Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia

HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH
DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA
BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN
INDONESIA

DEWI RATIH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRACT
DEWI RATIH. The Association Between Area’s Socio-Economic Characteristics
and Double Burden of Malnutrition in Under Five Children Group at Rural and
Urban Areas of Indonesia. Under the guidances of YAYUK FARIDA BALIWATI
and YAYAT HERYATNO.
The aim of this study was to analyzed the association between socioeconomic characteristics and the double burden of malnutrition in under five
children group in rural and urban areas of Indonesia. The research was
conducted using cross sectional study design, which analyzed the 418 districts in
Indonesia. The 318 districts were categorized as rural areas and 100 districts as

urban areas). Data of malnutrition, the proportion of mothers complete the
compulsory nine-year basic education, and household expenditure percapita
were obtained from the Health Research Association (Riskesdas 2007). Data
level of poverty and GDP percapita area were obtained from the Central Statistics
Agency (BPS). Pearson correlation test was performed to determine the
association between socio-economic characteristics and the double burden of
malnutrition. The result showed that there was no association between socioeconomic characteristics (the proportion of mothers complete the compulsory
nine-year basic education, expenditure percapita, GDP percapita, and the level of
poverty) with the double burden of malnutrition in under five children group at
rural and urban areas of indonesia.
Keywords: socio-economic chracteristics, the double burden of malnutrition

RINGKASAN
DEWI RATIH. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah
Gizi Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan
Indonesia. Dibimbing oleh YAYUK F. BALIWATI dan YAYAT HERYATNO.
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi ganda sangat
mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Berdasarkan
Riskesdas tahun 2007 kurang gizi dan gizi lebih masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Prevalensi nasional
kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) pada anak balita adalah 18.4 persen.
Sementara itu, prevalensi nasional gizi lebih pada anak balita adalah 4.3 persen.
Terdapat beberapa propinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi dan gizi lebih
melampaui prevalensi nasional yaitu Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Faktor penentu timbulnya masalah gizi
akan berbeda di setiap wilayah yang memiliki karakteristik yang berbeda.
Wilayah perdesaan dan perkotaan merupakan dua tipe wilayah dengan
karakteristik sosial ekonomi yang berbeda. Menurut WHO (2008), masalah gizi
merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi, kesehatan, dan gizi.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari keterkaitan faktor
sosial ekonomi masyarakat dengan masalah gizi ganda pada kelompok usia
balita di wilayah perdesaan dan perkotaan Indonesia. Tujuan khusus penelitian
adalah (1) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (proporsi ibu lulus wajar,
pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan di
wilayah perdesaan dan perkotaan;
(2) Mengetahui masalah kurang gizi
(undernutrition), masalah gizi lebih (overnutrition), dan masalah gizi ganda
(double burden of malnutrition) pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan
dan perkotaan; dan (3) Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial

ekonomi wilayah dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah
gizi ganda pada kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan.
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan desain cross-sectional
study. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Selain itu digunakan pula
data statistik tingkat kemiskinan dan PDRB kabupaten/kota tahun 2007 (BPS
2008). Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan April-Juni 2011 di
Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat.
Kerangka sampel penelitian ini adalah seluruh wilayah kabupaten/kota
yang tercakup dalam Riskesdas 2007. Kriteria inklusi dalam pemilihan sampel
penelitian ini adalah: (1) kabupaten/kota yang menjadi sampel Riskesdas 2007;
dan (2) memiliki data prevalensi gizi balita, sebaran pendidikan terakhir ibu,
pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan.
Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sebanyak 418 kabupaten/kota yang terdiri
atas 318 wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan dan 100 wilayah
dengan karakteristik dominan perkotaan. Suatu kabupaten/kota dikatakan
sebagai wilayah dengan karakteristik dominan perdesaan apabila sebagian besar
rumah tangga responden Riskesdas di kabupaten/kota tersebut tinggal di wilayah
administratif desa atau kelurahan yang termasuk kategori perdesaan menurut

BPS. Hal sebaliknya untuk wilayah kabupaten/kota yang dikatakan wilayah
karakteristik dominan perkotaan.

Data yang digunakan adalah prevalensi gizi balita, pendidikan terakhir ibu,
pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan.
Data prevalensi gizi balita, pendidikan terakhir ibu, dan pengeluaran rumah
tangga perkapita di peroleh dari Riskesdas tahun 2007. Data PDRB perkapita
dan tingkat kemiskinan diperoleh dari Badan Pusat Statistik tahun 2008.
Variabel masalah gizi lebih (overnutrition) diperoleh dari prevalensi gizi
lebih (overweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah gizi lebih apabila
gizi lebih di wilayah tersebut sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat
menurut Departemen Kesehatan (2000), yaitu prevalensinya melampaui atau
sama dengan 5 persen. Variabel masalah kurang gizi (undernutrition) diperoleh
dari gabungan antara prevalensi gizi buruk (severe underweight) dan gizi kurang
(moderate underweight). Suatu wilayah dikatakan memiliki masalah kurang gizi
apabila memiliki prevalensi kurang gizi (gizi buruk dan gizi kurang) melampaui
18.5 persen atau belum dapat mencapai target MDGs.
Variabel masalah gizi ganda merupakan variabel komposit dari variabel
masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Suatu wilayah dikatakan memiliki
masalah gizi ganda apabila wilayah tersebut memiliki masalah kurang gizi dan

masalah gizi lebih secara bersamaan. Wilayah yang tidak memiliki salah satu
atau keduanya dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih tidak dikatakan
memiliki masalah gizi ganda. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda diberi
skor 1 sedangkan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda diber skor 0.
Pemberian skor dengan cara yang sama juga dilakukan pada variabel masalah
kurang gizi dan masalah gizi lebih.
Data yang diperoleh dan terkumpul dianalisa dengan menggunakan
Microsoft Excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for windows. Tahap
pengolahan data pertama adalah cleaning dan editing, kemudian dipilih
berdasarkan variabel yang akan diteliti. Analisis statistik yang dilakukan yaitu
statistik deskriptif dan statistik inferensia. Statistik deskripif meliputi frekuensi,
rata-rata, dan tabulasi silang sedangkan statistik inferensia meliputi uji
kemaknaan, uji beda, dan uji hubungan. Perbedaan nilai statistik variabel sosial
ekonomi antara wilayah perdesaan dan perkotaan dianalisis menggunakan uji
Independent Sample T-test. Hubungan kemaknaan antara masalah gizi ganda
dengan tipe wilayah (perdesaan dan perkotaan) dianalisis menggunakan uji ChiSquare. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Moment
Pearson.
Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah perdesaan adalah
sebesar 46.5 persen. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di wilayah
perkotaan hampir dua kali lipat dari di perdesaan yaitu sebesar 72.9 persen.

Pengeluaran perkapita di perdesaan sebesar 242 ribu rupiah/bulan, lebih rendah
dari perkotaan yaitu 372 ribu rupiah/bulan. Wilayah perdesaan memiliki PDRB
perkapita 9.3 juta rupiah/tahun. PDRB perkapita wilayah perkotaan lebih tinggi
dari pada PDRB perkapita wilayah perdesaan yaitu 16.6 juta rupiah/tahun.
Tingkat kemiskinan di perdesaan adalah 20.4 sementara di perkotaan adalah
16.6 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding
wilayah perkotaan. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan
wilayah miskin. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori
miskin.
Masalah kurang gizi lebih banyak terjadi di perdesaan. Sebanyak 60.7
persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang
memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Kejadian masalah
gizi lebih di perdesaan lebih dibanding di perkotaan. Wilayah perdesaan dengan
masalah gizi lebih adalah 32.4 persen sedangkan wilayah perkotaan adalah 39
persen. Hasil penelitian menunjukkan wilayah perdesaan yang memiliki masalah

gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak
dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya
memiliki gizi ganda.
Proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan

nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan tapi tidak berhubungan nyata
dengan masalah kurang gizi di perkotaan. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus
wajar akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di
wilayah perdesaan. Proporsi ibu lulus wajar berhubungan nyata dengan masalah
gizi lebih di perkotaan tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di
perdesaan. Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar akan
meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan.
Tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus wajar dengan
masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun perkotaan.
Terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan
masalah kurang gizi di perkotaan tapi tidak di perdesaan. Pengeluaran rumah
tangga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan tapi tidak di
perdesaan. Peningkatan pengeluaran rumah tangga akan menurunkan
kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan
kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tidak terdapat
hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga dengan masalah gizi ganda
baik di perdesaan maupun di perkotaan.
PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi
baik di perdesaan dan perkotaan. PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata
dengan masalah gizi lebih di perdesaan dan perkotaan. Hubungan nyata juga

tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di
perdesaan dan perkotaan.
Tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di
perdesaan tapi tidak di perkotaan. Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan
meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah
perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan
masalah gizi lebih di perdesaan dan di perkotaan. Tingkat kemiskinan juga tidak
berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan dan perkotaan.
Selain melakukan penanggulangan terhadap masalah kurang gizi pada
kelompok usia balita, pemerintah harus mulai memperhatikan masalah gizi lebih
yang mulai terjadi di perdesaan maupun perkotaan karena jika dibiarkan akan
menjadi faktor penentu keberlangsungan kualitas generasi masa depan.
Diperlukan upaya percepatan penuntasan wajib belajar sembilan tahun serta
upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan terutama di wilayah perdesaan
yang masih memiliki angka kurang gizi yang tinggi.
Sementara itu, diperlukan upaya peningkatan pengetahuan gizi serta
daya beli masyarakat perkotaan agar dapat menurunkan masalah kurang gizi
serta gizi lebih. Dengan demikian, diharapkan dapat menurunkan pula masalah
gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Masalah gizi ganda yang tidak
berhubungan dengan karakteristik sosial ekonomi merupakan gejala yang harus

diperhatikan. Hal ini menandakan bahwa masalah kurang gizi masih menjadi
masalah serius dan masalah gizi lebih pun menjadi masalah yang mulai muncul
di berbagai wilayah termasuk wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang
rendah.

HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH
DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA
BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN
INDONESIA

DEWI RATIH

Skripsi
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Judul : Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi
Ganda pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan
Indonesia
Nama : Dewi Ratih
NIM

: I14061430

Menyetujui,
Dosen Pembimbing I

Dosen pembimbing II

Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS
19630312 198703 2 001

Yayat Heryatno, SP, MPS
19690112 199601 1 003


Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus:

i

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Wilayah dengan Masalah Gizi Ganda
pada Kelompok Usia Balita di Wilayah Perdesaan dan Perkotaan Indonesia”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Yayat Heryatno, SP, MPS selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan
dalam penyusunan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MS sebagai dosen pemandu seminar dan
Katrin Roosita, SP, MSi sebagai dosen penguji atas saran-saran untuk
perbaikan skripsi ini.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
yang telah mengizinkan penulis menggunakan data untuk penelitian.
4. Keluarga tercinta atas restu dan kasih sayangnya.
5. Keluarga besar Fakultas Ekologi Manusia atas semua ilmu, pengalaman,
dan kebersamaan selama ini.
6. Keluarga

besar

Asrama

Putri

Darmaga

atas

persaudaraan

dan

persahabatan yang dijalin dengan penulis.
7. Teman-teman dan seluruh pihak yang telah banyak membantu dan
mendukung penulis selama ini.
Bogor, September 2011
Penulis

ii

RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Sukabumi, 22 Januari 1988 dari pasangan Bapak
Rahmat Suhenda dan Ibu Rosiah yang merupakan anak pertama dari empat
bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SDN 1 Cikelat tahun 1994, kemudian
dilanjutkan ke SLTP PGRI 1 Cisolok tahun 2000 dan lulus dari SMAN 1 Cisolok
tahun 2006. Selanjtunya pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Selanjutnya pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB dengan
Mayor Ilmu Gizi dan Minor Ilmu Komunikasi.
Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya Ikatan
Keluarga Muslim TPB (IKMT) tahun 2006, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
FEMA tahun 2007, Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) tahun 2007, dan Asrama
Putri Darmaga (APD) IPB tahun 2007-2009, Penulis pernah mengikuti program
Pekan Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) dengan
tiga judul berbeda dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2007, 2008, dan 2009.
Pada tahun 2007-2008, penulis juga pernah aktif mejadi pendamping Pos
Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) binaan P2SDM-LPPM IPB, Posdaya Melati
di Jampang Kulon, Sukabumi.
Pada tahun 2009, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di
Kecamatan Bogor Selatan, Kabupaten Bogor. Selain itu, pada tahun 2010
penulis juga melaksanakan Internship Dietetika (ID) di Rumah Sakit Karya
Bhakti, Bogor. Selain itu penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum
mata kuliah Analisis Data Pangan dan Gizi tahun 2010 serta mata kuliah
Perencanaan Pangan dan Gizi tahun 2010-2011.

iii

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
Latar Belakang.............................................................................................. 1
Tujuan........................................................................................................... 3
Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
Masalah Gizi Ganda ..................................................................................... 5
Karakteristik Sosial Ekonomi ......................................................................... 9
Pendidikan Ibu ....................................................................................... 9
Pengeluaran rumah tangga perkapita .................................................. 10
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ............................................ 11
Kemiskinan .......................................................................................... 12
Perdesaan dan Perkotaan .......................................................................... 13
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 14
METODE PENELITIAN...................................................................................... 16
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ....................................................... 16
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh....................................................... 16
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................ 17
Pengolahan dan Analisis Data .................................................................... 17
Definisi Operasional .................................................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 21
Karakteristik Sosial Ekonomi ....................................................................... 21
Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia ....................................... 22
Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda ....................................... 24
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi,
Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda............................................. 28
Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun ................................ 28
Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita ............................................... 29
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita ............................ 30
Tingkat Kemiskinan .............................................................................. 31
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 34
Kesimpulan ................................................................................................. 34
Saran .......................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 36
LAMPIRAN ........................................................................................................ 39

iv

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Kriteria status gizi berdasarkan Z-score BB/U menurut WHO 2006 .............. 6

2

Target dan indikator tujuan pertama MDGs .................................................. 6

3

Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi .... 7

4

Jenis data yang dikumpulkan ...................................................................... 17

5

Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota ............ 21

6

Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U ....................................... 23

7

Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah
gizi lebih, dan masalah gizi ganda .............................................................. 24

8

Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas
masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas 2007 ........ 26

9

Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut
karakteristik sosial ekonomi wilayah ........................................................... 27

10 Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda ..... 28
11 Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi .... 28
12 Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi ....... 29
13 Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi ....................................... 30
14 Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi .................................... 31
15 Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah
gizi lebih, dan masalah gizi ganda .............................................................. 32

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan nasional adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan
perikehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara terus
menerus, berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan
global. Fokus pembangunan itu sendiri tidak terbatas pada pembangunan fisik
semata tetapi pembangunan nonfisik dengan konsep pembangunan manusia.
Tujuan utama pembangunan nasional adalah meningkatkan kualitas sumber
daya manusia.
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu yang memiliki fisik
yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Sumber daya manusia
yang berkualitas merupakan faktor penting dalam upaya meningkatkan
produktivitas dan daya saing bangsa pada persaingan global. Namun, ada
banyak hal yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya
manusia. Masalah gizi ganda merupakan masalah yang sedang dihadapi banyak
negara, terutama negara berkembang. Masalah ini sangat mengancam kualitas
sumber daya manusia suatu bangsa.
Menurut FAO (2006), masalah gizi ganda merupakan keadaan suatu
populasi yang memiliki masalah kurang gizi (undernutrition) dan masalah gizi
lebih (overnutrition) yang terjadi pada saat yang bersamaan. WHO (2005)
mengemukakan bahwa ada 170 juta anak balita kurus di dunia, 3 juta
diantaranya akan meninggal setiap tahunnya akibat kurus. Akan tetapi, WHO
juga memperkirakan setidaknya sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami
kegemukan. Masalah gizi ganda semakin meningkat di negara berkembang.
Demikian pula halnya Indonesia sebagai salah satu negara berkembang
yang memiliki masalah gizi ganda ditandai dengan adanya masalah kurang gizi
dan gizi lebih yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, gizi buruk (severe underweight)
dan gizi kurang (moderate underweight) masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Prevalensi nasional gizi buruk pada
anak balita adalah 5.4 persen, dan gizi kurang pada balita adalah 13.0 persen.

2

Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi
dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun kurang lebih 11 juta
balita di seluruh dunia meninggal karena penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA,
diare, malaria, campak, dan lain-lain. Ironisnya, sebanyak 54 persen dari
kematian tersebut berkaitan dengan kurang gizi (Hadi 2005). Menurut Mahgoub
(2006), kurang gizi berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, tingkat kesakitan,
tingkat kematian, perkembangan kognitif, reproduksi, dan kemampuan kerja fisik.
Sementara itu, gizi lebih mulai menjadi masalah di berbagai wilayah di
Indonesia (Hadi 2005). Prevalensi nasional gizi lebih pada anak balita adalah 4.3
persen. Masalah gizi lebih pada anak-anak merupakan salah satu masalah yang
sedang mendapat perhatian banyak negara. Setengah dari anak yang
mengalami kelebihan berat badan atau obesitas akan tumbuh menjadi orang
dewasa yang obesitas. Seperti telah diketahui, obesitas merupakan faktor risiko
berbagai masalah kesehatan kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung
koroner, hipertensi, dan berbagai jenis kanker (FAO 2006).
Terdapat beberapa propinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi dan gizi
lebih secara bersamaan melampaui prevalensi nasional yaitu Sumatera Utara,
Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Papua. Menurut FAO
(2006), tingginya angka kurang gizi dan gizi lebih seringkali dianggap sebagai isu
yang terpisah antara masyarakat miskin dan kaya tapi pada kenyataannya
keduanya meningkat sejalan dengan meningkatnya kemiskinan. Fenomena ini
yang kemudian berkembang menjadi masalah gizi ganda yang umumnya terjadi
di negara-negara berkembang.
Besarnya kejadian masalah gizi berbeda antar wilayah. Berdasarkan
Riskesdas 2007, prevalensi kurang gizi berbeda antara di perdesaan dengan di
perkotaan, demikian pula dengan prevalensi gizi lebih. Prevalensi kurang gizi
(gizi kurang dan gizi buruk) di perdesaan sebesar 20.0 persen sedangkan di
perkotaan sebesar 16.9 persen. Sementara itu prevalensi gizi lebih di perdesaan
sebesar 3.9 persen dan di perkotaan 4.9 persen.
Menurut Fotso (2008), anak yang berada di perdesaan lebih berisiko
untuk mengalami masalah gizi, terkena penyakit, dan meninggal dibanding anak
yang berada di perdesaan. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan
karakteristik sosial ekonomi seperti pendidikan ibu dan pendapatan rumah
tangga antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Sobalia (2009) menyatakan
bahwa tingkat sosial ekonomi mempunyai dampak signifikan pada status gizi.

3

Menurut Bappenas (2007), masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah
tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal,
kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku
masyarakat.
Jika permasalahan gizi yang ada tidak segera diatasi, maka dalam jangka
menengah dan panjang akan terjadi kehilangan generasi yang dapat
mengganggu kelangsungan kepentingan bangsa dan negara. Hal ini akan
berdampak

pada tingginya

angka kesakitan

dan

kematian,

penurunan

kemampuan belajar, anggaran kesehatan yang meningkat serta penurunan
produktivitas kerja. Oleh karena itu perlu dianalisis hubungan karakteristik sosial
ekonomi dengan masalah gizi ganda. Dengan demikian, masalah gizi ganda
diharapkan dapat segera dicegah dan diatasi.
Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari keterkaitan faktor
sosial ekonomi wilayah dengan masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di
wilayah perdesaan dan perkotaan Indonesia.
Tujuan khusus penelitian adalah:
1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (proporsi ibu lulus wajib belajar,
pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat
kemiskinan di wilayah perdesaan dan perkotaan;
2. Mengetahui masalah kurang gizi (undernutrition), masalah gizi lebih
(overnutrition), dan masalah gizi ganda (double burden of malnutrition) pada
kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan; dan
3. Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi wilayah dengan
masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda pada
kelompok usia balita di wilayah perdesaan dan perkotaan.
Hipotesis Penelitian
Beberapa hipotesis yang diajukan antara lain:
1. Semakin tinggi proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun maka kecenderungan
timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah
semakin rendah;
2. Semakin tinggi pengeluaran rumah tangga perkapita maka kecenderungan
timbulnya masalah gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah
semakin rendah;

4

3. Semakin tinggi PDRB perkapita maka kecenderungan timbulnya masalah gizi
ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin rendah; dan
4. Semakin tinggi tingkat kemiskinan maka kecenderungan timbulnya masalah
gizi ganda pada kelompok usia balita di suatu wilayah semakin tinggi.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai
masalah gizi ganda pada anak balita kaitannya dengan karakteristik sosial
ekonomi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan
pertimbangan pemerintah dan pihak terkait untuk memutuskan suatu kebijakan
atau program intervensi terkait dengan masalah akses sosial dan ekonomi untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Gizi Ganda
Pembangunan

suatu

bangsa

bertujuan

untuk

meningkatkan

kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan
bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya
manusianya. Ukuran kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat
antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat.
Akan tetapi saat ini Indonesia masih memiliki masalah gizi, baik masalah kurang
gizi maupun masalah gizi lebih (Bappenas 2007).
Masalah gizi dapat diketahui melalui keadaan status gizi masyarakat.
Antropometri merupakan cara pengukuran status gizi yang sering digunakan di
masyarakat. Cara pengukuran status gizi ini digunakan secara luas karena
pengukurannya

yang

murah

dan

mudah

untuk

dilakukan.

Penelitian

memperlihatkan bahwa hasil pengukuran antropometri dapat menunjukkan
sasaran yang tepat pemberian intervensi gizi, mengidentifikasi kesenjangan
sosial ekonomi masyarakat, dan mengevaluasi respon suatu intervensi terhadap
masalah gizi (Cogill 2001).
Status gizi dapat dilihat melalui indikator berat badan terhadap umur
(BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), atau berat badan terhadap tinggi
badan (BB/TB). Berat badan terhadap umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh
dalam hubungannya dengan umur kronologi (Riyadi 2001). Indikator BB/U
memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik.
Tinggi rendahnya prevalensi kurang gizi yang diukur dengan indikator BB/U
mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan
indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut (Depkes 2008).
Menurut Depkes (2008), untuk menilai status gizi anak balita melalui
indikator BB/U, dilakukan dengan mengkonversi angka berat badan meneurut
umur ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku
antropometri WHO 2006. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing
indikator tersebut, status gizi balita dikelompokkan menjadi gizi buruk (severe
undeweight), gizi kurang (moderate underweight), gizi baik, dan gizi lebih. Tabel
1 menyajikan pengelompokan status gizi menurut Z-score BB/U.

6

Tabel 1 Kriteria status gizi berdasarkan Z-score BB/U menurut WHO 2006
Indikator
BB/U

Kategori
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih

Z-score
< -3.0
>=-3.0 s/d Z-score =-2.0 s/d Z-score 2.0

Sumber: Depkes 2008

Millenium Development Goals (MDGs) yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai tujuan pembangunan milenium merupakan paradigma
pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara
anggota PBB dalam KTT milenium PBB bulan september 2000 silam. Majelis
umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum PBB No
55/2 tanggal 18 September 2000 tentang Deklarasi milenium perserikatan
bangsa-bangsa (Bappenas 2007).
Terdapat delapan tujuan yang dirumuskan dalam MDGs yaitu: (1)
Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan dasar untuk
semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4)
Menurunkan angka kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6)
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; (7) Memastikan
kelestarian lingkungan hidup; dan (8) Membangun kemitraan global untuk
pembangunan (lebih rinci dapat dilihat di lampiran 2).
Tabel 2 Target dan indikator tujuan pertama MDGs
No
1

Target
Menurunkan proporsi penduduk
yang tingkat pendapatannya di
bawah US$1 perhari menjadi
setengahnya dalam kurun waktu
1990-2015

2

Menurunkan proporsi penduduk
yang
menderita
kelaparan
menjadi setengahnya dalam
kurun waktu 1990-2015

Indikator
a) Persentase penduduk dengan pendapatan
di bawah US$1 (PPP) per hari.
b) Persentase penduduk dengan tingkat
konsumsi di bawah garis kemiskinan
nasional.
c) Indeks kedalaman kemiskinan.
d) Indeks keparahan kemiskinan.
e) Proporsi konsumsi penduduk termiskin
(kuantil pertama).
a) Persentase anak-anak berusia di bawah 5
tahun yang mengalami gizi buruk (severe
underweight).
b) Persentase anak-anak berusia di bawah 5
tahun yang mengalami gizi kurang
(moderate underweight).

Sumber: Bappenas 2007

Setiap tujuan tersebut memiliki memiliki target dan indikator masingmasing. Tujuan pertama MDGs yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
memiliki dua target. Tabel 2 menyajikan target dan indikator untuk mencapai
tujuan pertama MDGs. Prevalensi balita dengan gizi buruk dan gizi kurang

7

merupakan indikator yang dipakai untuk mencapai target kedua dari tujuan
pertama MDGs. Indonesia dikatakan sudah dapat menurunkan proporsi pendduk
yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015
apabila pada tahun 2015 prevalensi balita yang mengalami gizi buruk dan gizi
kurang sebesar 18.5 persen (Bappenas 2007 dan Depkes 2008).
Walaupun masalah gizi lebih tidak termasuk ke dalam target ataupun
indikator MDGs akan tetapi adanya masalah gizi lebih harus diperhatikan pula.
Menurut BPPSDMK (2011), bersamaan dengan masalah kurang gizi yang tinggi,
fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai
strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri
Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang gizi
terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi
masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama
penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan,
tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak
disadari masyarakat.
Berdasarkan prevalensi ambang batas penentuan besaran masalah gizi
Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2000, gizi buruk
menjadi masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensinya lebih dari atau
sama dengan 1 persen, sedangkan gizi kurang dan gizi lebih menjadi masalah
kesehatan masyarakat apabila prevalensinya lebih dari atau sama dengan 5
persen. Tabel 3 menyajikan kategori ambang batas masalah gizi sebagai
masalah kesehatan masyarakat menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2000.
Tabel 3 Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah gizi
Masalah gizi
Gizi buruk (severe
underweight)
Gizi kurang (moderate
underweight)
Gizi lebih (overweight)

Bebas
Masalah

Berdasarkan prevalensi
Masalah
Masalah
Ringan
Sedang

Masalah
Berat
≥ 1%

< 1%
< 5%

5 - 9.9%

10 - 19.9%

>20%

< 5%

5 - 9.9%

10 - 19.9%

>20%

Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes (2000) dalam Ali AR (2007)

Masalah gizi ganda merupakan keadaan pada suatu masyarakat dengan
masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih yang terjadi bersamaan. Fenomena
masalah gizi ganda semakin banyak terjadi terutama di negara-negara
berkembang. Fenomena ini tidak terbatas pada negara berkembang dengan
pendapatan tinggi tapi juga terjadi di seluruh dunia. Masalah gizi ganda pada

8

berbagai negara dengan budaya dan kebiasaan makan yang berbeda-beda. Ada
banyak bukti menunjukkan bahwa ketika kondisi ekonomi meningkat, obesitas
dan penyakit tidak menular pun meningkat dengan angka gizi kurang yang tinggi
pula (FAO 2006).
Menurut Kimani-Murage et al. (2010), transisi gizi merupakan penyebab
utama dibalik terjadinya masalah gizi ganda. Transisi gizi merupakan fenomena
yang ada di masyarakat dimana kurang gizi dan gizi lebih menjadi masalah
kesehatan secara bersamaan di masyarakat tersebut. Transisi pola makan
berupa perubahan komposisi diet tradisional yang umumnya berasal dari
tanaman yang rendah lemak dan kaya serat ke diet al.a barat yang kayak energi
dan rendah serat merupakan salah satu penyebabnya. Popkin (2003)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya transisi gizi
adalah adanya transisi laju ekonomi, urbanisasi, globalisasi, teknologi, dan
perubahan sosial. Ini adalah fenomena yang ditemui di negara-negara
berkembang yang sedang mengalami peningkatan laju ekonomi.
Menurut Lanigan dan Singhal (2008), kurang gizi adalah faktor risiko yang
serius untuk masalah kesehatan dan menambah banyak sekali beban penyakit di
negara dengan pendapatan rendah-menengah. Kurang gizi pada masa anakanak meningkatkan risiko-risiko yang merugikan pada tahapan kehidupan
berikutnya seperti gangguan perkembangan kognitif, pencapaian pendidikan
yang rendah, rentan terkena berbagai penyakit kronis dan mengalami kelebihan
berat badan bahkan obesitas. Kurang gizi berhubungan dengan tingginya
prevalensi penyakit infeksi. Pada populasi yang mengalami transisi epidemiologi
dan demografi peningkatan gizi lebih dan obesitas mulai terlihat seiring dengan
kurang gizi dan dan penyakit infeksi pun masih tinggi. Gizi lebih dan obesitas
termasuk ke dalam kategori sepuluh faktor risiko tertinggi berbagai penyakit tidak
menular (WHO 2002).
Menurut Hadi (2005), pembangunan bidang kesehatan nasional akan
semakin berat dengan adanya masalah gizi ganda karena baik kurang gizi
maupun gizi lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan yang lain.
Masih besarnya beban masalah kesehatan yang bersumber dari defisiensi gizi
dan penyakit infeksi disatu sisi dan makin meningkatnya masalah kesehatan
yang bersumber dari masalah gizi lebih dan penyakit-penyakit degeneratif disisi
lain perlu diantisipasi dengan melakukan perubahan kebijakan yang mendasar

9

dalam

upaya

pelayanan

kesehatan,

baik

upaya

pelayanan

kesehatan

perorangan maupun upaya pelayanan kesehatan masyarakat.
Karakteristik Sosial Ekonomi
Masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi,
kesehatan, dan gizi (WHO 2008). Riset menunjukkan bahwa tingkat sosial
ekonomi keluarga anak mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan
perkembangan. Pada semua usia anak dari keluarga kelas atas dan menengah
mempunyai tinggi badan lebih dari keluarga strata sosial ekonomi rendah.
Penyebab perbedaan ini kurang jelas, meskipun kesehatan dan gizi yang kurang
baik pada tingkat sosial ekonomi rendah mungkin merupakan faktor signifikan.
Sumber makanan bergizi (khususnya protein) sulit didapatkan, dan faktor lain
(misalnya ukuran keluarga besar dan ketidakteraturan dalam makan, tidur, dan
latihan fisik) dapat memainkan peran. Keluarga dari kelompok sosial ekonomi
rendah mungkin kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang
diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi, dan kaya
gizi yang membentuk perkembangan optimal (Fotso et al. 2008).
Pendidikan Ibu
Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh
kembang anak adalah pendidikan. Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai
kepada tingkah laku yang baik. Tingkat pendidikan ibu yang rendah memiliki
konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi.
Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan
pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk
menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas,
apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Nurmiati 2006)..
Menurut Sobalia (2009) Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan
oleh perilaku pengasuhnya. Kekurangan gizi bisa pula muncul akibat
ketidaktahuan. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan ibu di
suatu negara merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi
kurang gizi di negara tersebut. Pengetahuan dan pendidikan orang tua sangat
penting dalam menentukan status gizi keluarga, karena pendidikan seseorang
dapat membantu sampainya informasi tentang kesehatan juga gizi, sehingga
kurangnya pendidikan merupakan penyebab tidak langsung timbulnya masalah
gizi pada anak.

10

Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan
pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan
yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang
berpendidikan rendah (Mariani 2002). FAO (1989) menyatakan tingkat
pendidikan ibu, status kesehatan, dan lingkungan hidup dapat berpengaruh
terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta
terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor
seperti rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat
menimbulkan dampak serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu
dan keluarga.
Saat ini, pemerintah Indonesia menjalankan program wajib belajar
(Wajar) 9 tahun. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. Pengertian wajib belajar adalah
program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar tersebut
adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah,
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain
yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat.
Pengeluaran rumah tangga perkapita
Data-data sosial di Indonesia yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) , mengukur
kesejahteraan bukan dari pendapatan tetapi dari konsumsi atau pengeluaran.
Setiap rumah tangga sampel mempunyai data total pengeluaran perbulan (dalam
rupiah), tetapi ini bukan secara langsung menjadi ukuran kesejahteraan karena
harus dilihat dulu berapa jumlah anggota rumah tangganya. Jika total
pengeluaran perbulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga maka akan
diperoleh data pengeluaran rumah tangga perkapita perbulan.
Pengeluaran rumah tangga perkapita inilah yang digunakan sebagai
ukuran kesejahteraan penduduk dan rumah tangga. Angka kemiskinan, indeks
ketimpangan kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan dan gini rasio, semua
perhitungaannya merujuk ke pengeluaran rumah tangga perkapita ini (Andi
2006). Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indikator
yang

dapat

memberikan

gambaran

keadaan

kesejahteraan

penduduk.

11

Pengeluaran rumah tangga perkapita mencerminkan pendapatan keluarga
(Sugianti 2009).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu
daerah dalam satu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB
pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit
usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa
akhir (netto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS 2009). PDRB
berasal dari sembilan sektor usaha yang terdiri atas: (1) pertanian, (2)
pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas, dan air
bersih, (5) bangunan (konstruksi), (6) perdagangan, hotel, dan restoran, (7)
pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan,
serta (9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005).
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun.
Sementara itu, PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu
tahun tertentu sebagai harga dasar. PDRB atas dasar harga berlaku dapat
digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga
konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun
(BPS 2009).
Nilai PDRB dibagi menjadi dua, yaitu PDRB yang dihitung dengan migas
dan PDRB yang dihitung tanpa migas. PDRB dengan migas menunjukkan
keseluruhan nilai barang dan jasa yang dihasilkan ditambah dengan sektor
migas. Sumber daya migas merupakan sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui sehingga suatu saat akan habis. Dengan adanya pembagian PDRB
ini dapat menunjukkan perkembangan besarnya nilai barang dan jasa yang
dihasilkan oleh suatu wilayah di masa yang akan datang, sehingga dapat
diketahui besarnya PDRB wilayah tersebut saat sumber daya migas sudah habis
(BPS 2005).
Data PDRB adalah salah satu indikator ekonomi makro yang dapat
menunjukkan kondisi perekonomian daerah setiap tahun (BPS 2009). Sementara
itu, PDRB perkapita adalah indikator makro yang secara agregat dapat

12

digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak
pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (Bappenas 2008).
Kemiskinan
Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak
dasar manusia antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam
dan lingkungan hidup, rasa dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi laki-laki maupun
perempuan (Bappenas 2004 dalam Harniati 2008). Menurut Bappenas (2008),
angka kemiskinan memberi gambaran mengenai intensitas penduduk dengan
tingkat pendapatan terendah di perekonomian. Kemiskinan merupakan hulu dari
berbagai permasalahan yang ada seperti tingginya angka kesakitan dan
kematian, pengangguran, gizi buruk, serta rendahnya kualitas sumber daya
manusia (Trihono dan Gitawati 2009).
Menurut Bappenas (2008), salah satu akibat kemiskinan adalah
ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
jumlah dan kualitas yang baik. harus dapat menurunkan tingkat kemiskinan
setiap rumah tangga untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta
memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dari berbagai
faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan
bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan
individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan.
Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin
tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan
yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi
lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin
dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja
kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan
pola asuh keluarga juga kurang berkualitas.
Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan tinggi karena
kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan
bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan
keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya

13

beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin (Bappenas 2008).
Menurut BPS (2007), daerah miskin adalah wilayah kabupaten/kota dengan
karakterisik kemiskinan diatas persen kemiskinan nasional (lebih dari 16.5%).
Perdesaan dan Perkotaan
Menurut undang-undang (UU) No.24 Tahun 1992 pasal 1, wilayah
didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Pipip
(2011), pengklasifikasian wilayah menjadi wilayah perdesaan atau perkotaan
dilakukan melalui Sensus. Wilayah yang dicakup adalah desa atau kelurahan
yang berada langsung dibawah kecamatan. Klasifikasi didasarkan pada skor
yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja
di bidang pertanian, dan tersedianya fasilitas kota seperti sekolah, pasar, rumah
sakit, jalan aspal, dan listrik (BPS 2003).
Definisi

perkotaan

adalah

suatu

penduduknya

lebih

dibandingkan

dengan

pencaharian

utama

penduduknya

bukan

tempat

dengan

kondisi

pada

merupakan

(1)

kepadatan

umumnya;

aktivitas

(2)

ekonomi

primer/pertanian; dan (3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi, atau
pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya menurut (Daldjoeni 2003 dalam
Humayrah 2009). Menurut Komsiah (2007), wilayah perdesaan ditandai dengan
sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian.

14

KERANGKA PEMIKIRAN
Masalah gizi ganda merupakan keadaan pada suatu masyarakat dengan
gizi kurang dan gizi lebih yang terjadi bersamaan (FAO 2006). Salah satu cara
yang bisa digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat adalah dengan
menggunakan pengukuran antropometri. Berat badan menurut umur (BB/U)
merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi.
Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum,
tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan kurang
mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan
indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut (Depkes RI 2008).
Masalah gizi merupakan efek kumulatif dari masalah sosial-ekonomi,
kesehatan, dan gizi (WHO 2008). Faktor sosial ekonomi mempunyai kaitan
dengan tingkat prevalensi masalah gizi di masyarakat, baik gizi kurang maupun
gizi lebih. Menurut Kimani-Murage (2010), transisi gizi merupakan penyebab
utama dibalik terjadinya masalah gizi ganda. Popkin (2003) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya transisi gizi adalah adanya
transisi laju ekonomi, urbanisasi, globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial. Ini
adalah fenomena

Dokumen yang terkait

Hubungan Interaksi Sosial Lansia Dengan Kesepian Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Balita di Wilayah Binjai dan Medan

30 172 95

Karakterisasi kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang

0 13 155

Hubungan antara Kebiasaan Makan dengan Status Gizi pada Remaja di Perkotaan dan Perdesaan

5 19 49

Masalah dan Solusi Stunting Akibat Kurang Gizi di Wilayah Perdesaan

0 3 15

HUBUNGAN MODAL FINANSIAL DAN MODAL SOSIAL IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS MIRI KABUPATEN SRAGEN

0 4 82

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pedan Klaten.

0 3 16

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA USIA 2-5 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Diare Pada Balita Usia 2-5 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar.

0 1 13

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA USIA 2-5 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Diare Pada Balita Usia 2-5 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar.

0 0 16

HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALIJAMBE Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalijambe.

0 0 12

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PLERET, BANTUL, YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesm

0 0 15