PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria
macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS
PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG
DIINDUKSI RIFAMPISIN
(Skripsi)

Oleh
Widhi Astuti

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA
(Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI
GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE
DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

Oleh
Widhi Astuti


Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN

Pada
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

i

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu

tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa) terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih
Jantan (Rattus norvegicus) Galur Spargue Dawley yang diinduksi Rifampisin”
adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di
Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Muhartono, M. Kes., Sp.PA, selaku Pembimbing Utama, atas waktu
dan kesediaannya memberikan ilmu, bimbingan, saran dan kritik dalam
proses menyelesaikan skripsi ini;
2. dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes., selaku Pembimbing Kedua, atas waktu
dan kesediaan memberikan ilmu dan saran dalam proses penyelesaian
skripsi ini;

ii

3. dr. Susianti, M.Sc., selaku Penguji Utama, atas kesedian memberikan

ilmu, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
4. Mama dan Papa yang selalu mendoakan, merawat, menasehati,
membimbing, dan mendukungku tanpa henti;
5. Kakakku Lestari Puji Ayu, yang senantiasa menjadi mentor dan editor
utama dalam skripsiku;
6. Kakakku Hardy Prasetiyo, yang senantiasa mendoakanku dan
mendukungku dalam jarak yang jauh disana;
7. Adikku Dhimas Lungguh Prasetiyo dan seluruh keluarga besar yang
senantiasa memberikan dukungan dan doa;
8. Aaku, Adam Shidiq Alfaruq yang senantiasa memberikan semangat dan
dukungan untuk menyegerakan penyelesaian skripsi ini;
9. Seluruh staf dosen Fakultas Kedokteran Univesitas Lampung, atas ilmuilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan;
10. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dan
pegawai, yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan
skripsi ini;
11. Seluruh Tim Sukses kita dr. Dewi, dr. Fidha, dr. Exa, dr. Darwis, Rinavi
Adrin, M. Pasca Yogatama, Kharima Wibawa, H.S Dyah dan Arif Yudho
Prabowo;
12. Sahabat seperjuanganku Rizqa Atina, Rezha Remon Titho dan, Hario Tri
Hendroko, terima kasih atas saran, dukungan dan bantuannya.

13. Teman-teman angkatan 2009, kakak-kakak dan adik-adik tingkat yang
sudah memberikan banyak inspirasi dan semangat kepadaku;

iii

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Januari 2013
Penulis

Widhi Astuti

iv

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................


vii

DAFTAR GAMBAR …………...................................................................

viii

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………….

1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………...

5

1.3 Tujuan ……………………………………………………………..


5

1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………...

5

1.5 Kerangka Penelitian ……………………………………………….

7

1.5.1 Kerangka Teori ……………………………………………..
1.5.2 Kerangka Konsep …………………………………………..

9
10

1.6 Hipotesis …………………………………………………………...

11


II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ginjal ………………………………………………………………

12

2.1.1 Anatomi Ginjal ……………………………………………….
2.1.2 Histologi Ginjal ………………………………………………
2.1.2.1 Korpuskel Renalis ……………………………………
2.1.2.2 Tubulus Kontortus Proksimal ………………………..
2.1.2.3. Ansa Henle …………………………………………..
2.1.2.4 Tubulus Kontortus Distal …………………………….
2.1.2.5 Tubulus Kontortus Koligentes ……………………….

12
16
18
19
19
20
20


v

2.1.2.6 Aparatus Jukstaglomerulus …………………………..
2.1.3 Fisiologi Ginjal ……………………………………………….
2.1.4 Patologi Ginjal ………………………………………………..

21
23
26

2.2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley ..…………

29

2.3 Rifampisin ………………………………………………………….

32

2.3.1 Aktivitas antibakteri …………………………………………

2.3.2 Mekanisme kerja …………………………………………….
2.3.3 Farmakokinetik ……………………………………………...
2.3.4 Efek Samping ………………………………………………..
2.3.5 Efek Rifampisin ……………………………………………..

32
32
34
35
35

2.4 Mahkota Dewa ……………………………………………………..

41

III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian …………………………………………………..

46


3.2 Tempat dan Waktu …………………………………………………

46

3.3 Populasi dan Sampel ……………………………………………….

47

3.4 Alat-alat dan Bahan ………………………………………………..

49

3.4.1 Bahan Penelitian …………………………………………….
3.4.2 Bahan Kimia ………………………………………………...
3.4.3 Alat Penelitian ………………………………………………
3.4.3.1 Alat Penelitian ………………………………………
3.4.3.2. Alat Pembuat preparat Histopatologi ………………

49
49

49
49
50

3.5 Prosedur Penelitian ………………………………………………..

50

3.5.1 Prosedur Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa …………
3.5.1.1 Metode Pembuatan Ekstrak Buah Mahkota Dewa …
3.5.1.2 Prosedur Pemberian Dosis Ekstrak Buah Mahkota
Dewa ………………………………………………..
3.5.2 Prosedur Pemberian Dosis Rifampisin ……………………...
3.5.3 Prosedur Penelitian ………………………………………….

50
50

3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel …………..

59

3.6.1 Identifikasi Variabel ………………………………………...
3.6.2 Definisi Operasional Variabel ………………………………

59
60

51
52
53

vi

3.7 Analisis Data ……………………………………………………….

61

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ……………………………………………………………….

62

4.1.1 Kerusakan Ginjal Tikus ……………………………………..

62

4.1.2 Analisis Gambaran Histopatologi Kerusakan Ginjal Tikus …

69

4.2 Pembahasan ………………………………………………………..

72

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………...

84

5.2 Saran ……………………………………………………………….

84

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..

86

LAMPIRAN
Lampiran 1. Presentase rata-rata skor kerusakan ginjal tikus …………
Lampiran 2. Uji Normalitas Data (Shapiro-Wilk) Histopatologi Ginjal
Tikus ..................................................................................
Lampiran 3. Uji Kruskal-Wallis Histopatologi Ginjal Tikus …………
Lampiran 4. Uji Mann-Whitney Histopatologi Ginjal Tikus ………….
Lampiran 5. Cara Pembuatan Slide Histopatologi Ginjal Tikus ……...
Lampiran 6. Journal Skripsi …………………………………………..
Lampiran 7. Alat, Bahan, dan Cara Kerja .............................................
Lampiran 8. Surat Keterangan Penyerahan Journal …………………..

94
95
98
99
105
109
121
126

vii

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Data biologi tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley ……

30

2. Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley ……..

31

3. Fase terjadinya acute tubular necrosis …………………………………..

38

4. Klasifikasi mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) ……………………..

41

5. Definisi operasional ……………………………………………………..

60

6. Hasil rata-rata gambaran histopatologi ginjal pada kelompok uji ………

69

7. Analisis Shapiro-Wilk gambaran mikroskopik histopatologi ginjal …….

70

8. Analisis Mann Whitney gambaran histopatologi ginjal tikus antara
kelompok uji ……………………………………………………………

71

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar
1.

Halaman

Diagram kerangka teori tentang pengaruh mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) terhadap histopatologi ginjal akibat penggunaan
rifampisin ………………………………………………………………

2.

9

Diagram kerangka konsep tentang pengaruh mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) terhadap histopatologi ginjal akibat penggunaan
rifampisin ………………………………………………………………

10

3.

Anatomi ginjal manusia ………………………………………………..

15

4.

Sistem perdarahan ginjal manusia ……………………………………..

16

5.

Histologi ginjal normal manusia ………………………………………

17

6.

Gambaran histologi ginjal ……………………………………………..

22

7.

Gambaran histologi ginjal ……………………………………………..

22

8.

Ginjal manusia …………………………………………………………

25

9.

Potongan melintang ginjal tikus yang mengalami kerusakan ………….

28

10. Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang
mengalami degenerasi hidropik ………………………………………..

29

11. Mekanisme terjadinya acute tubular necrosis akibat penggunaan obat
rifampisin ………………………………………………………………
12. Patogenesis terjadinya sindrom hepatorenal pada pasien penyakit hati

39

ix

berat atau sirosis hepatis …………………………………………….....

40

13. Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) ………………………….

42

14. Diagram alur penelitian November 2012 ………………………………

58

15. Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol normal …………………..

64

16. Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol patologis ………………...

65

17. Histopatologi ginjal tikus kelompok perlakuan mahkota dewa dosis
7,56 mg/100gBB .………………………………………………………

66

18. Histopatologi ginjal tikus kelompok perlakuan mahkota dewa dosis
15,12 mg/100gBB ……………………………………………………...

67

19. Histopatologi ginjal tikus kelompok perlakuan mahkota dewa dosis
30,24 mg/100gBB ……………………………………………………...

68

20. Mekanisme terjadinya proses inflamasi ………………………………..

80

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. TB merupakan penyakit dengan angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi terutama di negara berkembang. Berdasarkan estimasi
World Health Organization (WHO), daerah dengan kasus TB baru yang tertinggi
pada tahun 2009 adalah di daerah Asia Tenggara yang merupakan 35% dari
insidensi global. Sekitar 1,3 juta populasi meninggal akibat TB pada tahun 2009
(Utami, 2010).

Indonesia adalah negara dengan pravalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
China dan India (Bagiada dan Primasari, 2010). WHO memperkirakan bahwa
TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada
anak dan orang dewasa. Pada tahun 1999, WHO Global Surveillance
memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita TB baru pertahun
dengan 262.000 BTA positif atau insidens rate sekitar 130 per 100.000

2

penduduk.TB banyak terdapat di kalangan penduduk dengan kondisi sosial
ekonomi lemah dan menyerang golongan usia produktif (Utami, 2010).

Jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan
terutama di negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB
besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993. WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Awal tahun
1990-an WHO dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and
Lung Disease) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal
sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah
terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif
(Perdini, 2010).

Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang sekitar 6 sampai 8 bulan untuk
mencapai penyembuhan dengan kombinasi beberapa macam obat (Bagiada dan
Primasari, 2010). Salah satu pengobatannya adalah dengan menggunakan obat
rifampisin. Rifampisin adalah antibiotik semisintetik golongan makrolid.
Rifampisin merupakan obat antituberkulosis yang mempunyai efek nefrotoksik
yang cukup tinggi dibanding dengan obat antituberkulosis (OAT) lainnya
(Bagiada dan Primasari, 2010).

Penggunaan antibiotik secara terus menerus merupakan suatu penyebab
kerusakan ginjal. Hal ini dapat dilihat dari angka kejadian nefrotoksiksisitas

3

akibat penggunaan rifampisin sebagai OAT adalah berkisar antara 1,8% sampai
16% dari semua kasus gangguan ginjal akut (GGA). Obat-obat antibiotik dapat
menginduksi kerusakan ginjal melalui berbagai cara, antara lain dengan
berkurangnya natrium dan air, perubahan pada aliran darah, kerusakan ginjal dan
obstruksi terhadap ginjal (Chasani, 2007).

Karena tingginya angka kejadian nefrotoksisitas akibat penggunaan antibiotik,
akhir-akhir ini, kehidupan mulai beranjak kembali kepada obat-obatan
tradisional. Berkembangnya berbagai macam penyakit menyebabkan kesehatan
menjadi hal yang langka dan mahal. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat
mulai menyadari pentingnya mengkonsumsi obat-obatan atau ramuan tradisional
yang harganya lebih terjangkau dan memiliki efek samping minimal (Murti dan
Poerba, 2010).

WHO (2008) merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upayaupaya meningkatkan keamanan dan khasiat obat tradisional (WHO, 2003). Pada
beberapa negara di Asia dan Afrika, 80% populasinya bergantung kepada obat
tradisional sedangkan pada sebagian besar negara berkembang, 70% hingga 80%
populasinya menggunakan pengobatan tradisional (WHO, 2008).

4

Salah satu tumbuhan yang mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan
menjadi bahan obat adalah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), karena
tumbuhan tersebut diketahui mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai
penyakit. Penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh tumbuhan ini antara
lain penyakit jantung, diabetes, hati, darah tinggi, reumatik, asam urat, kanker,
ginjal, serta penyakit kulit lainnya (Wirawan, 2003). Daun dan kulitnya diketahui
mengandung alkaloid, saponin dan flavonoid. Selain itu di dalam daunnya juga
diketahui mengandung polifenol. Flavonoid dapat digunakan sebagai pelindung
mukosa lambung, antioksidan, antiinflamasi serta mengobati gangguan fungsi
hati dan ginjal (Hendra dkk., 2011). Tidak menutup kemungkinan bahwa
senyawa flavonoid terkandung dalam buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) dapat berpengaruh terhadap kerusakan ginjal akibat penggunaan
antibiotik (Wirawan, 2003).

Berdasarkan kepopuleran dari tumbuhan mahkota dewa dalam menyembuhkan
berbagai jenis penyakit dan banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi
tumbuhan ini, untuk membuktikan hal tersebut maka akan dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)
terhadap tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang
diinduksi rifampisin.

5

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley yang diinduksi rifampisin ?

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley yang diinduksi oleh rifampisin.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah mengenai efek ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) terhadap ginjal.

6

2.

Bagi pembangunan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
yang akan mendukung upaya pemeliharaan tanaman mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa) sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat.
Dengan demikian akan mendukung upaya pemerintah untuk
menyukseskan program tanaman obat atau obat herbal.

3.

Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, meningkatkan iklim
penelitian di bidang agromedicine sehingga dapat menunjang pencapaian
visi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 2015 sebagai Fakultas
Kedokteran Sepuluh Terbaik di Indonesia pada Tahun 2025 dengan
kekhususan agromedicine.

4.

Bagi peneliti lain, menjadi bahan acuan untuk dilakukannya penelitian
serupa yang berkaitan dengan efek buah mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) dan mencari khasiat senyawa lainnya yang terdapat dalam
buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) sehingga dapat dipakai untuk
penelitian selanjutnya.

7

1.5 Kerangka Penelitian

1.5.1 Kerangka Teori

Penggunaan rifampisin dalam waktu tertentu dapat menyebabkan jejas sel
pada ginjal manusia. Mekanisme terjadinya gangguan fungsi ginjal akibat
penggunaan antibiotik rifampisin antara lain dengan cara penurunan
ekskresi natrium dan air, perubahan aliran darah, obstruksi pada saluran air
kemih serta karena perubahan umur seseorang menjadi tua (Chasani,
2008). Proses nefrotoksisitas rifampisin pada ginjal bermula pada
terjadinya disfungsi glomerulus dan tubulus ginjal berupa atrofi dan
fibrosis pada glomerulus serta atrofi,degenerasi hidropik, degenerasi lemak,
nekrosis, dan kalsifikasi tubulus. Manifestasi klinis dari kerusakan ginjal
tersebut adalah gangguan ginjal akut, acute tubular necrosis, acute
tubulointerstitial nephritis serta gangguan ginjal kronis (Singh dkk., 2003).

Buah mahkota dewa merupakan salah satu tanaman tradisional di Indonesia
yang digunakan sebagai obat herbal oleh masyarakat Indonesia. Zat aktif
yang terkandung dalam daun dan kulit buah antara lain alkaloid, terpenoid,
saponin, dan senyawa resin. Pada daunnya diketahui terkandung senyawa
polifenol, sedangkan pada daun dan kulit buah terkandung flavonoid,
alkaloid, dan saponin (Harmanto, 2001). Senyawa tersebut dapat digunakan

8

sebagai antioksidan, antinflamasi, antiproliferativ, antikanker serta
mengobati gangguan fungsi ginjal dan hati (Hendra dkk., 2011).

Flavonoid yang terkandung dalam mahkota dewa, memiliki kandungan
senyawa fenol bersifat antiinflamasi yang poten seperti obat antiinflamasi
non steroid. Salah satu mekanisme yang penting dalam adalah inhibisi
enzim golongan eicosanoid, terutama phospholipase A2, cyclooxygenases,
dan lypooxygenases yang kemudian akan berimbas pada penurunan
konsentrasi prostatglandin dan leukotrien (Kim dkk., 2004).

9

Penggunaan Rifampisin

Jejas sel nefron

Nefrotoksik
Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa)
Disfungsi glomerulus dan tubulus :
Atrofi dan fibrosis pada glomerulus
Atrofi, degenerasi hidropik,
degenerasi lemak, nekrosis, dan
kalsifikasi tubulus

-

Manifestasi klinis :
-

Gangguan ginjal akut
Acute tubular nechrosis
Acute tubulointertitial nephritis
Penyakit ginjal kronis

Keterangan :
: Mempengaruhi
: Menghambat

Gambar 1. Diagram kerangka teori tentang pengaruh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)
terhadap ginjal akibat penggunaan rifampisin.

10

1.5.2 Kerangka Konsep

Kelompok 1
Kontrol Normal

Gambaran
histopatologi
ginjal

Kelompok 2
(Kontrol Patologis)
Rifampisin 1g/kgBB

Gambaran
histopatologi
ginjal

Kelompok 3
(Dosis 1 Mahkota Dewa)
7,56 mg/100gBB+
Rifampisin 1g/kgBB

Kelompok 4
(Dosis II Mahkota Dewa)
15,12 mg/100gBB +
Rifampisin 1g/kgBB

Kelompok 5
(Dosis III Mahkota Dewa)
30,24mg/100gBB +
Rifampisin 1g/kgBB

Gambaran
histopatologi
ginjal

Dianalisis

Gambaran
histopatologi
ginjal

Gambaran
histopatologi
ginjal

Gambar 2. Diagram kerangka konsep pengaruh mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap
kerusakan ginjal akibat penggunaan rifampisin.

11

1.6 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ada pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)
terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih jantan (Rattus norvegicus)
galur Sprague Dawley yang diinduksi rifampisin.

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal

2.1.1 Anatomi Ginjal
Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus menghasilkan urin,
dan berbagai saluran reservoir yang dibutuhkan untuk membawa urin
keluar tubuh. Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang
terletak di kedua sisi columna vertebralis (Price dan Wilson, 2006).
Kedua ginjal terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing–
masing di sisi kanan dan sisi kiri columna vertebralis setinggi vertebra
T12 sampai vertebra L3. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah
daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra. Masing–
masing ginjal memiliki facies anterior dan facies posterior, margo
medialis dan margo lateralis, ekstremitas superior dan ekstremitas
inferior (Moore dan Agur, 2002).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm,
lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 g. Ukurannya
tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang
dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm atau perubahan

13

bentuk merupakan tanda yang penting, karena sebagian besar
manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur dari ginjal
tersebut (Price dan Wilson, 2006).

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak
perineal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau
glandula adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal
bersama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fascia
gerota. Di luar fascia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau
disebut jaringan lemak pararenal. Di bagian posterior, ginjal dilindungi
oleh otot–otot punggung yang tebal serta costae ke XI dan XII,
sedangkan di bagian anterior dilindungi oleh organ–organ
intraperitoneal (Purnomo, 2003).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula
ginjal (Junquiera dan Carneiro, 2002). Di dalam korteks terdapat
berjuta–juta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli
ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri
atas tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus
koligentes (Purnomo, 2003).

Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya
syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta

14

keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung
(Junquiera dan Carneiro, 2002). Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas
kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis
(Junquiera dan Carneiro, 2002).

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan
cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena
dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava
inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak
mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain,
sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat
timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo,
2003).

15

Gambar 3. Anatomi ginjal manusia (Moore dan Agur, 2002).

Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabangcabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri arkuarta,
arteri interlobularis, dan arteriol aferen yang menuju ke kapiler
glomerulus tempat sejumlah besar cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk
pembentukan urin. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus
bergabung untuk membentuk arteriol eferen, yang menuju jaringan
kapiler kedua, yaitu kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus
ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh
sistem vena, yang berjalan secara paralel dengan pembuluh arteriol
secara prorgesif untuk membentuk vena interlobularis, vena arkuarta,

16

vena interlobaris, dan vena renalis, yang meninggalkan ginjal di
samping arteri renalis dan ureter (Guyton dan Hall, 2008).

Gambar 4. Sistem perdarahan ginjal manusia (Slomianka, 2009).

2.1.2 Histologi Ginjal
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur
dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap
sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut (Price dan
Wilson, 2006). Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yakni
korpuskel renalis, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis, dan tebal

17

ansa henle, tubulus kontortus distal, dan duktus koligentes (Junquiera
dan Carneiro, 2002).

Darah yang membawa sisa–sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di
dalam glomeruli kemudian di tublus ginjal, beberapa zat masih
diperlukan tubuh untuk mengalami reabsorbsi dan zat–zat hasil sisa
metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urin. Setiap
hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan
menghaslkan urin 1-2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalis ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter (Purnomo, 2003).

Gambar 5. Histologi ginjal normal manusia (Slomianka, 2009).

18

2.1.2.1 Korpuskel Renalis
Setiap korpuskel renalis terdiri atas seberkas kapiler, yaitu
glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda
yang disebut kapsula bowman. Lapisan dalam kapsul ini
(lapisan visceral) menyelubungi kapiler glomerulus. Lapisan
luar membentuk batas luar korpuskel renalis dan disebut lapisan
parietal kapsula bowman. Lapisan parietal kapsula bowman
terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis
dan selapis tipis serat retikulin (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Sel viseral membentuk tonjolan–tonjolan atau kaki–kaki yang
dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membran
basalis pada jarak–jarak tertentu sehingga terdapat daerah–
daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel (Price dan Wilson,
2006). Sel endotel kapiler glomerulus merupakan jenis kapiler
bertingkap namun tidak dilengkapi diafragma tipis yang terdapat
pada kapiler bertingkap lain (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium,
yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel
mesangial aktivitas fagositik dan menyekresi prostatglandin
(Price dan Wilson, 2006). Sel mesangial bersifat kontraktil dan
memiliki reseptor untuk angiotensin II. Bila reseptor ini
teraktifkan, aliran glomerulus akan berkurang. Sel mesangial

19

juga memiliki beberapa fungsi lain, sel tersebut memberi
tunjangan struktural pada glomerulus, menyintesis matriks
ekstrasel, mengendositosis dan membuang molekul normal dan
patologis yang terperangkap di membran basalis glomerulus,
serta menghasilkan mediator kimiawi seperti sitokin dan
prostaglandin (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.2 Tubulus Kontortus Proksimal
Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di
lapisan parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan
epitel tubulus kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau
silindris rendah. Filtrat glomerulus yang terbentuk di dalam
korpuskel renalis, masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal
yang merupakan tempat dimulainya proses absorbsi dan
ekskresi. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus proksimal
mensekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi organisme,
seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma
interstitial ke dalam filtrat (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.3 Ansa Henle
Ansa henle adalah struktur berbentuk huruf U yang terdiri atas
segmen tebal desenden, segmen tipis desenden, segmen tipis
asenden dan segmen tebal asenden. Ansa henle terlibat dalam
retensi air, hanya hewan dengan ansa demikian dalam ginjalnya

20

yang mampu menghasilkan urin hipertonik sehingga cairan tbuh
dapat dipertahankan (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.4 Tubulus Kontortus Distal
Segmen tebal asenden ansa henle menerobos korteks, setelah
menempuh jarak tertentu, segmen ini menjadi berkelak–kelok
dan disebut tubulus kontortus distal. Sel–sel tubulus kontortus
distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan
mitokondria terkait yang menunujukkan fungsi transpor ionnya
(Junquiera dan Carneiro, 2002).

2.1.2.5 Tubulus Duktus Koligentes
Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid.
Di sepanjang perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes
terdiri atas sel–sel yang tampak pucat dengan pulasan biasa.
Epitel duktus koligentes responsif terhadap vasopressin arginin
atau hormon antidiuretik yang disekresi hipofisis posterior. Jika
masukan air terbatas, hormon antidiuretik disekresikan dan
epitel duktus koligentes mudah dilalui air yang diabsorbsi dari
filtrat glomerulus (Junquiera dan Carneiro, 2002).

21

2.1.2.6 Aparatus Jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel
khusus yang letaknya dekat dengan kutub vaskular masing–
masing glomerulus yang berperan penting dalam mengatur
pelepasan renin dan mengontrol volume cairan ekstraseluler dan
tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel yaitu:
1. Jukstagomerulus atau sel glanular
2. Makula densa tubulus distal
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis (Price dan Wilson,
2006).

Sel jukstaglomerulus menghasilkan enzim renin, yang bekerja
pada suatu protein plasma angiotensinogen menghasilkan suatu
dekapeptida non aktif yakni angiotensin I. Sebagai hasil kerja
enzim pengkonversi yang terdapat dalam jumlah besar di dalam
sel–sel endotel paru, zat tersebut kehilangan dua asam aminonya
dan menjadi oktapeptida dengan aktviitas vasopresornya, yakni
angiotensin II (Junquiera dan Carneiro, 2002).

22

Gambar 6. Gambaran histologi ginjal (Fankhauser, 2008).

Gambar 7. Gambaran histologi ginjal (Soeksmanto, 2008).

23

2.1.3 Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah
berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting ekskresi
produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan
keseimbangan asam yang sesuai dan sekresi berbagai hormon autokoid
(Robbins dan Kummar, 2004).

Menurut Guyton dan Hall (2006), ginjal adalah organ utama untuk
membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh
tubuh. Produk-produk ini meliputi urea, kreatin asam urat, produk
akhir dari pemecahan hemoglobin. Ginjal tersusun dari beberapa juta
nefron yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi dan
reabsorpsi. Kerja ginjal dimulai saat dinding kapiler glomerulus
melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah dari sebagian
besar air, ion-ion dan molekul-molekul.

Ultrafiltrat hasil dari ultrafiltrasi dialirkan ketubulus proksimalis untuk
direabsorpsi melalui brush broder dengan mengambil bahan-bahan
yang diperlukan tubuh seperti gula, asam-asam amino, vitamin dan
sebagainya. Sisa-sisa buangan yang tidak diperlukan disalurkan
kesaluran penampung dan diekskresikan sebagai urin. Fungsi ini
dilakukan dengan filtrasi darah plasma melalui glomerulus diikuti
dengan reabsorpsi disepanjang tubulus ginjal (Soeksmanto, 2006).

24

Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang
sebagian besar ditujukkan untuk mempertahankan kestabilan
lingkungan cairan internal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES,
termasuk Na+, Cl-, K+,HCO3-, Ca2+, Mg2+, SO42-, PO42-, dan H+.
Bahkan fluktuasi minor pada konsentrasi sebagian elektrolit ini
dalam CES dapat menimbulkan pengaruh besar. Sebagai contoh,
perubahan konsentrasi K+ di CES dapat menimbulkan disfungsi
jantung yang fatal.
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini
dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan
garam dan H2O.
4. Membantu memelihara keseimbangan asam–basa tubuh dan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.
5. Memelihara osmolaritas berbagai cairan, terutama melalui
pengaturan keseimbangan H2O.
6. Mengekskresikan produk–produk sisa dari metabolisme tubuh,
misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk,
zat–zat sisa tersebut bersifat toksik bagi tubuh, terutama otak.
7. Mensekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat zat
penambah pada makanan, pestisida, dan bahan–bahan eksogen non
nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh.

25

8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah.
9. Mensekresikan renin, suatu hormonn enzimatik yang memicu
reaksi berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh
ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2001).

Gambar 8. Ginjal manusia (Slomianka, 2009).

26

2.1.4 Patologi ginjal

Reaksi ginjal terhadap rangsangan dari luar serupa dengan organ
tubuh lainnya, yaitu sesuai dengan mekanisme patologi pada
umumnya. Bagian ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring adalah
glomerulus yang bekerja berdasarkan faktor-faktor hemodinamika dan
osmotik (Ganong, 2003).

Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein yang
bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis protein tersebut dapat
lolos (Junquiera dan Carneiro, 2002). Sel tubulus selain berfungsi
mereabsorbsi, juga menambahkan zat-zat kimiawi seperti yodium,
amonia dan hippuric acid. Pada disfungsi glomerulus, bahan-bahan
asing tiba di tubulus dalam kadar yang abnormal melalui ruang
Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami
degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan-bahan yang
harus diserap kembali (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Tubulus proksimal memiliki fungsi utama yaitu menyerap kembali
natrium, albumin, glukosa dan air, dan juga bermanfaat dalam
penggunaan kembali bikarbonat. Epitelium tubulus proksimalis
merupakan bagian yang paling sering terserang iskemia atau rusak
akibat toksin, karena kerusakan yang terjadi akibat laju metabolisme
yang tinggi (Suyanti, 2008).

27

Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah
glomerulus (Soeksmanto, 2006). Menurut Soeksmanto (2006),
kerusakan yang terjadi sering disebabkan oleh adanya deposisi imun
kompleks, trombosis, emboli, dan infeksi virus pada komponen
glomerulus. Kerusakan dapat menyebabkan berbagai dampak baik
secara morfologi maupun fungsional. Secara morfologis kerusakan
glomerulus ditandai dengan terjadinya nekrosis dan ploriferasi dari sel
membran serta infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara
fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah,
lolosnya protein dan makromolekul lain dalam jumlah yang besar
pada filtrat glomerulus. Kerusakan pada glomerulus juga dapat berupa
atrofi dan fibrosis sehingga menyebabkan atrofi sekunder pada tubulus
renalis (Soekmanto, 2006).

Nefrosis merupakan istilah morfologik untuk kelainan ginjal
degeneratif terutama yang mengenai tubulus. Kelainan tubulus dapat
menyebabkan albuminuria dan sedimen abnormal di urin. Secara
mikroskopis kelainan dijumpai pada tubulus kontortus proksimal
berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosis dan kalsifikasi
(Suyanti, 2008).

Kerusakan yang terjadi pada tubulus, disebabkan karena dua pertiga
dari ultrafiltrat glomerulus, secara terus-menerus direabsorpsi pada
tubulus. Proses transpor yang terjadi pada tubuli juga memungkinkan

28

terjadinya akumulasi toksin-toksin intrarenal, sehingga mempertinggi
konsentrasi lokal dari bahan-bahan berbahaya tersebut. Bahan-bahan
asing yang masuk ke dalam tubuh, pada umumnya dapat
dimetabolisme melalui proses enzimatik sebagai pertahanan untuk
melindungi tubuh dari bahan-bahan kimia berbahaya. Secara simultan,
bahan-bahan berbahaya hasil buangan metabolisme tersebut diproses
dan diekskresikan dalam bentuk urin yang dikeluarkan setiap hari.
Kemampuan untuk memproteksi kerusakan akibat bahan kimia di
atas, umumnya dimiliki oleh semua jenis mamalia, meskipun
kemampuan melawan partikel-partikel bahan tersebut bervariasi
diantara species, terutama dalam memindahkan 1 group etil melalui
oksidasi mikrosomal (Soeksmanto, 2006).

Gambar 9. Potongan melintang ginjal tikus yang mengalami kerusakan
(Soeksmanto, 2006).

29

Gambar 10. Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang
mengalami degenerasi hidropik (Suyanti, 2008).

2.2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

Di Indonesia, hewan percobaan ini sering disebut tikus besar. Dibandingkan
dengan tikus liar, tikus putih lebih cepat menjadi dewasa dan lebih mudah
berkembang biak. Berat badan tikus putih lebih ringan dibandingkan berat
badan tikus liar. Pada umur 2 bulan berat badan dapat mencapai 200-300
gram. Tikus putih (Rattus norvegicus) tergolong hewan yang mudah dipegang
(FKH UGM, 2006).

Ukuran tubuh tikus putih (Rattus norvegicus) yang lebih besar dari pada
mencit membuat tikus putih (Rattus norvegicus) lebih disukai untuk berbagai
penelitian. Berbeda dengan hewan laboratorium lainnya tikus putih (Rattus
norvegicus) tidak pernah muntah. Lambung tikus putih (Rattus norvegicus)

30

terdiri dari dua bagian, yaitu nonglandular dan glandular dan small intestine
yang terdiri dari : duodenum, jejunum, dan ileum (FKH UGM, 2006).

Tabel 1. Data Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley

DATA BIOLOGI

KETERANGAN

Lama hidup

2,5-3,5 tahun
Berat Badan

Newborn

5-6g

Pubertas

150-200g

Dewasa jantan

300-800g

Dewasa betina

200-400g
Reproduksi

Kematangan seksual

65-110 hari

Siklus estrus

4-5 hari

Gestasi

20-22 hari

Penyapihan

21 hari
Fisiologi

Suhu tubuh

35,90-37,50 C

Denyut Jantung

250-600 kali/menit

Laju nafas

66-144 kali/menit

Tekanan darah diastolic

60-90 mmHg

Tekanan darah sistol

75-120 mmHg

Feses

Padat, berwarna coklat tua, bentuk
memanjang dengan ujung membualat

Urin

Jernih dan berwarna kuning
Konsumsi makan dan air

Konsumsi makanan

15-30 g/hari atau 5-6 g/100gBB

Konsumsi air

24-60 ml/hari atau 10-12 ml/100gBB

Sumber : Isroi, 2010.

Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan percobaan
karena tikus merupakan hewan yang mewakili kelas mamalia sehingga
kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem
reproduksi, pernafasan, peredaran darah, serta ekskresinya menyerupai
manusia. Tikus juga dapat secara alami menderita suatu penyakit seperti

31

hipertensi dan diabetes, dan juga sering dipakai dalam studi nutrisi, tingkah
laku, kerja obat, dan toksikologi (Animal Care Program, 2011).

Tikus

putih

(Rattus

norvegicus)

memiliki

beberapa

sifat

yang

menguntungkan, seperti: cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam
jumlah banyak, lebih tenang, dan ukurannya lebih besar daripada mencit.
Tikus putih juga memiliki ciri-ciri: albino, kepala kecil, ekor yang lebih
panjang dibandingkan badannya, pertumbuhan cepat, temperamennya baik,
kemampuan aktasi tinggi, dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama
tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley adalah ketenangan dan
kemudahan penanganannya (Isroi, 2010).

Tabel 2. Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley.

KLASIFIKASI

KETERANGAN

Kingdom

Animalia

Filum

Chordata

Kelas

Mamalia

Ordo

Rodentai

Subordo

Odontoceti

Familia

Muridae

Genus

Rattus

Species
Sumber : Isroi, 2010

Rattus norvegicus

32

2.3 Rifampisin

Rifampisin adalah suatu derivat semisintetik rifampisin B yang merupakan
salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifampisin.
Kelompok zat ini dihasilkan oleh jamur Streptomyces meditteranei. Obat ini
merupakan ion zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH-nya asam
(Syarif dkk., 2009). Strain yang resisten timbul dengan cepat selama terapi,
karena itu rifampisin tidak pernah diberikan sebagai obat tunggal pada
penggunaan obat tuberkulosis aktif (Mycek dkk., 2002).

2.3.1 Aktivitas Antibakteri
Rifampisin bersifat bakterisidal terhadap mikobakterium intraseluler
dan ekstraseluler termasuk Mycobacterium tuberculosis, mikobakteri
atipik dan Mycobacterium leprae. Rifampisin efektif terhadap banyak
organisme Gram (+) dan Gram (-) dan sering diguanakan secara
profilaksis untuk anggota rumah tangga yang terpapar dengan
meningitis yang disebabkan oleh Meningococcus atau Haemophillus
influenza (Mycek dkk., 2002). Rifampisin juga aktif terhadap kuman
gram positif lain terutama Staphylococcus sp., termasuk yang resisten
terhadap penisilin (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.2 Mekanisme Kerja
Rifampisin terutama terhadap sel yang sedang bertumbuh. Rifampisin
menghambat transkripsi dengan cara berinteraksi dengan β–subunit
RNA polymerase bakterial tergantung DNA, sehingga menghambat

33

sintesis RNA menekan langkah permulaan. Obat tersebut spesifik untuk
prokariot (Mycek dkk., 2002). Inti RNA polymerase dari berbagai sel
eukariot tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak
dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria
mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk
penghmbatan pada kuman. Pemberian rifampisin per oral menghasilkan
kadar puncak dalam plasma setelah 2–4 jam dengan dosis tunggal
sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 g/ml. Asam para amino
salisilat dapat memperlambat absorbsi rifampisin, sehingga kadar terapi
rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisisn harus diberikan
bersama asam para amino salisilat, maka pemberian kedua kedua
sediaan harus berjarak 8–12 jam (Syarif dkk., 2009).

Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresikan melalui
empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik.
Penyerapannya dihambat oleh adanya makanan, sehingga dalam waktu
6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil
rifampisin, yang mempunyai aktivitas antibakteri penuh. Rifampisin
menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun
biovailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pada pemberian
berulang (Tjay dan Rahardja, 2007).

34

2.3.3 Farmakokinetik
Farmakokinetik obat rifampisin adalah sebagai berikut:
1. Absorbsi
Rifampisin secara oral diabsorpsi dengan baik. Reabsorbsi
rifampisin di usus sangat tinggi.
2. Distribusi
Rifampisin sangat lipofilik, dapat menembus sawar darah otak
(bood-brain barrier) dengan baik. Difusi relatif dari darah ke dalam
cairan serebrospinal adekuat dengan atau tanpa inflamasi.
3. Metabolisme
Rifampisin dimetabolisme melalui resirkulasi enterohepatik. Ikatan
proteinnya 80%. Rifampisin sendiri dapat menginduksi oksidase
fungsi campuran dalam hati, menyebabkan suatu pemendekan
waktu paruh. Waktu paruh (T½) eliminasi rifampisin adalah 3-4
jam, waktu tersebut akan memanjang pada keadaan gagal hepar,
dan gagal ginjal terminal menjadi 1,8-11 jam. Sedangkan waktu
untuk mencapai kadar puncak, serum atau oral adalah 2-4 jam.
4. Ekskresi
Sebagian besar ekskresi rifampisin dilakukan melalui ginjal.
Rifampisin dieksresi dalam feses (60%-65%) dan urin (30%)
sebagai obat yang tidak berubah (Syarif dkk., 2009).

35

2.3.4 Efek Samping
Efek samping adalah suatu masalah dari rifampisin. Obat tersebut harus
digunakan hati-hati pada penderita dengan kegagalan hati sebab ikterus
yang kronik dapat terjadi pada penderita penyakit hati kronik, peminum
alkohol, dan usia lanjut (Syarif dkk., 2009).

Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa
lelah, mengantuk, sakit kepala, atraksia, bingung, sukar berkonsentrasi,
sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot juga dapat terjadi.
Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam, pruritus, urikaria,
berbagai macam kelainan kulit, euseofilia, dan rasa sakit pada mulut
dan lidah. Hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufisisensi ginjal,
dan gagal ginjal akut juga merupakan reaksi hipersensitivitas, tetapi
jarang terjadi (Syarif dkk., 2009).

2.3.5 Efek Rifampisin Terhadap Ginjal
Mekanisme terjadinya gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan
antibiotika antara lain dengan cara penurunan ekskresi natrium dan air,
perubahan aliran darah, obstruksi pada saluran air kemih serta karena
perubahan umur seseorang menjadi tua (Chasani, 2008). Rifampisin
adalah salah satu obat yang penggunaannya dikombinasikan dengan
isoniazid, etambutol, dan pirazinamid, obat ini merupakan pilihan
pertama dalam pengobatan penyakit TBC. Rifampisin adalah salah satu
obat yang banyak menimbulkan efek hepatoksik, tetapi hal tersebut

36

tidak juga menutup kemungkinan bahwa rifampisin menyebabkan
keadaan nefrotoksik pada ginjal (Meulen dkk., 2009).

Manifestasi klinis penyakit ginjal dapat dikelompokkan ke dalam
sindrom–sindrom. Sebagian bersifat khas untuk penyakit glomerulus,
yang lain terdapat pada penyakit yang mengenai salah satu komponen
ginjal. Secara singkat sindrom penyakit klinis ginjal adalah:
1. Sindrom nefritik akut adalah suatu sindrom glomerulus yang
didominasi oleh onset hematuria makroskopik proteinuria ringan
sampai sedang, azotemia, edema, dan hipertensi hal ini merupakan
presentasi klasik glumeronefritis pascastreptokokus akut.
2. Sindrom nefrotik ditandai dengan adanya proteinuria berat
hipoalbuminemia, edema berat, hiperlipidemia, dan lipiduria.
3. Hematuria atau proteinuria asimtomatik, atau kombinasi keduanya,
biasanya merupakan manifestasi kelainan glomerulus yang ringan
atau samar.
4. Glumeronefritis progresif cepat menyebabkan gangguan fungsi
ginjal dalam beberapa hari atau minggu dan bermanifestasi sebagai
sedimen urin aktif.
5. Gangguan ginjal akut didominasi oleh oliguria atau anuria, disertai
azotemia akut. Kelainan ini dapat terjadi akibat cedera glomerulus,
cedera interstitium, atau nekrosis tubulus akut.

37

6. Penyakit ginjal kronis, ditandai dengan gejala dan tanda uremia
yang berkepanjangan, adalah hasil akhir semua penyakit ginjal
kronis (Robbins dan Kummar, 2004).

Dalam penelitian Singh dkk., (2003) diketahui bahwa rifampisin adalah
salah satu obat yang dapat menginnduksi penyakit ginjal. Rifampisin
adalah salah satu obat yang dapat menyebabkan acute tubular necrosis
dan acute tubulointerstitial nephritis. Angka kejadian nefrotoksisitas
akibat rifampisin dangatlah bervariasi dari 1,8% hingga 16% dari semua
angka kejadian ganguan ginjal akut. Kebanyakan kasus dari rifampisin
menyebabkan kegagalan ginjal terjadi setelah adanya keadaan
haemolitik anemia karena obat tersebut. Lamanya durasi penggunaan
obat rifampisin akan sangat berpengaruh dalam menimbulkan efek
nefrotoksik. Dilaporkan bahwa gangguan ginjal akut dapat muncul
setelah 2 bulan penggunaan obat rifampisin namun hal tersebut juga
dapat terjadi setelah penggunaan rifampisin selama 13 hari (Prakash,
2001).

38

Tabel 3. Fase terjadinya acute tubular necrosis.

Sumber : Tumlin, 2003.

Dalam kasus acute tubular necrosis, telah ditemukan rifampicindependent antibodies dan Imunoglobulin G (IgG) yang terdeposit pada
lumen tubulus ginjal, hal tersebut menunjukan adanya hubungan
penggunaan rifampisin dengan kejadian gagal ginjal (Meulen dkk.,
2009)

39

Gambar 11. Mekanisme terjadinya acute tubulointertitial nephritis akibat penggunaan obat
rifampisin (Rose and Appel, 2008); Ket: a. Obat dapat megikat secara normal
membran basal tubulus yang berperan sebgai hapten; b. Obat dapat berperan
menjadi sebagai antigen yang biasanya berperan sebagai membran basal tubulus
dan intertitium dan menginduksi respon kekebalan yang akan diarahkan ke antigen
tersebut; c. Obat akan berikatan dengan membran basal tubulus atau terdeposit
pada bagian interstitium dan berperan sebagai antigen; d. Obat tersebut akan
memicu reaksi terbentuknya antibodi dan disimpan di bagian interstitium sebagai
reaksi imun komplek.

Karena rifampisin adalah salah obat yang dapat menyebabkan terjadinya
hepatotoksik, Sindrom Hepato Renal (SHR) juga dapat ditemukan pada
para pengguna obat rifampisin. SHR adalah gangguan fungsi ginjal
sekunder pada penyakit hati tingkat berat baik yang akut maupun kronis.
SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan gangguan fungsi
ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan
hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki
gangguan fungsi ginjal ini (Reksodiputro dkk, 2009). Studi lain
menyatakan bahwa terjadinya penurunan sintesis nitrit oksida yang
merupakan vasodilator kuat, pada pasien SHR.

40

Penyakit hati berat atau sirosis
hepatis + hipertensi portal

Vasodilatasi arterial splanik bertambah

Hipovolemi arterial sentral

Hipovolemi arterial sentral

Aktivasi :
-Simpatis
- Renin/angiotensin/aldosteron
- Hormon antidiuretik

Vasokonstr

Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian ekstrak etanol buah muda mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap gambaran histopatologi nekrosis sel hepar tikus putih jantan (Rattus norvegicus strain wistar) yang diinduksi parasetamol

2 7 26

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN MAKROSKOPIS HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

1 11 58

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI ISONIAZID

4 40 83

PERBANDINGAN PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) DENGAN EKSTRAK DAUN CEPLUKAN (Physalis angulata L) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMP

0 11 87

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata Linn) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI DMBA

5 36 70

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIS HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI 7,12-DYMETHYLBENZ(α)ANTHRACENE (DMBA)

4 28 56

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PAYUDARA TIKUS PUTIH BETINA (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI 7,12-

4 21 67

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

1 12 70

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

2 35 76

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71