Protocorm like Bodies (plbs) induction and molecular characterization F2 population of phalaenopsis orchids

INDUKSI Protocorm-like Bodies (PLBs) DAN
KARAKTERISASI MOLEKULER POPULASI F2 ANGGREK
PHALAENOPSIS

EKA FIBRIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Induksi Protocorm-like
Bodies (plbs) dan Karakterisasi Molekuler Populasi F2 Anggrek Phalaenopsis
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

Eka Fibrianty
NRP A253100201

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja saa yang terkait

RINGKASAN

EKA FIBRIANTY. Induksi Protocorm-like Bodies (plbs) dan Karakterisasi
Molekuler Populasi F2 Anggrek Phalaenopsis. Dibimbing oleh DEWI SUKMA
dan SUDARSONO.

Upaya peningkatan ketersediaan materi perbanyakan anggrek Phalaenopsis
untuk menyediakan bibit bermutu dapat dilakukan secara vegetatif maupun
generatif. Metode kultur jaringan dapat digunakan sebagai salah satu perbanyakan
tanaman untuk menghasilkan bibit yang seragam dan dalam jumlah banyak.

Keberhasilan metode ini ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya genotipe
tanaman, umur dan jenis eksplan, dan media kultur yang digunakan. Genotipegenotipe tanaman yang berkarakter unggul hasil persilangan untuk dapat
dimanfaatkan sebagai varietas baru atau sebagai materi pemuliaan selanjutnya
harus melalui tahap seleksi. Marka molekuler merupakan suatu pendekatan yang
dapat digunakan untuk seleksi progeni pada fase bibit sehingga dapat diketahui
progeni yang memiliki genotipe sama atau mirip satu sama lain. Tujuan penelitian
adalah mendapatkan media yang optimal untuk induksi plbs dari eksplan daun
planlet populasi F2 anggrek Phalaenopsis untuk pembentukan liniklon dari setiap
individu tanaman dan karakterisasi molekuler pada populasi F2 anggrek
Phalaenopsis menggunakan marka SSR.
Penelitian ini terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) uji media induksi plbs pada
individu dalam populasi F2; 2) pembentukan liniklon pada populasi F2
menggunakan media terbaik dari percobaan tahap 1; 3) Induksi tunas samping
pada planlet; 4) Isolasi DNA individu dalam populasi F2 dan karakterisasi
molekuler dengan marka SSR. Hasil yang didapatkan pada percobaan uji media
induksi plbs pada individu dalam populasi F2 adalah diperoleh media yang sesuai
untuk induksi plbs yaitu media ½MS (Murashige dan Skoog) dengan penambahan
BAP 0.5 mgL-1 + TDZ 0.5 mg L-1+ 2.4-D 0.2 mg L-1. Respon eksplan
membentuk plbs dalam medium tersebut sebesar 80%.
Pada percobaan

pembentukan liniklon pada populasi F2 diperoleh dua puluh enam aksesi
menghasilkan plbs antara 4-55 dalam 12 MST. Semua aksesi tidak menghasilkan
tunas samping. Pada percobaan karakterisasi molekuler populasi F2 diperoleh tiga
primer menunjukkan pola pita yang polimorfik yaitu primer IPS14, primer
PeGBMS466 dan primer PeGBMS478. Nilai rata-rata PIC yang diperoleh adalah
0.290 dengan nilai PIC tertinggi sebesar 0.38 pada lokus PeGBMS478. Rata-rata
heterozygosity (He) 0.367 dan rata-rata homozygosity (Ho) sebesar 0.491 dengan
nilai He tertinggi pada lokus PeGBMS478 yaitu 0.496. Tingkat kemiripan genetik
antara P1 dengan P2 sebesar 48%, sedangkan kemiripan genetik antara P2, F1 dan
21 progeni F2 sekitar 90%.

Kata kunci: Kemiripan genetik, komposisi media, liniklon, SSR, tunas samping

SUMMARY

EKA FIBRIANTY. Protocorm-like Bodies (plbs) Induction and Molecular
Characterization F2 Population of Phalaenopsis Orchids. Supervised by DEWI
SUKMA and SUDARSONO.

Efforts to increase the availability of Phalaenopsis orchid propagation

material to provide quality propagules can be done either vegetatively or
generatively. Tissue culture methods could be used as an alternative for
vegetative plant propagation to produce uniform seedlings in large quantities.
The success of this method is determined by some factors such as plant genotype,
age and type of explants and culture media. The genotypes of plants from crossing
of superior hybrid could be used for selection of new variety or as material for
plant breeding. Molecular markers is an approach that can be used for plant
selection at early growth so that it can be seen plants which have the same
genotype or similar each other. The research objectives were to get the optimal
medium for induction of plbs from leaf explants of Phalaenopsis orchids to make
F2 population liniclone and molecular characterization of the Phalaenopsis
orchid F2 population using SSR markers.
This research consist of 4 phases: (1) plbs medium induction test on F2
populations of Phalaenopsis orchid 2) liniclone formation the F2 population
using the best medium of phase 1; 3) Induction of axillary shoots; (4) Isolation of
DNA individuals in F2 population and molecular characterization by SSR
markers. The results of the phase 1 was an appropriate medium for plbs induction
namely the medium ½MS (Murashige and Skoog) with addition of BAP 0.5 mg L-1
+ TDZ 0.5 mg L-1 + 2.4-D 0.2 mg L-1. Explants forming plbs response in the
medium was 80%. On the phase 2, twenty-six accessions produce plbs between 455 in 12 weeks after planting. Most plbs formation obtained on the accession 9

(55 plbs) and highest weight on accession plbs 3 (17.45 g). On the phase 3, all
accessions did not produce axillary shoots until 12 weeks after planting. On the
phase 4, in experiments of the molecular characterization of F2 population, three
primary showed polymorphism banding pattern namely IPS14, PeGBMS466 and
PeGBMS478 primary. The average PIC value obtained was 0.290 with the
highest PIC value was 0.38 on PeGBMS478 locus. The average heterozygosity
(He) 0.367 and average homozygosity (Ho) 0.491 with the He highest score at the
locus PeGBMS478 was 0.496. Level of genetic similarity between P1 to P2 by
48%, while the genetic similarity between P2, F1, F2 and 21 progeny was
approximately 90%.

Key words: Genetic similarity, medium composition, liniclone, SSR, axillary shoot

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INDUKSI Protocorm-like Bodies (PLBs) DAN
KARAKTERISASI MOLEKULER POPULASI F2 ANGGREK
PHALAENOPSIS

EKA FIBRIANTY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Syarifah Iis Aisyiah, MSc. Agr


Judul Tesis : Induksi Protocorm-like Bodies (plbs) dan Karakterisasi Molekuler
Populasi F2 Anggrek Phalaenopsis
Nama
: Eka Fibrianty
NRP
: A253100201
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Dewi Sukma, SP, MSi
Ketua

Prof. Dr. Ir Sudarsono, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi

Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K., MS

Dr.Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Juli 2013

Tanggal Lulus:......................

Judul Tesis : lnduksi Protocorm-like Bodies (Plbs) dan Karakterisasi Molekuler
Populasi F2 Anggrek Phalaenopsis
: Eka Fibrianty
Nama
: A253100201
NRP

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Dewi Sukma, SP, MSi
Ketua

Prof. Dr. Ir Sudarsono, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman

Dr. Ir. Yudiwa ti Wahyu E.K., MS

Tanggal Ujian: 26 Juli 2013

luv LJ13
Tanggal Lulus .18

......................
.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Aspek yang dipilih
dalam penelitian ini berkaitan dengan komoditas anggrek dengan judul “Induksi
Protocorm-like Bodies (plbs) dan Karakterisasi Molekuler Populasi F2 Anggrek
Phalaenopsis”.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada Dr.
Dewi Sukma SP. MSi dan Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc., selaku komisi
pembimbing atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam
memberikan masukan, arahan, bimbingan dan motivasi sejak penulis mengikuti
pendidikan, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya tesis
ini. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Litbang
Pertanian yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Rasa terimakasih juga disampaikan kepada teman–teman seperjuangan
pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman 2010 Faperta IPB,
untuk persahabatan dan kebersamaan selama masa studi, kepada rekan-rekan di

Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman (Teh Juju Juariah) dan Laboratorium
Biologi Molekuler Tanaman IPB (Mbak Susi, Mas Agus, Bapak Yudiansyah, SSi)
yang telah bersahabat dan berdiskusi selama penulis studi di IPB. Kepada yang
tercinta kedua orang tua, Drs. Aldany Muhammad, MM dan ibu Midayati, suami ,
anak-anak, Giri Pratama, Gezika Ghossani dan adik-adik tersayang, terima kasih
atas segala pengorbanan, pengertian, kesabaran dan doanya selama ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan
khususnya dalam pengembangan komoditas anggrek.

Bogor, November 2013

Eka Fibrianty

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Tujuan Penelitian

2

2 TINJAUAN PUSTAKA

3

3 INDUKSI PROTOCORM-LIKE BODIES (PLBS) PADA POPULASI F2
ANGGREK PHALAENOPSIS
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

11
12
13
15
26

4 KAREKTERISASI MOLEKULER POPULASI F2 ANGGREK
PHALAENOPSIS
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

30
31
32
35
41

5 PEMBAHASAN UMUM

45

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

48
48

DAFTAR PUSTAKA

49

LAMPIRAN

59

RIWAYAT HIDUP

63

DAFTAR TABEL
3.1
3.2
4.1
4.2

Respon eksplan daun planlet pada berbagai komposisi media
induksi plbs pada 6 minggu setelah tanam
Komposisi hormon alami dalam air kelapa
Jenis primer dan parameter keragaman genetik 24 aksesi anggrek
Phalaenopsis berdasarkan marka SSR
Hasil skoring pada tujuh turunan F2 dan tetua P1, P2 dan F1
menggunakan marka SSR

16
18
36
40

DAFTAR GAMBAR
1.1
2.1
2.2
2.3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5

Bagan alir penelitian
Bagian utama bunga anggrek Phalaenopsis
Morfologi Buah dan daun anggrek Phalaenopsis
Morfologi Batang dan akar anggrek Phalaenopsis
Inisiasi dan perkembangan plbs pada eksplan daun anggrek
Keragaan plbs pada beberapa aksesi individu dalam populasi F2
Respon perbedaan aksesi anggrek terhadap jumlah plbs
Respon perbedaan aksesi anggrek terhadap bobot plbs
Keragaan beberapa aksesi anggrek Phalaenopsis
pada media ½MS+BAP 0.5 mg L-1 12 MST
Respon perbedaan aksesi anggrek terhadap panjang daun 12 MST
Respon perbedaan aksesi anggrek terhasap lebar daun 12 MST
Kisaran jumlah akar planlet anggrek Phalaenopsis 12 MST
Kisaran panjang akar anggrek planlet anggrek Phalaenopsis 12 MST
Materi genetik untuk ekstraksi DNA
Visualisasi profil pita hasil PAGE pada P1, P2, F1 dan 21 aksesi F2
anggrek Phalaenopsis dengan primer PeGBMS446
Visualisasi profil pita hasil PAGE pada P1, P2, F1 dan 21 aksesi F2
anggrek Phalaenopsis dengan primer IPS14
Visualisasi profil pita hasil PAGE pada P1, P2, F1 dan 21 aksesi F2
anggrek Phalaenopsis dengan primer PeGBMS478
Dendrogram analisis UPGMA pada dua puluh satu progeni F2
dengan tetua F1, P1 dan P2 menggunakan tujuh marka SSR

2
4
4
5
15
20
21
21
23
23
24
24
25
33
37
37
38
39

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Primer dan sekuen yang digunakan untuk mendeteksi polimorfisme
pada anggrek Phalaenopsis
Komposisi media MS
Komposisi lengkap air kelapa

59
61
62

1

PENDAHULUAN

Permintaan anggrek dalam negeri cenderung meningkat. Direktorat
Perbenihan dan Sarana Produksi Direktorat Jenderal Hortikultura (2012) mencatat
bahwa impor anggrek di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Impor anggrek tahun 2010 sebesar 40.154 US$ dan pada tahun 2011 meningkat
menjadi 48.899 US$. Nilai ekonomi bunga anggrek Phalaenopsis ditentukan oleh
jenis, keindahan, bentuk, warna dan ukuran bunga. Jenis anggrek Phalaenopsis
yang banyak diperdagangkan dewasa ini adalah jenis bunga standar dengan
tangkai bunga tunggal, ukuran bunga besar dan jumlah bunga per tangkai banyak
dan jenis berbunga bercorak (novelty) ataupun multiflora dengan tangkai bunga
bercabang-cabang (Chen et al. 2006).
Salah satu kendala dalam pengembangan agribisnis tanaman hias di
Indonesia, khususnya anggrek adalah terbatasnya ketersediaan bibit dari varietas
unggul baru yang berkualitas (Gow et al. 2009). Upaya peningkatan ketersediaan
materi perbanyakan anggrek Phalaenopsis untuk menyediakan bibit bermutu
dapat dilakukan secara vegetatif maupun generatif. Secara vegetatif Phalaenopsis
diperbanyak dengan induksi tunas samping ataupun induksi meriklon atau mata
tunas dari tangkai bunga dalam kultur in vitro (Tokuhara dan Mii, 2003). Masih
terbatasnya teknologi perbanyakan anggrek Phalaenopsis dalam waktu yang cepat
dan sesuai induknya, menjadi salah satu hambatan bagi pemulia untuk melepas
varietas baru hasil silangannya terkait dengan ketersediaan benih (Goh, 1990).
Karakter individu calon varietas unggul baru bisa diketahui setelah
tanaman berbunga (sekitar 3.5 tahun setelah penyemaian benih). Individu unggul
terseleksi dari populasi persilangan selanjutnya diperbanyak secara klonal dengan
kultur jaringan untuk mendapatkan sejumlah besar bibit yang memiliki genotipe
yang sama dengan induknya. Keberhasilan metode kultur jaringan ditentukan oleh
banyak faktor, diantaranya adalah genotipe tanaman, media, umur, jenis eksplan
yang digunakan dan lain-lain (Chen et al. 2001). Eksplan yang umumnya
digunakan adalah tangkai bunga yang mengandung mata tunas (Tokuhara dan Mii
2003; Winarto et al. 2013), daun (Chowdhury et al. 2003; Chung et al. 2007; Kuo
et al. 2005; Park et al. 2002; Rianawati et al. 2009; Winarto et al. 2013) dan
infloresen/kuncup bunga (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002; Vendrame et al.
2007).
Pemuliaan anggrek Phalaenopsis dapat dilakukan melalui persilangan
antar spesies, spesies dengan hibrida maupun hibrida dengan hibrida (Yusnita,
2012). Seleksi untuk kualitas bunga dilakukan setelah tanaman berbunga, dimana
untuk Phalaenopsis membutuhkan waktu 3.5 tahun setelah penyemaian benih.
Individu-induvidu dalam populasi F1 atau F2 kemungkinan ada yang sama
genotipenya, sehingga jika dua atau lebih individu atau liniklon memiliki genotipe
yang sama harus bisa diseleksi pada fase bibit di kultur in vitro. Pengelompokkan
dini pada fase bibit dapat menggunakan ciri morfologi maupun molekuler.
Marka molekuler merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan
untuk seleksi liniklon pada fase bibit sehingga dapat diketahui liniklon yang
memiliki genotipe sama atau mirip satu sama lain. Salah satu marka yang
digunakan adalah marka Simple Sequence Repeat (SSR). Marka SSR memiliki

2
keunggulan yaitu bersifat kodominan, polimorfismenya tinggi, lokus tersebar di
dalam genom dalam jumlah banyak, dan sampel DNA yang dibutuhkan sedikit
karena dalam melakukan deteksi menggunakan PCR (Polimerase chain reaction)
yang dapat menggandakan DNA dalam kondisi in vitro (Tmnykh et al. 2000).
Marka SSR adalah marka yang berdasarkan sejumlah sekuen DNA yang berulang
dan menjadi salah satu marka yang banyak digunakan dalam beberapa penelitian
mengenai keragaman genetik pada beberapa komoditas pertanian, antara lain
anggrek Phalaenopsis (Fatimah dan Sukma 2011), anggrek Vanda (Phuekvilai et
al. 2009), anggrek Dendrobium (Boonsrangsom et al. 2008), jati (Boer 2007),
kelapa (Riberio et al. 2010) dan lain-lain. Marka molekuler juga dapat digunakan
untuk identifikasi tetua pada anggrek Vanda (Phuekvilai et al. 2009) dan tanaman
rosa villosa (Nybom 2004).
Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknologi perbanyakan klonal
anggrek Phalaenopsis populasi F2 hasil selfing hibrida F1 (Phal. Phuket Beauty x
Phal. Zauberrose secara in vitro dan identifikasi keragaman genetik pada populasi
F2 anggrek Phalenopsis. Rangkaian kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Populasi F2 Anggrek
Phalaenopsis

Planlet in vitro

Induksi tunas
samping

Pendewasaan
planlet
(Pengakaran)

Aklimatisasi in vivo

Tanaman in vivo
dari individu dalam
populasi F2

Induksi plbs melalui
organogenesis dari
eksplan daun

Multiplikasi
plbs

Karakterisasi
molekuler dengan
marka SSR

Mapping populasi
F2 berdasarkan
marka SSR

Regenerasi planlet

Populasi liniklon
dari individu dalam
populasi F2
Gambar 1.1 Bagan alir penelitian

Keragaman genetik
dan tingkat
kemiripan genetik
dari individu
populasi F2

3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Anggrek
Tanaman anggrek merupakan tipe tanaman yang memiliki kecepatan
tumbuh yang relatif lambat, tergantung faktor genetik dan kondisi lingkungan
tumbuh serta teknik budidaya yang dilakukan. Secara genetik anggrek terdiri dari
spesies asli atau dikenal sebagai anggrek alam dan hibrida yang dihasilkan dari
persilangan antar spesies ataupun antar genus. Phalaenopsis merupakan salah satu
genus yang terkenal dalam famili Orchidaceae. Genus anggrek Phalaenopsis
terdiri dari sekitar 25.000 – 30.000 spesies, kurang lebih 5000 spesies di antaranya
ada di Indonesia. Spesies yang sangat terkenal adalah Phalaenopsis amabilis atau
dijuluki anggrek bulan (Yusnita, 2012).
Anggrek Phalaenopsis tersebar luas mulai dari Malaysia, Indonesia,
Filipina, Papua, hingga ke Australia. Secara alami, Phalaenopsis hidup secara
epifit dengan menempel pada batang atau cabang pohon di hutan-hutan dan
tumbuh subur hingga 600 meter di atas permukaan laut. Anggrek merupakan
tanaman herba tahunan dengan pertumbuhan vertikal dan tipe pertumbuhan
monopodial yang menyukai sedikit cahaya matahari sebagai penunjang hidupnya.
Daunnya berwarna hijau dengan bentuk memanjang. Bunganya memiliki ukuran
yang bervariasi dengan diameter 2-20 cm (Arditti, 1992).
Kedudukan anggrek bulan dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan
sebagai berikut (Arditi, 1992):
Divisio
:
Spermatophyta
Subdivisio
:
Angiospermae
Kelas
:
Monocotyledonae
Ordo
:
Orchidales
Famili
:
Orchidaceae
Genus
:
Phalaenopsis
Spesies
:
Phalaenopsis amabilis L.
Di antara jenis anggrek yang terdapat di Indonesia, anggrek Phalaenopsis
merupakan salah satu anggrek kebanggaan nasional. Anggrek bulan
(Phalaenopsis amabilis L.) adalah salah satu spesies dari genus Phalaenopsis
yang cukup populer dan dianggap cukup penting karena peranannya sebagai induk
dapat menghasilkan berbagai keturunan atau hibrida.
Morfologi anggrek bulan
Bunga
Bunga anggrek Phalaenopsis memiliki lima bagian utama, yakni sepal
(kelopak bunga), petal (mahkota bunga), benang sari, putik, dan ovari (bakal
buah). Bedanya, sepal dari famili anggrek ini tidak berwarna hijau, melainkan
berwarna indah seirama dengan warna petalnya. Benang sari dan tangkai kepala
putik menjadi satu membentuk suatu struktur yang disebut column (Inggris) atau
gynostemium (Latin). Column anggrek tidak mempunyai tepung sari seperti

4
bubuk, tetapi mempunyai tepung sari yang berupa gumpalan yang disebut polinia.
Polinia ini melekat pada ujung column melalui suatu struktur yang disebut
plasenta dan tertutup sebuah tudung yang disebut cap (Arditi, 1992). Bagian
utama bunga anggrek Phalaenopsis dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Sepal tengah

polinia

Petal

Sepal
lateris

labelum

Gambar 2.1 Bagian utama bunga anggrek Phalaenopsis

Buah
Buah anggrek berbentuk kapsul yang berwarna hijau dan jika masak
mengering dan terbuka dari samping. Bijinya sangat kecil dan ringan, sehingga
mudah terbawa angin. Biji-biji anggrek tidak memiliki endosperm sebagai
cadangan makanan , sehingga untuk perkecambahannya dibutuhkan nutrisi yang
berfungsi untuk membantu pertumbuhan biji. Perkecambahan di alam sangat sulit
jika tanpa bantuan fungi (jamur) yang disebut mikoriza yang bersimbiosis dengan
biji-biji anggrek tersebut. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai, hifa atau benang
dari mikoriza akan menembus embrio anggrek melalui sel-sel suspensor. Fungi
tersebut dicerna sehingga terjadi pelepasan nutrisi sebagai bahan energi yang
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan perkecambahan biji-biji
anggrek. Waktu yang diperlukan sejak pembuahan hingga buah masak bervariasi
tergantung genus atau spesiesnya. Umur masak buah untuk anggrek Phalaenopsis
adalah 4-6 bulan. Morfologi buah anggrek Phalaenopsis dapat dilihat pada
Gambar 2.2.

A

B

Gambar 2.2 Morfologi buah dan daun anggrek Phalaenopsis: (A) Buah anggrek
Phalaenopsis; (B) Daun anggrek Phalaenopsis

5
Daun
Helaian daun anggrek berdaging berwarna hijau tua. Permukaan daun
dilapisi kutikula (lapisan lilin) yang dapat melindungi dari serangan hama dan
penyakit. Kedudukan daun tersusun secara berjajar berselingan. Daun anggrek
memiliki ciri khas bertulang daun sejajar. Bentuknya berbeda-beda, ada yang
memanjang dan ada yang membulat tergantung pada spesies . Panjang daun antara
20 cm – 30 cm dan lebar 3 cm – 12 cm. Batang dan daun anggrek mengandung
klorofil, hal ini sangat membantunya memaksimalkan penyerapan sinar matahari
untuk fotosintesis dalam habitatnya di hutan yang minim cahaya. Morfologi daun
anggrek Phalaenopsis dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Batang
Pertumbuhan batang anggrek Phalaenopsis bersifat monopodial, yaitu
meninggi atau vertikal pada satu titik tumbuh dan terdiri dari hanya satu batang
utama. Pola pertumbuhan monopodial dicirikan oleh karakter antara lain tanaman
hanya mempunyai satu poros tumbuh vertikal, tanaman tidak menumbuhkan tunas
anakan, pertumbuhan tajuk terjadi secara indeterminate (tunas tumbuh terus, tidak
terbatas), tanaman tidak mempunyai rhizom, terdapat akar adventif yang muncul
dari batang di antara buku-bukunya, infloresens bunga muncul secara lateral ( di
ketiak daun). Tinggi batang anggrek Phalaenopsis 30 – 40 cm (Yusnita, 2012).
Morfologi batang anggrek Phalaenopsis dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Akar udara

A
Gambar 2.3

B
Morfologi batang dan akar anggrek Phalaenopsis: (A) Batang
anggrek Phalaenopsis; (B) akar anggrek Phalaenopsis

Akar
Akar pada anggrek berfungsi untuk mengambil, menyerap, dan
mengantarkan zat hara ke seluruh bagian tanaman. Fungsi lain dari akar adalah
menempelkan dirinya pada tempat atau media tumbuh.Tanaman dikatakan sehat
atau tidaknya dapat dilihat dari akarnya. Akar udara terdapat lapisan velamen
yang berongga dan berfungsi untuk menyerap air dan udara. Akar ini juga dapat
berfotosintesis karena mengandung butiran hijau daun ( klorofil ). Pada lapisan
velamen terdapat Mycorhiza ( myco = cendawan ; rhizome = akar ) atau cendawan
yang hidup dalam akar tumbuhan. Mycorhiza hidup secara simbiosis yaitu

6
dengan memfiksasi fosfat untuk ditukarkan dengan hidrat dari tumbuhan.
Morfologi akar anggrek Phalaenopsis dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Syarat Tumbuh
Tanaman anggrek memerlukan berbagai unsur hara untuk pertumbuhan
optimalnya. Kandungan hara pada pupuk, ketercukupan intensitas cahaya,
kesesuaian suhu dan sirkulasi udara sangat menentukan pertumbuhan dan
perkembangan optimal tanaman anggrek, hingga dapat berbunga dengan kualitas
prima. Sirkulasi udara yang baik dan suhu yang sesuai menjamin ketersediaan
CO 2 untuk fotosintesis dan O 2 untuk respirasi. Persyaratan tumbuh setiap jenis
anggrek berbeda-beda, tetapi semua jenis memerlukan aliran udara yang selalu
bergerak. Manfaat aliran udara ini untuk mencegah timbulnya penyakit akibat
lingkungan yang terlalu basah dan menurunkan suhu udara pada siang hari yang
panas. Cahaya matahari yang dibutuhkan anggrek Phalaenopsis sekitar 20%50%. Berdasarkan kebutuhan suhu, Phalaenopsis termasuk anggrek tipe hangat
yaitu anggrek yang hidup pada daerah yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu
panas. Suhu malam hari yang diperlukan antara 21 0C-24 0C dan siang hari antara
24 0C-29 0C. Tanaman anggrek membutuhkan kelembaban udara pada siang hari
berkisar 50-80% dan pada saat musim berbunga sekitar 50-60%. (Arditi, 1992).
Ketinggian tempat yang ideal untuk tanaman anggrek Phalaenopsis adalah dari
dataran rendah sampai dataran tinggi atau sekitar 500 hingga 1000 m dpl.
Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan salah satu teknik dalam perbanyakan tanaman
secara klonal untuk perbanyakan masal. Keuntungan pengadaan bibit melalui
kultur jaringan antara lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam
jumlah banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (mother stock)
sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan tanaman berikutnya
(Lestari, 2011).
Penggunaan media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat merupakan
faktor yang penting untuk mendapatkan hasil yang optimum. Kombinasi media
dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat akan meningkatkan aktivitas
pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan organogenesis (Davies, 1995). Zat
pengatur tumbuh terdiri dari golongan sitokinin dan auksin. Auksin mempunyai
peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman
yang diberi perlakuan (Gaba, 2005). Pada umumnya auksin digunakan untuk
menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu
pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik, 1987).
Zat pengatur tumbuh adalah suatu persenyawaan organik yang dalam
jumlah sedikit (1 mM) dapat merangsang, menghambat atau mengubah pola
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Davies, 1995). Dalam kultur jaringan
ZPT penting: sitokinin (Kinetin, BAP, Zeatin, 2iP, Thidiazuron), auksin (IAA,
NAA, IBA, 2.4-D, 2.4.5-T, Dicamba, Picloram). Kedua ZPT ini mempunyai
fungsi masing-masing yang berbeda, sitokinin mempengaruhi pembelahan sel
serta pembentukan organ seperti pucuk dan pembentukan embrio somatik (Gaba,

7
2005). Auksin digunakan untuk menginduksi pembentukkan sel dan akar.
Kombinasi antara auksin dan sitokinin berfungsi untuk menginduksi pertumbuhan
kalus. Selain auksin dan sitokinin digunakan juga giberelin (menginduksi
pemanjangan tunas dan perkecambahan embrio, dan menghambat pengakaran) dan
retardan (untuk menghambat pertumbuhan tunas) seperti paclobutrazol (Satyavathi
et al. 2004). Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol
proses biologi dalam jaringan tanaman (Davies, 1995). Perannya antara lain
mengatur kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan
mengintegrasikan bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita
kenal sebagai tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan
tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase
fisiologi tanaman (Satyavathi et al. 2004).
Salah satu faktor penentu dalam perbanyakan tanaman dengan kultur in
vitro adalah media. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis
tanaman yang akan diperbanyak (Yong et al. 2009). Setiap tanaman
membutuhkan paling sedikit 16 unsur hara untuk pertumbuhannya, baik berupa
unsur hara makro maupun mikro (Nahar et al. 2011). Media yang digunakan
umumnya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan
juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain (Yong et al. 2009). Zat
pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya
maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur in-vitro yang dilakukan.
Media yang digunakan dalam kultur jaringan anggrek tidak jauh berbeda dengan
media in vitro lainnya. Media tanam adalah senyawa-senyawa organik maupun
anorganik yang dipergunakan untuk pertumbuhan eksplan dan planlet (Nambiar et
al. 2012).
Manfaat teknik kultur jaringan yang utama adalah perbanyakan klon atau
perbanyakan massal dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain
(Kosir et al. 2004). Teknik kultur jaringan juga bermanfaat dalam beberapa hal
khusus, yaitu perbanyakan klon secara cepat, keragaman genetik, kondisi aseptik,
stok tanaman mikro, lingkungan terkendali, pelestarian plasma nutfah, produksi
tanaman sepanjang tahun, dan memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak
secara vegetatif konvensional (Mulgund et al. 2011).

Kultur Jaringan Anggrek
Aplikasi teknik kultur jaringan untuk tujuan-tujuan komersial,
memberikan dampak yang nyata terhadap perkembangan tanaman anggrek
Phalaenopsis. Perbanyakan Anggrek secara vegetatif melalui pemisahan anakan
dan stek, maupun induksi tunas aksiler tidak bisa diandalkan untuk tujuan-tujuan
komersial (Goh, 1990; Arditti, 1992; Kalimutu et al. 2007). Metode kultur
jaringan dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan budidaya
anggrek Phalaenopsis. Saat ini beberapa teknik perbanyakan anggrek
Phalaenopsis sudah banyak dikembangkan.
Beberapa jenis anggrek yang berhasil dikembangkan secara meriklon
menggunakan teknik kultur jaringan diantaranya adalah: jenis Arachnis, Aranda,

8
Aranthera, Ascocenda, Dorotis, Doritaenopsis, Phalaenopsis, Dendrobium,
Rhyncostylis, Vanda dan lain-lain. Media dasar yang umum digunakan adalah
medium Vacin dan Went (VM), Murashige dan Skoog (MS), Knudson C dan
White (Kerbauy, 1984; Goh, 1990; Sagawa, 1990; Seeni dan Latha 1992; Chen
dan Chang 2001; Seeni dan Latha, 2000; Chowdhury et al. 2003).
Perkembangan penelitian meriklon anggrek berkembang pada tahun 1990an, diantaranya oleh Duan et al. (1996) yang mengembangkan metode
perbanyakan menggunakan eksplan daun, akar atau jaringan ujung tunas yang
sebelumnya diberi perlakuan 6-benzyladenine untuk menginduksi tunas muda
anggrek sebagai eksplan. Seluruh prosedur proliferasi secara lengkap
membutuhkan waktu sekitar 7 bulan dan kurang lebih 2300 plantlet dapat
diperoleh dari eksplan awal. Media yang digunakan sangat sederhana yaitu
menggunakan 3.5 g L-1 Hyponex (N:P:K= 6.5%: 6.0%:19%) yang
dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh Zeatin, 2ip, kinetin dan BA pada
konsentrasi 2 dan 10 mg L-1 untuk pemanjangan batang tunas (1 cm). Setelah
pemanjangan, irisan batang dipindahkan pada media Hyponex yang berisi pepton
2 g L-1. Hasil yang diperoleh paling baik pada penggunaan BA 10 mg L-1,
sementara dengan zeatin, kinetin dan 2ip menunjukkan efek yang lebih lemah.
Berbeda dari penelitian Duan et al. (1996), penelitian yang lebih awal dari Chen
dan Piluek (1995), menggunakan eksplan awal berupa tangkai bunga yang
mengandung mata tunas yang ditanam pada media Vacin dan Went yang
ditambahkan air kelapa 15% dan thidiazuron 5-40 µM atau BAP 10-40 µM.
Efisiensi induksi tertinggi diperoleh dari media Vacin dan Went yang ditambah
thidiazuron 5-10 µM. Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman
Phalaenopsis direalisasikan menggunakan media setengah nutrisi Murashige dan
Skoog (MS) yang ditambahkan thidiazuron 0-1 mg L-1 dan 2.4dichloropenoxyacetic acid (2.4-D) 0-10 mg L-1. Pembentukan kalus
membutuhkan waktu selama 2 bulan. Plbs terbentuk dari kalus tersebut pada
media 0.5 MS yang ditambah thidiaruron saja sebanyak 0.1-1 mg L-1 (Ying-Chun
et al. 2000).
Hasil penelitian Tokuhara dan Mii (2003) menunjukkan bahwa
perbanyakan Phalaenopsis secara meriklon dapat dilakukan dengan menggunakan
tangkai bunga yang mengandung mata tunas. Media digunakan New Dogashima
Medium (NDM) yang mengandung NAA 0.5 µM + BA 4.4 µM + 29.2 mM
sukrosa. Park et al. (2002) dan Chowdhury et al. (2003) juga melakukan
perbanyakan cepat pada Phalaenopsis menggunakan eksplan daun dari kultur
tangkai bunga, namun media yang digunakan lebih sederhana yaitu menggunakan
½MS dan diberi tambahan BAP dan NAA untuk inisiasi. Media dasar dan zat
pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam perbanyakan anggrek
Phalaenopsis secara in vitro.
Meesawat dan Kanchanapoom (2002) menggunakan media VW yang
ditambah peptone 2 g L-1, activated carchoal 2 g L-1, NAA 0.1 mg L-1, BA 1.0 mg
L-1 dan sukrosa 20 g L-1 untuk menginduksi embriogenesis kuncup bunga
Dendrobium. Chung et al. (2005) menggunakan media ½MS dengan 18.16 μM
TDZ yang dikulturkan dalam kondisi terang selama 60 hari dan disubkulturkan
dalam media ½MS tanpa hormon untuk pendewasaan.
Hasil penelitian Widyastoety et al. (2006) pada Dendrobium menunjukkan
bahwa tunas dan kalus embriogenik dapat diinduksi dari eksplan mata tunas

9
samping. Tunas diperoleh dari eksplan yang dikultur pada media VW cair + NAA
1 mg L-1 + Kinetin 1.5 mg L-1, selama 15-18 minggu, sedangkan media VW cair
+ NAA 1 mg L-1 + BAP 1.5 mg L-1 dapat merangsang pertumbuhan plbs pada
umur 9-12 minggu, dengan persentase pertumbuhan plbs 80-90%. Chung et al.
(2007) menggunakan media ½MS dan berbagai konsentrasi thidiazuron 0.3, 1
ppm dan 3 ppm, dengan eksplan daun muda anggrek Dendrobium dari tanaman in
vitro. Hasilnya pertumbuhan dan laju multiplikasi eksplan terbaik pada media
½MS dengan 1 ppm TDZ dan induksi dalam kondisi gelap.

Penanda Molekular
Penanda molekuler atau penanda DNA lebih banyak digunakan sebagai
karakter atau penciri tanaman karena lebih stabil dan terpercaya dibandingkan
karakter morfologi. Karakter DNA lebih unggul apabila digunakan sebagai
karakter penciri tanaman sebab memiliki kestabilan yang sangat tinggi dan tidak
dipengaruhi oleh variasi lingkungan dan dapat terdeteksi pada semua fase
pertumbuhan tanaman (Kumar et al. 2009).
Marka molekuler adalah suatu penanda pada level DNA yang menawarkan
keleluasaan untuk meningkatkan efisiensi pemuliaan konvensional dengan
melakukan seleksi tidak langsung pada karakter yang diinginkan, yaitu pada
marka yang terkait dengan karakter yang membedakan antara individu tanaman
dalam populasi dan jenis tanaman (Semagn, 2006). Analisis molekuler merupakan
analisis yang dilakukan pada tingkat gen maupun ekspresinya yang bertujuan
untuk mengkonfirmasi keberadaan gen melalui metode molekuler seperti PCR
(Schulman, 2007). Sejarah penggunaan penanda untuk mendeteksi karakterkarakter penting pada tumbuhan telah dimulai pada tahun 1923, tetapi pada saat
itu penanda yang digunakan adalah penanda morfologi. Sejak tahun 1980,
penanda morfologi mulai ditinggalkan dan beralih ke penanda berbasis protein
yang dikenal dengan penanda isozym (Liu dan Wu 1998). Penanda morfologi
maupun penanda isozym masih dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga pada tahun
1980, oleh Botsein diperkenalkan penanda molekular pertama yang berbasis
DNA, yaitu Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Setelah itu
muncul penanda yang menggunakan aplikasi PCR seperti Random Amplified
Polymorphic (RAPD) dan microsatellite atau Simple Sequence Repeat (SSR) pada
tahun 1985 (Azrai, 2006).
Semagn (2006) menyatakan bahwa penanda molekular secara garis besar
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan metode deteksinya, yaitu (i) Marka
berbasis hibridisasi seperti RFLP, (ii) Marka berbasis PCR, seperti RAPD, AFLP,
ISSR, SSR, dan (iii) Marka berbasis sekuens DNA seperti SNP. Marka DNA
yang digunakan untuk identifikasi keragaman genetik adalah Mikrosatelit atau
Simple Sequence Repeat (SSR). Manfaat marka molekuler dalam pemuliaan
adalah lebih mengefisienkan pemuliaan konvensional. Seleksi dapat dilakukan
lebih awal, langsung pada sifat yang diinginkan jika marka tersebut terpaut
dengan sifat tertentu (Azrai 2006)

10
Simple sequence repeats juga dikenal dengan mikrosatelit terdiri atas
pengulangan beberapa basa nukleotida, berupa dinukleotida, trinukleotida, atau
tetranukleotida, yang tersebar disepanjang genom kebanyakan spesies eukariotik
(Powell 1996). Marka SSR dapat digunakan untuk mendeteksi aksesi tanaman
yang berkerabat dekat secara lebih baik dibandingkan dengan marka molekuler
yang lain (Kumar et al. 2009). Mikrosatelit banyak digunakan sebagai alat untuk
pemetaan genetik dan diagnosis genetik tanaman (Varshney et al. 2005),
mengakses keragaman genetik aksesi kapas (Khan et al. 2009), untuk
mengidentifikasi struktur genetik (Kashyap et al. 2005; Park et al. 2009),
identifikasi tetua anggrek Vanda (Phuekvilai et al. 2009).
Marka SSR merupakan marka kodominan dan dapat mendeteksi variasi
alel yang tinggi, penggunaan 12 pasang primer SSR menghasilkan alel yang
spesifik pada 14 genotipe padi. Primer tersebut menghasilkan total 87 alel
(Upadhyay et al. 2011). Sejalan dengan penelitian Molla et al. (2010)
menunjukkan bahwa penggunaan 3 pasang primer SSR dapat mengidentifikasi
alel spesifik pada 6 varietas kacang tanah. Tiga primer menghasilkan total 13 alel
dengan ukuran mulai dari 109bp sampai 241bp. Demikian juga hasil penelitian
Phuekvilai et al. (2009) menunjukkan bahwa sembilan pasang primer SSR yang
digunakan dalam identifikasi anggrek Vanda menghasilkan rata-rata 3 sampai 9
alel perlokus dan nilai heterosigositas berkisar 0.3150 – 0.7438.
Menurut Powell et al. (1996), beberapa pertimbangan untuk penggunaan
marka mikrosatelit dalam studi genetik di antaranya (1) marka terdistribusi secara
melimpah dan merata dalam genom eukariot, variabilitasnya sangat tinggi
(banyak alel dalam lokus), sifatnya kodominan dan lokasi genom dapat diketahui;
(2) merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat
tinggi; (3) merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe,
evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotipe untuk karakter yang
diinginkan; (4) studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik. Kelemahan
SSR antara lain dalam amplifikasi DNA memerlukan pasangan primer spesifik,
sekuen genom yang akan diamplifikasi harus diketahui dan biaya pengembangan
tinggi.

11
INDUKSI PROTOCORM-LIKE BODIES (PLBs) DAN PROLIFERASI
TUNAS SAMPING ANGGREK PHALAENOPSIS POPULASI F2

Abstract
Clonal propagation of Phalaenopsis orchids by tissue culture techniques
has been used for mass propagation of either newly developed orchid varieties or
the parent candidates for subsequent hybridizations. The objectives of this study
were to define suitable medium for protocorm-like bodies (plbs) induction from
leaf explant and for axillary shoot proliferation from F2 plantlets of Phalaenopsis.
The F2 plantlets were obtained from self polination of a commercial Phalaenopsis
F1 hybrid (Ph. Phuket Beauty x Ph. Zauberrose). Eight medium compositions
were tested for plbs induction. The best medium for plbs induction was half
strength (½) MS basal medium supplemented with 0.5 mg L-1 BAP, 0.5 mg L-1
TDZ and 0.2 mg L-1 2.4-D. In this plbs induction medium, as much as 80% of
excised leaf explants produced plbs. The ranged of plbs regenerated from each
excise leaf explant were 4-55 in 12 weeks of incubation period. On the other hand,
no shoot proliferation was observerd from F2 plantlets in the half strenght (½)
MS basal medium supplemented with 0.5 mg L-1 BAP, even after 12 weeks of
incubation in the medium.

Key words : Leaf explant, medium composition, plantlet, micropropagation,
vegetative multiplication

12
Pendahuluan

Perbanyakan vegetatif anggrek Phalaenopsis dapat dilakukan dengan
menggunakan jaringan somatis tanaman, sehingga tumbuh menjadi Protocormlike bodies (PLBs) yang kemudian dapat diregenerasikan menjadi planlet
(Gnasekaran et al. 2010). Protocorm-like bodies adalah struktur yang menyerupai
protocorm yang terbentuk dari jaringan eksplan atau kalus in vitro (Akter et al.
2007). Perbanyakan klonal anggrek Phalaenopsis yang lambat menjadi salah satu
hambatan bagi pemulia untuk melepas varietas baru hasil silangannya karena
ketersediaan bibitnya yang masih terbatas (Goh, 1990).
Salah satu faktor penentu keberhasilan kultur jaringan anggrek
Phalaenopsis adalah tersedianya media tanam yang tepat untuk perbanyakan
massal dalam waktu yang cepat (Nambiar et al. 2012). Media yang digunakan
berpengaruh terhadap pembesaran protokorm, perbanyakan tunas maupun
pembentukan akar (Nahar et al. 2011). Media yang digunakan untuk perbanyakan
anggrek dalam kultur in vitro hampir sama dengan media kultur pada umumnya.
Pada umumnya media kultur jaringan mengandung unsur hara makro dan mikro,
sukrosa, vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh (Yong et al. 2009). Media
dasar yang pertama kali digunakan untuk kultur jaringan anggrek adalah media
Vacin dan Went (1949). Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman anggrek
Phalaenopsis menggunakan media setengah komposisi media dasar Murashige
dan Skoog (1962).
Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman (Davies, 1995). Penggunaan zat pengatur tumbuh
di dalam kultur jaringan tergantung pada tujuan atau arah pertumbuhan tanaman
yang diinginkan (Simon dan Petrasek, 2011). Kombinasi media dasar dan zat
pengatur tumbuh yang tepat akan meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam
proses morfogenesis dan organogenesis. Zat pengatur tumbuh terdiri dari
golongan sitokinin dan auksin. Auksin mempunyai peran ganda tergantung pada
struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan (Gaba,
2005). Auksin pada umumnya digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus,
kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan dan pembelahan sel
di dalam jaringan kambium (Pierik, 1987). Dalam proses pembentukan organ
seperti tunas atau akar ada interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang
ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang
diproduksi oleh jaringan tanaman (Satyavathi et al. 2004). Penambahan auksin
atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur
tumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi faktor pemicu dalam proses
tumbuh kembang jaringan tanaman (Davies, 1995).
Propagasi klonal anggrek Phalaenopsis terkendala oleh terbatasnya
eksplan dari individu hibrida terpilih dan laju propagasi kultur yang umumnya
masih lambat (Tokuhara dan Mii, 2003). Pemilihan eksplan diduga
mempengaruhi keberhasilan propagasi. Penggunaan eksplan yang berasal dari
jaringan tanaman yang masih muda memiliki daya regenerasi yang lebih baik
dibandingkan eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang sudah tua
(Jimenez, 2005). Penggunan jaringan muda (petal bunga) pada kultur anggrek

13
Oncidium sp dapat meningkatkan regenerasi dan perakaran planlet (Kalimuthu et
al. 2007).
Sebelum genotipe tanaman yang berkarakter unggul hasil persilangan
dapat dimanfaatkan sebagai varietas baru atau sebagai materi pemuliaan, maka
harus melalui tahapan seleksi (Kuo et al. 2007). Salah satu alternatif pendekatan
untuk percepatan perolehan varietas baru adalah dengan mengembangkan liniklon
dari individu-individu dalam populasi tanaman hibrida lebih awal sehingga ketika
lini hibrida tertentu diketahui mempunyai sifat-sifat unggul pada saat tanaman
berbunga, bibit liniklon dari hibrida terpilih sudah tersedia di laboratorium
(Winarto et al. 2013). Laju multiplikasi masing-masing lini pada populasi F2
dalam kultur jaringan tidak selalu sama. Hasil penelitian Rianawati et al. (2009)
menunjukkan adanya variasi respon kemampuan membentuk plbs/tunas pada
berbagai genotipe tanaman anggrek Phalaenopsis.
Anggrek Phalaenopsis termasuk dalam kelompok anggrek monopodial
yang memiliki dominansi apikal kuat sehingga pertumbuhan tunas aksilar menjadi
terhambat (Kisor dan Devi 2009). Dominasi apikal pada anggrek Phalaenopsis
diduga dapat dikurangi dengan penggunaan zat pengatur tumbuh dari kelompok
sitokinin, sehingga tunas baru bisa dihasilkan (Kosir et al. 2004). Proliferasi tunas
samping dari planlet diharapkan dapat menghasilkan tunas baru yang secara
genetik sama dengan tanaman induk dalam waktu yang relatif lebih singkat (Kosir
et al. 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi media yang cocok untuk
induksi plbs dari eksplan daun dan proliferasi tunas samping dari planlet anggrek
Phalaenopsis populasi F2.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian serta Bahan Tanaman
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor mulai bulan
Oktober 2011 sampai dengan bulan Januari 2013. Bahan tanaman yang digunakan
adalah populasi F2 anggrek Phalaenopsis yang sudah berbentuk planlet. Populasi
F2 tersebut dihasilkan dari penyerbukan sendiri satu individu hibrida F1 hasil
persilangan antara Phalaenopsis Phuket Beauty (P1) dengan Phalaenopsis
Zauberrose (P2).
Media induksi plbs dari daun muda
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi media terbaik untuk
perbanyakan anggrek Phalaenopsis populasi F2 dengan menggunakan bahan
eksplan potongan daun. Media dasar yang digunakan ialah setengah konsentrasi
media Murashige dan Skoog (1962). Percobaan disusun menggunakan rancangan
acak lengkap, dengan delapan macam komposisi media sebagai perlakuan, yaitu:

14
M-1 = ½MS+BAP 0.5 mg L-1
M-2 = ½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 0.5 mg L-1
M-3 = ½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 1.0 mg L-1
M-4 = ½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 1.5 mg L-1
M-5 = ½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 0.5 mg L-1+2.4-D 0.2 mg L-1
M-6 = ½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 1.0 mg L-1+2.4-D 0.4 mg L-1
M-7 = ½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 1.5 mg L-1+2.4-D 0.6 mg L-1
M-8 = ½MS+air kelapa 100 ml L-1
Daun yang digunakan sebagai eksplan adalah daun ke-2 dan ke-3 dari
pucuk planlet. Setiap perlakuan komposisi media terdiri atas 3 ulangan, tiap
ulangan terdapat 5 botol dan setiap botol berisi 1 eksplan potongan daun. Kultur
diinkubasi dalam ruang gelap hingga terbentuk plbs dan jika plbs sudah terbentuk
kultur dipindah ke ruang kultur terang dengan intensitas cahaya sekitar 2000 lux
dan suhu ruang kultur sekitar 200C. Peubah yang diamati adalah persentase
eksplan hidup (berapa lama daun tetap hijau pada medium perlakuan), perubahan
warna eksplan pada akhir pengamatan, % eksplan membentuk kalus dan %
eksplan membentuk plbs.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Pembentukan liniklon pada populasi F2
Percobaan ini bertujuan untuk memperbanyak individu-individu dalam
populasi F2 anggrek Phalaenopsis hasil selfing hibrida F1 dengan menggunakan
media terbaik yang diperoleh dari Percobaan 1. Dalam percobaan ini digunakan
eksplan daun dari 40 aksesi planlet populasi F2 tersebut di atas. Daun yang
digunakan sebagai eksplan adalah daun ke-2 dan ke-3 dari pucuk. Kultur
diinkubasi dalam ruang gelap hingga terbentuk plbs dan jika plbs sudah terbentuk
kultur dipindah ke ruang kultur terang dengan intensitas cahaya sekitar 2000 lux
dan suhu ruang kultur sekitar 200C. Peubah yang diamati adalah persentase
eksplan hidup (berapa lama daun tetap hijau pada medium perlakuan), waktu
muncul plbs (Minggu Setelah Tanam), jumlah plbs yang terbentuk dan bobot
plbs.
Induksi Tunas Samping dari Eksplan Planlet
Percobaan ini bertujuan untuk menginduksi tunas samping dari eksplan
planlet populasi F2 anggrek Phalaenopsis. Perbanyakan melalui induksi tunas
samping diharapkan dapat menekan potensi variasi somaklonal (Kosir et al.
2004). Jika tunas samping dapat di peroleh, maka planlet induk dapat segera
diaklimatisasi untuk evaluasi karakter morfologi, pertumbuhan dan
perkembangannya, sementara tunas samping yang dihasilkan dijadikan sebagai
mother stock untuk bahan eskplan dalam perbanyakan klonal in vitro. Sebanyak
78 individu populasi F2 yang digunakan sebagai sumber eksplan ditanam dalam
media Murashige dan Skoog (1962) dengan penambahan BAP 0.5 mg L-1.
Sebelum penanaman, titik tumbuh eksplan dilukai atau sedikit dicacah. Peubah
yang diamati meliputi persentase planlet bertunas, waktu terbentuknya tunas,
jumlah tunas yang terbentuk, panjang daun, lebar daun, jumlah akar dan panjang
akar.

15
Hasil dan Pembahasan

Media induksi plbs dari daun muda
Dalam media induksi eksplan daun untuk mengalami pembengkakan,
inisiasi kalus dan selanjutnya terbentuk plbs. Contoh tahapan inisiasi dan
perkembangan plbs pada eksplan daun anggrek Phalaenopsis disajikan pada
Gambar 3.1. Respon awal dari eksplan daun anggrek Phalaenopsis adalah
membengkaknya bagian permukaan bawah daun. Umumnya permukaan bawah
daun dekat daerah yang dilukai memiliki kompetensi embriogenik yang tinggi
dibandingkan daerah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa plbs/embrio diduga
muncul dari lapisan epidermis jaringan eksplan. Menurut Gill et al. (2004),
pembengkakan eksplan pada tanaman memberikan indikasi adanya pemanjangan
atau pembesaran sel yang disebabkan adanya 2.4-D. Penelitian Kuo et al. (2007)
pada anggrek Phalaenopsis menunjukkan bahwa embrio somatik sebagian besar
terbentuk dari permukaan bawah daun dekat daerah yang mengalami pelukaan.

B

A

C

D

E

Gambar 3.1 Inisiasi dan perkembangan ptorocorm-like bodies (plbs) pada eksplan
daun anggrek: A. pembengkakan pada pinggir daun ; B. plbs sudah
membesar; C. plbs yang terbentuk pada media M1 (½MS+BAP 0.5
mg L-1); d. plbs yang terbentuk pada media M5 (½MS+BAP 0.5 mg
L-1+TDZ 0.5 mg L-1+2.4-D 0.2 mg L-1); E. plbs yang terbentuk pada
media M8 (½MS+air kelapa 100 ml L-1)

16
Respon eksplan terhadap media perlakuan pada 6 MST disajikan dalam
Tabel 3.1. Media yang paling baik dalam mempertahankan warna hijau eksplan
adalah media M5 (½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 0.5 mg L-1+2.4-D 0.2 mg L-1).
Semakin lama eksplan dapat dipertahankan tetap berwarna hijau diduga akan
memberi peluang semakin besar untuk terjadinya pembelahan sel-sel baru untuk
membentuk kalus maupun diferensiasi sel membentuk plbs. Penelitian Vendrame
et al. (2007) menunjukkan bahwa eksplan anggrek Doritaenopsis yang tetap
berwarna hijau dalam media kultur menghasilkan jumlah embrio tertinggi pada 12
minggu setelah tanam (MST).
Persentase eksplan hidup tertinggi sebesar 93.3% diamati pada media M5
(½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 0.5 mg L-1+2.4-D 0.2 mg L-1) diikuti oleh media
M1 (½MS+BAP 0.5 mg L-1) sebesar 60%, media M4 (½MS+BAP 0.5 mg L1
+TDZ 1.5 mg L-1) sebesar 53.3%, M3 (½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 1.0 mg L-1)
sebesar 46.6%, M6 (½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 1.0 mg L-1+2.4-D 0.4 mg L-1)
sebesar 33.3% dan M8 (½MS+air kelapa 100 ml L-1) sebesar 33.3% dan paling
rendah pada M2 (½MS+BAP 0.5 mg L-1+TDZ 0.5 mg L-1) dan M7 (½MS+BAP
0.5 mg L-1+TDZ 1.5 mg L-1+2.4-D 0.6 mg