwa ada masalah serius disekitar mereka.

Perlu adanya mekanisme penyelesaian khusus kasusbullyingyang terjadi di sekolah, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas, membuat bentuk penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas yang diterima siswa atau skorsing dan pemecatan. Departemen pendidikan harus memeperbaiki kinerja pendidikan di Indonesia baik dari kurikulum maupun sarana-prasarana agar para siswa tidak lagi menjadi tertekan secara psikologis berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Selain itu juga harus mempunyai kebijakan tentang bullying di sekolah. Masalah


(44)

kekerasan di sekolah saat ini menjadi subyek hukum kriminal biasa yang penangannya disamakandengan kriminal umumnya(Martono, 2012).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disiapkan cara untuk mengurangi kemungkinan atau pencegahan agar tidak menjadi sasaran tindakanbullying,

diantaranya menurut Coloroso (2007) :

a. Membantu anak kecil dan remaja menumbuhkanself esteem (harga diri) yang baik. Anak ber-self esteem baik akan bersikap dan berpikir positif, menghargai dirinya sendiri, menghargai orang lain, percaya diri, optimis, dan berani mengatakan haknya.

b. Mempunyai banyak teman, bergabung dengan group yang meiliki kegiatan positif atau berteman dengan siswa yang sendirian.

c. Kembangkan ketrampilan sosial untuk menghadapi bullying, baik sebagai sasaran atau sebagai bystander (saksi), dan bagaimana mencari bantuan jika mendapat perlakuanbullying.

B.Bullyingdalam Perspektif Interaksionisme Simbolik 1. Prinsip-prinsip Interaksionisme Simbolik

Sebagaimana lazimnya ilmu-ilmu sosial lainnya, teori interaksi simbolik juga diilhami oleh serangkaian teori-teori sebelumnya. Banyak pakar bersepakat bahwa pemikiran George Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan pada beberapa cabang filsafat, antara lain pragmatisme dan behaviorisme. Namun pada masa perkembangannya, teori interaksi simbolik memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri yang sangat bertolak belakang dari teori-teori yang menjadi inspirasinya.


(45)

Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga ditunjang dengan interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pengikutnya, terutama oleh salah satu mahasiswanya, Herbert Blumer. Ironisnya justru Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komunitas akademik (Muchlis, 2011).

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretative. Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950an dan tahun 1960an mengakibatkan interaksi simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Sebagian pakar berpendapat bahwa teori interaksi simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di Eropa, sebenarnya berada dibawah payung teori tindakan sosial yang dikemukakan filosof dan sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920), satu dari tiga teoretisi klasik utama disamping Emile Durkheim dan Karl Marx, meskipun Weber sendiri sebenarnya bukanlah seorang interpretivis murni (Mulyana, 2001).

Weber mendefenisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap


(46)

perilaku tersebut. Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001).

Seperti teori lain yang dipengaruhi oleh teori tindakan sosial, interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika idividu-individu berfikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kategori


(47)

pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut oleh semua anggota budaya (Mulyana, 2001).

Perspektif interaksi simbolik pada dasarnya berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Artinya perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka (Muchlis, 2011).

Pandangan interaksi simbolik sebagaimana ditegaskan Blummer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial. Bagi penganut interaksi simbolik, masyarakat adalah proses interaksi simbolik dan pandangan ini memungkinkan mereka menghindari


(48)

problem-problem strukturalisme dan idealisme, dan mengemudikan jalan tengah diantara kedua pandangan tersebut (Sugandi, 2002).

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Sebagaimana dijelaskan Mead 1934 (dalam Hartoyo, 2011) bahwa komponen penting dari komunikasi manusia adalah menggunakan simbol-simbol. Simbol itu memiliki makna bersama, yaitu makna suatu simbol adalah sama bagi setiap orang yang terlibat dalam suatu tindakan komunikasi. Makna-makna bersama itu memungkinkan orang untuk merespon terhadap sikap-sikap dan interaksinya dengan orang lain.

Secara ringkas, menurut Muchlis (2011) interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis sebagai berikut:

a. Individu merespons suatu situasi simbolik, mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respons mereka tidak bersifat mekanis, tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal; alih-alih, respons mereka bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi


(49)

sosial. Jadi, individulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.

b. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan di negosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa), namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang). Artinya, apa saja bisa dijadikan simbol dan karena itu tidak ada hubungan logis antara nama atau simbol dengan objek yang dirujuknya, meskipun terkadang sulit untuk memisahkan kedua hal itu. Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia.

c. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Dalam proses ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif-alternatif ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan. Individu membayangkan bagaimana orang lain akan merespons ucapan atau tindakan mereka. Proses pengambilan peran tertutup (covert role


(50)

taking) itu penting, meskipun hal itu tidak teramati. Oleh karena itu, kaum interaksionis simbolik mengakui adanya tindakan tertutup dan tindakan terbuka, dan menganggap tindakan terbuka sebagai kelanjutan dari tindakan tertutup.

2. Bullyingdi Sekolah dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik

Perspektif ibarat jendela dalam sebuah rumah, melalui jendela kita dapat melihat obyek yang berbeda di luar rumah. Pemandangan dari satu jendela ke jendela yang lain akan menghasilkan tampilan yang berbeda. Bagi seorang sosiolog, fenomena merupakan kehidupan sosial dan diadopsi sebagai bagian dari sikap ataupun penilaian terhadap kehidupan sosial. Mereka menggunakan seperangkat asumsi yang dapat digunakan sebagai dasar analisis (Martono 2012).

Perspektif merupakan cara pandang seseorang mengenai dunia sosial disekitarnya atau dapat juga disebut sebagai sudut pandang (point of view). Perspektif dalam sosiologi (dan disiplin ilmu yang lain) merupakan subuah hal yang keberadaannya tidak dapat dihindarkan. Hal ini lebih disebabkan kelahiran sebuah ilmu tidak terlepas dari hasil pemikiran para tokoh yang mengawali berbgai pemikiran dalam disiplin tersebut. Setiap tokoh akan berangkat dari sudut pandang yang berbeda pula, namun adakalanya hasil pemikiran beberapa tokoh juga menunjukan beberapa kesamaan.

Sekolah merupakan salah satu tempat sosialisasi bagi para siswa untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang pelajar. Sekolah sudah menjadi


(51)

bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan siswa, waktu yang sangat lama dihabiskan di sekolah, menjadikan siswa sangat intens berinteraksi terhadap siswa lain. Melalui proses interaksi antar siswa di sekolah inilah diharapkan dapat tercapai tujuan pendidikan, yaitu untuk membentuk karakter siswa yang memiliki budi pekerti luhur serta kreatif dan inovatif dalam ilmu pengetahuan. Sehingga sekolah harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aman dan nyaman untuk menunjang keberhasilan tujuan pendidikan tersebut. Kemudian permasalahan yang muncul dalam rangka mencapai tujuan pendidikan adalah terdapat fenomena

bullying yang dilakukan antar siswa saat proses interaksi. Tentunya fenomenabullyingini akan menjadikan suasana pembelajaran menjadi tidak aman dan nyama serta menghambat perkembangan pertumbuhan siswa.

Untuk mengurai fenomena bullying yang terjadi di sekolah, terdapat pendekatan teori dalam sosiologi yang dapat dijadikan sebagai pisau analisa, yaitu teori interaksionisme simbolik. Teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang berusaha menjelaskan bahwa interaksi antar individu melibatkan penggunaan simbol-simbol. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita berusaha mencari makna yang cocok dengan yang dimaksudkan oleh orang tersebut. Selain itu, kita juga menginterpretasikan apa yang dimaksud orang lain melalui simbolisasi yang ia bangun.

Simbol-simbol memberikan aksi dan interaksi menjadi memiliki suatu kekhasan. Tindakan sosial atau aksi pada dasarnya adalah sebuah tindakan dimana seseorang bertindak dengan selalu mempertimbangkan orang lain


(52)

dalam pikirannya. Dengan kata lain, dalam bertindak manusia selalu mengukur dampak untuk orang lain yang terlibat dalam tindakan itu. Sekalipun ada manusia yang bertindak tanpa berpikir namun manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan sosial, yakni tindakan yang terarah atau yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam proses interaksi sosial, manusia mengkomunikasikan arti-arti kepada orang lain melalui simbol-simbol. Kemudian orang lain menginterpretasi simbol-simbol itu dan mengarahkan tingkah laku mereka berdasarkan interpretasi mereka. Dengan kata lain, dalam suatu interaksi sosial, aktor-aktor selalu terlibat dalam proses saling mempengaruhi (Raho, 2007).

Bagi perspektif interaksionisme simbolik, bullying merupakan interaksi yang dibangun antar siswa dengan menggunakan simbol-simbol. Pada saat proses sosialisasi atau ketika praktik bullying berlangsung, para pelaku memberikan simbol-simbol bullying kepada korban seperti mengancam, mempermalukan, dan merendahkan untuk menunjukan kekuatan (power) yang dimiliki pelaku. Tindakan-tindakan seperti ini disebut sebagai bentuk kontak verbal langsung, yaitu pelaku bullying dalam berinteraksi hanya menggunakan kata-kata tertentu yang bertujuan untuk menyakiti perasaan korban. Kontak verbal langsung termasuk dalam tipologi kekerasan tertutup (covert), yaitu kekerasan yang tersembunyi atau kekerasan yang dilakukan secara tidak langsung menggunakan kontak fisik. Dari hasil interaksi yang dibangun tersebut, korban menginterpretasikan simbol-simbol yang diberikan pelaku dalam bentuk simbol dampak, yaitu korban akan merasa ketakutan ketika diancam, merasa malu ketika dipermalukan.


(53)

Kemudian korban mencari makna yang cocok dengan simbol-simbol yang diberikan pelaku dari interaksi bullying. Makna akan cocok ketika korban memberikan reaksi yang sesuai dengan motif yang diinginkan oleh pelaku. Misalnya ketika pelaku memberikan simbol-simbol bullying seperti mengancam untuk menunjukan kekuatan (power) kepada korban, pelaku memiliki motif supaya korban menjadi lebih hormat dan mengikuti semua perintahnya, selanjutnya korban memberikan reaksi yang sama terhadap motif yang diinginkan oleh pelaku. Namun, apabila korban memberikan reaksi yang berbeda dengan motif pelaku, maka pencarian makna yang dilakukan oleh pelaku dan korban melalui interaksi bullying tersebut menjadi tidak cocok.

C. Kerangka Berpikir

Untuk menguraikan fenomena bullying yang terjadi di sekolah dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik, maka dapat dipaparkan bahwa teori ini berusaha menjelaskan interaksi antar individu selalu melibatkan penggunaan simbol-simbol untuk saling memahami. Ketika berinteraksi dengan orang lain, kita selalu berusaha mencari simbol yang cocok untuk menyampaikan makna tertentu padanya. Begitu juga sebaliknya, kita akan akan menginterpretasikan apa yang dimaksud orang lain melalui simbolisasi yang ia bangun.

Bullying dalam perspektif ini, merupakan bentuk interaksi kekuasaan (power) yang dibangun antar siswa dengan menggunakan simbol-simbol. Saat praktik


(54)

mengancam, mempermalukan hingga melukai untuk menunjukan kekuatan yang dimilikinya. Motifnya agar eksistensi dirinya sebagai sosok yang patut disegani akan tertanam dalam benak korban yang dianggap lebih lemah. Korban biasanya memberi reaksi berupa perasaan terintimidasi, takut, malu, hingga merasa rendah diri terhadap pelaku.

D. Skema Kerangka Beripikir

Dari penjelasan kerangka berpikir di atas, dapat ditampilkan skema kerangka berpikir pada gambar 1 di bawah ini :

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir

Bullying

Pelaku Korban

Motif Reaksi


(55)

A. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, karena ditinjau dari sudut cara dan taraf pembahasan masalahnya serta hasil yang akan dicapai berdasarkan pada fenomenologis yang mengutamakan penghayatan. Peneliti menggunakan tipe penelitian ini sebab masalah yang akan dilakukan hanya dapat dipahami melalui tipe penelitian deskriptif dan juga tidak dapat diukur oleh angka-angka. Pemahaman tersebut mengacu kepada teknik pengumpulan data, seperti observasi, wawancara mendalam, partisipasi total ke dalam aktifitas mereka yang diselidiki, kerja lapangan dan seterusnya yang memungkinkan mendapatkan informasi tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang akan dicari pemecahannya.

Menurut Filstead, 1972 (dalam Chadwick, dkk, 1991) mengatakan pendekatan kualitatif memungkinkan penulis mendekati data, sehingga konseptual dan kategoris dari data itu sendiri dan bukan dari teknik-teknik yang dikonsepsikan sebelumnya, tersusun secara kaku dan dikuantifikasi secara tinggi yang memasukkannya saja dunia sosial empiris ke dalam definisi operasional yang telah disusun. Pendekatan kualitatif bersifat menjelaskan, menggambarkan dan menafsirkan hasil penelitian dalam susunan kata dan kalimat sebagai jawaban


(56)

atas masalah yang diteliti. Pendekatan kualitatif lebih bersifat empiris dan mampu menelaah informasi lebih mendalam guna mengetahui hasil penelitian serta mengkaji gejala-gejala sosial dan kemanusiaan dengan memahaminya, dengan cara membangun suatu gambaran yang utuh dan holistic yang kompleks, dimana gejala-gejala yang tercakup dalam kajian itu saling terkait satu dengan yang lainnya dan fungsional sebagai suatu sistem.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian penting dalam suatu penelitian yang bersifat kualitatif, hal ini guna membatasi pada bidang penelitian. Tanpa adanya fokus penelitian, maka penelitian akan terjebak oleh banyaknya data yang diperoleh di lapangan serta agar peneliti lebih fokus dalam mendapatkan data. Oleh sebab itu, fokus penelitian memiliki peranan yang sangat krusial untuk memandu serta mengarahkan jalannya proses penelitian.

Fokus penelitian dimaksudkan juga untuk membatasi penelitian guna memilih data yang relevan serta data yang tidak relevan terkait dengan perumusan masalah yang telah dirumuskan. Sehingga data yang tidak relevan tersebut tidak dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan, meskipun data tersebut menarik. Perumusan fokus atau masalah dalam penelitian kulaitatif bersifat tentatif, dimana penyempurnaan rumusan fokus atau masalah masih tetap dilakukan sewaktu penelitian sudah berjalan atau di lapangan, bahkan sering disamakan dengan masalah yang akan dirumuskan serta menjadi acuan dalam penentuan fokus penelitian (Sutopo, 2006).


(57)

Berdasarkan konsep diatas, maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengetahui bentuk, tipologi, dan dampakbullyingterhadap korban yang terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah. Lokasi ini dipilih karena relevan serta representatif dalam pengumpulan data. Selain itu juga, lokasi dipilih karena terdapat kemajemukan suku antar siswa seperti suku Lampung, Jawa, Sunda, dan Bali di setiap sekolah. Latar yang heterogen tersebut membrikan ruang bagi terjalinnya interaksi sosial yang kompleks dan rentan kehidupan siswa di sekolah. Adapun empat sekolah SMP yang menjadi lokasi dalam penelitian ini diantaranya:

1. SMP Negeri 2 Bumi Nabung 2. SMP PGRI 1 Bumi Nabung 3. MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung 4. MTs Ma’arif 08Bumi Nabung

D. Informan Penelitian 1. Kriteria Informan

Informan dalam penelitian ini adalah mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan mengenai topik yang diteliti, informan masih atau sedang terlibat dalam kegiatan yang tengah diteliti, mempunyai kesempatan atau


(58)

waktu memadai untuk wawancara, serta informan merupakan orang baru bagi peneliti sehingga menggairahkan untuk dijadikan narasumber.

Guru, penjual jajan di sekolah, dan satpam adalah orang-orang yang memiliki wawasan yang sesuai dengan topik dalam penelitian ini. Guru hampir setiap hari berinteraksi dengan siswa di sekolah, banyak hal yang bersifat akademik maupun pribadi yang diketahui oleh guru. Begitu juga dengan penjual jajan di sekolah, meskipun hanya beberapa saat berada di kantin, namun interaksi yang dibangun diantara mereka adalah interaksi yang tidak bersifat formal, sehingga penjual jajan di sekolah dapat mengetahui sifat atau karakteristik anak. Satpam adalah orang yang memperhatikan tingkah laku antar siswa, satpam mengetahui siapa saja siswa yang superior dan inferior disetiap sekolah.

2. Cara Memperoleh Informan

Penentuan informan dilakukan secara purposive, yaitu informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan mengenai topik penelitian sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya, di samping informasi yang dijadikan subjek penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, informan juga ditentukan dengan teknik snowball sampling, yakni proses penentuan informan berdasarkan rekomendasi dari informan sebelumnya tanpa menentukan jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik penelitian yang diperlukan. Pencarian informan dihentikan setelah informasi penelitian dianggap sudah memadai.


(59)

Pencarian informan dilakukan setelah peneliti meminta izin melakukan penelitian kepada setiap kepala sekolah yang akan diteliti, peneliti sebelumnya melakukan observasi dimana mencari pelaku dan korban

bullying. Setelah ditemukan siapaa saja siswa yang menjadi pelaku dan korban bullying peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara.

3. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah mereka yang menjadi pelaku dan korban bullying di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah, adalah para guru, penjual jajanan di kantin sekolah, dan penjaga sekolah atau satpam di masing-masing sekolah karena meraka yang mengetahui dan memahami perilaku siswa setiap harinya.

Awal proses menentukan informan dalam penelitian ini adalah melakukan wawancara terhadap guru yang ada di setiap sekolah, peneliti menggali informasi yang berkaitan dengan bullying yang terjadi di sekolah seperti kasus kenakalan seperti apa yang terjadi di sekolah. Setelah didapati kasus yang terjadi di sekolah adalah fenomena bullying, kemudian peneliti melanjutkan dengan melakukan wawancara mendalam dengan korban

bullyingdengan berbekal informasi yang telah diberikan oleh guru tersebut. Korban kemudian menggambarkan bagaimana fenomena bullying yang ia alami, serta memberikan informasi siapa pelaku yang telah mem-bully


(60)

melanjutkan wawancara kepada pelakubullying yang telah disebutkan oleh korbannya.

Proses ini peneliti lakukan tidak hanya dalam satu sekolah, melainkan beberapa sekolah yang menjadi lokasi dalam penelitian ini. Sehingga tidak hanya guru, pelaku dan korbanbullying saja yang menjadi informan dalam penelitian ini, tetapi ada juga penjual jajan di kantin sekolah dan satpam sekolah. Informan yang dipilih sesuai kepentingan permasalahan dan tujuan penelitian untuk menggali dan mengumpulkan sebanyak mungkin data serta informasi dari berbagai sumber sebagai dasar penulisan pelaporan. Adapun sumber data atau informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang dengan rincian 2 orang guru, 1 satpam, 1 penjual jajan atau kantin, 3 siswa korban

bullying, dan 3 siswa pelakubullying

.

Tabel 1. Daftar Nama atau Inisial Informan Penelitian

No Inisial Nama Jabatan di Sekolah

1 Sp Guru SMP Negeri 2 Bumi Nabung 2 Jh Guru MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung `3 Sg Satpam MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung

4 Sr Penjual jajan MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung 5 RH Siswa korbanbullyingSMP PGRI 1 Bumi Nabung 6 YK Siswa korbanbullyingSMP Negeri 2 Bumi Nabung 7 RS Siswa korban bullying MTs Ma’arif 08 Bumi

Nabung

8 PA Siswa pelakubullyingSMP Negeri 2 Bumi Nabung 9 Jl Siswa pelakubullyingSMP PGRI 1 Bumi Nabung 10 AJ Siswa pelaku bullying MTs Ma’arif 08 Bumi

Nabung


(61)

E. Teknik Pengumpulan Data 1. Studi Dokumen

Studi dokumen yaitu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang berasal dari bahan-bahan tertulis yang mencakup buku-buku, dokumen-dokumen yang dianggap penting yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang diteliti. Teknik kepustakaan merupakan suatu cara pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, misalnya, koran-koran, majalah-majalah, naskah-naskah, catatan-catatan, arsip dan sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat, 1985).

Langkah awal yang peneliti lakukan adalah mendatangi setiap sekolah yang menjadi lokasi penelitian. Kemudian peneliti meminta izin kepada setiap kepala sekolah dengan memberikan surat pengantar dari Universitas Lampung, dan meminta surat balasan dari pihak sekolah sebagai bukti telah memberikan izin untuk melakukan penelitian, sekaligus memperkenalkan diri terhadap dewan guru. Penelitian yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan tugas akhir skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar strata satu di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung.

Lokasi penelitian yang tidak hanya satu sekolah, maka peneliti membagi waktu setiap harinya dengan tahapan yang sama disetiap sekolah. Setelah mendapatkan izin dari kepala sekolah, selanjutnya peneliti meminta dokumen-dokomen yang berkaitan dengan profil sekolah, dan identitas


(62)

sekolah. Data dari dokumen-dokumen tersebut yang kemudian peneliti gunakan untuk mengisi BAB IV perihal gambaran umum lokasi dalam penelitian ini. Sehingga selain data yang didapatkan sesuai dengan fakta di lapangan, juga hanya dengan teknik ini data bisa didapatkan.

2. Observasi

Observasi ialah metode atau cara-cara yang menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Pengamatan atau observasi dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada satu tujuan dengan mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam konteks kehidupan sehari-hari dan memperhatikan syarat-syarat penelitian ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (Basuki, 2006).

Berbekal surat izin penelitian yang telah diberikan oleh setiap kepala sekolah, maka peneliti bisa dengan mudah berada di lingkungan sekolah. Langkah selanjutnya yang peneliti lakukan adalah dengan kembali mendatangi sekolah secara berurutan setiap harinya selama tiga minggu berturut-turut, yakni terhitung sejak tanggal 9 hingga sekitar tanggal 27 Juni 2014. Tujuannya agar durasi waktu yang peneliti dapatkan di setiap sekolah menjadi lebih maksimal dan tidak tergesa-gesa untuk pindah ke sekolah lain, sehingga data yang diperoleh lewat observasi di lapangan penelitian bisa lebih banyak terkumpul.


(63)

Pengamatan yang dilakukan dalam tahap ini berguna untuk menunjang proses selanjutnya, yaitu melakukan wawancara mendalam kepada para informan yang berhasil diperoleh. Hal ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku siswa yang berinteraksi di lingkungan sekolah secara langsung. Observasi dilakukan terutama di saat jam istirahat atau saat sedang tidak berlangsung proses belajar mengajar, karena saat itulah interaksi antar siswa lebih intensif. Sehingga dari interaksi tersebut dimungkinkan untuk ditemukan bagaimana siswa sebagai pelaku melakukan

bullying kepada siswa lainnya sebagai korban, baik yang dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Berikut adalah salah satu contoh interaksi antar siswa:

Gambar 2. Suasana interaksi antar siswa SMP N 2 Bumi Nabung (Dokumentasi peneliti, 2014)

Terlihat dari gambar tersebut diatas terlihat seperti interaksi yang biasa saja dan kondusif, namun dapat dimungkinkan terjadi kasus bullying diantara mereka, karena terdapat salah satu anak yang menggunakan seragam tidak sama dengan yang lainnya. Hal ini bisa saja digunakan sebagai salah satu bahan siswa yang berseragam sama dengan yang lainnya mem-bully siswa


(64)

yang berseragam tidak sama. Potensi bullying selalu ada dimana terdapat interaksi antar manusia.

3. Wawancara Mendalam(Indepth Interview)

Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber data diperlukan wawancara, yang dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing). Teknik wawancara ini merupakan teknik yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif, terutama pada penelitian lapangan.

Menurut Sutopo (2006), tujuan utama melakukan wawancara adalah untuk bisa menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk merekonstruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau, dan memperoyeksikan hal-hal itu yang dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang.

Wawancara didalam penelitian kualitatif pada umumnya tidak dilakukan secara terstruktur ketat dan dengan pertanyaan tertutup, tetapi dilakukan secara tidak terstruktur sebagai teknik wawancara mendalam, karena peneliti merasa tidak tahu mengenai apa yang terjadi sebenarnya dan ingin menggali informasi secara mendalam dan lengkap dari narasumbernya. Wawancara ini dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka


(1)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat di ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1) Dalam penelitin yang dilakukan di empat SMP di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah, yaitu SMP Negeri 2 Bumi Nabung, SMP PGRI 1 Bumi Nabung, MTs Ma’arif 05 Bumi Nabung, MTs Ma’arif 08 Bumi Nabung ditemukan setidaknya terdapat tiga perilaku bullying yang terjadi dalam interaksi sosial para siswa, yakni (1) Memberi nama panggilan atau julukkan yang merendahkan; (2) Meminta uang secara paksa yang disertai ancaman; (3) Menjahili dengan mencoret pakaian seragam kawan menggunakan spidol.

2) Dari tiga perilaku bullying yang ditemukan tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua bentukbullyingyakni bentuk kontak verbal langsung dan bentuk kontak non verbal langsung.

3) Dari tiga perilaku bullying tersebut juga dapat dikategorikan ke dalam dua tipologi bullying, yakni tipologi kekerasan terbuka (overt) dan tipologi kekerasan agresif.

4) Dari perilaku bullying yang terungkap dalam penelitian ini ditemukan pula beberapa dampak yang dialami oleh para korban, yakni (a) Dampak dalam


(2)

kehidupan individu berupa menimbulkan rasa takut dan suka menyendiri; (b) Dampakbullying dalam kehidupan sosial yaitu enggan berinteraksi dan merasa minder; (c) Dampak terhadap kehidupan akademik antara lain suasana belajar tidak nyaman dan prestasi nilai menjadi standar.

5) Dari perilaku bullying yang terungkap itu pula dapat ditemukan bahwa setidaknya pelaku memiliki beberapa alasan dan motivasi untuk melakukan bullying,yakni balas dendam, mengikuti teman dan mencari kepuasan. 6) Dapat disimpulkan bahwa teori interaksionisme simbolik sebagai pisau

analisa dalam menguraikan fenomenabullyingyang terjadi di empat SMP di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah menegaskan bahwa bullying sebagai bentuk simbol yang dipilih untuk mengirimkan makna dalam interaksi sosial antar siswa sesungguhnya sangatlah negatif.

B. Saran

Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran kepada stakeholders terkait penanganan kasus bullying yang terjadi di sekolah yaitu sebagai berikut :

1) Perilaku bullying yang terjadi di sekolah ini harus dipandang oleh guru, orang tua, dan orang dilingkungan sekolah sebagai masalah yang serius. 2) Guru, orang tua, dan orang dilingkungan sekolah melakukan

tindakan-tindakan preventiv untuk meminimalisir bahkan menghilangkan fenomena bullying yang terjadi di sekolah semisal dengan memberikan sosialisasi mengenai pengertian bullying serta dampak yang akan diterima oleh korbannya.


(3)

97

3) Perlu adanya regulasi khusus mengenai kasusbullyingini.

4) Sudah saatnya kini pemerintah tidak hanya memperbaiki kualitas sistem pendidikan di Indonesia, dengan merubah kurikulum setiap ada perubahan Mentri Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan. Akan tetapi perlu adanya peraturan khusus mengenai tingkah laku siswa, dan pembekalan terhadap guru mengenai pentingnya pemahaman bullying. Agar kelak diiklim globalisasi yang ganas, putra-putri Indonesia tidak tumbuh dengan kepribadian yang minder serta tidak ada lagi berita duka di media massa generasi penerus bangsa yang gugur sia-sia.


(4)

Buku

Basuki, Heru. 2006. Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Kemanusiaan dan Budaya. Jakarta: Gunadarma.

Chadwick, Bruce A, Howard M. Bahr, Sam L. Alberecht. 1991. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial.Semarang: IKIP.

Coloroso, Barbara. 2007. Stop Bullying; Memutus Rantai Kekekerasan Anak dari Prasekoloh Hingga SMU.Jakarta: Serambi.

Hartoyo, 2011.Psikologi Sosial: Pendekatan Sosiopsikologis dan Psikososiologis. Lampung: Universitas Lampung.

Koentjaraningrat. 1985. Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia.

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: Rajawali Press.

Muchlis. 2011. Kekerasan Geng Motor di Bandung dalam Perspektif teori Interaksionisme Simbolik.Jurnal Ilmu Komunikasi1(2): 203-220.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Prasetyo, Ahmad Baliyo Eko. 2011. Bullying di Sekolah dan Dampaknya bagi Masa Depan Anak.Jurnal Pendidikan Islam1(4):19-26.

Raho, Bernard. 2007.Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Sugandi, Yulia. 2002. Rekrontuksi Sosiologi Humanis Menuju Praktis.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar.


(5)

99

Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Suyatno, Bagong. 2010.Masalah Sosial Anak. Jakarta: Prenanda Media Group. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan

Nasional. 8 Juli 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4301. Jakarta.

Wiyani, Novan Ardy. 2012. Save our Children From School Bullying. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Yulianti, Poernomo, Mangku. 2003. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta. Lappera Pustaka Utama.

Yusuf, S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Internet

Widjaya, Ismoko. Jum'at, 7 Oktober 2011, 18:15 WIB. Video Kekerasan Siswi SMP di Lampung Tersebar. VIVAnews. Diakses dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/253665-video-kekerasan-siswi-smp-di-lampung-tersebar.Tanggal 1 Desember 2013.

Cynantia. 2012. Bullying dalam Dunia Pendidikan. Diakses dari

http://www.stkippasundan.ac.id/2012/11/05/bullying-dalam-dunia-pendidikan/.Tanggal 30 November 2013.

Lukmantoro, Triyono. 2012. Fenomena Memamerkan Kekuasaan. Diakses dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/01/20/174352/Feno mena-Memamerkan-Kekuasaan. Tanggal 3 Desember 2013.

Rivki. Selasa, 31 Juli 2012, 17:14 WIB. Korban Bullying Don Bosco: Saya Disiksa di Pondok Indah. detiknews. Diakses dari

http://news.detik.com/read/2012/07/31/171402/1979658/10/korban-bullying-don-bosco-saya-disiksa-di-pondok-indah. Tanggal 1 Desember 2013.

Setiawati, Octa Reni. 2008. Bullying: Kekerasan Teman Sebaya di Balik Pilar Sekolah. Diakses dari

http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20080623203208. Tanggal 3 Desember 2013.


(6)

Sugiarto. Selasa, 1 April 2014 03:10 WIB. Murid Kelas 1 SD Tewas Setelah Setelah Diroyok Tiga Temannya. Tribunnews. Diakses dari http://www.tribunnews.com/regional/2014/04/01/murid-kelas-1-sd-tewas-setelah-setelah-diroyok-tiga-temannya.Tanggal 3 Mei 2014.