Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap satuan lingual memiliki dua unsur, yaitu unsur bentuk dan unsur makna. Kedua unsur tersebut disebut sebagai intralingulitik. Sebaliknya, referen atau acuan merupan unsur yang ada di luar bahasa atau ekstralinguistik. Secara konsep- tual referen atau acuan merupakan hubungan antara satuan lingual tertentu dengan entitas yang ada di dunia nyata. Entitas yang ada di dunia nyata merupakan entitas di luar bahasa. Oleh karena itu, referen atau acuan digunakan untuk mengacu entitas yang ada di luar bahasa yang dipilih oleh ekspresi tuturan tertentu dalam konteks tertentu Saeed, 2000. Misalnya, kata Jakarta digunakan untuk mengacu nama kota yang menjadi ibu kota negara Indonesia. Namun, tidak setiap satuan lingual bereferen meskipun memiliki unsur bentuk dan makna. Kata-kata yang tergolong sebagai functional word seperti preposisi di, ke, dari, oleh dan konjungsi dan, tetapi, karena hanya memiliki bentuk dan makna, tetapi tidak bereferen. Sebaliknya, satuan bahasa yang tergolong sebagai referential word seperti meja, kucing, rumah merupakan satuan bahasa yang tidak hanya memiliki bentuk dan makna, tetapi juga bereferen. Secara semantik, referen tidak hanya mengacu pada kelas nomina, tetapi juga mencakup kelas lain, seperti verba dan adjektiva Abbott, 2010; Saeed, 2000. Dalam penelitian ini hanya akan mengkaji satuan lingual berkategori nomina yang digunakan untuk mengacu nomina insani dan noninsani. Dalam kontes ini, nomina insani dikosensepsi sebagai acuan yang berciri semantik manusia, sedangkan nomina non-insani merupakan acuan yang tidak berciri semantik manusia, misalnya bina- tang, tumbuhan atau objek tak hidup. Pengacuan terhadap nomina insani dan nomina non-insani diekspresikan dengan berbagai bentuk, baik dalam bentuk kata maupun dalam bentuk frase. Kata rumah, bola, sepatu mengacu entitas yang disebut sebagai rumah, bola, dan sepatu. Pengacuan terhadap kota Jakarta sebagai nama diri dapat dilakukan dengan memberi deskripsi nama diri kota tersebut, misalnya dengan frasa ibu kota negara Indonesia. Dalam padangan Frege 1980 dan Donnellan 1972 deskripsi diri yang jelas 2 memiliki ekuivalen dari sisi referen. Artinya, referen Jakarta dan ibu kota negera Indonesia memiliki acuan yang sama. Namun, tidak semua deskripsi nomina memiliki acuan yang tunggal. Frasa presiden Indonesia memiliki berbagai acuan, dapat mengacu Soekarno, Soeharto, SBY. Kesesuaian semua acuan itu bergantung waktu penggunaan frasa tersebut. Persoalan pengacuan menjadi lebih kompleks bila dikaitkan dengan konteks tuturan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Saeed 2000 dan Abbott 2010 bahwa pengacuan dapat lekat kontes dan bebas konteks. Pronomina persona dia hanya mengacu orang yang dibicakan atau orang ketiga jika pronomina tersebut digunakan dalam komunikasi. Bahkan, acuan pronomina dia baru dapat diketahui saat kata itu digunakan. Sifat acuannya yang berganti-ganti menuntut adanya pemahaman kon- teks penggunaan kata terssebut. Hal itu berbeda dengan kata rumah, mobil, ayam yang secara leksikal memiliki acuan, yaitu mengacu pada entitas yang disebut sebagai rumah, mobil, dan ayam meskipun acuan ketiga kata tersebut belum takrif. Satuan bahasa yang digunakan sebagai pengacu nomina pada kenyataanya memiliki keragaman dan kekhasan. Pronomina persona dia, kami, kamu , hanya digunakan untuk mengacu entitas yang berciri insani. Demikian juga nomina bapak, ibu, paman, siswa, guru merupakan nomina yang secara semantis memiiliki kompo- nen makna + manusia sehingga digunakan untuk mengacu entitas yang berciri insani. Sebalikya, nomina kayu, rumah, dan frasa nominal ibu kota negara RI dugu- nakan untuk mengacu nomina yang berciri nonmanusia atau berciri - insani. Beragamnya ekspresi bahasa yang digunakan sebagai pengacu nomina, baik nomina insani dan noninsani, diperlukan sebuah penelitian yang dapat mengungkap berbagai jenis dan konteks pengacuan nomna tersebut.

B. Rumusan Penelitian