Struktur Tegakan Horizontal Hutan Alam di Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Wapoga Mutiara Timber Unit II Provinsi Papua

STRUKTUR TEGAKAN HORIZONTAL HUTAN ALAM DI
AREAL KERJA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL
HUTAN KAYU - HUTAN ALAM (IUPHHK-HA) PT WAPOGA
MUTIARA TIMBER UNIT II PROVINSI PAPUA

DWI ANJARSARI AYUNINGTYAS

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Tegakan
Horizontal Hutan Alam di Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
– Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Wapoga Mutiara Timber Unit II Provinsi Papua
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Dwi Anjarsari Ayuningtyas
NIM E14100138

ABSTRAK
DWI ANJARSARI AYUNINGTYAS. Struktur Tegakan Horizontal Hutan Alam
di Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam
(IUPHHK-HA) PT Wapoga Mutiara Timber Unit II Provinsi Papua. Dibimbing
oleh ENDANG SUHENDANG.
Hutan alam adalah suatu bentang alam berisi pepohonan yang tumbuh
secara alami. Sebesar 61% hutan di Papua adalah hutan primer. Sebagian besar
areal hutan di PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II merupakan areal hutan bekas
tebangan yang memiliki kondisi struktur tegakan yang berbeda dengan hutan
primer. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh persamaan matematika
struktur tegakan horizontal diperbandingkan persamaan matematika struktur
tegakan horizontal hutan primer dan hutan sekunder. Struktur tegakan horizontal

PT.WMT-II memiliki persamaan matematika N = 370.3 exp(-0.06D) untuk hutan
primer dan N = 472.9 exp(-0.06D) untuk hutan sekunder. Kedua persamaan
tersebut dapat diterima dengan kriteria nilai R2 sebesar 0.93 -0.98 dan p-value
0.000. Secara umum, persamaan matematika struktur tegakan horizontal hutan
sekunder lebih baik dibandingkan hutan primer. Diindikasikan dengan nilai R2
hutan sekunder sebesar 0.98, sedangkan hutan primer sebesar 0.93.
Kata kunci: persamaan matematika, struktur tegakan horizontal

ABSTRACT
DWI ANJARSARI AYUNINGTYAS. Horizontal Stand Structure of Natural
Forest in Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHKHA) PT Wapoga Mutiara Timber Unit II Papua Work Area. Supervised by
ENDANG SUHENDANG.
Natural forest is a landscape which planted with many tree naturally. 61% of
forest in Papua is a primary forest. Most of the forest area in PT Wapoga Mutiara
Timber Unit II is logged-over area of forest which has difference of stand
structure condition with primary forest. The aim of this research is to get
mathematics equation horizontal stand structure compared mathematics equation
horizontal stand structure primary forest and secondary forest. Horizontal stand
structure in PT.WMT-II has mathematics equation N = 370.3 exp(-0.06D) for
primary forest and N = 472.9 exp(-0.06D) for secondary forest. Both of them can

be accepted with criteria R2 0.93 -0.98 and p-value 0.000. Generally, mathematics
equation horizontal stand structure secondary forest better than primary forest.
Indicated with R2, the secondary forest about 0.98, on the other side the primary
forest about 0.93.

Keywords: horizontal stand structure , mathematic equation

STRUKTUR TEGAKAN HORIZONTAL HUTAN ALAM DI
AREAL KERJA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL
HUTAN KAYU - HUTAN ALAM (IUPHHK-HA) PT WAPOGA
MUTIARA TIMBER UNIT II PROVINSI PAPUA

DWI ANJARSARI AYUNINGTYAS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan


DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Struktur Tegakan Horizontal Hutan Alam di Areal Kerja Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHKHA) PT Wapoga Mutiara Timber Unit II Provinsi Papua
Nama
: Dwi Anjarsari Ayuningtyas
NIM
: E14100138

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Endang Suhendang, MS
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F Trop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul
Struktur Tegakan Horizontal Hutan Alam di Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Wapoga Mutiara Timber
Unit II Provinsi Papua. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi
tentang perbedaan persamaan matematika struktur tegakan horizontal pada
tegakan hutan bekas tebangan dengan persamaan matematika struktur tegakan
horizontal untuk hutan primer di areal kerja PT Wapoga Mutiara Timber Unit II
Provinsi Papua.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Endang Suhendang, MS
selaku dosen pembimbing. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak,
Ibu, Kakak, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Terimakasih
kepada teman-teman MNH47 atas doa dan dukungannya. Terimakasih juga
kepada tim PKL PT.WMT-II (Restu dan Izzuddin) dan sahabat-sahabatku Maya,

Quldino, Advent, Tias, Rio, Winda, Ajeng, Desi, Meta, Lerfi, Dita, dan Nurul atas
bantuan, doa serta dukungannya.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran
yang membangun untuk memperlancar dan memperoleh hasil penelitian
selanjutnya yang lebih baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Dwi Anjarsari Ayuningtyas

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2

Alat dan Bahan Sumber Data Lain

2

Teknik Pengambilan Data dan Analisis Data

3


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

5

Keadaan Tegakan

5

Keragaman Struktur Tegakan Horizontal

9

SIMPULAN DAN SARAN

16


Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1 Kerapatan tegakan per kelas diameter pada setiap tipe hutan
2 Kerapatan tegakan per kelas diameter pada setiap kelompok jenis
3 Statistik persamaan matematika untuk struktur tegakan pada setiap tipe

hutan
4 Statistik persamaan matematika untuk struktur tegakan pada setiap
kelompok jenis

8
8
9
12

DAFTAR GAMBAR
1 Bentuk dan ukuran plot contoh penelitian
2 Kondisi tegakan hutan, (a) Hutan primer, (b) Hutan sekunder
3 Kurva struktur tegakan pada setiap tipe hutan, (a) hutan primer, (b)
hutan sekunder
4 Perbandingan kurva struktur tegakan pada setiap tipe hutan, hutan
primer ( ) dan hutan sekunder (- - -)
5 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis merbau, (a) hutan primer
dan (b) hutan sekunder
6 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis merbau, ( )
hutan primer dan (- - -) hutan sekunder
7 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis meranti, (a) hutan primer
dan (b) hutan sekunder
8 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis meranti, ( )
hutan primer dan (- - -) hutan sekunder
9 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis rimba campuran, (a) hutan
primer dan (b) hutan sekunder
10 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis rimba
campuran, ( ) hutan primer dan (- - -) hutan sekunder
11 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis kayu indah, (a) hutan
primer dan (b) hutan sekunder
12 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis kayu indah,
( ) hutan primer dan (- - -) hutan sekunder

3
6
10
11
13
13
14
14
14
15
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Hasil analisis regresi untuk hutan alam
Hasil analisis regresi untuk hutan sekunder
Hasil analisis regresi kelompok jenis meranti pada hutan primer
Hasil analisis regresi kelompok jenis meranti pada hutan sekunder
Hasil analisis regresi kelompok jenis rimba campuran pada hutan primer
Hasil analisis regresi kelompok jenis rimba campuran pada hutan
sekunder
7 Hasil analisis regresi kelompok jenis kayu indah pada hutan sekunder
8 Jenis pohon di areal kerja PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II
9 Peta areal kerja PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II

18
18
19
19
20
20
21
22
23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan adalah suatu bentang lahan yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya (UU No.41 1999).
Potensi kayu pada hutan di Papua cukup besar, namun pemanfaatannya masih
kurang karena keterbatasan aksesibilitas dan volume per hektarnya sangat rendah,
yaitu 35 m2/ha untuk jenis komersial dan 61 m2/ha untuk semua jenis. Tegakan
hutan di Papua sebagian besar terdiri atas jenis-jenis yang belum komersial dan
memiliki topografi yang berat (BPSDALH Provinsi Papua 2012). Sungguhpun
demikian, minat pengusaha untuk memanfaatkan hasil hutan kayu di Papua sangat
besar. Hal ini dapat dilihat dari Laporan Bulanan BPPHP Wilayah XVII Jayapura
Bulan Desember 2010 yang menunjukkan jumlah IUPHHK HA di Provinsi Papua
sampai dengan tahun 2010 ada sebanyak 27 perusahaan (BPPHP Wilayah XVII
Jayapura 2010).
Salah satu perusahaan yang memperoleh ijin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA) adalah PT. Wapoga Mutiara Timber Unit
II (PT. WMT-II). Sistem pemanenan yang dilakukan di IUPHHK-HA ini
mengikuti sistem pemanenan dengan sistem silvikulur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI). Sistem ini mengatur cara pemanenan berdasarkan kelas
diameter, yaitu 40 cm ke atas terhadap seluruh pohon jenis komersil yang terdapat
pada areal kerjanya. Akibat dari kegiatan pengusahaan hutan secara berkelanjutan
menyebabkan perubahan kondisi tegakan hutan. Berdasarkan kriteria penutupan
lahannya, sekitar 61% hutan di Papua berada pada kondisi hutan primer (BPKH
Wilayah X Papua 2010 dalam BPPHP Wilayah XVII Jayapura 2010). Namun,
sebagian besar areal hutan di PT.WMT-II merupakan areal hutan bekas tebangan.
Kondisi struktur tegakan hutan bekas tebangan diduga berbeda dengan kondisi
struktur tegakan di hutan primer. Sebaran pohon per hektar yang terbentuk pada
hutan primer berada lebih tinggi dibanding pada hutan sekunder. Kondisi ini dapat
dikembalikan ke bentuk semula seiring dengan berjalannya waktu (Ermayani
2000). Kondisi terkini suatu tegakan dapat diketahui melalui analisis struktur
tegakan. Informasi tentang struktur tegakan dipandang penting karena ditinjau
dari faktor ekologi, struktur tegakan dapat memberikan gambaran tentang
kemampuan regenerasi tegakan (Suhendang 1994 dalam Muhdin et al 2008).
Permasalahan pengelolaan hutan alam adalah beragamnya kondisi hutan
terutama dalam hal kelompok jenis dan kerapatan pohon. Keragaman tersebut
dapat mempengaruhi kualitas pertumbuhan tegakan. Atas dasar ini, maka dalam
melaksanakan pengelolaan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu
membutuhkan informasi mengenai bentuk dan karakteristik struktur tegakan hutan.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka penelitian tentang struktur tegakan
horizontal hutan alam di areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu –
Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II perlu dilakukan
untuk mengetahui kondisi terkini tegakan hutan, baik hutan primer maupun bekas
tebangan.

2
Perumusan Masalah
Areal kerja IUPHHK PT. WMT-II memiliki luas total 169 170 ha, terdiri
atas 75 % hutan produksi tetap (HP), 2.27% hutan produksi terbatas (HPT), dan
22.73 % hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Kegiatan pengusahaan
hutan di PT. WMT-II sudah dilaksanakan sejak tahun 1990. Kegiatan tersebut
mengakibatkan terbukanya lahan hutan sedangkan upaya pemulihan hutan yang
dilakukan tidak semuanya berhasil. Kurva struktur tegakan horizontal dapat
mengidentifikasi kondisi terkini suatu tegakan hutan sehingga tingkat
keberhasilan pemulihan hutan di PT.WMT-II dengan membandingkan setiap
kondisi tegakan hutan dapat dilihat melalui penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang perbedaan
persamaan matematika struktur tegakan horizontal pada tegakan hutan bekas
tebangan dengan persamaan matematika struktur tegakan horizontal untuk hutan
primer.
Manfaat Penelitian
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk :
1. Alat pembantu dalam menduga potensi tegakan di PT. Wapoga Mutiara
Timber Unit II.
2. Menggambarkan kondisi terkini suatu tegakan sehingga dapat membantu
dalam upaya pengelolaan hutan dan sebagai salah satu sumber data dalam
upaya pemulihan hutan.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data lapangan dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan
April 2014. Penelitian dilaksanakan di areal kerja PT. Wapoga Mutiara Timber
Unit II, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
Alat dan Bahan Sumber Data Lain
Alat yang digunakan untuk pengambilan data dalam penelitian ini, antara
lain pita ukur atau Phiband, tambang, kompas, tallysheet, dan alat tulis.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Office Excel
2007 dan software Microsoft Office Word 2007. Obyek dalam penelitian ini
adalah tegakan hutan di PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II, Kabupaten Sarmi,
Provinsi Papua.

3
Teknik Pengambilan Data dan Analisis Data
Teknik Pengumpulan data
Jenis data yang digunakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh langsung melalui pengukuran di lapangan.
Data ini terdiri atas jenis pohon, diameter pohon (D), jumlah pohon (N), dan
kerapatan pohon. Pengumpulan data tersebut dilakukan pada tiap plot contoh
penelitian. Metode yang digunakan dalam pengukuran tegakan adalah metode
jalur di dalam plot contoh. Plot contoh dalam penelitian ini berbentuk bujur
sangkar berukuran (100 x 100) m2 yang berisi 5 sub plot dengan ukuran (20 x
100) m2 (Gambar 1).
Plot contoh penelitian diambil sebanyak 4 plot yang cukup representatif
untuk menggambarkan kondisi tegakan hutan primer dan hutan sekunder.
Penentuan lokasi plot contoh dilakukan secara purposive sampling yaitu dengan
sengaja sesuai tujuan dan kriteria keterwakilan, dalam hal ini fase pertumbuhan
dan kelerengan. Pada setiap plot contoh dilakukan pengukuran diameter pohon
terhadap seluruh individu pohon berdiameter ≥ 10cm dengan ketinggian 1,3 m
(dbh) pada pohon yang tidak memiliki banir dan 20 cm di atas banir untuk
individu pohon yang berbanir. Jenis data sekunder yang dikumpulkan adalah
kondisi umum lokasi penelitian, mencakup luas geografi dan luas wilayah lokasi
penelitian, jenis-jenis pohon, serta peta areal kerja PT.WMT-II.
20 m

100m
100x100m2

jalur-jalur dalam plot ukur
Gambar 1 Bentuk dan ukuran plot contoh penelitian
Pengolahan analisis data
Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis untuk membentuk model
struktur tegakan. Adapun tahapan yang dilakukan dalam pengolahan dan analisis
data adalah sebagai berikut:
1. Pengelompokan data
Data hasil pengukuran dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok jenis
berdasarkan pertimbangan nilai komersil, taksonomi jenis, dan jenis yang
dominan di areal penelitian. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka data dibagi
menjadi empat kelompok jenis, yaitu:

4
1. Kelompok jenis Merbau (Intsia spp.)
2. Kelompok jenis Meranti (Shorea spp.)
3. Kelompok jenis Rimba Campuran
4. Kelompok jenis Kayu Indah
Selain itu, diameter pohon dikelompokkan ke dalam 10 (sepuluh) kelas
diameter. Data sebaran pohon kemudian digambarkan pada sumbu koordinat
dengan diameter sebagai absis dan kerapatan pohon per hektar sebagai ordinat dan
dilakukan untuk setiap plot contoh.
2. Penyusunan persamaan matematika kurva stuktur tegakan
Kurva struktur tegakan merupakan kurva yang menunjukkan sebaran jumlah
pohon per kelas diameter. Lebar selang diameternya yaitu 10 cm. Persamaan
matemaika kurva struktur tegakan disusun berdasarkan tipe hutan dan kelompok
jenis pohon.
Perhitungan kerapatan tegakan
a. Kerapatan berdasarkan jumlah pohon
∑n
Keterangan :
N = kerapatan bersarakan jumlah pohon (individu/ha)
∑n = jumlah pohon (individu)
L = luasan (hektar)
b. Kerapatan berdasarkan luas bidang dasar per hektar


s

Keterangan :
LBDs = luas bidang dasar tegakan (m2/ha)
E
= luas bidang dasar setiap pohon (m2)
L
= luasan (ha)
Persamaan matematika untuk struktur tegakan ini dibuat dengan
menggunakan fungsi eksponensial negatif, dengan persamaan sebagai berikut:
0

e p k

Tetapan N0 dan k ditentukan melalui analisis regresi dari bentuk persamaan linear
rumus tersebut, yaitu:
ln

ln

0

k

Keterangan:
N = jumlah pohon per hektar per kelas diameter

5
N0
D
exp
k

=
=
=
=

tetapan yang merupakan intersep
diameter/ titik tengah kelas diameter (cm)
logaritma dasar (2,71828)
konstanta laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan diameter
pohon
Dari persamaan linear tersebut selanjutnya dapat diduga N0 dan k dengan metode
rumus kuadrat terkecil (least square).
Data yang persamaan matematika struktur tegakannya tidak dapat dibuat
menggunakan fungsi eksponensial negatif dicari dengan menggunakan persamaan
matematika linear yang lain untuk mendapatkan model terbaiknya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Areal kerja IUPHHK-HA PT Wapoga Mutiara Timber Unit II sebagian
besar mencakup wilayah Distrik Bonggo dan Distrik Pantai Timur, Kabupaten
Sarmi, Provinsi Papua. Secara geografis, PT. WMT-II terletak pada 2° 08’- 2° 38’
LS dan 139° 08’ – 139° 48’ T. uas total areal kerja PT .WMT-II adalah 169
170 ha, terdiri atas 46% hutan primer dan 49% hutan bekas tebangan. Kerapatan
tegakan untuk seluruh jenis pada diameter > 50 cm yaitu 16.7 individu/ha dengan
volume 79.06 m3/ha, sedangkan pada diameter 60 cm ke atas sebesar 10.76
individu/ha dengan volume 64.75 m3/ha. Tegakan hutan didominasi oleh jenis
merbau (Intsia spp.), matoa (Pometia spp.), kenari (Canarium indicum), nyatoh
(Palaqium spp.), resak (Vatica papuana), dan pala hutan (Myristica spp.)
(PT.WMT-II 2012).
Formasi geologi menurut peta geologi tinjau lembar Sarmi, Bufareh dan
Jayapura, Irian Jaya, areal IUPHHK PT.WMT-II terbentuk atas formasi UNK,
endapan lumpur, aluvium dan endapan pantai, dan batuan campuraduk. Kelas
lereng di areal kerja PT.WMT-II bervariasi dan topografi curam yang
mendominasi areal ini. Jenis tanah di wilayah ini adalah gleisol, organosol,
podsolik, dan kambisol. Berdasarkan peta agroklimat yang menggambarkan data
iklim dari stasiun Sarmi, areal IUPHHK PT.WMT-II termasuk dalam tipe iklim
A. Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2 437 mm dengan hari hujan rata-rata
200 hari. Intensitas hujan di kawasan ini tergolong rendah, yaitu sebesar 12.18
mm/hari. Temperatur udara minimum sebesar 22.9 °C, maksimum 31 °C, dan
rata-rata 26.9 °C dengan kelembaban udara rata-rata 85.6% (PT.WMT-II 2012).
Keadaan Tegakan
Tegakan hutan di areal kerja PT.WMT-II terbagi menjadi tiga tipe, yaitu
hutan primer, hutan bekas tebangan, dan hutan rawa primer. Ketiga tipe tersebut
diperoleh dari kondisi penutupan vegetasi hutan berdasarkan peta areal kerja
PT.WMT-II (PT.WMT-II 2012). Penelitian ini hanya dilakukan pada dua tipe
hutan, yaitu hutan primer dan hutan sekunder (Gambar 3). Kemudian plot contoh
penelitian dibuat pada masing-masing tipe hutan dengan luasan 1 hektar sebanyak

6
2 plot. Plot contoh untuk tipe hutan sekunder dibuat pada blok tebangan RKT
2012. Kondisi tegakan di areal kerja PT.WMT-II relatif homogen sehingga
penentuan lokasi dan jumlah plot contoh dapat dilakukan secara purposive
sampling sesuai dengan keterwakilan tegakan.
Hasil pengukuran pada plot contoh dibagi berdasarkan tipe hutan. Jumlah
pohon dalam plot contoh secara keseluruhan adalah 1577 individu yang terdiri
dari 31 jenis pohon pada hutan primer, sedangkan pada hutan sekunder didapatkan
29 jenis pohon. Berdasarkan jumlah individu, jenis yang mendominasi di semua
plot contoh adalah kelat (Euginia spp.) sebanyak 298 pohon, kenari (Canarium
indicum) sebanyak 174 pohon, dan pala hutan (Myristica spp.) sebanyak 171
pohon.

(a)

(b)
Sumber : Foto koleksi penulis 2014

Gambar 2 Kondisi tegakan hutan, (a) Hutan primer, (b) Hutan sekunder
Hasil pengukuran diameter pada setiap plot contoh diklasifikasikan menjadi
10 kelas diameter dengan lebar interval 10 cm. Penentuan jumlah kelas diameter
dan lebar interval dilakukan dengan pertimbangan kepraktisan menghitung dan
kesesuaian dengan kebutuhan, yaitu untuk melihat trend yang terjadi. Jumlah
pohon per kelas diameter menurut tipe hutan disajikan dalam Tabel 1. Tegakan
hutan primer terbentuk dari individu pohon pada semua kelas diameter, sedangkan
pada tegakan hutan sekunder tidak didapatkan pohon dengan kelas diameter ≥ 100
cm. Hal ini dikarenakan tegakan hutan primer merupakan tegakan yang telah
mencapai klimaks sehingga pohon-pohon tumbuh pada setiap tingkat
pertumbuhan. Alasan lain adalah jumlah pohon yang berdiameter 100 cm ke atas
hanya sedikit ditemukan dan kegiatan pemanenan diutamakan pada pohon
komersil yang berdiameter besar sehingga tidak ditemukannya pohon berdiameter
≥ 100 cm pada hutan sekunder dapat terjadi.
Secara umum, kerapatan tegakan pada berbagai kelas diameter menunjukan
penurunan jumlah pohon seiring dengan kenaikan kelas diameter. Pola kerapatan
tegakan pada kedua tipe hutan relatif sama. Akan tetapi, kerapatan tegakan pada
setiap tipe hutan berdasarkan jumlah pohon per hektar berbeda. Kerapatan tegakan
pada hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan tegakan pada hutan
sekunder. Hutan primer memiliki kerapatan sebesar 456.5 pohon/ha, sedangkan
pada hutan sekunder sebesar 332 pohon/ha. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
jangka waktu 2 tahun pasca penebangan belum dapat mengembalikan tegakan

7
hutan sekunder kepada kondisi semula. Sebaliknya, kerapatan tegakan
berdasarkan LBDs pada hutan primer lebih rendah dibandingkan pada hutan
sekunder. Kerapatan tegakan yang diperoleh pada hutan primer sebesar 23.81
m2/ha, sedangkan pada hutan sekunder sebesar 24.53 m2/ha. Hal tersebut
dikarenakan sebagian besar pohon di hutan primer memiliki diameter kecil,
sedangkan pada hutan sekunder berdiameter besar seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 1. Dominasi pohon berdiameter kecil pada hutan primer dikarenakan
kerapatan pohon per hektar pada hutan primer yang tinggi, sehingga persaingan
tumbuh pohon semakin besar dan menyebabkan pertumbuhan pohon relatif
lambat. Sedangkan jumlah pohon berdiameter besar yang lebih banyak pada hutan
sekunder dikerenakan kerapatan pohon per hektar yang lebih rendah pasca
penebangan, sehingga persaingan tumbuh antar pohon lebih kecil dan
berpengaruh terhadap pertumbuhan diameter pohon yang relatif lebih cepat.
Data hasil pengukuran dikelompokkan ke dalam 4 kelompok jenis, yaitu
kelompok jenis merbau, kelompok jenis meranti, kelompok jenis rimba campuran,
dan kelompok jenis kayu indah. Pengelompokkan tersebut dilakukan berdasarkan
nilai komersial, klasifikasi taksonomi, dan jenis yang dominan. Hal ini
disesuaikan dengan pengelompokkan kayu sebagai dasar pengenaan iuran
kehutanan untuk pemegang IUPHHK. Secara keseluruhan jumlah jenis yang
didapatkan pada hutan primer dan hutan sekunder sebanyak 40 jenis pohon.
Sebanyak 11 jenis ditemukan di hutan primer tetapi tidak ditemukan pada hutan
sekunder, sebaliknya jenis pohon yang ditemukan pada hutan sekunder tetapi
tidak ditemukan di hutan primer yaitu sebanyak 9 jenis. Setiap kelompok jenis
dikelompokkan lagi berdasarkan kelas diameter seperti yang tersaji di Tabel 2.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kerapatan pada hutan primer untuk
setiap kelompok jenis merupakan yang paling tinggi. Kelompok jenis rimba
campuran pada hutan primer merupakan yang paling banyak ditemukan di areal
kerja PT. WMT-II, sedangkan kelompok jenis merbau pada hutan sekunder adalah
yang paling sedikit. Kerapatan jenis rimba campuran pada hutan primer sebesar
221 pohon/ha sedangkan jenis merbau pada hutan sekunder sebesar 1.5 pohon/ha.
Hal tersebut dikarenakan pola sebaran kelompok jenis merbau pada hutan primer
dan hutan sekunder tidak merata untuk setiap kelas diameter. Hasil pengukuran
yang diperoleh untuk kelompok jenis merbau tidak menunjukkan kecenderungan
terhadap kelas diameter tertentu, seperti halnya dengan kelompok jenis kayu indah
pada hutan primer juga tidak memiliki kecenderungan terhadap kelas diameter
tertentu. Kelompok jenis meranti pada hutan primer terdiri dari pohon-pohon pada
8 kelas diameter, sedangkan pada hutan sekunder terdiri dari pohon-pohon pada 9
kelas diameter. Jenis rimba campuran pada hutan primer terdiri dari pohon-pohon
pada 7 kelas diameter awal, sedangkan pada hutan sekunder terdiri dari 8 kelas
diameter awal. Sebaran pohon per kelas diameter pada kelompok jenis meranti
dan rimba campuran cukup merata, sehingga kecenderungan pohon pada diameter
tertentu dapat terlihat. Jumlah pohon berdiameter kecil lebih banyak dibandingkan
dengan pohon berdiameter besar. Perbedaan jumlah pohon yang cukup signifikan
terjadi pada kedua kelompok jenis di hutan primer. Selisih antara kelas diameter
10-19.9 pada kelompok jenis meranti dan rimba campuran di hutan primer dengan
kelas diameter berikutnya yaitu 20-29.9 cukup besar. Kemudian dari kelas
diameter ke-2 dan selanjutnya mengalami penurunan jumlah pohon yang relatif
konstan.

8
8

Tabel 1 Kerapatan tegakan per kelas diameter pada setiap tipe hutan
Kerapatan

Kelas Diameter (cm)
Tipe hutan
Hutan primer
Hutan sekunder
Jumlah

10-19.9

20-29.9

30-39.9

40-49.9

50-59.9

60-69.9

70-79.9

80-89.9

90-99.9

553
284
837

172
187
359

113
74
187

38
60
98

12
30
42

6
14
20

10
10
20

4
4
8

3
1
4

Jumlah

≥100
2
0
2

913
664
1577

(pohon
/ ha)
456.5
332
788.5

(m2ha-1)
23.81
24.53
48.34

Sumber : Hasil Pengukuran di lapang (2014)

Tabel 2 Kerapatan tegakan per kelas diameter pada setiap kelompok jenis
Kelompok
Jenis

Kelas Diameter (cm)
Tipe Hutan

Hutan primer
Merbau
Hutan
sekunder
Hutan primer
Meranti
Hutan
sekunder
Hutan primer
Rimba
Campuran Hutan
sekunder
Hutan primer
Kayu
Hutan
Indah
sekunder
Jumlah

Kerapatan
Jumlah (pohon/
≥100
ha)
1
15
7.5

10-19.9

20-29.9

30-39.9

40-49.9

50-59.9

60-69.9

70-79.9

80-89.9

90-99.9

0

1

0

0

0

1

6

4

2

1

0

0

0

1

1

0

0

0

0

3

1.5

245

93

64

24

8

1

1

0

1

0

437

218.5

104

63

32

31

15

2

5

2

1

0

255

127.5

297

75

48

12

4

4

2

0

0

0

442

221

176

118

39

27

12

11

4

2

0

0

389

194.5

11

3

1

2

0

0

1

0

0

1

19

9.5

3

6

3

2

2

0

1

0

0

0

17

8.5

837

359

187

98

42

20

20

8

4

2

1577

788.5

Sumber : Hasil pengukuran di lapang (2014)

9
Keragaman Struktur Tegakan Horizontal
Struktur tegakan hutan adalah sebaran jumlah pohon per satuan luas dalam
berbagai kelas diameter (Meyer et al. 1961 dalam Ermayani 2000). Jumlah pohon
dan struktur tegakan dapat menggambarkan tingkat ketersediaan tegakan pada
setiap tingkat pertumbuhan. Model struktur tegakan dapat menduga kerapatan
tegakan sehingga dapat menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Struktur
tegakan dibagi dua tipe, yaitu struktur tegakan horizontal dan vertikal. Struktur
tegakan vertikal merupakan sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk,
sedangkan struktur tegakan horizontal merupakan sebaran pohon pada berbagai
kelas diameter. Secara matematis struktur tegakan horizontal dapat dikatakan
sebagai hubungan fungsional antara diameter (D) dengan jumlah pohon (N) pada
satuan luas tertentu yang dapat dinyatakan sebagai N = f(D). Struktur tegakan
mempunyai bentuk yang khas untuk setiap tempat tumbuh, setiap jenis tegakan
dan keadaan tegakan (Suhendang 1985).
Persamaan matematika merupakan suatu model struktur tegakan yang dapat
menggambarkan pola struktur tegakan sesuai dengan hasil pengukuran di
lapangan. Persamaan matematika dalam penelitian ini disusun menggunakan
fungsi eksponensial negatif yang jika disajikan dalam bentuk kurva akan
membentuk huruf J-terbalik. Persamaan tersebut sederhana tetapi cukup baik
menjelaskan hubungan jumlah pohon per hektar dengan diameter pohon. Hal
tersebut dibuktikan dengan penggunaan fungsi eksponensial negatif dalam analisis
data penelitian lainnya. Persamaan matematika dalam penelitian ini disusun
berdasarkan tipe hutan dan kelompok jenis.
Kriteria penerimaan persamaan matematika adalah koefisien determinasi
(R2) lebih besar dari 0.5 dan p-value lebih kecil dari 0.05 (Muhdin 2012).
Persamaan matematika untuk struktur tegakan pada hutan primer dan hutan
sekunder masing-masing adalah N = 370.3 exp(-0.06D) dan N = 472.9 exp(0.06D). Nilai tetapan dalam persamaan ditentukan menggunakan analisis regresi
pada Tabel 3. Hasil perhitungan menunjukkan nilai R2 pada kedua tipe hutan
masing-masing sebesar 0.93 dan 0.97 dengan p-value sebesar 0.00 yang berarti
persamaan matematika untuk hutan primer dan hutan sekunder dapat diterima.
Nilai R2 tersebut menunjukkan diameter mempengaruhi kerapatan pohon sebesar
persentase nilai tersebut. Persamaan matematika yang diperoleh dapat dikatakan
baik karena memiliki niai R2 lebih dari 0.70. Struktur tegakan hutan sekunder
lebih baik dibandingkan hutan primer. Hal ini terlihat dari nilai R2 yang lebih
tinggi, sehingga kecocokan model dikatakan lebih baik dengan nilai R2 semakin
mendekati 1.
Tabel 3 Statistik persamaan matematika untuk struktur tegakan pada setiap tipe
hutan
Tegakan
Hutan Primer
Hutan Sekunder

N0
370.2951
472.8964

K

R2

-0.06082
-0.06598

0.932291
0.973684

F-hit

p-value

110.1525 0.00000591
258.9965 0.000000869

Nilai tetapan N0 yang kecil menunjukkan jumlah pohon berdiameter 10 – 40
cm yang sedikit, sebaliknya N0 yang besar menunjukkan jumlah pohon

10

300
250
N = 370.3 exp(-0.06D)
R² = 0.93

200
150
100
50

Jumlah pohon (ind/ha)

Jumlah pohon (ind/ha)

berdiameter kecil yang banyak (Muhdin et al 2008). Hasil pengukuran di lapang
menunjukkan hutan primer memiliki permudaan yang lebih besar dibandingkan
hutan sekunder. Namun persamaan matematika menunjukkan hutan sekunder
memiliki nilai N0 yang lebih besar yang berarti hutan sekunder memiliki
permudaan yang lebih baik dibanding hutan primer. Hal tersebut dikarenakan
dalam penyusunan persamaan matematika yang digunakan adalah nilai rata-rata,
sehingga nilai yang besar namun merupakan pencilan tidak berpengaruh mutlak
terhadap persamaan tersebut. Nilai k mengindikasikan penurunan jumlah pohon
pada setiap kenaikan diameter pohon. Semakin kecil nilai k maka penurunan
jumlah pohon semakin sedikit (melandai). Tetapan k pada hutan primer dan hutan
sekunder bernilai sama yaitu -0.06. Muhdin et al. (2008) menyatakan tipe tegakan
diduga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan termasuk kecepatan
pemulihan diri tegakan setelah mengalami gangguan yaitu perlakuan penebangan.
Artinya, hutan sekunder dengan nilai N0 besar dan k kecil merupakan tipe tegakan
yang memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan dan kecepatan pemulihan tegakan
yang tergolong tinggi.
Kondisi masing-masing tegakan berdasarkan N0 dan k dapat dilihat pada
Gambar 4. Kurva struktur tegakan menggambarkan huruf J-terbalik dan
menunjukkan kedua tipe tegakan tersebar proporsional pada setiap kelas diameter.
Trendline kurva pada kedua tipe tegakan relatif sama dan tidak telalu curam
(Gambar 5). Garis yang hampir berhimpit menunjukkan bahwa kondisi hutan
sekunder mendekati kondisi hutan primer. Hal ini dikarenakan jenis pohon yang
menjadi komoditi penebangan hanya jenis merbau sehingga kondisi tegakan
secara keseluruhan pada hutan sekunder dan hutan primer tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Kesesuaian titik dengan trendline lebih terlihat pada
kurva struktur tegakan hutan sekunder, hal ini diindikasikan dengan nilai R2 yang
lebih tinggi.
300
250
N = 472.9 exp(-0.06D)
R² = 0.97

200
150
100
50
0

0
0

20

40 60 80
Diameter (cm)

(a)

100 120

0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

(b)

Gambar 3 Kurva struktur tegakan pada setiap tipe hutan, (a) hutan primer, (b)
hutan sekunder

11
Jumlah pohon (ind/ha)

300
250
200
150
100
50
0
0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

Gambar 4 Perbandingan kurva struktur tegakan pada setiap tipe hutan, hutan
primer ( ) dan hutan sekunder ( - - -)
Persamaan matematika selanjutnya berdasarkan kelompok jenis pada setiap
tipe hutan. Persamaan matematika untuk kelompok jenis meranti dan rimba
campuran pada hutan primer masing-masing adalah N = 339.8 exp(-0.08D) dan
N = 362.4 exp(-0.08D), sedangkan pada hutan sekunder masing-masing adalah N
= 137.9 exp(-0.06D) dan N = 229.7 exp(-0.06D). Persamaan untuk kedua
kelompok jenis pada setiap tipe hutan tersebut dapat diterima. Hal ini
diindikasikan dengan nilai R2 yang lebih dari 0.5. Nilai R2 untuk kelompok jenis
meranti hutan primer adalah 0.90, sedangkan pada hutan sekunder sebesar 0.92.
Nilai R2 yang lebih tinggi menunjukkan persamaan matematika memiliki
kecocokan model yang lebih baik, karena semakin mendekati 1. Persamaan
matematika kelompok jenis meranti hutan sekunder dapat dikatakan memilki
tingkat kecocokan model yang lebih tinggi untuk menduga kerapatan pohon. Nilai
p-value kelompok jenis meranti hutan primer dan hutan sekunder kurang dari 0.05
yaitu masing-masing sebesar 0.0003 dan 0.00004. Hal ini menunjukkan
persamaan tersebut dapat diterima dengan penurunan jumlah pohon untuk setiap
kenaikan diameter yang lebih besar pada hutan primer. Kelompok jenis rimba
campuran hutan primer memiliki nilai R2 sebesar 0.96 dengan p-value sebesar
0.0001, sedangkan nilai R2 pada hutan sekunder sebesar 0.98 dengan p-value
sebesar 0.000001. Persamaan matematika kelompok jenis rimba campuran hutan
sekunder memiliki kecocokan dalam menduga kerapatan pohon lebih besar
dibandingkan pada hutan primer. Penurunan jumlah pohon untuk kenaikan
diameter pada kelompok jenis rimba campuran hutan primer lebih besar
dibandingkan pada hutan sekunder. Hasil menunjukkan kelompok jenis meranti
dan rimba campuran masing-masing memiliki nilai R2 yang lebih tinggi pada tipe
hutan sekunder dibandingkan pada hutan primer. Hal ini berarti persamaan
matematika yang disusun untuk kedua kelompok jenis pada hutan sekunder
memiliki kecocokan yang lebih tinggi dalam menduga kerapatan pohon
dibandingkan dengan persamaan matematika pada hutan primer.
Nilai N0 untuk kelompok jenis meranti pada hutan primer lebih besar
dibandingkan pada hutan sekunder. Hal ini menunjukkan kelompok jenis meranti
hutan primer lebih memiliki permudaan dibanding meranti hutan sekunder. Nilai k
untuk persamaan matematika kelompok jenis meranti hutan primer sebesar -0.08,
sedangkan pada hutan sekunder sebesar -0.06. Nilai k kelompok jenis meranti
hutan primer lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder yang berarti kelompok
jenis meranti hutan sekunder memiliki penurunan jumlah pohon untuk kenaikan

12
diameter yang lebih sedikit. Kelompok jenis rimba campuran memiliki nilai N0
pada hutan primer dan hutan sekunder masing-masing sebesar 362.4 dan 229.7.
Nilai tersebut menunjukkan kelompok jenis rimba campuran hutan primer
memiliki permudaan yang lebih besar dibandingkan rimba campuran hutan
sekunder. Nilai k kelompok jenis rimba campuran hutan primer lebih besar dari
rimba campuran hutan sekunder, yaitu masing-masing sebesar -0.08 dan -0.06.
Sama halnya dengan kelompok jenis meranti, kelompok jenis rimba campuran
memiliki penurunan jumlah pohon untuk kenaikan diameter yang lebih banyak
yaitu pada hutan primer. Hasil menunjukkan nilai k untuk kelompok jenis meranti
dan rimba campuran pada masing-masing tipe hutan adalah sama. Statistika
persamaan matematika disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Statistik persamaan matematika untuk struktur tegakan pada setiap
kelompok jenis
Tipe
Hutan
Hutan
Primer

Hutan
Sekunder

Kelompok Jenis
Merbau
Meranti
Rimba
Campuran
Kayu Indah
Merbau
Meranti
Rimba
Campuran
Kayu Indah

N0
339.798

K

R2

F-hit

p-value

0.567
-0.07981 0.901479 54.90049

0.000311

362.3728

-0.08339 0.956722

110.533

0.000134

137.9497

0.899
-0.05897 0.923883 84.96337

0.0000365

229.7063

-0.06294 0.983092 348.8542 0.00000152

3.26623

-0.02354 0.730763 10.85678

0.030075

Persamaan matematika menggunakan fungsi eksponensial negatif pada
kelompok jenis merbau dan kayu indah baik pada hutan primer maupun hutan
sekunder sulit untuk disusun. Hal tersebut dikarenakan sebaran pohon yang
kurang merata dan jumlah pohon yang sedikit pada kelompok jenis tersebut.
Kelompok jenis merbau merupakan kelompok jenis dengan jumlah pohon yang
paling sedikit dan tidak tersebar merata pada setiap kelas diameter. Persamaan
matematika untuk merbau dan kayu indah pada hutan primer disusun
menggunakan fungsi polynomial. Persamaan polynomial merupakan persamaan
dengan satu atau lebih peubah yang tidak diketahui dalam bentuk pangkat dan
dikalikan dengan koefisien. Persamaan ini paling cocok untuk menduga kerapatan
pohon pada kelompok jenis merbau hutan primer dan kayu indah hutan primer.
Kedua persamaan ini dapat diterima, karena masing-masing memiliki nilai R2
sebesar 0.57 dan 0.90. Namun persamaan matematika untuk kelompok jenis
merbau hutan primer belum dapat dikatakan baik untuk menduga kerapatan pohon
karena memiliki nilai R2 kurang dari 0.70. Persamaan matematika kelompok jenis
kayu indah hutan sekunder dapat disusun menggunakan fungsi eksponensial
negatif. Persamaan tersebut tergolong cukup baik dengan nilai R2 sebesar 0.73.
Nilai p-value dalam persamaan ini kurang dari 0.05 yaitu sebesar 0.03 sehingga
dengan nilai-nilai tersebut menunjukkan persamaan dapat diterima. Sedangkan
untuk kelompok jenis merbau hutan sekunder tidak dapat disusun persamaan

13

8
N = -5E-05D3 + 0.009D2 - 0.500D
+ 7.886
R² = 0.57

6
4
2
0
0

20

40
60
80
Diameter (cm)

100

120

Jumlah pohon (ind/ha)

Jumlah pohon (ind/ha)

matematikanya karena jumlahnya yang sedikit yaitu 3 individu pohon dan tidak
tersebar merata sehingga tidak dapat menggambarkan suatu struktur tegakan.
Kelompok jenis kayu indah hutan sekunder memiliki nilai N0 sebesar 3.266 yang
berarti kelompok jenis ini kurang memiliki permudaan. Sedangkan nilai k
kelompok jenis kayu indah hutan sekunder menunjukkan penurunan jumlah pohon
untuk setiap kenaikan diameter sebesar -0.02.
8

Tidak memenuhi
syarat untuk dibuat
kurvanya.

6
4
2
0
0

(a) hutan primer

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

(b) hutan sekunder

Jumlah pohon (ind/ha)

Gambar 5 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis merbau, (a) hutan primer
dan (b) hutan sekunder
8
6
4
2
0
0

20

40
60
80
Diameter (cm)

100

120

Gambar 6 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis merbau, (
hutan primer dan (- - -) hutan sekunder

)

Kurva struktur tegakan kelompok jenis merbau hutan primer disusun
menggunkan fungsi polynomial. Fungsi ini merupakan model yang paling cocok
untuk menduga kerapatan jenis merbau pada hutan primer dibandingkan dengan
fungsi eksponensial negatif. Kurva struktur tegakan untuk kelompok jenis merbau
hutan sekunder tidak dapat disusun kerana hasil analisis data yang diperoleh tidak
memenuhi syarat untuk terbentuknya kurva. Jumlah individu kolompok jenis
merbau hutan sekunder pada kelas diameternya sama sehingga tidak ada variabel
yang dapat digunakan untuk menduga kerapatan pohon. Kurva struktur tegakan
kelompok jenis merbau pada hutan primer dan hutan sekunder masing-masing
dapat dilihat pada Gambar 6.

300

Jumlah pohon (ind/ha)

Jumlah pohon (ind/ha)

14
250
N = 339.8 exp(-0.08D)
R² = 0.90

200
150
100
50
0

300
250
N = 137.9 exp(-0.06D)
R² = 0.92

200
150
100
50
0

0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

Jumlah pohon (ind/ha)

(a) hutan primer
(b) hutan sekunder
Gambar 7 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis meranti, (a) hutan primer
dan (b) hutan sekunder
300
250
200
150
100
50
0
0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

Gambar 8 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis meranti,
( ) hutan primer dan (- - -) hutan sekunder

300
250
200

N = 362.3 exp(-0.08D)
R² = 0.96

150
100
50
0

Jumlah pohon (ind/ha)

Jumlah pohon (ind/ha)

Kelompok jenis meranti hutan primer dan meranti hutan sekunder dapat
membentuk kurva struktur tegakannya dengan fungsi eksponensial negatif. Kurva
struktur tegakan kelompok jenis meranti hutan primer lebih curam dibandingkan
meranti hutan sekunder (Gambar 9). Hal tersebut menunjukkan tingkat permudaan
meranti pada hutan primer lebih tinggi dibandingkan pada hutan sekunder. Kurva
menggambarkan garis yang saling berhimpit pada diameter besar. Garis yang
berhimpit menunjukkan kondisi kelompok jenis meranti pada kedua tipe hutan
hampir sama.
300
250
200

N = 229.7 exp(-0.06D)
R² = 0.98

150
100
50
0

0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

(a) hutan primer
(b) hutan sekunder
Gambar 9 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis rimba campuran, (a)
hutan primer dan (b) hutan sekunder

Jumlah pohon (ind/ha)

15
300
250
200
150
100
50
0
0

20

40 60 80
Diameter (cm)

100 120

Gambar 10 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis rimba
campuran, ( ) hutan primer dan (- - -) hutan sekunder

8
6

N = -4E-05D3 + 0.008D2 - 0.570D
+ 11.75
R² = 0.90

4
2
0

Jumlah pohon (ind/ha)

Jumlah pohon (ind/ha)

Kurva struktur tegakan kelompok jenis rimba campuran pada hutan primer
dan hutan sekunder disusun menggunakan fungsi eksponensial negatif (Gambar
10). Kurva menunjukkan tingkat permudaan kelompok jenis rimba campuran
lebih tinggi berada pada hutan primer. Kurva struktur tegakan kelompok jenis
rimba campuran pada kedua tipe hutan hampir berhimpit. Hal tersebut
menunjukkan kelompok jenis rimba campuran tidak mengalami perubahan yang
signifikan pasca penebangan, atau dapat dikatakan bahwa kurun waktu 2 tahun
pasca penebangan dapat mengembalikan kondisi kelompok jenis rimba campuran
hutan sekunder menyerupai kondisi kelompok jenis rimba campuran hutan primer.
8
6

N = 3.266 exp(-0.02D)
R² = 0.73

4
2
0

0

20

40
60
80
Diameter (cm)

100

120

0

20

40
60
80
Diameter (cm)

100

120

Jumlah pohon (ind/ha)

(a) kayu indah hutan primer
(b) kayu indah hutan sekunder
Gambar 11 Kurva struktur tegakan pada kelompok jenis kayu indah, (a) hutan
primer dan (b) hutan sekunder
8
6
4
2
0
0

20

40
60
80
Diameter (cm)

100

120

Gambar 12 Perbandingan kurva struktur tegakan pada kelompok jenis kayu indah,
( ) hutan primer dan (- - -) hutan sekunder

16
Kurva struktur tegakan kelompok jenis kayu indah hutan primer terbentuk
dari fungsi polynomial. Jumlah pohon yang mengalami penurunan dan kenaikan
yang tidak konstan menjadikan fungsi ini lebih cocok untuk digunakan.
Kecocokan tersebut dapat ditunjukkan oleh nilai R2 yang diperoleh. Kurva
struktur tegakan kelompok jenis kayu indah hutan sekunder disusun menggunakan
fungsi eksponensial negatif. Kelompok jenis kayu indah hutan sekunder memiliki
permudaan yang paling sedikit. Kurva struktur tegakan kayu indah hutan sekunder
memotong kurva struktur tegakan kayu indah hutan primer di 2 titik. Hal tersebut
menunjukkan pada diameter tertentu kondisi kelompok jenis kayu indah hutan
sekunder hampir sama dengan kondisi kelompok jenis kayu indah hutan primer.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Struktur tegakan horizontal hutan primer pada areal kerja IUPHHK-HA
PT.WMT-II memiliki persamaan matematika N = 370.3 exp(-0.06D) dengan
R2 = 0.93, sedangkan persamaan matematika untuk struktur tegakan hutan
sekunder adalah N = 472.9 exp(-0.06D) dengan R2 = 0.97.
2. Persamaan matematika struktur tegakan horizontal untuk setiap kelompok
jenis adalah sebagai berikut:
a. Kelompok jenis Merbau hutan primer yaitu N = -5E-05D3 + 0.009D2 0.500D + 7.886 sedangkan untuk merbau hutan sekunder tidak diperoleh
persamaan matematikanya.
b. Kelompok jenis meranti hutan primer yaitu N = 339.8 exp(-0.08D),
sedangkan meranti hutan sekunder yaitu N = 137.9 exp(-0.06D).
c. Kelompok jenis rimba campuran hutan primer yaitu N = 362.4 exp(0.08D), sedangkan rimba campuran hutan sekunder yaitu N = 229.7 exp(0.06D)
d. Kelompok jenis kayu indah hutan primer dan hutan sekunder masingmasing adalah N = -4E-05D3 + 0.008D2 - 0.570D + 11.75 dan N = 3.266
exp(-0.02D).
3. Kecocokan persamaan matematika paling tinggi adalah kelompok jenis rimba
campuran hutan sekunder. Secara umum, persamaan matematika struktur
tegakan horizontal hutan sekunder memiiki hubungan bentuk yang lebih kuat
antar variabel yang dibandingkan dengan hutan primer. Hal ini diindikasikan
dengan nilai R2 sebesar 0.73 – 0.98, sedangkan hutan primer sebesar 0.57 –
0.93.
Saran
1. Perlu dilakukan penanaman untuk membantu regenerasi tegakan. Penanaman
perlu diutamakan untuk jenis Merbau karena jenis tersebut merupakan
komoditas utama di PT. WMT-II.
2. Perlu adanya pemeliharaan dan perhitungan riap secara berkala terhadap
tamanan yang ditaman dalam kegiatan rehabilitasi tegakan.

17

DAFTAR PUSTAKA
[BPPHP Wilayah XVII Jayapura] Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
Wilayah XVII Jayapura. 2010. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan
Produksi Wilayah XVII Jayapura Tahun 2010 [Internet]. [diunduh 2014 Jun
28]. Tersedia pada: http://www.dephut.go.id/.../StatistikBPPHPWilayahXVII
Jayapura_2010.pdf.
[BPSDALH Provinsi Papua] Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup Provinsi Papua. 2012. Potensi Kehutanan [Internet].
[diunduh 2014 Jun 28]. Tersedia pada: http://bapesdalh.papua.go.id/potensi/15/
potensi-kehutanan.htm
Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
Ermayani E. 2000. Studi Model Struktur Tegakan dan Prospek Pertumbuhan
Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan (Studi Kasus di HPH PT. Dwimajaya
Utama Provinsi Kalimantan Tengah) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan
IPB.
Muhdin. 2012. Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur untuk
Pengaturan Hasil Hutan Kayu Berdasarkan Jumlah Pohon (Kasus pada Areal
Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering di
Kalimantan) [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB
Muhdin, Suhendang E, Wahjono D, Purnomo H, Istomo, Simangunsong BCH.
2008. Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Sekunder. J Man Hut Trop
(2): 81-87.
[PT.WMT-II] PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II. 2012. Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam. Papua (ID): Tidak Diterbitkan.
Suhendang E. 1985. Studi Persamaan Matematika Untuk Struktur Tegakan Hutan
Hujan Tropika Dataran Rendah di Bengkunat Provinsi Daerah Tingkat I
Lampung [Tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

18
Lampiran 1 Hasil analisis regresi untuk hutan alam
Regression Statistics
Multiple R
0.97
R Square
0.93
Adjusted R
Square
0.92
Standard Error
0.53
Observations
10.00
ANOVA
Df
1
8
9

SS
30.51
2.22
32.73

Coefficients
5.91
-0.06

Standard
Error
0.39
0.01

Regression
Residual
Total

Intercept
X Variable 1

MS
30.51
0.28

F
110.15

t Stat
15.34
-10.50

P-value
0.00
0.00

Significance F
0.00

Lower Upper Lower Upper
95%
95% 90.0% 90.0%
5.03
6.80
5.20
6.63
-0.07 -0.05 -0.07 -0.05

lnN = ln5.91 – 0.06D
Lampiran 2 Hasil analisis regresi untuk hutan sekunder
Regression Statistics
Multiple R
R Square
Adjusted R
Square
Standard Error
Observations

0.99
0.97
0.97
0.32
9.00

ANOVA
Df
Regression
Residual
Total

1
7
8

SS
26.12
0.71
26.83

MS
26.12
0.10

Coefficients

Standard
Error

t Stat

6.16
-0.06

0.25
0.00

24.72
-16.09

Intercept
X Variable 1

lnN = ln6.16 – 0.06D

F
259.00

Significance F
0.00

Pvalue

Lower
95%

Upper
95%

Lower
90.0%

Upper
90.0%

5.57
-0.08

6.75
-0.06

5.69
-0.07

6.63
-0.06

0.00
0.00

19
Lampiran 3 Hasil analisis regresi kelompok jenis meranti pada hutan primer
Regression Statistics
Multiple R
R Square
Adjusted R Square
Standard Error
Observations

0.95
0.90
0.89
0.76
8.00

ANOVA
Df
Regression
Residual
Total

SS
31.77
3.47
35.24

1
6
7

MS
31.77
0.58

Coefficients

Standard
Error

t Stat

Pvalue

5.83
-0.08

0.61
0.01

9.49
-7.41

0.00
0.00

Intercept
X Variable 1

F
54.90

Significance F
0.00

Lower Upper Lower Upper
95%
95% 90.0% 90.0%
4.33
-0.11

7.33
-0.05

4.64
-0.10

7.02
-0.06

ln N = ln 5.83 – 0.08D

Lampiran 4 Hasil analisis regresi kelompok jenis meranti pada hutan sekunder
Regression Statistics
Multiple R
R Square
Adjusted R Square
Standard Error
Observations

0.96
0.92
0.91
0.50
9.00

ANOVA
Df
Regression
Residual
Total

SS
20.86
1.72
22.58

1.00
7.00
8.00

MS
20.86
0.25

Coefficients

Standard
Error

t Stat

Pvalue

4.93
-0.06

0.39
0.01

12.68
-9.22

0.00
0.00

Intercept
X Variable 1

lnN = ln 4.93 – 0.06D

F
84.96

Significance F
0.00

Lower Upper Lower Upper
95%
95% 90.0% 90.0%
4.01
-0.07

5.85
-0.04

4.19
-0.07

5.66
-0.05

20
Lampiran 5 Hasil analisis regresi kelompok jenis rimba campuran pada hutan
primer
Regression Statistics
Multiple R
R Square
Adjusted R Square
Standard Error
Observations

0.98
0.96
0.95
0.42
7.00

ANOVA
Df
Regression
Residual
Total

Intercept
X Variable 1

SS
MS
F
19.47 19.47 110.53
0.88 0.18
20.35

1
5
6

Coefficients

Standard
Error

5.89
-0.08

0.39
0.01

t Stat
15.09
-10.51

Pvalue
0.00
0.00

Significance F
0.00

Lower Upper Lower Upper
95%
95% 90.0% 90.0%
4.89
-0.10

6.90
-0.06

5.11
-0.10

6.68
-0.07

ln N = ln 5.89 – 0.08D
Lampiran 6 Hasil analisis regresi kelompok jenis rimba campuran pada hutan
sekunder
Regression Statistics
Multiple R
R Square
Adjusted R Square
Standard Error
Observations

0.99
0.98
0.98
0.22
8.00

ANOVA
Df
Regression
Residual
Total

Intercept
X Variable 1

SS
MS
F
16.64 16.64 348.85
0.29 0.05
16.93

1
6
7

Coefficients

Standard
Error

5.44
-0.06

0.19
0.00

ln N = ln 5.44 – 0.06D

t Stat
29.33
-18.68

Pvalue
0.00
0.00

Significance F
0.00

Lower Upper Lower Upper
95%
95% 90.0% 90.0%
4.98
-0.07

5.89
-0.05

5.08
-0.07

5.80
-0.06

21
Lampiran 7 Hasil analisis regresi kelompok jenis kayu indah pada hutan sekunder
Regression Statistics
Multiple R
R Square
Adjusted R Square
Standard Error
Observations

0.85
0.73
0.66
0.35
6.00

ANOVA
df
Regression
Residual
Total

Intercept
X Variable 1

1
4
5

SS
1.29
0.48
1.77

MS
1.29
0.12

Coefficients

Standard
t Stat
Error

Pvalue

1.18
-0.02

0.33 3.59
0.01 -3.29

0.02
0.03

ln N = ln 1.18 – 0.02D

F
10.86

Significance F
0.03

Lower Upper Lower Upper
95%
95% 90.0% 90.0%
0.27
-0.04

2.10
0.00

0.48
-0.04

1.89
-0.01

22
Lampiran 8 Jenis pohon di areal kerja PT Wapoga