I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Data-data menunjukkan bahwa terjadi kerusakan hutan alam rata-rata
sebesar 2 juta hatahun Forest Watch Indonesia, 2001. Ketidakberhasilan pengelolaan hutan alam produksi telah mengakibatkan permasalahan besar yaitu kehancuran
sumberdaya hutan dan memiskinkan masyakat di dalam dan sekitar hutan. Hancurnya sumberdaya hutan, ditandai dengan terpecah-pecahnya areal hutan dengan
luasan yang tidak kompak. Pengelolaan hutan dengan skala luasan yang sangat besar ternyata tidak menghasilkan pengelolaan hutan yang lestari. Dengan kata lain apakah
dengan luasan yang lebih kecil, pengelolaan hutan alam dapat menghasilkan tegakan yang lestari ?
Sementara itu, berdasarkan pengalaman empiris masyarakat dan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat dalam dan sekitar hutan telah memiliki
pengetahuan dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan dianggap sebagai rumah sebagai tempat tinggal dan sumber bahan makanan bagi masyarakat. Dengan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat ini diharapkan dapat diimplementasikan dalam pengelolaan hutan skala kecil.
Apakah dengan luasan 1000 ha misalnya dapat dilakukan sebuah kegiatan manajemen hutan ? Apa yang dapat dilakukan terhadap hutan seluas ini ? Untuk masa berapa
tahunkah, pengelolaan hutan skala kecil layak ? Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut diperlukan kajian dan penelitian yang mendalam.
B. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk : 1. Menjelaskan pengelolaan hutan produksi alam yang dilaksanakan di Indonesia
2. Menjelaskan pengelolaan hutan skala kecil 3. Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan terhadap hutan alam dengan luasan
sekitar 1000 ha.
Samsuri : Mengelola Hutan Alam Dengan Luas 1000 Ha, Apakah Mungkin?, 2009 USU e-Repository © 2009
II. MANAJEMEN TEGAKAN HUTAN ALAM
Mengelola hutan adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka
memanfaatkan fungsi hutan dan isinya, dengan tetap menjaga agar manfaat dan fungsi
tersebut tetap melekat pada hutan yang bersangkutan prinsip kelestarian. Pada suatu era prinsip kelestarian hasil hanya menganut kelestarian kayu saja Suhendang, 2002,
yaitu hutan dikelola hanya untuk menghasilkan dalam jumlah yang sama setiap periode waktu tertentu.
Tetapi ternyata hutan tidak hanya menghasilkan kayu saja, sehingga prinsip kelestarian menjadi berorientasi pada kelestarian manfaat ganda hutan, di mana hutan selain
menghasilkan kayu juga dipandang sebagai sumber air, habitat satwa liar, makanan ternak, tempat rekreasi dan sumber hasil hutan bukan kayu HHBK. Hal ini juga
dikemukan oleh K Gan dan G Weinland tahun 1998, bahwa hutan memiliki peranan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Fungsi ekosistem hutan dapat
dikategorikan ke dalam 4 empat kelompok yaitu : 1. Fungsi regulator
Hutan berfungsi mengatur iklim, aliran air, perlindungan daerah aliran sungai, pencegah erosi, memelihara keanekaragaman hayati, habitat sementara migrasi satwa
2. Fungsi carrier Hutan berfungsi sebagai tempat rekreasi, area budidaya, penyimpan karbon, tanah
adat, konservasi alam, dan habitat hidupan liar 3. Fungsi informasi
Hutan menyediakan informasi spritual dan religius, inspirasi budaya dan seni, pendidikan, sejarah dan informasi ilmiah
4. Fungsi produksi Hutan memproduksi kayu, produk non kayu, sumberdaya genetik
Manajemen hutan alam tidak bisa dipisahkan dari kegiatan mengelola tegakan hutan alam. Tegakan hutan alam memiliki keanekaragaman tinggi dan struktur tegakan yang
berbeda dengan tegakan seumur. Distribusi kelas diameter tegakan hutan alam mengikuti pola esponensial negatif, dimana semakin tinggi kelas diameter semakin
jumlah tegakan pada kelas diameter yang bersangkutan. Pengaturan hasil tegakan harus berdasarkan pada karakteristik tegakan yang dikelola.
Samsuri : Mengelola Hutan Alam Dengan Luas 1000 Ha, Apakah Mungkin?, 2009 USU e-Repository © 2009
Pengelolaan hutan alam yang tidak seumur berbeda dengan hutan seumur. Metode pengaturan hasil untuk hutan tidak seumur pertama kali dikembangkan oleh Dr. Dietrich
Brandis dalam pengelolaan hutan Jati di Burma antara tahun 1850 - 1900, yang hutannya terancam rusak akibat tingginya permintaan kayu jiati untuk pembuatan kapal
laut Broenig, 1996. Seydack 2000 menyatakan dalam pengaturan hasil tegakan dipahami sebagai hubungan
antar komponen yaitu strategi optimasi hasil, strategi regenerasi tegakan, interval pemanenan, dan kriteria seleksi penebangan pohon. Strategi optimasi hasil berkaitan
dengan keputusan jumlah tegakan yang akan ditinggalkan dan pada kondisi bagaimana tegakan masak tebang dapat dipanen. Pengoptimalan hasil dapat dilakukan dengan
memanen tegakan pada saat harga kayu sedang tinggi, atau pembatasan diameter pohon- pohon masak tebang.
Strategi regenerasi tegakan dimaksudkan untuk mendapatkan tegakan yang pada saat akan dipanen pada periode berikutnya mampu mencapai tegakan normal. Pembatasan
diameter tegakan misalnya minimal 30 – 35 cm yang ditebang dimaksudkan juga untuk memberikan ruang tumbuh bagi kanopi tegakan kodominan sehingga akan
menjadi pohon yang dapat ditebang pada periode berikutnya. Penentuan interval waktu berhubungan dengan batas pemanenan per unit area
pemanenan. Interval pemanenan terpanjang dihubungkan dengan semakin besarnya intensitas penebangan dari areal paling kecil secara proporsional. Jumlah maksimum
yang dapat dipanen merupakan produtivitas atau luas hutan dibagi dengan interval waktu yang dipilih.
Interval pemanenan ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan regenerasi tegakan, dan biaya operasional. Interval pemanenan seharusnya mempertimbangkan
dan mengkompromikan : 1 keterbukaan kanopi yang diperbolehkan, 2 ambang batas dampak pemanenan dan 3 biaya operasional. Selain ketiga hal di atas, harga kayu
pada saat akan dilakukan panen juga dapat menjadi pertimbangan, apakah akan melakukan penebangan jika harga tinggi atau tidak menebang pada saat harga kayu
rendah.
Samsuri : Mengelola Hutan Alam Dengan Luas 1000 Ha, Apakah Mungkin?, 2009 USU e-Repository © 2009
Tegakan yang dapat dipanen, harus memenuhi kriteria di antaranya 1 kayu harus berasal dari lokasi yang telah ditentukan dan disepakati, 2 harus memenuhi diameter
minimal yang ditentukan, 3 kayu sudah masak tebang sehingga tidak mungkin tumbuh lagi, 4 kayu sudah memenuhi batas diameter dan juga merupakan kayu yang dihargai
tinggi di pasaran pada saat menebang. Masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu memilik metode pengelolaan hutan alam,
dimana kearifan lokal juga hanya dapat diterapkan di daerah tersebut. Mereka selalu mencoba hidup harmoni dengan alam. Walaupun belum pernah diuji secara teoritis,
namum kearifan local ini terbukti dapat digunakan secara konseptual dalam pencapaian kelestarian hutan pada ekosistem dan sistem sosial yang kompleks. Dalam
penyelamatan hutan terdapat tiga kelompok masyarakat yakni kelompok masyarakat yang percaya bahwa hutan harus dilindungi mutlak dengan segala biayanya, konservasi
hutan dapat mengurangi kemiskinan, dan yang percaya pada pemanfaatan secara lestari Purnomo, 2003. Kepercayaan masyarakat ini dapat dijadikan alasan dan pertimbangan
untuk mengikutsertakan masyarakat berperan aktif dalam pengelolaan tegakan hutan alam.
III. KRITERIA KELESTARIAN HUTAN ALAM