RESPON FISIOLOGIS KAMBING BOERAWA JANTAN FASE PASCASAPIH DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

(1)

RESPON FISIOLOGIS KAMBING BOERAWA JANTAN

FASE PASCASAPIH DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

Oleh Hadi Pramono

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

RESPON FISIOLOGIS KAMBING BOERAWA JANTAN

FASE PASCASAPIH DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI Oleh

HADI PRAMONO

Respon fisiologis ternak kambing dipengaruhi oleh lingkungan, suhu dan kelembaban udara yang berdampak pada produktivitas dan reproduksi ternak, karena dapat mempengaruhi perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan respon fisiologis kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran rendah dan dataran tinggi serta untuk mengetahui respon fisiologis kambing Boerawa jantan fase pascasapih terbaik di dataran rendah dan dataran tinggi.

Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober - Desember 2012, di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus dan Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Survei. Data penelitian yang diambil dari 30 ekor kambing Boerawa jantan fase pascasapih yang meliputi, nilai suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi kambing Boerawa jantan fase pascasapih yang dipelihara di dataran rendah (P1)dan dataran tinggi (P2). Nilai rata-rata suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi ternak kambing Boerawa jantan fase pascasapih didataran rendah adalah 39,330C, 84 kali/menit dan 42 kali/menit dan nilai rata-rata suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi ternak kambing Boerawa jantan fase pascasapih didataran tinggi adalah 39,110C, 74 kali/menit dan 31 kali/menit.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Kegunaan Penelitian ... 3

D. Kerangka Pemikiran ... 3

E. Hipotesis .. ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Kambing Boerawa ... 7

B. Dataran Tinggi dan Dataran Rendah ... 10

C. Temperatur Lingkungan ... 12

1. Udara ... 13

2. Kelembaban... 13

3. Radiasi matahari... ... 15


(6)

1. Suhu rektal ... 18

2. Frekuensi denyut jantung... ... 19

3. Frekuensi respirasi ... 20

III. BAHAN DAN METODE ... 22

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 22

1. Alat penelitian ... 22

2. Bahan penelitian ... 22

C. Rancangan penelitian ... 23

D. Peubah yang Diamati ... 23

1. Suhu Rektal... ... 23

2. Frekuensi denyut jantung... . 24

3. Frekuensi respirasi... ... 24

E. Pelaksanaan Penelitian ... 24

1. Penentuan umur... ... 24

2. Penimbangan berat badan... ... 24

3. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang ... 25

4. Pengukuran fisiologis Ternak ... 25

F. Analisis Data ... ... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Keadaan Iklim di Lokasi Penelitian ... 26

B. Pengaruh Dataran Terhadap Suhu Rektal, Frekuensi Denyut Jantung dan Frekuensi Respirasi Kambing Boerawa Jantan Fase Pascasapih... 28


(7)

fase pascasapih... ... 29 2. Pengaruh dataran terhadap frekuensi denyut jantung kambing

Boerawa jantan fase pascasapih ... 31 3. Pengaruh dataran terhadap frekuensi respirasi kambing Boerawa jantan fase pascasapih ... 33

V. KESIMPULAN ... 36 DAFTAR PUSTAKA... 37 Lampiran


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Potensi pengembangan usaha peternakan kambing masih terbuka lebar karena populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai 1.012.705 ekor. Menurut data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung (2009), potensi wilayah Provinsi Lampung mampu menampung 1,38 juta Satuan Ternak (ST) dan saat ini populasi ternak baru mencapai 506.352 ST, artinya baru 36,69% potensi yang dapat dimanfaatkan.

Produktivitas ternak merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi,

sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain pakan, pengelolaan, perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit serta faktor iklim, baik iklim mikro maupun iklim makro. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap penampilan produksi seekor ternak. Hal ini dibuktikan bahwa keunggulan genetik suatu bangsa ternak tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai (Rumetor, 2003).


(9)

Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai

sepenuhnya oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus menyesuaikan dengan iklim setempat.

Pada suhu panas, ternak akan menurunkan konsumsi ransum sehingga akan menurunkan produksi, sedangkan pada suhu dingin ternak akan meningkatkan konsumsi ransum dan produksi ternak meningkat, begitu pula dengan konsumsi air minum, pada suhu lingkungan rendah konsumsi air minum menurun , sedangkan pada suhu lingkungan tinggi konsumsi air minum meningkat.

Kondisi iklim/cuaca yang sangat dingin atau panas dapat mempengaruhi kehidupan anak kambing jantan fase pascasapih maupun pertumbuhanya, jika tidak dilakukan penanganan terhadap anak kambing jantan fase pascasapih pada kondisi iklim/cuaca yang sangat ekstrim dapat menyebabkan kematian. Suhu udara yang sangat rendah dan berkepanjangan dapat menyebabkan 30 % kematian karena menderita hipotermia.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai respon fisiologi ternak kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran rendah dan dataran tinggi.


(10)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran rendah dan dataran tinggi.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting kepada peneliti, praktisi, dan para peternak khususnya tentang respon fisiologi kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran rendah dan dataran tinggi sehingga pola pemeliharaan dapat disesuaikan.

D. Kerangka Pemikiran

Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang akrab dengan usaha tani di Provinsi Lampung. Kambing berkembang biak dengan melahirkan. Kambing bisa melahirkan dua hingga tiga ekor anak, setelah bunting selama 150 hingga 154 hari, dewasa kelaminnya dicapai pada usia empat bulan, dalam setahun, kambing dapat beranak sampai dua kali. Di Provinsi Lampung permintaan daging dan susu kambing yang terus mengalami peningkatan, sehingga banyak petani mulai memelihara kambing sebagai sumber penghasilan yang menjanjikan.

Salah satu usaha peternakan unggulan di Provinsi Lampung adalah peternakan kambing Boerawa dari Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Kambing ini adalah hasil silangan antara Boer ( tipe pedaging ) dan Etawa ( tipe susu ). Kelebihan dari kambing ini mengambil keunggulan genetik dari Boer yang


(11)

memiliki tubuh gempal dan perototan yang padat berisi serta mengambil keunggulan genetik Etawa yang memiliki rangka yang tinggi ( panjang ).

Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ternak ialah iklim. Iklim satu lokasi adalah satu rantaian keadaan sistem iklim yang lebih besar, maka perubahan dalam suatu iklim akan mengakibatkan perubahan kepada sistem iklim yang lebih besar yang secara nyata mempengaruhi respon fisiologis ternak, seperti suhu rektal, frekuensi pernapasan, dan denyut jantung (Purwanto et al., 1991).

Pengaruh iklim terhadap peningkatan produktivitas ternak baik kualitas maupun kuantitas sangat besar. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan tentang respon-respon fisiologi ternak terhadap iklim mikro sehingga peternak dapat mengatasi masalah yang terjadi akibat pengaruh iklim mikro yang berbeda di setiap wilayah dan ternak pun dapat berproduksi dengan baik.

Iklim makro maupun iklim mikro dapat berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap penampilan produktivitas ternak (Payne, 1990). Pengaruh langsung dari iklim adalah terjadinya stress panas atau dingin, sehingga ternak menderita stress atau ternak merasa tidak nyaman yang berakibat terhadap penurunan produksi dan reproduksi ternak dan pengaruh tidak langsungnya adalah kesediaan hijauan pakan ternak yang cepat tua yang menyebabkan tingginya serat kasar, sehingga ternak mengalami proses pencernaan dalam tubuh lebih ekstra yang

mengakibatkan penurunan produksi dan reproduksi ternak. Untuk itulah perlu diketahui pengaruh iklim terhadap kondisi fisiologis ternak, sehingga dapat diupayakan pengendalian iklim, khususnya iklim mikro agar penampilan produktivitas ternak dapat ditingkatkan.


(12)

Lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap

penampilan produksi seekor ternak. Hal ini telah dibuktikan bahwa keunggulan genetik suatu bangsa ternak tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai seperti telah disebutkan bahwa salah satu faktor lingkungan yang merupakan kendala utama tidak dapat terlaksananya secara optimal potensi produksi ternak adalah faktor iklim.

Kelembaban udara yang tinggi akan nyata mempengaruhi produktivitas ternak, khususnya pada suhu lingkungan tinggi karena dapat menghambat proses pembuangan panas melalui penguapan dari permukaan tubuh (Esmay, 1978). Masalah lain yang dihadapi ternak pada lingkungan panas adalah beban panas tubuh (body heat load) akibat radiasi matahari yang diterima secara langsung yang mengakibatkan suhu lingkungan meningkat. Keadaan tersebut

menurut Esmay (1978), bila terjadi cekaman panas akibat temperatur lingkungan yang cukup tinggi maka akan menyebabkan frekuensi pulsus ternak akan

meningkat, hal ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh.

Suhu rektal, frekuensi denyut jantung, frekuensi respirasi, dan jumlah sel darah dalam tubuh merupakan petunjuk praktis yang erat kaitannya dengan respon fisiologis ternak terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, data mengenai hal tersebut sangat diperlukan guna penyesuaian dalam pola pemeliharaan sehari - harinya.


(13)

E. Hipotesis

Ada perbedaan yang nyata mengenai respon fisiologis (suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi) antara kambing yang dipelihara di dataran tinggi dan di dataran rendah.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kambing Boerawa

Kambing merupakan binatang pemamah biak dan pemakan rumput (daun-daunan), berkuku genap, tanduknya bergerongga, biasanya dipelihara sebagai hewan ternak untuk diambil daging, susu, dan bulunya. Kambing yang dikenal sekarang diperkirakan dari keturunan kambing liar yang hidup di lereng-lereng pegunungan. Kambing memiliki kebiasaan makan dengan cara berdiri, mencari daun-daunan yang berada di atas, dan tidak senang mengelompok (Balai

Informasi Pertanian, 1986).

Ada empat cara klasifikasi kambing piaraan yaitu berdasarkan asal-usul, kegunaan, besar tubuh, dan bentuk serta panjang telinganya (Williamson dan Payne, 1993). Kambing Boerawa merupakan jenis kambing persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999).

Kambing Boerawa merupakan jenis kambing pedaging hasil persilangan antara kambing Boer dan kambing PE. Kambing Boerawa saat ini telah berkembang biak dan menjadi salah satu komoditi ternak unggulan Provinsi Lampung. Perkembangan kambing Boerawa yang pesat tersebut berkaitan erat dengan potensi Provinsi Lampung yang besar dalam penyediaan pakan ternak, baik


(15)

hijauan maupun limbah pertanian, perkebunan, dan agroindustri (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2004).

Kambing Boerawa saat ini sedang dikembangbiakan dan menjadi salah satu ternak unggulan di Provinsi Lampung. Kambing tersebut dipelihara oleh masyarakat sebagai penghasil daging karena laju pertumbuhannya yang tinggi dengan postur tubuh yang kuat dan tegap sehingga harga jualnya juga tinggi dan permintaan pasar terhadap kambing Boerawa tinggi (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2004).

Kambing Boerawa memiliki ciri - ciri diantara kambing Boer dengan kambing Peranakan Etawa (PE) sebagai tetuanya. Kambing Boerawa memiliki telinga yang agak panjang dan terkulai ke bawah sesuai dengan ciri-ciri kambing Peranakan Etawa, namun memiliki bobot tubuh yang lebih tinggi daripada

kambing PE, yang diwariskan dari kambing Boer dengan profil muka yang sedikit cembung, dengan pertambahan bobot tubuh 0,17 kg/hari (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung, 2004). Selain itu, kambing Boerawa juga memiliki badan yang lebih besar dan padat yaitu dapat mencapai 40 kg pada umur delapan bulan dibandingkan dengan kambing PE, sehinggga jumlah daging yang dihasilkan lebih banyak (Ditbangnak, 2004). Hardjosubroto (1993) menyatakan setiap individu akan mewarisi setengah dari sifat-sifat tetua jantannya dan setengah berasal dari induknya.


(16)

Gambar 1. Kambing Boerawa

Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear, bobot,

akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu: proses-proses dasar pertumbuhan sel, diferensiasi sel-sel induk menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi. Pertumbuhan sel meliputiperbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma (Williams, 1982; Edey, 1983). Menurut Tulloh (1978) pertumbuhan dimulai sejak terjadinya pembuahan, dan berakhir pada saat dicapainya kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) (Black, 1983).


(17)

Pertumbuhan prenatal dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu periode ovum, periode embrio dan periode fetus. Menurut Black (1983), pada domba periode ovum dimulai saat ovulasi sampai terjadinya implantasi, periode embrio dimulai dari implantasi sampai terbentuknya organ organ utama seperti otak, kepala, jantung, hati dan saluran pencernaan. Periode fetus berlangsung sejak hari ke-34 masa kebuntingan sampai terjadinya kelahiran.

Pertumbuhan post natal biasanya dibagi menjadi pertumbuhan pra sapih

dan pasca sapih. Pertumbuhan pra sapih sangat tergantung pada jumlah dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya (Williams, 1982). Pada domba, pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh genotip, bobot lahir, produksi susu induk, litter size, umur induk, jenis kelamin anak dan umur penyapihan. Pertumbuhan pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan, umur dan bobot sapih serta lingkungan misalnya suhu udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan penyakit lainnya (Gerrard, 1977; Black, 1983; Edey, 1983, Aberle et al., 2001).

B. Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Menurut Liem(2004), berdasarkan ketinggian dataran dapat dibagi wilayah-wilayah sebagai berikut:

1. Wilayah Rendah atau dataran rendah, adalah bagian dari muka bumi yang letaknya kira-kira antara 6--100 m dari permukaan laut sampai wilayah endapan, sedangkan suhunya berkisar 26,3°C -- 22°C;


(18)

2. Wilayah Pertengahan atau dataran sedang, bagian wilayah ini terletak kira-kira antara 100--450 m dari permukaan laut, permukaan bumi sudah tidak lagi datar dan mulai terasa segar, sedangakan suhunya berkisar 22°C -- 17,1°C;

3. Wilayah pegunungan atau dataran tinggi, ketinggian wilayah ini sudah di atas 450 meter dari permukaan laut dan sudah berbeda gambaran umum daerah tropis (panas, lembab, pengap). Udara terasa sejuk sampai dingin dan banyak turun hujan, suhunya berkisar antara 17,1°C -- 11,1°C.

Dataran tinggi adalah suatu daerah berbentuk datar di permukaan bumi yang mempunyai ketinggian lebih dari 450 meter di atas permukaan laut. Dataran tinggi biasanya memiliki suhu udara yang sejuk sehingga dapat digunakan untuk pengembangan daerah peternakan. Tidak semua dataran tinggi di atasnya sempit, melainkan terdapat pula dataran tinggi yang puncaknya datar dan cukup luas, dataran tinggi semacam ini biasa disebut plato. Dataran tinggi terbentuk sebagai hasil erosi dan sedimensi (Hafez, 1968).

Dataran rendah adalah hamparan luas tanah dengan tingkat ketinggian yang di ukur dari permukaan laut adalah relatif rendah (sampai dengan 300 m dpl). Istilah ini diterapkan pada kawasan manapun dengan hamparan yang luas dan relatif datar yang berlawanan dengan dataran tinggi. Suhu udara di dataran rendah, khususnya untuk wilayah Indonesia berkisar antara 23°C sampai dengan 28°C sepanjang tahun. Pada wilayah dataran tinggi, suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan dataran rendah, tingkat kelembaban udara dan curah hujan yang berlangsung juga cukup tinggi. Pada dataran rendah ditandai dengan suhu udara yang tinggi dan tekanan udara maupun oksigen yang tinggi Hafez (1968).


(19)

Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus dan Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran memiliki potensi ternak yang cukup besar, salah satunya ternak kambing Boerawa. Kecamatan Gisting terletak di dataran tinggi yaitu pada ketinggian 650 m di atas permukaan air laut. Memiliki rata-rata suhu udara

18°--32˚ C, kelembaban udara 65--100%, dan curah hujan 3.500 mm/tahun (Monografi

Kecamatan Gisting, 2005). Kecamatan Gedong Tataan terletak di dataran rendah yaitu pada ketinggian 300 m di atas permukaan laut, memiliki rata-rata suhu udara 24°--30˚ C, kelembaban udara 50--85% (Monografi Kecamatan Gedong Tataan, 2007). Menurut Smith dan Mangkuwidjojo (1988), bahwa daerah nyaman bagi kambing berkisar antara 18 dan 300C.

C. Temperatur Lingkungan

Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu : 1. Abiotik : semua faktor fisik dan kimia;

2. Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit, serta interaksi sosial dan seksual.

Menurut (Sientje, 2003) faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stress fisiologis. Komponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban, curah hujan, angin dan radiasi matahari. Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan biasanya diekspresikan dalam skala derajat celsius. Secara umum, temperatur udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkungan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyaman


(20)

dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai.

Spesies ternak membutuhkan temperatur nyaman 13oC--18oC atau temperature

humidity Index (THI) < 72. Setiap hewan mempunyai kisaran temperatur

lingkungan yang paling sesuai yang disebut comfort zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10°C--27°C (50°F--80°F) (Sientje, 2003).

Faktor lingkungan fisik yang mempunyai peranan penting dalam produksi ternak yaitu udara, kelembaban lingkungan, radiasi matahari, dan kecepatan angin.

1. Udara

Suhu lingkungan merupakan sebuah ukuran dari intensitas panas dalam artian sebuah unit standar dan biasanya ditunjukkan dalam satuan derajat Celsius (°C). Dalam kaitan dengan istilah umum untuk panas dalam arti fisiologis, suhu udara merupakan rataan suhu dari lingkungan baik yang berupa udara maupun air di sekitar tubuh ternak (Bligh dan Johnson, 1973). Suhu lingkungan nyaman untuk ternak bekisar 18°C - 30°C (Smith dan Mangkuwidjojo, 1988).

2. Kelembaban

Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif


(21)

air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada temperatur dan tekanan yang sama. Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Sientje, 2003).

Iklim di indonesia adalah super humid atau panas basah yaitu klimat yang ditandai dengan panas yang konstan, hujan dan kelembaban yang terus menerus.

Temperatur udara berkisar antara 21,11°C - 37,77°C dengan kelembaban relatif 55--100 persen (Umar et al., 1991). Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan stress pada ternak, sehingga suhu tubuh, respirasi, dan denyut jantung meningkat, serta konsumsi pakan menurun, akhirnya menyebabkan produktivitas ternak rendah.

Rosenberg (1983) mendefinisikan iklim mikro sebagai keadaan iklim daerah yang terlindungi, sedangkan Gebremedhin (1985) dan Payne (1990) mendifinisikan iklim mikro sebagai interaksi beberapa faktor iklim di lokasi yang spesifik atau keadaan iklm disekitar ternak berada.

Iklim makro merupakan iklim suatu negara, benua, atau daerah tertentu. Iklim tersebut menurut sifat pokoknya (letak geografis, tinggi diatas permukaan laut, pesisir laut, arah angin, berhubungan dengan pegunungan) berhubungan dengan suhu rata-rata, kelembaban udara serta kemusiman yang menciptakan ciri khas tertentu yang digolongkan sebagai daerah tropis lembap (daerah hutan hujan tropis, daerah musim, dan savana lembab), daerah tropis kering (daerah padang pasir dan daerah savana kering), daerah pegunungan (Lippsmeter, 1994).


(22)

Iklim yang cocok untuk daerah peternakan ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim, dengan curah hujan rendah secara relatif dan musim kering yang panjang. Meskipun curah hujan keseluruhan berkisar antara 254 sampai 508 mm, hujan dapat turun lebih lebat meskipun kejadian itu sangat jarang. Iklim yang ada diberbagai daerah tidaklah sama, melainkan bervariasi tergantung dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti altitude (letak daerah dari ekuator, distribusi daratan dan air, tanah dan topografinya) dan latitude (ketinggian tempat) dan faktor-faktor tidak tetap, seperti aliran air laut, angin, curah hujan, drainase, dan vegetasi. Hafez (1968) mengatakan bahwa kriteria dataran rendah ditandai dengan suhu udara yang tinggi dan tekanan udara maupun oksigen yang tinggi.

3. Radiasi matahari

Menurut Sientje (2003), Radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua sumber utama :

1.Temperatur matahari yang tinggi

2. Radiasi termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir

Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari, penting untuk mendesain perkandangan ternak, karena dapat mempengaruhi proses fisiologi ternak.

Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak. Mamalia dapat bertahan hidup dan berkembang pada suatu lingkungan termal yang tidak disukai, tergantung pada kemampuan ternak itu sendiri dalam menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah laku secara efisien untuk mempertahankan keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan (Sientje, 2003).


(23)

4. Angin

Menurut Sientje (2003) angin diturunkan oleh pola tekanan yang luas dalam atmosfir yang berhubungan dengan sumber panas atau daerah panas dan dingin pada atmosfir. Kecepatan angin selalu diukur pada ketinggian tempat ternak berada. Hal ini penting karena transfer panas melalui konveksi dan evaporasi di antara ternak dan lingkungannya dipengaruhi oleh kecepatan angin.

D. Fisiologis Ternak

Menurut Brody (1948), respon fisiologis ternak adalah usaha ternak dalam rangka merespon kondisi tubuhnya dari lingkungan berupa cekaman panas atau cekaman dingin. Performan ternak dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk, peralatan, dan fasilitas penanganan ternak mengakibatkan perubahan fisiologis dan tingkah laku ternak. Dinyatakan pula bahwa suhu lingkungan, kelembaban, dan radiasi matahari yang tinggi berhubungan dengan penurunan performans ternak.

Cekaman panas pada ternak akan menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi pakan, produksi susu, dan bobot badan. Penurunan tersebut dikarenakan ternak berusaha menurunkan produksi panas yang berasal dari tambahan panas (heat gain)dari luar tubuh, dengan cara mengurangi konsumsi pakan, sehingga berakibat terhadap penurunan bobot badan. Penurunan ini terjadi karena selama dalam cekaman panas di dalam tubuh kambing justru terjadi katabolisme protein otot dan peningkatan glukogenesis (Thompson et al., 1973).


(24)

Menurut Morrison (1972), cekaman panas selain disebabkan oleh temperatur yang tinggi, dapat juga disebabkan oleh kelembaban udara yang tinggi, radiasi, suhu, dan aliran udara yang lamban. Kondisi ternak yang terkena cekaman panas, salah satunya karena sulitnya ternak melepaskan panas dan akan mengurangi konsumsi pakan sehingga laju metabolismenya menurun. Hal ini mengakibatkan

menurunnya laju pertumbuhan dan produksi per unit pakan yang dikonsumsi.

Peningkatan suhu tubuh yang merupakan fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit, akibat kenaikan suhu udara, akan meningkatkan aktivitas penguapan melalui keringat dan peningkatan jumlah panas yang dilepas persatuan luas permukaan tubuh. Demikian juga dengan naiknya frekuensi nafas akan meningkatkan jumlah panas persatuan waktu yang dilepaskan melalui saluran pernapasan (Mc Lean dan Calvert, 1972).

Ternak harus mengadakan penyesuaian secara fisiologis agar suhu tubuhnya tetap konstan (38,5°C --40°C). Untuk mempertahankan kisaran suhu tubuhnya, ternak memerlukan keseimbangan antara produksi panas dengan panas yang dilepaskan tubuhnya (Yusuf, 2007).

Ketinggian tempat erat hubungannya dengan suhu dan kelembaban lingkungan tempat ternak dipelihara yang secara nyata mempengaruhi respon fisiologis ternak, seperti suhu rektal, frekuensi respirasi, frekuensi denyut jantung, dan jumlah sel darah dalam tubuh (Purwanto etal., 1991).


(25)

1. Suhu rektal

Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap kambing. Suhu rektal harian, rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari. Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Edey, 1983).

Suhu rektal digunakan sebagai ukuran temperatur suhu tubuh karena pada suhu rektum merupakan suhu yang optimal. Suhu lingkungan yang rendah, dibawah tingkat kritis minimum dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al., 1990). Suhu rektal kambing di daerah tropis berada pada kisaran 38,2 – 40 0C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Hewan homeoterm sudah mempunyai pengatur panas tubuh yang telah berkembang biak. Temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan pencernaan. Produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung bergantung pada makanan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dan saluran pencernaan

(Yuwanta, 2000).

Suhu rektal kambing pada kondisi normal adalah 38,5 -400C dengan rataan 39,40C atau antara 38,5 dan 39,70C dengan rataan 39,10C (Anderson, 1970). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme termoregulasi dapat berjalan dengan baik.


(26)

2. Frekuensi denyut jantung

Frekuensi denyut jantung dapat dideteksi melalui denyut jantung yang

dirambatakan pada dinding rongga dada atau pada pembuluh nadinya. Frekuensi denyut jantung bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan, dan suhu lingkungan. Disebutkan pula bahwa hewan muda mempunyai denyut nadi yang lebih frekuen daripada hewan tua. Frekuensi denyut nadi kambing normal berkisar antara 70-80 kali per menit (Duke’s, 1995).

Pada suhu lingkungan tinggi, denyut jantung meningkat. Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk mensuplai O2 dan nutrient melalui peningkatan aliran darah dengan jalan peningkatan denyut jantung. Bila terjadi cekaman panas akibat temperatur

lingkungan yang tinggi maka frekuensi denyut jantung ternak akan meningkat, hal ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh.

Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruh otot jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh saraf, akan tetapi dapat diubah juga oleh berbagai faktor selain saraf, antara lain: rangsangan kimiawi seperti hormon dan perubahan kadar O2 dan CO2 ataupun rangsangan panas (Isnaeni, 2006).


(27)

Secara umum kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah besarnya ukuran hewan (Awabien, 2007). Kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) adalah antara 70-80 kali tiap menit. Isnaeni (2006) mengatakan bahwa denyut jantung dapat

meningkat hingga lebih dari dua kalinya pada saat aktif melakukan kegiatan. Menurut (Edey, 1983) peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot.

3. Frekuensi respirasi

Frekuensi respirasi adalah semua proses kimia maupun fisika dimana organisme melakukan pertukaran udara dengan lingkungannya. Respirasi menyangkut dua proses, yaitu respirasi eksternal dan respirasi internal. Terjadinya pergerakan karbon dioksida ke dalam udara alveolar ini disebut respirasi eksternal. Respirasi internal dapat terjadi apabila oksigen berdifusi ke dalam darah. Respirasi

eksternal tergantung pada pergerakan udara kedalam paru-paru (Frandson, 1992).

Frekuensi respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui fungsi organ-organ tubuh bekerja secara normal. Pengukuran terhadap parameter terhadap fisiologis yang biasa dilakukan di lapangan tanpa alat-alat laboratorium adalah pengukuran respirasi, detak jantung dan temperature tubuh (Kasip, 1995).


(28)

Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Fungsi-fungsi yang besifat skunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan fonasi

(pembentukan suara) (Frandson, 1992). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan

dibuang (Awabien, 2007). Menurut (Frandson, 1992) frekuensi respirasi kambing normal berkisar antara 25-54 kali/menit.


(29)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2012--November 2012. Pengambilan data di dataran rendah (Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran) dan dataran tinggi (Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus).

B. Alat dan Bahan Penelitian

a. Alat penelitian.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain thermohigrometer, stetoskop, thermometer rektal digital, timbangan dengan kapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg untuk mengukur berat sampel, alat tulis, alat hitung, dan kamera.

b. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah ternak kambing Boerawa yang ada di dataran rendah (Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran) dan dataran tinggi (Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus) masing-masing sebanyak 30 ekor dengan umur 6 -- 8 bulan, bobot tubuh kisaran 15—20 kg, dan jenis kelamin jantan.


(30)

C. Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Survei. Pengumpulan data menggunakan metode Purposive Random Sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang didasarkan atas tujuan dan pertimbangan tertentu dari peneliti. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus (dataran tinggi), dan Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung (dataran rendah). Kambing sampel diambil dari beberapa desa di Kecamatan Gisting, dan Kecamatan Gedong Tataan yang memiliki populasi kambing Boerawa dengan presentase pengambilan sampel di setiap desanya sama besar (30 ekor). Pengambilan sampel data penelitian yaitu dari penentuan umur kambing sampel dengan melihat data recording, pengukuran fisiologi ternak kambing Boerawa yaitu penimbangan bobot tubuh, pengukuran suhu rektal, frekuensi denyut jantung dan frekuensi respirasi kambing sampel, pengukuran suhu dan kelembaban kandang serta lingkungan melalui pengukuran langsung ke lapangan.

D. Peubah yang Diamati

1. Suhu rektal.

Salah satu cara untuk memperoleh gambaran suhu rektal dengan menggunakan thermometer yang dimasukkan kedalam rektal kambing selama 5 menit (Hartono, et al., 2002).


(31)

2. Frekuensi denyut jantung

Frekuensi denyut jantung dapat dihitung dengan menggunakan stetoskop, cara mengukur yaitu menempelkan stetoskop pada dada sebelah kiri selama 1 menit. Frekuensi denyut jantung bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu lingkungan (Hartono, et al., 2002).

3. Frekuensi respirasi

Frekuensi respirasi adalah proses pertukaran gas sebagai suatu rangkaian kegiatan fisik dalam tubuh organisme dalam lingkungan sekitarnya. Frekuensi respirasi dihitung dengan mengamati pergerakan kembang kempisnya perut selama 1 menit (Hartono, et al., 2002).

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan umur

Umur kambing yang dipakai seragam. Kisaran umur kambing adalah 6 -- 8 bulan. Penentuan umur kambing berdasarkan atas data rekording dan informasi langsung dari pemilik kambing tersebut.

2. Penimbangan berat badan.

Berat badan kambing Boerawa fase pascasapih yang dipakai seragam. Kisaran berat badan kambing yang digunakan yaitu 15 kg -- 20 kg. Penimbangan kambing dilakukan satu kali pada awal penelitian dengan menggunakan timbangan berkapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg.


(32)

3. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang

Pengukuran suhu kandang dan lingkungan ternak dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 08.00 wib, siang pada pukul 13.00 wib, dan sore pada pukul 17.00 wib. Waktu pengukuran suhu, kelembaban kandang, dan lingkungan sekitar 10 menit dengan menggunakan thermohigrometer.

4. Pengukuran fisiologis ternak

Pengukuran suhu rektal, frekuensi denyut jantung dan frekuensi respirasi

dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 08.00 wib, siang pada pukul 13.00 wib, dan sore pada pukul 17.00 wib. Masing-masing tempat dilakukan pengukuran respon fisiologis ternak dengan 8 kali pengambilan data yaitu setiap 3 hari sekali selama 1 bulan.

F. Analisis Data


(33)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ketinggian suatu tempat berpengaruh sangat nyata terhadap respon fisiologis kambing Boerawa jantan fase pascasapih yang dipelihara di dataran rendah dan dataran tinggi. Rata-rata suhu rektal, denyut jantung dan respirasi kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran rendah (P1) sebesar 39,33 0C±0,8470C, 84±0,407 kali/menit, dan 42±0,054 kali/menit dan rata-rata suhu rektal, denyut jantung dan respirasi kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran tinggi (P2) sebesar 39,110C ±0,563 0C, 74±0,877 kali/menit, dan 31±0,078 kali/menit.

B. Saran

Pemerintah dan peternak, disarankan agar dapat lebih mengembangkan peternakan kambing Boerawa pada dataran tinggi karena memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang baik untuk dapat mendukung performan fisiologis kambing;


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, D. E., Forest, J. C., Gerrard, D. E., Mills, E. W. 2001. Principlesof meat science. Fourth Edition. W.H. Freeman and Company. San Fransisco, United States of America.

Anderson, B. 1970. Fencing Based on the Yorkshire Television Series. London: Stanley Paul.

Awabien, R. L. 2007. Respon Fisiologis Domba yang diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Balai Informasi Pertenakan. 1986. Lembaga Penelitian Peternakan Komuditas Kambing. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Black, J. L. 1983. Implication of developments in meat science, production and marketing for lamb production system. National Workshop, Orange, NSW. Bligh, J. and K.G. Johnson. 1973. Glosary of terms for thermal physiology. J.

Appl.Physiology., 35:941.

Brody, S. 1948. Bionegetics and Growth: with Special Reference to Efficiency Complex in domestic animal. Hafner Press. London.

Cahyono, B. 1999. Beternak Kambing dan Domba. Kanisius. Yogyakarta. Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Institut

Teknologi Bandung. Bandung

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2004. Peternakan Lampung Produk Unggulan Peluang Investasi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Lampung.

Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 10 oktober 2010.

Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal Comstock Publishing : New York


(35)

Edey, T. N. 1883. Lactation, Growth and Body Composition. In: Edey T.N. ed. Tropical sheep and goat Production. Pp. 83-110.AUIDP. Canberra

Ensminger, M. E. 1990. Feeds and Nutritrion. Second Edition. The Ensminger Publishing Company, USA.

Esmay, M. L.1978. Principle of Animalenvironmental. AVI Publishing Company, Inc.Wespost, Connecticut.

Fitra, A. P. 2006. Respon Fisiologi Tiga Jenis Kambing Boer Di Musim Kemarau Pada Dataran Rendah.LokaPenelitian Kambing Potong Sei Putih. Sumatra Utara Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Gebremedhin. 1985. The Goats of Indonesia. FAO Regional Office. Bangkok. Gerrard, F. 1977. Meat Technology. 6th ed.North Wood Publications Ltd., London. Hafez, E.S.E. 1968. Adaptasion of Domestic Animal. Lea and Fabinge. Philadelpia. Hardjosubroto, W. dan J.V. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia

Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Hartono, M., S. Suharyati, dan P. E. Santoso. 2002. Dasar Fisiologi Ternak. Penuntun Praktikum. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius, Jakarta.

Kasip. 1995. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya, Jakarta.

Liem. 2004. “Pengelolaan Berbasis Birogion”.

http://www.walhi.or.id/bioregion/nas/peng_basis_bioreg/. Diaksespada 11 November 2008 pukul 15.48 WIB.

Lippsmeter, G. 1994. BangunanTropis. Erlangga. Jakarta.

Mc Lean, and Calvert. 1972. Production result of Boer Goat in Germany. Boer Goat News. 4:25—26. http://boergoat.com/clean/articles.

Morrison,. 1972. ”A World Dictionary of Livestock, Breeds, Types, and Varieties,

Fourth Ed”. CAB International, Wallingford. Oxon.

Payne, W. J. A. 1970. Cattle Production in the Tropics. Vol. 1. Longman Group Limited, London.

Purwanto., W. Hardjosubroto, Kustono, dan Ngadiyono. 1991 “Performan produksi

dan reproduksi kambing Peranakan Etawah dan Bligon”. Prosiding Seminar


(36)

Rosenberg.1983. Goat Production in The Tropic. Tech. Comm. Comw. Bur. Amin. Breed. Genet. Farnham Royal, UK.

Rumetor. 2003. Responses oflactacing Holstein cows to chilled drinkingwater in high ambient temperatures. J. Dairy Sci. 73:1091 -1099.

Sientje. 2003. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana /S3Institut Pertanian Bogor Mei 2003.

Smith dan Mangkuwidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Thompson, J. D., Higgins, D. G. & Gibson, T. J. 1973. CLUSTAL W: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence

weighting, positions-specific gap penalties and weight matrix choice. Nuc. Ac. Res. 22, 4673-4680.

Tulloh, N.M. 1978. Growth, development, body composition, breeding and management. In: Tulloh, N.M. (ed): A Course Manual in Beef Cattle Management and Economics. Pp. 59-94. AAUCS. Canberra.

Umar, Ar., 1991. Pengaruh Frekuensi Penyiraman/memandikan terhadap status faali Sapi Perah yang dipelihara di Bertais Kabupaten Lombok Barat. UNRAM University Press, Mataram.

Williams, I. H. 1982. A Course Manual in Nutrition and Growth. Australian Vice- Choncellors-Committee, Melbourne.

Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija, D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yusuf, M.K. 2007. Physiology Stress in Livestock. CRC Press, Inc. Boca Raton.

Florida


(1)

24 2. Frekuensi denyut jantung

Frekuensi denyut jantung dapat dihitung dengan menggunakan stetoskop, cara mengukur yaitu menempelkan stetoskop pada dada sebelah kiri selama 1 menit. Frekuensi denyut jantung bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu lingkungan (Hartono, et al., 2002).

3. Frekuensi respirasi

Frekuensi respirasi adalah proses pertukaran gas sebagai suatu rangkaian kegiatan fisik dalam tubuh organisme dalam lingkungan sekitarnya. Frekuensi respirasi dihitung dengan mengamati pergerakan kembang kempisnya perut selama 1 menit (Hartono, et al., 2002).

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan umur

Umur kambing yang dipakai seragam. Kisaran umur kambing adalah 6 -- 8 bulan. Penentuan umur kambing berdasarkan atas data rekording dan informasi langsung dari pemilik kambing tersebut.

2. Penimbangan berat badan.

Berat badan kambing Boerawa fase pascasapih yang dipakai seragam. Kisaran berat badan kambing yang digunakan yaitu 15 kg -- 20 kg. Penimbangan kambing dilakukan satu kali pada awal penelitian dengan menggunakan timbangan berkapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg.


(2)

25 3. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang

Pengukuran suhu kandang dan lingkungan ternak dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 08.00 wib, siang pada pukul 13.00 wib, dan sore pada pukul 17.00 wib. Waktu pengukuran suhu, kelembaban kandang, dan lingkungan sekitar 10 menit dengan menggunakan thermohigrometer.

4. Pengukuran fisiologis ternak

Pengukuran suhu rektal, frekuensi denyut jantung dan frekuensi respirasi

dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 08.00 wib, siang pada pukul 13.00 wib, dan sore pada pukul 17.00 wib. Masing-masing tempat dilakukan pengukuran respon fisiologis ternak dengan 8 kali pengambilan data yaitu setiap 3 hari sekali selama 1 bulan.

F. Analisis Data


(3)

28

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ketinggian suatu tempat berpengaruh sangat nyata terhadap respon fisiologis kambing Boerawa jantan fase pascasapih yang dipelihara di dataran rendah dan dataran tinggi. Rata-rata suhu rektal, denyut jantung dan respirasi kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran rendah (P1) sebesar 39,33 0C±0,8470C, 84±0,407

kali/menit, dan 42±0,054 kali/menit dan rata-rata suhu rektal, denyut jantung dan respirasi kambing Boerawa jantan fase pascasapih di dataran tinggi (P2) sebesar

39,110C ±0,563 0C, 74±0,877 kali/menit, dan 31±0,078 kali/menit.

B. Saran

Pemerintah dan peternak, disarankan agar dapat lebih mengembangkan peternakan kambing Boerawa pada dataran tinggi karena memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang baik untuk dapat mendukung performan fisiologis kambing;


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, D. E., Forest, J. C., Gerrard, D. E., Mills, E. W. 2001. Principlesof meat science. Fourth Edition. W.H. Freeman and Company. San Fransisco, United States of America.

Anderson, B. 1970. Fencing Based on the Yorkshire Television Series. London: Stanley Paul.

Awabien, R. L. 2007. Respon Fisiologis Domba yang diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Balai Informasi Pertenakan. 1986. Lembaga Penelitian Peternakan Komuditas Kambing. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Black, J. L. 1983. Implication of developments in meat science, production and marketing for lamb production system. National Workshop, Orange, NSW. Bligh, J. and K.G. Johnson. 1973. Glosary of terms for thermal physiology. J.

Appl.Physiology., 35:941.

Brody, S. 1948. Bionegetics and Growth: with Special Reference to Efficiency Complex in domestic animal. Hafner Press. London.

Cahyono, B. 1999. Beternak Kambing dan Domba. Kanisius. Yogyakarta. Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Institut

Teknologi Bandung. Bandung

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2004. Peternakan Lampung Produk Unggulan Peluang Investasi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Lampung.

Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 10 oktober 2010.

Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal Comstock Publishing : New York University Collage, Camel


(5)

37 Edey, T. N. 1883. Lactation, Growth and Body Composition. In: Edey T.N. ed.

Tropical sheep and goat Production. Pp. 83-110.AUIDP. Canberra

Ensminger, M. E. 1990. Feeds and Nutritrion. Second Edition. The Ensminger Publishing Company, USA.

Esmay, M. L.1978. Principle of Animalenvironmental. AVI Publishing Company, Inc.Wespost, Connecticut.

Fitra, A. P. 2006. Respon Fisiologi Tiga Jenis Kambing Boer Di Musim Kemarau Pada Dataran Rendah.LokaPenelitian Kambing Potong Sei Putih. Sumatra Utara Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Gebremedhin. 1985. The Goats of Indonesia. FAO Regional Office. Bangkok. Gerrard, F. 1977. Meat Technology. 6th ed.North Wood Publications Ltd., London. Hafez, E.S.E. 1968. Adaptasion of Domestic Animal. Lea and Fabinge. Philadelpia. Hardjosubroto, W. dan J.V. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia

Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Hartono, M., S. Suharyati, dan P. E. Santoso. 2002. Dasar Fisiologi Ternak. Penuntun Praktikum. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius, Jakarta.

Kasip. 1995. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya, Jakarta. Liem. 2004. “Pengelolaan Berbasis Birogion”.

http://www.walhi.or.id/bioregion/nas/peng_basis_bioreg/. Diaksespada 11 November 2008 pukul 15.48 WIB.

Lippsmeter, G. 1994. BangunanTropis. Erlangga. Jakarta.

Mc Lean, and Calvert. 1972. Production result of Boer Goat in Germany. Boer Goat News. 4:25—26. http://boergoat.com/clean/articles.

Morrison,. 1972. ”A World Dictionary of Livestock, Breeds, Types, and Varieties, Fourth Ed”. CAB International, Wallingford. Oxon.

Payne, W. J. A. 1970. Cattle Production in the Tropics. Vol. 1. Longman Group Limited, London.

Purwanto., W. Hardjosubroto, Kustono, dan Ngadiyono. 1991 “Performan produksi dan reproduksi kambing Peranakan Etawah dan Bligon”. Prosiding Seminar Nasional Peternakan 104—108. Yogyakarta.


(6)

38 Rosenberg.1983. Goat Production in The Tropic. Tech. Comm. Comw. Bur. Amin.

Breed. Genet. Farnham Royal, UK.

Rumetor. 2003. Responses oflactacing Holstein cows to chilled drinkingwater in high ambient temperatures. J. Dairy Sci. 73:1091 -1099.

Sientje. 2003. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana /S3Institut Pertanian Bogor Mei 2003.

Smith dan Mangkuwidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Thompson, J. D., Higgins, D. G. & Gibson, T. J. 1973. CLUSTAL W: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence

weighting, positions-specific gap penalties and weight matrix choice. Nuc. Ac. Res. 22, 4673-4680.

Tulloh, N.M. 1978. Growth, development, body composition, breeding and management. In: Tulloh, N.M. (ed): A Course Manual in Beef Cattle Management and Economics. Pp. 59-94. AAUCS. Canberra.

Umar, Ar., 1991. Pengaruh Frekuensi Penyiraman/memandikan terhadap status faali Sapi Perah yang dipelihara di Bertais Kabupaten Lombok Barat. UNRAM University Press, Mataram.

Williams, I. H. 1982. A Course Manual in Nutrition and Growth. Australian Vice- Choncellors-Committee, Melbourne.

Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija, D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yusuf, M.K. 2007. Physiology Stress in Livestock. CRC Press, Inc. Boca Raton.

Florida