Kajian penggunaan tepung ganyong (canna edulis. Kerr) sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan mie kering

KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG GANYONG (Canna edulis. Kerr) SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN MIE KERING

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Oleh : Dwi R. Budiarsih

H 0605049

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG GANYONG (Canna edulis. Kerr) SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN MIE KERING

yang dipersiapkan dan disusun oleh Dwi R. Budiarsih H0605049

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 30 April 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua

Anggota I

Anggota II

R. Baskara Katri A., S.TP, MP

Ir. Bambang Sigit A., M.Si NIP. 198005132006041001

Gusti Fauza, ST, MT

NIP. 197608222008012009

NIP. 196407141991031002

Surakarta, Mei 2010

Mengetahui Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 195512171982031003

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan merangkumnya dalam skripsi berjudul “Kajian Penggunaan Tepung Ganyong (Canna edulis. Kerr) sebagai Substitusi Tepung Terigu

pada Pembuatan Mie Kering ”. Penelitian dan penyususnan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian dari Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tentunya penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ir. Kawiji, MS selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. R. Baskara Katri Anandito, S.TP, MP selaku pembimbing utama dan pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan skripsi ini serta arahan selama menempuh kuliah di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Gusti Fauza, ST, MT selaku dosen pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan skripsi ini.

5. Ir. Bambang Sigit Amanto, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan.

6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian pada khususnya serta seluruh staff pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta pada umumnya, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh kuliah. Semoga kelak bermanfaat.

7. Ibu Sri Liswardani, S.TP, Pak Slameto, Pak Giyo, Pak Joko dan Pak Slamet Rahardjo atas semua bantuannya. Maaf, saya selalu merepotkan.

8. Ibu, mbak Ani, mas Sur dan d‟ Titin serta seluruh keluarga atas atas doa, dukungan serta senantiasa menjadi sumber inspirasi bagi penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Eti, Retnati, Dhilla, Tina, Lina dan Ruw. Makasih atas semua bantuan dan dukungannya selama peneitian ini berlangsung. Kalian adalah sahabat sejati bagiku, sahabat yang selalu ada saat aku susah maupun senang.

10. Teman-teman “Kost Edellweiss” Siska, Datik, Yunis, Ellen, mbak Ayu dan eks anggota “Kost Edellweiss” (d‟ Eka, mbak Fatma, mbak Hafid). Makasih

atas hari-hari yang semarak selama 4 tahun lebih ini.

11. Teman-teman mahasiswa Jurusan THP angkatan 2005 (H0605) yang selalu membantu dan memberi dukungan selama penelitian ini berlangsung.

12. Teman-teman mahasiswa Jurusan THP 2004 angkatan 2004 dan ITP angkatan 2006 – 2009.

Pada penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa „tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali ciptaan- Nya‟. Namun penulis tetap berharap skripsi

ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Surakarta, April 2010

Penulis

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:

Ibunda tercinta yang telah melahirkanku ke dunia ini. Sosok yang menjadi sumber inspirasi, kekuatan dan semangat buatku, tempat mencurahkan isi

hati dan tempat bersandar saat aku sedang goyah. Ibu yang selalu mengasihi,

menyayangi, mencintai dan berjuang seorang diri selama 8 tahun menjaga putri-putrimu. Terima kasih atas semua yang telah engkau berikan selama ini.

Semoga ini dapat membuatmu bangga dan bahagia.

Ayahda tercinta yang telah berpulang sebelum aku bisa membahagiakanmu. Ayah yang selalu mendidik, menjaga, membimbing dan melindungiku selama engkau di sisiku. Teima kasih atas semua yang telah engkau berikan. Semoga

ini dapat membuatmu bangga dan bahagia “di sana”.

Mbak Ani, d’ Titin dan mas Sur yang selalu memberikan semangat, dukungan dan bantuannya. Kalian adalah saudara-saudara terbaikku. Maaf kalau akhir-

akhir ini aku sering uring-uringan. Aku sayang kalian.

Mbah putri, mbah kakung, pakdhe, budhe, om, bulik, sepupu-sepupuku dan

semua keluarga. Terima kasih atas do’a dan dukungannya.

DAFTAR TABEL

2.1 Komposisi Gizi Mie Basah dan Mie Kering per 100 gram Bahan

2.2 Syarat Mutu Mie Kering ................................................................

2.3 Komposisi Gizi Terigu sebagai Bahan Baku Mie ..........................

2.4 Panduan Mutu Tepung Terigu .......................................................

2.5 Kandungan Gizi Ganyong dalam Tiap 100 g Ubi Ganyong ..........

3.1 Formulasi Bahan Pembuatan Mie Kering ......................................

3.2 Variasi Konsentrasi Tepung Terigu dan Tepung Ganyong pada Pembuatan Mie Kering ..........................................................

4.1 Hasil Analisa Karakteristik Kimia Tepung Terigu dan Tepung Ganyong ............................................................................

4.2 Kadar Air Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................................

4.3 Kadar Abu Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................................

4.4 Kadar Protein Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................................

4.5 Kadar Lemak Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................................

4.6 Kadar Karbohidrat Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................

4.7 Kadar Serat Kasar Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................

4.8 Kadar Kalsium Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................

4.9 Kadar Fosfor Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ......................................

4.10 Nilai Kesukaan terhadap Warna Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ........

4.11 Nilai Kesukaan terhadap Aroma Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ........

45

4.12 Nilai Kesukaan terhadap Rasa Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ........

46

4.13 Nilai Kesukaan terhadap Elastisitas Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ........

47

4.14 Nilai Kesukaan terhadap Keseluruhan Mie Kering pada Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Ganyong ...............................................................

49

50

4.15 Karakteristik Kimia dan Sensoris (Keseluruhan) Mie Kering .......

DAFTAR GAMBAR

2.1 Gambar Umbi Ganyong dan Tanaman Ganyong ..............................

3.1 Diagram Alir Pembuatan Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Ganyong ...............................................................................

27

28

3.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Mie Kering....................................

19. Hasil Analisa Anova Uji Kimia Mie Kering .....................................

20. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Air Mie Kering .....................

21. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Abu Mie Kering ...................

22. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Protein Mie Kering ..............

23. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Lemak Mie Kering ...............

24. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Karbohidrat Mie Kering .......

25. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Serat Kasar Mie Kering .......

26. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Kalsium Mie Kering ............

27. Hasil Analisa Anova (Duncan) Kadar Fosfor Mie Kering ...............

28. Hasil Analisa Anova Uji Sensoris .....................................................

29. Hasil Analisa Anova (Duncan) Warna Mie Kering ..........................

30. Hasil Analisa Anova (Duncan) Aroma Mie Kering ..........................

31. Hasil Analisa Anova (Duncan) Rasa Mie Kering .............................

32. Hasil Analisa Anova (Duncan) Elastisitas Mie Kering ....................

33. Hasil Analisa Anova (Duncan) Keseluruhan Mie Kering ...............

34. Foto Penelitian ..................................................................................

KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG GANYONG (Canna edulis. Kerr) SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN MIE KERING DWI R. BUDIARSIH H0605049 RINGKASAN

Mie merupakan salah satu produk pangan yang cukup populer dan sering dikonsumsi sebagai bahan pangan alternatif pengganti nasi karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi. Bahan baku pada pembuatan mie adalah tepung terigu yang sampai sekarang masih harus diimpor. Jumlah impor tepung terigu semakin lama semakin meningkat. Oleh karena itu, perlu dicari sumber daya lokal yang dapat digunakan sebagai bahan pengganti tepung terigu. Di Indonesia terdapat berbagai jenis umbi-umbian yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Salah satunya adalah umbi ganyong (Canna edulis. Kerr) yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ganyong dapat diolah menjadi pati atau tepung. Produk pati atau tepung ganyong dapat digunakan untuk industri makanan, misalnya roti (kue), makanan bayi, jenang (dodol), dan lain-lain. Selain itu, tepung ganyong juga dapat digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan mie kering.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung ganyong sebagai substitusi tepung terigu terhadap karakteristik kimia (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kalsium dan fosfor) dan sensoris (tingkat kesukaan) mie kering yang dihasilkan serta untuk mengetahui formulasi mie kering dari tepung terigu yang disubtitusi dengan tepung ganyong yang masih dapat diterima/disukai konsumen. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor yaitu variasi konsentrasi tepung ganyong yang digunakan (0%, 5%, 10%, 15% dan 20%). Data hasil penelitian dianalisa dengan menggunakan ANOVA pada tingkat α = 0,05 dan dilanjutkan dengan DMRT pada tingkat α yang sama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi substitusi tepung ganyong maka kadar air protein, lemak dan fosfor mie kering semakin rendah tetapi kadar abu, karbohidrat, serat kasar dan kalsiumnya semakin tinggi serta semakin menurunkan penilaian panelis terhadap warna, rasa, aroma, elastisitas dan keseluruhan mie kering. Semua mie kering hasil penelitian sudah memenuhi SNI 01- 2979-1992 tentang syarat mutu mie kering. Akan tetapi, mie kering yang masih dapat diterima/disukai konsumen adalah mie kering F0 atau kontrol (100% tepung terigu dan 0% tepung ganyong) dengan tingkat penerimaan 5,80 (suka), F1 (95% tepung terigu dan 5% tepung ganyong) dengan tingkat penerimaan 5,07 (agak suka) dan F2 (90% tepung terigu dan 10% tepung ganyong) dengan tingkat penerimaan 4,70 (agak suka).

Kata kunci : ganyong, tepung ganyong, tepung terigu, substitusi, mie kering.

STUDY OF THE USING OF QUENNSLAND ARROWROOT FLOUR (Canna edulis. Kerr) AS SUBSTITUTION OF WHEAT FLOUR AT MAKING OF DRIED NOODLES DWI R. BUDIARSIH H0605049 SUMMARY

Noodle is one of food product that is quite popular and often consumed as alternative food of rice substitution because its carbohydrate content is quite high. Raw material at making of noodles is wheat flour which still must be imported. Number of wheat flour imported gradually increase over of years. Therefore, it is amportant to explore local resource which can be used as substitution of wheat flour. In Indonesia there are various types of roots which potencial as source of carbohydrate. One of them is quennsland arrowroot (Canna edulis. Kerr) which has not been exploited well. Quennsland arrowroot can be processed become starch or flour. This which be applied in food industry, for example bread (cake), baby food, jenang (dodol), and others. In addition, quennsland arrowroot flour also can be used as substitution material of wheat flour at making of dried noodles.

The purpose of this research is to know the effect of the using of quennsland arrowroot flour as substitution of wheat flour in chemical characteristic (moisture content, ash, protein, fat, carbohydrate, crude fiber, calcium and phosphorus) and sensory characteristic (level of like) of dried noodles yielded. Another aims of this research is to find the formulation of substituted dried noodles which still accepted by consumer. Design of experiments applied is Completely Randomized Design (RAL)

1 factor that is various concentration of quennsland arrowroot flour applied (0%, 5%, 10%, 15% and 20%). Data result of research is analyzed by using ANOVA at level of confidence α = 0,05 and continued with DMRT at the same level of α.

Result of research indicated that the greater becomes concentration of substitution of quennsland arrowroot flour added then the protein, moisture content, fat and noodles phosphorus became lower. On the contrary, the ash content, carbohydrate, crude fiber and calcium became higher, and panelist appraisal was decreased to color, taste, aroma, elasticity and overall of dried noodles. All dried noodles result of research has fulfilled SNI 01-2979-1992 about quality requirement of dried noodles. However, dried noodles which still accepted by consumer sequence are dried noodles F0 or control (100% wheat flour and 0% quennsland arrowroot flour) with level of acceptance 5,80 (like), F1 ( 95% wheat flour and 5% quennsland arrowroot flour) with level of acceptance 5,07 (rather like) and F2 (90% wheat flour and 10% quennsland arrowroot flour) with level of acceptance 4,70 (rather like).

Keyword : Quennsland arrowroot, quennsland arrowroot flour, wheat flour, substitution, dried noodle.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mie merupakan salah satu produk pangan yang cukup populer dan disukai oleh berbagai kalangan masyarakat. Mie sering dikonsumsi sebagai bahan pangan alternatif pengganti nasi karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi. Sifatnya yang praktis dan rasanya yang enak menjadi daya tarik mie. Harganya yang relatif murah, menjadikan produk ini dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.

Mie merupakan bahan pangan yang berbentuk pilinan memanjang dengan diameter 0,07-0,125 inchi yang dibuat dari bahan baku terigu dengan atau tanpa tambahan kuning telur (Beans et al, 1974). Menurut Astawan (1999), mie terbagi menjadi beberapa jenis yaitu mie segar atau mie mentah, mie basah, mie kering dan mie instan. Mie mentah adalah mie yang tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan dan mengandung air sekitar sekitar 35%. Mie basah adalah mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan kadar airnya dapat mencapai 52%. Mie kering adalah mie mentah yang dikeringkan hingga kadar airnya sekitar 10% dan mie instan adalah mie mentah yang dikukus kemudian digoreng dan mengandung air 5-8%.

Kepopuleran mie merupakan peluang bila akan mendirikan industri mie, baik skala kecil, menengah maupun besar. Bahan baku pada pembuatan mie adalah tepung terigu. Menurut Astawan (1999), tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan tepung terigu di antara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat dibasahi dengan air. Di Indonesia, tepung terigu merupakan bahan yang harus di impor dari luar negeri. Jumlah impor terigu mengalami kenaikan setiap tahun. Impor terigu pada tahun 2003 sebesar 344,2 ribu ton, tahun 2004 sebesar 307 ribu ton, tahun 2005 sebesar 550 ribu ton, tahun 2006 sebesar 554 ribu ton dan pada tahun

2007 meningkat menjadi 600 ribu ton (Anonim a , 2008). Untuk mengurangi jumlah impor dan ketergantungan terhadap terigu maka

penggunaan terigu dapat dikurangi dengan penggunaan bahan-bahan lain terutama bahan pangan lokal. Substitusi tepung terigu diharapkan dapat menjamin 1 penggunaan terigu dapat dikurangi dengan penggunaan bahan-bahan lain terutama bahan pangan lokal. Substitusi tepung terigu diharapkan dapat menjamin 1

Di Indonesia terdapat berbagai jenis umbi-umbian yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Ada lebih dari 30 jenis umbi-umbian yang biasa ditanam dan dikonsumsi rakyat Indonesia. Produksi umbi-umbian melimpah pada saat panen raya terutama di daerah sentra produksi. Umbi-umbian merupakan bahan berkarbohidrat tinggi tetapi belum semua umbi-umbian dimanfaatkan dan dikembangkan. Salah satu komoditas umbi-umbian yang ada di Indonesia adalah umbi ganyong. Menurut Rukmana (2000), produksi ganyong dapat mencapai 30 ton umbi per hektar sehingga dapat membantu menyediakan karbohidrat yang diperlukan penduduk.

Ganyong adalah tanaman umbi-umbian yang termasuk dalam tanaman dwi tahunan (2 musim) atau sampai beberapa tahun, hanya saja dari satu tahun ke tahun berikutnya mengalami masa istirahat, daun-daunnya mengering dan tanamannya hilang sama sekali dari permukaan tanah. Pada musim hujan, tunas akan keluar dari mata-mata umbi atau rhizomanya. Ganyong sering dimasukkan pada tanaman umbi-umbian karena orang bertanam ganyong biasanya untuk diambil umbinya yang kaya akan karbohidrat (Anonim, 2009). Di antara komoditas umbi-umbian, ganyong merupakan umbi yang belum dimanfaatkan secara optimal dan belum sepopuler ubi jalar maupun ubi kayu. Selama ini, ganyong biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan dalam bentuk ganyong rebus maupun kukus. Ganyong merupakan salah satu umbi yang memiliki nilai gizi cukup tinggi. Menurut Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (2000), komposisi gizi ganyong dalam tiap 100 g bahan adalah karbohidrat 22,60

g, protein 1,00 g, lemak 0,11 g, kalsium 21,00 mg, fosfor 70,00 mg, zat besi 1,90

g, vitamin B1 0,10 mg, vitamin C 10,00 mg dan air 70 g. Umbi ganyong dapat diolah menjadi produk antara, misalnya pati atau tepung. Tepung ganyong adalah tepung yang dibuat langsung dari umbinya yang sudah tua dan baik (tidak ada tanda-tanda kebusukan) (Anonim, 2000). Bentuk tepung akan mempermudah dan memperlama penyimpanan ganyong hingga dapat tahan berbulan-bulan, bahkan hingga tahunan. Selain itu, dalam bentuk tepung g, vitamin B1 0,10 mg, vitamin C 10,00 mg dan air 70 g. Umbi ganyong dapat diolah menjadi produk antara, misalnya pati atau tepung. Tepung ganyong adalah tepung yang dibuat langsung dari umbinya yang sudah tua dan baik (tidak ada tanda-tanda kebusukan) (Anonim, 2000). Bentuk tepung akan mempermudah dan memperlama penyimpanan ganyong hingga dapat tahan berbulan-bulan, bahkan hingga tahunan. Selain itu, dalam bentuk tepung

Berdasar uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan tepung ganyong untuk bahan substitusi tepung terigu dalam pembuatan mie kering.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh penggunaan tepung ganyong sebagai substitusi tepung terigu terhadap karakteristik kimia (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kalsium dan fosfor) mie kering?

2. Bagaimana pengaruh penggunaan tepung ganyong sebagai substitusi tepung terigu terhadap karakteristik sensoris (warna, aroma, rasa, elastisitas dan keseluruhan) mie kering?

3. Berapa persentase penggunaan tepung terigu dan tepung ganyong yang dapat menghasilkan mie kering yang memenuhi syarat mutu dan masih dapat diterima/sukai konsumen?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung ganyong sebagai substitusi tepung terigu terhadap karakteristik kimia (kadar air, abu, protein lemak, karbohidrat, serat kasar, kalsium dan fosfor) mie kering.

2. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung ganyong sebagai substitusi tepung terigu terhadap karakteristik sensoris (warna, aroma, rasa, elastisitas dan keseluruhan) mie kering.

3. Mengetahui formulasi mie kering dari tepung terigu yang disubtitusi dengan tepung ganyong yang memenuhi syarat mutu dan masih dapat diterima/disukai konsumen.

D. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang karakteristik kimia dan sensoris mie kering dari tepung terigu yang disubstitusi dengan tepung ganyong

2. Mengurangi penggunaan tepung terigu terutama pada pembuatan mie kering.

3. Mendapatkan formulasi mie kering dengan komposisi tepung terigu dan tepung ganyong yang masih dapat diterima/disukai konsumen.

4. Meningkatkan nilai ekonomis ganyong.

II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Mie

Mie merupakan salah satu jenis makanan yang paling populer di Asia khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Menurut catatan sejarah, mie dibuat pertama kali di daratan Cina kira-kira 2000 tahun yang lalu di bawah kekuasaan dinasti Han. Dari Cina, mie berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan dan negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di benua Eropa, mie mulai dikenal setelah Marcopolo berkunjung ke Cina dan membawa oleh-oleh mie. Selanjutnya, di Eropa mie berubah menjadi pasta seperti yang dikenal saat ini (Suyanti, 2008).

Mie merupakan bahan pangan yang berbentuk pilinan memanjang dengan diameter 0,07-0,125 inchi yang dibuat dengan bahan baku terigu dengan atau tanpa tambahan kuning telur (Beans et al,1974). Sedangkan menurut Miskelly dan Gore (1986) dalam Armiyanti (2004), mie adalah bahan makanan yang berbentuk pilinan terbuat dari tepung terigu dan dapat dijual dalam bentuk segar atau basah, dikeringkan, dikukus, dikukus dan dikeringkan atau dikukus dan digoreng.

Mie merupakan salah satu jenis makanan yang cukup disukai orang. Mie dibuat dari pasta yang dicetak memanjang berbentuk pita yang ramping atau berbentuk benang. Pada umumnya mie dikonsumsi dengan ditambah sayuran, daging, telur dan beberapa bumbu. Mie dibuat dengan bahan dasar tepung terigu. Di Asia, dapat ditemukan berbagai macam bentuk mie yang masing-masing diproses dengan cara yang berbeda, walaupun langkah- langkah proses pembuatannya sama dengan bahan dasar tepung terigu yang kualitasnya bervariasi (Supriyanto, 1992).

2. Mie Kering

Mie dapat dibedakan dengan mie jenis lain berdasarkan kadar air dan tingkat pemasakan awalnya. Mie mentah yaitu mie yang belum direbus mengandung air sekitar 35 %, mie basah yaitu mie mentah yang direbus dan mengandung air sekitar 52%, mie kering yaitu mie mentah yang dikeringkan Mie dapat dibedakan dengan mie jenis lain berdasarkan kadar air dan tingkat pemasakan awalnya. Mie mentah yaitu mie yang belum direbus mengandung air sekitar 35 %, mie basah yaitu mie mentah yang direbus dan mengandung air sekitar 52%, mie kering yaitu mie mentah yang dikeringkan

Mie kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa tambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-2979-1992).

Ditinjau dari segi nilai gizinya, mie banyak mengandung karbohidrat dan energi dengan kandungan protein yang relatif rendah. Kandungan gizi mie sangat bervariasi tergantung pada jenis, jumlah, dan kualitas bahan penyusunnya (Astawan, 1999). Komposisi gizi mie basah dan mie kering per 100 gram sampel secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Gizi Mie Basah dan Mie Kering per 100 gram Bahan

Zat Gizi

Mie Kering Energi (Kal)

Mie Basah

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Besi (mg)

Vitamin A (SI)

Vitamin B1 (mg)

Vitamin C (mg)

Sumber : Direktorat Gizi, DepKes (1992), dalam Astawan (1999)

Mie kering adalah mie segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10 %. Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat kering maka mie ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya (Astawan, 1999). Syarat mutu mie kering dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Syarat Mutu Mie Kering No

Mutu II 1 Keadaan 1.1. Bau

Kriteria uji

Satuan

Mutu I

Normal 1.2. Rasa

Normal

Normal 1.3. Warna

Normal

Normal 2 Kadar air

Normal

Maks 10 3 Kadar abu

% b/b

Maks 8

Maks 3 4 Protein

% b/b

Maks 3

Min 8 5 Bahan tambahan makanan 5.1. Boraks dan asam borat

% b/b

Min 10

Tidak boleh ada Tidak boleh ada 5.2. Pewarna

Yang diizinkan Yang diizinkan 6 Cemaran logam 6.1. Timbal (Pb)

Maks 1,0 6.2. Tembaga (Cu)

Mg/kg

Maks 1,0

Maks 10,0 6.3. Seng (Zn)

Mg/kg

Maks 10,0

Maks 40,0 6.4. Raksa (Hg)

Mg/kg

Maks 40,0

Maks 0,05 7 Arsen (As)

Mg/kg

Maks 0,05

Maks 0,05 8 Cemaran mikrobia

Mg/kg

Maks 0,05

6 6 8.1. Angka lempeng total Koloni/gr Maks 1,0x10 Maks 1,0x10 8.2. E. Coli

APM/gr

Maks 10

Maks 10 4 4 8.3. Kapang Koloni/gr Maks 1,0x10 Maks 1,0x10

Sumber: SNI 01-2979-1992

3. Bahan-bahan Pembuat Mie

Bahan- bahan yang digunakan pada pembuatan mie adalah sebagai berikut:

a. Tepung terigu Tepung terigu merupakan hasil proses penggilingan biji terigu atau

gandum (Triticum vulgare), berupa endosperm yang terpisah dari lembaga. Terigu mengandung karotenoid yaitu xantofil yang tidak mempunyai aktivitas vitamin A ( Meyer, 1973).

Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan utama protein tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mie adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya (Anonim, 2005).

Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu di antara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8- 12%, kadar abu 0,25-0,6%, dan gluten basah 24-36% (Astawan, 1999).

Menurut Direktorat Gizi, DepKes (1992) dalam Astawan (1999), komposisi terigu yang merupakan bahan baku pembuatan mie dapat dilihat dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3. Komposisi Gizi Terigu sebagai Bahan Baku Mie

Zat Gizi

Jumlah

Energi (Kal)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Besi (mg)

Vitamin B1 (mg)

Sumber : Direktorat Gizi, DepKes (1992) dalam Astawan (1999).

Menurut Astawan (1999), berdasarkan kandungan gluten (protein), tepung terigu yang beredar dipasaran dapat dibedakan

3 macam sebagai berikut :

a) Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mie berkualitas tinggi. Contohnya, terigu Cakra Kembar atau Kereta Kencana. Menurut Sutomo (2008), tingginya protein terkandung menjadikan sifatnya mudah dicampur, difermentasikan, daya serap airnya tinggi, elastis dan mudah digiling. Karakteristik ini menjadikan tepung terigu hard flour sangat cocok untuk bahan baku roti, mie dan pasta karena sifatnya elastis dan mudah difermentasikan.

b) Medium hard flour. Terigu jenis ini mengandung protein 9,5-11%. Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mie, dan macam- macam kue, serta biskuit. Contohnya : terigu Segitiga Biru. Terigu ini dibuat dari campuran tepung terigu hard flour dan soft flour sehingga karakteristiknya diantara kedua jenis tepung tersebut.

c) Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya cocok sebagai bahan pembuatan kue dan biskuit. Contohnya terigu Kunci Biru. Sifatnya, memiliki daya serap air yang rendah sehingga akan menghasilkan adonan yang sukar diuleni, tidak elastis, lengket dan daya pengembangannya rendah.

Dalam pembuatan makanan, hal yang harus diperhatikan ialah ketepatan penggunaan jenis tepung terigu. Tepung terigu berprotein 12- 14% ideal untuk pembuatan roti dan mie, tepung terigu berprotein 10,5- 11,5% untuk biscuit, pastry/pie dan donat sedangkan untuk gorengan, cake dan wafer gunakan yang berprotein 8-9%. Jadi suatu tepung terigu belum

tentu sesuai dengan semua makanan (Anonim b , 2008). Beberapa jenis dan mutu tepung terigu dengan kandungan protein yang berbeda terdapat di

Indonesia. Panduan mutu tepung terigu yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel. 2.4. Panduan Mutu Tepung Terigu

Parameter

Cakra Kembar/

Segitiga Biru Kunci Biru

Kereta Kencana

Kadar air max (%db)

14,5 14,5 Kadar abu max (%db)

0,6 0,6 Protein min (%db) Nx5,7

12 10-11 8-9 Kadar gluten min %

Sumber : Bogasari Flour Mills (1996) dalam Fajriyah (1998)

Di dalam tepung terigu terdapat senyawa yang dinamakan gluten, hal ini yang membedakan tepung terigu dengan tepung tepung lainnya. Menurut Fennema (1985), gluten adalah bentuk kompleks dari gliadin dan glutenin yang dihidrasi dan dicampur. Protein terigu terdiri dari fraksi glutenin dan gliadin yang mewakili 80-85% protein endosperm. Umumnya kandungan gluten menentukan kadar protein tepung terigu, semakin tinggi kadar gluten, semakin tinggi kadar protein tepung terigu tersebut. Kadar gluten pada tepung terigu, yang menentukan kualitas pembuatan suatu makanan sangat tergantung dari jenis gandumnya.

Tepung terigu memiliki kandungan pati sebesar 65-70%, protein 8- 13%, lemak 0,8-1,5% serta abu dan air masing-masing 0,3-0,6% dan 13- 15,5%. Di antara komponen tersebut yang erat kaitannya dengan sifat khas mie adalah proteinnya yaitu prolamin (gliadin) dan glutelin (glutenin) yang digolongkan sebagai protein pembentuk gluten (Kent dan Ames, 1967).

Menurut Fennema (1985), protein terigu dapat dibedakan sifat kelarutannya menjadi empat macam :

a) Albumin, merupakan protein yang mudah larut dalam air.

b) Globulin, tidak larut dalam air tapi larut dalam garam encer.

c) Glutenin, larut dalam larutan asam dan basa.

d) Gliadin, larut dalam alkohol 70-90%.

b. Air Air merupakan suatu molekul yang tediri dari satu atom O dan dua atom H yang saling berikatan melalui ikatan kovalen antara atom O dan atom H. Sifat polar air melemahkan ikatan hidrogen dalam komonpen lain sehingga dapat mempercepat pencampuran dalam pembentukan adonan (Aurand and Woods, 1973 dalam Ernawati, 2009).

Air yang ditambahkan dalam pembuatan mie berfungsi sebagai media reaksi pada tepung terigu, yang akan membentuk sifat kenyal pada gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9, makin tinggi pH pada air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan adalah air yang harus memenuhi persyaratan air minum, di antaranya tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa.

c. Garam dapur Dalam pembuatan mie, penambahan garam dapur berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 1999).

d. Garam alkali Pada tahapan pembuatan adonan mie sering ditambahkan garam alkali sebesar 1-1,5% dari berat tepung dengan tujuan untuk meningkatkan daya rehidrasi, ekstensibilitas, elastisitas, flavor dan warna kuning mie yang dihasilkan (Kruger et al, 1996). Penggunaan garam alkali akan mengakibatkan pH lebih tinggi (pH 7,0-7,5), warna menjadi kuning dan menghasilkan flavor lebih disukai konsumen (Beans et al, 1974). Penambahan alkali akan membentuk matrik protein dan pati yang akan mengikat air. Pada saat pati mengalami gelatinisasi, air akan terikat pada kompleks tersebut sehingga mie menjadi kenyal (Whistler dan Paschal, 1967 dalam Fajriyah 2003).

Menurut Suyanti (2008), terdapat beberapa jenis garam alkali yang biasa digunakan pada pembuatan mie, antara lain sebagai berikut:

1) Sodium karbonat (Na 2 CO 3 ) atau dikenal dengan nama soda abu.

2) Potasium karbonat (K 2 CO 3 ) atau kalium karbonat.

3) STPP (sodium tripoliphosphat).

4) Kansui (air abu).

Soda abu merupakan campuran dari natrium karbonat dan kalium karbonat (perbandingan 1:1). Berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, mrningkatkan elastisitas dan fleksibilits mie, meningkatkan kehalusan tekstur, serta meningkatkan sifat kenyal (Astawan, 1999).

Menurut Suyanti (2008), fungsi penambahan garam alkali ke dalam pembuatan mie adalah sebagai berikut :

1) Menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mie yang lentur

2) Mengubah sifat pati tepung terigu sehingga mie menjadi lebih kenyal

3) Mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam terigu sehingga lebih cerah

4) Semakin besar garam alkali yang digunakan, mie semakin keras dan kenyal. Namun, penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap pada mie yang dihasilkan

4. Proses Pembuatan Mie. Proses pembuatan mie kering adalah sebagai berikut :

a. Pencampuran bahan Bahan-bahan yang telah disiapkan dicampur semuanya. Pada proses pencampuran ini, pertama-tama tepung terigu ditaruh diatas meja pencampuran. Terigu disusun menjadi suatu gundukan dengan lubang ditengah-tengah kemudian ditambahkan bahan-bahan lain kedalam lubang tersebut. Secara perlahan-lahan, campuran tersebut diaduk rata dan ditambah air sampai membentuk adonan yang homogen yaitu menggumpal bila dikepal dengan tangan (Astawan, 1999). Menurut Robson (1976) dalam Meliala (1997), proses pencampuran ini bertujuan menghidrasi tepung dengan air dan membuat adonan membentuk jaringan gluten.

b. Pengulenan adonan Adonan yang sudah membentuk gumpalan selanjutnya diuleni. Pengulenan ini dapat menggunakan alat kayu berbentuk silinder dengan diameter 7 cm. Pengulenan dilakukan selama sekitar 15 menit (Astawan, 1999).

Menurut Astawan (1999), adonan yang baik dapat dibuat dengan memperhatikan jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan suhu Menurut Astawan (1999), adonan yang baik dapat dibuat dengan memperhatikan jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan suhu

Waktu total pengulenan yang baik sekitar 15-25 menit. Pengulenan yang lebih dari 25 menit dapat menyebabkan adonan menjadi rapuh, keras, dan kering. Sedangkan pengulenan yang kurang dari 15 menit menyebabkan adonan menjadi lunak dan lengket.

Suhu adonan berpengaruh terhadap aktivitas enzim protease dan amilase. Peningkatan suhu (diatas 40 o

C) menyebabkan aktivitas enzim amilase dan memecah pati menjadi dekstrin dan aktivitas enzim protease dalam memecah gluten meningkat sehingga adonan menjadi lembut dan halus. Suhu juga meningkatkan mobilitas dan aktivitas air kedalam jaringan tepung sehingga membantu pengembangan adonan. Suhu adonan dapat dipengaruhi oleh gesekan antara adonan dengan pengaduk. Suhu

adonan yang baik sekitar 25-40 o C. Suhu diatas 40

C menyebabkan adonan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis. Suhu kurang dari

25 o C menyebabkan adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar. Menurut Sunaryo (1985) dalam Sosiawan (1996), pada awal

pencampuran terjadi pemecahan lapisan tipis air dan tepung. Semakin lama semua bagian tepung dialiri air dan menjadi gumpalan-gumpalan adonan. Air yang ada adalah air terikat yang juga mengakibatkan serat- serat gluten tertarik, disusun bersilang, dan terbungkus dalam pati sehingga adonan menjadi lunak, halus dan elastis.

c. Pembentukan lembaran Pembentukan lembaran dilakukan dengan menggunakan mesin roll press yang akan mengubah adonan menjadi lembaran-lembaran. Saat pengepresan, gluten ditarik ke satu arah sehingga seratnya menjadi sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan dan elastisitas mie. Adonan yang sudah kalis dimasukkan kedalam mesin pembentuk lembaran yang diatur ketebalannya secara berulang kali (4-5 kali) sampai ketebalan lembar mie mencapai 1,5-2 mm. Lembaran yang keluar dari c. Pembentukan lembaran Pembentukan lembaran dilakukan dengan menggunakan mesin roll press yang akan mengubah adonan menjadi lembaran-lembaran. Saat pengepresan, gluten ditarik ke satu arah sehingga seratnya menjadi sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan dan elastisitas mie. Adonan yang sudah kalis dimasukkan kedalam mesin pembentuk lembaran yang diatur ketebalannya secara berulang kali (4-5 kali) sampai ketebalan lembar mie mencapai 1,5-2 mm. Lembaran yang keluar dari

Pembentukan lembaran bertujuan untuk membentuk lembaran adonan yang seragam ketebalannya dan untuk menghaluskan serat-serat gluten. Serat-serat gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah tekanan dua buah roller (Sunaryo, 1985) dalam Sosiawan (1996).

Faktor yang mempengaruhi proses pembentukan lembaran adalah suhu dan jarak antar roll. Suhu yang diharapkan sekitar 37º C. Di bawah suhu tersebut adonan menjadi kasar dan pecah-pecah, mutu mie kasar dan mudah patah serta terjadi pemborosan bahan baku (Astawan, 1999).

d. Pembentukan mie Proses pembuatan mie ini umumnya sudah dilakukan dengan alat pencetak mie (roll press) yang digerakkan tenaga listrik. Alat ini mempunyai dua rol. Rol pertama berfungsi untuk menipiskan lembaran mie dan rol kedua berfungsi untuk mencetak mie. Pertama-tama lembaran mie masuk ke rol pertama kemudian masuk ke rol kedua (Astawan, 1999).

e. Pengukusan. Perebusan atau pengukusan bertujuan agar terbentuk gel pati yang secara visual dapat diamati dengan berubahnya substansi semi padat adonan menjadi padat dan elastis. Selain itu terjadi perubahan warna adonan menjadi transparan. Pada proses ini akan terjadi penyerapan air oleh pati yang secara cepat dimulai pada suhu sekitar 65° C (Meyer, 1973).

Pada proses pengukusan terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat (Anonim, 2005).

Menurut Astawan (1999), pemanasan menyebabkan gelatinisasi pati dan koagulasi gluten. Gelatinisasi dapat menyebabkan:

1) Pati meleleh dan membentuk lapias tipis (film) yang dapat mengurangi penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mie.

2) Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie.

3) Terjadi perubahan beta menjadi pati alfa yang mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mie kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) sampai kadar air kurang dari 10%.

f. Pengeringan Pada pembuatan mie kering, mie yang telah dikukus dimasukkan ke dalam oven untuk mengeringkan mie secara sempurna (kadar air 11- 12%), menjadikan produk kering dan renyah serta terbentuk lapisan protein. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan tekanan. Suhu yang digunakan sekitar 90-100° C (Astawan, 1999). Sedangkan menurut Suyanti (2008), pengeringan mie dilakukan dengan suhu 60-70°

C.

g. Pendinginan Proses pendinginan bertujuan untuk melepaskan sisa-sisa uap panas dari peoduk dan membuat tekstur mie menjadi keras. Jika sisa uap panas tidak hilang, uap tersebuat akan mengalami kondensasi saat dikemas dan memungkinkan untuk ditumbuhi jamur (Astawan, 1999).

Mutu mie biasanya ditentukan berdasarkan warna, kekenyalan dan kualitas masaknya. Mie bila dimasak akan matang dengan cepat dan tetap utuh dalam bentuk semula, tidak lengket serta tidak kehilangan sifat kekenyalannya. Kualitas masak ditentukan berdasarkan berapa banyaknya air yang diserap dalam hubungannya dengan pengembangan, kehilangan padatan terutama pati selama perebusan, kekenyalan dan kelentingan sifat dari mie tersebut. Sifat dari mie tersebut menurut de Mann (1976) disebabkan karena adanya sifat viskoelastis dari jaringan gluten yang terbentuk oleh glutenin yang membawa sifat elastis atau kenyal dan gliadin yang menentukan sifat mudah diulur atau ekstensibel. Besar kecilnya sifat ekstensibilitas dan elastisitas dipengaruhi oleh kandungan protein penyusun gluten yang terdapat Mutu mie biasanya ditentukan berdasarkan warna, kekenyalan dan kualitas masaknya. Mie bila dimasak akan matang dengan cepat dan tetap utuh dalam bentuk semula, tidak lengket serta tidak kehilangan sifat kekenyalannya. Kualitas masak ditentukan berdasarkan berapa banyaknya air yang diserap dalam hubungannya dengan pengembangan, kehilangan padatan terutama pati selama perebusan, kekenyalan dan kelentingan sifat dari mie tersebut. Sifat dari mie tersebut menurut de Mann (1976) disebabkan karena adanya sifat viskoelastis dari jaringan gluten yang terbentuk oleh glutenin yang membawa sifat elastis atau kenyal dan gliadin yang menentukan sifat mudah diulur atau ekstensibel. Besar kecilnya sifat ekstensibilitas dan elastisitas dipengaruhi oleh kandungan protein penyusun gluten yang terdapat

5. Ganyong

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman ganyong diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom

: Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi

: Spermatohyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi

: Angiospermae ( berbiji tertutup) Kelas

: Monocotyledone (biji berkeping satu) Ordo

: Zingiberales Famili

: Cannaceae Spesies

: Canna edulis. Kerr (Rukmana, 2000).

A B Gambar 2.1. Gambar Umbi Ganyong (A) dan Tanaman Ganyong (B)

Bentuk tanaman ganyong adalah berumpun dan merupakan tanaman herba. Semua bagian vegetatif yaitu batang, daun serta kelopak bunganya sedikit berlilin. Tanaman ini tetap hijau disepanjang hidupnya. Saat umbi telah cukup dewasa, daun dan batang mulai mengering. Keadaan seperti ini seakan-akan menunjukkan bahwa tanaman mati, padahal tidak. Karena bila hujan tiba maka rimpang atau umbi akan bertunas dan membentuk tanaman lagi. Tinggi tanaman ganyong antara 0.9 - 1,8 meter. Bahkan di Queensland dapat mencapai 2,7 meter. Sedang untuk daerah Jawa, tinggi tanaman ganyong umumnya 1,35 – 1,8 meter. Apabila diukur lurus, maka panjang batang bisa mencapai 3 meter. Panjang batang dalam hal ini di ukur mulai dari Bentuk tanaman ganyong adalah berumpun dan merupakan tanaman herba. Semua bagian vegetatif yaitu batang, daun serta kelopak bunganya sedikit berlilin. Tanaman ini tetap hijau disepanjang hidupnya. Saat umbi telah cukup dewasa, daun dan batang mulai mengering. Keadaan seperti ini seakan-akan menunjukkan bahwa tanaman mati, padahal tidak. Karena bila hujan tiba maka rimpang atau umbi akan bertunas dan membentuk tanaman lagi. Tinggi tanaman ganyong antara 0.9 - 1,8 meter. Bahkan di Queensland dapat mencapai 2,7 meter. Sedang untuk daerah Jawa, tinggi tanaman ganyong umumnya 1,35 – 1,8 meter. Apabila diukur lurus, maka panjang batang bisa mencapai 3 meter. Panjang batang dalam hal ini di ukur mulai dari

Tanaman ganyong menghasilkan akar tongkat (bonggol) yang sering disebut ubi. Bentuk ubi ganyong beraneka macam, mulai dari panjang lonjong, bulat, agak pipih, sampai tidak beratuan. Pada umumnya ubi berukuran panjang 60 cm dengan diameter 10 cm dan dikelilingi oleh bekas- bekas sisik serta akar tebal yang berserabut. Ubi ganyong berdaging tebal dan berwarna putih atau keungu-unguan. Bila ubi dimasak rasanya enak kemanis- manisan. Ujung ubi ganyong bertunas, sehingga menghasilkan anakan sebagai bahan perbanyakan secara vegetatif (Rukmana 2000).

Di Indonesia dikenal dua kultivar atau varietas ganyong, yaitu ganyong merah dan ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna batang, daun dan pelepahnya yang berwarna merah atau ungu, sedang yang warna batang, daun dan pelepahnya hijau dan sisik umbinya kecoklatan disebut dengan ganyong putih. Dari kedua varietas tersebut mempunyai beberapa berbedaan sifat, sebagai berikut :

a) Ganyong merah: batang lebih besar, agak tahan kena sinar dan tahan kekeringan, sulit menghasilkan biji, hasil umbi basah lebih besar tapi kadar patinya rendah dan lazim dimakan segar (direbus)

b) Ganyong putih: lebih kecil dan pendek, kurang tahan kena sinar tetapi tahan kekeringan, selalu menghasilkan biji dan bisa diperbanyak menjadi anakan tanaman, hasil umbi basah lebih kecil tapi kadar patinya

tinggi dan lazim diambil patinya (Anonim c , 2008). Menurut Nuryadin (2008), ganyong (Canna edulis. Kerr) adalah

tanaman herba yang berasal dari Amerika Selatan. Rhizoma atau umbinya bila sudah dewasa dapat dimakan dengan mengolahnya terlebih dahulu, atau untuk diambil patinya. Saat panen umbi, sangat tergantung dari daerah tempat menanamnya. Di dataran rendah sudah bisa dipanen pada umur 6 - 8 bulan, sedang di daerah yang hujannya sepanjang tahun, waktu panennya lebih lama, yaitu pada umur 15 - 18 bulan. Umbi yang sudah dewasa biasanya ditandai dengan menguningnya batang dan daun tanaman.

Ganyong atau Quennsland arrowroot merupakan salah satu bahan pangan non beras yang bergizi cukup tinggi, terutama kandungan karbohidratnya. Pengembangan budidaya ganyong akan sangat mendukung usaha peningkatan ketahanan pangan nasional dan kecukupan gizi masyarakat. Kandungan gizi ganyong secara lengkap dapat dilihat pada tabel

2.5. Table 2.5. Kandungan Gizi Ganyong dalam Tiap 100 g Ubi Ganyong.

Unsur gizi

Banyaknya (proporsi)

Zat besi

1,90 mg

Vtamin B1

0,10 mg

Vitamin C

Bagian yang dapat dimakan (Bdd) 65 %

Sumber: Direktorat Gigi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (2000)

Ganyong adalah sejenis umbi-umbian yang dapat dimakan setelah direbus. Apabila dijadikan tepung atau pati dapat dipakai sebagai campuran berbagai makanan yang enak seperti kue. Yang dimaksud dengan tepung ganyong adalah tepung yang dibuat langsung dari umbinya yang sudah tua dan baik yaitu tidak ada tanda-tanda kebusukan (Anonim, 2000).

Ubi ganyong dapat diproduksi menjadi makanan yang bervariasi dan lebih mudah dikonsumsi dengan cara mengolah menjadi tepung, tanpa mengurangi kandungan gizi yang dikandungnya. Hal ini dapat mempermudah masyarakat dalam memenuhi gizinya terutama bagi balita yang sangat membutuhkan banyak kandungan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Damayanti, 2007).

Pemanfaatan umbi ganyong selain dikonsumsi sebagai ganyong rebus atau ganyong kukus adalah sebagai berikut:

a) Tepung ganyong. Berlainan dengan tepung-tepung lainnya, tepung ganyong berwarna kekuningan.

b) Campuran nasi jagung Nasi jagung yang dicampur dengan umbi ganyong, rasanya lebih enak dan pulen serta tidak mengakibatkan akibat sampingan di perut.

c) Gaplek ganyong Ganyong dapat dibuat gaplek seperti halnya singkong. Dari gaplek ganyong tersebut dapat pula dibuat tepung, pembuatannya seperti membuat tepung gaplek yaitu dengan cara menumbuknya.