Kaji Banding Kemampuan Bertahan Terhadap Proses Pembekuan Spermatozoa Sapi Simmental, Limousin dan Fries Holstein

ABSTRACT
Freezability Comparison of Simmental, Limousin and Fries Holstein Spermatozoa
Nugraha, F. W. Komariah dan Arifiantini, R. I

The purpose of this research was to study and to compare the freezability of
Simmental, Limousin and Fries Holstein (FH) frozen semen from Lembang Artificial
Insemination Centre, Bandung, West Java. In total 24 bulls were used in this study
consist of 8 Simmental, 8 Limousin and 8 FH, ages 4 years old with a weight of
800-900 kg. Secondary data were taken from the period of November to December
2010. The data was collected from raw semen, before freezing, post thawing motility
and longevity. The results showed that spermatozoa motility of raw and before
freezing semen from Simmental significantly higher (P0,05) between post thawing motility, longevity
and value of recovery rate among three breeds.
Keywords : Semen quality, Freezability, Simmental, Limousin, Fries Holstein

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi makanan secara global akan meningkat 40-50 persen pada tahun
2050 (Food and Agriculture Organization, 2010). Peningkatan konsumsi makanan
khususnya akan lebih cepat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut informasi Badan Pusat Statistik (2010) pertambahan penduduk Indonesia

rata-rata 1,25% per tahun, jumlah penduduk yang tercatat di badan pusat statistik
tahun 2000 yaitu 206.264.595 jiwa dan tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa. Jumlah
penduduk yang terus bertambah harus diimbangi dengan peningkatan ketahanan
pangan berupa kebutuhan protein hewani dengan cara pembangunan sektor pertanian
yang berkelanjutan.
Pembangunan sektor pertanian yang berkelanjutan, tidak hanya berbicara
tentang perkembangan mengenai sisi pasok tetapi juga mengedepankan aspek
permintaan yang terkait pola konsumsi. Bibit sapi yang berpotensi yaitu Simmental,
Limousin dan Fries Holstein (FH) karena memiliki pertumbuhan bobot badan harian
yang tinggi dan dapat beradaptasi dengan baik.
Berdasarkan road map pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014,
ditargetkan penyediaan daging sapi produksi lokal sebesar 420,3 ribu ton (90%) dan
dari impor sapi bakalan (sapi potong dan sapi perah) sebesar 46,6 ribu ton (10%)
(Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012). Said (2011)
menyatakan sampai saat ini Indonesia masih mengimpor sapi bakalan dan daging
sapi sekitar 30% dari kebutuhan, oleh sebab itu untuk meningkatkan populasi dan
mutu genetik ternak salah satu cara dapat dilakukan aplikasi teknologi reproduksi
inseminasi buatan (IB).
Inseminasi Buatan merupakan cara yang lebih efisien dan efektif dalam
penggunaan semen pejantan untuk membuahi sapi, sehingga dapat meningkatkan dan

memperbaiki populasi sapi di Indonesia. Salah satu kelebihan program IB adalah
daya guna seekor pejantan yang genetiknya unggul dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin, namun IB juga memiliki kekurangan yaitu diperlukan pelaksana yang
terlatih

baik

dan

terampil

untuk

melaksanakan

penampungan,

penilaian,

pengenceran, pembekuan semen dan inseminasi. Inseminasi dapat dilakukan dengan


menggunakan semen beku. Semen beku atau frozen semen adalah semen yang
disimpan pada suhu di bawah titik beku (-79 °C sampai -196 °C). Untuk mengatasi
ketergantungan pada semen beku impor, tahun 1976 didirikan Balai Inseminasi
Buatan (BIB) Lembang (Jawa Barat) dan BIB Singosari, kedua BIB tersebut
merupakan BIB nasional yang melayani kebutuhan semen beku di Indonesia.
Balai Inseminasi Buatan Lembang bergerak dalam usaha memproduksi
semen beku bibit unggul. Semen beku memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan
dalam jangka waktu yang lama, namun memiliki kelemahan yaitu kualitas semen
dapat menurun setelah semen diencerkan, dikarenakan selama proses pembekuan
spermatozoa melewati berbagai suhu ekstrim yang dapat menurunkan kualitas semen
(Nebel, 2007). Menurut Srianto et al. (2009) volume semen, konsentrasi dan
motilitas spermartozoa yang dihasilkan oleh setiap sapi pejantan yang digunakan
untuk proses produksi semen beku berbeda. Selain kualitas semen segar, bangsa sapi
juga berpengaruh terhadap kualitas semen beku yang dihasilkan, hal ini terbukti dari
perbedaan nilai recovery rate (Garner dan Hafez, 2000).
Recovery Rate adalah kemampuan pemulihan spermatozoa setelah
pembekuan dengan cara membandingkan persentase motilitas spermatozoa pada
semen segar dengan post thawing motility. Penilaian Recovery Rate (RR) pada semen
beku sapi Simmental, Limousin dan FH sangat dibutuhkan untuk mengetahui

kemampuan spermatozoa dari masing-masing bangsa terhadap proses pembekuan
(freezability). Tingkat keberhasilan IB yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi produksi, sehingga dapat memenuhi permintaan kebutuhan protein hewani
di Indonesia.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan membandingkan penurunan
kualitas spermatozoa semen beku sapi Simmental, Limousin dan FH di Balai
Inseminasi Buatan Lembang, Bandung, Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA
Bangsa Sapi
Sapi adalah hewan sosial yang hidupnya berkelompok (Bouissou dan Boissy
2005), sedangkan bangsa sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik
tertentu yang sama. Bangsa Taurus (Simmental, Limousin dan FH) memiliki
karakteristik performans yang berbeda sesuai dengan genetiknya (Kuswahyuni,
2008). Karakteristik tersebut dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih
dalam spesies yang sama. Seluruh sapi berpotensi dijadikan sebagai ternak bibit yang
didasarkan pada berbagai faktor.
Sapi asli Indonesia yang meliputi sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi
Aceh dan sapi Hissar, sedangkan kelompok sapi persilangan yaitu bangsa sapi impor

yang meliputi sapi Simmental, sapi Limousin, sapi Angus, sapi Brahman dan sapi
Brangus. Keunggulan yang dimiliki oleh sapi Indonesia pada umumnya adalah daya
adaptasi dan tingkat kesuburan tinggi, persentase karkas lebih tinggi, dapat
digunakan sebagai tenaga kerja dan daya tahan terhadap caplak. Karmita et al.
(2001) menyatakan khususnya sapi Bali memiliki potensi ekonomi yang tinggi
dibandingkan sapi Indonesia lainnya. Adapun sapi persilangan biasanya unggul
dalam hal pertumbuhan bobot badan yang tinggi dan mempunyai kualitas daging
lebih baik.
Sapi merupakan ternak potensial untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu
di Indonesia. Prajogo et al. (2002) menyatakan ternak sapi perah yang potensial di
Indonesia adalah sapi FH, sedangkan ternak sapi potong yang potensial adalah sapi
Limousin dan Simmental. Program peningkatan populasi sapi potong dapat
dilakukan melalui pengendalian pemotongan ternak sapi produktif, pengendalian
penyakit reproduksi dan penyediaan bibit ternak sapi bermutu (Sodiq, 2006). Faktor
yang menentukan efisiensi maksimum produksi susu sapi perah adalah berapa
banyak liter susu yang diproduksi per hari sepanjang hidupnya, sedangkan untuk sapi
tipe pedaging faktor yang menentukan adalah kecepatan tumbuh setiap hari dan dari
bagian karkas yang dapat dimakan (Philips, 2001).

Sapi Fries Holstein

Sapi FH merupakan sapi tipe perah yang banyak terdapat di Indonesia. Sapi
perah ini berasal dari daerah subtropis provinsi Belanda Utara dan daerah Friesland
Barat (Philips, 2001). Sapi ini dikembangkan dari nenek moyang sapi liar Bos
(Taurus) Typicus Primigineus. Sapi FH mempunyai ciri-ciri kepala panjangnya
sedang, mulut lebar dengan hidung terbuka lebar, rahang kuat, dahi lebar, leher
panjang dan warna tubuh belang hitam putih. Hasil penelitian di Thailand, yang juga
negara tropis menunjukan bahwa sapi-sapi perah subtropis dapat beraklimatisasi
dengan baik pada suhu dibawah 18 ºC dan kelembaban di atas 55% (Siregar, 2003).
Sapi FH dapat dikawinkan pertama kali pada umur 15 bulan dimana bobot badannya
mencapai sekitar 400 kg, dan lama bunting sapi FH umumnya 9 bulan (Oklahoma
State University, 2000).
Populasi sapi perah di Indonesia menunjukan perkembangan, selama kurun
waktu 1970 hingga 2009 dari 52.000 ekor menjadi 500.000 ekor. Tahun 1994
produksi susu tercatat 426.727 ton dan meningkat menjadi 750.000 ton pada tahun
2009 (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2009). Philips (2001)
menyatakan FH adalah sapi yang intensif dalam system produksi susu di dunia, di
Inggris 90% produsen susu menggunakan sapi ini karena produksi susu sapi perah ini
dapat mencapai 7342 kg/tahun (Talib et al., 2003). Faktor yang menyebabkan belum
terpenuhinya kriteria mutu susu segar di Indonesia adalah kebutuhan jumlah dan
jenis pakan yang tidak terpenuhi, penerapan sanitasi dan higiene yang tidak benar

dalam proses pemeliharaan, pemerahan serta kebersihan kandang yang kurang
memadai (Mirdhayati et al., 2008). Imbangan rumput lapangan dan konsentrat 70 :
30 merupakan ransum terbaik bila ditujukan untuk meningkatkan kadar lemak susu,
kadar protein dan bahan kering tanpa lemak (Suherman, 2005).
Sapi Simmental
Sapi Simmental adalah bangsa Bos Taurus berasal dari lembah Simme di
Swiss, sapi ini sudah banyak menyebar di daerah Eropa Tengah dan Eropa Timur
(Philips, 2001). Setengah dari ternak di Swiss berasal dari sapi Simmental dan
merupakan jenis ternak sapi yang paling populer di Eropa. Sapi Simmental memiliki
wajah putih dengan tubuh gelap, memiliki tubuh yang besar (sapi jantan dewasa
bobot badannya dari 1.043-1.179 kg, sedangkan sapi betina dewasa bobot badannya

sekitar 658-816 kg) dan dapat beradaptasi dalam berbagai iklim. Simmental memiliki
pertumbuhan yang sangat cepat, sekitar 3 pon (1,4 kg) per hari (Gillespie dan
Flanders, 2009). Sapi ini bukan hanya sapi dwiguna, tetapi triguna karena dapat
berfungsi sebagai sapi pekerja, meskipun Simmental digolongkan dalam tipe triguna,
tetapi pemanfaatan sapi ini umumnya sebagai ternak pedaging karena memiliki
pertumbuhan otot yang sangat baik, menghasilkan karkas yang tinggi dan sedikit
lemak (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2006).
Sapi Limousin

Sapi Limousin berasal dari Perancis keturunan dari Bos Taurus. Sapi
Limousin memiliki bulu warna mulai dari kuning sampai merah keemasan dan
tanduknya berwarna cerah dengan tanduk jantan tumbuh keluar dan melengkung.
Kepala Limousin adalah kecil dan pendek dengan dahi yang lebar dan leher yang
pendek. Sapi jantan dewasa bobot badan 907-998 kg dan bobot badan sapi betina
dewasa 544-635 kg. Sapi Limousin dikenal untuk efektivitas mereka dalam efisiensi
pakan ternak, karkas yang tinggi dan besarnya daerah loin (Gillespie dan Flanders,
2009).
Sapi potong ini termasuk jenis yang berukuran tubuh besar, bentuk tubuh
panjang,

mempunyai

perototan

bagus

dan

kandungan


lemaknya

sedikit,

menghasilkan 63% daging dengan tekstur yang baik, 16% lemak dan 21% tulang dari
bobot karkas, sedangkan pada sapi jenis lain daging yang dihasilkan 43%, lemak
44% dan tulang 13%. Secara genetik Limousin merupakan sapi tipe besar,
mempunyai volume rumen yang besar, voluntary intake (kemampuan menambah
konsumsi diluar kebutuhan yang sebenarnya) yang tinggi dan metabolic rate yang
cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur (Gillespie dan
Flanders, 2009).
Inseminasi Buatan
Aplikasi teknologi IB menggunakan semen beku telah dilakukan di Indonesia
sejak tahun 1972 menggunakan semen beku hasil impor. Produksi semen beku di
Indonesia telah dimulai sejak tahun 1976 di BIB Lembang (Jawa Barat) dan
dilanjutkan di Singosari (JawaTimur) pada tahun 1982 (Feradis, 2010a).
Beberapa keuntungan dari teknik IB menurut Ball dan Peters (2004) adalah :

a. Mendapatkan genetik yang diinginkan jadi dapat disesuaikan dengan

kebutuhan para peternak dan dapat memanfaatkan pejantan yang genetik
unggul dengan semaksimal mungkin.
b. Penghematan biaya, tidak perlu memelihara pejantan yang belum tentu
merupakan pejantan yang terbaik untuk diternakkan.
c. Lebih aman, penggunaan IB dapat menghindari penggunaan hanya satu
pejantan dalam persilangan dengan banyak betina di dalam suatu peternakan.
d. Fleksibel, untuk mendapatkan semen dari pejantan yang berkualitas baik
tidak perlu membawa pejantan ke lokasi, hanya membawa semen saja.
Semen
Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara normal diejakulasikan ke
dalam saluran kelamin betina saat kopulasi yang terdiri atas plasma semen dan
spermatozoa. Semen normal akan mengandung sejumlah spermatozoa yang bergerak
progresif, mati, hidup tetapi immotil atau motilitasnya lemah (Campbell et al.,
2003a). Ejakulat normal semen sapi berwarna krem sampai putih, semen dengan
konsentrasi yang rendah akan terlihat bening, tembus cahaya dan volume semen
berkisar antara 6-8 ml (Garner dan Hafez, 2000).
Karakteristik semen sapi dapat dilihat secara makroskopis dan mikroskopis.
Penilaian secara makroskopis meliputi warna, konsistensi, volume dan pH. Derajat
keasaman (pH) normal untuk semen sapi berkisar antara 6,5-6,9. Menurut Feradis
(2010b) semen sapi yang normal memiliki konsistensi dari sedang sampai kental.

Campbell et al. (2003b) menyatakan bahwa konsentrasi spermatozoa pada sapi
jantan dewasa berkisar antara 800-1200 juta/ml semen. Pejantan dianggap sudah
memuaskan jika memiliki konsentrasi spermatozoa >500 juta/ml dengan nilai
motilitas spermatozoa sapi antara 70-80% (Garner dan Hafez, 2000).
Pengamatan mikroskopis yang harus diperhatikan adalah morfologi
(normalitas) dari spermatozoa. Spermatozoa dalam suatu kelompok mempunyai
kecenderungan untuk bergerak bersama-sama ke satu arah yang menyerupai
gelombang-gelombang yang tebal dan tipis, bergerak cepat atau lamban tergantung
dari konsentrasi spermatozoa yang hidup di dalamnya. Gerakan massa semen yang
memiliki kualitas baik (++), bila terlihat gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang,
kurang jelas dan bergerak lamban, sedangkan kualitas yang sangat baik (+++), bila

terlihat gelombang-gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif (Feradis, 2010b).
Jumlah volume, konsentrasi dan konsistensi dari seekor pejantan sangat bervariasi
hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kondisi masing-masing individu,
seperti kualitas organ reproduksi, umur dan kondisi manajemen peternakan (Gordon,
2004). Persentase motilitas spermatozoa mempunyai korelasi dengan fertilitas,
sehingga motilitas dapat menjadi parameter kualitas semen yang utama (Tappa et
al., 2007). Pengujian konsentrasi spermatozoa dan morfologi spermatozoa
merupakan dasar hubungan kondisi spermatozoa yang dapat menentukan tingkat
abnormal dan dapat berpengaruh pada fertilitas ternak (Januskaukas dan Zilinskas,
2002).
Spermatogenesis
Spermatozoa dibentuk di dalam testes melalui proses yang disebut
spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis
dimana spermatozoa disimpan sampai saat ejakulasi.
Tahapan spermatogenesis meliputi:
a. pembentukan spermatosit primer dan sekunder dari spermatogonia tipe A
b. spermiogenesis atau metamorfosis spermatozoa dari spermatid.
Spermatositogenesis dikendalikan oleh FSH dari adenohypophysa dan
spermiogenesis

berada

di

bawah

pengaruh

LH

dan

testosteron.

Proses

spermatogenesis pada sel-sel kelamin jantan berkembang secara progresif dan
bermigrasi dari membrana basalis ke arah lumen tubuli seminiferi.
a. Fase I (15-17 hari)
Pembelahan mitosis spermatogonia tipe A menjadi dua anak sel yaitu
spermatogonium dorman yang menjamin kontinuitas spermatogonia dan satu
spermatogonium aktif yang membagi diri empat kali hingga akhirnya
membentuk 16 spermatosit primer (2n).
b. Fase II (kurang lebih 15 hari)
Pembelahan meiosis dari spermatosit primer (2n) menjadi spermatosit
sekunder (n)
c. Fase III (beberapa jam)
Pembelahan spermatosit sekunder menjadi spermatid
d. Fase IV (kurang lebih 15 hari)

Metamorfosis spermatosit menjadi spermatozoa tanpa pembelahan sel. Proses
spermatogenesis disini meliputi perombakan radikal bentuk sel dimana
sebagian besar sitoplasma termasuk asam ribo nukleat (ARN), air dan
glikogen terlepas atau menghilang (Nuryadi, 2001).
Spermatid adalah suatu sel bundar yang relatif besar sedangkan spermatozoa
merupakan suatu sel langsing memanjang yang kompak dan motil, dan terdiri dari
kepala dan ekor. Aparat golgi dari spermatid membentuk tudung anterior atau
akrosom spermatozoa dan mitokondria dari sitoplasma berkumpul pada ekor yang
bertumbuh keluar sentriol (Feradis 2010a).
Secara teoritis pada sapi 16 spermatosit primer dan 64 spermatozoa
berkembang dari spermatogonia tipe A, akan tetapi selama meiosis terjadi kehilangan
sel, sekitar 25% yang ditandai oleh adanya inti-inti piknotis. Spermatozoa akhirnya
dilepaskan dari sitoplasma sel-sel sertoli dan memasuki lumen tubuli seminiferi.
Kurang lebih 15 hari setelah terbentuk, spermatogonia dorman mulai membagi diri
dengan cara yang sama dan proses ini berulang secara terus menerus. Fase I, II dan
III disebut spermatositogenesis dan fase IV disebut spermiogenesis. Spermatozoa
sapi

memerlukan

kira-kira

10

hari

untuk

melewati

epididimis,

karena

spermatogenesis pada sapi berlangsung selama 50 sampai 62 hari maka waktu yang
dibutuhkan dari spermatogonia tipe A sampai spermatozoa yang diejakulasikan pada
sapi kira-kira 60 sampai 70 hari (Feradis 2010a).
Spermatozoa
Spermatozoa terbagi atas kepala, akrosom dan ekor. Kepala spermatozoa
umumnya berbentuk oval, datar dan inti mengandung kromatin yang kompak. Inti
spermatozoa terdiri deoksiribonukleat acid (DNA) kompleks yang merupakan
protein dasar disebut dengan protamines spermatozoa (Ax et al., 2000)
Bagian ujung anterior inti spermatozoa di lindungi oleh kantong membran
berlapis ganda dan tipis yang disebut akrosom. Akrosom mengandung enzim
akrosin, hialuronidase dan enzim hidrolitik lainnya yang akan mempengaruhi proses
fertilisasi. Ekor spermatozoa terdiri atas bagian leher, tengah, utama dan ujung. Ekor
spermatozoa mengandung axonema yang ditutupi oleh membran plasma, dimana
axonema tersebut bertanggung jawab terhadap motilitas spermatozoa. Komponen
kimia utama dari spermatozoa adalah asam nukleat, protein dan lipid, sedangkan

unsur pokok inorganik dari spermatozoa adalah phosphor, nitrogen dan sulfur
(Garner dan Hafez, 2000).
Pengencer Semen
Media yang digunakan untuk pengenceran semen tidak hanya menambah
volume tetapi juga dapat mempertahankan kelangsungan dan lama hidup dari
spermatozoa dalam jangka waktu tertentu. Tujuan utama pengenceran semen adalah
untuk memperbanyak volume semen sehingga menambah jumlah betina yang akan
dikawinkan (Campbell et al., 2003b) dan dilakukan untuk menjamin kebutuhan fisik
dan kimiawi spermatozoa (Nuryadi, 2001).
Bahan pengencer semen biasanya menggunakan kuning telur, karena
mengandung lipoprotein dan lesitin yang berfungsi untuk melindungi dan
mempertahankan integritas selubung lipoprotein spermatozoa (Gordon, 2004). Aku
et al. (2007) menyatakan lesitin adalah campuran phosfatida dan senyawa-senyawa
lemak yang meliputi Phosphatidil choline, phosphatidil anolamin dan phosphatidil
inositol yang merupakan bahan penyusun alami pada hewan maupun tanaman.
Zat pelindung yang sering digunakan untuk mempertahankan spermatozoa
dalam jangka waktu yang lama dan mencegah spermatozoa dari pengaruh buruk
pembekuan semen disebut dengan agen krioprotektan. Salah satu krioprotektan yang
sering ditambahkan dalam pengencer semen adalah gliserol. Penambahan gliserol ke
dalam pengencer bergantung pada jenis pengencer, metode pembekuan dan spesies
hewan yang digunakan (Garner dan Hafez, 2000). Penambahan gliserol dapat
mencegah pembentukan kristal es besar, pembentukan kristal es dapat merusak
organel sel secara mekanis misalnya jika lisosom pecah akan mengeluarkan asam
hidrolase yang dapat mencerna bagian lain dari sel, jika mitokondria rusak maka
rantai oksidasi akan terputus (Gordon, 2004).
Semen Beku
Nebel (2007), menyebutkan semen beku atau frozen semen adalah semen
yang disimpan pada suhu di bawah titik beku suhu (-79 °C sampai -196 °C). Salah
satu kerusakan pada spermatozoa selama proses kriopreservasi sampai pencairan
kembali adalah peroksidasi lipid (Waluyo, 2006). Pembekuan semen (kriopreservasi)
merupakan usaha untuk menjamin daya tahan spermatozoa dalam waktu yang lama

melalui proses pengolahan, pengawetan dan penyimpanan semen sehingga dapat
digunakan pada suatu waktu sesuai dengan kebutuhan.
Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan
semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut
lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan
semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang dibekukan
dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan
dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan menyebabkan
kerusakan pada spermatozoa. Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama
proses pembekuan terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga
mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel
itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan
perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel
kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler
yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang
ekstraseluler.
Komposisi dasar sebagai krioprotektan untuk air mani beku adalah: a)
substansi non-ionik dan ion mempertahankan osmolaritas dan menyediakan kapasitas
buffer, b) sumber lipoprotein untuk mencegah kejutan dingin, seperti kuning telur,
susu atau kedelai (lesitin), c) glukosa atau fruktosa aditif sebagai sumber energi
(Gordon, 2004).

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian menggunakan data sekunder di Laboratorium Balai Inseminasi
Buatan (BIB) Lembang, Bandung, Jawa Barat. Data penelitian yang digunakan
adalah data sekunder produksi semen November-Desember 2010.
Materi
Sapi-sapi pejantan yang digunakan sudah diseleksi dan mempunyai kualitas
unggul. Jumlah sapi yang digunakan adalah 24 sapi jantan yang terdiri atas 8 ekor
sapi Simmental, 8 ekor sapi Limousin dan 8 ekor sapi FH berumur sekitar 4 tahun,
dengan kisaran bobot badan sapi FH 800±43,4 kg; Limousin 850±40,38 kg dan
Simmental 900±50,85 kg. Materi yang diperoleh pada penelitian ini berupa data
semen segar yaitu warna, volume, konsistensi, konsentrasi, pH, gerakan massa,
motilitas, before freezing, post thawing motility dan longivitas.
Prosedur
Data yang ditabulasikan adalah :
1.

Semen segar (warna, volume, konsistensi, pH, gerakan massa, motilitas
spermatozoa)

2.

Before freezing

3.

Post thawing motility (PTM)

4.

Recovery rate

5.

Longivitas (water incubator test)

1. Pemeriksaan Molitilitas Spermatozoa Semen Segar
a. Secara Makroskopis
Melihat dan mencatat:
-

Volume

-

Warna dengan kriteria penilaian (susu, krem, kuning)

-

Konsistensi dengan kriteria penilaian (encer, sedang, kental)

-

Pemeriksaan pH dengan cara :
a. Nyalakan pH meter
b. Cuci elektroda dengan aquabidest lalu keringkan

c. Kalibrasi pH meter dengan merendam elektroda pada larutan pH 4,
pH 7, dan pH 9 lalu tekan tanda “ cal “. Sebelum dan sesudahnya
elektroda harus dalam keadaan bersih
d. Standar deviasi kalibrasi sekitar 0,02
e. kalibrasi berhenti sampai keluar tanda A
f. pH meter siap digunakan
g. Celupkan elektroda pada semen yang akan diuji lalu tekan “ read”
tunggu sampai keluar tanda A
h. Baca nilai pH
I. Matikan pH meter
J. Masukkan elektroda yang sudah bersih pada karet pelindung yang
telah berisa KCL 3 mol/1.
b. Secara Mikroskopis
(Gerakan massa)
- Menggunakan mikroskop elektrik dengan pembesaran 4x10
- Memasang kabel fiting ke stop kontak
- Menyiapkan air hangat dalam beaker glass, stick glass, object glass,
cover glass dan tisu
- Meletakan object glass, cover glass diatas warmer slide dan meneteskan
semen yang diperiksa dengan menggunakan stick glass
- Melihat dibawah mikroskop sambil mengatur jarak lensa dengan objek
yang dilihat sehingga terlihat gerakan massa semen, dengan penilaian
sebagai berikut:
0

: Tidak ada gerakan spermatozoa maupun gerakan massa spermatozoa

+

: Gerakan massa spermatozoa lemah berupa gelombang-gelombang
tipis dan jarang

++ : Gerakan massa spermatozoa berupa gelombang-gelombang tebal,
gelap dan cepat
+++ : Gerakan massa spermatozoa berupa gelombang-gelombang tebal,
gelap dan sangat cepat
Semen segar yang layak diproses adalah semen dengan nilai gerakan
massa minimal (++) dan Motilitas spermatozoa minimal 70 %.

Pemeriksaan Konsentrasi
- Menggunakan spektrofotometer
- Semen diambil dengan pipet scoret sebanyak 0,05 ml dimasukkan ke dalam
larutan NaCl 2% 9,95 ml lalu dicampur
- campuran semen dimasukkan ke dalam tabung spektrofotometer yang
terlebih dahulu sudah distandarkan dengan NaCl 2 %, lalu jarum petunjuk
menunjukkan angka yang kemudian harus dikonversikan pada tabel
konsentrasi spermatozoa.
Pembuatan bahan pengencer
a. Bahan dan peralatan
-

Susu skim

- Aquabidest

- Antibiotika

-

Kuning telur

- Glukosa

- gliserol

-

measuring cylinder

- pompa penghisap

- pipet

-

beaker glass

- tisu

- pinset

-

filter paper

- timbangan analitik - elektrothermal

-

stick glass

-

glass

- thermometer

b. prosedur
-

membuat buffer untuk 1000 cc : susu skim 100 g dan aquabidest 960 cc
buffer dipanaskan sampai suhu 90 oC lalu didiamkan selama 12 menit dan
disaring, setelah dingin disimpan di dalam refrigerator

-

setelah dingin ditambahkan antibiotika dengan perbandingan 100:1
antibiotika yang digunakan adalah penicillin 3 juta IU dan Streptomycin 3
gram di campur lalu ditambahkan aquabidest sampai volumenya 30 cc

A. membuat bahan pengencer part A (untuk 1000 cc): buffer antibiotika 950 cc
ditambahkan kuning telur 50 cc
B. membuat bahan pengencer part B (untuk 1000 cc)
buffer antibiotika : 770 cc ditambahkan gliserol : 160 cc, kuning telur : 50 cc
dan glukosa : 20 gr masing-masing dihomogenkan.

Proses Pengenceran
A. Bahan dan Peralatan
-

Incubator

- Cool top

-

Timer

- Bahan pengencer A dan B

-

Measuring cylinder

- Label

- Beaker glass

- Air Hangat

Cara kerja
-

Semen yang akan diproses dicampur dengan part A yang telah disimpan
di dalam incubator (dalam water jacket) suhu 37 oC dan diberi label
(nomor bull), kemudian disimpan dalam cool top yang bersuhu 4 oC
selama 35 menit, setelah 35 menit water jacket dilepaskan.

-

50 menit kemudian dilakukan dengan part A yang telah disiapkan
sebelumnya di dalam cool top

-

Pencampuran part B dilakukan sebanyak 4 kali setiap 15 menit di dalam
cool top (proses glycerolisasi)

-

Pencampuran ini akan diikuti dengan proses pengisian/filling dan sealing
ke dalam straw yang telah diberi label, pelaksanaan ini dilakukan 2,5 jam
setelah pencampuran dengan part B terakhir

Proses Pembekuan
Cara kerja :
Straw yang sudah berisi semen disusun di rak pembekuan dan hitung
jumlahnya, kemudian dibekukan diatas permukaan uap N2 cair di dalam
storage container dengan temperatur -110 °C sampai dengan -120 °C selama
5 menit. Setelah 5 menit straw dimasukkan ke dalam goblet dengan kapasitas
disesuaikan dengan jumlah straw, lalu disimpan di dalam container yang
terendam N2 cair dengan temperatur -196 °C.
Penyimpanan Semen Beku
Cara Kerja :
a. Semen beku disimpan pada storage container yang di dalamnya terdapat
beberapa canister, dimana setiap canister terdapat 2 - 3 goblet dan setiap
goblet dapat berisi 550 - 750 dosis. Setiap storage container dapat

menyimpan sekitar 150,000 - 350,000 dosis mini straw dalam rendaman
210 - 800 liter nitrogen cair
b. Untuk menjaga volume N2 yang hilang karena penguapan, maka setiap hari
ditambahkan 30 liter N2 untuk setiap storage container
Pengujian Before freezing
Setelah equilibrasi dalam cool top, sebelum dibekukan sample straw
dievaluasi motilitasnya. Straw dihangatkan kemudian digunting dikedua sumbatnya
dan semen dikeluarkan ke dalam tabung tes 1 tetes semen di simpan kedalam object
glass kemudian ditutup dengan cover glass dan dilihat dibawah mikroskop
pembesaran 400 X
Pengujian Post Thawing Motility
a. Meyiapkan tabung tes dan simpan di dalam dry/water incubator dengan
temperatur 37 °C.
b. Ambil 2 dosis straw semen beku, thawing pada air hangat dengan
temperatur 37 °C selama 15 detik, keringkan dengan kertas tisu kemudian
potong kedua ujung straw dengan gunting straw.
c. Meneteskan semen yang telah cair ke dalam tabung yang telah disiapkan,
ditutup dengan penutup karet dan telah diberi nomor.
d. Dengan menggunakan stick glass homogenkan kemudian teteskan semen
ke atas object glass yang telah disiapkan di atas warmer stage lalu ditutup
dengan cover glass.
e. Dilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40
f. Persentase spermatozoa yang motil progresif dinilai dari lima lapang
pandang penilaian antara 0 -100 %.
g. Melihat gerakan individu spermatozoa, dengan nilai sebagai berikut :
0 : Tidak ada gerakan individu spermatozoa
1 : Gerakan individu spermatozoa lambat
2 : Gerakan indivdu spermatozoa sedang
3 : Gerakan individu spermatozoa cepat
4 : Gerakan individu spermatozoa sangat cepat

Longivitas (Water Incubator Test)
a. Setelah 4 jam ambil tabung dari dalam water/dry incubator dan buka
sumbatnya
b. Dengan menggunakan stick glass homogenkan kemudian teteskan semen
ke atas object glass yang telah disiapkan diatas warmer stage lalu tutup
dengan cover glass
c. Melihat gerakan individu spermatozoa dibawah mikroskop dengan
pembesaran 10 x 10 dan menentukan motilitasnya dan gerakan individu
spermatozoa. Standar minimal 5-10 % gerakan individu 1.

Recovery Rate (RR)

Motilitas spermatozoa setelah thawing
RR =

x 100%
Motilitas spermatozoa pada semen segar
(Garner dan Hafez, 2000)
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan (bangsa sapi yang berbeda) dan empat
kali ulangan pada masing-masing bangsa sapi. Seluruh data yang diproleh diolah
menggunakan software Statistix 8, data disajikan dalam bentuk rataan dan simpangan
baku. Pengaruh perlakuan yang nyata pada penelitian ini dilanjutkan dengan uji
lanjut yaitu uji Tukey (Steel dan Torrie, 1991).
Model matematisnya adalah:
Yij = µ+Pi+ℇij
Keterangan:
Yij

= Nilai motilitas spermatozoa dari sapi ke-i yang mendapat nilai perlakuan
ke-j

µ

= Nilai rata-rata umum

Pi

= Pengaruh perlakuan ke-i

ℇij

= Pengaruh galat percobaan pada sapi ke-i yang mendapat perlakuan ke-j

HASIL DAN PEMBAHASAN
Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet
jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez,
2000). Menurut Feradis (2010a) semen adalah sekresi kelamin pejantan yang secara
normal diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, tetapi
dapat ditampung untuk keperluan IB. Pemeriksaan semen dapat memberikan
informasi tentang kesuburan pejantan dan indikatornya adalah meningkatnya angka
konsepsi dari betina yang dikawinkan atau diinseminasikan dengan semen pejantan,
sehingga bertambahnya jumlah populasi ternak.
Evaluasi Semen Segar
Semen segar sapi yang telah ditampung harus dilakukan evaluasi. Tujuan
evaluasi semen adalah untuk mengetahui kelayakan semen untuk diproses lebih
lanjut, menentukan volume pengencer yang harus ditambahkan dan untuk
mengetahui jumlah straw yang dapat dihasilkan dalam proses pembekuan semen
(Feradis, 2010a). Pemeriksaan semen segar meliputi makroskopis dan mikroskopis.
Hasil evaluasi semen secara makroskopis meliputi warna, volume (ml), konsistensi
dan pH, sedangkan mikroskopis adalah gerakan massa, motilitas (%) dan konsentrasi
(jt/ml). Data nilai motilitas semen segar yang diperoleh selama penelitian dari sapi
Limousin, Simmental dan FH disajikan pada Tabel 1.
Menurut Ax et al., (2000) ejakulat normal semen sapi berwarna krem susu
sampai putih susu, semen dengan konsentrasi yang rendah akan terlihat bening dan
tembus cahaya. Semen sapi bisa saja berwarna kuning disebabkan banyaknya pigmen
riboflavin dan pigmen ini tidak mempengaruhi kesuburan. Pengamatan warna semen
yang diperoleh dari sapi Limousin, Simmental dan FH yaitu putih susu.
Volume semen merupakan jumlah semen setiap ejakulasi. Hasil penelitian
menunjukkan kualitas semen secara makroskopis cukup bagus dengan volume semen
berkisar antara 6-8 ml hasil volume semen yang didapatkan masih dalam kisaran
normal karena hasil yang diperoleh sesuai dengan pendapat Garner dan Hafez (2000)
volume semen sapi setiap satu kali ejakulasi berkisar antara 5-8 ml. Volume rendah
tidak merugikan tetapi apabila disertai konsentrasi yang rendah akan membatasi
jumlah spermatozoa yang tersedia. Peningkatan frekuensi ejakulasi selain

menurunkan jumlah volume semen juga akan menurunkan jumlah spermatozoa (Ball
dan Peters, 2004).
Tabel 1. Rataan Karakteristik Semen Sapi Limousin, Simmental dan Fries Holstein
Bangsa Sapi
Karakteristik

Limmousin

Simmental

Fries Holstein

Makroskopis
Warna
Volume (ml)
Konsistensi
pH
Mikroskopis
Gerakan massa
Motilitas (%)
Konsentrasi (jt/ml)

Putih susu
7,1±2,4
Sedang
6,50±0,2

Putih susu
6,8±1,1
Sedang
6,51±0,2

Putih susu
8,8±2,3
Sedang
6,9±0,1

++
75,3±6,4
1721,20±332,60

++
80,16±7,8
1899,3±254,8

++
73,2±5,01
1561,8±312,5

Keterangan : (-) = Buruk

(+) = Sedang

(++) = Baik

(+++) = Sangat Baik

Konsistensi atau derajat kekentalan semen sapi dari ketiga bangsa adalah
konsistensi sedang, semen sapi yang normal memiliki konsistensi dari sedang sampai
kental. Konsistensi semen mempunyai korelasi dengan warna, misalnya semen yang
berwarna krem biasanya konsistensinya pekat atau kental, sedangkan yang warnanya
jernih atau terang biasanya konsistensinya encer (Feradis, 2010a).
Rata-rata pH (derajat keasaman) semen ketiga bangsa sapi yang diperoleh
selama penelitian adalah (6,49-6,54). Nilai ini termasuk normal karena kisaran pH
semen sapi adalah 6,4-7,8 (Garner dan Hafez, 2000). Derajat keasaman memegang
peran yang sangat penting karena mempengaruhi viabilitas spermatozoa.
Ketiga bangsa sapi menunjukkan gerakkan masa spermatozoa yang normal
yaitu positif 2 dengan skala 0-3, sesuai dengan pernyataan (Feradis, 2010b). Nilai ini
termasuk cukup baik mengingat pada semen sapi kisaran normal gerakan massa
adalah ++ sampai dengan +++ (Campbel et al., 2003a). Spermatozoa dalam suatu
kelompok mempunyai kecenderungan untuk bergerak bersama-sama ke satu arah
yang menyerupai gelombang-gelombang yang tebal dan tipis, bergerak cepat atau
lamban tergantung dari konsentrasi spermatozoa yang hidup di dalamnya. Gerakan
massa semen yang memiliki kualitas baik (++), bila terlihat gelombang-gelombang
kecil, tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak lamban, sedangkan kualitas yang sangat

baik (+++), bila terlihat gelombang-gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif
(Feradis, 2010b).
Nilai

motilitas

spermatozoa

semen

segar

sapi

Simmental

adalah

80,16±7,80%, nilai ini lebih tinggi (P0,05) dengan nilai PTM
masing-masing adalah Limousin 44,06±3,46; Simmental 44,69±2,98 dan FH
42,97±2,80%.
Tabel 2. Nilai Motilitas Spermatozoa pada Berbagai Tahapan Pembekuan

Peubah
Semen segar
Before Freezing
Post Thawing Motility
Recovery Rate
Longivitas

Perlakuan
Limousin
Simmental
Fries Holstein
------------------------------%-----------------------------------75,31±6,47 b
80,16±7,80 a
73,29±5,01 b
63,44±3,22 b
65,16±5,53 a
63,12±3,53 b
44,06±3,46
44,69±2,98
42,97±2,80
58,87±6,37
56,27±7,08
58,87±5,31
13,91±5,34
13,91±4,35
14,06±5,60

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata
(P0,05) dengan nilai RR untuk masing-masing sapi
Limousin, Simmental dan FH yaitu 58,87±6,37; 56,27±7,08 dan 58,87±5,31%.

Longivitas adalah kemampuan spermatozoa bertahan hidup pada temperatur
tertentu (Hafez, 2000). Pengujian longivitas di BIB Lembang menggunakan teknik
water incubator test. Hasil penelitian juga tidak menunjukan perbedaan longivitas
(P>0,05) antara spermatozoa sapi Limousin, Simmental dan FH dengan nilai masingmasing 13,91±5,34; 13,91±4,35 dan 14,06±5,60%.
Agar penggunaan pejantan yang bebas penyakit dan bermutu genetik tinggi
secara maksimal dapat tercapai dalam program IB, maka daya fertilisasi optimum
spermatozoa harus diawetkan untuk beberapa lama setelah penampungan. Untuk itu
harus dicampur dengan larutan pengencer yang menjamin kebutuhan fisik dan
kimiawinya dan disimpan pada suhu dan kondisi tertentu yang mempertahankan
kehidupan spermatozoa selama waktu yang diinginkan untuk dipakai sesuai dengan
kebutuhan.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan kerusakan sel selama proses
pembekuan dan thawing seperti pengaruh peroksidasi lipid pada spermatozoa
sehingga dapat menurunkan daya hidup (Bearden et al., 2004). Hafez (2000)
menyebutkan untuk menghasilkan semen beku yang berkualitas tinggi, baik dan
terjamin kualitasnya untuk semen yang akan diinseminasikan maka dibutuhkan
bahan pengencer semen yang mampu mempertahankan kualitas spermatozoa selama
proses pembekuan maupun pada saat pengenceran, karena itu bahan pengencer
semen beku harus mengandung sumber nutrisi, buffer, bahan anti cold shock,
antibiotik dan krioprotektan yang dapat melindungi spermatozoa selama proses
pembekuan dan thawing. Beberapa karbohidrat yang sederhana seperti glukosa,
dapat dipakai sebagai sumber energi bagi spermatozoa. Kuning telur dan air susu
yang mengandung lipoprotein dan lesitin berfungsi melindungi spermatozoa dari
cold shock. Berbagai bahan penyanggah dapat dipakai untuk mempertahankan pH
semen, yaitu sitrat, phosfat dan tris. Penisilin dan streptomisin ditambahkan dalam
pengencer semen untuk penghambat pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan untuk
proses pembekuan perlu ditambahkan gliserol untuk melindungi spermatozoa
terhadap efek letal pembekuan (Feradis, 2010a).
Hasil dari analisis statistik sapi Simmental memiliki nilai motilitas
spermatozoa semen segar dan before freezing nyata lebih tinggi daripada sapi
Limousin dan FH. Hal ini menunjukan bahwa bangsa yang berbeda akan

mempengaruhi kualitas semen yang dihasilkan, hasil yang didapat sesuai dengan
pernyataan Garner dan Hafez (2000) perbedaan antar bangsa juga mempengaruhi
kualitas semen yang dihasilkan dan Srianto et al. (2009) menyebutkan bahwa jumlah
volume, konsentrasi dan motilitas spermatozoa yang dihasilkan oleh tiap-tiap sapi
pejantan yang digunakan untuk proses produksi semen beku berbeda. Perbedaan ini
bisa saja disebabkan oleh genetik bangsa sapi Simmental yang lebih baik.
Motilitas spermatozoa setelah thawing, recovery rate dan longivitas pada
ketiga bangsa sapi tersebut tidak menunjukan perbedaan (P>0,05) diduga karena
jenis pengencer yang digunakan dan pemberian pakan yang diberikan sama untuk
ketiga jenis tersebut sama, hasil yang didapat dari penelitian ini berbeda dari hasil
penelitian Arifiantini et al. (2005) motilitas spermatozoa setelah thawing pada sapi
FH dengan menggunakan pengencer tris, asam sitrat, laktosa dan raffinosa yaitu
52,09±7,07%, sedangkan pada penelitian ini menggunakan susu skim dan glukosa,
seperti yang dinyatakan Paulenz et al. (2002) bahwa jenis pengencer semen sangat
bervariasi dan masing-masing memiliki keistimewaan. Kemungkinan lain juga dapat
dikarenakan pengujian lama waktu longivitas yang sama yaitu 4 jam pada suhu 37
o

C, sedangkan pada penelitian Arifiantini et al. (2005) diuji cobakan lama waktu

longivitas dari 0 jam sampai 9 jam dengan menggunakan pengencer yang
mengandung kacang kedelai pada pengamatan jam ke 4 yaitu 20,81±17,68% dan
yang menggunakan pengencer Tris Raffinose yaitu 10,09±7,07%; sedangkan yang
menggunakan pengencer Tris Fruktosa memiliki nilai longivitas 10,61±8,49%.
Recovery rate yang menggunakan pengencer kacang kedelai 69,56±11,32%
tris raffinose 63,48±9,25%, sedangkan tris fruktosa 59,40±1l,24%. Hasil penelitian
yang dibandingkan dengan penelitian Arifiantini et al. (2004) dengan menggunakan
pengencer berbeda dan pengamatan lama waktu longivitas yang berbeda sangat
berpengaruh terhadap kualitas semen yang diencerkan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Motilitas spermatozoa semen segar dan before freezing sapi Simmental lebih
tinggi daripada sapi Limousin dan FH, tidak ada perbedaan post thawing motility,
recovery rate dan longivitas spermatozoa pada ketiga bangsa tersebut.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh masing-masing
individu ternak untuk dapat melihat dan menseleksi lebih lanjut kualitas semen dari
masing-masing ternak.

KAJI BANDING KEMAMPUAN BERTAHAN TERHADAP PROSES
PEMBEKUAN SPERMATOZOA SAPI SIMMENTAL,
LIMOUSIN DAN FRIES HOLSTEIN

SKRIPSI
FACHRI WIDYA NUGRAHA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

KAJI BANDING KEMAMPUAN BERTAHAN TERHADAP PROSES
PEMBEKUAN SPERMATOZOA SAPI SIMMENTAL,
LIMOUSIN DAN FRIES HOLSTEIN

SKRIPSI
FACHRI WIDYA NUGRAHA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

RINGKASAN
Fachri Widya Nugraha. D14070239. 2012. Kaji Banding Kemampuan Bertahan
terhadap Proses Pembekuan Spermatozoa Sapi Simmental, Limousin dan Fries
Holstein. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
: Ir. Hj. Komariah, M.Si.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si.
Kebutuhan protein hewani masyarakat akan semakin meningkat, oleh karena
itu untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan ternak dengan sumberdaya
genetik yang cukup tinggi. Salah satu ternak penghasil protein hewani adalah sapi.
Permintaan hasil produk ternak ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jumlah
penduduk, sosial budaya, serta selera masyarakat. Permintaan di wilayah perkotaan
cenderung lebih tinggi, karena jumlah penduduk lebih padat dan pendapatan lebih
tinggi dibandingkan dengan pedesaan, oleh karena itu untuk meningkatkan produksi
dan kualitas sapi saat ini diterapkan teknologi inseminasi buatan (IB). Salah satu
kegiatan dari IB adalah memproduksi semen beku, adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas semen beku yang dihasilkan seperti kualitas semen segar,
jenis sapi yang digunakan dan proses produksi semen beku. Semen beku memiliki
keunggulan yaitu dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, namun memiliki
kelemahan yaitu kualitas semen dapat menurun setelah semen diencerkan,
dikarenakan selama proses pembekuan spermatozoa melewati berbagai suhu ekstrim
yang dapat menurunkan kualitas semen.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan membandingkan penurunan
kualitas spermatozoa semen beku sapi Simmental, Limousin dan Fries Holstein (FH)
di Balai Inseminasi Buatan Lembang, Bandung, Jawa Barat. Penelitian menggunakan
data sekunder BIB Lembang bulan November sampai Desember 2010. Jumlah sapi
yang digunakan pada penelitian ini adalah 24 ekor sapi jantan yang terdiri atas 8
Simmental, 8 Limousin dan 8 FH berumur 4 tahun dengan bobot badan 800-900 kg.
Data yang diambil adalah data motilitas semen segar yang meliputi, before freezing,
post thawing motility (PTM) dan longivitas. Hasil yang diperoleh dari penelitian
adalah motilitas semen segar dan before freezing sapi Simmental lebih tinggi
(P