Kemampuan Ekastrak Dedaunan Berpotensi Antioksidan untuk Memodulasi Apoptosis pada Sel Khamir

KEMAMPUAN EKSTRAK DEDAUNAN BERPOTENSI
ANTIOKSIDAN UNTUK MEMODULASI APOPTOSIS PADA
SEL KHAMIR

ALGIANSYAH

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

ABSTRAK

ALGIANSYAH. Kemampuan Ekstrak Dedaunan Berpotensi Antioksidan untuk
Memodulasi Apoptosis pada Sel Khamir. Dibawah bimbingan I MADE ARTIKA,
SURYANI dan SULISTIYANI.

Salah satu penyebab terjadinya gangguan kardiovaskuler adalah aterosklerosis.
Beberapa tanaman obat yang dianggap berkhasiat mengobati penyakit
kardiovaskuler adalah daun Jambu Biji, daun Jati Belanda dan daun Salam.

Apoptosis terjadi dalam perkembangan lesi aterosklerosis. Oleh karena itu tujuan
penelitian ini adalah untuk menentukan kemampuan ketiga ekstrak tanaman
tersebut dalam memodulasi apoptosis. Untuk itu digunakan sel khamir sebagai
model yang akan mengecil (menjadi petit) ketika mengalami apoptosis.
Sel khamir yang telah dikultur dalam media YEPD cair dan media Petit cair
diinkubasi dengan ekstrak ketiga tanaman tersebut dengan konsentrasi 50 ppm,
100 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, dan 2000 ppm. Pada hari ke–3 dan ke–4 sel–sel
disebar pada media YEPD padat dan media Petite padat, kemudian dihitung
frekuensi petitnya dengan penghitungan koloni langsung.
Ekstrak yang paling berpotensi memacu apoptosis adalah ekstrak daun Salam
100 ppm 1000 ppm dan 2000 ppm dengan frekuensi petite sebesar 91.99%,
97.90% dan 94.45%. Sedangkan pada perlakuan dengan ekstrak yang lain tidak
terbentuk koloni petit. Ekstrak yang berpotensi menghambat apoptosis adalah
ekstrak daun Jambi Biji 100 ppm.

ABSTRACT

ALGIANSYAH. The Capability of Several Leaves Extracts with Antioxidant
Potency to Modulate Apoptosis in Yeast Cells. Under the direction of I MADE
ARTIKA, SURYANI dan SULISTIYANI.


One of the causes of cardiovascular disease is atherosclerosis. Some of medicinal
herbs extracts which are reported to have anti atherosclerotic property are Guava
leaves extract, Jati Belanda leaves extract, and Salam leaves extract. Apoptosis
occures in atherosclerosis lesions intima. So this research is to determine that the
capability of some herbal extracts to modulate apoptosis in yeast cells. For that
purpose, yeast cells are used as model, as they will become small colonies (petite
colonies) when apoptosis is induced.
Yeast cells were incubated into 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 1000 ppm, and 2000
ppm of each extracts, previously had been enriched in sterile YEPD and Petite Broth.
On day 3 and 4, yeast cells were spread into YEPD and Petite media, and then petite
frequency was counted directly from the plate.
Promising extract for apoptosis stimulation on yeast cells is the 100 ppm Salam
leaves extracts has petite frequency of 97.90%, whereas the 1000 ppm and 2000 ppm
petite frequency are respectively 94.45% and 91.99%. No petite colony was formed
on other extracts. Guava leaves extracts at 100 ppm inhibits apoptosis on yeast cells.

KEMAMPUAN EKSTRAK DEDAUNAN BERPOTENSI
ANTIOKSIDAN UNTUK MEMODULASI APOPTOSIS PADA
SEL KHAMIR


ALGIANSYAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Judul Skripsi : Kemampuan Ekstrak Dedaunan Berpotensi Antioksidan Untuk
Memodulasi Apoptosis Pada Sel Khamir.
Nama
: Algiansyah
NIM
: G44101023


Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc.
Ketua

Drh. Sulistiyani, M.Sc, Ph.D
Anggota

Dr. Suryani, M.Sc
Anggota

Diketahui

Dr. drh. Hasim, DEA
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Tanggal Lulus :


PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, zat yang maha
menguasai ilmu karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya karya ilmiah ini dapat
diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu
penulis ketika penelitian dan menyusun karya ilmiah ini, antara lain kepada Bapak
Dr Ir. I Made Artika, M.App.Sc, Ibu Dr. Suryani dan Ibu drh. Sulistiyani, MSc
PhD yang dengan sabarnya telah memberikan banyak arahan dan bimbingan
kepada penulis. Kedua orang tua beserta keluarga yang selalu menjadi motivasi
bagi penulis dan selalu mengiringi penulis dengan doa yang tulus. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada para staf Laboratorium Biokimia yang telah
membantu menyediakan dan mengoperasikan peralatan. Di samping itu, terima
kasih penulis juga ucapkan kepada Mbak Lusiana yang banyak membantu secara
teknis, Mbak Retno dari departemen Biologi yang telah mengizinkan penulis
menggunakan mikroskop Olympus CX40, Pusat Studi Biofarmaka IPB yang telah
menyediakan ekstrak-ekstrak kasar, rekan-rekan Biokimia 39 untuk kebersamaan
selama ini, dan juga teman-teman seperjuangan di asrama IPB Sukasari yang telah
banyak membantu penulis secara materiil dan moril pada saat penelitian.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan karya ilmiah ini.
Akhirnya penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2009

Algiansyah

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangkal Pinang pada tanggal 26 Februari 1983 dari ayah
Syahruddin dan ibu Rokia Timala.
Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN No. 63 Pangkal
Pinang pada tahun 1995. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan penulis
di SLTPN 7 Pangkal Pinang pada tahun 1998. Penulis menyelesaikan pendidikan
tingkat menengah umum di SMUN 1 Pangkal Pinang pada tahun 2001 dan pada
tahun yang sama diterima di Program Studi Biokimia IPB melalui jalur USMI.
Penulis pernah mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah
menjadi anggota Badan Kerohanian Islam Mahasiswa, Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas MIPA dan Dewan Keluarga Masjid Al Ghifari pada tahun
2001–2002 .

Selama kuliah, penulis juga aktif di kepanitiaan antara lain Matematika Ria,
Pesta Sains, dan Magical Chemistry. Pada bulan Juli–Agustus penulis melakukan
praktik lapang di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Selain itu
penulis juga pernah menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Kimia Dasar II
untuk S1 Kimia, Kimia Organik untuk TPB (Tingkat Persiapan Bersama), Kimia
Organik I dan Kimia Organik II untuk S1 Biokimia.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... x
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Apoptosis ....................................................................................................
Khamir (Saccharomyces cerevisiea) ..........................................................
Prion PSI ....................................................................................................
Salam (Eugenia polyantha Wight.) ............................................................
Jambu Biji (Psidium guajava L.) ...............................................................
Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) ..................................................


2
3
3
5
5
6

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan .......................................................................................... . 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Ekstrak Terhadap Viabilitas ....................................................... 8
Pengaruh Ekstrak Terhadap Pembentukan Koloni Petit ............................ 8
Pengamatan Mikroskopik ........................................................................... 11
Perbandingan Sel Khamir Normal dan Petit serta Dugaan Terbentuknya
Prion PSI Pada Khamir .............................................................................. 11
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 13
LAMPIRAN ........................................................................................................... 16

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Sel khamir yang mengalami apoptosis: a. SEM (Scanning Electron
Micrograph), b. TEM (Transmission Electron Micrograph) (Granot
2003) ............................................................................................................

3

Sel khamir: a. koloni, b. pengamatan mikroskopik, c. diagram sel
khamir ..........................................................................................................

3

Sel khamir yang terinduksi prion: a. prion PSI+, b. prion psi-, c. model 3
dimensi komputer grafis struktur β-amiloid protein prion, d. diagram
protein Sup35 (True dan Lindquist 2000) ...................................................

5


4

Salam: a. pohon, b. buah .............................................................................

5

5

Jambu Biji: a. pohon, b. buah ......................................................................

6

6

Jati Belanda: a. pohon, b. bunga ..................................................................

6

7


Koloni khamir: a. media YEPD, b. media Petite .........................................

8

8

Koloni petit yang terbentuk pada kontrol media dengan perlakuan
ekstrak daun Jambu Biji pada penyebaran hari ke-3 ................................... 10

9

Koloni petit yang terbentuk dengan perlakuan ekstrak daun Jati Belanda
pada kontrol glukosa untuk penyebaran hari ke-4 (a), kontrol media
pada penyebaran hari ke-3 (b) dan 4 (c) ...................................................... 10

2

3

10 Koloni petit yang terbentuk pada penyebaran hari ke-3 dengan perlakuan
ekstrak daun salam: a. 100 ppm, b. 1000 ppm dan c. 2000 ppm ................... 11
11 Sel khamir normal : a. dengan perlakuan dan b. tanpa perlakuan ............... 12
12 Sel khamir petit : a. dengan perlakuan dan b. tanpa perlakuan ................... 13
13 Koloni khamir normal tanpa perlakuan ....................................................... 13
14 Koloni prion PSI+ dan psi- (True dan Lindquist 2000) ............................... 13

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Koloni Khamir yang diberi perlakuan ekstrak Jambu Biji ......................... 17
2 Koloni Khamir yang diberi perlakuan ekstrak Jati Belanda ....................... 21
3 Koloni Khamir yang diberi perlakuan ekstrak Salam ................................. 25
4 Tahapan ekstraksi daun Jati Belanda .......................................................... 29
5 Tahapan ekstraksi daun Salam .................................................................... 30
6 Tahapan ekstraksi daun Jambu Biji ............................................................ 31

PENDAHULUAN
Pada masa modern ini, orang selalu
berlomba dengan waktu. Segalanya ingin
diselesaikan dalam waktu singkat dan praktis,
termasuk pola makan. Sehingga masyarakat
modern cenderung mengkonsumsi makanan
cepat saji yang mengandung lemak dan
kolesterol tinggi (Friedewalt 2007). Jumlah
lemak yang tinggi di dalam darah hingga
menyebabkan terbentuknya lesi (jaringan
yang abnormal karena rusak) aterosklerosis
tidak menunjukkan gejala hingga seumur
hidup karena lesi tersebut tetap stabil (tidak
berkurang maupun bertambah) atau hilang
akibat
mekanisme
perbaikan
dinding
pembuluh darah (Weinrauch dan Gandelman
2007). Namun bila orang tersebut beresiko
tinggi, lesi tersebut dapat memicu terjadinya
nekrosis hingga menjadi plak yang akhirnya
menjadi aterotrombosis akut akibat keping
darah yang bereaksi pada lesi (Tabas 2004).
Sejak tahun 1900an Aterosklerosis telah
menjadi penyebab utama kematian manusia di
negara industri (Friedewalt 2007).
Aterosklerosis (aterotrombosis) dipicu
oleh radikal bebas dimulai dengan kerusakan
pada lapisan sel endotel pembuluh darah yang
diikuti serangkaian reaksi lain yang
menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan
sekitarnya. Pada lesi aterosklerosis selalu
terbentuk sel busa (foam cells) akibat
akumulasi lipid terus-menerus dalam sel
makrofag pada pembuluh darah sehingga
terjadi lesi aterosclerosis dan diakhiri dengan
penyumbatan pembuluh darah hingga
mengakibatkan kematian pada jaringan yang
memerlukan nutrisi dan oksigen dari
pembuluh darah tersebut. Plak dapat pula
pecah dan ikut aliran darah hingga
menyumbat pembuluh darah di tempat lain.
Bila terjadi pada pembuluh darah yang
menyuplai otot jantung maka menyebabkan
serangan jantung mendadak karena sel otot
jantung rusak atau mati hingga menyebabkan
kematian. Bila terjadi pada pembuluh darah
yang menyuplai sel syaraf di otak maka akan
terjadi stroke yang dapat menyebabkan
kelumpuhan
sebelah
(Weinrauch
dan
Gandelman 2007).
Kematian sel dapat disebabkan oleh
nekrosis. Akhir-akhir ini banyak pakar
berpendapat bahwa apoptosis juga berperan
dalam kematian sel. Sebaliknya ada juga yang
melaporkan bahwa apoptosis juga berperan dalam
menghambat perkembangan lesi aterosklerosis
secara dini dengan mencegah terbentuknya sel
busa akibat terjadi apoptosis pada sel makrofag.

Akumulasi kolestrol bebas (tidak dalam
bentuk ester) dalam jumlah besar memicu
proses apoptosis pada sel makrofag akibat
terbukanya lipatan protein reseptor (Unfolded
Protein Response; UPR) pada membran
retikulum endoplasmanya (Tabas 2004).
Apoptosis
merupakan
mekanisme
kematian sel secara terprogram yang
melibatkan sejumlah transduksi sinyal yang
bekerja sama secara sinambung sehingga
menyebabkan perubahan morfologi sel dan
bahkan kematian sel.
Masyarakat yang masih menjalani pola
hidup tradisional jarang terserang penyakit
kardiovaskuler, salah satu penyebabnya
adalah mereka sering mengkonsumsi tanaman
obat dalam diet hariannya baik sebagai obat
maupun sebagai bumbu masakan ataupun
sebagai makanan. Berbagai tanaman obat
yang telah sering digunakan secara tradisional
untuk mengobati penyakit kardiovaskuler
memiliki aktivitas antioksidan yang mungkin
berkaitan dengan apoptosis sehingga dapat
digunakan
untuk
mengobati
penyakit
degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler.
Tanaman tersebut tidak hanya dimanfaatkan
sebagai obat, namun juga digunakan sebagai
bumbu masak (Asian Food 1998). Ekawati
(2007) melaporkan bahwa ekstrak etanol daun
salam memiliki aktivitas antioksidan, Alviani
(2007) melaporkan bahwa Jambu Biji
memiliki aktivitas antioksidan, sedangkan
Tombilangi (2004) dalam Martsolich (2007)
melaporkan bahwa daun Jati Belanda juga
memiliki
aktivitas
antioksidan.
Efek
terapeutik
yang
dilaporkan
beberapa
penelitian tersebut berasal dari senyawasenyawa aktif yang terkandung dalam
tanaman tersebut misalnya steroid, alkaloid,
flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid, dan
fenolik hidrokuinon. Namun efek terapeutik
terhadap penyakit kardiovaskuler masih
banyak dilatarbelakangi oleh pengalaman
empiris. Masih sedikit yang berdasarkan
pembuktian secara ilmiah.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
kemampuan ekstrak daun Jambu Biji (Psidium
guajava L.), daun Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.) dan daun Salam (Eugenia
polyantha Wight.) dalam memodulasi
apoptosis yang terjadi pada sel-sel khamir
(Saccharomyces
cerevisiae).
Hipotesis
penelitian ini adalah daun Jambu Biji
(Psidium guajava L.), daun Jati Belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk.) dan daun Salam
(Eugenia polyantha Wight.) memiliki
aktivitas
antioksidan
yang
mampu
memodulasi apoptosis pada sel khamir.

2

Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu menemukan tanaman herbal yang
mampu menjadi obat alami yang dapat
menyembuhkan beberapa penyakit dengan
menghambat apoptosis atau menjadi obat bagi
penyakit yang lain dengan memacu apoptosis,
misalnya kanker.

TINJAUAN PUSTAKA
Apoptosis
Apoptosis merupakan proses kematian
secara alami dan terprogram. Hal ini berbeda
dengan
nekrosis
yang
merupakan
penghancuran sel secara total. Secara
etimologi, apoptosis berasal dari kata Yunani
yang berarti gugur atau rontok yang memiliki
konotasi daun yang jatuh dari pohon.
Apoptosis terjadi ketika sel mengalami
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi,
terinfeksi virus, mengalami stress misalnya
kelaparan, kerusakan DNA akibat radiasi
ionisasi atau bahan kimia beracun, atau biasa
juga disebabkan aktivitas gen penekan tumor
dan radikal bebas.
Apoptosis berfungsi melenyapkan sel-sel
rusak atau sel-sel yang tidak dapat
menjalankan fungsinya, mencegah sel yang
mengalami kekurangan nutrien atau untuk
mencegah penularan virus. Apoptosis juga
berperan penting mencegah kanker. Jika suatu
sel gagal atau tidak mampu melakukan
apoptosis, ia akan terus membelah dan
berkembang menjadi tumor. Tumor terjadi
ketika jumlah sel tidak dapat dipertahankan
pada jumlah tetap. Apoptosis melibatkan
serangkaian kejadian biokimiawi melalui
transduksi
sinyal
yang
menyebabkan
perubahan ciri morfologis dan bahkan
kematian sel. Ciri morfologis yang diamati
ketika sel mengalami apoptosis adalah
pengerutan sel (pyknosis) fragmentasi inti sel,
kerusakan membran (karyorrhexis) dan bahkan
sel dapat pecah menjadi beberapa vesikel yang
disebut badan apoptosis (Gambar 1).
Proses apoptosis pada khamir dipicu dan
diatur oleh sejumlah sinyal sel yang dapat
berasal dari intraselular atau ekstraselular.
Sinyal-sinyal ekstraselular berupa hormon,
faktor petumbuhan, nitrit oksida (NO) dan
sitokin. Sinyal intraselular merupakan respon
dari terikatnya glukokortikoid (analog hormon
yang diproduksi adrenal manusia, terdiri dari
glukosa dan steroid) akibat panas, radiasi,
radikal bebas, kekurangan makanan, infeksi
virus, atau hipoksia. Sinyal-sinyal ini dapat

mencapai membran saja atau diteruskan ke
dalam sel tergantung letak reseptornya.
Sinyal-sinyal ini dapat menghambat maupun
memacu apoptosis. (Wikipedia 2007).
Sebelum peristiwa apoptosis sebenarnya
terjadi, sinyal apoptosis terhubung ke jalur
kematian aktual oleh beberapa protein regulator
yang disebut protein penyesuai. Mekanisme
pengaturan apoptosis terjadi di mitokondria,
tergantung dari akumulasi sinyal apoptosis di
mitokondria. Bila akumulasi sinyal apoptosis
meningkat maka sel akan mati, tapi bila
akumulasi sinyal menurun maka proses
apoptosis akan dibatalkan sehingga sel tidak
perlu mati (Weinberger et al. 2005).
Protein-protein ini terhubung dengan
mitokondria yang melanjutkan sinyal ini ke
mekanisme apoptosis melalui dua mekanisme.
Pertama, protein-protein penyesuai yang
meneruskan sinyal ke mitokondria. Sinyalsinyal
tersebut
dapat
menyebabkan
mitokondria
menggembung
dengan
membentuk pori pada membran mitokondria
atau meningkatkan permeabilitas membran
mitokondria
sehingga
molekul-molekul
efektor apoptosis merembes ke luar. Kedua,
sinyal-sinyal
tersebut
diteruskan
oleh
molekul-molekul efektor apoptosis ke nukleus
hingga menyebabkan kerusakan kromosom.
Molekul-molekul efektor apoptosis terdiri dari
SMACs
(Second
Mitochondria-derived
Activator of Caspases), sitokrom c, dan
sekelompok protein yang disandikan oleh
keluarga gen anti apoptosis. (Stoneman 2004).
Koloni khamir yang mengalami apoptosis
dapat dibedakan dari koloni normal. Koloni
yang mengalami apoptosis berubah menjadi
koloni petit disebabkan adanya disfungsi
mitokondria (kehilangan kemampuan respirasi
pada mitokondria) akibat proses apoptosis
sehingga laju pertumbuhan sel-sel khamir yang
mengalami apoptosis jauh lebih lambat dari selsel khamir normal (Madigan et al. 2000). Selsel khamir yang berubah menjadi koloni petit
memperoleh energi dari glikolisis (tidak
mampu
menggunakan
sumber
karbon
nonfermentabel), sedangkan sel-sel khamir
normal tidak hanya memperoleh energi dari
glikolisis, tetapi juga dari respirasi yang
merupakan penghasil 80% energi eukariot, oleh
karena itu bentuk koloni dan ukuran sel khamir
yang berubah menjadi koloni petit lebih kecil.
Apoptosis pada khamir sangat jarang terjadi
secara alami karena di alam jumlah glukosa
melimpah sehingga bukan merupakan faktor
pembatas
untuk
pertumbuhan
khamir.
Begitupula oksigen tidak bisa menjadi faktor
pembatas karena jumlahnya juga melimpah.

3

Khamir (Saccharomyces cerevisiae)
Khamir merupakan organisme eukariotik
yang bereproduksi secara aseksual melalui
pertunasan walaupun pada kasus tertentu
dapat berkembang biak dengan pembelahan
biner atau dengan memproduksi semacam
spora haploid untuk bereproduksi secara
seksual pada kondisi di bawah stress (Gambar
2) (Wikipedia 2006).
Nama khamir berasal dari bahasa Inggris
tua “gist” atau “gyst” dan dari akar kata IndoEropa ‘yes-“ yang berarti mendidih,
gelembung atau busa sesuai dengan busa pada
minuman hasil fermentasi atau gelembung
yang terdapat pada roti. Mungkin khamir
merupakan mikroorganisme pertama yang
digunakan manusia dalam kehidupannya.
(Wikipedia 2006).
Khamir
merupakan
organisme
kemoorganotrof, karena menggunakan senyawa
organik sebagai sumber energi dan tidak
membutuhkan cahaya untuk tumbuh. Sumber
utama karbonnya adalah gula heksosa seperti
glukosa dan fruktosa atau disakarida seperti
sukrosa dan maltosa. Khamir memetabolisme
gula menjadi alkohol dan asam-asam organik.
Khamir dapat menggunakan oksigen pernafasan
seluler (anaerob obligat) atau hanya
menggunakan sedikit oksigen (anaerob
fakultatif), namun tidak ada khamir yang hidup
secara anaerob obligat. Di laboratorium, khamir
dapat ditumbuhkan pada media tumbuh padat
maupun cair. Media yang biasa digunakan untuk
menumbuhkan khamir diantaranya Potato
Dextrose Agar (PDA) atau Potato Dextrose
Broth, Wellerstien Laboratories Nutrien agar
(WLN), Yeast Extract Peptone Dextrose agar
(YEPD) dan Yeast Mouls agar (YM) atau Yeast
Mouls broth (Wikipedia 2006).
Khamir penting bagi perkembangan
biologi sel dan genetika karena siklus selnya
sangat mirip siklus sel manusia. Karenanya
mekanisme selular dasarnya dapat digunakan
sebagai perbandingan sel manusia. Lagipula,
banyak protein yang penting pada manusia
ditemukan setelah mempelajari homolognya
pada khamir. Oleh karena itu, mekanisme
apoptosis pada sel manusia dapat dipelajari
dengan menggunakan Khamir sebagai model.
Prion PSI
Dalam penelitian ini ditemukan fenomena
yang tidak alami pada sel khamir. Pada
kondisi tertentu sel khamir dapat menginduksi
protein normalnya menjadi prion.

(a)

(b)

Gambar 1 Sel khamir yang mengalami
apoptosis: a. SEM (Scanning
Electron Micrograph), b. TEM
(Transmission Electron Micrograph)
(Granot 2003)

(a)

(b)

(c)

Gambar 2 Sel khamir: a. koloni, b. pengamatan
mikroskopik, c. diagram sel khamir
Prion ditemukan oleh Stanley B. Prusiner dari
University of Califonia, Chicago tahun 1982.
Prion merupakan partikel protein infektif yang
mampu memperbanyak diri dan menginfeksi
dengan melipat ulang protein normal menjadi
bentuk yang abnormal. Prion memiliki
struktur β-amiloid yang memungkinkan
semua monomernya tersusun rapat dalam
lipatan β (Derkatch et al. 1996; Schlumberger
et al. 2001; Bradley dan Liebman 2003 dalam
Park et al. 2006; Allen et al. 2006; dan
Scheibel et al. 2003). Struktur ini sangat stabil
sehingga prion resisten terhadap denaturasi
secara
fisik
maupun
kimia.
Prion
berakumulasi pada sitoplasma sel (Song et al.
2005). Prion menyebar melalui sitoduksi
(pembagian sitoplasma) ketika proses
pertunasan dan perkawinan (Wickner 1994;
King dan Diaz-Avaloz 2004; Tanaka et al.
2004 dalam Fan et al. 2007). Prion merupakan
penyebab dari beberapa jenis penyakit yang
mematikan dan belum dapat disembuhkan
pada hewan dan manusia, biasanya penyakit
yang menyerang system syaraf (Prusiner 2004
dalam Park et al. 2006; dan Prusiner 1998
dalam Fan et al. 2007).
Protein normal pada khamir yang
fungsional pada lingkungan normal, namun
pada kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan, protein tersebut berubah
strukturnya menjadi bentuk prion. Bentuk
prion dan non prion dari suatu protein dapat

4

berupa sekuen asam amino yang identik tetapi
memiliki konformasi yang berbeda. (Allen et
al. 2004).
Prion PSI ditemukan oleh Brian Cox pada
tahun 1965, namun penyebab terbentuknya
baru diketahui setelah tahun 1994 oleh Reed
Wickner. Prion PSI memiliki dua isogenik
yaitu PSI+ dan psi-. Prion PSI terbentuk dari
protein normal Sup35. Sup35, bersama Sup45
merupakan termination factor pada translasi
protein untuk sintesa protein pada ribosom
khamir (Stansfield et al. 1995 dalam Park et
al. 2006). Protein Sup35 terdiri dari tiga
bagian, yaitu Sup 35C, Sup35M, dan Sup35N.
Sup35C merupakan bagian yang esensial bagi
fungsi terminasi translasi, Sup35M merupakan
bagian tengah, sedangkan Sup35N merupakan
daerah pembentukan dan perbanyakan prion
(Gambar 3d) (Serio dan Lanquist 2000;
Chernoff 2001 dalam Borchsenius et al. 2001
dan Song et al. 2005).
Prion PSI terbentuk akibat mutasi nonsense
pada kodon yang menyandi asam amino ke 40
dan 90 dari bagian Sup35N protein Sup35.
Daerah tersebut kaya terminal-N dari Glutamin,
Asparagin, dan Lisin. Daerah tersebut dikenal
sebagai daerah NM (Scheibel et al. 2003;
Borschsenius et al. 2001). Terbentuknya Prion
PSI menyebabkan translasi protein ribosom
mampu membaca mRNA yang kodonnya
telah mengalami mutasi nonsense (supresi
mutasi nonsense). Biasanya kodon yang
mengalami mutasi nonsense merupakan
kodon yang menyandi protein yang berperan
dalam metabolisme adenine dan leusin (Cox
1965 dan Firoozan et al. 1991 dalam Park et
al. 2006) Prion PSI+ merupakan varian kuat
sedangkan psi- merupakan lemah. PSI+
mampunyai efisiensi supresi mutasi nonsense
yang paling baik sedangkan psi- paling tidak
efisien menekan mutasi nonsense (Uptain et
at. 2001). Mutasi itu juga menyebabkan
overproduksi protein Sup35. Protein-protein
Sup35 yang baru terbentuk langsung berubah
menjadi bentuk prion (Derkatch et al. 1996
dalam Uptain SM et at. 2001; Chernoff et al.
1993 dan Derkatch et al. 1996 dalam
Borchsenius et al. 2001).
Prion PSI (Gambar 3a dan 3b) pada sel
khamir tersebut membuat inangnya mampu
beradaptasi pada keadaan yang kurang
menguntungkan (Morano dan Thiele 1999
dalam Park et al. 2006; Pirkala et al. 2001 dalam
Fan et al. 2007). Hal itu memberikan
keuntungan fenotipik kepada sel inang karena
menyebabkan protein yang kodonnya telah
rusak akibat mutasi nonsense dapat diproduksi
kembali hingga protein tersebut mampu

fungsional kembali sehingga khamir dapat
tumbuh optimal pada lingkungan yang kurang
menguntungkan (Chernoff 2001; Uptain dan
Lindquist 2002 dalam Rakauskaite dan
Citavicidius 2003; Song et al. 2005). Namun
lama kelamaan semakin banyaknya protein
prion di dalam sel inang menyebabkan prion
menjadi toksik bagi sel inang sehingga inangnya
mati (Rakauskaite dan Citavicidius 2003).
Kaperon dari keluarga Hsp (Heat Shock
Protein) belakangan diketahui bertanggung
jawab terhadap pelipatan ulang protein Sup 35
hingga membentuk prion PSI (Chernoff et al.
1995; Jung et al. 2000; Kushnirov et al. 2000;
Jung dan Masison 2001; Sondheimer et al.
2001; Allen et al. 2005 dalam Park et al.
2006; Fan et al. 2007). Hsp merupakan
sekelompok protein yang ekspresinya
meningkat ketika terpapar stress seperti
temperatur yang tinggi, infeksi, inflamasi,
bahan kimia beracun, radiasi, kelaparan, dan
hipoksia (Pirkala et al. 2001 dalam Park et al.
2006). Overekspresi itu akibat mutasi
nonsense pada kodon yang menyandi ujung
karboksil daerah aktivasi Hsp tersebut (Park et
al. 2006 dalam Fan et al. 2007). Hsp juga
merupakan regulator utama untuk mengontrol
ekspresi suatu protein pada khamir (Park et al.
2006). Hsp terikat pada promoter DNA yang
terikat secara cis pada DNA khamir. Promoter
itu dikenal sebagai Heat Shock elements
(HSes) (Amin et al. 1988 dalam Park et al.
2006).
Protein keluarga Hsp 110 dan keluarga
Hsp 90 berperan dalam pembentukan prion
PSI de novo dengan memacu konversi Sup35
dengan menstabilkan intermediat pelipatan
(Jones et al. 2004 dalam Park et al. 2006; dan
Sadlish et al. 2008). Selain Hsp 110 dan Hsp
90, protein lain juga diduga terlibat dalam
pembentukan prion. PrPSc yang merupakan
protein yang biasa terdapat dalam sel normal
yang biasa bertugas membantu pelipatan
protein secara umum, diduga terlibat dalam
pelipatan ulang Sup35 normal menjadi bentuk
prion PSI infektif baik PSI+ maupun psi(Prusiner 2004 dalam Park et al. 2006).
Hsp 110 juga membantu Hsp 104 dibantu
keluarga Hsp 70 berperan dalam pembentukan
benih prion dengan mengubah struktur
(melipat ulang dan menstabilkan strukturnya
hingga lebih larut air) daerah NM protein
Sup35 hingga meningkatkan kelarutannya
dalam sitoplasma. Peningkatan kelarutan
tersebut memicu segregasi protein prion
menjadi
monomer-monomernya
yang
berperan dalam sifat infektif prion (Sadlish et
al. 2008; dan Song et al. 2005). Monomer-

5

monomer tersebut di dalam sel khamir lain
yang normal akan memicu pembentukan serat
β-amiloid (Gambar 3c) yang baru dengan
metode polimerasi berinti (Scheibel et al.
2003; Borchsenius et al. 2001). Namun prion
PSI tidak ditemukan pada isolat khamir untuk
industri maupun isolat khamir liar (Chernoff
2001 dan Chernoff et al. 1998 dalam
Borchsenius et al. 2001)
(a)

(b)

(c)

Salam (Eugenia polyantha Wight.)
Salam merupakan tanaman obat yang
sering digunakan masyarakat Indonesia. Daun
salam sering digunakan sebagai bumbu masak
(Asian Food 1998). Menurut Tjitrosoepomo
(2005) salam tergolong ordo Myrtales, Famili
Myrtaceae, genus Eugenia, spesies Eugenia
polyantha Wight. Salam memiliki beberapa
nama lain yaitu meselangan, ubar serai
(melayu), serai kayu (sumatera), gowok
(sunda), manting (jawa) dan kastolam
(kangean).
Salam dapat tumbuh liar di hutan dan
pegununungan atau ditanam di pekarangan
pada ketinggian yang relatif rendah hingga
1800
m
di
atas
permukaan
laut
(Wijayakusumah et al.), bahkan tanaman ini
masih dapat ditemukan pada ketinggian 2000
m di atas permukaan laut (PSB 2006). Salam
dapat dikembangbiakkan dengan stek batang,
cangkok atau biji. Ekawati (2007) melaporkan
bahwa ektrak etanol daun salam memiliki
aktivitas antioksidan. Aktivitas tersebut
mungkin berhubungan dengan senyawa aktif
yang terkandung pada salam, diantaranya
eugenol, tannin, flavonoid, saponin, fenolik
hidrokuinon, triterpenoid dan alkaloid.
Seluruh bagian tanaman dapat digunakan
sebagai obat, terutama daunnya. Kulit
pohonnya digunakan sebagai pewarna pada
kerajinan anyaman (Wikipedia 2006).
Salam memiliki daun hijau yang rimbun.
Daunnya terletak berhadapan, menyirip,
berbentuk lonjong hingga elips dengan panjang
5-15 cm, lebar 3-8 cm, dan memiliki tangkai
dengan panjang 0,5-1 cm. Bunganya
merupakan bunga majemuk bersusun berwarna
putih dan berbau harum. Pohonnya berbentuk
bulat, ditutup oleh kulit pohon yang licin dan
dapat mencapai tinggi 25 m dengan akar
tunggang. Buahnya berdiameter 8-9 mm yang
memiliki rasa sepat, berwarna hijau saat muda
namun berubah menjadi merah gelap setelah
masak. Bijinya bulat, berwarna coklat dengan
diameter sekitar 1 cm (Gambar 4) (Wikipedia
2006).

(d)
Gambar 3 Sel khamir yang terinduksi prion:
a. prion PSI+, b. prion psi-,
c. model 3 dimensi komputer
grafis struktur β-amiloid protein
prion, d. diagram protein Sup35
(True dan Lindquist 2000)

(a)

(b)

Gambar 4 Salam: a. pohon, b. buah

Jambu Biji (Psidium guajava Linn.)
Jambu Biji merupakan tumbuhan perdu
yang berasal dari Meksiko, Amerika
Tengah, dan Amerika Selatan bagian utara.
Tanaman ini tumbuh dengan baik pada
ketinggian 5-2000 m di atas permukaan laut
dengan curah hujan berkisar antara 10002000 mm/tahun yang merata sepanjang
tahun pada daerah tropis maupun subtropis.
Daunnya menyirip, berbentuk bulat telur
hingga menyirip dengan panjang 5-15 cm.
Bunganya kecil berwarna putih dengan lima
kelopak dan banyak benang sari. Pohonnya
keras, memiliki banyak cabang, ranting dan
akarnya tunggang. Permukaan kulit luar
pohon Jambu Biji berwarna coklat dan licin.
Apabila kulit kayu Jambu Biji tersebut
dikelupas, akan terlihat permukaan batang

6

kayunya basah. Buahnya dapat dimakan
berdiameter sekitar 3-10 cm (pada beberapa
varietas dapat mencapai 12 cm). Tanaman
Jambu Biji memiliki kulit buah yang manis
namun agak asam, berwarna hijau hingga
kuning jika masak daging buah berwarna
putih, oranye atau merah dengan banyak biji
kecil yang keras dan memiliki aroma khas
(Gambar 5) (Wikipedia 2005).
Jambu Biji memiliki beberapa nama
daerah diantaranya: jambu batu, jambu
klutuk (Sunda), tetokal, tokal, bayawas
(Jawa), Jambu bender (Madura) dan lima
breuh (Aceh). Jambu Biji termasuk divisi
Magnoliphyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Magnolipsideae, ordo Myrtales,
family Mytaceae, genus Psidium, spesies
Psidium guajava Linn. (Tjitrosoepomo
2005).
Alviani (2007) melaporkan bahwa
Jambu Biji memiliki beragam senyawa
aktif yaitu polifenol, tannin, saponin,
minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat,
asam kratogolat, asam oleanolat, asam
guajaverin, vitamin A, vitamin B dan
vitamin C. Karena senyawa-senyawa
tersebutlah Jambu Biji memiliki aktivitas
antioksidan. Vitamin C pada buah Jambu
Biji 3-6 kali lebih tinggi dari pada vitamin
C pada jeruk.
Daun Jambu Biji digunakan untuk
mengobati diare karena memiliki antivitas
antimikroba (Triarsari 2006). Daunnya juga
digunakan untuk memanggang daging karena
memberikan rasa enak dan bau yang lebih
harum pada daging panggang. Jambu Biji juga
dipercaya memiliki aktivitas antidiabetes,
antiinflamasi, antimutagenik, analgesik dan
antimaag (Soesilo dalam Alviani 2007).
Khasiat tanaman Jambu Biji sebagai tanaman
obat berkaitan dengan senyawa aktif yang
dimilikinya.

Jati Belanda memiliki pohon yang besar,
tumbuh cepat dengan tinggi 10-22 m,
mengugurkan
daunnya
pada
musim
kemarau. Bunganya kuning dengan bintikbintik merah. Daunnya menyirip, berselangseling, berujung runcing, berbentuk hati,
berambut pada bagian bawahnya dengan
pinggir kasar, panjang 10-16 cm lebar 3-6
cm. buahnya berruang lima berwarna hijau
tapi berubah menjadi hitam ketika matang,
berbiji banyak yang berwarna kuning
kecoklatan, berlendir dan terasa agak manis
(Gambar 6).
Daun Jati Belanda digunakan sebagai
obat tradisional untuk menyembuhkan
diare, perut kembung, batuk, kaki bengkak,
juga sebagai pelangsing tubuh. Tombilangi
(2004)
dalam
Martsolich
(2007)
melaporkan bahwa daun Jati Belanda juga
memiliki aktivitas antioksidan. Hasil.
penelitian secara in vivo menunjukksn
bahwa aktivitas antioksidan daun Jati
Belanda
berasal
dari
kemampuan
ekstraknya menghambat perosidasi lipid
Khasiatnya sebagai obat berkaitan dengan
senyawa aktif yang dimilikinya yaitu
flavonoid, karotenoid, asam fenolat,
kalkon, auron, flavonol (Miradiono 2002
dalam Martsolich 2007), steroid dan
triterpenoid (Rachmadani 2002 dalam
Martsolich 2007).

(a)

(b)

Gambar 5 Jambu Biji: a. pohon, b. buah
Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
Jati Belanda merupakan genus tanaman
kayu keras tropis dari divisi Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dycotyledone, ordo Steruliaceae, genus
Guazuma, spesies Guazuma ulmifolia
Lamk. Jati Belanda berasal dari daerah
tropis di Amerika Tengah dan Selatan juga
sering ditemukan pada hutan monsoon.
Tanaman ini di jawa biasa dipanggil jati
londo atau jotos landi.

(a)

(b)

Gambar 6 Jati Belanda: a. pohon, b. bunga

7

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Bahan yang dipakai ialah biakan khamir
(Saccharomyces cerevisiae), yeast extract,
glukosa, baktoagar, baktopepton, etanol,
pewarna Coomassie Blue 0,01N, ekstrak daun
Jambu Biji (Psidium guajava L.), ekstrak
daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia
Lamk.), dan ekstrak daun Salam (Eugenia
polyantha Wight.).
Alat
yang
digunakan
ialah
spektrofotometer, Sentrifus Beckman J 21,
mikroskop Olympus CX40, kertas aluminium,
laminar air flow cabinet, lemari es, cawan
petri, neraca analitik, mikropipet, tabung
eppendorf, jarum ose, kaca sebar, autoklaf,
kapas, vortex dan seperangkat alat gelas
lainnya.
Metode Penelitian
Pembuatan Media (Campbell 1991)
Media padat YEPD 100 ml dibuat dari 1
g yeast extract, 2 g baktopepton, 2 g glukosa,
1.8 g baktoagar dan akuades hingga 100 ml,
lalu disterilkan dengan autoklaf pada suhu
1200C selama 15 menit. Adapun media padat
Petit dibuat dari 100 ml dibuat dari 1 g yeast
extract 1%, 2 g baktopepton 2%, 0.1 g
glukosa 1%, 2 ml etanol 2%, 1.8 g bakto agar
1.8%, dan akuades hingga 100 ml. Setelah
itu disterilkan dengan autoklaf pada suhu
120oC selama 15 menit dengan tekanan
sekitar 10 atm. Komposisi media cair YEPD
sama dengan pembuatan media padat YEPD
hanya saja tanpa baktoagar, begitu pula
pembuatan
media
cair
Petit
tanpa
penambahan baktoagar.
Peremajaan Sel (Campbell 1991)
Sel-sel khamir diremajakan pada media
YEPD padat dengan menggoreskan I ose
khamir pada media padat YEPD dan
diinkubasi pada suhu 270C selama 2 hari.
Hasil peremajaan akan digunakan sebagai
biakan perlakuan.
Inkubasi dan Pemanenan (Campbell 1991)
Sel-sel khamir ditumbuhkan pada 100 ml
media YEPD cair dan media petit cair dengan
perbandingan udara: kultur 5:1. Setiap 24 jam
diukur kerapatan optikal (Optical Density; OD)
pada λ 240 nm hingga jumlah sel mencapai
5x108 sel /ml pada shaker dengan suhu 270C.
Sel dipanen dengan cara dipusing pada

kecepatan 4000 G yang setara dengan 4000
rpm selama 10 menit dan peletnya dicuci dua
kali dengan 40 ml akuades. Sebagai persiapan
untuk perlakuan, 200 µl kultur sel khamir
dipindahkan ke beberapa tabung eppendorf.
Perlakuan Dengan Ekstrak (Granot 2003)
Perlakuan dilakukan dengan menambahkan
50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, dan
2000 ppm masing-masing ekstrak daun jambu
biji, ekstrak daun salam dan ekstrak daun Jati
Belanda ke dalam tabung eppendorf yang berisi
200 µl sel-sel kamir. Sebanyak 200 µl sel-sel
kamir dipindahkan ke dalam tabung eppendorf
yang masing-masing berisi 400 µl glukosa 10%
sebagai kontrol glukosa (sehingga pada volume
akhir menjadi 4%), 400 µl akuades sebagai
kontrol akuades, 400 µl media cair YEPD
sebagai kontrol media. Ekstrak dicampur secara
homogen kemudian diinkubasi pada 270C
selama tiga hari.
Uji Viabilitas (Granot 2003)
Untuk melakukan uji viabilitas setiap 24
jam dilakukan pengambilan sebanyak 50 µl
sel dari biakan perlakuan yang telah
diencerkan sebesar 108 kali. Sel-sel khamir
tersebut disebar merata ke cawan petri yang
berisi media YEPD padat dan diinkubasi
selama tiga hari pada suhu 280C.
Uji Petit (Granot 2003)
Untuk melakukan uji viabilitas, setiap 24
jam dilakukan pengambilan sebanyak 50 µl
sel dari biakan perlakuan yang telah
diencerkan sebesar 108 kali. Sel-sel khamir
tersebut disebar merata ke cawan petri yang
berisi media petit padat dan diinkubasi selama
tiga hari pada suhu 270C.
Frekuensi Petit (Granot 2003)
Sel-sel khamir yang berubah menjadi
koloni petit tampak berukuran lebih kecil
dibanding sel-sel khamir normal. Sel-sel
khamir yang berubah menjadi koloni petit
dihitung frekuensi petitnya dengan rumus :

Pengamatan Mikroskopik
Preparat dibuat dari sel-sel khamir normal
dan petit tanpa dan dengan perlakuan yang
difiksasi dan diberi pewarna Coomassie blue
0,01N. Pengamatan dilakukan dibawah
mikroskop Olympus CX40 yang memiliki
fasilitas kamera foto dengan perbesaran
hingga 1500x.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Diantara semua biakan perlakuan sel
khamir, biakan perlakuan sel khamir pada
kontrol glukosa merupakan sel khamir yang
paling aktif melakukan fermentasi. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya gelembung CO2
khas pada fermentasi glukosa oleh khamir, sel
ragi yang tidak mengendap seperti pada
biakan perlakuan dalam tabung eppendorf
yang lain akibat dari gelembung CO2 yang
terus terbentuk mengaduk sel khamir.
Tekanan gas CO2 yang kuat juga terasa ketika
tabung eppendorf dibuka, gelembung CO2
langsung menyembur ke luar disertai bau khas
fermentasi.
Pada biakan perlakuan sel khamir yang
dikulturkan dalam kontrol media YEPD masih
terjadi fermentasi, namun tidak seaktif pada
kontrol glukosa. Proses fermentasi tersebut
dapat dilihat dari terbentuknya gelembung
CO2 tetapi tidak sebanyak pada kontrol
glukosa. Sel khamir pada kontrol media juga
mengendap karena gelembung CO2 yang
terbentuk tidak sampai mengaduk sel. Ketika
dibuka tekanan gas CO2 juga tidak sampai
mendorong tutup tabung eppendorf, juga tidak
tercium bau khas fermentasi oleh khamir,
hanya bau media YEPD.
Sel khamir pada kontrol akuades dan pada
tabung
eppendorf
yang
lain
tidak
menampakkan adanya aktivitas fermentasi.
Tidak terlihat adanya gelembung udara, selsel khamir mengendap, dan ketika tabung
eppendorf dibuka tidak tercium bau. Pada
masing-masing ekstrak tercium bau khas
masing-masing ekstrak.
Pengaruh Ekstrak Terhadap Viabilitas
Pada umumnya frekuensi petit sel-sel
khamir tanpa perlakuan sekitar 8%. Sel-sel
khamir yang ditumbuhkan pada media YEPD
memperoleh cukup nutrisi sehingga dapat
tumbuh sangat subur (Gambar 7). Sedangkan
sel-sel khamir yang tumbuh pada media petit
tidak memperoleh sumber karbon cukup
sehingga walaupun ada yang tidak menjadi
koloni petit, tumbuh kurang subur (terlihat
dari koloninya yang lebih tipis).

tidak menjadi koloni petit. Hal ini
dikarenakan glukosa di media tersebut bukan
sebagai satu-satunya sumber karbon bagi
khamir sehingga glukosa tidak menjadi
sinyal yang dapat berperan memicu apoptosis
sebagaimana dilaporkan oleh Granot (2003).
Bahkan sel-sel khamir di media tersebut
tumbuh subur karena melimpahnya glukosa
sebagai sumber karbon utama juga ditunjang
oleh nutrien lain. Hal ini terlihat dari bentuk
koloni yang merata dan bertumpuk atau
koloni yang jarang tetapi besar-besar. Oleh
karena itu sulit untuk mengamati koloni petit
(koloni petit terlihat samar, sulit diamati).
Hal ini sesuai dengan pengamatan pada
kontrol glukosa, sel khamir yang paling aktif
melakukan fermentasi seperti yang telah
dibahas sebelumnya.
Sel-sel khamir sebagai kontrol glukosa
tumbuh paling subur diantara koloni yang
tumbuh pada kontrol media maupun kontrol
akuades (Lampiran 1, 2 dan 3). Namun pada
kontrol glukosa dan kontrol media ditemukan
adanya koloni petit sedangkan pada kontrol
akuades tidak ditemukan satupun. Koloni petit
terbanyak ditemukan pada kontrol glukosa
ekstrak daun Jati Belanda dengan frekuensi
petit hingga 100% (Tabel 1).
Ekstrak Daun Jambu Biji. Sel-sel
khamir yang diperlakukan dengan ekstrak
daun Jambu Biji tumbuh subur pada semua
konsentrasi ekstrak (Lampiran 1). Koloni
terlihat bertumpuk maupun terpisah dan besarbesar. Koloni yang berbentuk paling kecil dan
paling jarang tumbuh pada biakan dengan
perlakuan 50 ppm ekstrak daun jambu biji.
Namun masih lebih subur jika dibandingkan
dengan kontrol media yang bentuk koloninya
tipis, tersebar merata. Sedangkan koloni yang
tumbuh paling subur dengan bentuk koloni
yang berlapis (penyebaran pada hari ke-3),
besar-besar dan jarang (penyebaran pada hari
ke-4) tumbuh pada biakan dengan perlakuan
ekstrak 100 ppm. Bahkan lebih subur dari
koloni yang tumbuh sebagai kontrol glukosa.

Pengaruh Ekstrak Terhadap Pembentukan
Koloni Petit
(a)
Pada Media YEPD
Sel-sel khamir sebagai kontrol glukosa
yang ditumbuhkan pada media YEPD padat

(b)

Gambar 7 Koloni khamir: a. media YEPD,
b. media Petite

9

Ekstrak Daun Jati Belanda. Koloni selsel khamir yang diberi perlakuan dengan
ekstrak daun Jati Belanda tumbuh subur pada
semua konsentrasi ekstrak (Lampiran 2). Baik
pada penyebaran pada hari ke-3 maupun pada
hari ke-4 koloni yang tumbuh pada biakan
dengan perlakuan 50 ppm ekstrak daun Jati
Belanda tumbuh paling subur dengan bentuk
koloni agak besar dan berlapis, tetapi tidak
sesubur koloni yang tumbuh pada kontrol
glukosa. Koloni yang tumbuh paling kurang
subur adalah koloni yang tumbuh pada biakan
dengan perlakuan ekstrak daun Jati Belanda
1000 ppm baik penyebaran pada hari ke-3
maupun hari ke-4, koloninya tipis dan tersebar
merata. Tetapi masih lebih subur dari koloni
yang tumbuh sebagai kontrol media.
Ekstrak Daun Salam. Koloni sel-sel
khamir yang diberi perlakuan dengan ekstrak
daun salam tumbuh subur pada semua
konsentrasi ekstrak (Lampiran 3). Sel-sel
khamir yang diberi perlakuan ekstrak daun
salam 200 ppm tumbuh paling subur
dibandingkan dengan biakan perlakuan yang
lain, baik pada penyebaran di hari ke-3 maupun
hari ke-4 dengan koloni sedang namun rapat,
tapi masih tidak sesubur biakan yang tumbuh
sebagai kontrol glukosa. Sedangkan biakan
dengan perlakuan ekstrak daun salam 100 ppm
merupakan koloni yang paling kurang subur.
Bentuk koloninya sedang, agak tipis, agak
jarang. Pada penyebaran hari ke-3 terlihat
membentuk dua lapis, tapi pada hari ke-4
terlihat hanya selapis.
Pada Media Petit
Sel-sel khamir dengan kontrol glukosa yang
ditumbuhkan pada media petit padat tidak
semuanya menjadi koloni petit. Namun secara
umum jika dibandingkan dengan koloni yang
tumbuh pada biakan perlakuan yang lain,
koloni khamir dengan kontrol glukosa
merupakan koloni yang paling subur jika tidak
menjadi koloni petit. Hal ini dikarenakan
walaupun sumber karbon utama pada media
petit adalah etanol (sumber karbon yang tidak
dapat difermentasi) sebagian sel-sel khamir
diduga dapat beradaptasi dengan kadar glukosa
yang terbatas. Sedangkan sel-sel khamir yang
berubah menjadi koloni petit hanya mampu
menggunakan glukosa yang jumlahnya sangat
terbatas
(karena
mengalami
disfungsi
mitokondria akibat proses apoptosis), bahkan
ada yang berubah menjadi petit seluruhnya. Hal
ini mengindikasikan bahwa glukosa sebagai
sumber karbon utama pada media yang
memiliki nutrien lain yang terbatas dapat

menginduksi terjadinya apoptosis seperti yang
dilaporkan Granot (2003). Sel-sel khamir pada
kontrol akuades masih tumbuh dengan baik dan
tidak ada yang membentuk koloni petit. Hal ini
diduga karena sel-sel khamir pada kontrol
akuades masih mendapat cukup nutrien dari
media sehingga masih dapat tumbuh dengan
baik, juga jumlah glukosa yang diperoleh selsel khamir tidak sampai membuat sel-sel
khamir membentuk koloni petit.
Sel-sel khamir pada kontrol media
memperoleh lebih banyak nutrien daripada
sel-sel khamir yang tumbuh pada kontrol yang
lain. Tetapi ada juga sel-sel khamir yang
berubah menjadi koloni petit. Hal ini
disebabkan sebagian sel-sel khamir diduga
kurang toleran terhadap jumlah glukosa yang
ada. Sel-sel khamir yang tidak membentuk
koloni petit tumbuh subur kendatipun tidak
sesubur koloni khamir yang tidak mengalami
petit pada kontrol glukosa, namun lebih subur
dari koloni petit yang tumbuh pada kontrol
akuades.
Ekstrak Daun Jambu Biji. Koloni petit
teramati pada kontrol media penyebaran hari
ke-4 sebesar 94,07% (Tabel 1), kerapatan
koloninya dapat dilihat pada Gambar 8. Namun
pada penyebaran hari ke-3 tidak teramati
adanya koloni petit pada kontrol media
(Lampiran 1). Terbentuknya koloni petit pada
penyebaran hari ke-4 diduga karena toleransi
sel-sel khamir terhadap jumlah glukosa yang
terbatas telah menurun. Koloni sel-sel khamir
yang diberi perlakuan 50 ppm ekstrak
(Lampiran 1) tumbuh paling kurang subur
diantara perlakuan dengan ekstrak daun Jambu
Biji tetapi masih lebih subur dari kontrol media
(seperti halnya pada media YEPD) bentuknya
sama seperti koloni yang tumbuh pada media
YEPD (Lampiran 1) tetapi lebih tipis.
Ekstrak Daun Jati Belanda. Terbentuk
koloni petit pada sel-sel khamir kontrol
glukosa dan kontrol media pada perlakuan
dengan ekstrak daun Jati Belanda. Koloni petit
yang terbentuk pada kontrol glukosa (Gambar
9 a) pada penyebaran hari ke-4 sebesar 100%
(Tabel 1) padahal koloni yang tumbuh pada
penyebaran hari ke-3 (Lampiran 2) tumbuh
sangat subur. Hal ini memperlihatkan bahwa
koloni ragi pada kontrol glukosa pada
perlakuan dengan ekstrak daun Jati Belanda
cepat mengalami sekali kehilangan toleransi
terhadap tingginya kadar glukosa dengan
nutrien lain yang terbatas sehingga tingginya
kadar glukosa menginduksi terjadinya
apoptosis pada sel-sel khamir. Koloni petit

10

pada kontrol media terbentuk baik pada
penyebaran hari ke-3 maupun hari ke-4.
Koloni petit yang terbentuk pada penyebaran
hari ke-3 (Gambar 9 b) sebesar 86,59% (Tabel
1) sedangkan koloni petit yang terbentuk pada
penyebaran hari ke-4 (Gambar 9 c) sebesar
99,87% (Tabel 1). Sel-sel khamir kontrol
media diduga memiliki toleransi yang kurang
baik terhadap tingginya kadar glukosa.
Toleransi yang semakin menurun tercermin
dari semakin tingginya frekuensi petit pada
penyebaran hari ke-4. Koloni khamir yang
tumbuh paling subur pada biakan dengan
perlakuan 50 ppm (Lampiran 2) ekstrak daun
Jati Belanda (baik pada penyebaran hari ke-3
maupun hari ke-4) dengan bentuk koloni
sedang namun cukup rapat. Tetapi tidak
sesubur koloni khamir yang tumbuh pada
kontrol media yang disebar pada hari ke-3
(Lampiran 2). koloni yang paling kurang
subur (baik pada penyebaran hari ke-3
maupun hari ke-4) adalah koloni khamir yang
tumbuh pada perlakuan dengan 1000 ppm
ekstrak daun Jati Belanda (Lampiran 2).
Ekstrak Daun Salam. Koloni petit
terbentuk pada sel-sel khamir dengan perlakuan
dengan ekstrak daun salam 100 ppm, 1000
ppm, dan 2000 ppm. Hanya pada perlakuan
dengan ekstrak daun salam ditemui adanya
koloni petit. Berarti dari ketiga ekstrak, hanya
ekstrak daun salam yang mampu menginduksi
apoptosis. Koloni petit yang terbentuk pada
perlakuan dengan ekstrak daun salam 2000
ppm pada penyebaran hari ke-3 (Gambar 10 c)
sebesar 91,99% (Tabel 1), koloni petit yang
terbentuk pada perlakuan dengan ekstrak daun
salam 1000 ppm pada penyebaran hari ke-3
(Gambar 10 b) sebesar 94,45% (Tabel 1), dan
Koloni petit yang terbentuk pada perlakuan
dengan ekstrak daun salam 100 ppm pada
penyebaran hari ke-3 (Gambar 10 a) sebesar
97,90% (Tabel 1). Sebenarnya koloni petit juga
terlihat muncul pada perlakuan dengan ekstrak
daun salam 50 ppm, 200 ppm dan 2000 ppm
pada penyebaran hari ke-3. Namun frekuensi
petit pada perlakuan dengan ekstrak daun salam
50 ppm dan 2000 ppm pada penyebaran hari
ke-3 koloninya terlalu padat sehingga tidak
memungkinkan untuk dihitung, sedangkan
pada perlakuan dengan ekstrak daun salam 200
ppm koloni petit terlihat samar (Lampiran 3).
Koloni yang paling subur baik pada
penyebaran hari ke-3 maupun hari ke-4 adalah
pada perlakuan dengan ekstrak daun salam 200
ppm (Lampiran 3), namun tidak sesubur koloni
yang tumbuh pada kontrol media (Lampiran 3).
Sedangkan koloni yang paling kurang subur

adalah koloni pada perlakuan dengan ekstrak
daun salam 100 ppm pada penyebaran hari ke-3
dan pada perlakuan dengan ekstrak daun salam
50 ppm pada penyebaran hari ke-4 (Lampiran
3). Sebenarnya kesuburan koloni pada
perlakuan dengan ekstrak daun salam 50 ppm
tetap, tapi pada perlakuan dengan ekstrak daun
salam 100 ppm kesuburannya meningkat
(L