Reaksi Pewarnaan AgNOR pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut

(1)

REAKSI PEWARNAAN AgNOR PADA

KARSINOMA SEL SKUAMOSA

RONGGA MULUT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

Michelle Ding

NIM : 100600186

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Bagian Biologi Oral

Tahun 2014

Michelle Ding

Reaksi Pewarnaan AgNOR pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut

xii + 46 halaman

Karsinoma sel skuamosa (KSS) merupakan salah satu jenis kanker yang

ditemukan di rongga mulut. Penyebab KSS adalah multifaktorial. KSS terjadi

akibat dari kerusakan genetik pada kromosom dan gen. Hal ini menyebabkan

perubahan molekular DNA pada nukleolus yang ada pada nukleus sel. Nukleolus

mempunyai bagian kromosom yang dinamakan nucleolar organizer region

(NOR) yang berperan dalam sintesis protein. NOR diamati sebagai titik-titik

hitam di bawah mikroskop cahaya dengan pewarnaan AgNOR. Pada sel normal,

hanya 1-2 titik hitam AgNOR yang diamati. Peningkatan titik-titik hitam AgNOR

mengindikasi perubahan sel normal menuju ke sel displastik/karsinoma dan juga

mencerminkan tingkat keburukan karsinoma. Tujuan penelitian ini adalah untuk

melihat distribusi frekuensi mean AgNOR (mAgNOR) pada nukleus preparat

KSS rongga mulut. Rancangan penelitian ini merupakan deskriptif analitik

dengan pendekatan cross sectional terhadap 30 sampel blok parafin yang

terdiagnosa sebagai KSS rongga mulut yang diperoleh dari Laboratorium

Patologi Anatomi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2013,


(3)

Olympus CX21 terhadap 100 nuklei. Hasil penelitian menunjukkan adanya

perbedaan yang signifikan mAgNOR antara KSS sub-tipe diferensiasi baik dan

diferensiasi sedang (p=0,000), dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan

mAgNOR antara sub-tipe keratinisasi KSS (p=0,124), kelompok umur (p=0,964),

jenis kelamin (p=0,053) dan lokasi lesi (p=0,195). Kesimpulan penelitian ini

menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan nilai mAgNOR pada KSS

diferensiasi sedang dibandingkan dengan KSS diferensiasi baik, dan tidak

adanya perbedaan yang signifikan nilai mAgNOR antara kelompok sub-tipe

keratinisasi KSS, umur, jenis kelamin dan lokasi lesi.

Kata Kunci: karsinoma sel skuamosa rongga mulut, pewarnaan AgNOR,

diferensiasi KSS


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 25 September 2014

Pembimbing: Tanda tangan,

1.Rehulina Ginting, drg., MSi ... NIP. 19511018 198003 2 001

2.dr. Betty, M.Ked.(PA),Sp.PA ... NIP. 19681009 199902 3 002


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 25 September 2014

TIM PENGUJI

KETUA : Rehulina Ginting, drg., M.Si

ANGGOTA : 1. dr. Betty, M.Ked(PA), Sp.PA


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Betty, dr., M.Ked. (PA), Sp.PA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, kritik, saran, serta waktu yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini. Juga tidak lupa ucapan terima kasih kepada Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku kepada Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing skripsi yang juga telah membimbing dan membantu penulis serta memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Nazruddin, drg., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku penasehat akademik yang selama ini telah banyak memberikan nasehat selama penulis menjalankan pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Biologi Oral FKG USU, Lisna Unita, drg., M.Kes, Minasari, drg., MM., Yendriwati, drg., M.Kes., Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc., M.Kes dan Yumi Lindawati, drg., selaku para staf pengajar Departemen Biologi Oral. Ngaisah dan Dani Irma Suryani selaku staf pegawai yang telah membantu dalam penelitian, memberikan saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh dokter dan staff Departemen Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.


(7)

5. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis tercinta yaitu Michael Ding dan Karen Lee serta adik penulis Jason Ding yang selalu mendoakan, memberikan dukungan moril maupun materil, serta motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat terbaik penulis May Eng, Su Yong, Sami Abdul-Wahid, Shanthi Levanita, Arsila, Titin, dan Kelvin Gohan yang telah memotivasi dan meluangkan waktu dalam membantu penelitian dan penulisan skripsi ini. Serta senior-senior dan teman-teman stambuk 2010 yang membuat skripsi di Departemen Biologi Oral yaitu: Kak Anita, Kak Indira, Kak Tellia, Bang Wanda, Bang Rahmat, Cindy, Beactris, Joseph, Ervi, Swee Fan, May, Aryani, Josua, Colvin dan Roderick yang memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

7. Teman-teman stambuk 2010, senior dan junior yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dan motivasi yang telah diberikan selama penulisan skripsi.

Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik dalam membangun kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna untuk bahan bacaan ke fakultas, dan sebagai pengembangan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat. Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain syukur sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, 25 September 2014

Penulis,

(………)

Michelle Ding


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Hipotesis Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.5.2 Manfaat Praktis ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KSS Rongga Mulut ... 5

2.1.1 Gambaran Histopatologi Sel Skuamosa Rongga Mulut .. 6

2.1.2 Etiologi ... 10

2.1.3 Patogenesis dan Siklus Sel ... 11

2.2 Onkogen ... 13

2.2.1 Gen Penekan Tumor ... 14


(9)

2.3.1 Nukleolus ... 16

2.3.2 Nucleolar Organizing Region (NOR) ... 16

2.3.3 Nucleophosmin dan Alternative Reading Frame (ARF)… 17

2.3.4 Pewarnaan AgNOR ... 18

2.4 Kerangka Teori ... 23

2.5 Kerangka Konsep ... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 25

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 25

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 25

3.2.2 Waktu Penelitian ... 25

3.3 Populasi, Sampel, dan Besar Sampel Penelitian ... 25

3.3.1 Populasi ... 25

3.3.2 Sampel ... 25

3.3.3 Besar Sampel ... 26

3.4 Kriteria Inklusi Dan Ekslusi ... 27

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 27

3.4.2 Kriteria Ekslusi ... 27

3.5 Kerangka Operasional ... 27

3.6 Variabel Penelitian ... 28

3.6.1 Variabel Bebas ... 28

3.6.2 Variabel Terikat ... 28

3.6.3 Variabel Terkendali ... 28

3.7 Definisi Operasional ... 29

3.8 Alat dan Bahan ... 30

3.8.1 Alat-alat Penelitian ... 30

3.8.2 Bahan Penelitian ... 30

3.9 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ………… 31

3.9.1 Pembuatan Sediaan Mikroskopis dari Blok Parafin ……. . 31

3.9.2 Prosedur Pewarnaan Hematoxylin-eosin ……….. 31

3.9.3 Prosedur Pewarnaan AgNOR ……… 32

3.10 Pengolahan Dan Analisis Data ... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Umum Sampel yang Diteliti ... 33

4.2. Distribusi Frekuensi Tampilan mAgNOR pada KSS Rongga Mulut Berdasarkan Sub-Tipe Keratinisasi, Jenis Diferensiasi, Umur, Jenis Kelamin dan Lokasi Lesi ... 34


(10)

BAB V PEMBAHASAN ... 37

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi baik dengan

pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ... 7

2 Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi sedang dengan

pewarnaan HE ... 8

3 Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi buruk dengan

pewarnaan HE ... 9

4 Skema ilustrasi p53 checkpoint ... 12

5 Bentuk nukleus ... 15

6 Gambaran mikroskopis mukosa normal rongga mulut dengan

pewarnaan AgNOR (100X) ... 20

7 Gambaran mikroskopis KSS rongga mulut yang berdiferensiasi

baik dengan NORs sedikit pada inti (1000X) ... 21

8 Gambaran mikroskopis KSS rongga mulut yang berdiferensiasi

sedang dengan sebagian ukuran NORs pada inti (1000X) ... 21

9 Gambaran mikroskopis KSS rongga mulut yang berdiferensiasi buruk dengan jumlah NORs yang banyak dan beragam pada inti

(1000X) ... 22

10 Gambaran mikroskopis KSS rongga mulut yang tidak berdiferensiasi (undifferentiated) dengan jumlah NORs yang


(12)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi WHO tumor pada kavitas rongga mulut ... 6

2 Sistem penilaian derajat diferensiasi KSS rongga mulut dengan

parameter Bryne ... 10

3 Distribusi frekuensi karateristik umum sampel berdasarkan data

rekam medis sampel yang diteliti ... 33

4 Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut

berdasarkan jenis sub-tipe keratinisasi ... 34

5 Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut

berdasarkan jenis diferensiasi ... 35

6 Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut

berdasarkan umur ... 35

7 Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut

berdasarkan jenis kelamin ... 35

8 Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut


(13)

DAFTAR SINGKATAN

AgNOR Silver stained Nucleolar Organizer Regions

ARF Alternative Reading Frame

CDK Cyclin-dependent kinases

DNA Deoxyribonucleic acid

EGFR Epidermal growth factor receptor

H&E Hematoxylin & Eosin

IARC International Agency for Research on Cancer

KSS Karsinoma sel skuamosa

NOR Nucleolar organizing region

NORs Nucleolar organizing regions

NPM Nucleophosmin

RNA Ribonucleic acid

rRNA Ribosomal ribonucleic acid

UV Sinar Ultraviolet


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Alur Pikir 2 Ethical Clearance

3 Contoh Formulir Pemeriksaan Patologi Anatomi 4 Gambar Prosedur Kerja

5 Data Hasil Penelitian


(15)

Fakultas Kedokteran Gigi

Bagian Biologi Oral

Tahun 2014

Michelle Ding

Reaksi Pewarnaan AgNOR pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut

xii + 46 halaman

Karsinoma sel skuamosa (KSS) merupakan salah satu jenis kanker yang

ditemukan di rongga mulut. Penyebab KSS adalah multifaktorial. KSS terjadi

akibat dari kerusakan genetik pada kromosom dan gen. Hal ini menyebabkan

perubahan molekular DNA pada nukleolus yang ada pada nukleus sel. Nukleolus

mempunyai bagian kromosom yang dinamakan nucleolar organizer region

(NOR) yang berperan dalam sintesis protein. NOR diamati sebagai titik-titik

hitam di bawah mikroskop cahaya dengan pewarnaan AgNOR. Pada sel normal,

hanya 1-2 titik hitam AgNOR yang diamati. Peningkatan titik-titik hitam AgNOR

mengindikasi perubahan sel normal menuju ke sel displastik/karsinoma dan juga

mencerminkan tingkat keburukan karsinoma. Tujuan penelitian ini adalah untuk

melihat distribusi frekuensi mean AgNOR (mAgNOR) pada nukleus preparat

KSS rongga mulut. Rancangan penelitian ini merupakan deskriptif analitik

dengan pendekatan cross sectional terhadap 30 sampel blok parafin yang

terdiagnosa sebagai KSS rongga mulut yang diperoleh dari Laboratorium

Patologi Anatomi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2013,


(16)

Olympus CX21 terhadap 100 nuklei. Hasil penelitian menunjukkan adanya

perbedaan yang signifikan mAgNOR antara KSS sub-tipe diferensiasi baik dan

diferensiasi sedang (p=0,000), dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan

mAgNOR antara sub-tipe keratinisasi KSS (p=0,124), kelompok umur (p=0,964),

jenis kelamin (p=0,053) dan lokasi lesi (p=0,195). Kesimpulan penelitian ini

menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan nilai mAgNOR pada KSS

diferensiasi sedang dibandingkan dengan KSS diferensiasi baik, dan tidak

adanya perbedaan yang signifikan nilai mAgNOR antara kelompok sub-tipe

keratinisasi KSS, umur, jenis kelamin dan lokasi lesi.

Kata Kunci: karsinoma sel skuamosa rongga mulut, pewarnaan AgNOR,

diferensiasi KSS


(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah suatu neoplasma invasif pada jaringan epitel rongga mulut dengan berbagai tingkat diferensiasi yang muncul pada tempat-tempat seperti jaringan mukosa mulut, alveolar, gingiva, dasar mulut, lidah, palatum, tonsil dan orofaring. KSS cenderung bermetastase dan meluas dengan cepat.1,2

Insidensi KSS dari seluruh jenis keganasan yang terdapat pada rongga mulut adalah sekitar 95% dan di Indonesia, frekuensi KSS rongga mulut mencapai 3-5% dari seluruh kanker organ tubuh lainnya.3,4

Penyebab KSS adalah multifaktorial, ada dua faktor predisposisi terjadinya KSS, yaitu: faktor intrinsik seperti genetik, dan faktor ekstrinsik seperti mengkonsumsi tembakau, alkohol, infeksi virus, malnutrisi dan sinar matahari. Risiko terjadi kanker akan meningkat apabila terdapat kombinasi faktor-faktor predisposisi tersebut, misalnya merokok dengan minum alkohol dan menyirih dengan tembakau.2,5

KSS dapat terjadi karena kehilangan kontrol pada siklus sel, yaitu control cell survival, dan control cell motility. Proses terbentuknya KSS merupakan proses bertahap, yang terjadi karena adanya gangguan fungsi pengatur pertumbuhan (protoonkogen dan gen penghambat tumor) sehingga terjadi peningkatan produksi growth factors dan jumlah reseptor permukaan sel, memacu transduksi sinyal interseluler, dan peningkatkan produksi faktor transkripsi. Sifat letal dari kanker adalah memiliki kemampuan untuk menginvasi pada jaringan sekitar, dan menyebar ke seluruh tubuh.6

KSS terjadi akibat dari kerusakan genetik pada kromosom dan gen sehingga mempengaruhi perubahan molekular DNA.7 Perubahan ini terutamanya terjadi pada nukleolus yang terletak dalam nukleus sel. Nukleolus merupakan tempat sintesis protein yang digunakan untuk bentukan ribosom dan juga sebagai tempat


(18)

menggandakan sintesis RNA. Nukleolus dikontrol oleh bagian kromosom yang mengandung gen tertentu yang dikenal sebagai nucleolar organizer.8

Nukleolus merupakan organel dalam inti sel yang berperanan penting dalam mengendalikan proliferasi sel dan sintesis protein. Nucleolar organizer regions (NORs) merupakan segmen DNA dekat nukleolus yang menyandi gen DNA ribosomal dan berperan dalam sintesis protein untuk proses proliferasi sel.9,10 Terdapat dua jenis protein utama dalam nukleolus yang berperan dalam proliferasi sel yaitu nucleophosmin (salah satu protein agyrofilik NORs) dan ARF tumor suppressor.11,12 Nucleophosmin diperlukan untuk pemprosesan rRNA dan fungsi utama ARF adalah

menginaktivasi nucleophosmin yang berlebihan.12,13 Protein NORs bersifat argyrofilik yang dapat diamati dengan teknik

pewarnaan perak nitrat. Interaksi akhir perak dengan NOR disebut dengan AgNOR. Teknik pewarnaan ini menghasilkan tampilan titik-titik hitam dalam nukleus atau inti sel. Tampilan titik-titik hitam ini mengindikasi terjadinya proliferasi sel yang menandakan aktivitas transkripsi gen rRNA.14,15,16 Pada sel yang normal akan kelihatan 1-2 titik hitam AgNOR di dalam nukleus sel dan bila sel normal ini menuju ke sel displastik atau sel karsinoma, jumlah titik hitam AgNOR juga meningkat karena terjadinya peningkatan transkripsi pada ribosom untuk mensintesis protein bagi pembelahan sel.15,16 Peningkatan jumlah titik hitam AgNOR menunjukkan keagresifan suatu karsinoma atau tumor. Karsinoma berdiferensiasi buruk mempunyai jumlah titik hitam AgNOR yang lebih tinggi dibanding dengan karsinoma berdiferensiasi sedang dan berdiferensiasi baik. Ini merefleksi terdapatnya metabolik dan aktivitas sel proliferatif tinggi tidak terkontrol, serta kandungan DNA yang abnormal pada sel karsinoma berdiferensiasi buruk.17,18,19 Selain itu, juga terjadinya penghambatan ARF dari memasuki ke nukleoplasma sehingga hilangnya pengawalan ARF terhadap nucleophosmin yang berlebihan.11


(19)

Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat tampilan titik-titik hitam AgNOR pada kasus KSS rongga mulut. Dengan mengkaji ekspresi titik hitam AgNOR pada KSS rongga mulut, dapat digunakan sebagai upaya memprediksi tingkat keagresifan proliferasi sel kanker.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka timbul permasalahan yang hendak diteliti bagaimanakah tampilan titik-titik hitam yang dihasilkan dari pewarnaan AgNOR pada KSS rongga mulut?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk melihat tampilan titik-titik hitam AgNOR di dalam nukleus sel pada KSS rongga mulut.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk melihat tingkat diferensiasi preparat KSS rongga mulut dengan hasil distribusi frekuensi rata-rata AgNOR (mAgNOR).

1.4 Hipotesis Penelitian

1. H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok umur, jenis

kelamin, lokasi lesi, sub-tipe keratinisasi, dan jenis diferensiasi pada KSS rongga mulut dengan nilai rata-rata titik hitam AgNOR.

2. Hα : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok umur, jenis kelamin, lokasi lesi, sub-tipe keratinisasi, dan jenis diferensiasi pada KSS rongga mulut dengan nilai rata-rata titik hitam AgNOR.


(20)

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengetahui tampilan titik-titik hitam dan tingkat proliferasi sel dengan pewarnaan AgNOR pada KSS rongga mulut.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Memberi informasi mengenai pewarnaan AgNOR sebagai suatu teknik untuk memprediksi prognosa kanker.

2. Memberi informasi mengenai aktivitas proliferasi sel pada sub-tipe KSS rongga mulut.

3. Data awal untuk penelitian lanjutan tentang KSS rongga mulut.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Mukosa rongga mulut normal dilapisi oleh lapisan epitel skuamosa dan memiliki perbedaan topografi yang berhubungan dengan karateristik fisik. Mukosa rongga mulut dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu mukosa pengunyahan, mukosa lining dan mukosa khusus. Mukosa pengunyahan terdiri dari sel epitel yang berkeratinisasi dan ditemukan pada bagian gingiva, dorsum lidah dan palatal keras. Mukosa lining terdapat pada bagian dasar mulut, palatal lunak dan sisi ventral/lateral lidah yang epitelnya adalah tidak berkeratin. Lidah mempunyai mukosa khusus dimana terdiri dari papila-papila yang berfungsi dalam pengecapan. Mukosa rongga mulut akan mengalami perubahan seperti hiperplasia atau hiperkeratosis apabila terpapar dengan bahan-bahan iritan tertentu, dan bila perubahan ini bersifat irreversibel, akan terjadinya karsinoma.1,20

2.1 KSS Rongga Mulut

KSS rongga mulut merupakan suatu keganasan yang berasal dari epitel, baik berasal dari mukosa pada dinding rongga mulut, organ dalam mulut atau kelenjar saliva.2 Sebanyak 95% dari seluruh kanker di rongga mulut adalah karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Tingkat prevalensi kanker mulut kebanyakannya ditemukan di negara seperti India karena penggunaan produk tembakau yang berlebihan. Bagian rongga mulut yang paling dampak terkena kanker mulut adalah lidah, bibir inferior dan dasar mulut. Kanker mulut dapat timbul secara denovo atau dari daerah yang sebelumnya memiliki lesi atau kondisi prekanker, yaitu lesi prakanker yang paling umum adalah leukoplakia dan kondisi prekanker adalah lichen planus erosif.21,22 KSS rongga mulut merupakan bagian dari kanker di daerah kepala dan leher yang menempati peringkat keenam kanker terbanyak di dunia dengan distribusi geografis yang luas dan secara signifikan menyebabkan morbiditas maupun mortalitas.23

Di Indonesia, kanker telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar. Frekuensi relatif kanker mulut di Indonesia diperkirakan 3-5%.3,4 Menurut hasil


(22)

penelitian, lebih dari 90% kanker mulut adalah karsinoma epidermoid atau karsinoma sel skuamosa. Diseluruh dunia diperkirakan 378.000 kasus baru kanker mulut yang didiagnosa pertahun. Dinegara tertentu, seperti Sri Lanka, India, Pakistan dan Bangladesh kanker mulut merupakan kanker yang paling sering. Di India kanker mulut dapat mencapai lebih dari 50% dari semua jenis kanker. Pria mempunyai tingkatan kanker mulut yang lebih tinggi daripada wanita di dunia yaitu pada laki-laki 4% dan wanita 2%. Di Singapura, insiden kanker rongga mulut tertinggi pada wanita sebesar 5.8 per 100.000 populasi, sedangkan pada laki-laki yang tertinggi berada di Perancis yaitu 17.9 per 100.000 populasi.24

2.1.1 Gambaran Histopatologi Sel Skuamosa Rongga Mulut

Menurut World Health Organization (WHO), kode klasifikasi histologi tumor pada kavitas rongga mulut dan oro-faring pada tahun 2005 dibagi seperti tabel bawah:

Tabel 1. Klasifikasi WHO tumor pada kavitas rongga mulut.25

Malignant epithelial tumours Kode

Squamous cell carcinoma Verrucous carcinoma

Basaloid squamous cell carcinoma Papilarry squamous cell carcinoma Spindle cell carcinoma

Acantholytic squamous cell carcinoma Adenosquamous carcinoma Carcinoma cuniculatum Lymphoepiteal carcinoma 8070/3 8051/3 8083/3 8052/3 8074/3 8075/3 8560/3 8051/3 8082/3


(23)

Menurut kode morfologi dari International Classification of Diseases for Oncology (ICD-O) (821) dan Systematized Nomenclature of Medicine dimana jenisnya diberi kode /0 untuk tumor jinak, /3 untuk tumor ganas dan /1 untuk kasus borderline atau ragu-ragu. KSS rongga mulut secara umum mempunyai gambaran histopatologi yang tidak berbeda dari KSS kulit maupun organ tubuh lainnya. KSS rongga mulut ada yang berdiferensiasi baik dimana menyerupai epitel skuamosa berlapis normal dan menghasilkan keratin dan ada juga KSS rongga mulut yang berdiferensiasi buruk.25

Berdasarkan derajat diferensiasi KSS rongga mulut, dapat dibagi kepada tiga, yaitu diferensiasi baik, sedang dan buruk. Gambaran KSS yang berdiferensiasi baik adalah mengandung sel berkeratin, gambaran keratin seperti tanduk mutiara (pearl horn formation) dengan ukuran yang bervariasi, pertumbuhan yang lambat, tidak cepat bermetastase dan mempunyai prognosa yang baik. Pada lesi tipikal, kelompok sel ganas ini dapat ditemukan secara aktif menginvasi jaringan konektif dengan bentuk yang tidak teratur (Gambar 1).21,25

Gambar 1. Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi baik dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) (x100). Anak panah: A. Mutiara keratin B. Nukleus sel.25


(24)

Gambaran KSS untuk yang diferensiasi sedang, berbeda dari satu dengan yang lainnya, dimana tersusun secara tipikal, sehingga epitel skuamosa juga kurang jelas. Laju pertumbuhan sel individu lebih cepat dengan pembelahan mitosis yang lebih meningkat dan bahkan ukuran bentuknya yang lebih bervariasi (Gambar 2).21,25

Gambar 2. Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi sedang dengan pewarnaan HE (x400). A. Nukleus sel

(anak panah merah).25

Untuk gambaran KSS yang berdiferensiasi buruk, sering sekali menghasilkan petunjuk sel-sel yang tidak jelas sehingga menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sel-sel ini menunjukkan kurangnya daya kohesif yang sangat tidak teratur, pembentukan sel tumor raksasa, adanya anaplasia, peningkatan mitosis, serta tidak adanya pembentukan keratin (Gambar 3).21,25


(25)

Gambar 3. Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi buruk dengan pewarnaan HE (x400). A. Nukleus sel (anak panah merah).25

KSS rongga mulut memiliki kecenderungan besar untuk menghasilkan metastasis pada kelenjar getah bening. Pada praktek klinis, rencana pengobatan dan prognosis KSS rongga mulut terutama didasarkan pada tumor primer, metastasis kelenjar getah bening regional dan sistem pementasan metastasis (TNM). Namun, sistem ini tidak menyediakan informasi tentang karakteristik biologi dan tingkat keagresifan klinis tumor yang jelas, dan ini telah menimbulkan suatu sistem penilaian keganasan KSS rongga mulut yang multifaktorial dikembangkan. Sistem penilaian pertama KSS rongga mulut telah dikembangkan oleh Broder pada tahun 1927 dan yang baru-baru ini merupakan sistem penilaian Bryne (1989). Berdasarkan sistem penilaian Bryne (Tabel 2), terdapat empat parameter yang diperlihatkan untuk menilai derajat diferensiasi KSS rongga mulut, yaitu derajat keratinisasi, pleomorphism inti, infiltrasi limfosit dan bentuk invasi tumor. Derajat diferensiasi KSS rongga mulut akan dinilai dengan memperhitungkan skor dari empat parameter tersebut, yaitu skor 4-8 (diferensiasi baik), skor 9-12 (diferensiasi sedang), dan skor 13-16 (diferensiasi buruk).21


(26)

Tabel 2. Sistem penilaian derajat diferensiasi KSS rongga mulut dengan parameter Bryne.21

Parameter morfologi

Skor

1 2 3 4

Derajat keratinisasi >50% berkeratinisasi 20-50% berkeratinisasi 5-20% berkeratinisasi 0-5% berkeratinisasi Pleomorphisme

inti Sedikit Sedang Banyak

Sangat banyak

Bentuk invasi Mendorong,

berbatas tegas Berinfiltrasi, bentuk benang padat Kumpulan sel-sel kecil yang berinfiltrasi Kumpulan sel-sel kecil tersebar luas dan berinfiltrasi Infiltrasi limphoplas-masistik

Berat Sedang Ringan Tidak ada

2.1.2 Etiologi

Penyebab karsinoma sel skuamosa yang pasti belum diketahui. Penyebabnya diduga berhubungan dengan bahan karsinogen dan faktor predisposisi. Kanker rongga mulut memiliki penyebab yang multifaktorial dan suatu proses yang terdiri dari beberapa langkah yang melibatkan inisiasi, promosi dan perkembangan tumor. Faktor-faktor etiologi tersebut tidak bekerja secara terpisah, kombinasi dari berbagai faktor sering ditemukan bersama-sama. Secara garis besar, etiologi kanker rongga mulut dapat dikelompokkan atas faktor lokal, faktor luar, dan faktor pejamu (host).2,5 Faktor lokal seperti iritasi kronis umumnya dapat menyebabkan kanker seperti trauma mekanis dari gigitiruan yang tidak pas, restorasi yang tidak tepat, oral hygiene yang buruk dan tepi-tepi gigi yang tajam. Faktor luar meliputi kebiasaan merokok dan minum alkohol. Asap rokok mengandung bahan karsinogen (nitrosamine) dan alkohol menyebabkan rasa panas yang mempengaruhi selaput lendir mulut.


(27)

Terjadinya rangsangan menahun menyebabkan kerusakan jaringan berulang-ulang sehingga mengganggu keseimbangan sel dan terjadinya displasia. Selain itu, sinar ultraviolet (UV) seringkali dianggap sebagai faktor penting yang dapat menyebabkan mutasi gen jika terpapar untuk jangka waktu yang panjang. Infeksi virus dan jamur yang tidak sembuh-sembuh meskipun telah diobati juga dapat menyebabkan kanker apabila infeksi tersebut berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang sehingga memicu terjadinya karsinoma. Faktor host seperti nutrisi yang dikonsumsi dapat mempengaruhi terjadinya kanker seperti kekurangan zat anti-oksidan seperti Vitamin A, C dan E. Selain itu, unsur lain seperti usia, jenis kelamin, imunologi dan genetik seseorang dapat juga meningkatkan risiko terjadinya kanker.2,5

2.1.3 Patogenesis dan Siklus Sel

KSS muncul sebagai akibat dari berbagai kejadian molekular yang menyebabkan kerusakan genetik yang mempengaruhi kromosom dan gen, yang akhirnya menuju kepada perubahan DNA. Akumulasi perubahan tersebut memicu terjadinya disregulasi sel pada batas dimana terjadinya pertumbuhan otonom dan perkembangan yang invasif. Proses neoplastik mula-mula bermanifestasi secara intraepitel dekat membran dasar sebagai suatu hal yang fokal, kemudian terjadi pertumbuhan klonal keratinosit sel yang berubah secara berlebihan, menggantikan epitelium normal. Setelah beberapa waktu atau beberapa tahun, terjadi invasi membran dasar jaringan epitel menandakan awal kanker invasif.5,26

Karsinogenesis merupakan proses genetik yang memicu perubahan morfologi dan tingkah laku seluler. Analisis perubahan di tingkat molekuler dapat menjadi alat diagnosis utama dan pemandu untuk melakukan perawatan, karena perubahan morfologis terjadi setelah adanya perubahan genetik. Kanker dan lesi prekanker rongga mulut berkembang sebagai akibat dari siklus sel yang tidak terkontrol dikarenakan multiple mutations. Proto-onkogen, Tumor supresor gen (TSG), dan molekul gatekeeper (cyclins dan CDK) merupakan kelompok gen DNA perbaikan yang dapat bermutasi di karsinoma sel skuamosa.25


(28)

Siklus sel normal dikendalikan oleh suatu kelompok protein yang secara umum disebut cyclin. Siklus berlangsung melalui fase mitosis (M), gap-1 (G1), sintesis DNA (fase S), gap-2 (G2), mitosis (M) dan seterusnya. Sel anak hasil mitosis secara teratur masuk ke siklus dalam fase G1, sebagian sel anak masuk ke fase istirahat (G0). Sel pada fase G0 dapat aktif kembali masuk ke fase G1 siklus sel. Masuknya kelompok sel ke fase istirahat, kemudian aktif kembali menyebabkan proses regenerasi tubuh berlangsung cepat.27

Masing-masing fase memiliki fungsi untuk mengaktivasi dan melengkapi fase sebelumnya, dan siklus sel akan berhenti jika fungsinya sudah terganggu. Diantara G1/S terdapat checkpoint untuk memonitor DNA sebelum replikasi dan G2/M untuk memonitor DNA setelah replikasi. Checkpoint dilakukan oleh Tumor supresor gen (TSG) salah satunya gen p53 atau dikenal sebagai master guardian of the genome dan merupakan unsur utama dalam memelihara keseimbangan genetik. Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang salah atau kerusakan DNA kemudian menginduksi gen reparasi DNA serta menginduksi apoptosis.27

Gambar 4. Skema ilustrasi p53 checkpoint 27


(29)

Pada gambar di atas (Gambar 4) menunjukkan internal control (checkpoint). Terdapat dua checkpoint inti, satu terdapat pada masa transisi antara G1/S checkpoint dan G2/M checkpoint yang berfungsi untuk memeriksa kerusakan DNA, jika ditemukan adanya kerusakan, maka sirkulasi sel akan melambat, waktu ini akan digunakan untuk memperbaiki DNA yang rusak, jika tidak dapat diperbaiki maka jalan untuk terjadinya apoptosis akan aktif dan DNA yang rusak akan dihancurkan. Gen p53 seharusnya merangsang p21 menekan semua cyclin dependent kinase agar cyclin tidak bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel akan memberikan waktu terjadinya perbaikan DNA sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang mengandung defek DNA.27

2.2 Onkogen

Onkogen merupakan gen pengatur pertumbuhan yang mengalami perubahan dalam pengaturan jalur transduksi sinyal-sinyal sel. Mutasi gen ini mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi atau fungsi protein dalam sel. Onkogen berperan penting dalam proses karsinogenesis, tetapi tidak cukup untuk mengubah sel-sel epitel.7

Beberapa onkogen mempunyai implikasi dalam karsinogenesis rongga mulut. Penyimpangan reseptor faktor pertumbuhan epidermal proto-onkogen (EGFR / c-erb 1), gen anggota keluarga ras, c-myc, int-2, hst-1, PRAD -1, dan bcl-1 diyakini berkontribusi terhadap perkembangan kanker.7

Deregulasi faktor pertumbuhan terjadi selama karsinogenesis rongga mulut, melalui peningkatan produksi dan stimulasi autokrin. Penyimpangan ekspresi dari Transforming growth factor α (TGF-α) dilaporkan terjadi pada awal karsinogenesis rongga mulut. Penyimpangan ini terjadi pertama kali pada epitel hiperplastik dan kemudian pada infiltrasi sel-sel radang karsinoma. TGF-α merangsang proliferasi sel dengan mengikat EGFR secara autokrin dan parakrin.7,26


(30)

2.2.1 Gen Penekan Tumor

Onkogen saja tidak cukup sebagai inisiator proses karsinogenesis. Transformasi sel premalignan menjadi sel ganas terjadi akibat inaktivasi gen penekan tumor, dan dianggap sebagai penyebab utama dalam perkembangan keganasan. Gen penekan tumor paling sering diinaktivasi melalui mutasi titik, penghapusan, dan penyusunan ulang salinan gen.7,26

Salah satu gen penekan kanker adalah gen p53 yang merupakan pelindung siklus sel. Gen p53 berperan dalam pengaturan siklus sel dengan mengontrol sejumlah gen termasuk gen apoptosis jika kerusakannya berat. Rekonstitusi jalur apoptosis oleh p53 dapat terjadi dengan mentransfer gen p53 wild type rekombinan pada sel kanker yang mengekspresi p53 null atau mutan. Bila sel terluka, p53 dalam inti memicu sel untuk melakukan “arrest” pada perbatasan G1/S dengan menginduksi penghambat CDK (cyclin D kinase) dan sistem perbaikan DNA terlebih dahulu menghilangkan luka tersebut sebelum sel memasuki fase S tanpa adanya DNA yang rusak. Program “arrest” dan apoptosis ini tergantung pada lingkungan fisiologik ataupun jenis sel. Oleh karena itu kehilangan fungsi gen p53 ini merupakan penyebab munculnya malignansi. Inaktivasi gen p53 ini biasanya terjadi dalam dua tahap yakni inaktivasi pada satu alel oleh mutasi titik atau delesi kecil dan berikutnya adalah kehilangan alel normal oleh delesi segmen kromosom. Inaktivasi alel pertama dapat terjadi pada sel somatik maupun sel germ. Gen ini juga disebut “guardian of the cell”. Sel yang tidak memiliki p53 menunjukkan ketidakstabilan genom dan memperbesar karsinogenesis.7

2.3 Nukleus

Nukleus (Gambar 5) sering dikenal sebagai inti sel. Nukleus pertama kali dikenalkan oleh Brown pada tahun 1831 yang mengamati sel-sel tumbuhan. Struktur nukleus sel tumbuhan (eukariot) mempunyai inti sel yang jelas ketika diamati, karena bahan-bahan inti yang ada di dalam nukleus dibatasi oleh membran nukleus (karyotheca), yaitu struktur membran fosfolipid bilayer mirip dengan struktur membran plasma.28


(31)

Nukleus memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sebuah sel. Peranan nukleus dalam hal ini adalah untuk mengatur dan mengontrol segala aktifitas kehidupan sel serta membawa informasi genetik yang diturunkan ke generasi berikutnya. Informasi genetik ini disimpan dalam suatu molekul polinukleutida yang disebut DNA (Deoxyribonucleic acid). DNA pada umumnya tersebar di dalam nukleus sebagai matriks seperti benang yang disebut kromatin. Ketika sel akan memulai membelah, kromatin akan berkondensasi membentuk struktur yang lebih padat dan memendek yang selanjutnya disebut kromosom. Kromosom tersusun atas molekul DNA dan protein histon. Struktur di dalam nukleus yang merupakan tempat berkonsentrasinya molekul DNA adalah nukleolus (anak inti.). Nukleolus berperan sebagai tempat terjadinya sintesis molekul RNA (Ribonucleic acid) dan ribosom. RNA merupakan hasil salinan DNA yang akan ditransfer ke sitoplasma untuk diterjemahkan menjadi rantai asam amino yang disebut protein.28


(32)

2.3.1 Nukleolus

Struktur nukleolus (anak inti) pada pengamatan mikroskop elektron terlihat sebagai sebuah atau lebih bangunan basofilyang berukuran lebih besar dari ukuran butir-butir kromatin.28

Nukleolus merupakan tempat berlangsungnya transkripsi gen, dimana molekul rRNA diproses. rRNA adalah salah satu jenis RNA yang merupakan materi penyusun ribosom. Molekul rRNA yang baru terbentuk, akan segera dikemas bersama protein ribosom untuk dikeluarkan dari inti sel. Transkripsimolekul rRNA di dalam nukleolus menjamin pembentukan molekul ribosom pada sitoplasm. Di dalam nukleolus, terdapat sejumlah potongan-potongan DNA (rDNA) yang ditranskripsi menjadi rRNA secara berulang-ulang, dan berlangsung cepat dengan bantuan enzim RNA polymerase I. Potongan-potongan DNA tersebut dinamakan nucleolar organizer. Kandungan RNA dalam nukleolus jika dibanding dengan bagian lain dari inti sel adalah tidak tetap, yaitu diperkirakan 5%-20%.28,29

2.3.2 Nucleolar Organizing Region (NOR)

Nucleolus organizer region (NOR) atau nucleolar organizer merupakan bagian kromosom dimana sekitarnya terjadi pembentukan nukleolus.14 Nukleolus organizer regions (NORs) adalah segmen kromosom dienkripsi untuk RNA ribosom (rRNA) yang hadir pada loop spesifik DNA. NOR telah menerima banyak perhatian baru-baru ini karena dari pengamatan didapati bahwa frekuensi NOR dalam inti secara signifikan lebih tinggi dalam sel-sel ganas berbanding sel normal, sel reaktif atau sel neoplastik jinak sehingga merupakan nilai diagnostik dalam karakterisasi invasi pada karsinoma. NOR juga berperan dalam estimasi aktivitas selular yang diterapkan pada berbagai lesi neoplastik atau hiperplastik.30 Daerah ini merupakan bagian tertentu dari kromosom yang berhubungan dengan nukleolus setelah nukleus membagi dan berisi beberapa salinan tandem gen DNA ribosom. Pada manusia, NOR mengandung gen 5.8S, 18S, 28S rRNA yang berkerumun di lengan pendek kromosom 13, 14, 15, 21 dan 22 (kromosom akrosentrik).14,30 NOR adalah gen yang mengkode prekursor dari tiga ribosomal RNA terbesar (18S, 5.8S dan 25S pada tanaman). NOR termasuk gen


(33)

aktif rRNA, yang menimbulkan konstriksi sekunder kromosom metafase. Pada metafase, sisa protein dari nukleolus sering terkait dengan konstriksi sekunder. Setiap gen rRNA pada NOR hampir identik secara berurutan, meskipun bervariasi dalam ukuran karena perbedaan jumlah elemen DNA ulangan dalam bagian ruangan intergenik umum.32

Dalam komplemen kromosom lengkap selalu ada enam kromosom dengan terminal nucleolus organizing region (NOR). Dalam kebanyakan kasus, bagian dari NOR adalah decondensed, dan dari beberapa bagian decondensed ini dibentuk bersama-sama menjadi nukleolus besar. Nukleolus besar ini mudah terlihat dalam fase kontras bahkan tanpa pra-perawatan karena struktur khusus dan ukuran besarnya. Bentuk nukleolus berkisar dari membulat ke irregular. Selain pembentukan nukleolus dari enam NOR ini, ada juga beberapa nukleolus yang lebih kecil terdiri dari NOR hanya dua sampai lima nucleolus organizing kromosom.30,33 Nucleolus organizer region (NOR) dapat diidentifikasi melalui teknik argyrofilik (AgNOR) melalui proses rutin fiksasi formalin parafin.14

NORs juga mengandung zat asam, dan protein non-histon yang mengikat ion perak dan dapat dilihat secara selektif dengan metode perak pada sampel sito-histologi. NORs yang dihubungkan dengan protein argyrofilik apabila diwarnakan dengan perak disebut sebagai “AgNOR”. Sifat biokimia yang tepat dari protein ini belum didefinisikan, tetapi telah diketahui sebagai B 23, C 23 dan RNA polymerase dan dikaitkan dengan asam, unsur non-histon.30 Pada mikroskop cahaya, protein AgNOR dapat terlihat sebagai titik-titik hitam yang terletak di dalam nukleolus.14,30 NORs banyak menarik perhatian karena frekuensi muncul pada sel ganas lebih tinggi daripada sel normal, reaktif atau sel neoplastik jinak.31

2.3.3 Nucleophosmin dan Alternative Reading Frame (ARF)

Nucleophosmin (NPM) atau B23 merupakan sebuah fosfoprotein nukleolar dalam pengolahan rRNA dan juga merupakan salah satu protein argyrofilik dari AgNORs. NPM terlibat dalam mengendalikan pertumbuhan sel, diferensiasi sel dan merupakan program kematian sel. NPM yang berlebihan ekspresi dapat berkontribusi


(34)

dalam timbulnya kanker. NPM berperan dalam biogenesis ribosom, dimana fosforilasi dan modifikasi NPM oleh cyclin E - CDK2 holoenzyme diperlukan untuk duplikasi sentrosom dan replikasi DNA. NPM merupakan onkogen kuat dan menyebabkan translokasi kromosom pada leukemia myeloid akut.12,13

ARF merupakan protein yang berperan sebagai gen penekan tumor dalam nukleolar. Laporan terbaru dari Sherr, Roussel dan Yanping Zhang menunjukkan bahwa NPM dan ARF berinteraksi secara langsung dalam nukleolus. Laporan data juga menunjukkan NPM nucleocytoplasmic merupakan kunci utama dalam mempromosi proliferasi sel. Pengolahan rRNA dipengaruhi oleh pembentukan kompleks ARF - NPM dalam nukleolus. ARF berinteraksi dengan protein argyrofilik nucleolar untuk mencegah produksi ribosom dan tumorigenesis, serta menggarisbawahi potensi onkogenik pada nukleolus.12

Protein shuttling di antara nukleus dan sitoplasma merupakan kunci mekanisme dalam memastikan perkembangan siklus sel yang tepat. Dalam penelitian sebelumnya, NPM telah diidentifikasi sebagai target p53-independen novel oleh protein penekan tumor ARF. Dalam menanggapi sinyal hiperproliferatif karena NPM, nukleolar ARF mengikat NPM secara efektif dalam menghambat shuttling nucleocytoplasmic NPM.13 Tanpa sebuah checkpoint ARF utuh, protein nukleolus seperti NPM dapat berubah dan menyebabkan tumorigenesis melalui berbagai fungsi nukleolarnya.12

2.3.4 Perwarnaan AgNOR

Pemeriksaan kanker pada saat ini banyak dilakukan dengan mengamati proliferasi dan apoptosis sel. Proliferasi sel dapat dipelajari secara baik dengan metode “flow-sitometri” atau pelabelan radioisotop dengan Ki-67, PCNA (Proliferating Cell Nuclear Antigen) dan teknik pewarnaan seperti AgNORs. Metode AgNOR ini dapat digunakan dalam mengevaluasi morfologi dan kinetika sel, dan merupakan parameter yang digunakan dalam menilai respon radiasi melalui hasil histopatologi.31


(35)

Pewarnaan AgNOR (prosedurnya dirujuk pada muka surat 32) ini dengan mudah dapat dilakukan pada jaringan yang difiksasi dengan formalin, dan digunakan untuk mengevaluasi morfologi dan kinetika sel dalam biopsi dengan ukuran yang kecil.16 Marker kanker AgNORs dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan proliferasi melalui bercak AgNORs pada daerah inti atau “Nucleolar Organizer Regions” (NORs) lengkung DNA ribosom yang ditranskripsikan menjadi RNA ribosomal dengan bantuan RNA polymerase.31

Pengamatan sejumlah parameter AgNOR (jumlah, ukuran dan distibusi) dapat digunakan dalam patologi sel kanker untuk kepentingan diagnostik maupun prognostik.Jumlah, ukuran dan distribusi AgNOR dalam nukleus dapat digunakan untuk memdeteksi dan memprediksi prognosis sejumlah neoplasia, seperti kandung kemih, karsinoma faring, dan lesi pada kulit.16,31AgNOR diamati dengan mikroskop cahaya sebagai titik-titik hitam. Pengamatan AgNOR secara kuantifikasi dan kualitatif lebih tepat dengan menggunakan metode morfometrik, dimana AgNORnya diperbesarkan dengan skala geometrik tertentu sehingga gambarannya kelihatan lebih jelas.19

Penelitian menunjukkan AgNOR dapat digunakan untuk menunjukkan adanya aktifitas biologis pada karsinoma sel skuamosa. AgNOR juga digunakan pada oral submukus fibrosis untuk memperkirakan perilaku biologis oral submukus fibrosis, yang dapat dihubungkan dengan gradasi histologi klinis. Ketertarikan para ahli pada protein AgNOR meningkat sekitar tahun 1980-an diikuti dengan observasi bahwa sel ganas memiliki jumlah AgNOR yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel yang jinak atau sel normal.34 Pada penelitian Salehinejad, dkk. (2007), sel ganas menunjukkan jumlah AgNOR yang lebih banyak dan bentuk tidak beraturan, sedangkan sel jinak memiliki AgNOR yang lebih sedikit dengan bentuk yang teratur.35 Pada sel normal, hanya satu atau dua titik AgNOR yang dilihat sebagai titik-titik yang padat. Bagi sel-sel normal (Gambar 6) yang semakin bergerak menuju ke sel-sel displastik dan sel-sel-sel-sel ganas, jumlah DNA semakin meningkat berserta dengan peningkatan jumlah titik AgNOR. Sel-sel ganas mempunyai derajat diferensiasi yang berlainan yang dimana mempunyai nilai AgNOR yang berbeda. AgNOR yang ditemukan pada sel ganas


(36)

diferensiasi baik (Gambar 7) mempunyai nilai AgNOR yang rendah dibanding dengan sel ganas yang diferensiasinya sedang (Gambar 8), buruk (Gambar 9) atau undifferentiated (Gambar 10). Ini karena derajat diferensiasi secara umum berhubungan dengan tingkat keganasan dan proliferasi sel, sehingga tumor yang derajat diferensiasinya buruk akan mempunyai tingkat proliferasi yang lebih tinggi yang tercermin dari nilai AgNOR yang lebih tinggi.36,37,38 Saat ini, berbagai studi dilakukan untuk mengetahui kemungkinan menemukan penanda keganasan dari titik-titik AgNOR. Hal ini dilakukan karena teknik ini mudah dilakukan, murah, cepat dan menghasilkan informasi yang akurat tentang perkembangan keganasan.35

Gambar 6. Gambaran mikroskopis mukosa normal rongga mulut

dengan pewarnaan AgNOR (100X). Anak panah biru menunjukkan titik hitam AgNOR.38


(37)

Gambar 7. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamous (KSS) rongga mulut berdiferensiasi baik dengan NORs yang sedikit terdapat pada inti (1000X). Anak panah biru menunjukkan titik hitam AgNOR.38

Gambar 8. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamousa (KSS) rongga mulut berdiferensiasi sedang dengan sebagian ukuran NORs pada inti yang beragam (1000X). Anak panah biru menunjukkan titik hitam AgNOR.38


(38)

Gambar 9. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamous (KSS) rongga mulut berdiferensiasi buruk dengan jumlah NORs yang banyak dan beragam pada inti (1000X). Anak panah biru menunjukkan titik hitam AgNOR.38

Gambar 10. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamous (KSS) rongga mulut tidak berdiferensiasi (undifferentiated) dengan jumlah NORs yang banyak dan berkelompok pada inti (1000X). Anak panah biru menunjukkan titik


(39)

Perbaikan

DNA

berhasil (reversible)

2.4 Kerangka Teori

Sel epitel rongga mulut

Nukleus

Nukleolus

Nucleolus Organizer Region(NOR)

p53 terhambat sehingga perbaikan

DNA terhambat

NORassociated protein (NORAPs) yang bersifat

asam berhubungan dengan transkripsi RNA

Mutasi gen

ARF normal dan Nucleophosmin

dalam keadaan terkontrol

ARF terhambat masuk ke nukleoplasma

Displasia

Karsinoma rongga mulut

Sel Normal

Perbaikan DNA yang terhambat semakin banyak

Proliferasi Apoptosis (-)

Bahan iritan / karsinogenik Faktor lokal Faktor luar

Pewarnaan AgNOR dan pengamatan titik-titik hitam dibawah mikroskop cahaya

Ekspresi Nucleophosmin berlebihan dan mencegah

agregasi NOR yang terjadi secara menetap


(40)

Perbaikan

DNA

berhasil (reversible) 2.5 Kerangka Konsep

Sel epitel rongga mulut

Nukleus

Nukleolus

Nucleolus Organizer Region(NOR)

p53 terhambat sehingga perbaikan

DNA terhambat

NORassociated protein (NORAPs) yang

bersifat asam berhubungan dengan

transkripsi RNA

Mutasi gen

ARF normal dan Nucleophosmin

dalam keadaan terkontrol

Displasia

Karsinoma rongga mulut

Pewarnaan AgNOR dan pengamatan titik-titik hitam dibawah mikroskop cahaya

Sel Normal

Proliferasi Apoptosis (-)

Bahan iritan / karsinogenik Faktor lokal Faktor luar

Data distribusi frekuensi AgNOR untuk masing-masing tipe diferensiasi KSS.


(41)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan rancangan deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional yang dimana setiap sampel diperiksa satu kali dan pada suatu saat tertentu.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan April 2014 sampai Juni 2014 yang mencakup pengumpulan data, pengumpulan sampel, penelitian, pengolahan data dan hasil penelitian.

3.3 Populasi, Sampel, dan Besar Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini mencakup sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan biopsi rongga mulut yang telah didiagnosa secara histopatologi dengan pewarnaan H&E KSS rongga mulut pada laboratorium Patologi Anatomi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari biopsi jaringan rongga mulut yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang sesuai dengan perhitungan besar sampel penelitian.


(42)

3.3.3 Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Penaksiran Proporsi Populasi dengan ketelitian absolut (Absolute Precision) dengan teknik sampling, consecutive sampling yaitu non-random sampel yang seperti convenience sampling kecuali consecutive sampling sampel yang tersedia mempunyai kriteria yang telah ditentukan sampai mencapai besar sampel yang telah ditentukan.38

Jumlah sampel yang diperlukan berdasarkan hasil perhitungan dengan melihat proporsi yang digunakan pada kasus ini adalah sebesar 50% dengan tingkat kemaknaan 0,05 dan interval kepercayaan 90% dari tabel yang didapatkan Zα = 1,64.

Keterangan:

n = jumlah proporsi

Zα = tingkat kepercayaan (90%  Z skor = 1,64)

P = proporsi (seluruh lesi), bila tidak ada dianggap 50% atau 0,5 d = ketepatan (15%)

Hasil perhitungan:

n = 1,642 x 0,5 x 0,5 (0,15)2 n = 29,8

Jumlah minimal sampel yang diperlukan adalah 30 sampel KSS rongga mulut.

n = Zα2 .p (1-p) d2


(43)

3.4 Kriteria Inkusi dan Ekslusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

- Blok paraffin yang telah didiagnosa sebagai KSS rongga mulut. - Pengambilan spesimen blok paraffin dari tahun 2009-2013.

- Data rekam medis dari tahun 2009-2013 yang terdiri dari: diagnosa histopatologi, umur pasien, jenis kelamin dan lokasi lesi.

3.4.2 Kriteria Ekslusi

- Blok paraffin KSS rongga mulut yang telah rusak.

3.5Kerangka Operasional

Blok paraffin dari biopsi lesi rongga mulut di Lab Patologi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan yang didiagnosa secara histopatologi dengan pewarnaan H&E

sebagai KSS rongga mulut

Pemotongan blok parafin

Perhitungan titik-titik hitam dalam nukleus secara acak pada 100 nuklei di

bawah mikroskop cahaya Olympus CX21 (100x)

Hasil Pengamatan mAgNOR

Pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) Pewarnaan AgNOR

-KSS diferensiasi baik -KSS diferensiasi menengah -KSS diferensiasi buruk


(44)

3.6Variabel Penelitian 3.6.1Variabel Bebas

Karsinoma sel skuamosa rongga mulut.

3.6.2Variabel Terikat

Hasil distribusi frekuensi mean titik-titik hitam (NOR) dalam nuklei.

3.6.3Variabel Terkendali

1. Blok paraffin KSS rongga mulut tahun 2009-2013.

2. Processing laboratorium pewarnaan H&E dan histokimia. 3. Data rekam medis pasien dari tahun 2009-2013.

4. Keterampilan operator.

Variabel bebas

Karsinoma sel skuamosa (KSS) rongga mulut

Variabel terikat

Hasil mean titik-titik hitam (NOR) dalam nukleus pada

tipe differensiasi KSS rongga mulut

Variabel terkendali

- Blok paraffin karsinoma skuamosa sel rongga mulut tahun 2009-2013.

- Processing laboratorium untuk pewarnaan AgNOR.

- Data rekam medis pasien dari tahun 2009-2013. - Keterampilan operator.


(45)

3.7 Definisi Operasional

Blok paraffin merupakan hasil dari proses embedding jaringan-jaringan biopsi atau lesi keganasan rongga mulut dari operasi dari tahun 2009-2013 yang dikirim ke bagian patologi.

KSS rongga mulut adalah keganasan yang berasal dari sel skuamosa rongga mulut dimana terdapatnya kelainan seluler yang berupa diskontinuitas membran basalis oleh kelompokan sel-sel tumor yang meluas sampai ke jaringan ikat dengan ukuran sel beragam, mitosis meningkat, perubahan ukuran dan bentuk inti sel.

Pewarnaan HE merupakan suatu pewarnaan histokimia yang digunakan untuk mewarnai jaringan histologi agar berbagai unsur jaringan jelas terlihat dan dapat dibedakan. Hasil pewarnaan HE dapat membantu dalam menilai derajat keganasan suatu karsinoma dengan menilai karakteristik jaringan tersebut.

Derajat diferensiasi KSS dapat dibagi kepada tiga jenis yaitu KSS berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk. Derajat diferensiasi KSS dinilai dengan sistem Bryne menurut karakteristik morfologi masing-masing kategori. Penilaian hasil derajat diferensiasi KSS adalah melalui skor, yaitu, skor 4-8 (diferensiasi baik), skor 9-12 (diferensiasi sedang), dan skor 13-16 (diferensiasi buruk). KSS diferensiasi baik selalunya mempunyai keratinisasi yang lebih dari >50%, mengandung sel yang mirip sel matur normal asal jaringan (pleomorphisme sel ringan) dan sel limfosistik yang banyak. KSS diferensiasi sedang mempunyai keratinisasi yang lebih kurang dari KSS berdiferensiasi baik atau tidak berkeratin, pleomorphisme sel yang sedang dan sel limfosistik yang sedang. KSS diferensiasi buruk mayoritasnya tidak berkeratin, pleomorphisme sel berat, sel mirip primitif dan tidak spesifik serta sel limfosistik ringan.

Pewarnaan AgNORmerupakan suatu pewarnaan histokimia dimana larutan perak nitrat berikatan pada bagian nucleolar organizing region (NOR) yang bersifat argyrofilik dan pewarnaan ini merupakan suatu marker atau petanda proliferasi sel. Penilaian hasil pewarnaan AgNOR adalah tampilan titik-titik kecoklatan atau hitam pada inti sel epitel yang dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya Olympus CX21.


(46)

3.8Alat dan Bahan 3.8.1 Alat-alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mikroskop cahaya Olympus CX21

2. Mikrotom

3. Floating water-bath 4. Hotplate

5. Freezer 6. Incubator 7. Gelas beaker 8. Microwave 9. Gelas objek 10.Cover slip 11.Stop-watch

12.Tissue embedding centre compressor

3.8.2Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Parafin blok KSS rongga mulut

2. 2% bubuk gelatin 3. 1% asam formiat

4. 50% perak nitrat MERCK 5. Haematoxylin

6. Eosin 1%

7. Alkohol 70%, 95%, absolut 8. Acid alkohol

9. Xylene

10.Kanada balsam 11.Air deionisasi 12.Immersion oil


(47)

3.9Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Tahap-tahap pengambilan dan pengumpulan data pada penelitian ini adalah seperti berikut:

3.9.1Pembuatan Sediaan Mikroskopis dari Blok Parafin

Blok paraffin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam freezer sampai cukup dingin, dan kemudian dipotong tipis dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4µm atau 5µm.39 Setiap blok paraffin dipotong sebanyak dua kali untuk masing-masing pewarnaan H&E dan AgNOR. Tempel blok parafin yang telah dipotong pada gelas objek.

3.9.2Prosedur Pewarnaan Hematoxylin-eosin

Berikut ini adalah penjelasan tentang prosedur pewarnaan H&E39:

1. Setelah difiksasi, preparat dicelupkan dalam hematoxylin selama 5 menit lalu dibilas dengan air mengalir selama 3 menit.

2. Preparat dicelupkan ke dalam acid alkohol 1% sebanyak 2 kali lalu dibilas kembali dengan air mengalir selama 3 menit.

3. Lakukan pewarnaan dengan eosin untuk mewarnai nukleus selama 2-3 menit lalu bilas kembali dengan air mengalir selama 3 menit.

4. Kemudian preparat dicelupkan ke dalam alkohol 70%, selama 30 menit, alkohol 95% selama 3 menit dan alkohol absolut selama 3 menit.

5. Preparat dicelupkan ke dalam xylene selama 3 menit sebanyak 3 kali pengulangan.

6. Preparat di mounting dengan kanada balsam dan ditutup dengan cover slip.


(48)

3.9.3 Prosedur Pewarnaan AgNOR

Berikut ini adalah penjelasan tentang prosedur pewarnaan AgNOR40:

1. Lakukan deparafinasi preparat dengan xylene sebanyak 3 kali masing-masing 3 menit.

2. Rehidrasi preparat dengan menggunakan absolut alkohol, alkohol 95% dan alkohol 70% masing-masing selama dua menit, dua menit, satu menit dan terakhir dengan air aquades selama satu menit.

3. Diperlukan dua larutan, yang pertama larutan A merupakan 2% gelatin yang ditambahkan dengan 1% asam format.

4. Larutan B merupakan perak nitrat 50%. Larutan pewarnaan diperoleh dengan mencampur satu bagian dari larutan A dengan dua bagian larutan B dalam gelas silinder.

5. Larutan pewarnaan dituangkan pada objek gelas. Pewarnaan memerlukan waktu 30 menit pada suhu ruangan. Selama pewarnaan, sebaiknya menghindari cahaya matahari langsung.

6. Setelah itu, larutan pewarnaan dibilas dengan air deionisasi sebanyak 3 kali dan dilakukan dehidrasi berurutan dengan menggunakan alkohol bergradasi dan lakukan mounting.

7. Objek gelas diamati dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran x100 bersama immersion oil dan titik-titik hitam diperhitungkan dalam nukleus.

8. Setiap hasil pengamatan dicatatkan dan didokumentasikan.

3.10 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan tabel cross-sectional. Pelaporan data penelitian adalah dengan memaparkan hasil pengamatan titik-titik hitam AgNOR dalam bentuk mean, standar deviasi, persentase, tabel dan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.


(49)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Blok parafin yang digunakan oleh peneliti, dikumpulkan dari RSUP Haji Adam Malik Medan dengan jumlah sampel 30 blok parafin. Sampel penelitian ini adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

4.1 Karakteristik Umum Sampel yang diteliti

Sampel penelitian yang telah dikumpulkan diambil datanya melalui rekam medik. Data yang diambil menurut data rekam medis adalah umur, jenis kelamin dan lokasi lesi (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi frekuensi karakteristik umum sampel berdasarkan data rekam medis sampel yang diteliti.

Karakteristik Frekuensi (orang) Persentase (%) Umur 20-39 tahun 40-59 tahun 60-79 tahun Total 5 10 15 30 16,6 33,3 50,0 100,0 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total 6 24 30 20,0 80,0 100,0 Lokasi Lesi Lidah Maksilla Mandibula Gingiva Total 19 2 6 3 30 63,3 6,6 20,0 10,0 100,0


(50)

Tabel 3 menunjukkan karakteristik umum berdasarkan data rekam medis KSS rongga mulut yang telah didiagnosa di RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan umur, KSS rongga mulut tertinggi adalah pada kelompok umur 60 - 79 tahun (50,0%), diikuti kelompok umur 40 - 59 tahun (33,3%) dan terendah ditemukan pada kelompok umur 20 - 39 tahun (16,6%). Berdasarkan jenis kelamin, KSS rongga mulut pada wanita (80,0%) lebih tinggi dari laki-laki (20,0%). Lokasi lesi yang paling tinggi ditemukan pada lidah (63,3%), diikuti mandibula (20%), dan gingiva (10,0%), sedangkan lokasi lesi terendah adalah maksila (6,6%).

4.2 Distribusi Frekuensi Tampilan mAgNOR pada KSS Rongga Mulut Berdasarkan Sub-tipe Keratinisasi, Jenis Diferensiasi, Umur, Jenis Kelamin dan Lokasi Lesi.

AgNOR ditemukan sebagai titik-titik hitam di dalam nukleus sel yang dihitung dalam 100 nukleus sel pada masing-masing 30 sampel KSS rongga mulut, dan hitungan rata-rata mAgNOR dikelompokkan berdasarkan masing-masing kategori.

Tabel 4. Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga

mulut berdasarkan jenis sub-tipe keratinisasi.

Sub-tipe

keratinisasi n mAgNOR ± SD P Berkeratin

Tidak berkeratin

21 9

4,11±0,73

4,76±0,87 0,124

Total 30

Uji Kruskal-Wallis, signifikan p < 0,05.

Tabel 4 menunjukkan hasil analisa statistik uji Kruskal-Wallis, dimana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan mAgNOR antara KSS berkeratinisasi dan tidak berkeratinisasi (p=0,124). Ini berarti H0 diterima.


(51)

Tabel 5. Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut berdasarkan jenis diferensiasi.

Jenis diferensiasi n mAgNOR ± SD P Baik

Sedang

19 11

3,95±0,64

5,15±0,53 0,000*

Total 30

Uji Kruskal-Wallis, signifikan p < 0,05.

Hasil analisa statistik uji Kruskal-Wallis (Tabel 5) didapatkan adanya perbedaan yang signifikan mAgNOR antara KSS diferensiasi baik dan diferensiasi sedang (p=0,000). Ini berarti semakin menurun atau buruknya derajat diferensiasi KSS, nilai tampilan titik-titik hitam mAgNOR akan semakin meningkat. Dengan demikian H0 ditolak.

Tabel 6. Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut berdasarkan umur.

Umur n mAgNOR ± SD P 20-39 tahun 40-59 tahun 60-79 tahun 5 10 15 4,31±0,98 4,34±1,01 4,42±0,86 0,964

Total 30

Uji Kruskal-Wallis, signifikan p < 0,05.

Tabel 6 menunjukkan hasil analisa statistik uji Kruskal-Wallis tidak ditemukan perbedaan yang signifikan mAgNOR antara kelompok umur sampel penelitian (p=0,964). Ini berarti H0 diterima.

Tabel 7. Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin n mAgNOR ± SD p Laki-laki Perempuan 6 24 4,94±0,96 4,25±0,76 0,053

Total 30


(52)

Hasil analisa statistik uji Kruskal-Wallis (Tabel 7), ditemukan bahwa tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan mAgNOR antara laki-laki dan perempuan (p=0,053). Ini berarti H0 diterima.

Tabel 8. Distribusi frekuensi tampilan mAgNOR pada KSS rongga mulut berdasarkan lokasi lesi.

Lokasi Lesi n mAgNOR ± SD p Lidah

Maksila Mandibula Gingiva

19 2 6 3

4,39±0,75 4,10±0,80 4,86±1,07 3,67±0,55

0,195

Total 30

Uji Kruskal-Wallis, signifikan p < 0,05.

Tabel 8 menunjukkan hasil analisa statistik uji Kruskal-Wallis dimana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan mAgNOR antara masing-masing lokasi lesi di rongga mulut (p=0,195). Ini berarti H0 diterima.


(53)

BAB 5

PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian terhadap 30 sampel blok parafin yang telah didiagnosa sebagai karsinoma sel skuamosa (KSS) rongga mulut yang diperoleh dari data-data rekam medis di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik dan Laboratorium PA FK USU. Blok parafin yang telah dikumpulkan, kemudian di processing di laboratorium Patologi Anatomi: satu preparat untuk pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) dan satu preparat untuk pewarnaan AgNOR. Pewarnaan HE dilakukan untuk mendiagnosa kembali jaringan sampel tersebut. Sementara itu, pewarnaan AgNOR bertujuan untuk mendapatkan tampilan titik-titik hitam yang berperan sebagai suatu metode untuk melihat tingkat keagresifan proliferasi sel kanker. Pewarnaan AgNOR merupakan suatu pewarnaan histokimia dimana larutan perak nitrat berikatan pada bagian NOR yang bersifat argyrofilik. Larutan AgNOR berupa campuran dari satu volume asam format yang ditambah gelatin dan dua volume perak nitrat. Protein nucleolar organizing regions (NORs) yang bersifat argyrofilik yang apabila bereaksi dengan perak nitrat akan menghasilkan warna hitam berupa titik-titik hitam (AgNOR) dalam nukleus sel. Titik-titik hitam yang jelas kelihatan dihitungkan, sementara gugusan titik-titik hitam diabaikan.14 Hasil pewarnaan HE dan AgNOR diobservasi dengan menggunakan mikroskop cahaya Olympus CX21 dengan pembesaran 40x dan 100x. Hasil pewarnaan AgNOR diperoleh melalui perhitungan jumlah titik-titik hitam AgNOR dalam 100 nukleus sehingga didapatkan rata-rata AgNOR (mAgNOR) dan standar deviasinya. Rancangan penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.

Dari data-data rekam medis lesi rongga mulut yang diperoleh pada penelitian ini, hanya data umum berupa umur, jenis kelamin dan lokasi lesi yang tersedia dan tidak ada data tersedia mengenai faktor penyebab iritasi seperti kebiasaan individu,


(54)

diet, pekerjaan atau kondisi rongga mulut yang berhubungan dengan etiologi terjadinya kanker. Perlunya data-data tersebut ditulis dalam formulir pemeriksaan patologi rongga mulut (Lampiran 3) sehingga dapat mendukung suatu diagnosa patologi yang tepat.

Pada penelitian ini diperoleh data distribusi rekam medis karakteristik umum berupa umur, jenis kelamin dan lokasi lesi (Tabel 3). Lesi KSS pada rongga mulut yang tertinggi ditemukan pada kelompok umur 60 - 79 tahun (50,0%), diikuti oleh kelompok umur 40 - 59 tahun (33,3%) dan terendah terdapat pada kelompok umur 20 - 39 tahun (16,6%). Menurut Cawson (2008), 98% dari lesi KSS rongga mulut terdapat pada kelompok umur di atas 40 tahun,2 dimana sesuai dengan penelitian ini, yaitu kelompok umur yang berisiko tinggi terdapat pada kelompok umur 40 - 79 tahun yaitu sekitar (83,3%), sedangkan kelompok umur yang berisiko rendah terdapat pada kelompok umur 20 - 39 tahun (16,6%). Peningkatan umur sering dihubungkan dengan perubahan pada tingkat molekular, selular dan fisiologis, sehingga jaringan lebih rentan terhadap inisiasi karsinogenesis bila didukung dengan pemaparan agen/bahan karsinogenik. Di samping itu, pada usia lanjut juga sering timbul ketidakseimbangan hormon sehingga risiko terjadinya kanker juga meningkat.2,3,5 Berdasarkan jenis kelamin, lesi KSS lebih banyak ditemukan pada perempuan (80,0%) dibandingkan laki-laki (20,0%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Ramachandra (2012) di negara India, dimana angka prevalensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki,41 ini mungkin dihubungkan dengan kebiasaan menyirih/menyuntil pada kalangan perempuan, di samping itu mungkin juga terjadinya ketidakseimbangan hormonal, dimana perempuan sering mengalami perubahan di rongga mulut setelah mencapai menopause. Lokasi lesi KSS rongga mulut yang paling banyak ditemukan pada lidah (63,3%) dibandingkan dengan lokasi lesi lainnya di rongga mulut (36,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Neena, dkk. (2011), yang mendapatkan bahwa lidah merupakan lokasi lesi KSS yang paling banyak terdapat pada rongga mulut (60,4%).21 Insidensi KSS yang tinggi pada lidah mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antaraa lain: iritasi kronis dari gigi yang tajam/radiks, protesa yang tidak baik, adanya bahan/agen karsinogenik


(55)

seperti merokok, minuman alkohol dan menyuntil.2,5 Bagian lidah lateral merupakan bagian yang sering terjadinya kanker. Hal ini dikaitkan dengan struktur histologinya, dimana epitelnya dilapisi dengan mukosa yang tidak berkeratin. Epitel yang tidak berkeratin mudah berubah menjadi tipe berkeratin sebagai respon terhadap trauma gesekan atau kimia, sehingga terjadi hiperkeratinisasi. Perubahan hiperkeratinisasi ini bersifat reversibel jika sumber traumanya dihilangkan, dan bila trauma kronis terus berlanjut, akan mengakibatkan terjadinya karsinoma.42

Pewarnaan HE digunakan sebagai pendiagnosa rutin untuk jaringan KSS dalam menentukan diferensiasi histopatologi. Derajat diferensiasi KSS rongga mulut dapat dibagi kepada tiga jenis yaitu KSS berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk. Penilaian derajat diferensiasi ini dapat berdasarkan karakteristik sistem penilaian oleh Broder, Jakobsson, Anneroth, atau Bryne. Sistem penilaian derajat diferensiasi pada penelitian ini adalah berdasarkan sistem terbaru Bryne, dimana sistem ini mempunyai parameter morfologi yang adekuat dalam penilaian karakteristik jaringan KSS. Selain itu, sistem Bryne juga berperan sebagai suatu indikator dalam memprediksi prognosa KSS.21 Pada penelitian ini, KSS rongga mulut berdiferensiasi baik (63%) lebih banyak ditemukan dibanding dengan KSS berdiferensiasi sedang (37%), tetapi tidak ditemukan KSS berdiferensiasi buruk. Keratin jenis hiperkeratotik yang ditemukan pada epitel dari sel tumor merupakan salah satu penanda untuk transformasi “maglinant” atau kanker. KSS berdiferensiasi baik selalunya menunjukkan keratinisasi yang lebih banyak dibandingkan dengan KSS berdiferensiasi sedang dan buruk. KSS berdiferensiasi buruk mayoritas jaringannya tidak berkeratinisasi. KSS berdiferensiasi baik mempunyai sel yang mirip sel matur normal asal jaringan dan mempunyai sel limfosistik yang banyak akibat reaksi dari jaringan untuk memperbaiki sel yang rusak. KSS yang berdiferensiasi sedang dan buruk mempunyai sel atau inti yang pleomorfik, yaitu ukuran sel yang bervariasi dan besar, serta sering tidak ditemukan sel limfosistik. Pada KSS berdiferensiasi buruk, adanya ditemukan sel kecil primitif, dimana sel asal jaringannya sulit dikenal.21,23,25


(56)

Pewarnaan AgNOR dilakukan dengan tujuan melihat nilai mAgNOR. Tampilan titik-titik hitam mAgNOR ini mengindikasi terjadinya proliferasi sel yang dimana menandakan aktivitas transkripsi gen rRNA. Peningkatan nilai mAgNOR menunjukkan keagresifan suatu karsinoma atau tumor.17,18,19 Data distribusi frekuensi mAgNOR berdasarkan jenis diferensiasi KSS, ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan hasil nilai mAgNOR (p<0,05), dimana H0 ditolak (Tabel 5). Hasil mAgNOR menunjukkan suatu linear yang signifikan dalam peningkatan stadium diferensiasi histopatologi tumor. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gulia, dkk. (2011) dan Hanemann, dkk. (2011).14,19 Peningkatan mAgNOR pada tumor ganas atau KSS berdiferensiasi buruk dapat dijelaskan bahwa terdapat peningkatan aneuploidi apabila terjadi peningkatan jumlah kromosom.19 Nukleolus merupakan tempat transkripsi ribosom RNA (rRNA). Pada umumnya, nukleolus dari sel-sel kanker lebih banyak dibandingkan dengan sel normal, dan mengandung loop DNA yang disebut NORs encoding produksi rRNA. Pada fase proliferasi sel, nukleolus akan berlokalisasi pada konstriksi sekunder kromosom akrosentrik, yang dimana letaknya protein argyrofilik non-histon (AgNOR). Kuantifikasi interfase AgNORs dapat dijadikan sebagai alat untuk mengevaluasi kinetika sel. Penimbunan AgNORs pada sel ketika memasuki siklus mitosis dikaitkan dengan peningkatan biogenesis ribosomal, dan sintesis protein lebih cepat terjadi pada sel yang proliferasinya tinggi dibandingkan dengan yang proliferasinya lambat. Ini menunjukkan bahwa, peningkatan struktur nukleolar (AgNORs) ditemukan pada saat sintesis rRNA berlangsung.19,30 Derajat diferensiasi secara umum berhubungan dengan tingkat keganasan dan proliferasi sel, sehingga tumor atau kanker yang derajat diferensiasinya buruk akan mempunyai tingkat proliferasi yang lebih tinggi, ini tercermin dari nilai AgNOR yang lebih tinggi.

Tabel 4 menunjukkan hasil nilai (p>0,05) untuk jenis keratinisasi KSS rongga mulut dengan nilai mAgNOR. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Kurnia, dkk. (2010), dimana tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara nilai mAgNOR pada sub-tipe histologik KSS berkeratin dan tidak berkeratin secara statistik,37 dengan demikian H0 diterima. Hal ini kemungkinan


(57)

sintesis protein yang terkait dengan proliferasi sel tidak sama atau tidak terkait dengan sintesis protein yang terkait dengan keratinisasi pada epitel sel rongga mulut, yang dihubungkan dengan ekpresi gen sintesis proteinnya tidak sama yaitu keratin tergantung gen (K1-K19) dan proliferasi sel tergantung gen NPM1 dan ARF.11,12,44 Namun, untuk menentukan pengaruh jumlah titik-titik hitam AgNOR pada nukleus yang lebih tepat, diperlukan penelitian lanjutan dengan metode morfometrik.19

Menurut penelitian ini, didapatkan bahwa umur (Tabel 6), jenis kelamin (Tabel 7) dan lokasi lesi (Tabel 8) sampel penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05) dengan nilai mAgNOR, dimana H0 diterima. Hasil penelitian

ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Lumachi, dkk. (2004), dimana nilai rata-rata mAgNOR per sel tidak berhubungan dengan umur, jenis kelamin, biokimia dan ukuran tumor pada pasien kanker.44 Tidak ditemukan hubungan mAgNOR pada umur, jenis kelamin dan lokasi lesi kemungkinan bahwa AgNOR adalah metode untuk melihat tingkat keagresifan proliferasi sel terutama pada sel ganas. Namun, untuk memahami lebih mendalam hubungannya, diperlukan penelitian lanjutan.


(58)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Terdapat peningkatan yang signifikan nilai mAgNOR pada KSS diferensiasi sedang dibandingkan KSS diferensiasi baik (p<0,05), tidak terdapat perbedaan yang signifikan nilai mAgNOR pada antara kelompok sub-tipe keratinisasi KSS, umur, jenis kelamin dan lokasi lesi (p>0,05).

6.2Saran

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pewarnaan AgNOR pada KSS rongga mulut dengan jumlah sampel yang lebih proporsional dengan menggunakan metode morfometrik.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

1. Pereira MC, Oliveira DT, Landman G, Kowalski LP. Histologic subtypes of oral squamous cell carcinoma: prognostic relevance. JCDA. 2007; 73(4): 339-40.

2. Cawson R, Odell E. Cawson’s essential of oral pathology and oral medicine. 8th ed. Toronto: Churchill Livingstone Elsevier; 2008. 277-83.

3. Syafriadi M. Pathogenesis of oral cancer. Indonesia Journal of Dentistry. 2008; 15(2): 104-10.

4. Oemiati R, Rahajeng E, Kristanto A. Prevalensi tumor dan beberapa faktor yang mempengaruhi di Indonesia. Bul Penelit Kes. 2011; 39(4): 190-204.

5. Epstein J. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment: Oral cancer. 10th ed. Spain: BC Decker Inc; 2003. 195-9.

6. Achmad H, Satari M, Oewen R, Supriatno. Aktivitas antitumor agen celecoxib terhadap invasi sel kanker lidah SP-C1 (kajian invitro). J of dent. Padjajaran. 2011; 1-3.

7. Williams HK. Molecular pathogenesis of oral squamous carcinoma. J of Clin Path. 2000; 53(4): 165-72.

8. Boisvert F, Koningsbruggen S, Navascues J, Lamond A. The multifunctional nucleolus. Vol 8. Nature reviews: Molecular cell biology; 2007. 574.

9. Cann K, Dellaire G. Nucleolus as biomarker in cancer: past and future. Canadian J of Path. 2010; 30-1.

10.Rajput D, Tupkari J. Early detection of oral cancer: Pap and AgNOR staining in brush biopsies. J Oral Maxillofac Pathol. 2010; 14(2): 52-8.

11.Korgaonkar C, Hagen J, Quelle D, Tompkins V, Frazier AA, Allamargot C, dkk. Nucleophosmin (B23) targets ARF to nucleoli and inhibits function. J Mol Cell Biol. 2005; 25(4): 1258-71.

12.Maggi L, Weber J. Nucleolar adaptation in human cancer. NCBI. 2005; 23(7): 599-608.


(60)

13.Fiore P. Playing both sides: nucleophosmin between tumor suppression and oncogenesis. J of Cell Bio. 2008; 182(1): 7-9.

14.Gulia S, Sitaramam E, Reddy K. The role of silver staining nucleolar organiser regions (AgNORs) in lesions of the oral cavity. J of Clin and Diag Research. 2011; 5(5): 1011-5.

15.Terlikowski S, Dzieciol J, Mazurek A, Sulkowski S, Boron R, Oniszczuk M, dkk. A morphometric study of nucleolar organiser regions in cervical intraepithelial neoplasia. J Oncology. 2004; 63(2): 209-12.

16.Saxena A, Singh D, Gupta J. Human acrocentric chromosome and their association with nucleolar organizer regions in down syndrome. Curr Pediatr Res. 2011; 15(1): 15-7.

17.Srivastava AN, Srivastava S, Bansal C, Misra JS. Diagnostic importance of AgNOR pleomorphism in cervical carcinogenesis. Ecancer-medical-science. 2013: 3-5.

18.Mehkri S, Iyengar A, Nagesh K, Bharati MB. Analysis of cell proliferation rate in oral leukoplakia and oral squamous cell carcinoma. J Oral Med and Path. 2010; 2(4). 73-7.

19.Hanemann J, Miyazawa M, Souza M. Histologic grading and nucleolar organizer regions in oral squamous cell carcinomas. J Appl Oral Sci. 2011; 19(3): 280-5.

20.Winning TA, Townsend GC. Oral mucosal embryology and histology. New York: Elsevier Science Inc.; 2000. 499-511.

21.Neena D, Siddharth S, Keyuri P, Munira J. Histological grading of oral cancer: a comparison of different systems and their relation to lymph node metastasis. National J of Community Med. 2011; 2(1): 136.

22.Vezhavandhan N, Shanthi V, Kumar G, Balaji N, Sumathi MK. Cytologic and histopathologic correlation in cancer diagnosis. J Scientific Dent. 2011; 1(2): 13.


(61)

23.Rousseau A, Badoual C. Head and Neck: Squamous cell carcinoma: an overview. Atlas of Genetics and Cytogenetics Oncology Haematology. 2011. 1-14.

24.Warnakulasuriya S. Global epidemiology of oral and oropharyngeal cancer. J Oral Oncology. 2009; 45(1): 309-16.

25.Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D. World Health Organization classification of tumours. Pathology and genetics of head and neck tumours. IARC Press: Lyon 2005. 163-72.

26.Ram H, Sarkar J, Kumar H, Konwar R, Bhatt M, Mohammad S. Oral cancer: risk factors and molecular pathogenesis. J Maxillofac Oral Surg. 2011; 10(2): 132-7.

27.Kumar R, Abbas A, Fausto N, Aster J. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. 8th ed. Philadephia: Saunders Elsevier; 2010. 290-304.

28.Lamond I, Earnshaw W. Structure and function in the nucleus. Science Magazine 1998; 280: 547-53.

29.Cann K, Dellaire G. Nucleolus as a biomarker in cancer: past and future. Can J of Path. 2010. 30-4.

30.Chowdry A, Deshmukh R, Shukla D, Bablani D, Mishra S. Quantitative estimation of AgNORs in normal, dysplastic and malignant oral mucosa. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub. 2013. 1-4.

31.Kurnia I, Bintari S, Khaisuntaha M. Tingkat keganasan kanker serviks pasien pra-radiasi melalui pemeriksaan AgNORs, MIB-I dan Cas-3. Biosantifika. 2012; 4(2). 53-60.

32.National Science Foundation. The epigenetics of nucleolar dominance. Vol 16. United States: Elsevier Science; 2008. 495-6.

33.Nenno M. Nucleolus organizing region (NOR). Phaseolus polytene chromosomes. 2008. http://www.nenno.it/phaseolus-polytene-chromosomes/nor. (Cited: 2 Dec 2013).

34.Sowmya GV, Padmavathi BN, Singh M, Nahar P. Quantitative assessment of argyrophilic nucleolar organizer regions in nonsmokers, smokers and oral


(62)

submucous fibrosis: a pilot study. J Indian Academy of Oral Med and Radiology. 2012; 24(2): 117-20.

35.Salehinejad J, Kalantarai M, Omidi A, Zare R. Evaluation of AgNOR staining in exfoliative cytology of normal oral (buccal) mucosa: effect of smoking. J Mash Dent Sch. 2007; 31: 22-4.

36.Uma S, Ritu S, Srivastava AN, Mishra JS, Nisha S, Sabuhi Q, dkk. AgNOR count and its diagnostic significance in cervical intraepithelial neoplasia. J Obstet Gynecol India. 2006; 56(3): 244-6.

37.Kurnia I, Budiningsih S, Andrijono, Ramli I, Badri C. Penggunaan AgNOR sebagai marker proliferasi dalam penilaian respon awal radiasi pada kemoradioterapi kanker serviks. Biosantifika. 2012. 5-7.

38.UHBristol Clinical Audit Team. How to: set an audit sample & plan your data collection. University Hospitals Bristol: NHS Foundation Trust; 2009. 4.

39.BC BioLibrary. Hematoxylin and Eosin staining of tissue sections. 2008. 3-5. 40.Rajput D, Tupkari J. Early detection of oral cancer: PAP and AgNOR staining

in brush biopsies. JOMFP. 2010; 14(2): 52-8.

41.Ramachandra NB. The hierarchy of oral cancer in India. International J of Head Neck Surgery. 2012; 3(3): 143-6.

42.Balogh MB, Fehrenbach MJ. Illustrated dental embryology, histology, and anatomy. 3rd ed. Missouri: Elsevier Saunders; 2011. 141-2.

43.Karantza V. Keratins in health and cancer: more than mere epithelial cell markers. J Oncology. 2011; 30(2): 127-38.

44.Lumachi F, Ermani M, Marino F, Poletti A, Basso S, Lacobone M, dkk. Relationship of AgNOR counts and nuclear DNA content to survival in patients with parathyroid carcinoma. J Endocrinology. 2004; 11(1): 563-9.


(1)

Hasil pewarnaan AgNOR.

20.Titik-titik hitam

AgNOR (anak panah) pada KSS rongga mulut diferensiasi baik

dengan pembesaran x40.

21.Titik-titik hitam

AgNOR (anak panah) pada KSS rongga mulut diferensiasi baik

dengan pembesaran x100.


(2)

22.Titik-titik hitam

AgNOR (anak panah) pada KSS rongga mulut diferensiasi sedang dengan pembesaran x40.

23.Titik hitam AgNOR

(anak panah) pada KSS rongga mulut

diferensiasi sedang dengan pembesaran x100.


(3)

Lampiran 5: Data Hasil Penelitian

No Umur Jenis

kelamin Lokasi Lesi Jenis diferensiasi Jenis keratinisasi Hasil AgNOR

1 67 P Lidah Sedang NKSCC 5,06

2 67 P Lidah Baik NKSCC 4,21

3 55 P Lidah Baik KSCC 3,82

4 69 P Mandibula Baik KSCC 4,16 5 60 P Mandibula Baik KSCC 3,11 6 77 P Mandibula Sedang NKSCC 5,78

7 28 P Lidah Baik KSCC 4,25

8 65 P Gingiva Baik KSCC 4,07

9 69 P Lidah Baik KSCC 4,22

10 32 P Lidah Baik KSCC 3,65

11 52 P Maksila Baik KSCC 3,53

12 38 L Lidah Baik KSCC 4,43

13 64 L Lidah Sedang KSCC 5,18 14 73 P Lidah Sedang NKSCC 5,19 15 38 L Lidah Sedang KSCC 5,21 16 62 P Maksila Sedang NKSCC 4,67 17 57 L Mandibula Sedang NKSCC 5,97 18 27 P Lidah Sedang NKSCC 4,01

19 63 L Lidah Baik KSCC 3,28

20 56 P Mandibula Sedang NKSCC 5,04

21 42 P Lidah Baik KSCC 5,01

22 68 P Gingiva Baik KSCC 3,04

23 53 P Lidah Baik KSCC 3,09

24 62 P Lidah Baik KSCC 4,81

25 54 P Mandibula Baik KSCC 5,14

26 53 P Lidah Baik KSCC 3,23

27 73 L Lidah Sedang NKSCC 5,61


(4)

Lampiran 6: Lembar Pengolahan Data (SPSS)

Kruskal-Wallis Test: Sub-tipe keratinisasi KSS

Ranks

Kelompok N Mean Rank

data

Berkeratin 21 13.88

TidakBerkeratin 9 19.28

Total 30

Test Statisticsa,b

data

Chi-Square 2.368

df 1

Asymp. Sig. .124

Kruskal-Wallis Test: Jenis diferensiasi KSS

Ranks

Kelompok N Mean Rank

data

Baik 19 10.89

Sedang 11 23.45

Total 30

Test Statisticsa,b

data

Chi-Square 14.184

df 1


(5)

Kruskal-Wallis Test: Umur

Ranks

Kelompok N Mean Rank

data

20-39 tahun 5 15.60

40-59 tahun 10 14.90

60-79 tahun 15 15.87

Total 30

Test Statisticsa,b

data

Chi-Square .073

df 2

Asymp. Sig. .964

Kruskal-Wallis Test: Jenis Kelamin

Ranks

Kelompok N Mean Rank

data

Laki-laki 6 22.00

Perempuan 24 13.88

Total 30

Test Statisticsa,b

data

Chi-Square 4.090

df 1


(6)

Kruskal-Wallis Test: Lokasi Lesi

Ranks

Kelompok N Mean Rank

data

Lidah 19 15.79

Maksila 2 12.00

Mandibula 6 20.00

Gingiva 3 7.00

Total 30

Test Statisticsa,b

data

Chi-Square 4.702

df 3