ANALISIS PRAKTIK DIVERSI PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PRAKTIK DIVERSI PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS

Oleh: Lindra Septheari

Kecelakaan lalu lintas merupakan sebuah kelalaian, yang mana kelalaian juga merupakan sebuah tindak pidana. Bagaimana jika kecelakaan yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, ketika banyak pertimbangan jika anak harus dipidana. Penyelesaian perkara pidana anak melalui mekanisme sistem peradilan pidana bukan cara terbaik untuk memperbaiki prilaku anak, karena membawa dampak yang sangat buruk bagi anak, untuk itu digunakan kewenangan diskresi untuk mendiversi kasus anak berhadapan dengan hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan diversi dalam penyelesaian perkara anak sebagai upaya perlindungan anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, apakah yang menjadi pertimbangan penggunaan diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana, serta apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan diversi dalam upaya perlindungan anak.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak sebagai upaya perlindungan anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh Kepolisian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan diversi yang dilakukan oleh Kepolisian dilakukan dengan dengan memberikan peringatan informal terhadap tersangka anak yang melakukan tindak pidana, memberikan peringatan formal dihadapan orangtuanya. Faktor penghambatnya antara lain faktor hukumnya sendiri, faktor apratur penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, dan faktor masyrakat. Dibutuhkan suatu penyuluhan kepada masyarakat tentang ide diversi sehingga masyarakat akan pentingnya diversi dalam sistem peradilan pidana anak.


(2)

(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 12 September 1991, yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Buchari MS dan Ibu Siti Maimunah. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di SD Kartika II-5 Bandar Lampung lulus pada tahun 2003. Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Bandar Lampung lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan studi di SMAN 10 Bandar Lampung lulus pada tahun 2009.

Penulis pada tahun 2009 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012 mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Banjar Negeri, Kabupaten Tanggamus.


(6)

“Jangan terlalu memikirkan masa depanmu, cukup berusaha dan berdoa pikirkan dan jalankanlah saja dirimu yang saat ini sedang apa, karena hari esok, lusa dan

seterusnya itu hanya Rahasia Tuhan.”


(7)

PERSEMBAHAN

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta sholawat dan salam tak hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ayah dan Ibu, serta kakakku tercinta yang dengan penuh memberikan dorongan moril dan kasih sayang, sehingga berhasil menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbingku, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.


(8)

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Analisis Praktik Diveri Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana dan Pembahas I yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Dr.Maroni, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah sabar memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan penyelesaian studi;

4. Bapak Budi Rizky, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah membantu memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat;

5. Ibu Dona Raisa, S.H, M.H. selaku Pembahas II yang yang telah memberi masukan guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini;


(9)

6. Dosen Fakultas Hukum Universitas lampung yang telah memberikan wawasan dan cakrawala pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna bagi pengembangan wawasan penulis;

7. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik, membesarkan dan menyayangiku sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;

8. Kakakku Mailisa Dwi Septhiani, alm. Marina Lia Safitri dan Adikku alm. Livia Septhiana yang tak henti hentinya memberikan semangat, terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini;

9. Ponakanku A.M.Fadlurrachman Alfaris yang cukup mendukung dan memberikn semangat untuk menyelesaikan skripsi ini;

10. Sahabat-sahabat seperjuanganku di Fakultas Hukum Jiwa, Uyung, David ,Dody, Kori, Depri, Caki, Tyo, Fery, Prabu, Ditto, Abi, Byon, Guin, Ozi, Alex, Angga, Yuki, Kyai Avri, alm. Dandi, alm. Mamat;

11. Sahabat-sahabatku di lingkungan yang selalu memberikan dukungan Doy, Duy, Dopi, Noris, Beges, Iman, Obi, Oho, Darmen, Irsan, Fariz, Jeny, Angga, Ndul, Topan, Baskoro, Tama, Joko, Korib, Agung, Yaser, Wahadi, Diki, Eki, Gogor, Tabul;

12. Teman-temanku yang sudah seperti keluarga sendiri Om Yanto, Mas Yono ,Mba Tiah, Ayah PM, Bunda, Erlina, Ayah Ria, Le Sam, Mas Agus, Kak Doni, Kak Aan Kuk, Kak Hambali, dan;


(10)

semua. Amin.

Bandar Lampung, 16 Oktober 2014 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Diversi ... 15

B. Pengertian Anak... 20

C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana ... 22

D. Tinjauan tentang Tindak Pidana ... 26

E. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 29

III. METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah... 34

B. Sumber dan Jenis Data... 34

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36

D. Analisis Data... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 39

B. Pelaksanaan Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 40

C. Faktor Yang Menjadi Penghambat Dalam Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 64


(12)

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.

Persoalan tentang anak di dunia ini dirasakan sebagai persoalan yang tak pernah kunjung selesai. Bahkan ada beberapa negara di belahan dunia ini, kondisi anak-anaknya justru sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan di keluarganya atau mengalami penderitaan akibat peperangan ataupun


(14)

ikut mengangkat senjata dalam peperangan demi membela bangsa dan negaranya. Masyarakat seolah-olah lupa bahwa anak-anak sebenarnya merupakan karunia yang tidak ternilai yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa untuk disayang, dikasihi, diasuh, dibina, dirawat ataupun dididik oleh kedua orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan keadilan restoratif, yang dilaksanakan dengan cara diversi. Keadilan restoratif merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Keadilan restoratif dianggap cara berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang.

Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan Anak Korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Namun pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum


(15)

3

mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.1

Melalui otoritas diskresi Polisi dapat menentukan bentuk diversi terhadap suatu perkara anak. Diskresi adalah kewenangan yang dimiliki polisi untuk menghentikan penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan diversi dengan tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Diversi dapat dikatakan sebagai pengalihan tanpa syarat kasus-kasus anak (yang diduga melakukan tindak pidana) dari proses formal.2 Program diversi merupakan upaya terbaik bagi anak, terutama untuk tindak pidana yang kurang serius. Hal ini tentu melibatkan aparat penegak hukum untuk mengatakan kepada anak, bahwa apa yang diperbuatnya salah dan mengingatkannya untuk tidak mengulangi lagi.3

Substansi yang diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang bentuk perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan kasus hukum dan anak korban tindak pidana, dan yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan

1

Santi Kusumaningrum, Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum. http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. diakses 1 November 2012

2

Ibid

3


(16)

hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restorative baik bagi anak maupun bagi anak sebagai Korban.

Salah satu perkara anak yang banyak menggunakan konsep diversi yaitu kasus kecelakaan lalu lintas. Di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung, pada tahun 2013 telah terjadi 302 kecelakaan lalu lintas dengan korban jiwa sebanyak 105 orang dan sebanyak 133 orang telah dijadikan tersangka. Dari total 133 pelaku kecelakaan lalu lintas yang ada 64 pelaku adalah anak di bawah umur. Meskipun demikian, proses penyelesaian kasus-kasus tersebut ternyata tidak hanya menggunakan peraturan hukum positif yang berlaku, melainkan juga ketentuan Diversi karena pelaku adalah anak di bawah umur.4

ini telah memberikan ruang untuk pelaksanaan diversi secara luas. Perubahan-perubahan pada peradilan umum menuju peradilan yang mengutamakan perlindungan anak dan diversi pada saat ini. Hal tersebut mengambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.

4

Prariset Penulis diolah, Dokumen Laka Lantas dari Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung Januari 2014


(17)

5

Melihat buruknya dampak penyelesaian anak berhadapan dengan hukum yang dialami oleh anak selama ini, bahwa Diversi adalah solusi terbaik penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, hal inilah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Penulis tertarik untuk menghadirkan suatu tulisan dan penelitian yang membahas dampak buruk penyelesaian masalah anak berhadapan dengan hukum dan tentang penggunaan wewenang diskresi oleh penegak hukum dalam mendiversi perkara anak.

Berlandaskan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul: “Analisis Praktik Diversi Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas”

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimanakah praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak

pidana kecelakaan lalu lintas?

b. Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya


(18)

terbatas pelaksanaan diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Ruang lingkup wilayah penelitian ini hanya dibatasi pada wilayah hukum Polresta Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

b. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana mengenai faktor-praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai hambatan yang timbul


(19)

7

dalam praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Pentingnya kerangka teoritis dalam penelitian hukum, merupakan unsur yang sangat penting karena fungsi teori dalam penelitian adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif.5

Sebagaimana diketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.6Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah pekara tersebut diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan, maka kita akan berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang harus dijalankan.

Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat

5

Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 19 6

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hlm. 1.


(20)

penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretionatau ‘diskresi’.7

Menurut konsep diversi dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang berhadapan dengan hukum, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaki kembali. Menghindarkan anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif. Konsep diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana.

Mengenai hak anak selaku tersangka/terdakwa, pemerintah memberikan perlindungan sejak dari penyidikan, pemeriksaan sampai persidangan. Adapun hak-hak anak tersebut diantaranya adalah:

a. Setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

b. Setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.

7


(21)

9

c. Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

d. Tersangka anak berhak segera diadili oleh pengadilan.

e. Anak berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.

f. Anak mendapatkan kebebasan dalam meberikan keterangan selama persidangan berlangsung.

g. Anak berhak mendapatkan perlakukan yang layak, dibedakan dan dipisahkan dengan tahanan dewasa.8

Terhadap anak nakal yang belum berumur 12 tahun dan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang diancam dengan pidana penjara sementara waktu, tidak diancam dengan pidana mati/seumur hidup dijatuhkan sanksi akan tetapi dikenakan sanksi berupa tindakan, untuk dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak maka anak nakal minimum telah berumur 8 tahun dan maksimum 18 tahun. Sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

Perbedaan perlakuan dan ancaman yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini di maksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang.9 Selain itu, perbedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia

8

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm 81

9

Shanty Dellyana,Wanita Dan Anak Dimata Hukumcet ke-1. Liberty, Yogyakarta. 2008, hlm 107


(22)

yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Penyelesaian perkara pidana dengan restorative justice adalah upaya membantu sistem peradilan pidana sehingga mengembalikan tujuan hukum pidana. Bahwa tujuan hukum sendiri yaitu untuk mendapatkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Hukum yang oleh positivis dilihat sebagai teks dan mengeleminasi faktor serta peran manusia, mendapatkan koreksi besar dengan menempatkan peran manusia tidak kurang pada posisi sentral. Penegakan hukum adalah konsep normatif, dimana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan. Praktis yang demikian itu juga disamakan dengan kerja mesin otomat. Peran perilaku manusia adalah jauh lebih bervariasi dan tidak semata-mata sebagai mesin otomat.10

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1) Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

10

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan kelima, Citra Aditya Bakti,Bandung. 2000, hlm 13-15.


(23)

11

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.11

Keempat faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka keempat faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.12 Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Praktik adalah melaksanakan sesuatu secara nyata dan satu-satunya kriteria untuk menguji suatu kebenaran.13

b. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.14

11

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 25

12

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 132 13

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), , Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta. 2001. hlm. 791.

14

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hlm. 1


(24)

c. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum pernah menikah (Pasal 1 ayat ( 1 ) UU No.23 tahun 2002 Tentang Perlinungan Anak).

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.15

e. Kecelakaan lalu-lintas adalah suatu peristiwa dijalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda (Pasal 93 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993).

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum tentang pokok bahasan.

15

Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung, 2008, hlm. 25


(25)

13

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai pengaturan mengenai praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.


(26)

A. Tinjauan Tentang Diversi

1. PengertianDiversi

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama kali

dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’scourts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963.17

Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti

17

Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008, hlm. 97


(27)

16

anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules") (Office of the High Commissioner for Human Rights, 1985) butir 6 dan 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.18

Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di Amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisationdari sistem peradilan pidana formal.

Sebagaimana kita ketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.19 Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah pekara tersebut diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan, maka kita akan berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang harus dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal tingkat penyidikan perkara akan

18

Ibid.hlm. 98 19

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hlm. 1.


(28)

dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. Hal ini yang menjadi prinsip mengapa dilakukan diversi khusunya bagi tindak pidana anak, dimana untuk mewujudkan kesejahtraan bagi anak itu sendiri. Melalui diversi dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan dan tidak menjadi resedivis.

2. Tujuan Diversi

Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretionatau ‘diskresi’.20

Menurut konsep diversi dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang berhadapan dengan hukum, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaki kembali. Menghindarkan anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif. Konsep diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya

20


(29)

18

daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana.

Selain itu, diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.

Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya disebut penjara, bukan saja dihuni oleh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, tetapi juga ditempati oleh pemakai, kurir, pengedar dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi. Selain itu dengan intesifnya penegakkan hukum pemberantasan KKN dan “white collar crime” lainnya, penghuni Lembaga Pemasyarakatan pun makin beragam

antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan pun menjadi sangat bervariatif, baik dari sisi usia, maupun panjangnya hukuman dari hanya 3 bulan, sampai hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

Diversi sebagai usaha mengajak masyarkat untuk taat dan menegakan hukum negara, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi


(30)

tidak bertujuan mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum.

Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum tidak terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan menempatkan kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan berbeda. Pelaksanaan diversi bertujan mewujudkan keadilan dan penegakan hukum secara benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana.

3. Konsep Diversi

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment) tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat


(31)

20

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan c. Menuju proses restroative justice atau perundingan (balanced or restroative

justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat, pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.21

Proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau kriteria yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model informal yang tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan, berpikir untuk bedamai) keadaan ini merupakan satu tindakan untuk melakukan perubahan, pengembalian, penyembuhan pada korban dan pertanggungjawaban pelaku. Secara konteks variabel sepeti pengorganisasian, kedudukan dan faktor situasi juga relevan dalam pelaksanaan diversi.

B. Pengertian Anak

Anak adalah makhluk sosial sama halnya dengan orang dewasa anak juga membutuhkan seseorang untuk mengembangkan kemampuannya karena pada

21


(32)

dasarnya anak lahir sebagai sosok yang lemah sehingga tanpa bantuan dari orang lain anak tidak mungkin mencapai taraf kehidupan yang normal. John Locke mengemukakan bahwa anak merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap ransangan-ransangan dari lingkungan

Pengertian anak masih merupakan masalah dan sering menimbulkan kesimpangsiuran, ini dikarenakan belum adanya pengertian yang jelas dan seragam baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun pendapat sarjana mengenai hal ini. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 330, dapat kita lihat kriteria orang yang belum dewasa. Pasal 330 KUHPerdata menyatakan:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua

puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka sekadar

mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh dua tahun,

maka tidaklah mereka kembali dalam istilah “belum dewasa”.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata dan bunyi, maka batasan umur sehingga seseorang dikategorikan anak yaitu yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam ketentuan KUHP tidak memberikan pengertian mengenai anak, tetapi hanya memberikan batasan


(33)

22

umur.Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP maka batasan anak adalah orang yang berumur di bawah 16 (enam belas tahun). Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 290, 292 dan 294 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. Pasal 1 ayat ( 2 ) Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahtraan Anak menyebutkan bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)

tahun dan belum pernah kawin.

Untuk menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang lainnya, walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan tanda tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya.

Bertitik tolak dari uraian diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana yang

dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (Delapan belas

tahun), termasuk anak yang didalam kandungan”.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara


(34)

fenomena yang ada dan Saling mempengaruhi.22 Oleh karena itu untuk mengetahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang mempuyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Pada dasarnya usaha perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus diperjuangkan agar asas- asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahankan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak.

Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 menggunakan istilah “anak nakal”. Sehubungan dengan perlindungan

terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan

22

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, ed. ke-1, Akademika Pressindo, Jakarta, 2005. hlm 12


(35)

24

dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Salah satu poin Pasal tersebut menyebut tentang anak yang berhadapan dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar kata anak yang berhadapan dengan hukum seolah terkooptasi pada pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 64 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut bahwa: “Perlindungan

khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:

1) Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.

2) Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini. 3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus.

4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. 5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang

berhadapan dengan hukum.

6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga.


(36)

7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari labelisasi.

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:.

a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.23

Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, Sistem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan

23

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem


(37)

26

anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).

D. Tinjauan tentang Tindak Pidana

1. PengertianTindak Pidana

Seperti diketahui bahwa atas dasar asas konkordansi KUHP Indonesia, yang dulu bernama Wetbook van Stafrect voor Indonesie merupakan semacam kutipan dari WvS Nederland. Bahasanya tentu saja bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.24

Istilah tindak pidana adalah suatu pengertian yang mendasar dalam hukum pidana yang ditujukan pada seseorang yang dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Pemakaian istilah demikian, oleh masing-masing sarjana didefinisikan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena istilah-istilah tersebut merupakan suatu terjemahan atau alih bahasa dari kata strafbaarfeityang berasal dari bahasa Belanda.Strafbaarfeit diartikan secara umum oleh masyarakat berupa

“delik” atau “kajahatan” dan oleh para sarjana diartikan berbeda-beda yaitu sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana atau tindak pidana.

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan starfbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak

24


(38)

pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni keta

delictum. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaarfeit” merupakan

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Di dalam KUHP apa yang dimaksud dengan strafbaarfeittidak dijelaskan secara jelas.25

Mengenai istilah tindak pidana itu sendiri Sudarto berpendapat tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Tindakan Pidana adalah

suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.26 Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undang-undang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah

“tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah

yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana”.27

Istilah tindak pidana yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidanan atau sanksi pidana. Sekalipun pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana ini masih belum ada keseragaman, dari berbagai perbedaan pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana tersebut, bukan merupakan hal yang prinsip karena yang terpenting adalah pengertian atau maksud dari tindak pidana itu sendiri, bukan dari istilahnya.

25

PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung. 1984, hlm 72

26

Ibid,hlm. 25 27


(39)

28

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana . Tindak pidana adalah merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya

dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau vebrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum atau secara kriminologis). Pengertian unsur tidak pidana hendakya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang perama (unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP .28

Sedangkan PAF. Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif.29 Yang dimaksud unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

28

Sudarto,Op, Cit.,hlm 43 29


(40)

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa)

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud atauoogmerkseperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. 4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5) Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.30

Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1) sifat melanggar hukum

2) kualitas dari si pelaku

3) kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.31

E. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Dalam praktek apabila seorang pengemudi kendaraan bermotor menabrak orang yang mengakibatkan korbannya meninggal, banyak orang mengetahui kecelakaan tersebut maka banyak orang mengeroyok sipelaku, sehingga babak belur, maka

timbul adanya beberapa “culpa delicten”, yaitu tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang berhati-hati, tetapi dalam kenyataannya hukuman yang dijatuhkan

kepada sipelaku tidak seberat seperti hukuman terhadap “doleuze delicten’, yaitu

30

PAF. Lamintang,Op, Cit.,hlm 184 31


(41)

30

tindak pidana yang berunsur kesengajaan.32 Dalam Pasal 359 KUHP, yang berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu

tahun”.Adapun unsur-unsur dari Pasal 459 ini adalah: a. Adanya kesalahan atau kelalaian.

Kesalahan merupakan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan. Dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui. Kesengajaan ada 3 bentuk yaitu;

1) sengaja sebagai maksud (opzet als oogemerk) 2) segaja sebagai kepastian (opzet bij zekerheids)

3) sengaja sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids)

Berbuat salah karena kelalaian disebabkan karena tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika kemampuan itu seharusnya ia gunakan, kurang cermat berpikir, kurang pengetahuan /bertindak kurang terarah dan tidak mendukga secara nyata akibat fatal dari tindakan yang dilakukan.

b. Menyebabkan matinya orang lain yang harus dipengaruhi oleh 3 syarat; 1) adanya wujud dari perbuatan.

2) adanya akibat berupa matinya orang lain

3) adanya hubungan klausula antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain.

32


(42)

Matinya orang dalam Pasal ini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang berhati-hati atau lalainya terdakwa (culpa), maka pelaku tidak dikenakan Pasal tentang pembunuhan (Pasal 338 atau 340 KUHP). Pasal ini menjelaskan bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian sipembuat dengan tidak menyebutkan perbuatan sipembuat tetapi kesalahannya.

Selanjutnya dalam Pasal 360, dinyatakan bahwa :

(1) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukum penjara selama-lamnya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamnya satu tahun

(2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.

4500,-Adapun unsur-unsur dari Pasal 360 KUHP adalah; 1) Adanya kesalahan

Kesalahan merupakan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan. Dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui. Kesengajaan ada 3 bentuk yaitu;

a) sengaja sebagai maksud (opzet als oogemerk) b) segaja sebagai kepastian (opzet bij zekerheids)

c) sengaja sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids) 2) Menyebabkan orang lain terluka

Terlukanya orang lain dapat berupa luka ringan dan luka berat. Luka berat dapat dilihat sebagaiman diatur dalam Pasal 90 KUHP:


(43)

32

a) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.

b) tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pancarian

c) kehilangan salah satu panca indra d) mendapat cacat berat

e) menderita sakit lumpuh

f) terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih g) gugur atau matinya seorang perempuan

Bentuk-bentuk kecelakaan lalu lintas di jalan raya di dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1992, secara tegas tidak diatur, namun tentang peristiwa kecelakaan lalu lintas secara tegas telah diatur pada bagian keempat dari Undang-undang dimaksud. Undang-undang ini mengatur tentang asas dan tujuan lalu lintas, pembinaan, Prasarana, terminal, kendaraan, pengemudi, asuransi, angkutan dan ketentuan pidana. Pasal 27, mengatakan bahwa :

“Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat pertiwa kecelakaan lalu lintas wajib menghentikan kendaraan, menolong orang yang menjadi korban kecelakaan dan melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia”.

Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kewajiban pengemudi untuk menolong korban kecelakaan yang memerlukan perawatan harus diutamakan. Disisi lain undang-undang ini memberikan kelonggaran atau dispensasi bagi pengemudi kendaraan yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas di jalan raya,


(44)

yaitu apabila pengemudi kendaraan bermotor dalam keadaan memaksa artinya suatu keadaan yang dapat membahayakan keselamatan atau jiwa pengemudi apabila menghentikan kendaraan untuk menolong sikorban, namun keadaannya tetap diwajibkan untuk segera melaporkan peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut atau segera melaporkan dirinya kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat.

Lebih lanjut undang-undang ini mengatur secara tegas tentang tanggungjawab pengemudi dan/atau pemilik kendaraan bermotor terhadap peristiwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan mereka, seperti :

1) Apabila korban meninggal dunia, maka pengemudi dan/atau pemilik kendaraan bermotor wajib memberikan bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman;

2) Apabila korban cidera, maka pengemudi dan/atau pemilik kendaraan bermotor wajib memberikan biaya pengobatan;

Namun ada pengecualian diberikan undang-undang, yaitu pengemudi dan/atau pemilik kendaraan bermotor tidak wajib memberikan biaya kepada korban dan/atau ahli waris korban, apabila peristiwa kecelakaan lalu lintas itu terjadi karena adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau diluar kemampuan, disebabkan prilaku korban sendiri atau pihak ketiga, maupun disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Pengertian keadaan memaksa dalam hal in adalah peristiwa yang tidak dapat dielakkan atau diluar kemampuan pengemudi untuk menelakkan kejadian kecelakaan lalu lintas.


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

1. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini.

2. Pendekatan Yuridis Empiris yaitu dengan melakukan pengkajian dan pengolahan terhadap data primer sebagai data utama yaitu fakta-fakta dan perilaku empiris di lapangan.54

B. Sumber dan Jenis data

Penelitian empiris merupakan penelitian hukum yang memakai sumber data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian (field Risearch) yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai

54


(46)

permasalahan dalam penelitian ini di Polresta Bandar Lampung.55Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan studi kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas,56yang terdiri antara lain:

a. Bahan Hukum Primer, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.

7) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.

8) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

55

Ibid.

56


(47)

36

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang yang mengatur tentang anak, serta literatur dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pokok bahasan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Jurnal, Kamus, Internet, serta surat kabar dan lain-lain.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan mempergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :


(48)

1) Observasi

Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan terhadap objek yang diteliti terkait dengan yang ada di Polresta Bandar Lampung dan Komisi Perlindungan Anak Bandar Lampung. Dalam melakukan pengamatan, peneliti berperan sebagai pengamat partisipatif, yaitu terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian

2) Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Peneliti bertanya langsung kepada narasumber yang dipilih, yaitu pihak-pihak yang berkompeten yang dianggap mampu memberikan gambaran dan informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Adapun informan tersebut antara lain: 1. Penyidik dari Unit PPA Polresta Bandar Lampung 1 orang 2. Praktisi Komisi Perlindungan Anak Bandar Lampung 1 orang +

2 orang

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1) Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

2) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.


(49)

38

3) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

D. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebutdilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan yang bersifat umum.


(50)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak sebagai upaya perlindungan anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh Kepolisian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu bahwa dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf k, Pasal 16 Ayat (1) huruf l, dan Pasal 18 Ayat (1) dan (2) serta dalam KUHAP, yaitu pada Pasal 7 Ayat (1) huruf j, yang pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa kepolisian khususnya penyidik dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat dilakukan menurut penilaiannya sendiri ataupun melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Praktik diversi yang dilakukan oleh Kepolisian dilakukan dengan dengan memberikan peringatan informal terhadap tersangka anak yang melakukan tindak pidana, memberikan peringatan formal dihadapan orangtuanya, pemberian sanksi ringan dari perbuatan jahatnya, dan meminta anak tersebut untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang berkaitan dengan pidana yang dilakukan.


(51)

73

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas antara lain faktor hukumnya sendiri, faktor apratur penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, dan faktor masyrakat. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Dari segi Bantuan hukum, anak yang termasuk dalam keberadaan orang tua yang tidak mencukupi, sering kesulitan untuk mendapat bantuan hukum. Dari aspek sarana, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Sedangkan dari faktor masyarakat, diversi masih terhalang adana pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.

B. Saran

1. Dibutuhkan suatu penyuluhan kepada masyarakat tentang ide diversi sehingga masyarakat akan pentingnya diversi dalam penyelenggaraan system peradilan pidana anak. Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum dan mengajarkan anak untuk taat hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik di sekolah. Hukum juga harus memberikan ruang bagi anak untuk terus berkembang dan terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya..

2. Praktikdiversipada tingkat penyidikan diupayakan terwujudnya perlindungan bagi anak, kalau sebagai tersangka diupayakan semaksimal mungkin sehingga


(52)

dapat meminimalkan sanksi hukuman yang akan diterima oleh anak atau malah dibebaskan. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat dilakukan melalui perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arif Gosita, 2005. Masalah Perlindungan Anak, ed. ke-1, Akademika Pressindo, Jakarta,

Burhan Ashshofa, 1996.Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta.

Marlina, 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan.

Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008.

Maulana Hassan Wadong, 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta,

Moeljatno, 1983.Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ketiga, Bina Aksara, Jakarta, Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003. Analisa

Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia.

PAF. Lamintang, 1984. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung.

Romli Atmasasmita, 2008. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung.

R. Soesilo, 1991,Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Politeie, Bogor,.

Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum, Cetakan kelima, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(54)

Soerjono Soekanto, 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Sudarto, 1981. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)..

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik.


(1)

38

3) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

D. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebutdilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan yang bersifat umum.


(2)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak sebagai upaya perlindungan anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh Kepolisian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu bahwa dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf k, Pasal 16 Ayat (1) huruf l, dan Pasal 18 Ayat (1) dan (2) serta dalam KUHAP, yaitu pada Pasal 7 Ayat (1) huruf j, yang pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa kepolisian khususnya penyidik dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat dilakukan menurut penilaiannya sendiri ataupun melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Praktik diversi yang dilakukan oleh Kepolisian dilakukan dengan dengan memberikan peringatan informal terhadap tersangka anak yang melakukan tindak pidana, memberikan peringatan formal dihadapan orangtuanya, pemberian sanksi ringan dari perbuatan jahatnya, dan meminta anak tersebut untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang berkaitan dengan pidana yang dilakukan.


(3)

73

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas antara lain faktor hukumnya sendiri, faktor apratur penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, dan faktor masyrakat. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak saat ini tidak memberikan ruang yang cukup bagi implementasi ide diversi. Dari segi Bantuan hukum, anak yang termasuk dalam keberadaan orang tua yang tidak mencukupi, sering kesulitan untuk mendapat bantuan hukum. Dari aspek sarana, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Sedangkan dari faktor masyarakat, diversi masih terhalang adana pandangan masyarakat yang cenderung dendam dan ingin melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan, termasuk pada pelaku anak.

B. Saran

1. Dibutuhkan suatu penyuluhan kepada masyarakat tentang ide diversi sehingga masyarakat akan pentingnya diversi dalam penyelenggaraan system peradilan pidana anak. Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum dan mengajarkan anak untuk taat hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik di sekolah. Hukum juga harus memberikan ruang bagi anak untuk terus berkembang dan terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya..

2. Praktikdiversipada tingkat penyidikan diupayakan terwujudnya perlindungan bagi anak, kalau sebagai tersangka diupayakan semaksimal mungkin sehingga


(4)

74

dapat meminimalkan sanksi hukuman yang akan diterima oleh anak atau malah dibebaskan. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat dilakukan melalui perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arif Gosita, 2005. Masalah Perlindungan Anak, ed. ke-1, Akademika Pressindo, Jakarta,

Burhan Ashshofa, 1996.Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta.

Marlina, 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan.

Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008.

Maulana Hassan Wadong, 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta,

Moeljatno, 1983.Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ketiga, Bina Aksara, Jakarta, Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003. Analisa

Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia.

PAF. Lamintang, 1984. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung.

Romli Atmasasmita, 2008. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung.

R. Soesilo, 1991,Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Politeie, Bogor,.

Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum, Cetakan kelima, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(6)

Shanty Dellyana, 2008. Wanita Dan Anak Dimata Hukum cet ke-1. Liberty, Yogyakarta.

Soerjono Soekanto, 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Sudarto, 1981. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)..

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik.