Pengaruh Suhu dan Lama Penceluran Terhadap Mutu Tepung Bonggol Pisang Kepok

(1)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENCELURAN TERHADAP

MUTU TEPUNG BONGGOL PISANG

SKRIPSI

OLEH:

JIMMI FERES A. SITORUS 030305034/THP

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2008


(2)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENCELURAN TERHADAP

MUTU TEPUNG BONGGOL PISANG

SKRIPSI

OLEH:

JIMMI FERES A. SITORUS 030305034/THP

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat untuk Melakukan Penelitian di Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing,

Ir. A. Halim Sulaiman, M.Sc Ir. Setyohadi, M.Sc Ketua Anggota

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2008


(3)

(4)

Judul Skripsi : Pengaruh Suhu dan Lama Penceluran Terhadap Mutu Tepung Bonggol Pisang Kepok

Nama : Jimmi Feres A. Sitorus

NIM : 030305034

Departemen :Teknologi Pertanian Program Studi :Teknologi Hasil Pertanian

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing,

Ir. A. Halim Sulaiman, M.Sc Ir. Setyohadi, M.Sc Ketua Anggota

Mengetahui

Ir.Saipul Bahri Daulay Ketua Departemen/Program Studi


(5)

RIWAYAT HIDUP

Jimmi Feres A. Sitorus, Lahir di Medan pada tanggal 19 Oktober 1984. Anak ke-1 dari lima bersaudara dari ayahanda J.M Sitorus dan ibunda H.Simanjuntak,beragama Kristen Prostestan..

Pada tahun 1991, penulis memasuki SD.Swasta Teladan Sumatera Utara di Medan dan lulus pada tahaun 1997. Kemudian Memasuki jenjang pendidikan SLTP Swasta S.T Thomas -3 di Medan dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya Penulis penulis memasuki jenjang pendidikan SMU Negri 12 Medan dan lulus pada tahun 2003.Penilis memasuki Departemen Teknologi dengan program studi Teknologi Hasil Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan melalui jalur SPMB pada tahun 2003.

Selama mengikuti perkulian penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian (IMTHP) pada tahun 2003 – 2008..Penulis telah mengikuti Praktek kerja Lapangan (PKL) di di Pabrik Kelapa Sawit P.T SOCFINDO, Kebun Bangun Bandar Sumatera Utara..


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini berjudul “ Pengaruh Suhu dan Lama Penceluran Terhadap Mutu tepung Bonggol Pisang Kepok”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Ir.A.H Sulaiman,Msc selaku ketua komisi pembimbing dan Ir.Setyohadi, Msc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan , arahan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ayahanda J.M Sitorus dan Ibunda H.Simanjuntak,adik-adik saya Ricky Sitorus, Arfri Sitorus, Niko Sitorus,dan Willy Sitorus yang telah banyak memberikan semangat,nasehat serta doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ngamanken Barus ,M.Ali, Aidina, Natra.adik-adik stambuk 2004, 2005, 2006 serta teman-teman seperjuangan stambuyk 2003 atas bantuasn moral doa serta motivasinya pada penulis selama penyusunan skripsi ini.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan untuk kepentingan penelitian selanjutnya.

Medan,Desember 2008


(7)

DAFTAR TABEL

1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang per 100 gr bahan 2. Komposisi Kimia Tepung Tapioka (per 100 gram bahan) 3. Komposisi Kimia Tepung Terigu (per 100 gram bahan) 4. Komposisi Kimia Tepung Beras (per 100 gram bahan) 5. Komposisi Kimia Tepung Jagung (per 100 gram bahan) 6. Skala uji hedonik

7. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Parameter yang Diamati. 8. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Parameter yang Diamati

9. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang

10. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang

11. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Interaksi suhu dan Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang

12. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang

13. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang

14. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang


(8)

terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang

16. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang

17. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang

18. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang

19. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang

20. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang

21. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang


(9)

DAFTAR GAMBAR

1. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang 2. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang

3. Pengaruh Interaksi suhu dan Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang

4. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang

5. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang

6. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang

7. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang 8. Pengaruh lama Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang 9. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang 10. Pengaruh Lama Penceluran terhadap organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang


(10)

RINGKASAN

JIMMI FERES A. SITORUS, “Pengaruh Suhu dan Lama Penceluran terhadap Mutu Tepung Bonggol Pisang”.dibimbing oleh Ir. A.H Sulaiman, M.Sc

selaku ketua pembimbing dan Ir. Setyohadi M.Sc selaku anggota pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui pengaruh suhu dan

lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kapok

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 2 faktor, yaitu

faktor I : Suhu Penceluran (S),yang terdiri dari empat taraf, yaitu :S1=75OC, S2=80 O

C, S3= 85 OC, S4= 90 OC dan faktor II : Lama Penceluran (L) yang terdiri dari

empat taraf, yaitu :L1= 5 menit, L2,= 10 menit, L3=15menit, L4= 20 menit

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Rendemen (%)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap rendemen

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Rendemen tertinggi terdapat pada

perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 8,21% dan terendah pada S4 (suhu

penceluran 90oC) sebesar 7,47%. Lama penceluran berpengaruh sangat nyata

(p<0,01) terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit)

sebesar 8,25% dan nilai terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar

7,52%.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh nyata (p<0,05)


(11)

pada interaksi perlakuan S1L1 yaitu sebesar 8,64 dan terendah pada S4L4 yaitu

sebesar 7,30.

2. Kadar Air (%)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Kadar air tertinggi diperoleh pada

perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 7,75% dan terendah pada S4 (suhu

penceluran 90oC) sebesar 5,75%. Lama penceluran berpengaruh sangat nyata

(p<0,01) terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepokyang dihasilkan. Kadar

air tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) sebesar 7,75%

dan terendah pada L1 (lama penceluran 20 menit) sebesar 5,75%.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji LSR tidak

dilanjutkan.

3. Residu Sulfit (ppm)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsentrasi

residu sulfit tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Konsentrasi residu

sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan S1(suhu penceluran 75oC) sebesar 186,5

ppm dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 66 ppm. Lama

penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap konsentrasi residu sulfit

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Konsentrasi residu sulfit tertinggi

terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) sebesar 174,5 ppm dan


(12)

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok,

sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

4. Suhu Gelasi (oC)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap suhu gelasi

yang dihasilkan. Suhu gelasi tertinggi terdapat pada perlakuan S4 (suhu

penceluran 90oC) sebesar 86,39% dan terendah pada S1 (suhu penceluran 75oC)

sebesar 68,14%. Lama penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) suhu gelasi

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Suhu gelasi tertinggi terdapat pada

perlakuan L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar 86,44% dan terendah pada L4

(lama penceluran 20 menit) sebesar 72,79%.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap suhu gelasi tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji LSR

tidak dilanjutkan.

5. Daya Mengembeng (ml/ml)

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap daya

mengembang yang dihasilkan. Daya mengembang tertinggi terdapat pada

perlakuan S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 7,24 ml/ml dan terendah pada S1

(suhu penceluran 75oC) sebesar 5,55 ml/ml. Lama penceluran berpengaruh sangat

nyata (p<0,01) daya mengembang tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Daya mengembang tertinggi terdapat pada perlakuan L4 (lama penceluran 20

menit) sebesar 6,79 ml/ml dan terendah pada L4 (lama penceluran 5 menit)


(13)

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap daya mengembung tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji

LSR tidak dilanjutkan.

6. Uji Organoleptik Warna

Suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap organoleptik

tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan. Organoleptik warna tertinggi

diperoleh pada perlakuan S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 3,20 dan terendah

pada S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 2,80. Lama penceluran berpengaruh

sangat nyata (p>0,05) terhadap organoleptik warna tepung bonggol pisang kepok

yang dihasilkan. Organoleptik warna tertinggi diperoleh pada perlakuan S4 (lama

penceluran 90oC) sebesar 3,11 dan terendah pada S1 (lama penceluran 75oC)

sebesar 2,84.

Interaksi antara suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata

(p>0,05) terhadap organoleptik warna tepung bonggol pisang kepok yang


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman pisang kepok termasuk tanaman yang serbaguna. Selain buahnya, bagian lainnya juga dapat dimanfaatkan. Bonggol pisang kepok dapat dijadikan soda sebagai bahan baku sabun dan pupuk kalium. Batangnya dapat digunakan sebagai penghasil serat bahan baku kain dan makanan ternak. Daun pisang kepok banyak digunakan sebagai pembungkus makanan tradisional (Sucipto, 2003).

Pisang kepok kepok cocok untuk makanan olahan. Jenis pisang kepok ini yang lebih dikenal adalah pisang kepok kepok putih dan pisang kepok kepok kuning dengan warna daging buah sama seperti namanya. Daging buah bertekstur agak keras dengan aroma yang kurang harum. Kulit buah sangat tebal dan berwarna hijau kekuningan pada buah yang telah masak. Pisang kepok kepok kuning rasanya lebih enak daripada pisang kepok kepok putih. Dalam satu tandan dapat mencapai 10-16 sisir (satu sisir berisi 20 buah pisang kepok) dengan berat per tandan 14-22 kg.

Selain buahnya, tanaman pisang kepok juga dapat dimanfaatkan dari bagian bonggol hingga daunnya. Bonggol tanaman pisang kepok (berupa umbi batang) dan batang muda dapat diolah menjadi sayuran. Bunga pisang kepok (dikenal sebagai jantung pisang kepok) dapat digunakan untuk sayur, manisan, acar, maupun lalapan. Daunnya dapat memberikan rasa harum spesifik pada nasi yang dibungkus dalam keadaan panas.

Bonggol pisang kepok yang selama ini masih dianggap sebagai barang yang tidak berguna atau hanya menjadi sampah/limbah pisang kepok. Munculnya gagasan meneliti bonggol pisang kepok ini disebabkan karena melihat besarnya produksi pisang kepok di Indonesia dan tingginya tingkat kebutuhan Indonesia akan produksi tepung terutama bagi


(15)

kalangan industri pangan. Selama ini orang lebih tertuju pada buah pisang kepoknya saja, sedangkan bonggol pisang kepok terlupakan. Tingginya harga tepung terigu yang dijual sehingga banyak industri kecil yang tidak dapat menerusakan usahanya. Padahal, diperkirakan setiap tahun ada tiga juta ton bonggol pisang kepok yang belum dimanfaatkan. Dengan pemanfaatan bonggol pisang kepok ini ternyata memiliki nilai ekonomi yang dapat dijadikan sebagai tepung yang dapat digunakan untuk produksi bahan pangan.

Dalam pembuatan tepung bonggol pisang kepok kepok sering terjadi reaksi pencoklatan. Untuk mencegah reaksi pencoklatan dapat dilakukan dengan ”penceluran”. Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ”pengaruh suhu dan lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok”.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok.


(16)

Kegunaan Penelitian

- Sebagai bahan informasi dalam pembuatan tepung bonggol pisang - Sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hipotesa Penelitian

- Diduga ada pengaruh suhu penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok.

- Diduga ada lama penceluran terhadap mutu tepung bonggol pisang kepok. - Diduga ada pengaruh interaksi antara suhu penceluran dan lama penceluran


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Tentang Tanaman Pisang

Tanaman pisang termasuk dalam golongan monokotil tahunan berbentuk pohon yang tersusun atas batang semu. Batang semu ini merupakan tumpukan pelepah daun yang tersusun secara rapat teratur. Percabangan tanaman bertipe simpodial dengan meristem ujung memanjang dan membentuk bunga lalu buah. Bagian bawah batang pisang menggembung berupa umbi yang disebut bonggol. Pucuk lateral (sucker) muncul dari kuncup pada bonggol yang selanjutnya tumbuh menjadi tanaman pisang kepok (Sunarjono, 2003).

Tanaman Pisang (Musa paradisiaca Linn.) merupakan tanaman yang mudah tumbuh di daerah tropik. Tanaman ini banyak terdapat di Asia Tenggara. Di Indonesia, tanaman pisang masih banyak yang dapat tumbuh subur di daerah pegunungan hingga ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Tanaman pisang juga dapat bertahan hidup pada musim kering (kemarau), hal ini sebabkan oleh batang pisang yang mengandung air berkisar 80-90 % (Sunarjono, 2003).

Pisang merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara, yaitu berasal dari Semenanjung Malaysia dan Filipina. Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa pisang berasal dari Brasil dan India. Dari sini kemudian menyebar hingga ke Pasifik (Sunarjono, 2003).

Pisang yang tergolong tanaman buah ini tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat. Tumbuhan ini berdasarkan klasifikasi ilmiahnya, pisang yang tergolong ke


(18)

Kingdom hingga species berikut ini: - Kingdom : Plantae

- Division : Magnoliophyta - Class : Liliopsida

- Order : Zingiberales - Family : Musaceae - Genus : Musa

- Species : Musa Paradisiaca, Linn. (Sunarjono , 2003).

Sekilas Tentang Bonggol Pisang

Pisang (Musa paradisiacal, L) merupakan tanaman asli daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Saat ini pisang telah tersebar ke berbagai pelosok dunia :kepulauan di Pasifik, kawasan Timur Tengah, India, Amerika dan Cina (Sunarjono, 2003).

Selain buahnya, ada bagian lain dari tanaman pisang yang sangat jarang dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu umbi batang pisang (bonggol pisang /rimpang pisang) (Sunarjono, 2003).

Bonggol pisang bila dibiarkan begitu saja akan menjadi limbah pertanian yang tidak bermanfaat. Di Indonesia, masalah limbah sedang giat-giatnya dipikirkan untuk bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi (Sunarjono, 2003).

Komposisi Kimia Bonggol Pisang

Bonggol pisang cukup banyak mengandung karbohidrat (11,6%), disamping mengandung mineral dan vitamin. Oleh sebab itu tidaklah salah bila bonggol pisang juga


(19)

dipergunakan sebagai bahan makanan, baik untuk manusia ataupun hewan. Karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi maka patinya dapat dipisahkan dari ampasnya (Munadjim, 1984).

Tabel 1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang per 100 gr bahan

Komposisi Kimia Basah Kering Kalori (kal) 43 245

Protein (g) 0,6 3,4 Lemak (g) - - Karbohidrat (g) 11,6 66,2 Ca (mg) 15 60 P (mg) 60 150

Fe (mg) 0,5 2 Vitamin A (SI) - -

Vitamin B (mg) 0,01 0,04 Vitamin C (mg) 12 4 Air (%) 86 20 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Sekilas Tentang Tepung

Setiap jenis tepung mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat beragam, dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia patinya. Sifat-sifat ini sangat mempengaruhi produk makanan yang dihasilkan (Somaatmadja, 1983).

Tepung adalah bahan makanan yang berbentuk bubuk (tepung) yang diolah dari biji-bijian, umbi-umbian dan bagian isi dari batang tanaman. Tepung makanan disini adalah tepung beras, tepung jagung, tepung terigu, tepung tapioka, tepung hun-kwee dan tepung aren (Zarlis dan Harja, 1981).

a. Tepung Tapioka

Menurut Iryanto (1985) ubi kayu disebut juga tapioka yang merupakan granula dari karbohidrat, berwarna putih, tidak mempunyai rasa manis dan tidak berbau yang


(20)

diperoleh dari hasil ekstraksi dari umbi ketela pohon (Manihot utilisima).

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstrasi ubi kayu melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan pati, dan pengeringan (Astawan, 2003).

Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran pada berbagai macam produk antara lain kerupuk, dan kue kering lainnya. Selain itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan pemadat dan pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astwan, 2003).

Tabel 1. Komposisi Kimia Tepung Tapioka (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 362 Protein (g) 0,5

Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 86,9

Air (g) 12,0 P (mg) 0,0 Kalsium (mg) 0,0

Fe (mg) 0,0 Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996).

b. Tepung Terigu

Tepung terigu mengandung pati 65 % - 70 % dengan rasio amilosa – amilopektin 74 % dan 26 %. Tergantung jenisnya, gandum mengandung protein sebesar 6 – 13 % (Praptiningsih, et al., 2003).

Protein dalam gandum yang berupa gliadin dan glutenin membantu proses pengikatan air dalam adonan kerupuk. Dengan demikian penambahan tepung gandum dalam pembuatan kerupuk akan meningkatkan kadar air adonan, sehingga akan


(21)

mempengaruhi proses gelatinisasi dan lama pemasakan adonan (Praptiningsih, et al., 2003).

Proporsi penggunaan terigu untuk industri pengolahan bahan pangan di Indonesia relatif besar. Oleh sebab itu, pemanfaatan tepung tapioka sebagai pensubstitusi (mengurangi penggunaan) terigu dalam pembuatan produk olahan diharapkan memberi keuntungan yang cukup besar (Astawan, 2003).

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Terigu (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 365 Protein (g) 8,9

Lemak (g) 1,3 Karbohidrat (g) 77,3

Air (g) 12,0 P (mg) 106 Kalsium (mg) 16

Fe (mg) 1,2

Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996). c. Tepung Beras

Granula pati beras memiliki ukuran paling kecil diantara pati-pati yang umum diproduksi. Pati ini memiliki ukuran yang bervariasi dari 3µ - 5µ. Pati beras menyerupai pati gandum tetapi sedikit lebih seragam dan berbentuk polygonal. Kandungan amilosa tepung beras sekitar 18,5 persen (Mulyohardjo, 1988).


(22)

Komposisi kimia tepung beras dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Beras (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 364 Protein (g) 7

Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 80

Air (g) 12 P (mg) 140 Kalsium (mg) 5

Fe (mg) 0,8

Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996). d. Tepung Jagung

Granula pati jagung memiliki ukuran yang bervariasi dari 10 – 25µ. Walaupun demikian pati jagung dari pabrik modern memiliki ukuran diameter kurang lebih 5µ dan biasanya berbentuk polygonal walaupun ada granula yang berbentuk bulat yang berasal dari endosperm bagian dalam (Mulyohardjo, 1988).

Komposisi kimia tepung jagung dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Jagung (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 355 Protein (g) 9,2

Lemak (g) 3,9 Karbohidrat (g) 73,7

Air (g) 12 P (mg) 256 Kalsium (mg) 10

Fe (mg) 2,4

Bdd 100


(23)

Manfaat Pemberian Tepung pada Bahan Pangan

a. Tepung sebagai Bahan Pengisi

Bahan pengisi merupakan bahan yang ditambahkan dalam jumlah yang lebih sedikit dari bahan utamanya. Pada umumnya bahan pengisi terdiri dari materi yang dapat mengembang dan mempunyai kandungan air relatif rendah (Forkner, 1974). Menurut Wilson, (1960) penambahan bahan pengisi berfungsi untuk menarik air, memberikan warna khas dan membentuk tekstur yang padat.

b. Tepung sebagai Bahan Perbaikan Tekstur

Pati dapat memberikan tekstur, kekentalan dan meningkatkan permeabilitas dari berbagai bahan makanan. Kegunaannya yang paling banyak adalah untuk perkat

(Buckle, et al., 1987).

Pati mempunyai rasa tidak manis, tidak larut dalam air dingin tapi larut dalam air panas, dapat membentuk sol atau gel yang bersifat kental. Sifat kental ini dapat dipakai untuk mengatur tekstur makanan Tarigan, (1986). Menurut Moehyi, (1992) pati digunakan untuk memperbaiki tekstur serta rasa makanan.

Pembuatan Tepung Bonggol Pisang

Pengupasan adalah proses memisahkan bahan dari luarnya. Biasanya bagian luar bahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan isi bahan. Pengupasan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alat yang terbuat dari stainless steel untuk menghindari terbawanya ion-ion logam (besi atau tembaga) yang dapat mempercepat timbulnya reaksi pencokelatan sehingga warnanya menjadi cokelat (Sulistyowati, 2001).

Pencucian daging buah dengan air bersih yang mengalir dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat maupun tercampur pada daging


(24)

buah (Sulistyowati, 2001).

Pengecilan ukuran dilakukan untuk mendapatkan hasil yang mutunya bagus dan mempercepat proses pengeringan (Rahayu dan Berlian, 1999).

Setelah pekerjaan pengupasan kulit selesai, dilakukan pemotongan bahan. Umumnya bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris untuk mempercepat pengeringan. Hal ini dapat terjadi karena :

1. Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan bahan dan permukaan yang luas dapat memberikan lebih banyak permukaan bahan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas serta lebih banyak permukaan air yang keluar.

2. Potongan-potongan atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana melalui massa air dari pusat bahan harus keluar ke permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan

(Kartasapoetra, 1994).

Reaksi browning mulai terjadi beberapa saat setelah bonggol pisang kepok dikupas atau diiris. Daging pada bekas irisan atau kupasan yang semula berwarna putih, mula-mula akan berubah warna menjadi cokelat dan akhirnya menjadi hitam. Untuk mencegah terjadinya reaksi browning tersebut, dapat digunakan bahan-bahan kimia yang berfungsi sebagai bahan pemutih, dalam hal ini natrium metabisulfit yang digunakan dalam dosis minimal 0,2% (2 gr dalam tiap 1 liter air perendaman) (Suprapti, 2002).

Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut sebelum dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam


(25)

bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan (Woodroof dan Luh, 1975).

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno, et al., 1980).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Winarno, 1993).

Disamping itu pengeringan juga mempunyai kelemahan antara lain; terjadi perubahan warna dan tekstur. Perubahan warna tersebut disebabkan karena zat warna alami pada bahan tidak tahan terhadap suhu tinggi (Buckle, et al., 1987).

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivfitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizi yang berubah, dimana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan berbagai cara. Metoda yang umum untuk pengukuran kadar air di laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara destilasi sampai suhu 12 – 15% (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya serangan


(26)

jamur pada waktu pengeringan (Tjiptadi,1982).

Setelah pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering, kemudian dilakukan penggilingan dengan alat dan dilanjutkan dengan pengayakan

(Susanto dan Saneto, 1994).

Untuk tujuan penghalusan suatu bahan atau hasil pertanian digunakan alat penggiling. Dalam hal ini metode dasar seperti memukul, menggesek, menumbuk dan sebagainya digunakan secara bersama-sama atau sendiri tergantung pada ukuran yang ingin dicapai. Batas ukuran yang digunakan dapat dicapai dengan melibatkan perlengkapan pengayak atau penyortir dalam sistem penggiling (Bernasconi, et al., 1999).

Pengayakan dimaksudkan untuk menghasilkan campuran butiran dengan ukuran tertentu agar diperoleh penampilan atau bentuk komersil yang diinginkan. Untuk mendapatkan hasil yang mutunya bagus, sering digunakan alat penggiling tepung yang dilengkapi dengan ayakan. Ayakan yang dipakai ukuran lubang 80-100 mesh (Rahayu dan Berlian, 1999).

Setelah bahan jadi, dilakukan pengemasan. Pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan tiga fungsi utama :

1. Harus dapat mempertahankan produk agar lebih bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya.

2. Harus memperhatikan perlindungan kepada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen dan sinar.

3. Harus berfungsi benar, efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan. (Buckle, et al., 1987).


(27)

Pengemasan produk bertujuan untuk mengurangi kerusakan, memberi kemudahan dalam penanganan selanjutnya, memperpanjang masa simpan dan memberi daya tarik bagi konsumen. Kemasan harus tetap kuat selama dalam pengangkutan dan pemasaran (Winarno dan Laksmi, 1983).

Reaksi Pencoklatan

Pada umumnya ada tiga jenis reaksi pencoklatan non enzimatis, yaitu reaksi

Maillard, Karamelisasi dan pencoklatan akibat oksidasi dari vitamin C (Winarno, 1989). a. Reaksi Maillard

Reaksi Maillard ini bisa terjadi antara amin, asam amino dan protein dengan gula pereduksi, aldehida atau keton. Reaksi Maillard inilah yang terjadi pada reaksi pencoklatan jika makanan dipanaskan atau pada penyimpanan makanan yang lama (Eskin, et al., 1971).

b. Karamelisasi

Karamelisasi merupakan suatu proses pencoklatan non enzimatis yang meliputi degradasi gula-gula tanpa adanya asam-asam amino atau protein. Bila gula dipanaskan di atas titik leburnya, warnanya berubah menjadi coklat disertai perubahan cita rasa (Eskin, et al., 1971).

Winarno (1999) menyebutkan bahwa pada proses karamelisasi mula-mula sukrosa pecah menjadi glukosa dan fruktosan (fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi mempu mengeluarkan satu molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadi glukosan yang kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi polimerisasi dan beberapa jenis asam yang timbul di dalamnya


(28)

c. Oksidasi Asam Askorbat

Asam askorbat merupakan suatu senyawa reduktor yang juga dapat bertindak sebagai prekursor untuk pencoklatan non enzimatis. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu senyawa diketoglukonat (Winarno, 1989).

Penceluran

Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan

(Woodroof dan Luh, 1975).

Penceluran dapat membuat produk hasil penggorengan menjadi lebih seragam, absorbsi minyak oleh produk dapat berkurang karena adanya gelatinisasi pati, mengurangi lama waktu penggorengan dan dapat memperbaiki tekstur hasil penggorengan (Fuestel dan Kueneman, 1975).

Proses pencetakan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran yang lebih seragam dan lebih menarik. Keseragaman ukuran penting untuk memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan proses penggorengan dan menghasilkan produk garing dengan warna yang lebih seragam (Muchtadi, et al., 1979).


(29)

Penceluran dapat dilakukan dengan pencelupan bahan yang akan diolah kedalam air panas dengan suhu 82-100oC atau dengan pengukusan. Lama perlakuan penceluran tergantung pada jenis komoditi, tebal irisan, dan jumlah bahan. Pada umumnya proses blansing dilakukan selama 5-10 menit. Semakin banyak bahan yang akan dicelurkan dan semakin tebel irisannya, maka akan semakin lama waktu yang diperlukan (Satuhu, 1996).

Penceluran dengan suhu 81,7-93oC adalah pemanasan yang biasanya dilakukan pada permukaan bahan yang akan dibekukan, dikeringkan ataupun yang akan dikalengkan. Tujuan penceluran adalah :

1. Menonaktifkan enzim

Ada dua jenis enzim yang umum terdapat pada jaringan tanaman yakni enzim peroksidase dan katalase, dan enzim-enzim ini digunakan sebagai indikator untuk menentukan selesainya Penceluran suatu bahan. Apabila kedua enzim ini telah inaktif akibat blansing dapat disimpulkan bahwa enzim-enzim lain juga telah mati. Penceluran biasanya dilakukan dalam waktu singkat yaitu 1,5 sampai dengan 3 menit, tergantung dari jenis dan besar dari bahan yang akan diblansing. 2. Mengeluarkan gas dari bahan untuk mengurangi/menghilangkan bau mentah

(pada beberapa sayuran hijau).

3. Mengurangi volume dengan Penceluran permukaan menjadi lebih lunak sehingga lebih mudah tersusun.

4. Untuk melayukan jaringan sehingga memudahkan penanganan dan pengemasan (Purba dan Karo-Karo, 1997).


(30)

Natrium Metabisulfit

Sulfitasi merupakan salah satu perlakuan pendahuluan pada pengolahan kerupuk. Tujuan utama dari sulfitasi adalah untuk mengurangi pencoklatan pada waktu pengolahan dan penyimpanan berikutnya. SO2 tidak dapat secara mutlak menghentikan reaksi pencoklatan tetapi dapat memperlambat reaksi tersebut (Hulme, 1975).

Salah satu bentuk aplikasi yang digunakan sebagai sumber sulfur dioksida adalah natrrium matabisulfit merupakan bahan pengawet yang digolongkan ke dalam garam-garam sulfit. Natrium metabisulfit biasa digunakan pada bahan pangan untuk mencegah pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis, sebagai pemutih, antioksidan, penghambat bakteri, kapang dan khamir (Desrosier, 1988).

Natrium metabisufit berbentuk serbuk, berwarna putih mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir (Chicester dan Tanner, 1975).

Mekanisme menghambat pertumbuhan mikrobia oleh senyawa sulfur adalah dengan merusak sel mikrobia, mereduksi ikatan sulfida, bereaksi dengan gugus karbonil. Molekul asam sulfit yang tidak terdisosiasi akan masuk ke dalam sel mikrobia. Karena sel mikrobia pHnya netral, asam sulfit akan terdisosiasi sehingga dalam sel mikrobia banyak terdapat ion H+ yang menyebabkan pH sel menjadi rendah, keadaan ini menyebabkan organ-organ sel mikrobia rusak (Winarno dan Betty, 1974).

Sodium metabisulfit adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan telah mendapat predikat GRAS (Generally As Save) dari Food and Drugs Administration


(31)

bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang diizinkan. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam bahan makanan yang dikeringkan di Amerika Serikat yang ditetapkan FDA yaitu 200 ppm sampai 3000 ppm (Barnet, 1985).

Garam-garam sulfit dalam air akan membentuk asam sulfit, ion HSO3- dan SO2+, yang masing-masing jumlahnya dipengaruhi oleh bahan. Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana tersebut dibawah digambarkan oleh Frazier (1976) sebagai berikut :

Na2S2O5 + H2O 2 NaHSO3

NaHSO3 Na+ + HSO3

-HSO3- + H+ H2SO3 H2SO3- + H+ SO2 + H2O

Sodium metabisulfit mengandung sekitar 58,5- 67,4 % SO2. Tetapi Deman (1980) mengatakan bahwa SO2 mudah menguap dan hilang ke udara. Sehingga residu SO2 pada bahan padatan jauh lebih rendah dari jumlah aplikasi semula. Selanjutnya SO2 menguap sekitar 90 % selama pemasakan sayuran dan buah (Borgstorm, 1971).

Kontrol Pencoklatan

Natrium metabisulfit yang diberikan selain bertujuan menyerap air juga untuk mengontrol pencoklatan yang terjadi pada bahan, karena bahan mengandung gula pereduksi. Dimana gula reduksiini bila bereaksi dengan asam amino selama pengolahan akan menimbulkan warna coklat dan bisulfit dapat menghambat proses pencoklatan karena glukosa dan akan membentuk α-hidroksisulfonat, dimana sulfit bereaksi dengan gugus aldehid atau keton sehingga reaksi antara gula reduksi dengan asam amino tidak terjadi (Apandi, 1984).


(32)

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno,etal., 1980).

Pengeringan adalah suatu proses pemindahan panas dan uap air yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air dalam bahan yang dikeringkan. Kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang digunakan (Taib,et al., 1988).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Winarno, 1993).

Disamping itu pengeringan juga mempunyai kelemahan antara lain ; terjadi perubahan warna dan tekstur. Perubahan warna tersebut disebabkan karena zat warna alami pada tidak tahan terhadap suhu tinggi (Buckle, et al., 1987).

Mekanisme pengeringan hasil pertanian adalah dengan pemanfaatan panas, berlangsung sebagai akibat konveksi, radiasi dan konduksi. Pada batas-batas tertentu, kandungan air dapat diturunkan sehingga kualitas dari produk pertanian tersebut tetap memenuhi persyaratan seperti yang direncanakan sebelumnya. Dengan adanya pengeringan ini maka diharapkan akan menimbulkan keuntungan-keuntungan (Matondang, 1999).


(33)

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivfitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizi yang berubah, di mana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan berbagai cara. Metoda yang umum untuk pengukuran kadar air di laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara destilasi (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya serangan jamur pada waktu pegeringan (Tjiptadi,1982).

Pengeringan dengan menggunakan alat mekanis (pengeringan buatan) yang menggunakan tambahan panas memberikan keuntungan, diantaranya tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol. Pengeringan memerlukan energi untuk memanaskan alat pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat dan memanaskan bahan (Kartasapoetra, 1994).


(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Teknologi Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan Penelitian

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bonggol pisang kepok kepok yang pohonnya sudah dewasa yang diperoleh di sepanjang Kampung Susuk, Tanjung Sari, Medan.

Reagensia

- Aquadest - H2SO4 pekat - Iodin 0.05 N - NaOH 1 N

- Larutan Pati 1 % - Natrium metabisulfit (Na2S2O5) - H2O2 3%

Alat

- Desikator - Sentrifius - Timbangan digital - Water bath

- Tabung reaksi - Corong - Aluminium Foil - Pipet tetes - Oven - Shieve Shaker - Termometer - Pipet skala - Gelas ukur - Erlenmeyer - Beaker glass


(35)

Metode Penelitian (Bangun, 1991)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan dua faktorial, yang terdiri dari:

Faktor I : Suhu Penceluran (S), yang terdiri dari empat taraf, yaitu : S1 = 75 OC

S2 = 80 OC S3 = 85 OC S4 = 90 OC

Faktor II : Lama Penceluran (L) yang terdiri dari empat taraf, yaitu : L1 = 5 menit

L2 = 10 menit L3 = 15 menit L4 = 20 menit

Kombinasi perlakuan (Tc) = 4 x 4 = 16 dengan jumlah ulangan minimum perlakuan (n) adalah :

Tc (n-1) ≥ 15 16 (n-1) ≥ 15 16 n ≥ 31

n ≥ 1,94……dibulatkan menjadi n = 2


(36)

Model Rancangan (Bangun, 1991)

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktorial dengan model sebagai berikut:

Yijk = µ+ αi + βj + (αβ)ij + εijk

Yijk = Hasil pengamatan dari faktor S pada taraf ke-i dan faktor L pada taraf ke-j dengan ulangan k

µ = Efek nilai tengah

αi = Efek faktor S pada taraf ke- i βj = Efek faktor L pada taraf ke-j

(αβ)ij = Efek interaksi dari faktor S pada taraf ke- i dan faktor L pada taraf ke- j εijk = Efek galat dari faktor S pada taraf ke- i dan faktor L pada taraf ke-j dalam ulangan ke K

Prosedur Penelitian

 Bonggol pisang kepok dibersihkan.

 Dipotong-potong tipis bonggol pisang kepok dalam wadah yang berisi air.

 Direndam potongan bonggol pisang kepok dengan larutan natrium metabisulfit 1000 ppm dalam 1 liter air selama 15 menit.

 Potongan bonggol pisang kepok ditiriskan kemudian dilakukan penceluran dengan suhu 750 C, 800 C, 850 C, 900 C dan lama penceluran 5, 10, 15, 20 menit.  Bahan diangkat dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 6 jam.  Setelah bahan kering, bahan digiling.

 Diayak dengan menggunakan shieveshaker 80 mesh.


(37)

Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan berdasarkan analisa tepung bonggol pisang kepok yang meliputi parameter sebagai berikut:

- Rendemen - Kadar Air

- Konsentrasi Residu Sulfit - Suhu Gelasi

- Daya Mengembang (Swelling Power) - Uji Organoleptik (Warna)

Rendemen(Sudarmadji, et al., 1984)

Rendemen ditentukan sebagai persentase perbandingan berat akhir yang diperoleh dengan berat bahan awal.

Rendemen = Berat Akhir x 100 %

Berat Awal

Kadar Air (AOAC, 1970)

Bahan ditimbang 5 gram di dalam aluminium foil yang telah diketahui beratnya kosongnya. Dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C selama 4 jam. Kemudian dinginkan dalam desikator selam 15 menit, lalu ditimbang kemudian dimasukkan kembali kedalam oven selama 30 menit dan dimasukkan kembali ke dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang. Perlakuan ini diulang sampai diperoleh berat konstan. Setelah itu dihitung kadar airnya dengan rumus :

= Berat Awal-Berat Akhir x 100 %

Berat Awal KA


(38)

Konsentrasi Residu Sulfit Dengan Metode Titrasi (Ranganna,1973)

Diambil 20 gram bahan lalu ditambahkan aquadest 60 ml, lalu disaring dan diambil filtratnya 2,5 ml kemudian ditambahkan 10 ml NaOH 1 N, larutan tersebut sebagai larutan A. Kemudian dibuat larutan yang sama dan diambil filtratnya 2,5 ml sebagai larutan B. Biarkan larutan A dan larutan B dingin selama 10 menit lalu kedua larutan tersebut, larutan A dan larutan B ditambahkan 10 ml H2SO4. Kemudian Larutan A ditambahkan larutan pati 1 % kemudian dititrasi dengan I2 0.05 N dan larutan B ditambahkan 2 ml H2O2 3% dan larutan pati 1 % lalu dititrasi. Kemudian dihitung konsentrasi kadar SO2

Perhitungan : SO2 (ppm) = [V 1 -V2 ] x P x 0,0016 x 10 6 ppm Berat Bahan

V1 = ml titrasi larutan A V2 = ml titrasi larutan B P = Faktor Pengenceran

Suhu Gelatinisasi

Disiapkan sampel suspensi pati 30%. Lalu dipanaskan dengan media air. Suhu gelatinisasi dihitung dari hasil pengukuran suhu tergelatinisasinya pati dengan menggunakan thermometer digital hingga mulai membentuk gel sempurna.

Daya Mengembang (Swelling Power) (Luis et al., 1999) - Tabung sentrifuge ditimbang dan dihitung sebagai W1.

- Tepung ditimbang sebanyak 1 gr dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge - Ditambahkan aquadest 10 ml


(39)

- Didinginkan sampai mencapai suhu kamar.

- Disentrifuge dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit. - Dibuang air yang tidak larut.

- Ditimbang endapan beserta tabung sentrifuge (W2) - Dihitung daya mengembang dengan rumus :

Daya mengembang

= W

2

(gr) – W

1

(gr)

Berat Bahan ( gr)

W

1 = Berat Tabung sentrifuge kosong (gr)

W

2 =Berat endapan dan Tabung sentrifuge (gr)

Karena berat jenis air adalah 1(satu), maka satuan daya mengembang dapat dikonversikan menjadi ml/ml.

Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)

Penentuan uji organoleptik terhadap warna dilakukan dengan uji kesukaan atau uji hedonik dengan proporsi dan perbandingan yang sama. Contoh diuji secara acak dengan memberikan kode pada bahan yang akan diuji terhadap 10 panelis yang melakukan penilaian. Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut :

Tabel 1. Skala Warna

Skala Warna Skala Numerik Sangat suka

Suka Agak suka Tidak suka

4 3 2 1 Keterangan : 4 = Putih

3 = Putih Kecokelatan 2 = Cokelat


(40)

Bonggol Pisang Kepok

Pengupasan

Pengirisan

Perendaman dalam Larutan Na2S2O5 1000 ppm selama 15 menit

Penirisan

Penceluran

Pengeringan

Pengayakan 80 mesh Penggilingan

Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengemasan

Gambar 1. Skema Pengolahan Tepung Bonggol Pisang Kepok

Lama Penceluran

L1 = 5 menit L2 = 10 menit L3 = 15 menit L4 = 20 menit

Analisa

- Rendemen - Kadar Air

- Konsentrasi Residu Sulfit - Suhu Gelasi

- Daya Mengembang (Swelling Power)

- Uji Organoleptik (Warna)

Suhu Penceluran

S1 = 75oC S2 = 80 oC S3 = 85 oC S4 = 90 oC


(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan lama penceluran memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh data hasil penelitian sebagai berikut.

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Parameter yang Diamati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh suhu penceluran pada tepung bonggol pisang kepok terhadap rendemen, kadar air, konsentrasi residu sulfit, suhu gelasi, daya mengembang (swelling power), uji organoleptik (warna) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Parameter yang Diamati.

Suhu Penceluran

(oC)

Rendemen (%) Kadar Air (%) Konsentrasi Residu Sulfit (ppm) Suhu Gelasi (%) Daya Mengembang (ml/ml) Uji Organoleptik (warna) S1 = 75

S2 = 80

S3 = 85

S4 = 90

8,21 8,05 7,68 7,47 7,75 7,25 7,00 5,75 186,5 126 105 66 68,14 79,23 84,67 86,39 5,55 6,49 6,69 7,24 2,80 2,96 2,98 3,20

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa suhu penceluran yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap parameter yang diuji. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) yaitu sebesar 8,21% dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) yaitu sebesar 7,47%. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) yaitu sebesar 7,75% dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) yaitu sebesar 5,75%. Konsentrasi residu sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan S1 (suhu


(42)

penceluran 75oC) yaitu sebesar 186,5 ppm dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) yaitu sebesar 66 ppm. Suhu gelasi tertinggi terdapat pada perlakuan S4 (suhu penceluran 95oC) yaitu sebesar 86,39% dan terendah pada S1 (suhu penceluran 75oC) yaitu sebesar 68,14%. Daya mengembang tertinggi terdapat pada perlakuan S4 (suhu penceluran 95oC) yaitu sebesar 7,24 ml/ml dan terendah pada S1 (suhu penceluran 75oC) yaitu sebesar 5,55 ml/ml. Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat pada perlakuan S4 (suhu penceluran 95oC) yaitu sebesar 3,20 dan terendah terdapat pada perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) yaitu 2,80.

Pengaruh Lama Penceluran terhadap Parameter yang Diamati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh lama penceluran pada tepung bonggol pisang kepok terhadap rendemen, kadar air, konsentrasi residu sulfit, suhu gelasi, daya mengembang (swellingpower), uji organoleptik (warna) dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Parameter yang Diamati

Lama Penceluran (Menit) Rendemen (%) Kadar Air (%) Konsentrasi Residu Sulfit (ppm) Suhu Gelasi (%) Daya Mengembang (ml/ml) Uji Organoleptik (warna) L1 = 5

L2 = 10

L3 = 15

L4 = 20

8,25 7,98 7,65 7,52 7,75 7,50 6,75 5,75 174 147 96 66 72,79 77,59 81,60 86,44 6,16 6,38 6,64 6,79 2,84 2,96 3,04 3,11

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa lama penceluran memberikan pengaruh terhadap parameter yang diuji. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) yaitu sebesar 8,25% dan terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) yaitu


(43)

sebesar 7,52%. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) yaitu sebesar 7,75% dan terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) yaitu sebesar 5,75%. Konsentrasi residu sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) yaitu sebesar 174 ppm dan terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) yaitu sebesar 66 ppm Suhu gelasi tertinggi terdapat pada perlakuan L4 (suhu penceluran 20 menit) yaitu sebesar 86,44% dan terendah pada L1 (suhu penceluran 5 menit) yaitu sebesar 72,79%. Daya mengembang tertinggi terdapat pada perlakuan L4 (suhu penceluran 20 menit) yaitu sebesar 6,79 ml/ml dan terendah pada L1 (suhu penceluran 5 menit) yaitu sebesar 6,16 ml/ml. Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat pada perlakuan L4 (suhu penceluran 5 menit) yaitu sebesar 3,11 dan terendah terdapat pada perlakuan L1 (suhu penceluran 20 menit) yaitu 2,84.

Rendemen (%)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-2), dapat dilihat bahwa suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh suhu penceluran terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.


(44)

Tabel 9. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

S Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1 = 75 8.21 d C

2 0.122 0.168 S2 = 80 8.05 c B 3 0.128 0.177 S3 = 85 7.68 b A 4 0.132 0.181 S4 = 90 7.47 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda sangat nyata dengan S2, S3 dan S4. Perlakuan S2 berbeda sangat nyata dengan S3 dan S4. Perlakuan S3 berpengaruh tidak nyata dengan perlakuan S4. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 8,21% dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 7,47%.

Hubungan antara pengaruh suhu penceluran terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 2 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin tinggi suhu penceluran yang dilakukan terjadi penurunan rendemen tepung bonggol pisang kepok. Hal ini disebabkan karena penceluran dilakukan pada suhu yang tinggi yaitu 75-90oC yang dapat menyebabkan permukaan bahan menjadi lebih lunak karena air dan komponen-komponen yang terlarut di dalamnya akan keluar dan jumlah rendemen yang dihasilkan semakin rendah. Purba dan Karo-Karo, (1997) yang menyatakan tujuan penceluran adalah : untuk melayukan jaringan, mengurangi volume dengan penceluran permukaan menjadi lebih lunak sehingga lebih mudah tersusun.


(45)

Ŷ = -0.0518S + 12.126

r = -0.9782

7.4

7.6

7.8

8

8.2

8.4

70

75

80

85

90

95

Suhu Penceluran (Celcius)

R

en

d

em

en

(

%

)

Gambar 2. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengaruh Lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-2), dapat dilihat bahwa lama penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh lama penceluran terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

L Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - L1 = 5 8.25 a A

2 0.122 0.168 L2 = 10 7.98 b B 3 0.128 0.177 L3 = 15 7.65 c C 4 0.132 0.181 L4 = 20 7.52 d D

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.


(46)

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata terhadap L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda sangat nyata terhadap L3 dan L4. Perlakuan L3 berbeda sangat nyata terhadap L4. Nilai rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) sebesar 8,25% dan nilai terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar 7,52%.

Hubungan antara pengaruh lama penceluran terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 3 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin lama penceluran ternyata terjadi penurunan rendemen. Hal ini disebabkan karena proses penceluran akan menyusutkan bahan karena air dan komponen-komponen yang terlarut di dalamnya akan keluar sehingga semakin lama proses penceluran dilakukan, semakin banyak air dan komponen terlarut yang ikut keluar dan jumlah rendemen yang dihasilkan semakin rendah. Astawan dan Astawan (1991) menyatakan bahwa tujuan penceluran adalah untuk menyusutkan bahan dan mengurangi jumlah gas dalam jaringan sel.

Ŷ = -0.0504L + 8.48

r = -0.9746

7.4

7.6

7.8

8

8.2

8.4

0

5

10

15

20

25

Lama Penceluran (Menit)

R

en

d

em

en

(

%

)

Gambar 3. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok


(47)

Pengaruh Interaksi antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran-2) menunjukkan bahwa suhu dan lama penceluran berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok. Hasil pengujian LSR menunjukkan bahwa pengaruh interaksi suhu dan lama penceluran terhadap rendemen tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 11 berikut.

Tabel 11. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Interaksi Suhu dan Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan Rataan Notasi

0.05 0.01 0.05 0.01

- - - S1L1 8,64 a A

2 0,244 0,337 S1L2 8,40 a A

3 0,257 0,354 S1L3 8,00 c C

4 0,263 0,363 S1L4 7,82 d D

5 0,269 0,370 S2L1 8,50 a A

6 0,272 0,375 S2L2 8,41 a A

7 0,275 0,381 S2L3 7,71 f F

8 0,276 0,385 S2L4 7,59 h H

9 0,278 0,388 S3L1 8,16 b AB

10 0,280 0,390 S3L2 7,69 g G

11 0,280 0,393 S3L3 7,49 i I

12 0,280 0,394 S3L4 7,38 l L

13 0,280 0,396 S4L1 7,72 e E

14 0,281 0,398 S4L2 7,44 j J

15 0,281 0,399 S4L3 7,42 k K

16 0,282 0,400 S4L4 7,30 m M

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Uji LSR pengaruh interaksi suhu dan lama penceluran terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Tabel 11. Rendemen tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan S1L1 yaitu sebesar 8,64 dan terendah pada S4L4 yaitu sebesar 7,30.


(48)

Hubungan interaksi antara suhu dan lama penceluran terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepokdapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.

Ŷ1 = -0.31L1 + 9.025

r = -0.9543

Ŷ2 = -0.3595L2 + 8.88

r = -0.8804

Ŷ3 = -0.196L3 + 8.1425

r = -0.9442

Ŷ4 = -0.177L4 + 7.9625

r = -0.966

6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00

0 1 2 3 4 5

Lama Penceluran (Menit)

R en d em en ( % )

S1 75 S2 80 S3 85 S4 90

Gambar 4. Pengaruh Interaksi antara Suhu Penceluran dan Lama Penceluran terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa interaksi antara suhu dan lama penceluran terhadap rendemen tepung bonggol pisang kepok yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin tinggi suhu dan lama penceluran, maka rendemen tepung bonggol pisang kepok semakin menurun, dan sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, proses penceluran adalah suatu perlakuan pemberian panas pada bahan dengan cara pencelupan pada air panas ataupun dengan pemberian uap panas (Astawan dan Astawan, 1991) yang tujuannya adalah untuk menyusutkan bahan sehingga air dan komponen-komponen lain yang terlarut di dalamnya akan keluar atau teruapkan sehingga jumlah rendemen bahan akan semakin berkurang.


(49)

Kadar Air (%)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-4), dapat dilihat bahwa suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh suhu penceluran terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

S Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1 = 75 7,75 a A

2 0,650 0,894 S2 = 80 7,25 a A 3 0,682 0,940 S3 = 85 7,00 a A 4 0,699 0,963 S4 = 90 5,75 b B

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berpengaruh tidak nyata terhadap S2, S3, dan berbeda sangat nyata terhadap S4. Perlakuan S2 berpengaruh tidak nyata terhadap S3 dan berbeda sangat nyata terhadap S4. Perlakuan S3 berbeda sangat nyata terhadap S4. Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 7,75% dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 5,75%.

Hubungan antara pengaruh suhu penceluran terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 5 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin tinggi suhu penceluran yang dilakukan terjadi penurunan kadar air. Penceluran adalah pemanasan yang dilakukan pada bahan pangan atau pada jaringan bahan sebelum dibekukan, dikeringkan atau dikalengkan yang biasanya dilakukan pada suhu 81 – 93oC.


(50)

Dengan tingginya suhu penceluran dapat menyusutkan jaringan bahan karena air dalam bahan akan keluar sehingga dapat mengurangi jumlah bakteri yang menggunakan air sebagai media pertumbuhannya. Astawan dan Astawan (1991) menyatakan bahwa tujuan penceluran adalah untuk menyusutkan bahan, mengurangi kontaminasi bakteri. Setelah penceluran dilakukan pengeringan, dimana pada kebanyakan peristiwa, pengeringan berlangsung dengan penguapan air yang terdapat di dalam bahan pangan.

Ŷ = -0.125x + 17.25

r = -0.8993

0

2

4

6

8

10

70

75

80

85

90

95

Suhu Penceluran (Celcius)

K

ad

ar

A

ir

(

%)

Gambar 5. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengaruh Lama Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-4), dapat dilihat bahwa lama penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh lama penceluran terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.


(51)

Tabel 13. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

L Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - L1 = 5 7,75 a A

2 0,650 0,894 L2 = 10 7,50 a A 3 0,682 0,940 L3 = 15 6,75 b A 4 0,699 0,963 L4 = 20 5,75 c C

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berpengaruh tidak nyata terhadap L2 dan berbeda sangat nyata terhadap L3 dan L4. Perlakuan L2 berpengaruh tidak nyata terhadap L3 dan berbeda sangat nyata terhadap K4. Perlakuan L3 berbeda sangat nyata terhadap L4. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) sebesar 7,75% dan terendah pada L1 (lama penceluran 20 menit) sebesar 5,75%.

Hubungan antara pengaruh lama penceluran terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 6 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin lama penceluran tepung bonggol pisang kepok maka kadar air akan semakin menurun.

Ŷ = -0.135x + 8.625

r = -0.9406

0

2

4

6

8

10

0

5

10

15

20

25

Lama Penceluran (Menit)

K

ad

ar

A

ir

(

%)

Gambar 6. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang Kepok


(52)

Semakin menurunnya kadar air maka semakin lamanya waktu penceluran disebabkan karena pada perlakuan penceluran dapat menyebabkan lunaknya jaringan bonggol pisang kepok, dengan lunaknya jaringan menyebabkan dinding sel menjadi pecah akibatnya bahan menjadi bersifat permeabel dan apabila dilakukan pengeringan, air yang terdapat pada bahan menjadi lebih mudah untuk diuapkan (Purba, et al., 1994).

Pengaruh Interaksi antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran-4) menunjukkan bahwa suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap kadar air tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Konsentrasi Residu Sulfit (ppm)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-6), dapat dilihat bahwa suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepokyang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh suhu penceluran terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.


(53)

Tabel 14. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

S Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1 = 75 186,5 a A

2 13,768 18,954 S2 = 80 126 b B 3 14,457 19,918 S3 = 85 105 c C 4 14,824 20,423 S4 = 90 66 d D

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 14, dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda sangat nyata terhadap S2, S3 dan S4. Perlakuan S2 berbeda sangat nyata terhadap S3 dan S4. Perlakuan S3 berbeda sangat nyata terhadap S4. Konsentrasi residu sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan S1(suhu penceluran 75oC) sebesar 186,5 ppm dan terendah pada S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 66 ppm.

Hubungan antara pengaruh suhu penceluran terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 7 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin tinggi suhu penceluran yang dilakukan terjadi penurunan konsentrasi residu sulfit. Hal ini disebabkan karena proses penceluran merupakan perlakuan pemberian panas pada bahan dengan cara pencelupan pada air panas ataupun dengan pemberian uap panas yang mana apabila sulfit yang dipanaskan akan terdisosiasi sehingga residunya pada bahan lebih kecil (Astawan dan Astawan, 1991).


(54)

Ŷ = -7.65S + 752

r = -0.963

0

50

100

150

200

70

75

80

85

90

95

Suhu Penceluran (Celcius)

K

o

ns

ent

ra

si

R

es

idu

Sul

fi

t

(p

p

m

)

Gambar 7. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengaruh Lama Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-6), dapat dilihat bahwa lama penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh lama penceluran terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.


(55)

Tabel 15. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

L Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - L1 = 5 174,5 a A

2 13,768 18,954 L2 = 10 147 b B 3 14,457 19,918 L3 = 15 96 c C 4 14,824 20,423 L4 = 20 66 d D

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 15, dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata terhadap L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda sangat nyata terhadap L3 dan L4. Perlakuan L3 berbeda sangat nyata terhadap L4. Konsentrasi residu sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan L1 (lama penceluran 5 menit) sebesar 174,5 ppm dan terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar 66 ppm.

Hubungan antara pengaruh lama penceluran terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 8 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin lama penceluran tepung bonggol pisang kepok akan terjadi penurunan konsentrasi residu sulfit. Menurut Winarno (1992) bahwa sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tidak terdisosiasi, dimana natrium metabisulfit akan terurai dalam air selama perendaman dan membentuk asam sulfit yang akan terdisosiasi.

Sulfit bersifat mengikat air dan menguap pada saat dilakukan waktu penceluran dan pengeringan, sehingga kandungan air dan residu sulfit dalam bahan akan semakin rendah.


(56)

Ŷ = -7.53L + 215

r = -0.986

0

50

100

150

200

0

5

10

15

20

25

Lama Penceluran (Menit)

K

o

ns

ent

ra

si

R

es

idu

Sul

fi

t

(p

p

m

)

Gambar 8. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengaruh Interaksi antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran-6) menunjukkan bahwa suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap konsentrasi residu sulfit tepung bonggol pisang kepok, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Suhu Gelasi (%)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-8), dapat dilihat bahwa suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap suhu gelasiyang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh suhu penceluran terhadap suhu gelasi tepung bonggol pisang kepoksetiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 16 berikut.


(57)

Tabel 16. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

S Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1 = 75 68,14 c C

2 2,312 3,182 S2 = 80 79,23 b B 3 2,427 3,344 S3 = 85 84,67 a A 4 2,489 3,429 S4 = 90 86,39 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 16, dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda sangat nyata terhadap S2, S3 dan S4. Perlakuan S2 berbeda sangat nyata terhadap S3 dan S4. Perlakuan S3 berpengaruh tidak nyata terhadap S4. Suhu gelasi tertinggi terdapat pada perlakuan S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 86,39% dan terendah pada S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 68,14%.

Hubungan antara pengaruh suhu penceluran terhadap suhu gelasi tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 9 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin tinggi suhu penceluran tepung bonggol pisang kepok akan terjadi peningkatan suhu gelasi bongol pisang kepok. Hal ini menunjukkan bahwa kadar amilosa pada tepung bonggol pisang kepok tinggi. Suhu gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kadar amilosa, semakin tinggi kadar amilosa maka suhu gelatinisasi akan meningkat. Selain itu juga menurut Marshall (1993) dalam Faridah, et al., 2003. Menyatakan bahwa ukuran granula pati juga berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi pati, dimana semakin besar ukuran granula pati maka suhu gelatinisasi meningkat. Dengan diketahuinya suhu gelatinisasi ini sangat membantu dalam menentukan jenis tepung yang akan dijadikan bahan baku untuk suatu produk makanan. Untuk produk yang harus kering dan renyah seperti cookies dan


(58)

gelatinisasi yang rendah, sehingga pada saat proses baking, air yang dikandungnya cepat menguap dan produk menjadi cepat matang dan kering.

Ŷ = 1.2038S - 19.706

r = 0.8911

0 20 40 60 80 100

70 75 80 85 90 95

Suhu Penceluran (Celcius)

Suhu G

el

as

i (

%

)

Gambar 9. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengaruh Lama Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-8), dapat dilihat bahwa lama penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) suhu gelasi tepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh lama penceluran terhadap suhu gelasi tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17 berikut.


(59)

Tabel 17. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

L Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - L1 = 5 72,79 d D

2 2,312 3,182 L2 = 10 77,59 c C 3 2,427 3,344 L3 = 15 81,60 b B 4 2,489 3,429 L4 = 20 86,44 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 17, dapat dilihat bahwa perlakuan L1 berbeda sangat nyata terhadap L2, L3 dan L4. Perlakuan L2 berbeda sangat nyata terhadap L3 dan L4. Perlakuan L3 berbeda sangat nyata terhadap L4. Suhu gelasi tertinggi terdapat pada perlakuan L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar 86,44% dan terendah pada L4 (lama penceluran 20 menit) sebesar 72,79%.

Hubungan antara pengaruh lama penceluran terhadap suhu gelasi tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 10 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin lama penceluran tepung bonggol pisang kepok akan terjadi peningkatan suhu gelasi. Hal ini disebabkan jika suspensi pati dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan pada saat suhu meningkat granula tersebut akan menggembung. Hal ini terjadi saat temperatur meningkat dari 60–800C. Ketika ukuran granula pati membesar campurannya menjadi kental. Pada suhu 850 C granula pati pecah dan isinya terdispersi merata keseluruh air disekelilingnya, sehingga molekul berantai panjang mulai terurai, campuran pati dan air menjadi makin kental membentuk sol. Jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati membentuk jaringan dengan molekul air yang terkurung didalamnya sehingga terbentuk gel yang disebut gelatinisasi (Gaman dan Sherrington, 1992).


(60)

Ŷ= 0.8992L + 68.365

r = 0.9987

70

75

80

85

90

0

5

10

15

20

25

Lama Penceluran (Menit)

Suhu G

el

a

si

(

%

)

Gambar 10. Pengaruh Lama Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengaruh Interaksi antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran-8) menunjukkan bahwa suhu dan lama penceluran berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap suhu gelasitepung bonggol pisang kepok, sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Daya Mengembang (ml/ml)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-10), dapat dilihat bahwa suhu penceluran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap daya mengembangyang dihasilkan.


(61)

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh suhu penceluran terhadap daya mengembang tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 18 berikut.

Tabel 18. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang Kepok

Jarak LSR Perlakuan

S Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - S1 = 75 5,55 d D

2 0,082 0,113 S2 = 80 6,49 c C 3 0,086 0,118 S3 = 85 6,69 b B 4 0,088 0,121 S4 = 90 7,24 a A

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% dan berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Dari Tabel 18, dapat dilihat bahwa perlakuan S1 berbeda sangat nyata terhadap S2, S3 dan S4. Perlakuan S2 berbeda sangat nyata terhadap S3 dan S4. Perlakuan S3 berbeda sangat nyata terhadap S4. Daya mengembang tertinggi terdapat pada perlakuan S4 (suhu penceluran 90oC) sebesar 7,24 ml/ml dan terendah pada S1 (suhu penceluran 75oC) sebesar 5,55 ml/ml.

Hubungan antara pengaruh suhu penceluran terhadap daya mengembang tepung bonggol pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 11 yaitu mengikuti garis regresi linier. Semakin tinggi suhu penceluran yang dilakukan terjadi peningkatan daya mengembang. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu tentunya akan terjadi penguapan air dari bahan yang diuapkan yang menyebabkan kadar air menurun sehingga daya mengembang bahan akan menjadi meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno, (1992) bahwa untuk memperbesar daya serap bahan terhadap air maka kadar air bahan harus diturunkan.


(62)

Ŷ = 0.1054x - 2.203

r = 0.9344

0 1 2 3 4 5 6 7 8

70 75 80 85 90 95

Suhu Penceluran (Celcius)

D

aya M

e

n

ge

m

b

an

g (

gr

/gr

)

Gambar 11. Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang Kepok

Pengaruh Lama Penceluran terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang Kepok

Dari analisis sidik ragam (Lampiran-10), dapat dilihat bahwa lama penceluran berpengaruh sangat nyata (p<0,01) daya mengembangtepung bonggol pisang kepok yang dihasilkan.

Hasil uji LSR yang menunjukkan pengaruh lama penceluran terhadap suhu gelasi tepung bonggol pisang kepok setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.


(1)

Daya Mengembang (Swelling Power) ... 25 Uji Organoleptik ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Parameter yang Diamati ... 28 Pengaruh Lama Penceluran terhadap Parameter yang Diamati ... 29 Rendemen (%)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Rendemen

Tepung bonggol pisang Kepok ... 30 Pengaruh Lama Penceluran terhadap Rendemen

Tepung bonggol pisang Kepok ... 32 Pengaruh Interaksi Antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap

Rendemen Tepung bonggol pisang Kepok ... 34 Kadar Air (%)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Kadar Air

Tepung bonggol pisang Kepok ... 36 Pengaruh Lama Penceluran terhadap Kadar Air

Tepung bonggol pisang Kepok ... 37 Pengaruh Interaksi Antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap

Kadar Air Tepung bonggol pisang Kepok ... 39 Konsentrasi Residu Sulfit (ppm)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit

Tepung bonggol pisang Kepok ... 39 Pengaruh Lama Penceluran terhadap Konsentrasi Residu Sulfit

Tepung bonggol pisang Kepok ... 41 Pengaruh Interaksi Antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap

Konsentrasi Residu Sulsfit Tepung bonggol pisang Kepok ... 43 Suhu Gelasi (oC)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Suhu Gelasi

Tepung bonggol pisang Kepok ... 43 Pengaruh Lama Penceluran terhadap Suhu Gelasi

Tepung bonggol pisang Kepok ... 45 Pengaruh Interaksi Antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap

Suhu Gelasi Tepung bonggol pisang Kepok ... 47 Daya Mengembang (ml/ml)

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Daya Mengembang

Tepung bonggol pisang Kepok ... 47 Pengaruh Lama Penceluran terhadap Daya Mengembang

Tepung bonggol pisang Kepok ... 49 Pengaruh Interaksi Antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap

Daya Mengembang Tepung bonggol pisang Kepok... 51 Uji Organoleptik Warna

Pengaruh Suhu Penceluran terhadap Organoleptik Warna


(2)

Pengaruh Lama Penceluran terhadap Organoleptik Warna

Tepung bonggol pisang Kepok ... 53

Pengaruh Interaksi Antara Suhu dan Lama Penceluran terhadap Organoleptik Warna Tepung bonggol pisang Kepok ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 56

Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(3)

DAFTAR TABEL

1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang per 100 gram bahan ... 6

2. Komposisi Kimia Tepung Tapioka per 100 gram bahan ... 7

3. Komposisi Kimia Tepung Terigu per 100 gram bahan ... 8

4. Komposisi Kimia Tepung Beras per 100 gram bahan ... 9

5. Komposisi Kimia Tepung Jagung per 100 gram bahan ... 9

6. Skala Warna ... 26

7. Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Parameter yang Diamati ... 28

8. Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Parameter yang Diamati ... 29

9. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang ... 31

10.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang ... 32

11.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Interaksi Suhu dan Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang ... 34

12.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang ... 36

13.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran Terhadap Kadar Air Tepung Bonggol Pisang ... 38

14.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Konsentrasi Reidu Sulfit Tepung Bonggol Pisang 40 15.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran Terhadap Konsentrasi Reidu Sulfit Tepung Bonggol Pisang 42 16 Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang ... 44

17. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran Terhadap Suhu Gelasi Tepung Bonggol Pisang ... 46

18. Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang ... 48

19 ji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran Terhadap Daya Mengembang Tepung Bonggol Pisang ... 50

16.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh Suhu Penceluran TerhadapOrganoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang ... 52

17.Uji Least Siqnificant Range (LSR) Efek Utama Pengaruh lama Penceluran Terhadap Organoleptik Warna Tepung Bonggol Pisang ... 54


(4)

DAFTAR GAMBAR

1. Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Rendemen Tepung

Bonggol Pisang ... 32 2 Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung

Bonggol Pisang ... 33 2. Pengaruh Interaksi Antara Suhu Penceluran dan Lama Penceluran

Terhadap Rendemen Tepung Bonggol Pisang ... 35 3. Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Kadar Air Tepung

Bonggol Pisang ... 37 4. Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Rendemen Tepung

Bonggol Pisang ... 38 5. Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung

Bonggol Pisang ... 41 6. Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Konsentrasi Residu Sulfit Tepung

Bonggol Pisang ... 43 7. Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Suhu Gelasi Tepung

Bonggol Pisang ... 45 8. Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Suhu Gelasi Tepung

Bonggol Pisang ... 47 9. Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Daya Mengembang Tepung

Bonggol Pisang ... 49 10.Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Daya Mengembang Tepung

Bonggol Pisang ... 51 11.Pengaruh Suhu Penceluran Terhadap Warna Tepung

Bonggol Pisang ... 53 12.Pengaruh Lama Penceluran Terhadap Warna Tepung


(5)

(6)

Bonggol Pisang

Pengupasan

Pengirisan

Perendaman dalam Larutan Na2S2O5 1000 ppm selama 15 menit

Penirisan

Penceluran

Pengeringan

Pengayakan 80 mesh

Suhu Penceluran

S

1

= 75

o

C

S

2

= 80

o

C

S

3

= 85

o

C

S

4

= 90

o

C

Penggilingan

Lama Penceluran

L

1

= 5 menit

L

2

= 10 menit

L

3

= 15 menit

L

4

= 20 menit

Tepung Bonggol Pisang

Pengemasan

Analisa - Rendemen - Kadar Air

- Konsentrasi Residu

Sulfit

- Suhu Gelasi - Uji Organoleptik

(Warna)

- Daya Mengembang