PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG TAPIOKA SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU TERHADAP LAJU PENGERINGAN DAN SIFAT FISIK MIE SEHAT KERING

ABSTRACT
THE STUDY OF PHYSICAL CHARACTERISTICS AND DRYING RATE OF
HEALTHY DRIED NOODLES WITH MIXED TAPIOCA AND WHEAT
FLOUR

By
Eliya Kurniasari

The purposes of this research were to know the effect of adding strach flour as a
substitution material of wheat flour on the drying rate, physical characteristics and to
compare the physical characteristics of healthy dried noodles with commercial noodles.
The experiment was designed with four different composition ratio of starch flour and
wheat flour wihch are 0 : 100 % ; 10 : 90 % ; 20 : 80 % , and 30 : 70 % and simbolized
with C0, C10, C20, and C30, respectively. The results shows that the coeficient of drying
rate ( k ) of C0 is 0,014, highest than the other compositions. Furthermore , the adding
of starch flour tends to decrease the cooking loss, water absorption and volume ratio,
but tends to increase the water content and the tensile strength of the healthy noodles.
Comparison between healthy dried noodles and commercial noodles on the physical
characteristics shows that it does not significant different. The healthy dried noodles
show the similar physical characteristics to the commercial noodles.
Key words : dried noodles , the rate of drying , mechanical and physical

characteristics

ABSTRAK
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG TAPIOKA SEBAGAI BAHAN
SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU TERHADAP LAJU PENGERINGAN DAN
SIFAT FISIK MIE SEHAT KERING

Oleh
Eliya Kurniasari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung tapioka
sebagai bahan substitusi tepung terigu terhadap laju pengeringan, sifat fisik mekanik,
dan membandingkan sifat fisik mie hasil penelitian dengan mie komersial. Penelitian
dirancang menggunakan empat perlakuan perbandingan komposisi tepung tapioka dan
tepung terigu masing-masing 0:100%; 10:90%; 20:80%, dan 30:70% masing-masing
disimbolkan dengan C0, C10, C20, dan C30. Hasil dari pengujian laju pengeringan
menghasilkan nilai konstanta laju pengeringan (k) pada perlakuan C0 adalah 0,014,
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya C10, C20, dan C30. Selanjutnya,
penambahan tepung tapioka cenderung menurunkan nilai kehilangan padatan akibat
pemasakan (KPAP), daya serap air (DSA) dan daya pengembangan, tetapi cenderung

menaikkan nilai kadar air dan kekuatan tarik (tensile strength) mie sehat. Perbandingan
antara hasil pengujian sifat fisik mie sehat kering hasil penelitian dengan mie komersial
tidak memberikan perbedaan yang terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan mie sehat
kering hasil penelitian memiliki sifat fisik yang hampir sama dengan mie komersial.
Kata kunci: mie kering, laju pengeringan, dan sifat fisik mekanik

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo, Pringsewu pada tanggal 5 Mei 1993,
sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Putri dari pasangan Bapak
Suprayitno (alm) dan ibu Th. Agustina.

Pendidikan formal dimulai dengan memasuki jenjang pendidikan Sekolah
Dasar (SD) di SD N 1 Sendang Mulyo Lampung Tengah, yang diselesaikan pada tahun 2004.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Xaverius Kalirejo Lampung Tengah. Pendidikan
pada jenjang SMP ini diselesaikan pada tahun 2007. Jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) di SMA Xaverius Pringsewu, yang diselesaikan pada tahun 2010.

Tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas
Pertanian (FP) Universitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri (UM). Penulis terdaftar

sebagai Anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Perhimpunan
Mahasiswa Teknik Pertanian (PERMATEP) periode 2012/2013. Tahun 2013 penulis
melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT. Sang Hyang Seri Pekalongan, Lampung Timur.
Tahun 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Way
Muli, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan.

Puji syukur kepada Allah Bapa
Karya sederhana hasil usaha, kerja keras,
kesabaran dan doa ini ku persembahkan
Teruntuk:
Bapak (Alm), ini mimpimu dan ini cita-citamu
terimakasih sudah bekerja keras untukku dan
keluarga dan ibu yang luar biasa yang selalu
mendoakan, mendukung dan memberikan yang
terbaik untuk ana-anaknya.
Semua yang mengasihiku terimakasih untuk doa
dan dukungannya.
Almamater tercinta Universitas Lampung.

SANWACANA


Puji Syukur atas berkat Allah Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya penulis
menyelesaikan skripsi dengan judul:

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG TAPIOKA SEBAGAI BAHAN
SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU TERHADAP LAJU PENGERINGAN DAN
SIFAT FISIK MIE SEHAT KERING

Bersama dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.

Bapak Sri Waluyo, S.TP., M.Si., Ph.D., selaku pembimbing utama atas
kesediaannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, kritik dan saran dalam proses
penyelesaian skripsi ini.

2.

Ibu Cicih Sugianti, S.TP., M.Si., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan
bimbingan, masukan, kritik dan saran dalam proses penyelesaian skripsi.


3.

Bapak Dr. Ir. Tamrin, M.S., selaku pembahas yang telah banyak memberikan
kritikan, masukan dan saran dalam proses penyelesaian skripsi.

4.

Bapak Dr. Ir Agus Haryanto, M.P., selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian
Universitas Lampung.

5.

Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.

6.

Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung

7.


Seluruh staf dosen dan karyawan di Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung.

8.

Bapak (alm) dan ibu atas doa, kasih dan dukungannya.

9.

Teman-teman TEP 10 dan semua sahabat yang selalu mendukung dalam doa.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi
sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bandar Lampung, 10 November 2014
Penulis,

Eliya Kurniasari


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mie adalah makanan khas negara Cina dan sekarang dikenal hampir di seluruh
dunia. Kajian preferensi konsumen menunjukkan bahwa mie merupakan produk
pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat baik
sebagai makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan (Purnawijayanti,
2013).

Berdasarkan jenisnya mie dapat dikelompokkan menjadi 4 macam antara lain mie
mentah atau mie segar, mie basah, mie kering dan mie instan. Mie mentah atau
mie segar merupakan mie yang tidak mengalami proses lanjutan dengan kadar air
35%. Kadar air mie segar cukup tinggi dibandingkan dengan mie kering. Kadar
air yang tinggi dapat mempengaruhi umur simpan. Mie kering akan memiliki
umur simpan lebih panjang karena bahan yang kering tidak akan memicu
tumbuhnya jamur pada bahan tersebut.

Mie kering adalah mie mentah yang dikeringkan dengan kadar air antara 8-10%.
Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari

atau dengan menggunakan oven (Mariyani, 2011). Menurut SNI 01-2974-1996,
mie kering didefinisikan sebagai produk makanan kering berbentuk khas mie
dengan bahan dasar tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan

2

bahan tambahan yang diizinkan. Karena sifat kering inilah maka mie mempunyai daya
simpan yang relatif panjang dan dalam penanganannya relatif lebih mudah. Mie kering
dipilih karena mie kering memiliki umur simpan lebih panjang dibandingkan dengan
mie mentah atau mie segar dan juga mie basah.

Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan mie. Tepung terigu memiliki
kandungan gluten yang diperlukan untuk mengembangkan adonan pada mie. Tepung
terigu merupakan suatu jenis tepung yang terbuat dari gandum dan sampai saat ini
gandum merupakan bahan yang masih diimpor dari beberapa Negara seperti Australia,
Kanada, Amerika. Penggunaan tepung komposit atau tepung pengganti dapat
menurunkan ketergantungan terhadap tepung terigu dalam pengolahan makanan. Hal
ini yang mendasari banyaknya jenis tepung yang dijadikan bahan pengganti dalam
pengolahan makanan termasuk mie, salah satunya adalah penggunaan tepung tapioka.


Tepung tapioka (tapioca starch) atau sering disebut tepung kanji adalah tepung yang
diperoleh dari pati ketela pohon atau singkong. Tepung tapioka berfungsi sebagai
bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam pengolahan makanan (Esti,
2000). Tepung tapioka tidak memiliki kandungan gluten di dalamnya sehingga baik
dikonsumsi bagi sebagian orang yang mengalami alergi terhadap protein gluten.
Tepung tapioka memiliki struktur yang cukup rapat sehingga sulit untuk mencampur
pada proses pencampuran dan lebih sulit dalam penguapan air pada saat pengeringan
berlangsung. Kekurangan dari tepung tapioka ini yang menyebabkan penggunaan
sebagai bahan pengganti tepung terigu masih dibatasi.

3

Penambahan sayuran pada mie bertujuan untuk menambah nilai gizi yang terkandung
dalam mie. Konsumen mie tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak.
Kurangnya minat makan sayuran di kalangan anak-anak menjadi dasar alasan
pembuatan mie dengan tambahan sayuran. Bayam memiliki kandungan gizi yang baik
untuk kesehatan. Bayam (Amaranthus tricolor Linn) mengandung serat dan kaya akan
batakaroten, vitamin A, vitamin C, vitamin E, asam folat, zat besi, dan seng.
Kandungan vitamin A dan vitamin C membuat bayam bersifat antioksidan.


Pengeringan merupakan unit operasi yang penting dalam pembuatan mie kering.
Tujuan pengeringan adalah menurunkan kadar air mie sampai batas perkembangan
organisme dan kegiatan bakteri pembusuk terhambat atau terhenti sama sekali. Dengan
demikian mie yang dikeringkan mempunyai waktu simpan lebih lama. Penggunaan
suhu yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan merusak nilai gizi dari bayam. Penelitian
ini dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan tepung tapioka sebagai
bahan pengganti tepung terigu terhadap laju pengeringan, kadar air, daya serap air, daya
pengembangan mie dan kekuatan tarik (tensile strength).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui pengaruh penambahan tepung tapioka ke dalam pembuatan mie
sehat terhadap laju pengeringan mie sehat;
2. Mengetahui pengaruh penambahan tepung tapioka dalam pembuatan mie sehat
terhadap sifat fisik mekanik mie sehat kering;

4

3. Membandingkan sifat fisik mie sehat kering hasil penelitian dengan mie sampel

dari pasaran (komersial).

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui laju pengeringan dan sifat fisik dari mie
sehat kering dengan penambahan tepung tapioka serta memberikan data tentang laju
pengeringan dan sifat fisik mie sehat kering yang dapat digunakan untuk penelitianpenelitian selanjutnya.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tepung Terigu

Standar Nasional Indonesia 01-3751-2006 mendefinisikan tepung terigu sebagai
tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L.(Club
wheat) dan atau Triticum compactum Host atau campuran dari keduanya dengan
penambahan Fe, Zn, Vitamin B1, Vitamin B2 dan asam folat sebagai fortifikan.
Tepung terigu berasal dari beberapa varietas gandum dan secara umum dibedakan
menjadi 3 yaitu:
1. Hard flour (kandungan protein ~14 %)
2. Medium flour (kandungan protein ~11%)
3. Soft flour (kandungan protein ~9 %)
Ketiga jenis tepung yang ada dibedakan atas kandungan protein yang dimiliki
oleh tepung terigu, dimana protein menentukan kandungan gluten. Gluten adalah
campuran dari protein gliadin dan glutenin yang terkandung dalam lapisan
endosperm bersama pati (Rustandi, 2011). Protein gluten ini hanya terdapat pada
tepung terigu, tidak terdapat pada jenis tepung yang lain. Molekul yang terdapat
dalam gluten menyebabkan suatu adonan atau makanan menjadi kenyal dan
apabila difermentasikan maka gas hasil fermentasi akan menyebabkan
molekulnya menjadi seperti balon sehingga adonan terlihat mengembang.
Adonan menjadi kenyal dikarenakan oleh terbentuknya ikatan molekul tiga

6

dimensi yang akan menghasilkan adonan yang kuat. Semakin lama adonan diaduk,
semakin banyak ikatan yang terbentuk. Namun lapisan gluten dapat pecah karena
gerakan mekanik yang berlebihan seperti pengadukan atau peremasan. Semakin tinggi
kadar gluten dalam tepung terigu maka kadar protein juga semakin tinggi, begitu
sebaliknya. Kandungan protein yang tinggi berpengaruh pada daya serap air dari
tepung terigu. Semakin tinggi kandungan protein pada tepung terigu maka daya serap
air akan semakin besar. Jenis protein yang terdapat pada gandum adalah albumin,
globulin, prolamin, gliandin dan glutelin. Kadar gliandin dan glutelin sekitar 8% dan
apabila kedua jenis protein ini membentuk adonan yang kuat dengan penambahan air
dan garam maka dinamakan protein gluten.

Fungsi tepung terigu dalam mie adalah sebagai sumber protein dan sumber karbohidrat.
Gluten merupakan kandungan protein tepung terigu yang berperan dalam pembuatan
mie. Protein tepung terigu harus dalam jumlah yang besar untuk pembuatan mie.
Protein yang tinggi diharapkan dapat menghasilkan mie yang mengembang dan tahan
terhadap penarikan sewaktu proses produksi.

2.2 Tepung Tapioka

Tepung tapioka (tapioca starch) merupakan sari pati yang diekstrak dengan air dari
umbi singkong (ketela pohon). Setelah disaring bagian cairnya dipisahkan dari
ampasnya lalu diendapkan. Hasil dari endapan itu kemudian dikeringkan dan digiling
halus. Dalam memperoleh pati dari singkong harus dipertimbangkan usia atau
kematangan dari tanaman singkong. Usia optimum yang menghasilkan umbi singkong
dalam kondisi matang yaitu sekitar 18-20 bulan (Rahman, 2007). Tepung tapioka

7

sering digunakan sebagai pengganti tepung sagu karena sifat keduanya hampir sama.
Tepung tapioka umumnya digunakan juga sebagai pengental makanan karena efeknya
akan kental dan bening saat dipanaskan. Kelemahan dalam penggunaan tapioka adalah
tidak larut dalam air dingin, pemasakannya memerlukan waktu yang cukup lama dan
pasta yang terbentuk cukup keras.

Tabel 1. Komposisi Kimia dalam 100 gr Tepung Tapioka
Komposisi
Kalori (kal)
Air (g)
Phosphor (mg)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Vitamin C (mg)
Protein (g)
Besi (mg)
Lemak (g)
Vitamin B (mg)
Bobot yang dapat dimakan (mg)

Kadar
146,00
62,50
40,00
34,00
33,00
30,00
1,20
0,70
0,30
0,06
75,00

Sumber: Esti, 2000

Salah satu syarat mutu dari tepung tapioka adalah tingkat kehalusan. Tepung tapioka
yang memiliki kualitas yang baik tidak menggumpal dan halus. Walaupun, dalam SNI
tidak dijelaskan tentang syarat mutu tingkat kehausan tepung tapioka (Rahman, 2007).

2.3 Bayam

Bayam (Amaranthus tricolor L) merupakan tumbuhan yang biasa ditanam untuk
dikonsumsi daunnya. Bayam merupakan sayuran yang mengandung banyak gizi
sehingga bayam disebut sebagai raja sayuran. Tumbuhan bayam merupakan tumbuhan
yang dapat tumbuh didaerah yang beriklim panas dan dingin. Namun tumbuhan ini
dapat tumbuh lebih subur didaratan rendah pada lahan terbuka yang beriklim hangat dan

8

cahaya kuat (Sahat, 1996). Bayam mengandung 20% zat yang dibutuhkan dalam
Angka Kebutuhan Gizi (AKG).

Tabel 2. Kandungan Gizi Bayam per 100 g
Nutrisi yang Terkandung
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Ca (mg)
Fe (mg)
Mg (mg)
Zn (mg)
Vitamin C (mg)
Vitamin B-6 (mg)
Vitamin E (mg)

Kadar per 100 g bayam
91,40
2,86
0,39
99,00
2,71
79,00
0,53
28,10
0,19
2,03

Sumber: USDA, 2014
Nilai gizi yang begitu tinggi membuat bayam memiliki banyak manfaat antara lain:
a. digunakan diet;
b. anti kanker;
c. anti inflamasi;
d. antioksidan;
e. baik untuk kulit;
f. menjaga kesehatan usus;
g. untuk kekebalan tubuh;
h. baik untuk kulit;
i. menjaga kepadatan tulang;
j. mencegah pengapuran;
k. baik untuk pertumbuhan;
l. baik untuk syaraf otak.

9

Proses memasak dapat mengurangi kadar oksalat tersebut dan di sisilain meningkatkan
kandungan lutein. Pemasakan yang berulang dapat menimbulkan masalah. Bayam
mengandung zat besi atau senyawa Ferro (Fe2+). Namun dikarenakan proses pemanasan
ulang akan menyebabkan bayam mengalami proses oksidasi yang menyebakan senyawa
Ferro (Fe2+) berubah menjadi senyawa Ferri (Fe3+) yang sangat beracun bagi tubuh
manusia.

2.4 Mie Kering

Produk mie merupakan salah satu jenis olahan pangan yang sangat digemari oleh
masyarakat Indonesia. Mie dapat dikelompokkan menjadi empat jenis dilihat dari cara
produksinya, yaitu mie mentah, mie basah, mie instan dan mie kering. Jenis produk mie
yang mampu bersaing dipasaran ialah mie kering. Mie kering diolah dengan mengalami
proses pemasakan lanjut ketika benang mie telah dipotong, mie segar yang dihasilkan
lalu dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10% (Mulyadi dkk., 2013). Kadar air
mie kering tidak lebih dari 10% sehingga umur simpannya lebih lama. Perbedaan mie
kering dengan mie instan adalah proses pembuatannya. Mie kering dikeringkan dengan
penjemuran atau dioven sedangkan mie instan dikeringkan dengan cara digoreng
(Rustandi, 2011). Berikut ini syarat mutu mie kering menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI 01- 2974-1996).

10

Tabel 3. Standar Nasional Indonesia (SNI) mie kering

No

Kriteria Uji

1.

keadaan:
1.1 bau
1.2 warna
1.3 rasa
1.4 air
1.5 abu
1.6 protein (N x
6,25)
1.7 boraks

%, b/b
%, b/b
%, b/b

1.8 pewarna

2.

cemaran logam:
2.1 Timbal (Pb)
2.2 Tembaga (Cu)
2.3 Seng (Zn),
2.4 Raksa (Hg)
2.5 Arsen (As)

Persyaratan
Mutu I
Mutu II

Satuan

normal
normal
normal
maks. 8
maks. 3
mien. 11

normal
normal
normal
maks. 10
maks. 3
mien. 8

tidak boleh ada

tidak boleh ada

sesuai dengan SNI.
0222-M dan peraturan
Men.Kes.N0
722/Men.Kes/Per/IX/88

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

maks.
maks.
maks.
maks.
maks.

1,0
10,0
40,0
0,05
0,5

Cemasan
miekroba:
maks. 1,0 x 106
3.1 angka
koloni/g
lempeng,
maks. 10
total
maks. 1,0 x 104
3.2 E.coli
AMP/g
3.3 kapang
koloni/g
Sumber: Standar Nasional Indonesia 01-2974-1996

maks.
maks.
maks.
maks.
maks.

1,0
10,0
40,0
0,05
0,5

3.

Maks1,0 x 106

maks. 10
maks. 1,0 x 104

Bahan-bahan pembuatan mie antara lain tepung terigu, air, garam, garam alkali dan
telur. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan
karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan
mie adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin (prolamien dalam gandum) dan

11

glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang
cukup tinggi supaya mie menjadi mengembang dan kenyal. Bahan-bahan lain yang
digunakan antara lain air, garam, zat warna, bumbu dan telur. Air berfungsi sebagai
media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat
kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Air yang
digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 – 9. Hal ini disebabkan absorpsi air makin
meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak air yang diserap, mie menjadi tidak
mudah patah. Garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat tekstur mie,
meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie serta mengikat air. Garam dapat
menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket
dan tidak mengembang secara berlebihan. Telur berfungsi untuk menambah cita rasa
dan memberi warna kuning pada mie (Mariyani, 2011). Pembuatan mie kering juga
diperlukan penambahan CMC (Carboxy Methyl Cellulose) yang berfungsi sebagai
pengembang serta meningkatkan kekenyalan mie (Sugiyono, dkk., 2011). CMC juga
berpengaruh pada sifat adonan mie, memperbaiki ketahanan terhadap air, dan menjaga
produk tetap empuk selama penyimpanan. Penggunaan CMC yang berlebih juga akan
berdampak pada kualitas mie, akan menyebabkan tekstur mie terlalu keras dan daya
rehidrasi mie berkurang. CMC hanya digunakan untuk mie kering dan mie instan saja
(Rustandi, 2011).

2.5 Pengeringan

Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan pindah massa
yang terjadi secara bersamaan. Pertama panas harus ditransfer dari medium pemanas ke

12

bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan air, uap air yang terbentuk harus
dipindahkan melalui struktur bahan ke medium sekitarnya. Proses ini akan menyangkut
aliran fluida di mana cairan harus ditransfer melalui struktur bahan selama proses
pengeringan berlangsung (Sarwono, 2005). Panas digunakan untuk menguapkan air
dan air harus mendifusi melalui berbagai macam tahanan agar dapat lepas dari bahan
dan berbentuk uap air yang bebas. Lama proses pengeringan tergantung pada bahan
yang dikeringkan dan cara pemanasan yang digunakan. Makin tinggi suhu dan
kecepatan aliran udara pengeringan makin cepat pula proses pengeringan berlangsung.
Makin tinggi suhu udara pengering, makin besar energi panas yang dibawa udara
sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang
dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara pengering makin tinggi maka makin cepat
massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer. Kelembaban udara
berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air. Pada kelembaban udara tinggi,
perbedaan tekanan uap air didalam dan diluar bahan kecil, sehingga pemindahan uap air
dari dalam bahan keluar menjadi terhambat (Muchtadi dan Sugiyono, 2013).

2.6 Laju Pengeringan

Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan
yang dibedakan menjadi dua tahap utama, yaitu laju pengeringan konstan dan
laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi pada lapisan air
bebas yang terdapat pada permukaan bahan. Sedangkan laju pengeringan menurun
terjadi setelah periode pengeringan konstan selesai. Pada tahap ini kecepatan aliran air

13

bebas dari dalam bahan ke permukaan lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air
maksimum dari bahan (Taufiq, 2004).

Suhu pengering semakin tinggi maka konstanta laju pengeringan (k) semakin besar
(Rahayoe, dkk., 2008). Laju aliran udara pengeringan berfungsi untuk membawa energi
panas yang selanjutnya mentransferkannya ke bahan dan membawa uap air keluar ruang
pengering. Laju pengeringan yang cepat dapat terjadi jika udara pengering memiliki
kandungan panas yang lebih seragam dengan volume dan laju aliran udara yang lebih
besar sehingga memiliki kekuatan yang lebih besar pula untuk menembus lapisan bahan
(Widyotomo dan Mulato, 2005).

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Rekayasa
Bioproses dan Pasca Panen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven listrik, timbangan digital,
timbangan mekanik, thermometer, rheometer (Compac 100 II), stopwatch, kaliper
digital, kompor, panci, mistar, gelas ukur, blander, plastik transparan, mangkuk,
loyang, nampan, lap, sendok makan, piring, pisau stainless dan pencetak mie
(Nagako ALT 150 & pastabike). Bahan yang digunakan adalah tepung terigu
(kandungan protein 20%), tepung tapioka, garam, garam alkali, air, CMC
(Carboxy Methyl Cellulose), telur dan bayam.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan bubur bayam

Bubur bayam digunakan sebagai bahan tambahan pembuatan mie sehat
kering. Selain digunakan untuk menambah nilai gizi pada mie, penambahan

15

bayam juga sebagai zat pewarna mie kering sehat. Bayam memberikan
pengaruh warna hijau pada mie. Hal ini karena bayam mengandung
klorofil. Klorofil merupakan pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam
kloroplas bersama dengan karoten dan xantofil. Menurut Winarno (1991),
klorofil yang terkandung dalam bayam dapat berubah menjadi hijau
kecoklatan atau bahkan menjadi warna cokelat. Hal ini disebabkan
substitusi magnesium oleh hidrogen yang membentuk feoftin.

Bubur bayam dibuat hanya menggunakan batang muda dan daun bayam.
Kemudian bayam dicuci hingga bersih menggunakan air mengalir. Bayam
ditiriskan hingga permukaan bayam tidak terlalu basah. Selanjutnya
menimbang bayam sebanyak 30 g untuk setiap perlakuan. Menurut
Rustandi (2011), bayam yang digunakan dalam pembuatan mie sehat
sebanyak 10% dari bobot total tepung yang digunakan. Setelah menimbang
bayam kemudian bayam direbus selama 2 menit, fungsi perebusan adalah
menghindari perubahan warna hijau menjadi kecoklatan pada bayam.
Bayam matang kemudian diblander dengan menambahkan air sebanyak 60
ml sampai menjadi bubur.

16

Gambar 1. Diagram pembuatan bubur bayam

3.3.2 Prosedur pembuatan mie

Pembuatan mie diawali dengan menyiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan. Bahan yang akan digunakan untuk pembuatan mie seperti
tepung terigu, tepung tapioka, telur, garam, garam alkali, CMC (Carboxy
Methyl Cellulose), dan bubur bayam sebagai bahan tambahan. Prosedur
pembuatan mie yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. menimbang bahan yang akan digunakan seperti tepung terigu, tepung
tapioka, garam, garam alkali, CMC dan telur;
b. mengaduk bahan seperti tepung, garam, garam alkali, dan CMC
selama 5 menit sampai rata;

17

c. memasukan jus bayam dan telur dalam adonan sedikit demi sedikit;
d. mencampur adonan hingga kalis selama ±25 menit sampai adonan
tidak lengket di tangan;
e. mendiamkan adonan selama 10 menit dan menutup
adonanmenggunakan lap bersih;
f. mengepres adonan menggunakan rol menjadi lembaran dengan
ketebalan sekitar 5 mm. Pengepresan adonan dilakukan 4 kali pada
ketebalan 7 mm dan 3 kali pada ketebalan 5 mm;
g. mencetak lembaran adonan menjadi mie;
h. selanjutnya mengukus mie dengan suhu

selama 5 menit;

i. menata mie pada loyang atau cawan;
j. mengeringkan mie menggunakan oven dengan suhu

Komposisi tepung tapioka dan tepung terigu yang akan digunakan adalah:
C0 = Komposisi tepung tapioka 0%
C10 = Komposisi tepung tapioka 10%
C20 = Komposisi tepung tapioka 20%
C30 = Komposisi tepung tapioka 30%

18

Gambar 2. Diagram pembuatan mie kering

19

Berikut adalah komposisi yang akan digunakan dalam penelitian kali ini:
Tabel 1. Komposisi miesehat kering
Bahan

Substitusi
0%

10%

20%

30%

Tepung terigu (g)

300

270

240

210

Tepung tapioka (g)

-

30

60

90

Garam (g)

6

6

6

6

Garam alkali (g)

3

3

3

3

CMC (g)

3

3

3

3

Air (ml)

60

60

60

60

Bayam (g)

30

30

30

30

Telur (g)

12

12

12

12

3.3.3 Prosedur Pengeringan

Suhu pengering ditetapkan

. Adapun prosedur pengeringan secara mekanis

adalah sebagai berikut:
a. menyiapkan mie yang akan dikeringkan;
b. menimbang mie + cawan atau loyang sebagai data bobot awal bahan
sebelum proses pengeringan;
c. memasukan mie ke dalam oven dengan suhu
d. menimbang mie setiap 15 menit;
e. pengeringan untuk laju pengeringan berlangsung hingga bobot mie stabil;
f. pengeringan dilanjutkan menggunakan suhu 150°C selama 17 jam setelah
bobot mie stabil;
g. menimbang mie + cawan atau loyang setelah pengeringan.

20

3.4 Parameter pengukuran

a. Laju pengeringan

Laju pengeringan dihitung dengan menyiapkan mie yang telah diletakkan
dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Sampel untuk setiap periode
pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Mie dikeringkan dalam
oven dengan suhu

sampai bobot mie konstan. Setiap 15 menit mie

ditimbang untuk mengetahui susut bobot bahan. Setelah bobot mie
konstan pengeringan dilakukan selama 15 jam pada suhu 105°C. Laju
pengeringan dihitung dengan rumus:
=
Keterangan: M0

......................... (1)
= Kadar air awal (%)

M

= Kadar air pada waktu ke-t (%)

Me

= Kadar air setimbang pada saat pengeringan (%)

k

= Konstanta laju pengeringan

t

= Waktu pengeringan (menit)

b. Kadar air metode oven

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menyiapkan mie yang telah
diletakkan dalam cawan. Timbang mie dalam cawan dan diulang masingmasing sebanyak tiga kali pengulangan untuk setiap perlakuan. Mie
kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 17 jam.
Bahan kemudian didinginkan di dalam desikator selama ± 15 menit.

21

Setelah dingin, bahan kemudian ditimbang. Kadar air bahan dapat
dihitung dengan rumus:
M (%bk) =

× 100%

.......................... (2)

Keterangan:M (%bk) = kadar air bahan basis kering (%)
mawal

= bobot sampel bahan sebelum pengeringan (g)

makhir

= bobot sampel bahan setelah pengeringan (g)

c. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)

Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus mie dengan bobot ratarata 13 g dalam 150 ml air selama waktu optimum perebusan dengan lima
kali ulangan. Waktu perebusan optimum dapat dilihat dengan mengamati
mie selama proses perebusan. Kematangan mie dapat dilihat dengan cara
sampel miediamati setiap setengah menit sekali dalam proses perebusan
dan dilihat keadaannya. Mie sudah lunak dan tidak tersisa tepung yang
mentah sampai ke bagian dalam maka mie sudah dapat dikatakan matang.
Mie kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105°C sampai
bobotnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus
berikut:
KPAP = 1 –

x 100% .........(3)

Nilai KPAP yang dihasilkan dalam pengujian akan dibandingkan dengan
hasil pengujian dari mie kering sampel yang diperoleh dari pasaran
(komersial). Perbandingan ini bertujuan untuk membandingkan mie
kering sehat yang dihasilkan sudah sesuai dengan mie yang telah diterima
konsumen dipasaran atau tidak.

22

d. Kekuatan tarik (tensile strength)

Tensile strength atau kekuatan tarik mie merupakan nilai gaya yang
mampu memutus mie. Kekuatan tarik digunakan sebagai parameter
kekuatan mie. Semakin rendah gaya (N) yang diperoleh menunjukkan mie
semakin mudah putus. Pada prosedur percobaan kekuatan tarik ini
menggunakan alat yaitu penjepit mie dan rheometer. Rheometer
merupakan alat yang digunakan untuk menentukan sifat rheologi suatu
bahan. Alat penjepit berfungsi untuk memegang mie pada kedua
ujungnya, dimanaalat penjepit terpasang pada rheometer. Satu ujung statis
sedang ujung yang lainnya bergerak naik atau turun dengan kecepetan
sesuai setting pengujian.

Sampel mie yang akan diuji adalah mie yang telah mengalami proses
pemasakan dari mie kering. Panjang sampel mie untuk pengujian
kekuatan tarik yaitu 3 cm. Rheometer diset pada mode 20 (kecepatan
probe 60 mm/s, maksimal gaya 20 N) dan mode gaya tarik. Nilai
maksimal yang dihasilkan oleh rheometer kemudian dicatat. Pada setiap
perlakuan komposisi mie pengujian dilakukan sebanyak lima kali
pengulangan.

Dengan metode yang sama, pengujian dilakukan untuk sampel mie yang
sudah ada di pasaran. Nilai kekuatan tarik yang dihasilkan dalam
pengujian, selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengujian dari mie
kering sampel yang diperoleh dari pasaran. Perbandingan ini bertujuan

23

untuk membandingkan mie kering sehat yang dihasilkan sudah sesuai
dengan mie yang telah diterima konsumen.

e. Daya serap air (DSA)

Pengukuran daya serap air mie sehat kering didasarkan pada data kadar air.
Sampel ditimbang dengan bobot untuk setiap pengujian kurang lebih 13 g.
Pada setiap perlakuan, pengujian dilakukan 5 kali ulangan. Sampel mie
direbus selama waktu perebusan optimum pada suhu 90-100°C. Mie
ditiriskan dan timbang (mA). Mie yang telah ditimbang dimasukan dalam
oven dengan suhu 105°C sampai diperoleh bobot konstan (mB). Daya
serap air dihitung menggunakan rumus:

DSA =

x 100%

Keterangan : Mbahan
mawal

...............(4)

: kadar air mie kering (%bk)
: bobot mie kering (g)

Dengan metode yang sama, pengujian dilakukan untuk sampel mie yang
sudah ada di pasaran. Nilai uji daya serap air yang dihasilkan dalam
pengujian selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengujian dari mie
kering sampel yang diperoleh dari pasaran. Perbandingan ini bertujuan
untuk membandingkan mie kering sehat yang dihasilkan sudah sesuai
dengan mie yang telah diterima konsumen di pasaran.

24

h. Uji pengembangan mie

Pengukuran daya pengembangan mie dilakukan dengan menyiapkan
sampeldengan bobot 3g untuk setiap perlakuan. Dari setiap sampel
diambil mie secara acak untuk menghitung diameter awal (d0). Pada setiap
perlakuan dilakukan pengujian dilakukan sebanyak lima kali ulangan.
Kemudian merebus mie selama waktu optimum perebusan pada suhu 901000C. Setelah matang mie kemudian ditiriskan. Dari setiap sampel
diambil mie secara acak untuk menghitung diameter akhir (d1). Daya
pengembangan mie dihitung dengan rumus:
Daya Pengembangan =

.................(5)

Keterangan :
d1 = rata-rata diameter akhir sesudah direbus (mm)
d0 = rata-rata diameter awal sebelum direbus (mm)
Dengan metode yang sama, pengujian dilakukan untuk sampel mie yang
sudah ada dipasaran. Nilai uji daya pengembangan mie yang dihasilkan
dalam pengujian akan dibandingkan dengan hasil pengujian dari mie
kering sampel yang diperoleh dari pasaran. Perbandingan ini bertujuan
untuk membandingkan mie kering sehat yang dihasilkan sudah sesuai
dengan mie yang telah diterima konsumen.

3.5 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor
(C0, C10, C20, dan C30). RAL dapat didefinsikan sebgai rancangan dengan

25

beberapa perlakuan yang disusun secara random untuk seluruh percobaan. RAL
digunakan untuk analisis data khusus pengujian KPAP, tensile strength, DSA, dan
uji pengembangan mie. Analisis data dilakukan menggunakan paket program
statistik SAS agar perhitungan lebih efisien. Model linier RAL yang akan
digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Yij

= µ + τi + ฀ij ..................(6)

µ

= Rata-rata umum (mean populasi)

τi

= Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i

฀ij

= Galat percobaan atau pengaruh acak dari perlakuan ke-i
ulangan ke-j

Tabel 2. Matrik Tabulasi Data
Ulangan
1
2
3
4
5

Perlakuan
C0
Y01
Y02
Y03
Y04
Y05

C10
Y11
Y12
Y13
Y14
Y15

C20
Y21
Y22
Y23
Y24
Y25

C30
Y31
Y32
Y33
Y34
Y35

26

Gambar 3. Diagram alir percobaan

V.KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Jumlah tepung tapioka di dalam campuran bahan campuran bahan baku
mie berpengaruh terhadap laju pengeringan.
2. Nilai (k) atau konstanta pada perlakuan C0 lebih tinggi (0,014)
dibandingkan dengan perlakuan C10, C20 dan C30 (0,012). Penambahan
tepung tapioka menurunkan laju pengeringan.
3. Semakin tinggi kandungan tepung tapioka dalam mie cenderung menaikan
kadar air dan kekuatan tarik, tetapi menurunkan nilai kehilangan padatan
akibat pemasakan (KPAP), daya serap air (DSA) dan pengembangan mie.
4. Hasil pengujian kadar air, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP),
daya serap air (DSA), daya pengembangan mie dan kekutan tarik mie
sehat kering bernilai lebih kecil dibandingkan dengan mie dari pasaran
(komersial).

39

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan tentang penggunaan tepung tapioka sebagai bahan
pengganti tepung terigu agar konsumen atau masyarakat menerima mie dengan bahan
dasar tepung tapioka ataupun tepung-tepung komposit yang lain. Dari hasil penelitian
menunjukan bahwa mie sehat dengan substitusi tepung tapioka memiliki karakteristik
fisik yang tidak berbeda dengan mie tepung terigu. Perlu dilakukan uji organoleptik
untuk menentukan sikap penerimaan konsumen terhadap produk mie sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Aristawati, R. 2013. Substitusi Tepung Tapioka (Manihot esculenta) Dalam
Pembuatan Takoyaki. Jurnal Teknosains Pangan Vol 2 No 1: 56-63.
Badan Standarisasi Nasional. 1996. Mie Kering. Standar Nasional Indonesia 01-29741996.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan. Standar
Nasional Indonesia 01-3751-2006.
Esti, K.P. 2000. Tepung Tapioka. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan
dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta. 4 hlm.
Hardoko, T. I. Saputra, dan N. A. Anugrahati. 2013.(Skripsi). Karakteristik Kwetiau
yang Ditambah Tepung Tapioka dan Rumput Laut (Gracilaria gigas) Harvey.
Jurnal Perikanan dan Kelautan ISSN 0853-7607. Vol. 18 No 2.
Imanningsih, N. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-tepungan untuk
Pendugaan Sifat Pemasakan. Panel Gizi Makan, 35 (1):13-22.
Mariyani, N. 2011. Studi Pembuatan Mie Kering Berbahan Baku Tepung Singkong
dan Mocal (Modified cassava flour). Jurnal Sains Terapan. Vol. 1 No 1:9-11.
Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mie Kering Dengan Memanfaatkan
Bahan Baku Tepung Jagung. (Skripsi). Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtandi, T.R. dan Sugiyono. 2013. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan.
Alfabeta, Bandung. 258 hlm.
Mulyadi, A.F., Wignyanto, dan A.N. Budiarti. 2013. Pembuatan Mie Kering Kemangi
(Ocimum sanctum L.) dengan Bahan Dasar Tepung Terigu dan Tepung Mokaf
(Modified Cassava Flour) (Kajian Jenis Perlakuan dan Konsentrasi Kemangi).

41

Seminar Nasional “Konsumsi Pangan Sehat dengan Gizi Seimbang menuju Tubuh
Sehat Bebas Penyakit”. FTP, UGM, Yogyakarta, 12-13 Oktober 2013.
Purnawijayanti. 2009. Mie Sehat (Cara Pembuatan, Resep-Resep Olahan, dan
Peluang Bisnis). Kanisius, Yogyakarta. 91 hlm.
Rahayoe, S., B. Rahardjo dan S. Kusumandari. 2008. Konstanta Laju pengeringan
Daun Sambiloto Menggunakan Pengering Tekanan Rendah. Jurnal Rekayasa
Proses, Vol. 2 No. 1: 20-23.
Rahman, A M., 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan
Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk
Kacang Salut. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Rustandi, D. 2011. Produksi Mie. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo.
124 hlm.
Sahat, S. dan I. M. 1996. Monograf No 4. Sayuran Penyangga Petani Di Indonesia.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertnian, Bandung. 31 hlm.
Sarwono, R. 2005. Pengeringan Suhu Rendah untuk Menjaga Mutu Bahan Pertanian.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol XVI No 2: 168-173.
Safriani, N. 2013. Pemanfaatan Pasta Sukun (Artocarpus Altilis) Pada Pembuatan Mie
Kering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. 5 No. 2: 1819.
Sugiyono, E. Setiawan, E. Syamsir, dan H. Sumekar. 2011. Pengembangan Produk Mie
Kering dari Umbi Jalar (Ipomoea batatas) dan Penentuan Umur Simpannya
dengan Metode Isoterm Sorpsi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol.
XXII No. 2: 165-169.
Taufiq, M. 2004. Pengaruh Temperatur Terhadap Laju Pengeringan Jagung Pada
Pengeringan Konvensional dan Fluidized Bed. (Skripsi). Fakultas Teknik,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
USDA. National Nutrient Data Base for Standard. 2014. Basic Report 20649,
Tapioca, pearl, dry. The national Agriculutural Library.

42

USDA. National Nutrient Data Base for Standard. 2014. Basic Report 11457,
Spinach, raw. The national Agriculutural Library.
Widyotomo, S. dan S. Mulato. 2005. Penentuan Karakteristik Pengeringan
Kopi Robusta Lapis Tebal. dalam: Hani, A.M. Pengeringan Lapisan Tipis
Kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Granola. (Skripsi). Universitas
Hasaniddin, Makassar.
Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
251 hlm.