Karsinoma Sel Skuamosa Yang Didahului Inflamasi Kronis Non-Spesifik

KARSINOMA SEL SKUAMOSA YANG DIDAHULUI
INFLAMASI KRONIS NON-SPESIFIK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat tugas memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

FANY WAHYUNI
NIM : 050600035

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Penyakit Mulut
2010

Fany Wahyuni
Karsinoma Sel Skuamosa Yang Didahului Inflamasi Kronis Non-Spesifik
viii + 36 halaman

Karsinoma sel skuamosa adalah suatu neoplasma invasif pada jaringan epitel
rongga mulut, KSS menduduki posisi keenam dari kanker yang paling sering terjadi
di dunia dan umumnya ditemukan pada daerah mukosa seperti bibir bawah, lidah, dan
dasar mulut. Penyebab KSS multifaktorial, yaitu tidak ada agen ataupun faktor
(karsinogen) tunggal sebagai penyebab KSS yang telah dilaporkan atau telah diterima
secara jelas.
Inflamasi merupakan upaya perlindungan tubuh untuk menyingkirkan hal-hal
yang menyebabkan injuri sebagai proses awal penyembuhan jaringan. Inflamasi dapat
diklasifikasikan menurut waktunya yaitu inflamasi akut dan kronis, serta menurut
bentuknya yakni inflamasi granulomatosa, fibrinosa, purulen, serosa, dan ulseratif.
Salah satu gambaran klinis dari karsinoma sel skuamosa adalah ulser yang tidak
sembuh, maka ulser yang tidak sembuh dalam waktu 14 hari harus dicurigai dengan
melakukan biopsi karena kemungkinan dapat menimbulkan malignansi.

Selama 140 tahun, inflamasi kronis telah dikenal sebagai faktor penting dalam
perkembangan kanker, dalam perjalanannya suatu patogenesis normal menjadi

Universitas Sumatera Utara

karsinoma membutuhkan waktu yang lama yaitu dengan adanya suatu karsinogenik
yang mengiritasi secara kronis. Alasan hubungan antara inflamasi dan kanker
merupakan suatu hal yang kompleks. Hal-hal yang dapat mempengaruhi suatu
inflamasi kronis sehingga dapat berkembang menjadi karsinoma, yaitu waktu, genetik
(host), dan bentuk inflamasi. Mekanisme perkembangannya dapat ditinjau dari tiga
aspek yakni secara patologis, imunologis, dan molekuler.
Dengan diketahuinya proses patogenesis perkembangan inflamasi kronis nonspesifik menjadi karsinoma sel skuamosa maka dapat dilakukan deteksi dini terhadap
lesi-lesi di rongga mulut sehingga diharapkan lesi-lesi tersebut tidak berkembang
menjadi karsinoma sel skuamosa.

Daftar pustaka: 27 (1993-2009)

Universitas Sumatera Utara

PERNYATAAN PERSETUJUAN


Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 29 September 2010

Pembimbing :

Tanda tangan

Wilda Hafni Lubis., drg., Msi
NIP. 19510111 19833 2 001

..................................................

Universitas Sumatera Utara

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal

TIM PENGUJI

KETUA

: drg. Wilda Hafni Lubis.,M.Si

ANGGOTA

: 1. drg. Sayuti Hasibuan, Sp.PM
2. drg. Syuaibah Lubis

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam yaitu
Allah SWT. Atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya penulis akhirnya dapat
menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi kewajiban sebagai salah satu syarat dalam

memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan,
dorongan, bimbingan, pengetahuan, serta saran-saran dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih dengan segenap cinta kepada Ibunda Erni
Herawati, SKP atas semua pengorbanan, motivasi, doa, bimbingan, dukungan baik
moril maupun, materil serta kasih sayang yang tulus dan kepada adinda Indana
Zulfah. Selanjutnya penulis juga ingin berterima kasih kepada:
1. Drg. Wilda Hafni Lubis,M.Si, selaku Ketua departemen Ilmu Penyakit Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing
skripsi yang telah bersedia mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan
meluangkan waktu untuk memberi bimbingan serta pengarahan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
2. Prof. Nazruddin., C. Ort., Ph.d., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara
3. Drg. Sayuti Hasibuan, Sp.PM dan drg. Syuaibah Lubis selaku tim penguji
skripsi

Universitas Sumatera Utara


4. Drg. Nurhayati Harahap, Sp.Ort selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
5. De Zero (Rara Syafara, Putri Emilia, Arma Lidya, Beby Ayu Pratiwi, Maulina
Juwita)

atas

kebersamaan,

persahabatan,

bantuan

selama

menjalani

pendidikan, motivasi dan semangat kepada penulis.
6. Sahabat-sahabat di HMI Komisariat FKG USU (Riny Zoraya Rinaldy,

Kurniawati, Dian Anggraini, Adi Praja, Raagung Putra, Farah Julia,
Nursyamsi Elza)
7. Sahabat-sahabat tercinta, Dini Maulia, Dian Wikaningtyas, dan Fadlah
Khairina, yang selalu memberikan semangat walaupun dari kejauhan.
8. Kakanda-kakanda tersayang, Kak Adhe, Bang Akbar, Kak Tassa, Bang Andri,
Bang Gatot, Bang Edi, Bang Dimas, Bang Eza, Bang Mitra serta adinda
Nanda Iswa, Nuria, Coni dan Habib
9. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara
10. Ririn, Pipit, Def, Rohdo dan seluruh teman-teman stambuk 2005
11. Rekan-rekan Pengurus periode 2008-2009 dan seluruh keluarga besar HMI
Komisariat FKG USU serta semua yang telah memberikan motivasi kepada
penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Universitas Sumatera Utara

Penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang
berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi, pengembangan ilmu, dan masyarakat.

Medan,


Agustus 2010

Penulis,

( FANY WAHYUNI )
NIM: 050600035

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL

...................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN

......................................................................


HALAMAN PENGUJI SKRIPSI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

..................................................................

………………………………………....................

iv

................................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR

...................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN


...........................................................................

viii
1

BAB 2 KARSINOMA SEL SKUAMOSA .................................................
2.1 Defenisi ......................................................................................
2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi ................................................
2.3 Patogenesis .................................................................................
2.3.1 Patologis ............................................................................
2.3.2 Imunologis
........................................................................
2.3.3 Molekuler
..........................................................................
2.4 Gambaran Klinis
....................................................................
2.5 Diagnosis dan Perawatan
.........................................................
2.5.1 Pemeriksaan

......................................................................
2.5.2 Perawatan
.........................................................................
2.5.2.1 Pembedahan
.......................................................
2.5.2.2 Radioterapi
..........................................................
2.5.2.3 Kemoterapi
..........................................................
2.5.2.4 Kombinasi Pembedahan dan Radioterapi ................
2.5.2.5 Terapi Gen
............................................................

6
6
6
8
8
9
11
12
14
14
15
16
17
18
19
20

BAB 3 INFLAMASI
.....................................................................................
3.1 Defenisi
........................................................................................
3.2 Klasifikasi Inflamasi
.....................................................................
3.2.1 Menurut Waktu
..................................................................
3.2.2 Menurut Bentuk
..................................................................
3.3 Sel-sel yang Terlibat pada Respon Inflamatori
.............................

21
21
22
22
23
25

Universitas Sumatera Utara

3.4 Kelainan Akibat Proses Inflamasi

..................................................

26

BAB 4 KSS YANG DIDAHULUI INFLAMASI KRONIS NON-SPESIFIK ..
4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi ................................................
4.1.1 Waktu
..................................................................................
4.1.2 Genetik
.................................................................................
4.1.3 Bentuk Inflamasi
................................................................
4.2 Mekanisme Terjadinya ...................................................................
4.2.1 Patologis
..............................................................................
4.2.2 Imunologis
...........................................................................
4.2.3 Molekuler
..............................................................................

27
27
27
28
28
29
29
30
32

BAB 5 KESIMPULAN

....................................................................................

34

......................................................................................

35

DAFTAR RUJUKAN

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1

Perubahan Patologis epitel normal menjadi KSS

...........................

10

2

Proses patogenesis secara molekuler displasia menjadi KSS ...........

11

3

Lesi Eksofitik Dan Endofitik

......................................................

13

4

Lokasi KSS

....................................................................................

14

5

Inflamasi Granulomatosa

6

.............................................................

24

Inflamasi Purulen

..........................................................................

24

7

Ulser pada Bibir

............................................................................

25

8

Perubahan dari epitel normal menjadi karsinoma invasif secara patologis 33

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Penyakit Mulut
2010

Fany Wahyuni
Karsinoma Sel Skuamosa Yang Didahului Inflamasi Kronis Non-Spesifik
viii + 36 halaman

Karsinoma sel skuamosa adalah suatu neoplasma invasif pada jaringan epitel
rongga mulut, KSS menduduki posisi keenam dari kanker yang paling sering terjadi
di dunia dan umumnya ditemukan pada daerah mukosa seperti bibir bawah, lidah, dan
dasar mulut. Penyebab KSS multifaktorial, yaitu tidak ada agen ataupun faktor
(karsinogen) tunggal sebagai penyebab KSS yang telah dilaporkan atau telah diterima
secara jelas.
Inflamasi merupakan upaya perlindungan tubuh untuk menyingkirkan hal-hal
yang menyebabkan injuri sebagai proses awal penyembuhan jaringan. Inflamasi dapat
diklasifikasikan menurut waktunya yaitu inflamasi akut dan kronis, serta menurut
bentuknya yakni inflamasi granulomatosa, fibrinosa, purulen, serosa, dan ulseratif.
Salah satu gambaran klinis dari karsinoma sel skuamosa adalah ulser yang tidak
sembuh, maka ulser yang tidak sembuh dalam waktu 14 hari harus dicurigai dengan
melakukan biopsi karena kemungkinan dapat menimbulkan malignansi.
Selama 140 tahun, inflamasi kronis telah dikenal sebagai faktor penting dalam
perkembangan kanker, dalam perjalanannya suatu patogenesis normal menjadi

Universitas Sumatera Utara

karsinoma membutuhkan waktu yang lama yaitu dengan adanya suatu karsinogenik
yang mengiritasi secara kronis. Alasan hubungan antara inflamasi dan kanker
merupakan suatu hal yang kompleks. Hal-hal yang dapat mempengaruhi suatu
inflamasi kronis sehingga dapat berkembang menjadi karsinoma, yaitu waktu, genetik
(host), dan bentuk inflamasi. Mekanisme perkembangannya dapat ditinjau dari tiga
aspek yakni secara patologis, imunologis, dan molekuler.
Dengan diketahuinya proses patogenesis perkembangan inflamasi kronis nonspesifik menjadi karsinoma sel skuamosa maka dapat dilakukan deteksi dini terhadap
lesi-lesi di rongga mulut sehingga diharapkan lesi-lesi tersebut tidak berkembang
menjadi karsinoma sel skuamosa.

Daftar pustaka: 27 (1993-2009)

Universitas Sumatera Utara

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di
mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,
tuberkulosis, dan histoplasmosis dan yang lain merupakan penyakit ganas seperti
karsinoma sel skuamosa dan limpoma.1 Lebih dari 90% neoplasma malignan yang
terjadi di rongga mulut adalah tipe karsinoma sel skuamosa yang berasal dari
permukaan epitel rongga mulut.2,3 Karsinoma sel skuamosa menduduki posisi
keenam dari kanker yang paling sering terjadi di dunia, lebih dari 300,000 kasus
didiagnosa setiap tahunnya.4 Karsinoma sel skuamosa umumnya ditemukan pada
tempat-tempat seperti bibir bawah, lidah, dan dasar mulut.1
Selama 140 tahun, inflamasi kronis telah dikenal sebagai faktor penting dalam
perkembangan kanker. Dalam perjalanannya suatu patogenesis lesi normal menjadi
karsinoma membutuhkan waktu yang lama yaitu dengan adanya suatu karsinogenik
yang mengiritasi secara kronis, sehingga sel epitel mengalami proliferasi secara
abnormal.4 Paparan kronis karsinogen seperti tembakau, alkohol, virus-virus
onkogen, dan inflamasi dapat merusak gen seseorang pada kromosom sebagai bagian
dari materi genetik. Akumulasi dari perubahan genetik tersebut dapat memicu
perkembangan lesi-lesi premalignan dan diikuti dengan terjadinya karsinoma invasif.5
Alasan hubungan antara inflamasi dan kanker merupakan suatu hal yang kompleks.
Setelah adanya jejas, sel-sel inflamatori melepaskan sitokin dan faktor-faktor yang

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel yang akan menstimulasi
proliferasi sel lokal, pertumbuhan vaskular, dan penyembuhan luka. Pada inflamasi
kronis, faktor-faktor ini bergabung dan terjadilah proliferasi yang terus-menerus
hingga sel jaringan epitel mengalami displasia dan akhirnya menjadi karsinoma.5
Inflamasi merupakan respon kompleks biologis dari jaringan vaskular
terhadap stimulus yang berbahaya, seperti patogen, sel-sel yang rusak ataupun iritan.
Inflamasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni akut dan kronis. Inflamasi kronis
menuju pada perubahan progresif pada tipe sel yang hadir pada tempat inflamasi dan
dikarakteristikkan oleh destruksi yang simultan dan penyembuhan jaringan dari
proses inflamasi. Bentuk spesifik inflamasi terlibat selama situasi yang khas muncul
pada tubuh, seperti ketika inflamasi terjadi pada permukaan epitel, atau piogenik
terlibat, yakni inflamasi granulomatosa, inflamasi fibrinosa, inflamasi purulen,
inflamasi serosa dan inflamasi ulseratif.6
Ulserasi merupakan kondisi terjadi putusnya permukaan epitelium mukosa
rongga mulut yang menyebabkan terbukanya ujung saraf yang terletak di lamina
propria.7 Ulser mungkin merupakan lesi jaringan lunak yang paling sering terjadi dan
dapat bersifat akut maupun kronis. Walaupun kebanyakan ulser rongga mulut
memiliki gambaran klinis yang mirip, akan tetapi etiologinya bervariasi mulai dari
reaktif sampai neoplastik dan dapat juga merupakan manifestasi oral dari penyakit
dermatologis. Ulser reaktif kronis ditutupi oleh membran kuning dan dikelilingi oleh
pinggiran yang dapat diangkat yang menunjukkan hiperkeratosis. Lamanya ulser
tergantung pada luka dan infiltrasi sel inflamatori kronis. 8

Universitas Sumatera Utara

Salah satu gambaran klinis dari karsinoma sel skuamosa adalah ulser yang
tidak sembuh,6 maka ulser yang tidak sembuh dalam waktu 14 harus hari dicurigai
dengan melakukan biopsi karena kemungkinan dapat menimbulkan malignansi.1,8
Hodgson et.al, pada penelitiannya mengenai penyakit-penyakit yang berpotensi
menjadi malignan, dari 75 pasien yang menderita ulserasi yang persisten, didapati
empat pasien (5.3%) mengalami malignansi, lima pasien (6.7%) mengalami lesi
displasia dan 39 pasien (52 %) mengalami ulserasi kronis non spesifik. Berdasarkan
penelitian maka UK National Cancer Referral Guidelines for Suspected Oral
Mucosal Malignancies menyimpulkan bahwa kurang dapat membedakan antara
penyakit rongga mulut yang berpotensi menjadi malignan dengan penyakit rongga
mulut lainnya dengan baik.9 Hirota et.al melaporkan pasien perempuan berusia 25
tahun mengeluhkan rasa nyeri yang terus-menerus yang berkaitan dengan lesi di lidah
yang sudah berlangsung selama dua bulan. Pada saat serangan nyeri, pasien
mendatangi rumah sakit umum, dimana setelah dilakukan pemeriksaan pada lesi dan
biopsi didapati hasil bahwa terjadi proses inflamasi kronis non spesifik. Setelah
dilakukan pemeriksaan biopsi lebih lanjut didapati hasil bahwa lesi tersebut
merupakan karsinoma sel skuamosa.10
Pada skripsi ini akan dibahas mengenai perubahan karsinoma sel skuamosa
yang didahului oleh proses inflamasi kronis non spesifik yang bermanifestasi sebagai
ulser di rongga mulut. Untuk mencegah terjadinya KSS maka perlu diketahui
bagaimana patogenesis perkembangan proses inflamasi kronis non spesifik menjadi
KSS

Universitas Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah yaitu
bagaimana perkembangan dan patogenesis proses inflamasi kronis yang non spesifik
menjadi karsinoma sel skuamosa.
1.3 Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk membahas patogenesis
proses inflamasi kronis non spesifik menjadi karsinoma sel skuamosa.
b. Manfaat
Manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada pihak-pihak
pengelola kesehatan gigi dan mulut tentang patogenesis proses
inflamasi kronis non spesifik menjadi karsinoma sel skuamosa
sehingga dapat mewaspadai apabila terjadi reaksi inflamasi pada
rongga mulut pasien yang biasanya bermanifestasi sebagai ulser.
2. Dokter gigi dapat melakukan pencegahan KSS dengan deteksi dini
pada lesi rongga mulut yamg mencurigakan sehingga dapat
memberikan perawatan yang tepat dan perkiraan perawatan
selanjutnya jika ternyata dijumpai adanya tanda-tanda keganasan
pada lesi.
3. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa inflamasi
kronis pada rongga mulut, yang biasanya bermanifestasi sebagai
ulser, berhubungan erat dengan proses terjadinya KSS sehingga

Universitas Sumatera Utara

masyarakat dapat lebih waspada jika terjadi suatu proses inflamasi
pada rongga mulutnya.

1.4 Ruang Lingkup
Skripsi ini menjelaskan mengenai karsinoma sel skuamosa dan inflamasi
kronis non spesifik, yaitu mencakup defenisi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis,
diagnosis, dan perawatan serta hubungannya dengan proses inflamasi kronis non
spesifik dimana proses inflamasi kronis non spesifik dapat berkembang menjadi KSS.

Universitas Sumatera Utara

BAB 2
KARSINOMA SEL SKUAMOSA

Lapisan rongga

mulut

terdiri dari epitel

skuamosa

berlapis pada

permukaannya, dengan lapisan subepitel dibawahnya berupa jaringan ikat.11
Kebanyakan keganasan pada rongga mulut berasal dari permukaan epitel dan salah
satunya adalah karsinoma sel skuamosa (KSS).2,7,11 KSS menduduki posisi keenam
dari kanker yang paling sering terjadi di dunia dan lebih dari 300,000 kasus telah
didiagnosa setiap tahunnya.3 Kanker rongga mulut kadang-kadang didahului oleh lesi
yang dapat terlihat secara klinis sebagai lesi non-kanker yang disebut sebagai lesi
prekanker tetapi tidak seluruh kanker berasal dari lesi seperti ini.11

2.1 Defenisi
Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah suatu neoplasma invasif pada jaringan
epitel rongga mulut dengan berbagai tingkat diferensiasi yang muncul pada tempattempat seperti jaringan mukosa mulut, alveolar, gingiva, dasar mulut, lidah, palatum,
tonsil dan orofaring. KSS cenderung untuk segera bermetastase dan meluas.12

2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyebab KSS merupakan hal yang multifaktorial yaitu tidak ada agen
ataupun faktor (karsinogen) tunggal sebagai penyebab KSS yang telah ditegaskan
atau telah diterima secara jelas. Faktor ekstrinsik sebagai penyebab yakni merupakan
agen eksternal seperti tembakau, alkohol, penyakit sipilis, dan sinar matahari. Faktor
intrinsik merupakan kondisi umum atau sistemik pasien, seperti malnutrisi ataupun

Universitas Sumatera Utara

anemia defisiensi besi. Walaupun faktor-faktor lain juga signifikan, kemungkinan
bahwa KSS dapat ditularkan secara herediter, akan tetapi herediter sendiri tidak
memainkan peranan utama.13 Kebanyakan KSS dihubungkan dengan lesi prekanker,
khususnya leukoplakia.3
Pada pertemuan para peneliti WHO mengenai defenisi histologis lesi-lesi
prekanker, keadaan prekanker dibagi menjadi : lesi prekanker dan kondisi prekanker.
Lesi prekanker didefenisikan sebagai perubahan jaringan secara morfologis dimana
kanker kelihatannya lebih sering terjadi daripada bagian-bagian yang normal.11 Lesilesi prekanker yang dapat berkembang menjadi KSS3:
1. Eritroplasia (eritroplakia) merupakan lesi yang paling sering berkembang
menjadi displasia berat ataupun karsinoma
2. Leukoplakia yang terdiri dari proliferative verrucous leukoplakia,
leukoplakia sublingual, leukoplakia kandida, leukoplakia sipilitik.
Kondisi prekanker didefenisikan sebagai suatu keadaan umum dihubungkan
dengan peningkatan resiko terjadinya kanker secara jelas.11 Kondisi prekanker yaitu:3
1. Aktinik keilitis
2. Liken planus: juga ada kasus displasia dengan penampakan likenoid
(displasia likenoid)
3. Discoid lupus erythematosus
4. Displasia pada pasien immunocompromised
5. Diskeratosis kongenita
6. Sindrom Paterson-Kelly (disfagia sideropenik; sindrom Plummer-Vinson)

Universitas Sumatera Utara

Salah satu gambaran utama yang muncul mendahului timbulnya keganasan
adalah epitel displasia, oleh karena hal itu maka metode evaluasi lesi dan kondisi
prekanker yang berpotensi menjadi ganas dengan cara konvensional seperti
pemeriksaan mikroskopis terhadap epitel yang mengalami displasia. Telah
ditunjukkan pada penelitian-penelitian longitudinal bahwa untuk berubah menjadi
ganas lesi displastik beresiko lima belas kali lebih tinggi daripada lesi non-displastik
dan tingkat keparahan displasia bervariasi, jika makin tinggi tingkat keparahannya
maka makin tinggi pula hubungannya dengan tingkat keganasan.11

2.3 Patogenesis
KSS muncul sebagai akibat dari berbagai kejadian molekular yang
menyebabkan kerusakan genetik yang mempengaruhi kromosom dan gen, yang
akhirnya menuju kepada perubahan DNA. Akumulasi perubahan-perubahan tersebut
memicu terjadinya disregulasi sel pada batas dimana terjadinya pertumbuhan otonom
dan perkembangan yang invasif. Proses neoplastik mula-mula bermanifestasi secara
intraepitel dekat membran dasar sebagai suatu hal yang fokal, kemudian terjadi
pertumbuhan klonal keratinosit sel yang berubah secara berlebihan, menggantikan
epitelium normal. Setelah beberapa waktu atau beberapa tahun, terjadi invasi
membran dasar jaringan epitel menandakan awal kanker invasif.3

2.3.1 Patologis
Premalignansi oral merupakan ciri lesi yang dapat beresiko untuk berubah
menjadi pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan bertransformasi menjadi kanker
diikuti dengan kekacauan fungsi normal jaringan. Proses patologis premalignansi

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi epitel skuamosa berlapis yang melindungi rongga mulut. Gambaran
utama yang terlihat mendahului perjalanan keganasan adalah displasia epitel yaitu
yang secara histologis menggambarkan kombinasi gangguan pematangan dan
gangguan proliferasi sel. Derajat displasia epitel dan karsinoma yakni displasia
ringan, displasia menengah, displasia berat (karsinoma in situ) dan karsinoma.3
Prediksi transformasi ke malignan tidak akurat dan hanya tes secara
mikroskopis yakni pemeriksaan patologi yang dapat membantu. Pada pemeriksaan
patologi perubahan yang terjadi pada leukoplakia mulai dari keratosis simpel sampai
karsinoma sel skuamosa dini. Yang termasuk keratosis jinak yaitu hiperparakeratosis,
hiperorthokeratosis, akantosis dan kombinasi ketiganya. Iritasi dan perubahan
inflamasi pada mukosa dapat juga menyebabkan perubahan yang sama. Walaupun
lesi displastik disebut potential malignant, tetapi tanpa dirawat dapat juga menetap
tanpa perubahan yang cepat untuk beberapa bulan atau tahun dan sebagian dapat
mengalami kemunduran ataupun spontan hilang. Tidak ada gambaran klinis ataupun
histologis yang dapat digunakan untuk memperkirakan kapan lesi berubah menjadi
ganas atau sembuh spontan.3

2.3.2 Imunologis
Didapati bukti jelas mengenai pengaruh imunologis pada perkembangan
malignansi, akan tetapi apakah suatu tumor berkembang karena kegagalan
mekanisme pengenalan atau kerusakan imun atau respon-respon lain masih belum
jelas diketahui tetapi dilaporkan bahwa respon imun bahkan dapat menstimulus
onkogenesis.11 Secara primer KSS menyebar dengan perluasan lokal melalui sistem

Universitas Sumatera Utara

limfatik. Penyebaran regional pada mukosa oral dapat terjadi dengan perluasan
langsung dan kadang dengan penyebaran submukosal dan hasilnya yakni luasnya
daerah yang terlibat. Produksi kolagenase tipe I dan proteinase lain, prostaglandin E2,
dan interleukin 1 dapat mempengaruhi matriks ekstraseluler dan motilitas sel-sel
epitel dapat membiarkan terjadinya invasi. Perubahan-perubahan pada membran
dasar, seperti kerusakan laminin dan kolagen, terjadi dengan invasi.13
Sel inflamatori mononuklear yang menginfiltrasi umumnya ditemukan
diantara epitelium displastik oral khususnya di area yang menunjukkan tanda atipia
epitelial.

Suatu

penelitian

yang

menggunakan

antibodi

monoklonal

telah

menunjukkan bahwa infiltrasi biasanya didominasi oleh komposisi limfosit T dan
makrofag, khususnya sel sitotoksik/supresor (T8), mengesankan adanya reaksi imun
cell-mediated terhadap tumor.13

Gambar 1. Perubahan patologis epitel normal menjadi KSS8

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Molekuler
Patogenesis molekuler KSS mencerminkan akumulasi perubahan genetik yang
terjadi selama periode bertahun-tahun. Perubahan ini terjadi pada gen-gen yang
mengkodekan protein yang mengendalikan siklus sel, keselamatan sel, motilitas sel
dan angiogenesis. Setiap mutasi genetik memberikan keuntungan pertumbuhan yang
selektif, membiarkan perluasan klonal sel-sel mutan dengan peningkatan potensi
malignansi.13
Karsinogenesis merupakan suatu proses genetik yang menuju pada perubahan
morfologi dan tingkah laku seluler. Gen-gen utama yang terlibat pada KSS meliputi
proto-onkogen dan gen supresor tumor (tumor suppresor genes/TSGs). Faktor lain
yang memainkan peranan pada perkembangan penyakit meliputi kehilangan alel pada
rasio lain kromosom, mutasi pada proto-onkogen dan TSG, atau perubahan
epigenetik seperti metilasi atau histonin diasetilasi DNA. Faktor pertumbuhan sitokin,
angiogenesis, molekul adesi sel, fungsi imun dan regulasi homeostatik pada sel-sel
normal yang mengelilingi juga memainkan peranan.13

gambar 2. proses patogenesis secara molekuler displasia menjadi KSS13

Universitas Sumatera Utara

2.4 Gambaran Klinis
KSS mempunyai gambaran klinis yang bervariasi, yakni sebagai berikut
1. Lesi Eksofitik
Karsinoma eksofitik adalah suatu bentuk masa lesi yang berbentuk seperti
nodul, jamur, papilla dan verruciform. Warnanya bervariasi dari merah sampai putih,
tergantung pada jumlah keratinisasi permukaan epitel dan juga berdasarkan fibrosis
pada jaringan ikat dibawahnya sebagai respon invasi tumor.13,14 Masa terasa keras
(indurated), dan jika kanker telah menyebar ke jaringan otot ataupun tulang, masa
tumor terasa cekat kepada jaringan sekitar, gambaran ini umumnya terjadi pada
mukosa bukal dan tepi lateral lidah.14,15

2.

Lesi Endofitik

Karsinoma endofitik biasanya ulseratif.14 Hal ini berdasarkan pada
ketidakmampuan epitelium karsinomatosa untuk menciptakan suatu unit struktural
yang stabil dan utuh. Karsinoma tipe ini menunjukkan suatu penekanan, bentuk yang
tidak teratur, zona utama yang ulseratif dengan tepi bergerigi. Tepian bergerigi
terbentuk ketika tumor menyerang ke jaringan di bawah dan sebelah lateralnya,
dengan demikian penarikan tepi epitelial yang berdekatan dengan ulser.14,15

3. Lokasi Lesi
a. Vermilion bibir
Ciri dari karsinoma pada vermilion bibir yakni berkerak, kasar, ulserasi yang
lama yang biasanya berukuran kurang dari satu sentimeter. Tumor

Universitas Sumatera Utara

dikarakteristikkan dengan laju pertumbuhan yang lambat, dan kebanyakan
pasien telah menyadari akan area yang bermasalah sekitar 12-16 bulan
sebelum diagnosis dibuat.15
b. Intraoral
Tempat yang paling umum pada kanker intraoral yakni lidah, biasanya pada
lateral posterior dan permukaan ventral. Dua pertiga karsinoma lingual
muncul tidak disertai rasa nyeri, masa atau ulser yang lama pada tepi posterior
lateral lidah.15

Gambar 3. (A) Lesi Eksofitik (B) Lesi Endofitik13

c. Orofaringeal
Karsinoma pada palatum lunak dan mukosa orofaringeal pada dasarnya
mempunyai gambaran klinis seperti karsinoma anterior, kecuali lokasinya
yang berada di posterior sehingga pasien tidak waspada terhadap
kehadirannya yang menyebabkan tertundanya diagnosis. Ukuran tumor
biasanya lebih besar daripada karsinoma anterior, dan diagnosis proporsi
kasus metastase servikal dan metastase jauh lebih tinggi.15

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Lokasi lesi (A) Lidah (B) Vermilion Bibir (C) Palatum lunak13

2.5 Diagnosis dan Perawatan
Untuk menegakkan diagnosis yang tepat pada kasus KSS klinisi harus
waspada terhadap ulser tunggal dengan bercak kemerahan atau keputihan, khususnya
jika ulser ini menetap dan tidak sembuh lebih dari tiga minggu karena hal tersebut
kemungkinan merupakan manifestasi dari kegananasan.3 Untuk itu perlu dilakukan
suatu pemeriksaan yang tepat sesuai prosedur dan selanjutnya dilakukan perawatan
yang tepat.

2.5.1 Pemeriksaan
Prosedur pemeriksaan dalam menegakkan diagnosa KSS antara lain3:
1. Biopsi lesi
2. Fine Needle Aspiration pada kedua limfonodus servikal

Universitas Sumatera Utara

3. Radiografi rahang (seringnya pantomografi putar), walaupun tidak adekuat
untuk mengetahui adanya invasi sampai ke tulang.
4. Radiografi toraks. Hal ini penting sebagai pemeriksaan pra-anastesi,
khususnya pasien yang diketahui mempunyai penyakit paru dan saluran
pernapasan serta untuk menunjukkan saluran lymph, tulang rusuk dan juga
tulang belakang.
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau Computed Tomography (CT) kepala
dan leher serta tempat yang dicurigai metasatase jauh dan MRI leher untuk
menggambarkan luas metastase nodus servikal. Beberapa unit pemeriksaan
rutin dada dan abdomen. MRI khususnya berguna untuk menentukan
penyebaran tumor, keterlibatan tulang, metastase nodus
6. Elektrokardiografi
7. Pemeriksaan darah

2.5.2 Perawatan
Prinsip utama

perawatan kanker yaitu untuk mengobati pasien. Pilihan

perawatan berdasarkan pada tipe sel dan tingkat diferensiasi, tempat dan ukuran lesi
primer, status limfonodus, ada tidaknya keterlibatan tulang, kemampuan untuk
mendapatkan tepi pembedahan yang adekuat, ada tidaknya metastase, kemampuan
untuk memelihara fungsi orofaring, termasuk fungsi bicara, pengunyahan dan estetis,
status medis dan mental pasien, ketersediaan bantuan terapi keseluruhan, perkiraan
yang seksama mengenai kemungkinan komplikasi dari masing-masing terapi,
pengalaman dokter bedah dan radioterapis, pilihan pribadi dan kerjasama pasien. Jika

Universitas Sumatera Utara

lesi tidak sembuh dengan terapi inisial, pilihan untuk perawatan menjadi terbatas, dan
kemungkinan untuk sembuh menjadi berkurang. 13

2.5.2.1 Pembedahan
Dalam pemilihan perawatan bedah, perlu diketahui indikasi serta tujuan
penanganan terhadap KSS. Adapun indikasi pembedahan antara lain13:
1. Tumor yang telah melibatkan tulang
2. Efek samping pembedahan diharapkan lebih kecil daripada radiasi
3. Tumor yang kurang sensitif terhadap radiasi
4. Tumor rekuren pada daerah yang sebelumnya telah menerima terapi
radiasi.
5. Pada kasus paliatif untuk mengurangi ukuran tumor

Pada beberapa kasus dengan keterlibatan tulang alveolar yang minimal,
mandibulektomi parsial dapat membiarkan terpeliharanya kontinuitas mandibula.
Diseksi leher dapat digunakan pada sisa perawatan kanker yang rekuren di leher.
Eksisi lesi displastik dan malignan dapat disempurnakan dengan terapi laser. Terapi
laser untuk lesi ini ditolerir dengan baik dan biasanya menurunkan waktu perawatan
di rumah sakit tetapi memiliki kekurangan yaitu terbatasnya perkiraan mengenai tepi
pembedahan

untuk

konfirmasi

secara

histopatologis.

Manajemen

lanjutan

pembedahan meliputi pendekatan baru pembedahan dan pembedahan baru untuk
rekonstruksi, seperti vaskularisasi flap, rekonstruksi mikrovaskular bebas dan
anastomose neurologis dari cangkokan bebas. Rekonstruksi dengan menggunakan
implan ossenintegrasi bertujuan untuk memberikan prostesis yang stabil dan estetis

Universitas Sumatera Utara

yang lebih tinggi dan hasil fungsional. Kemampuan untuk menempatkan implan pada
tulang yang disinari merupakan pilihan untuk rehabilitasi.13

2.5.2.2 Radioterapi
KSS biasanya radiosensitif, dan mempunyai lesi awal dengan tingkat
kesembuhan yang tinggi. Pada umumnya, tumor yang lebih berdiferensiasi maka
mempunyai kecepatan daya respon yang lebih kecil terhadap radioterapi. Tumor
eksofitik dan yang teroksigenasi dengan baik lebih radiosensitif, sedangkan tumor
besar yang invasif dengan fraksi pertumbuhan yang kecil memunyai respon yang
lebih sedikit. KSS yang dibatasi oleh mukosa mempunyai daya sembuh lebih tinggi
dengan radioterapi, akan tetapi penyebaran tumor sampai ke tulang mengurangi
kemungkinan penyembuhan dengan radioterapi. Metastase servikal yang kecil dapat
dikendalikan hanya dengan radioterapi saja, walaupun keterlibatan servikal nodus
yang lebih lanjut lebih baik diatasi dengan terapi kombinasi.13
Untuk mendapatkan efek terapetik, radioterapi diberikan dengan pembagian
harian. Hiperfraksionasi radiasi (biasanya dosis dua kali sehari) digunakan secara luas
untuk mengurangi komplikasi kronik yang timbul walaupun komplikasi akut lebih
parah. Efek biologis radioterapi tergantung pada jumlah dosis yang diberikan perhari,
total waktu perawatan, dan dosis total.13
Radioterapi mempunyai keuntungan dalam perawatan karsinoma in situ
karena mencegah pembuangan jaringan, dan dapat digunakan sebagai pilihan
perawatan pada tumor T1 dan T2. Radiasi dapat diberikan pada lesi yang terlokalisasi
dengan menggunakan teknik implant (brakiterapi) atau pada regio kepala dan leher

Universitas Sumatera Utara

dengan menggunakan eksternal beam radiation. Terapi external beam

dapat

memberikan cara tertentu untuk melindungi jaringan normal yang berbatasan dengan
tumor yang tidak terlibat. Inovasi pada radioterapi meliputi IMRT, menggunakan
pancaran radiasi dengan berbagai intensitas, yang memberikan kemampuan untuk
menyesuaikan dengan dosis yang diresepkan terhadap bentuk dan jaringan target
dalam tiga dimensi, mengurangi dosis untuk jaringan normal sekitarnya. IMRT
idealnya cocok untuk malignansi pada kepala dan leher yang dekat dengan struktur
yang penting seperti batang otak, chiasm optik, dan kelenjar ludah.13
Concurrent Chemotherapy and Radiotherapy (CCRT) dan IMRT menjadi
standard perawatan pada KSS. CCRT meningkatkan laju penyembuhan tetapi
dihubungkan dengan peningkatan toksisitas yang menyertainya.13

2.5.2.3 Kemoterapi
Kemoterapi digunakan sebagai terapi awal sebelum dilakukan terapi lokal,
bersama dengan radioterapi (CCRT), dan kemoterapi pembantu setelah perawatan
lokal. Tujuan kemoterapi yakni untuk mengurangi tumor awal dan memberikan
perawatan dini pada mikrometastaste. Efek toksik kemoterapi meliputi mukositis,
nausea, muntah, dan penekanan sumsum tulang. Obat-obatan utama kemoterapi itu
sendiri maupun untuk terapi kombinasi yaitu antara lain methotrexate, bleomycin,
Tasol dan turunannya, turunan platinum (cisplatin dan carboplatin), dan 5fluorouracil. Protokol kemoterapi dan radioterapi yang dilakukan bersamaan, saat ini
telah menjadi standard sebagai perawatan pada stadium tiga dan empat dengan
prognosis yang buruk apabila dirawat dengan pembedahan.13

Universitas Sumatera Utara

Sebagai perawatan untuk keganasan yang lainnya, obat-obatan kemoterapi
yang baru telah dipelajari sebagai tambahan atau pengganti obat-obatan yang lama.
Obat-obatan kombinasi percobaan yang menargetkan jalur yang berbeda-beda, seperti
bevazicumb dan erlotinib, juga telah disempurnakan dengan hasil yang menjanjikan.
Obat-obatan seperti capecitabine menawarkan suatu cara lain pada pasien yang secara
jelas terkena efek samping dari kemoterapi standard. Interferon alfa 2b efektif sebagai
terapi pembantu terapi konvensional pasien imunosupresi.13

2.5.2.4 Kombinasi Pembedahan dan Radioterapi
Keuntungan radioterapi seperti potensi untuk membasmi sel-sel tumor yang
teroksiogenasi dengan baik pada perifer tumor dan untuk mengatur penyakit regional
subklinis. Pembedahan lebih ditekankan pada pengaturan masa tumor yang berproses
secara relatif pada sel-sel hipoksik yang radio-resisten dan tumor yang melibatkan
tulang. Terapi kombinasi dapat menghasilkan keselamatan yang baik pada kasuskasus tumor tingkat lanjut dan pada tumor yang menunjukkan tingkah laku biologis
yang agresif. Keuntungan dari radioterapi preoperatif yaitu destruksi sel-sel tumor
perifer, potensi pengendalian penyakit subklinis, dan kemungkinan mengubah lesi
yang tidak dapat dioperasi menjadi dapat dioperasi. Kerugiannya meliputi, penundaan
pembedahan dan penundaan penyembuhan pasca operasi. Kemoradioterapi pasca
operasi dapat digunakan untuk merawat sel-sel yang tersisa pada pembedahan dan
untuk mengendalikan penyakit subklinis.13

Universitas Sumatera Utara

2.5.2.5 Terapi Gen
Terapi gen didefenisikan sebagai transfer gen untuk tujuan mengobati
penyakit pada manusia, meliputi transfer materi genetik yang baru sebagai manipulasi
materi genetik yang ada. Hal ini bermanfaat khususnya untuk sel-sel kanker, yang
didominasi onkogen yang teraktivasi. Pengunaan terapi gen pada perawatan kanker
yakni untuk merawat penyakit yang rekuren dan terapi pembantu, misalnya pada
pembedahan. Berdasarkan pada persyaratannya yakni injeksi secara langsung, KSS
merupakan target yang cocok karena kebanyakan lesi primer ataupun yang rekuren
dapat dicapai dengan injeksi. Ada beberapa strategi umum yang digunakan pada
terapi gen untuk merawat KSS, yaitu:16
1. penambahan gen supresor tumor (terapi gen tambahan)
2. penghilangan gen tumor yag tidak sempurna (terapi gen eksisi)
3. penurunan regulasi gen yang terlihat yang menstimulasi pertumbuhan
tumor (RNA antisense)
4. perbaikan penjagaan imun (imunoterapi)
5. aktivasi obat-obatan yang mempunyai efek kemoterapetik (terapi gen
”suicide”)
6. pengenalan virus yang menghancurkan sel-sel tumor sebagai bagian dari
siklus replikasi
7. pengiriman gen-gen yang resisten terhadap obat ke jaringan normal
sebagai perlindungan dari kemoterapi
8. pengenalan gen yang menghambat angiogenesis tumor

Universitas Sumatera Utara

BAB 3
INFLAMASI

Tanpa proses pertahanan seperti inflamasi dan pemulihan, manusia tidak
dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang kadang-kadang

membahayakan

jiwanya. Infeksi akan bertambah parah dan luka akan tetap terbuka tanpa
penyembuhan. Proses inflamasi memusnahkan, melarutkan atau membatasi agen
penyebab injuri dan merintis jalan untuk pemulihan jaringan di tempat yang rusak
pada tempat tersebut.17

3.1 Defenisi
Inflamasi merupakan suatu respon komplek biologis dari jaringan vaskular
terhadap stimulus-stimulus yang berbahaya seperti invasi bakteri patogen, kerusakan
sel, dan iritasi.6 Inflamasi juga merupakan respon non-spesifik terhadap injuri dan
ditemukan pada cara yang sama tanpa memperhatikan sumber injuri.18 Inflamasi
merupakan upaya perlindungan tubuh untuk

menyingkirkan

hal-hal

yang

menyebabkan injuri sebagai proses awal penyembuhan jaringan. Tanda-tanda utama
inflamasi adalah, panas setempat (Kalor), kemerahan (Rubor), nyeri (Dolor),
pembengkakan (Tumor), dan kehilangan fungsi.6,18,19

Universitas Sumatera Utara

3.2 Klasifikasi Inflamasi
3.2.1 Menurut waktu
Luas dan lama injuri yang terjadi menentukan luas dan lama respon
inflamatori. Repon inflamatori dapat terjadi lokal dan terbatas pada daerah injuri atau
bisa juga terjadi sistemik apabila injuri bersifat luas.18
Dari penjelasan diatas, respon inflamatori yang terjadi pada tubuh antara
lain:6,18,169,20
1. Inflamasi Akut, injuri yang terjadi minimal dan singkat dan sumbernya
dapat disingkirkan dari jaringan. Durasi hanya beberapa hari, jaringan dapat kembali
kebentuk asal (Regenerasi), atau perbaikan jaringan dimulai dengan cepat.
2. Inflamasi Kronis, merupakan inflamasi yang berkepanjangan menuju
kepada perkembangan perubahan pada tipe sel yang terjadi pada daerah inflamasi dan
dikarakteristikkan dengan destruksi yang bersifat terus menerus dan penyembuhan
jaringan dari proses inflamatori. Dapat terjadi berminggu-minggu, berbulan-bulan
atau bahkan tidak pasti sampai kapan.
Inflamasi kronis dapat timbul melalui satu atau dua jalan yakni dapat timbul
menyusul inflamasi akut, atau responnya sejak awal bersifat kronis. Perubahan
inflamasi akut menjadi kronis berlangsung bila respon inflamasi akut tidak dapat
reda,17,19 disebabkan agen penyebab injuri yang menetap atau terdapat gangguan pada
proses penyembuhan normal.17
Inflamasi kronis dapat diklasifikasikan yakni non-spesifik, dimana hanya
gambaran umum inflamasi yang terlihat, dan spesifik yaitu dimana pola inflamasi

Universitas Sumatera Utara

yang dapat dikenali terlihat pada etiologi kondisinya. Bentuk lanjutan dari inflamasi
kronis spesifik sering dihubungkan dengan pembentukan granuloma.19

3.2.2 Menurut bentuk
Bentuk yang jelas dari adanya suatu proses inflamasi yang terlihat pada
bagian tubuh yaitu ketika inflamasi terjadi pada permukaan epitel, ataupun pada saat
terlibatnya bakteri pyogenik. Antara lain adalah sebagai berikut:6
1. Inflamasi Granulomatosa. Inflamasi dengan gambaran morfologi yang
khas dan relatif ditemukan pada beberapa penyakit. Dikarakteristikkan dengan
pembentukan granuloma. Pembentukan granuloma pada kebanyakan keadaan
merupakan pencerminan pembentukan imunitas perantaraan sel atau hipersensitivitas
tertunda terhadap suatu agen penyebab.
2. Inflamasi fibrinosa. Disebabkan oleh proses inflamasi yang menghasilkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang sangat luas sehingga fibrin dapat
keluar melewati pembuluh darah. Jika suatu stimulus prokoagulatif yang ada,
misalnya sel-sel kanker, eksudat fibrinosa akan mengendap. Ini biasanya terjadi pada
kavitas serosa dimana perubahan eksudat fibrinosa menjadi luka dapat terjadi diantara
membran-membran serosa, tergantung pada fungsinya.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. (A) Inflamasi Granulomatosa17

3. Inflamasi purulen. Inflamasi menghasilkan pus dalam jumlah yang besar,
yang mengandung netrofil, sel-sel mati dan cairan. Inflamasi ini merupakan
karakteristik yang dihasilkan bakteri piogenik jenis stafilokokus. Sejumlah pus yang
terlokalisasi dan tertutup oleh jaringan sekitar disebut dengan abses.

Gambar 6. Inflamasi Purulen

4. Inflamasi serosa. Dikarakteristikkan oleh effuse yang berlebihan dari
cairan serosa yang tidak mengalir. Pada umumnya, dihasilkan oleh sel-sel mesotelial

Universitas Sumatera Utara

membrane serosa, namun dapat juga di dapat dari plasma darah biasanya bentuknya
seperti vesikel pada kulit.
5. Inflamasi Ulseratif. Inflamasi yang terjadi didekat epithelium dapat
menghasilkan kematian dan kehilangan jaringan pada daerah permukaan, yang
menyebabkan terpaparnya jaringan dibawahnya.7 Bentuk seperti ini merupakan
gambaran klinis yang umum terjadi pada KSS.

Gambar 7. Ulser pada bibir

3.3 Sel sel yang terlibat pada respon inflamatori
Emigrasi dan kemotaksi sel darah putih dari pembuluh darah ke daerah injuri
merupakan bagian yang penting dari suatu proses inflamasi. Enam jenis sel darah
putih yang terlibat yakni netrofil, monosit, limfosit, sel-sel plasma, eosinofil dan sel
mast. Netrofil (leukosit polimorfonuklear) merupakan sel pertama yang sampai ke
daerah injuri dan merupakan sel utama yang terlibat pada inflamasi akut. Monosit dan
makrofag merupakan sel kedua yang berpartisipasi pada respon inflamatori. Limfosit

Universitas Sumatera Utara

dan sel plasma terlibat pada inflamasi kronis dan respon imun, dan eosinofil dan sel
mast berpartisipasi pada kedua jenis inflamasi dan imun respon.18
Pada awal terjadinya inflamasi, netrofil merupakan sel inflamatori yang
biasanya ada, selama proses inflamasi akut. Sirkulasi monosit dalam darah menjadi
makrofag dan masuk ke jaringan dan merupakan tipe sel darah putih yang kedua
pada daerah injuri. Ketika inflamasi berlanjut, jumlah netrofil menurun. Jika injuri
menetap dan inflamasi kronis terjadi, makrofag, limfosit dan sel plasma menjadi sel
yang lebih dominan pada jaringan daripada netrofil.18

3.4 Kelainan akibat proses inflamasi
Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan inflamasi mencakup hal yang
luas. Sistem imun seringkali terlibat pada kelainan akibat inflamasi, menunjukkan
reaksi alergi ataupun beberapa miopati, dengan hasil kelainan sistem imun akibat
abnormalitas inflamasi. Penyakit-penyakit non-imun dengan etiologi yang berasal
pada proses inflamatori yakni meliputi kanker, atherosclerosis, dan penyakit jantung
iskemik.6 Adanya sejumlah protein yang bervariasi yang terlibat pada proses
inflamasi, dan salah satunya membuka mutasi genetik yang mengganggu atau
sebaliknya merupakan disregulasi fungsi normal protein.20

Universitas Sumatera Utara

BAB 4
KSS YANG DIDAHULUI INFLAMASI KRONIS NON SPESIFIK

Inflamasi kronis telah dikenal sebagai faktor penting pada perkembangan
kanker.4 Studi epidemiologi telah menyatakan bahwa inflamasi kronis mempengaruhi
bentuk-bentuk berbeda dari terjadinya kanker. Pemicu kronis inflamasi yang
meningkatkan resiko terjadinya kanker seperti infeksi mikroba, penyakit autoimun
dan kondisi inflamatori yang tidak jelas asalnya. Hubungan antara inflamasi dan
kanker pertama kali diusulkan oleh Rudolph Virchow pada tahun 1863, ketika ia
menjumpai leukosit pada jaringan neoplastik. Hipotesis asli Virchow telah ditelaah
oleh banyak kelompok peneliti, dan sekarang telah cukup data untuk menguatkan
hubungan inflamasi-onkogenesis.21

4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Dalam perkembangan suatu inflamasi menjadi kanker, ada beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yakni waktu, genetik (host), bentuk
inflamasi.

4.1.1 Waktu
Inflamasi kronis merupakan suatu inflamasi berkepanjangan yang dapat
terjadi berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan tidak pasti sampai
kapan.6,18,19,20 Tingkat yang lebih tinggi dari KSS dapat ditemukan dalam
hubungannya dengan penyakit-penyakit mukosa kronis jangka panjang seperti liken
planus, submukus fibrosis oral atau penyakit-penyakit mukosa lainnya dengan tingkat

Universitas Sumatera Utara

inflamasi yang tinggi.22 Dalam perjalanannya suatu patogenesis lesi normal menjadi
karsinoma membutuhkan waktu yang lama yaitu dengan adanya suatu karsinogenik
yang mengiritasi secara kronis, sehingga sel epitel mengalami proliferasi secara
abnormal.4 Walaupun KSS terjadi pada bagian tubuh yang mudah diakses untuk
deteksi dini, kebanyakan lesi tidak terdiagnosa sampai telah mencapai stadium
lanjut.23

4.1.2 Genetik (Host)
Peristiwa genetik merupakan dasar utama dari karsinogenesis.4 Sifat atau
pengaruh yang diwarisi dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: tumor jinak,
tumor jinak yang dapat berubah menjadi ganas (kanker), sindrom yang beresiko
tinggi menjadi kanker.20 Pada kebanyakan situasi normal, kerusakan DNA selama
respon inflamatori diperbaiki oleh sistem koreksi kesalahan internal sel, akan tetapi
jika hal ini tidak berfungsi secara tepat maka terdapat kesempatan yang lebih tinggi
untuk terjadinya mutasi yang meningkatkan resiko terjadinya kanker. Variasi tersebut
dapat mempengaruhi seorang individu dan bagaimana mereka merespon terjadinya
inflamasi kronis. Individu yang sedikit memiliki kemampuan untuk mengatasi
kerusakan DNA yang terjadi selama proses inflamasi kronis, akan lebih mudah
terkena kanker, sehingga sel-sel dengan mutasi genetik prekanker yang seharusnya
terbunuh malah hidup seiring dengan pertumbuhan kanker itu sendiri.24

4.1.3 Bentuk Inflamasi
Dalam perkembangannya beberapa KSS mempunyai gambaran klinis seperti
ulser. Tingkat yang lebih tinggi dari kanker dapat ditemukan dalam hubungannya

Universitas Sumatera Utara

dengan beberapa penyakit mukosa seperti oral submukus fibrosis, liken planus, dan
lesi-lesi tipe ulseratif-kronis lainnya. Dalam beberapa tahun belakangan ini, inflamasi
secara umum mendapatkan banyak perhatian, dan penelitian-penelitian memfokuskan
pada dampak inflamasi kronis pada level seluler yang mempengaruhi seluruh area di
tubuh. Setiap lesi pada rongga mulut mempunyai potensi untuk menjadi ganas atau
mengalami perubahan dibawah pengaruh keadaan-keadaan sekitar tertentu. Oleh
karena itu, setiap lesi harus mendapat perhatian. Lesi ulseratif yang tidak sembuh
lebih dari dua minggu sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologis.20

4.2. Mekanisme Terjadinya
4.2.1 Secara Patologis
Suatu sel atau hubungannya dengan jaringan ataupun organ bereaksi terhadap
injuri melalui suatu respon adaptif seperti hiperplasia, hipertropi, atau atropi.
Hiperplasia didefenisikan sebagai suatu peningkatan jumlah sel pada suatu jaringan
atau organ dimana ukuran jaringan atau organ ditingkatkan sebagai respon terhadap
kondisi yang menyebabkan tekanan seluler. Karena epitel permukaan hilang,
pembelahan sel-sel epitel basal meningkat untuk menggantikan sel-sel yang hilang.
Produksi sel-sel baru yang berlebihan dari jumlah sel pada kondisi normalnya
menjadikan epitelium menjadi tebal dan jaringan kelihatan menjadi lebih pucat
ataupun lebih putih. Ketika iritasi mereda, proliferasi berhenti maka epitelium
kembali ke ukuran normalnya dan warna jaringan pun kembali ke