Pengaruh Aplikasi Sistem Peresapan Biopori Terhadap Aliran Permukaan, Erosi, Kehilangan Hara Dan Produktivitas Tanaman Jagung (Zea mays) Dan Padi (Oryza sativa) Pada Tanah Latosol Darmaga

PENGARUH APLIKASI SISTEM PERESAPAN BIOPORI
TERHADAP ALIRAN PERMUKAAN, EROSI,
KEHILANGAN HARA DAN PRODUKTIVITAS
TANAMAN JAGUNG (Zea mays) DAN PADI (Oryza sativa)
PADA TANAH LATOSOL DARMAGA

Oleh :
Adik Bagus Sriana
A14052880

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRACT
ADIK BAGUS SRIANA. Application of Biopore Absorbtion System to Surface
Runoff, Erosion, Nutrition losses and Productivity of Corn (Zea mays) and
Upland Rice (Oryza sativa) on Land Latosol Darmaga (Supervised by YAYAT
HIDAYAT and KAMIR RAZIUDIN BRATA).

New technological innovations to reduce water and soil losses from
agricultural land such as application of biopore absorbtion hole is very important.
Reduction of water loss from agricultural land is required to maintain and improve
soil fertility to support plant growth optimaly. This research purpose to study the
effect of biopore absorbtion hole to reduce surface runoff, erosion, nutrient losses
and increase productivity of corn (Zea mays) and upland rice (Oryza sativa).
The research was design using randomized block design with soil
conservation techniques as the treatment. The treatments consist of: no soil and
water conservation techniques (T0), the conventional ditch (T1), conventional
ditch and vertical mulch (T2), conventional ditch and biopore absorbtion holes
(T3) and conventional ditch, vertical mulch and biopore absorbtion holes (T4).
Measurement of surface runoff and soil erosion was conducted on soil erosion
plot (10m x 2m). The parameters were observed included surface run-off, soil
erosion, sediment deposited in the ditch, the content of C, N, P, K, Ca and Mg on
the surface runoff and soil eosion which are deposited on ditch, and plant growth
and productivity of corn and upland rice.
The treatments of T1, T2, T3 and T4 are very effective in reducing surface
runoff and soil erosion which is equal up to 100% compared with no treatment
(T0). There treatment were also reduce nutrients losses in to ditch so that not loss
from farmland. T4 treatment is able to precipitate nutrients to ditch more than the

other on corn and upland rice season.
The treatments T2, T3 and T4 significantly effect to dry weight of biomass
and grain production of upland rice. The highest of biomass and grain upland rice
production was found in the T4 treatment, respectively 7.20 ton/ha and 9.51
ton/ha. Effect of treatments and sediment return from ditch to planting bed were
positive impact on production in the next planting season.

RINGKASAN
ADIK BAGUS SRIANA. Pengaruh Aplikasi Sistem Peresapan Biopori terhadap
Aliran Permukaan, Erosi, Kehilangan Hara dan Produktivitas Tanaman Jagung
(Zea mays) dan Padi (Oryza Sativa) pada Tanah Latosol Darmaga (di bawah
bimbingan YAYAT HIDAYAT dan KAMIR RAZIUDIN BRATA).
Inovasi teknologi baru untuk mengurangi hilangnya air dan tanah dari
lahan pertanaman seperti aplikasi lubang resapan biopori (LRB) sangat
diperlukan. Pengendalian kehilangan air dari lahan pertanian diperlukan agar
dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah untuk mendukung
pertumbuhan tanaman yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
pengaruh lubang resapan biopori (LRB) yang diaplikasikan ke dalam
microcatchment untuk mengendalikan aliran permukaan, erosi, kehilangan hara
dan meningkatkan produktivitas tanaman jagung (Zea mays) dan padi (Oryza

sativa).
Rancangan penelitian adalah acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan
Teknik Konservasi Tanah dan Air, 1 perlakuan kemiringan lereng dan 3 ulangan.
Perlakuan terdiri dari: perlakuan tanpa teknik konservasi tanah dan air (T0),
saluran konvensional (T1), saluran konvensional dan mulsa vertikal (T2), saluran
konvensional dikombinasikan dengan LRB (T3) dan perlakuan saluran
konvensional dikombinasikan dengan mulsa vertikal dan LRB (T4). Pengukuran
aliran permukaan dan erosi dilakukan dengan plot erosi berukuran 10 m x 2 m
yang diujung bawahnya dilengkapi bak penampung. Parameter yang diamati
meliputi aliran permukaan, erosi, sedimen terendapkan dalam saluran, kandungan
C, N, P, K, Ca dan Mg yang hilang dan yang terendapkan pada saluran serta
pertumbuhan dan produktivitas tanaman jagung dan padi.
Perlakuan T1, T2, T3 dan T4 sangat efektif dalam mengurangi volume
aliran permukaan dan erosi yaitu sebesar 100% dibandingkan dengan perlakuan
T0. Teknologi ini juga dapat mengendalikan kehilangan unsur hara ke dalam
saluran pada kedua musim sehingga tidak hilang terbuang dari lahan pertanian.
Perlakuan T4 dapat mengendapkan unsur hara ke dalam saluran cenderung lebih
banyak dibandingkan perlakuan lainya pada musim tanam jagung dan padi.
Perlakuan yang diterapkan mampu meningkatkan bobot biomasa dan
produksi bobot kering gabah padi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Bobot

biomasa padi berturut-turut adalah 7,2 ton/ha (T4), 6,74 ton/ha (T3), 6,52 ton/ha
(T2), dan 6,06 ton/ha (T1). Bobot kering gabah padi berturut-turut yaitu 9,51
ton/ha (T4), 8,44 ton/ha (T3), 7,14 ton/ha (T2), dan 4,75 ton/ha (T1). Pengaruh
perlakuan dan pengembalian hasil sedimen ke bedengan tanaman berdampak
positif terhadap produksi pada musim tanam berikutnya.

PENGARUH APLIKASI SISTEM PERESAPAN BIOPORI
TERHADAP ALIRAN PERMUKAAN, EROSI,
KEHILANGAN HARA DAN PRODUKTIVITAS
TANAMAN JAGUNG (Zea mays) DAN PADI (Oryza sativa)
PADA TANAH LATOSOL DARMAGA

Oleh :
ADIK BAGUS SRIANA
A14052880

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor


PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul

Penulis
NRP

: Pengaruh Aplikasi Sistem Peresapan Biopori terhadap
Aliran Permukaan, Erosi, Kehilangan Hara dan
Produktivitas Tanaman Jagung (Zea mays) dan Padi (Oryza
Sativa) pada Tanah Latosol Darmaga
: Adik Bagus Sriana
: A14052880

Menyetujui


Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Yayat Hidayat, MSi
NIP. 19650103 199212 1 002

Ir. Kamir Raziudin Brata, MSc
NIP. 19481212 197603 1 002

Mengetahui
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr.Ir. Syaiful Anwar, MSc
NIP.19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nganjuk pada tanggal 10 Maret 1988 sebagai anak
kedua dari dua bersaudara dari pasangan Juarayu dan Sri Hartini. Penulis memulai
pendidikan formal di SD Negeri 014 Kampung Baru pada tahun 1992 di
Tenggarong lulus pada tahun 1999. Kemudian pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Tenggarong hingga lulus tahun 2002,
dan pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tenggarong. Pada tahun
yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui
jalur BUD.
Penulis bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah pada periode
2006-2007 dan 2007-2008. Selain itu penulis juga aktif berpartisipasi sebagai
penyelenggara kegiatan dalam kampus pada kegiatan “Seminar dan Workshop
Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Pascapenutupan Tambang”, “Workshop
Reposisi Peran Stakeholders dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Hidup”, Seminar Nasional “Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya
Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi”, dan Seminar Nasional
“Soil and Mining” Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang
Berazazkan Kelestarian Lingkungan. Dalam bidang akademis penulis berperan
aktif sebagai asisten praktikum Pengantar Ilmu Tanah pada tahun 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT serta Shalawat
dan salam kepada Nabi Muhammad SAW atas rahmat, karunia serta ridho-Nya
sehingga penulis dapat menyelesai skripsi yang bertajuk ” Pengaruh Aplikasi
Sistem Peresapan Biopori terhadap Aliran Permukaan, Erosi, Kehilangan Hara,
dan Produktivitas Tanaman Jagung (Zea mays) dan Padi (Oryza sativa) pada
Tanah Latosol Darmaga” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pertanian pada program studi Manajemen Sumber Daya Lahan, IPB.
Melalui lembaran ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada bapak Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si, selaku dosen pembimbing yang selama
ini telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi kepada penulis terutama dalam
hal penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini, kepada Ir. Kamir Raziudin Brata
M.Sc, selaku dosen pembimbing atas kesabaran, bimbingan, masukan serta
nasehat yang diberikan kepada penulis selama penelitian berlangsung hingga
menyelesaikan tugas akhir ini. Kemudian kepada Ir. Wahyu Purwakusuma, M.Sc
selaku dosen penguji, penulis ucapkan terima kasih atas segala saran dan
masukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak, Ibu, Mbak Ika,
dan Mas Adi atas segala doa tulus yang dipanjatkan, kasih sayang, perhatian serta
perjuangan yang tiada henti hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
sampai pada jenjang S1. Gusmaini dan keluarga yang telah memberikan motivasi,

perhatian serta kasih sayangnya. Para sahabat Ari, Ikhsan, dan Dian atas
kebersamaannya. Rekan seperjuangan Andreas Halomoan Harianja atas
semangatnya dan Iwan untuk bantuanya selama di lapangan. Tak lupa buat temanteman soiler 42, “Viva Soil”.
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, penulis menyadari
tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian semoga segala sesuatu
yang dituangkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2011
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..............................................................................................

i

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................

iii


PENDAHULUAN .............................................................................................

1

Latar belakang .........................................................................................
Tujuan ......................................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................

3

Sistem Peresapan Biopori ........................................................................
Lubang Resapan Biopori .........................................................................
Mulsa Vertikal .........................................................................................
Aliran Permukaan ....................................................................................
Erosi .........................................................................................................
Microcatchment .......................................................................................

Jagung (Zea mays) ...................................................................................
Padi (Oryza sativa) ..................................................................................
Latosol .....................................................................................................

3
4
4
5
6
7
7
9
9

METODE PENELITIAN...................................................................................

11

Waktu dan Tempat ...................................................................................
Bahan dan Alat ........................................................................................
Parameter yang Diamati ..........................................................................
Pendekatan Statistika ...............................................................................

11
11
13
14

HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................................

15

Aliran Permukaan dan Erosi ....................................................................
Sedimen Terendapkan pada Saluran ........................................................
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman ......................................................

15
18
21

KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................

25

Kesimpulan ..............................................................................................
Saran ........................................................................................................

25
25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

26

LAMPIRAN .......................................................................................................

28

DAFTAR TABEL
Halaman
Teks
1. Rataan jumlah aliran permukaan dan erosi selama musim tanam jagung
dan padi......................................................................................................

15

2. Rataan jumlah sedimen terendapkan pada saluran selama musim tanam
jagung dan padi..........................................................................................

18

3. Jumlah unsur hara terendapkan pada saluran selama musim tanam
jagung.........................................................................................................

20

4. Jumlah unsur hara terendapkan pada saluran selama musim tanam padi..

20

5. Rataan tinggi tanaman jagung dan padi serta jumlah anakan padi............

21

6. Rataan jumlah biomassa dari tanaman jagung dan padi (ton/ha)...............

22

7. Rataan bobot hasil produksi dari tanaman jagung dan padi (ton/ha).........

23

Lampiran
1. Analisis sidik ragam aliran permukaan selama musim tanam jagung.......

29

2. Analisis sidik ragam aliran permukaan selama musim tanam padi...........

29

3. Analisis sidik ragam erosi selama musim tanam jagung...........................

29

4. Analisis sidik ragam erosi selama musim tanam padi...............................

29

5. Jumlah sedimen terendapkan di saluran selama musim tanam jagung.....

30

6. Analisis sidik ragam sedimen terendapkan di saluran selama musim
tanam jagung.............................................................................................

30

7. Jumlah sedimen terendapkan di saluran selama musim tanam padi.........

30

8. Analisis sidik ragam sedimen terendapkan di saluran selama musim
tanam padi.................................................................................................

30

9. Analisis sidik ragam tinggi tanaman jagung umur 10 mst........................

31

10. Analisis sidik ragam tinggi tanaman padi umur 11 mst...........................

31

11. Hasil pengukuran bobot biomasa selama musim tanam jagung...............

31

i

12. Analisis sidik ragam bobot biomassa selama musim tanam jagung.........

31

13. Hasil pengukuran bobot biomasa selama musim tanam padi...................

32

14. Analisis sidik ragam bobot biomassa selama musim tanam padi.............

32

15. Hasil pengukuran bobot pipilan selama musim tanam jagung..................

32

16. Analisis sidik ragam bobot pipilan kering selama musim tanam jagung..

32

17. Hasil pengukuran bobot gabah kering selama musim tanam padi............

33

18. Analisis sidik ragam bobot gabah kering selama musim tanam padi........

33

19. Data curah hujan 26 April–18 Agustus 2009 (musim tanam jagung).......

34

20. Data curah hujan 13 Oktober 2009–23 Februari 2010 (musim tanam
padi)...........................................................................................................

35

ii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Teks
1. Jumlah kehilangan hara melalui aliran permukaan pada musim tanam
jagung dan padi..........................................................................................

16

2. Jumlah kehilangan hara melalui erosi pada musim tanam jagung dan
padi.............................................................................................................

17

3. Sedimen terendapkan pada saluran............................................................

21

iii

PENDAHULUAN
Latar belakang
Lahan kering merupakan lahan yang kebutuhan air untuk tanamannya
tergantung pada hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap dalam kurun
waktu tertentu (Noeralam, 2002). Masalah pemanfaatan air hujan adalah masalah
utama yang sering dijumpai pada pertanian lahan kering. Banyaknya air yang
dihasilkan pada musim hujan yang belum dapat meresap kedalam tanah mengalir
menjadi aliran permukaan sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi dan
kehilangan hara dari permukaan tanah. Sebaliknya pada musim kemarau terjadi
kekurangan air (kekeringan).
Aliran permukaan dan erosi juga menyebabkan kemunduran terhadap sifat
kimia dan fisika tanah yaitu seperti kehilangan hara dan bahan organik, dan dapat
menurunkan kapasitas infiltrasi tanah serta menurunkan kemampuan tanah dalam
menahan air (Arsyad, 2006). Dengan melihat kejadian di atas perlu dilakukan
upaya dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi yang terjadi sehingga
terhindar dari penurunan produktivitas tanah dan berkurangnya pengisian air
bawah tanah dimusim hujan yang seharusnya dapat dipergunakan sebagai
cadangan air pada musim kemarau.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan
air yaitu dengan menggunakan inovasi dari teknik konservasi tanah dan air seperti
lubang resapan biopori (LRB). Lubang resapan biopori (LRB) merupakan lubang
berbentuk silindris berdiameter sekitar 10 cm atau lebih yang digali di dalam
tanah. Kedalamanya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari
permukaan tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan
air. Air tersebut meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding
LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah
cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan
tanah yang merupakan penyebab utama terjadinya erosi (Brata dan Nelistya,
2008).
Aplikasi LRB ke dalam kegiatan pertanian diharapkan dapat memberikan
pengaruh positif dalam mengurangi terjadinya aliran permukaan, erosi, dan
kehilangan hara dari petak pertanaman sehingga dapat mendukung pertumbuhan
1

dan produktivitas tanaman khususnya tanaman pangan lahan kering seperti jagung
dan padi. Menurut Purwono dan Purnamawati (2010) kebutuhan akan bahan
pangan yang terus meningkat setiap waktunya menyebabkan impor terus
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Untuk mengurangi
ketergantungan terhadap bahan pangan impor maka diperlukan perhatian lebih
dalam upaya peningkatan produksi tanaman pangan yang berkesinambugan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem peresapan
biopori yang diaplikasikan ke dalam microcatchment untuk mengendalikan aliran
permukaan, erosi, kehilangan hara dan meningkatkan produktivitas tanaman
jagung (Zea mays) dan padi (Oryza sativa).

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Peresapan Biopori
Menurut Brata dan Nelistya (2008) biopori (biopore) merupakan ruangan
atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan
akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan
bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air ke dan di dalam
tanah. Liang pada biopori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan
akar tanaman di dalam tanah serta meningkatnya aktivitas fauna tanah, seperti
cacing tanah, rayap, dan semut yang menggali liang di dalam tanah. Jumlah dan
ukuran biopori akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan akar tanaman serta
peningkatan populasi dan aktivitas organisme tanah.
Kelebihan biopori dibandingkan dengan pori makro di antara agregat tanah
antara lain (1) lebih mantap karena dilapisi oleh senyawa organik yang
dikeluarkan oleh tubuh cacing (Lee, 1985 dalam Brata dan Nelistya, 2008), (2)
berbentuk lubang silindris yang bersinambung dan tidak mudah tertutup oleh
adanya proses pengembangan karena pembasahan pada tanah yang bersifat vertik
(mengembang/mengerut) sekalipun (Dexter, 1988 dalam Brata dan Nelistya,
2008), (3) dapat menyediakan liang yang mudah ditembus akar tanaman (Wang,
Hesketh, dan Woolley, 1986 dalam Brata dan Nelistya, 2008), dan (4)
menyediakan saluran bagi peresapan air (infiltrasi) yang lancar ke dalam tanah
(Smettem, 1992 dalam Brata dan Nelistya, 2008). Aplikasi lubang resapan biopori
pada saluran yang terdapat dalam microcatchment dapat meningkatkan daya serap
tanah terhadap air sehingga dapat menekan aliran permukaan.
Menurut Brata dan Nelistya (2008) sistem peresapan biopori merupakan
sistem peresapan yang berdasarkan terhadap perbaikan kondisi ekosistem tanah
untuk meningkatkan fungsi hidrologis pada tanah tersebut. Lubang resapan
biopori dan penggunaan mulsa vertikal pada saluran merupakan beberapa bentuk
penerapan dari sistem peresapan biopori.

3

Lubang Resapan Biopori
Lubang resapan biopori (LRB) merupakan lubang berbentuk silindris
berdiameter sekitar 10 cm atau lebih yang digali di dalam tanah. Kedalamannya
tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan tanah. LRB
dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut
meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah
di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah cadangan air dalam tanah
serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah (Brata dan Nelistya,
2008).
Peningkatan laju peresapan melalui lubang resapan biopori dapat
mencegah terjadinya kerusakan lahan yang diakibatkan oleh aliran permukaan dan
erosi, dapat digunakan untuk mengatasi sampah organik sehingga mencegah
terjadinya genangan air serta dapat juga dijadikan sebagai tempat pengomposan
bagi sampah organik yang dimasukan ke dalam lubang (Brata dan Nelistya, 2008).
Penggunaan lubang resapan dan mulsa pada saluran mampu menekan terjadinya
aliran permukaan dan erosi dengan efektifitas mencapai 100% serta mampu
menekan kehilangan unsur hara dibandingkan perlakuan kontrol (Yanuar, 2005).

Mulsa Vertikal
Mulsa adalah teknik konservasi tanah dengan menggunakan bahan organik
(sisa tanaman). Peranan mulsa dalam konservasi tanah antara lain mengurangi laju
erosi tanah, mengurangi penguapan (evaporasi), menciptakan kondisi yang baik
bagi aktivitas microorganisme tanah dan dapat meningkatkan kandungan bahan
organik tanah (Abdurachman dan Sutono, 2002).
Mulsa mengurangi erosi dengan cara meredam energi hujan yang jatuh
sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan dan mengurangi laju kehilangan melalui aliran permukaan. Mulsa
sebagai sumber energi akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan dalam
proses perombakanya akan terbentuk senyawa-senyawa organik yang penting
dalam pembentukan struktur tanah. Efektifitas mulsa dalam menekan erosi dan
aliran permukaan tergantung jenis bahan dan jumlah mulsa yang diberikan.

4

Selanjutnya menurut Suwardjo (1981) untuk mencapai efektifitas yang tinggi
disarankan menggunakan sisa-sisa tanaman yang proses perombakanya berjalan
secara lambat seperti jerami padi, batang jagung, dan sorghum.
Mulsa vertikal adalah mulsa dari sisa tanaman yang diberikan pada alur
atau lubang. Mulsa vertikal yang telah lama diperkenalkan merupakan pemberian
mulsa yang dilakukan pada saluran teras gulud yang menutupi bidang resapan
secara vertikal. Mulsa vertikal pertama kali diperkenalkan oleh Spain dan
McCune (1956, dalam Brata, 1998).
Mulsa vertikal adalah penggunaan bahan mulsa dengan cara ditempatkan
pada parit-parit yang dirancang mengikuti kontur. Parit kontur biasanya dibuat
dengan lebar 25 cm dan dalam 25 cm kemudian diisi mulsa. Parit yang diisi mulsa
tersebut berfungsi menampung dan merembeskan air aliran permukaan serta
menahan sedimen. Mulsa vertikal dapat pula diterapkan pada parit-parit teras
bangku, pada parit-parit teras gulud untuk meningkatkan efektifitas pengendalian
aliran permukaan (FAO and IIRR, 1995 dalam Noeralam et al., 2003).
Sisa tanaman yang diberikan ke dalam lubang dan saluran akan menjadi
sumber energi bagi fauna tanah sehingga dapat beraktivitas membuat biopori,
memperkecil ukuran sampah organik, serta mencampurnya dengan mikroba yang
dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos dan
senyawa humus yang dapat memperbaiki kondisi ekosistem tanah (Brata dan
Nelistya, 2008).

Aliran Permukaan
Menurut Arsyad (2006) Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas
permukaan tanah atau bumi. Bentuk aliran inilah yang paling penting sebagai
penyebab erosi. Beberapa sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuanya
dalam menimbulkan erosi antara lain: jumlah, laju dan gejolak aliran permukaan.
Jumlah dari aliran permukaan menunjukkan jumlah dari air yang mengalir dalam
satu periode hujan tertentu yang dinyatakan dalam satuan tinggi (mm). Air yang
keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk seperti aliran
permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (sub-surface flow), aliran
bawah tanah (ground water flow), dan aliran sungai (stream flow).

5

Menurut Schwab et al., (1981) aliran permukaan tidak akan terjadi
sebelum evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi, tambatan permukaan
dan tambatan saluran terjadi. Haridjaja et al., (1991) menjelaskan hujan yang
jatuh di permukaan tanah akan terinfiltrasi ke dalam tanah setelah melewati tajuk
tanaman. Proses infiltrasi akan berlangsung hingga kapasitas lapang terpenuhi.
Apabila kapasitas lapang telah terpenuhi dan hujan masih berlanjut, maka
kelebihan air hujan ini akan tetap terinfiltrasi menjadi air perkolasi dan sebagian
lagi mengisi simpanan depresi. Setelah simpanan depresi penuh, maka kelebihan
air akan menjadi tambatan permukaan dan sebelum menjadi aliran permukaan
maka kelebihan air tersebut akan terevaporasi walaupun sangat kecil jumlahnya.
Menurut Schwab et al., (1981) durasi, intensitas, dan luasan area hujan
mempengaruhi aliran permukaan yang terjadi disuatu daerah. Kemampuan
infiltrasi tanah akan menurun sejalan dengan lamanya waktu terjadinya hujan
sehingga hujan dengan durasi waktu yang pendek tidak akan menimbulkan aliran
permukaan sedangkan hujan dengan intensitas yang sama tetapi terjadi dalam
waktu yang lama akan menimbulkan aliran permukaan. Intensitas hujan
mempengaruhi banyaknya jumlah aliran permukaan yang terjadi. Hujan intensitas
tinggi dapat menimbulkan aliran permukaan yang lebih besar dibandingkan hujan
dengan intensitas yang rendah walaupun presipitasi dari kedua hujan tersebut
sama. Hujan intensitas tinggi dapat menurunkan kemampuan infiltrasi tanah
karena kekuatan hujan tersebut mampu merusak struktur tanah yang berada di
permukaan.

Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut
yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah
tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin (Arsyad, 2006).
Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan dan kemudian
dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Di Indonesia
erosi yang terpenting adalah yang disebabkan oleh air (Hardjowigeno, 2007).

6

Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap erosi adalah topografi, yaitu
panjang dan kemiringan lereng. Dengan demikian usaha pencegahan erosi
mekanik dapat dilakukan dengan cara memperpendek lereng yakni dengan
pembuatan teras (Arsyad, 2006).
Pada dasarnya erosi oleh air ditentukan oleh lima faktor yaitu : (1) iklim,
(2) topografi, (3) tumbuh-tumbuhan, (4) tanah, dan (5) manusia. Di daerah
beriklim basah seperti Indonesia, faktor iklim yang paling besar pengaruhnya
terhadap aliran permukaan dan erosi adalah hujan. Jumlah, intensitas dan
distribusi hujan akan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah
dan kecepatan aliran permukaan akibat erosi (Sitorus, 2004). Semakin tinggi
kekuatan dispersi hujan terhadap tanah maka semakin mudah tanah dapat terbawa
oleh aliran permukaan. Arsyad (2006) menambahkan bahwa kemiringan dan
panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap
aliran permukaan dan erosi.

Microcatchment
Menurut Shaxson dan Barber (2003), sistem microcatchment merupakan
sub bagian terkecil dari kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mampu
menangkap dan meresapkan air hujan kedalam tanah. Fidelibus dan Bainbridge
(2004) menerangkan bahwa curah hujan yang tinggi dapat memproduksi aliran
permukaan namun dengan modifikasi permukaan tanah dapat mengurangi laju
aliran permukaan.
Bainbridge

(2002)

menjelaskan

bahwa

sistem

microcatchment

memberikan banyak keuntungan yaitu sangat mudah dan murah untuk dibangun
dengan menggunakan tenaga dan bahan setempat, hasil dari aliran permukaan
berkadar garam rendah sehingga salinisasi tanah tidak terjadi.

Jagung (Zea mays)
Dalam sistem klasifikasi tanaman jagung tergolong kedalam divisi
Spermatophyta, kelas Angiosperm, subklas Monocotyledon, ordo Graminales,
family Graminea, genus Zea, dan spesiesnya Zea mays. Sistem perakaran jagung
terdiri dari akar seminal, koronal dan akar udara. Akar seminal adalah akar yang
7

tumbuh ke bawah saat biji berkecambah, umumnya berjumlah 3-5 buah. Akar
koronal adalah akar yang tumbuh ke atas pada jaringan batang setelah plumula
muncul. Akar udara adalah akar yang tumbuh pada buku di atas permukaan tanah
yang berfungsi dalam asimilasi dan sebagai akar pendukung untuk memperkokoh
batang (Muhadjir, 1988).
Tanaman jagung dapat tumbuh sangat baik pada tanah yang gembur dan
kaya akan humus. Tanah yang padat serta kuat menahan air tidak baik untuk
ditanami jagung karena pertumbuhan akarnya akan kurang baik atau akarnya akan
menjadi busuk (Suprapto, 1998). Menurut Wirjodihardjo (1963) tanaman jagung
tumbuh baik di tanah lempung yang tebal dan tidak teramat keras, walaupun
tanaman jagung dapat juga tumbuh pada tanah berpasir atau tanah berkapur.
Tanah endapan lempung atau tanah hutan menghasilkan jagung yang teramat baik.
Ciri-ciri lahan yang sesuai (S1) untuk tanaman jagung menurut kriteria
kesesuaian lahan LREP (1994 dalam Hardjowigeno et al, 1999) meliputi sifatsifat fisik dan kimia tanah sebagai berikut: drainase tanah baik sampai sedang,
kedalaman efektif >60 cm, KTK tanah 17-24 me/100 g, pH tanah 6,0-7,0, kadar
C-organik >0,8%, kejenuhan Al 35 ppm dan K2O 21-40 me/100 g dengan tingkat bahaya erosi sangat
rendah. Kondisi iklim yang sesuai untuk pertanaman jagung meliputi daerah
dengan jumlah bulan kering 1-7 bulan dan curah hujan >1200 mm/tahun.
Tanaman jagung membutuhkan suhu yang tinggi. Suhu optimum bagi
pertumbuhan jagung pada 250 C dan suhu minimum 170 C, di Indonesia dapat
ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1500 m dari permukaan laut (dpl). Hal
ini menyebabkan tanaman jagung di Indonesia dapat ditanam pada setiap letak
tinggi dan setiap bulan. Tanaman jagung tidak tahan pelindung dan membutuhkan
penyinaran matahari secara langsung (Wirjodiharjo, 1963).
Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat
pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi,
mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan irigasi. Jagung merupakan
bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan pelestarian
swasembada pangan (Subandi et al., 1998).

8

Padi (Oryza sativa)
Padi termasuk dalam famili Graminae, sub famili Oryzae, dan genus
Oryza. Genus Oryza memiliki 20 spesies, tetapi yang banyak dibudidayakan
adalah Oryza sativa L. Di Asia, dan Oryza glaberrima steund. Di Afrika (Chang,
1976 dalam De Datta, 1981). Organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok,
yakni organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian-bagian vegetatif
meliputi akar, batang dan daun, sedangkan organ generatif terdiri dari malai,
gabah, dan bunga. Fase vegetatif dimulai dari tanaman berkecambah sampai
inisiasi primordial malai (60 hari atau tergantung varietas). Fase reproduktif
selanjutnya terdiri dari dua, yakni pra-berbunga dan pasca-berbunga (periode
pemasakan). Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai
berbunga (30 hari) dan fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai pemasakan
(30 hari) (De Datta, 1981).
Menurut Purwono dan Purnamawati (2010) berdasarkan pada sistem
budidayanya, padi dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu padi kering (gogo) yang
dapat ditanam di lahan kering (tidak digenangi) dan padi sawah yang ditanam di
sawah (selalu tergenang air). Padi gogo adalah salah satu tipe budidaya tanaman
padi yang cukup penting. Berbeda dengan padi sawah, pertumbuhan padi gogo
langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Karena tidak ada genangan
air secara terus menerus. Akibatnya terdapat berbagai tekanan seperti kekeringan.
Kriteria suatu lahan potensial ditanami padi gogo adalah (1) kedalaman efektif
tanah lebih dari 25 cm, (2) tekstur liat, berdebu halus, berlempung halus sampai
kasar, (3) pori air tersedia sedang sampai tinggi, (4) tanah tidak berbatu-batu, (5)
pH 4-8, (6) kejenuhan Al kurang dari 40%, (7) kedalaman padas lebih dari 50 cm,
(8) lereng kurang dari 8%, (9) iklim lebih basah dari D3, (10) kelas drainase agak
terhambat sampai agak cepat, (11) jumlah bulan basah kurang dari 4 bulan, (12)
salinitas kurang dari 4000 mmhos/cm2 (Soepraptohardjo dan Suwardjo, 1988).
Latosol
Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983 dalam Rachim dan Suwardi, 2002)
latosol merupakan tanah yang memiliki distribusi kadar liat tinggi (lebih atau
sama dengan 60%), remah sampai gumpal, gembur, dan warna secara homogen

9

pada penampang tanah dalam (.≥150 cm) dengan batas horison terselubung;
kejenuhan basa (NH4OAC) kurang dari 30% sekurang-kurangnya pada beberapa
bagian dari horison B di dalam penampang 125 cm dari permukaan; tidak
memiliki horison diagnostik (kecuali jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih dari
bahan baru), selain horison A umbrik atau horison B kambik, tidak
memperlihatkan gejala plintik di dalam penampang 125 cm dari permukaan.n
Menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957, dalam Hardjowigeno, 2003)
latosol adalah tanah yang mempunyai horison penciri berupa horison kambik,
latosol juga merupakan tanah dengan tingkat hancuran iklim intensif, sangat
tercuci dengan batas-batas horison baur, kandungan mineral primer (mudah lapuk)
dan unsur hara rendah, pH rendah 4,5-5,5, kandungan bahan organik rendah,
konsistensi gembur, striktur remah, stabilitas agregat tinggi, terjadi akumulasi
seskuioksida akibat pencucian silika. Warna tanah merah, coklat kemerahan,
coklat, coklat kekuningan, atau kuning tergantung dari bahan induk, umur, iklim
dan ketinggian. Nisbah silika terhadap seskuioksida dari fraksi liat umumnya
berkisar antara 1,5-1,8, kapasitas basa dipertukarkan 10-25 me/100 g tanah dan
kejenuhan basa 15-50% (Dudal dan Soepraptohardjo, 1960 dalam Suwardi dan
Wiranegara, 2000).
Tanah Latosol merupakan tanah yang penyebaranya sangat luas di
Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Latosol coklat kemerahan
Darmaga termasuk ke dalam orde Inceptisol menurut sistem klasifikasi USDA
1990 (Suwardi dan Wiranegara, 2000). Menurut Soil Survey Staff (1998, dalam
Hardjowigeno, 2003) Latosol diklasifikasikan sebagai Oxic Dystrudept.
Latosol terbentuk di daerah beriklim humid-tropik tanpa bulan kering
sampai subhumid dengan musim kemarau yang panjang, bervegetasi hutan basah
sampai savana, bertopografi dataran, bergelombang sampai berbukit dengan
bahan induk hampir semua jenis batuan (Suwardi dan Wiranegara, 2000). Tanah
latosol meluas di daerah tropika sampai subtropika (Darmawijaya, 1990). Di
Indonesia Latosol umumnya tardapat pada bahan induk volkanik baik berupa tufa
maupun batuan beku. Ditemukan dari muka laut hingga ketinggian 900 m dengan
topografi miring, bergelombang, vulkanik fan sampai pegunungan dan di daerah
iklim tropika basah dengan curah hujan 2500 mm-7000 mm (Darmawijaya, 1990).

10

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Cikabayan, Univercity Farm,
Institut Pertanian Bogor, Darmaga. Penelitian berlangsung dari bulan April 2009
sampai bulan Mei 2010.

Bahan dan Alat
Penelitian dilakukan pada Tanah Latosol Darmaga (Oxic Dystrudepts)
dengan kemiringan lereng 5%. Tanaman yang digunakan adalah tanaman jagung
hibrida (Zea mays) varietas Pioner 12 dan padi gogo (Oryza sativa) varietas Situ
Bagendit. Pupuk yang diberikan selama masa pertanaman berupa Urea, SP-18,
KCl, dan dolomit. Insektisida juga diberikan guna mengurangi serangan hama dan
penyakit. Mulsa yang digunakan untuk musim tanam jagung yaitu mulsa padi dari
sisa pertanaman penduduk sekitar kampus IPB Darmaga dan mulsa sisa
pertanaman jagung digunakan untuk musim pertanaman berikutnya (musim tanam
padi gogo).
Alat-alat lapang yang digunakan yaitu cangkul, tugal, sabit, kored,
meteran, timbangan, tali, ajir, ember, botol plastik, karung dan alat-alat lapang
lainnya. Alat yang digunakan di laboratorium untuk analisis tanah adalah oven,
mesin pengocok, pipet, buret, labu ukur, labu takar, gelas ukur, gelas piala,
timbangan Sartorius, kertas saring, Spektrofotometer, AAS, dan alat-alat
laboratorium lainnya.

Perlakuan
Penelitian dilakukan pada plot erosi dengan ukuran 10 m x 2 m. Aliran
permukaan dan erosi tanah yang keluar dari plot erosi diukur dengan
menggunakan bak penampung yang diletakkan diujung bawah plot erosi.
Deskripsi perlakuan sebagai berikut:
a. T0: tanpa perlakuan teknik konservasi tanah dan air (TKTA).

22

b. T1: saluran konvensional: saluran dibuat dengan dimensi 15 cm x 15 cm
(dalam dan lebar saluran). Bedengan (microcatchment) dibangun dengan
interval jarak saluran 2 m.
c. T2: saluran konvensional dikombinasikan dengan mulsa vertikal (serasah
tanaman dan bahan organik lainnya). Bedengan (microcatchment) dibangun
dengan interval jarak saluran 2 m.
d. T3: saluran konvensional dikombinasikan dengan lubang resapan biopori
(LRB). LRB dengan diameter 10 cm dan kedalaman lubang 100 cm diisi
dengan serasah tanaman dan bahan organik lainnya dengan interval 1 m pada
dasar saluran. Bedengan (microcatchment) dibangun dengan interval jarak
saluran 2 m.
e. T4: saluran konvensional dikombinasikan dengan mulsa vertikal dan LRB.
Bedengan (microcatchment) dibangun dengan interval jarak saluran 2 m.
Setiap petakan (plot erosi) berukuran 2 m x 10 m dengan jarak antar petakan
0,5 m yang berjumlah 15 petakan pada kemiringan lereng 5%. Setiap petakan
terdiri dari 5 bedengan (microcatchment) yang berukuran 2 m x 2 m. Tiap
bedengan ini dipisahkan oleh perlakuan teknik konservasi berupa saluran kecuali
petakan kontrol (T0). Petakan dibatasi batako dengan lapisan semen setinggi 7,5
cm dari permukaan tanah dan tertanam kedalam tanah sedalam 20 cm. Pada ujung
bawah petakan T0 dilengkapi dengan bak penampung erosi dan aliran permukaan
yang ditutup dengan terpal untuk menghindari air hujan agar tidak masuk ke
dalam bak penampung.
Setiap bedengan ditanami jagung dan padi searah kontur dengan sistem
double row dengan jarak dalam baris tanam 20 cm x 20 cm untuk ke dua musim
tanam dan jarak luar baris tanam 20 cm x 50 cm untuk jagung serta 20 cm
x 30 cm untuk padi. Dosis pupuk Urea dan KCl yaitu 100 kg/ha, sedangkan dosis
pupuk SP-18 dan Dolomit yaitu 200 kg/ha dan 2000 kg/ha. Dolomit diberikan
sebelum tanam sedangkan pemberian Urea, SP-18, dan KCl dilakukan pada
minggu ke dua setelah tanam.
Mulsa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sisa pertanaman
padi penduduk sekitar kampus (untuk musim tanam jagung) sebanyak 1,5 ton/ha
dan mulsa hasil dari pertanaman jagung (untuk musim tanam padi). Mulsa
diberikan pada saluran yang terdapat pada petakan sesuai dengan perlakuan.
12

Parameter yang Diamati
Aliran Permukaan dan Erosi
Penghitungan aliran permukaan dan erosi dilakukan setiap hari hujan
hanya pada petakan T0 saja. Petakan perlakuan T1, T2, T3, dan T4 tidak
dilakukan pengukuran, karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang
serupa mengenai aliran permukaan dan erosi, pada perlakuan selain T0
menunjukan nilai yang sangat kecil (Yanuar, 2005). Volume aliran permukaan
dan erosi dapat diukur dengan mengukur volume air pada bak penampung dan
menimbang bobot kering tanah yang terdapat di dalam bak tersebut secara
manual.
Pertumbuhan Tanaman
Parameter pertumbuhan tanaman jagung dan padi diamati dengan
mengukur tinggi 9 tanaman contoh yang terdapat pada semua petakan setiap
minggu sejak tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST) sampai
pertambahan tinggi maksimum.
Produktivitas Tanaman
Penghitungan bobot biomassa dan bobot hasil produksi tanaman dilakukan
setelah pemanenan dengan menimbang bobot kering biomassa tanaman dan bobot
kering biji tanaman jagung dan padi.
Sedimen Terendapkan
Bobot sedimen petakan T1, T2, T3, dan T4 yang tertampung pada saluran
dan lubang resapan diukur setiap akhir musim tanam. Bobot kering sedimen
dihitung dengan koreksi kadar air. Pengambilan sedimen untuk pengukuran bobot
sedimen dilakukan dengan menggali sedimen yang tertampung selama satu musim
tanam jagung dan padi pada saluran dan lubang resapan. Sedimen pada saluran
diambil dengan menggunakan cangkul hingga mencapai batas dasar saluran yang
ditandai dengan tali plastik. Sedimen pada lubang resapan diambil dengan
menggunakan bor. Sampel sedimen juga diambil untuk dianalisis di laboratorium
untuk mengetahui jumlah hara yang dapat diendapkan di saluran.

13

Kehilangan Hara
Sampel air dan tanah hasil aliran permukaan dan erosi diambil dari dalam
bak penampung yang terdapat pada petakan T0 dan diekstrak di laboratorium
untuk mengetahui jumlah hara yang hilang.
Curah Hujan
Pengukuran curah hujan dilakukan setiap hari mulai awal sampai akhir
periode pertanaman.

Pendekatan Statistika
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan Teknik Konservasi Tanah dan Air dengan 3 ulangan.
Model matematika yang digunakan adalah:
Yij = u + αi + βj + εij
Dimana :
Yij = nilai tengah pengamatan pada perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5) dan
ulangan ke-j (j = 1, 2, 3)
u = rataan umum
αi = pengaruh perlakuan TKTA (ke-i)
βj = pengaruh ulangan ke-j
εij = galat
Analisis ragam dilakukan untuk mempelajari pengaruh perlakuan dan
analisis beda nyata terkecil (BNT) digunakan untuk mengetahui beda antar
perlakuan.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Aliran Permukaan dan Erosi
Rataan volume aliran permukaan dan jumlah erosi tanah pada musim
tanam jagung dan padi disajikan pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan
bahwa perlakuan yang diterapkan berbeda sangat nyata dengan kontrol. Perlakuan
tersebut berpengaruh dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi yang
terjadi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (T0). Perlakuan kontrol (T0) tidak
menggunakan teknik konservasi tanah dan air menghasilkan aliran permukaan dan
erosi yang cukup tinggi yaitu sebesar 100,91 m3/ha dan 372,02 m3/ha (aliran
permukaan) dan 1,77 ton/ha dan 10,45 ton/ha (erosi tanah). Tingginya aliran
permukaan dan erosi pada T0 mengindikasikan tingginya kehilangan hara
sehingga akan menurunkan produktivitas tanaman pada musim tanam berikutnya.
Tabel 1 Rataan jumlah aliran permukaan dan erosi selama musim tanam
jagung dan padi
Musim Tanam Jagung

Musim Tanam Padi

Perlakuan

Aliran Permukaan
Erosi
Aliran Permukaan
Erosi
(m3/ha)
(ton/ha)
(m3/ha)
(ton/ha)
T0
100,91aA*
1,77aA*
372,02aA*
10,45aA*
T1
T2
T3
T4
BNT 5%
8,87
1,05
11,68
0,32
BNT 1%
12,91
1,52
17,00
0,46
*)Angka yang diikuti dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 1%
dan angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α =
5% berdasarkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

Perlakuan saluran konvensional (T1), saluran konvensional dan mulsa
vertikal (T2), saluran konvensional dan LRB (T3) dan perlakuan saluran
konvensional, mulsa vertikal dan LRB (T4) dapat menekan terjadinya aliran
permukaan dan erosi dengan sangat efektif dibandingkan dengan perlakuan tanpa
teknik konservasi tanah dan air (T0). Tidak adanya penggunaan teknik konservasi
pada perlakuan T0 menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi.
Terkendalinya aliran permukaan pada perlakuan yang diterapkan (T1, T2,
T3, dan T4) diakibatkan oleh adanya saluran pada tiap-tiap perlakuan yang
berfungsi sebagai penampung aliran permukaan sehingga air tersebut dapat

15

diresapkan ke dalam tanah lebih banyak. Penambahan mulsa pada saluran (T2),
penambahan lubang resapan biopori (LRB) pada saluran (T3), dan kombinasi
mulsa vertikal dan LRB ke dalam saluran (T4) dapat meningkatkan kemampuan
saluran dalam meresapkan air secara signifikan sebagai akibat terciptanya biopori
dari aktivitas fauna tanah yang lebih banyak (padat) dibandingkan dengan
perlakuan lainya menurut Sa’adah (2010).
Pengendalian aliran permukaan dan erosi dengan aplikasi saluran, mulsa
vertikal, dan lubang resapan biopori sangatlah dianjurkan guna mencegah
kehilangan air, tanah, dan unsur hara sehingga dapat dipertahankan keberadaanya
untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas tanaman serta dapat
mempermudah para petani dalam pemanfaatan sisa tanaman hasil pertanian
sehingga tidak perlu dilakukan pembuangan maupun pembakaran terhadap
serasah tanaman yang seharusnya sangat bermanfaat bagi tanah.
Kehilangan hara dari permukaan tanah merupakan salah satu akibat utama
dari terjadinya aliran permukaan dan erosi. Peristiwa ini terjadi karena hara
umumya banyak terdapat di lapisan atas tanah (top soil) sehingga aliran
permukaan yang terjadi selain membawa tanah menjadi erosi juga membawa hara
tanah keluar dari petak pertanaman. Oleh sebab itu penggunaan teknik konservasi
tanah dan air serta inovasinya seperti lubang resapan biopori (LRB) pada lahan
pertanian sangatlah diperlukan agar dapat mengendalikan kehilangan hara. Jumlah
hara yang hilang melalui aliran permukaan pada perlakuan T0 ditunjukkan oleh
Gambar 1.

Gambar 1 Jumlah kehilangan hara melalui aliran permukaan pada musim
tanam jagung dan padi.

16

Nitrogen (N) merupakan hara yang hilang paling banyak kemudian disusul
oleh Ca, Mg, K dan terakhir Na. Tingginya kehilangan N disebabkan karena N
dalam bentuk NO3 (nitrat) banyak terdapat di permukaan tanah dan mudah tercuci
oleh aliran air (Hardjowigeno, 2007). Penambahan unsur Ca dalam dolomit
dengan jumlah besar ke permukaan tanah meningkatkan jumlah unsur Ca yang
hilang terbawa aliran permukaan. C-org dan P tersedia tidak terdapat dalam aliran
permukaan yang terjadi karena hara tersebut tidak terdapat dalam sampel air yang
diekstrak di laboratorium atau jumlahnya terlalu kecil.
Jumlah hara yang hilang melalui erosi pada perlakuan T0 ditunjukkan
pada Gambar 2. Pada musim tanam jagung dapat dilihat bahwa C-org hilang
sebesar 64,1 kg/ha, N-total hilang sebesar 1,89 kg/ha, P tersedia hilang sebesar
0,019 kg/ha, K hilang sebesar 0,065 kg/ha, Ca hilang sebesar 0,484 kg/ha, dan Mg
hilang sebesar 0,65 kg/ha. Sedangkan pada musim tanam padi dapat dilihat C-org
yang hilang sebesar 249,8 kg/ha, N-total sebesar 12,78 kg/ha, P tersedia sebesar
0,098 kg/ha, K sebesar 0,554 kg/ha, Ca sebesar 2,543 kg/ha, Mg sebesar
2,54 kg/ha.

Gambar 2 Jumlah kehilangan hara melalui erosi pada musim tanam
jagung dan padi.
Tingginya kehilangan C disebabkan karena bahan organik banyak terdapat
di permukaan tanah dan dengan bobot isi yang rendah mempermudah bahan
organik terangkut oleh aliran permukaan. Hara terbesar kedua yang hilang adalah
Nitrogen hal ini disebabkan karena hara tersebut mudah sekali tercuci oleh air
hujan dan kemudian terbawa bersama bahan padatan tanah (erosi). Rendahnya P
tersedia yang hilang melalui erosi disebabkan karena fosfor merupakan unsur
yang relatif sukar larut, pada tanah yang masam fosfor merupakan unsur yang

17

diikat kuat oleh unsur-unsur Al dan Fe. Keberadaan fosfor di dalam tanah juga
relatif sedikit dibandingkan dengan unsur hara lainnya (Hardjowigeno, 2007).
Unsur N yang hilang oleh aliran permukaan relatif lebih besar dibandingkan erosi
disebabkan karena unsur N lebih mudah larut dalam air dibandingkan terbawa
oleh bahan padatan tanah.

Sedimen Terendapkan pada Saluran
Sedimen terendapkan pada saluran adalah tanah yang terbawa aliran
permukaan dan erosi yang terendapkan ke dalam saluran serta yang masuk ke
dalam LRB. Hasil sedimen tersebut pada akhir musim tanam akan diangkut dan
dikembalikan lagi pada bedengan yang ada di sebelah hulu saluran untuk
persiapan musim tanam selanjutnya.
Jumlah sedimen terendapkan pada saluran dalam dua musim tanam
(jagung dan padi) dapat dilihat pada Tabel 2. Perlakuan T1, T2, T3 dan T4 mampu
mengendapkan sedimen pada saluran sehingga tidak terbuang keluar dari petakan.
Perlakuan T1 pada musim tanam jagung mengendapkan sedimen tanah sebanyak
31,18 ton/ha, perlakuan T2 sebesar 34,16 ton/ha, perlakuan T3 sebesar
38,04 ton/ha, dan perlakuan T4 sebesar 36,74 ton/ha.
Tabel 2 Rataan jumlah sedimen terendapkan pada saluran selama musim
tanam jagung dan padi
Sedimen Terendapkan
Sedimen Terendapkan
Efektifitas
Jagung (ton/ha)
Padi (ton/ha)
Terhadap T0 (%)
T0
0,00cB*
0,00dC*
T1
31,18bA
31,43cB
100
T2
34,16abA
41,33bB
100
T3
38,04aA
51,32aA
100
T4
36,74aA
48,58aA
100
BNT 5%
5,00
6,57
BNT 1%
7,27
9,55
*)Angka yang diikuti dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α = 1%
dan angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α =
5% berdasarkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
Perlakuan

Pada musim tanam padi perlakuan T1 mengendapkan sedimen tanah
sebanyak 31,43 ton/ha, perlakuan T2 sebesar 41,33 ton/ha, perlakuan T3 sebesar
51,32 ton/ha, dan perlakuan T4 sebesar 48,58 ton/ha. Sedangkan perlakuan
konvensional (T0) pada kedua musim tidak dapat mengendapkan sedimen tanah

18

karena tidak adanya penggunaan teknik konservasi sehingga air dan tanah
terbuang keluar dari petakan yang berarti bahwa unsur hara yang terdapat dalam
air dan tanah tersebut juga hilang keluar petakan melalui aliran permukaan dan
erosi yang terjadi.
Laju aliran permukaan pada dinding saluran lebih besar dibandingkan
dengan laju aliran permukaan pada bidang tanam, sehingga dinding saluran
terkikis oleh aliran permukaan. Kemudian, dinding saluran yang terkikis
menambah jumlah sedimen pada saluran. Hal ini menyebabkan jumlah total