Efektifitas Pemberian Kolostrum Pada Sapi Neonatus Yang Ditantang Dengan Escherichia Coli K-99

EFEKTIFITAS PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA SAPI NEONATUS
YANG DITANTANG DENGAN Escherichia coli K-99

Oleh:
ALI HUJARAT
B04051030

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

EFEKTIFITAS PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA SAPI NEONATUS
YANG DITANTANG DENGAN Escherichia coli K-99

Oleh:
ALI HUJARAT
B04051030

Skrpisi
Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan

Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan
pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tugas akhir

: Efektifitas Pemberian Kolostrum pada Sapi
Neonatus yang Ditantang dengan Escherichia
coli K-99

Bentuk Tugas akhir

: Penelitian


Nama Mahasiswa

: Ali Hujarat

NIM

: B04051030

Disetujui

Dr. Drh. Anita Esfandiari M.Si

Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari M.Si

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Diketahui


Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan FKH

Tanggal Lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengsn
judul ” PENGAMATAN DIARE PADA SAPI NEONATUS YANGDITANTANG
ANTIGEN Escherichia coli K-99 “ adalah karya asli sendiri dengan pengarahandosen
pembimbing akademik. Bahan rujukan dari karya skripsi terlampir pada daftar pustaka.
Demikian saya buat pernyataan dengan sebenar-benarnya.

Bogor, September 2009
Pembuat Pernyataan

Nama : Ali Hujarat
NRP


: B04051030

RIWAYAT HIDUP

Ali Hujarat, lahir di Pati, Jawa Tengah, Tanggal 29 Agustus 2009 merupakan
putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Rejo dan Suparni.
Penulis menyelesaikan pendidikan pada MI hijriyah 7 Ulu palembang (19931999), SMP Negeri 7 Palembang (1999-2001), SMP Negeri 1 Winong (2001-2002), dan
SMA Negeri 2 Pati (2002-2005).
Bulan April Tahun 2005, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI. Setelah menyelesaikan pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (20052006), penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pretanian Bogor. Dalam
aktifitas kampus penulis ikut dalam berbagai organisasi seperti Ikatan Keluarga
Mahasiswa Pati, HIMPRO HKSA, STERIL, dan Putra Pantura JABOTABEK.
Skripsi penulis dengan Judul ” PENGAMATAN DIARE PADA SAPI
NEONATUS YANGDITANTANG ANTIGEN Escherichia coli K-99 “ merupakan
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada di Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pretanian Bogor.

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi yang telah

memberikan karunia dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik
penelitian dengan judul ” PENGAMATAN DIARE PADA SAPI NEONATUS
YANGDITANTANG ANTIGEN Escherichia coli K-99 “. Shalawat dan salam selalu
terhatur kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah menuntun umat dari zaman
jahiliyah menuju zaman Islamiyah. Skripsi tersebut merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan dalam Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada :
1. Kedua pembimbing Dr. Drh Anita Esfandiari MS dan Dr drh. Sus Derti Widyari
yang telah sabar dan senantisa memberikan petunjuk dalam membantu penulis
menyelesaikan tugas akhir.
2. Dr. Drh. Aryani S. Satjaningtjas M.Si dan drh. Titiek Sunartatie M. Si

atas

peran dan kerjasama sebagai dosen penilai dalam memberikan masukan dan
saran sehingga karya ini nantinya dapat berguna bagi yang membutruhkan.
3. Semua staf yang berkecimpung dan membantu dalam penelitian ini. Pak Djajat,
pak suryono, pak Kamidi, Mas ali rizki (sekarang di WWF), pak engkos, pak
dahlan, mas david

4. Ayahanda Rejo dan Ibunda Suparni yang dengan segala upaya selalu menjadi
teladan bagi penulis. Pakdhe, Bu dhe, Pak lek dan Bu lek, eyang Nur Ikhsan dan
Eyang Siti Syariah, eyang Sawi yang selalu memanjakan penulis.
5. Kakak dan adik tercinta. Mas arif, Dwi, Ena yang telah memberikan support dan
motifasi sehingga penulis tetap memiliki semangat juang dalam mencari jatidiri.
6. Temen-temen sepenelitianku (mizwar, fera, dinar, nuri) atas kerjasama dan bahumembahu dan pendahulu kita ( mas hasan, mbak icha, mba opink, mba ita, mba
winda, mas ichal dan mas aki/tresna). We all never walk alone!!!!!
7. Temen-temen gobleters atas kekompakan dan kegilaanya. Temen-temen
Asteroidea, temen-temen aesculapius yang seru selamat bergabung gianuzzi dan
welcome to FKH buat angkatan 45. Semangattttttt!!!!!

8. Bandzena 35 ( pipit, ndah, ellies, pupunk, nao), BAR( beny & Ragil), the2 (
beken, lek man, yoga, pujex, mapood, yudi), dan Under pass (amin, Ragil, eta,
ayu) & van Alle (ivan, yerry, michael) atas semua perjuangan. Kita semua adalah
juara
9. Steel Warrior (Arief, Ipunk, Roland, Ender) dan Sintopati (Udin, Yoga, Rief, opunk) yang memberikan pelajaran berharga tentang musik dan kehidupan
10. Alumni yakuza 10 Balebak (wawan, rofian, topan, dedi, supri, anwar, wahyu,
roni, ragil yudi) atas donasi, dukungan dan kebersamaan dan sakinah crew ( ika,
dina, endah, binda, beki, dewi, desti, ratih de el el) selalu menajdi supprter setia
”the young pati”.

11. Anggita Putri Eka Fahrini Lubis dan keluarga yang memberi dukungan dalam
semangatnya dan selalu mendampingi dalam suka dan duka.
12. Mardiono Djojodiningrat STP atas semua dukungan dan kebersamaan.
13. Temen2 IKMP dari semua angkatan moga lebih kompak aja.
14. ”The fasnet &

orico

crew, the ucuy’s band ”, ami ucuy , aan, Oblack, mas

manto, mbak nana, aa’ zanuar, mbak nurul, fitri, syifa, dan kiki yang selalu bawa
cucian atas dukungan dan partisipasinya dalam membantu kesulitan penulis.
15. Kak Mutia Lubis & Nadya atas dedikasinya kepada penulis
16. Putra pantura comunity atas kebersamaan dan contactnya. Semoga makin
kompak dan selalu dijalan yang benar.
17. Angkatan 38 (Teh de2, uni idja, mas ali, de el el) atas simpati dan kekompakan.
18. Drh. Tamara, drh mahfud dan Ema Effendi, drh Rajanti, drh Iwan budi, dan drh
Bambang Sukemi atas dedikasinya dan kesabaran mengajari penulis.
19. ” Baso Kabayan dan Baso Sabar ” dalam menyiapkan menu minuman dan
vespanya.

20. Bless

salon

(aa’

Rahmad

dan

aa’

dick)

dalam

penataan

model


kontroversial.sukses!!!!
21. Beatles, Queen, scorpion, metalica, rolling stones, sex pistols, van Hallen, white
lion, Rush, nirvana, cranberries, GnR, eric clapton, garry moore, Aerosmith,

muse, my chemical romance, LP, koespuls dan slank dengan semua lagu
inspirasinya.
22. Semua anak vespa dan motor classic seluruh Indonesia.
23. Pihak-pihak lain yang belum tersebut namanya.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang
membutuhkan.

Bogor,

Agustus 2009

Penulis

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................

DAFTAR TABEL ................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
ABSTRAK ..........................................................................................................
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Tujuan ............................................................................................................ 2
Manfaat .......................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 3
Sapi Friesian Holstein .................................................................................. 3
Sistem Pencernaan Sapi Neonatus ................................................................. 5
Feses Sapi/Ruminansia .................................................................................. 6
Escherichia coli .............................................................................................. 7
Escherichia coli Penyebab Diare ................................................. 8
Patogenisitas Escherichia coli .....................................................10
Gejala Klinis Escherichia coli .....................................................11
Pengobatan Escherichia coli pada Ternak ...................................11
Diare ...............................................................................................................14
Kolostrum Sapi ..............................................................................................16
METODE PENELITIAN .....................................................................................19
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................19

Bahan dan Alat ...............................................................................................19
Hewan Percobaan .........................................................................19
Alat dan Bahan .............................................................................19
Metode Penelitian ..........................................................................................19
Vaksinasi Induk Sapi Bunting ......................................................19
Koleksi Kolostrum Sapi ...............................................................20
Pemberian Kolostrum kepada Sapi Neonatus .............................20
Uji Tantang pada Sapi Neonatus ..................................................20
Pengambilan Sampel Feses Sapi Neonatus ..................................20

Pemeriksaan Sampel Feses Sapi Neonatus ..................................20
Analisis data .................................................................................21
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................22
Morfologi feses Feses (Warna, Bau, Bentuk dan Konsistensi) ......................23
Frekuensi Defekasi, Durasi dan Onset Diare, Tingkat Keparahan dan
Identifikasi Bakteri .........................................................................................26
Frekuensi Defekasi .........................................................................................26
Durasi Diare ...................................................................................................28
Onset Diare ....................................................................................................29
Tingkat Keparahan dan Identifikasi Bakteri ..................................................30
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................32
Simpulan ........................................................................................................32
Saran ...............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................33

DAFTAR TABEL

1. Perubahan warna feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan
sesudah uji tantang dengan E. coli K-99 ........................................................ 23
2. Perubahan bau feses pada masing-masing perlakuan sebelum dan
sesudah uji tantang dengan E. coli K-99 ....................................................... 24
3. Perubahan konsistensi feses pada masing-masing perlakuan
sebelum dan sesudah uji tantang dengan E. coli K-99..................................... 24
4. Frekuensi defekasi, durasi dan onset diare akibat E. coli K-99
pada sapi neonatus semua kelompok perlakuan sesudah uji tantang dengan
E. coli K-99............................. ......................................................................... 26
5. Tingkat keparahan diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum
dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99 ......................... 30

DAFTAR GAMBAR

1. Induk Sapi Friesian Holstein ........................................................................... 4
2. Perbandingan proporsi lambung ruminansia sejak lahir hingga dewasa ......... 5
3. Morfologi Escherichia coli dengan berbagai pandangan mikroskop .............. 8
4. Vaksin Escherichia coli ................................................................................... 13
5. Cara kerja vaksin .............................................................................................. 14
6. Anak sapi penelitian yang terkena diare .......................................................... 15
7. Rata-rata frekuensi defekasi pada sapi neonatus kelompok kolostrum
dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99 ......................... 27
8. Rata-rata durasi diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum
dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99........................... 28
9. Rata-rata onset diare pada sapi neonatus kelompok kolostrum
dan non-kolostrum sesudah uji tantang dengan E. coli K-99............................ 29

ABSTRAK
ALI HUJARAT. Efektifitas Pemberian Kolostrum pada Sapi Neonatus yang
Ditantang

dengan Escherichia

coli

K-99.

Dibawah Bimbingan ANITA

ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi dan efek protektif
kolostrum dari induk sapi Friesian Holstein yang divaksin dengan vaksin
Escherichia coli (E. coli) polivalen yang diberikan kepada sapi neonatus yang
ditantang dengan E. coli K-99 melalui pengamatan terhadap kejadian diare.
Sebanyak sepuluh ekor sapi neonatus Friesian Holstein yang sehat secara klinis
dibagi kedalam dua kelompok perlakuan, yaitu kelompok kolostrum (diberi
kolostrum sapi) dan kelompok non-kolostrum (diberi susu sapi). Kolostrum/susu
sapi diberikan kepada masing-masing kelompok perlakuan sebanyak 10% BB
setiap 12 jam selama tiga hari, setelah itu semua sapi neonatus diberi minum susu
sapi. Uji tantang dilakukan per-oral pada saat anak sapi berumur 12 jam,
menggunakan bakteri E. coli K-99 hidup sebanyak 5x1010 colony forming unit
(CFU) terhadap semua kelompok sapi neonatus. Pengamatan terhadap sampel
feses dilakukan setiap 12 jam selama satu minggu, terhadap makroskopis feses,
frekuensi defekasi, onset dan durasi diare, tingkat keparahan dan identifikasi
bakteri dalam feses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua anak sapi pada
dua kelompok perlakuan mengalami diare sesudah uji tantang. Namun demikian,
pada kelompok sapi neonatus non-kolostrum memperlihatkan frekuensi diare
lebih tinggi, konsistensi feses lebih cair, durasi lebih lama, dan menunjukkan
gejala klinis diare yang lebih parah dibandingkan dengan kelompok kolostrum.
Feses sapi neonatus dari semua kelompok perlakuan menunjukkan hasil positif
adanya bakteri E. coli K-99. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
kolostrum dari induk sapi yang divaksin dengan E. coli polivalen mampu
memproteksi sapi neonatus terhadap infeksi E. coli K-99.

Kata kunci : feses, diare, Escherichia coli, sapi neonatus, kolostrum

ABSTRACT
ALI HUJARAT. The Effectivity of Colostrum Administration on Neonatal Calves
Challenged with Escherichia coli K-99.

Under the supervision of ANITA

ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI.

This experiment was conducted to study the efficacy of bovine colostrum
from cows vaccinated with polivalen Escherichia coli vaccine given to neonatal
calves challenged with Escherichia coli K-99. Observations were conducted to
study the characteristic of diarrhea. Ten healthy neonatal calves were used in this
experiment, and divided into two groups. Each group received bovine colostrum
(colostrums group) and milk (non-colostrum group), respectively. Colostrum/milk
were given to the calves 10% of body weight immediately after calving every 12
hours, for three days. After three days all neonatal calves consumed milk.
Challenges were done orally to all of neonatal calves groups at 12 h after calving,
using life E. coli K-99 (5x1010 colony forming unit). Faecal examination were
done every 12 hours for one week. Results of this study indicated that all of
neonatal calves suffered from diarrhea following E. coli K-99 challenges.
However, neonatal calves on non-colostrum group indicated severe and more
frequent diarrhea, faecal consistency more watery and longer duration of diarrhea
compared to the group of neonates consumed colostrum. In conclusion, colostrum
from cows vaccinated with E. coli K-99 performed protective properties against E.
coli K-99 infection in neonatal calves.

Keyword : diarrhea, faeces, Escherichia coli, neonatal calves, colostrums

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare disebabkan oleh beberapa macam mikroorganisme, salah satunya
Escherechia coli (E. coli).

Escherechia coli merupakan salah satu bakteri

penyebab kolibasilosis pada anak sapi, terutama pada periode neonatal. Bakteri
ini menyerang anak sapi dibawah umur 14 hari, bahkan pada banyak kasus,
kematian pada anak sapi terjadi pada umur kurang dari 1 minggu (Seddon 1967).
Agen infeksius ini memiliki banyak serotipe, dan serotipe yang banyak terdapat di
lapangan adalah E. coli Enterotoksigenik (ETEC) K99, F41 atau K99F41.
Penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri ETEC K-99 ditandai dengan
gejala klinis diare berupa feses berwarna putih kekuning-kuningan, konsistensi
encer, dehidrasi, bahkan kematian jika kondisi anak sapi rentan (Supar 1996a).
Menurut Supar (1996a), kejadian diare pada anak sapi pada beberapa
kabupaten di Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung dan sekitarnya berkisar antara
7-16%. Supar (2001) juga melaporkan bahwa prevalensi diare pada anak sapi
perah berkisar antara 20 -31% dengan mortalitas 65-85%. Tingginya tingkat
mortalitas pada anak sapi penderita diare sangat merugikan para peternak.
Kerugian yang timbul tidak hanya berupa kematian, namun juga biaya
pengobatan, penurunan berat badan dan terganggunya pertumbuhan.
Selama dua dasawarsa terakhir, pengobatan diare menggunakan antibiotik
dinilai ampuh untuk membunuh bakteri. Seiring dengan seringnya penggunaan
antibiotik untuk pengobatan diare menyebabkan terjadinya resistensi terhadap
pengobatan yang menggunakan antibiotik. Selain itu, biaya yang dikeluarkan
untuk pengobatan terlalu mahal (Soeripto 2002).
Salah satu alternatif solusi pengendalian kolibasilosis adalah imunisasi
pasif melalui pemberian kolostrum dari induk yang divaksin dengan E. coli
polivalen kepada sapi neonatus. Menurut Soeripto (2002), vaksinasi dinilai efektif
sebagai tindakan pencegahan karena aman dari residu dan resistensi terhadap
antibiotik serta biaya aplikasi yang lebih murah. Pemberian kolostrum yang
berasal dari induk sapi yang divaksin dengan vaksin E. coli polivalen pada saat
bunting trimester akhir kepada anak sapi sesegera mungkin setelah kelahiran akan
melindungi anak sapi tersebut dari infeksi kolibasilosis.
1

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi dan efek protektif
kolostrum dari induk sapi yang divaksin dengan vaksin Escherichia coli polivalen
yang diberikan kepada sapi neonatus yang ditantang dengan Escherichia coli
K-99 melalui pengamatan terhadap kejadian diare.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
efektifitas pemberian kolostrum dari induk sapi yang telah divaksin dengan vaksin
Escherichia coli polivalen kepada sapi neonatus yang ditantang dengan
Escherichia coli K-99.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan jenis sapi perah yang banyak
menghasilkan susu. Taksonomi sapi FH menurut Dale et. al. (1984) dalam
Kristiyanti (2008) sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelsa

: Mamalia

Ordo

: Artiodactila

Subordo

: Ruminansia

Famili

: Bovidae

Genus

: Bos

Spesies

: Bos taurus
Sapi jenis ini pada awalnya dikembangkan di provinsi Friesland di

Belanda dan sering disebut sebagai sapi Fries Holland. Bangsa Sapi FH adalah
bangsa sapi perah yang paling menonjol di Amerika Serikat, jumlahnya cukup
banyak antara 80 % sampai 90 % dari seluruh populasi sapi perah yang ada.
Berasal dari negeri Belanda yaitu provinsi North Holland dan West Friesland,
dimana kedua daerah ini memiliki padang rumput yang bagus (Blakely dan Bade
1998)
Sapi FH memiliki ciri fisik, seperti warna bulu belang hitam putih
(Gambar 1) dengan perbatasan tegas sehingga tidak terdapat warna bayangan,
pada dahi terdapat warna putih berbentuk segitiga, pada bagian dada, perut bawah,
kaki dari teracak sampai lutut dan bulu ekor kipas berwarna putih, memiliki
tanduk berukuran kecil, menjurus ke depan. Selain itu sapi FH memiliki sifat yang
tenang, jinak sehingga mudah dikuasai. Sapi ini tidak tahan terhadap panas,
namun mudah beradaptasi, lebih suka pada tanah yang datar dan berumput baik
serta lambat dewasa. Sapi FH merupakan sapi perah dengan ukuran tubuh besar.
Berat badan sapi jantan mencapai 850 kg, sedangkan sapi betina mencapai 625 kg
(Anonim 2007; Blakely dan Bade 1998).

3

Menurut Syarief (1984), ciri-ciri sapi FH antara lain warna bulu belang
hitam putih dengan batas yang jelas, dahi, perut dan ambing berwarna putih, bulu
kipas ekor berwarna putih, dan keempat kaki dari lutut ke bawah berwarna putih.
Menurut USDA (2004), karakteristik sapi FH berupa warna rambut belang hitam
dan putih. Produksi susu yang dihasilkan pada tiap laktasi sangat tinggi mencapai
23.400 lb (pon), dengan kadar lemak berkisar antara 3,4-3,8 %.

Gambar 1. Induk Sapi Friesian Hoelstein Penelitian

Menurut Smith dan Mangkoewijoyo (1998) dalam Kristiyanti (2008), lama
kebuntingan sapi FH berkisar antara 275-283 hari dengan berat badan betina
dewasa berkisar antra 300-680 Kg dan 350–1000 kg pada hewan jantan. Berat
lahir anak sapi FH berkisar antara 22–50 kg dengan jumlah per-kelahiran
sebanyak 1-2 ekor. Menurut Syarief (1984), standar berat badan untuk sapi
Holstein betina adalah 1250 pounds (567 kg) dan untuk pejantan berat paling
rendah 1800 pounds (816 kg). Sapi Friesian Holstein lebih besar dibandingkan
dengan sebagian besar ternak yang lain dalam satu breed/bangsa. Bangsa sapi
perah Holstein mempunyai kemampuan menghasilkan air susu lebih banyak
dibandingkan dengan sapi perah lainnya, yaitu mencapai 5982 liter per-laktasi
dengan rata-rata kadar lemak sebesar 3,7 persen.

4

Sistem Pencernaan pada Sapi Neonatus
Anak sapi yang baru dilahirkan memiliki lambung depan kecil dan belum
berfungsi. Rumen, retikulum dan omasum hanya menempati 39% dari
keseluruhan lambung (Gambar 2) (Lake and Duke dalam Esfandiari 2005).
Menurut Ruckebush et al. (1991), perkembangan lambung depan
ruminansia muda terbagi kedalam tiga tahap antara lain: (1) tahap baru lahir
hingga umur tiga minggu pada saat ruminoretikulum belum berfungsi; (2) umur 38 minggu pada saat ruminoretikulum mulai berkembang dan; (3) umur lebih dari 8
minggu pada saat ruminoretikulum berkembang. Rumen dan retikulum pada anak
sapi yang baru lahir hanya menempati 39% dari keseluruhan lambung.
Ruminoretikulum terus berkembang pada umur tiga minggu, delapan minggu,
sampai pada tahap dewasa.

Gambar 2. Perbandingan proporsi lambung ruminansia sejak lahir hingga dewasa
(sumber : Leek and Duke dalam Esfandiari 2005)

Populasi mikroba di lambung depan belum berkembang, sedangkan
omasum masih rudimenter (Lake and Duke dalam Esfandiari 2005). Mukosa
abomasum belum terdapat sel-sel parietal sehingga belum menghasilkan asam
lambung maupun enzim proteolitik sehingga kolostrum dapat langsung menuju
abomasum tanpa harus melalui proses pemecahan (Ruckebush 1991).
Saat masih pedet, air susu yang diminum akan langsung menuju ke
abomasum karena adanya saluran yang disebut “oeshopageal groove”. Saluran

5

ini akan menutup bila pedet mengkonsumsi air susu, sehingga susu tidak jatuh ke
dalam rumen. Proses membuka dan menutupnya saluran ini mengikuti pergerakan
refleks. Semakin besar pedet, maka gerakan reflek ini semakin menghilang
(Anonim 2009b)
Zat makanan yang dapat dicerna pada saat pedet adalah protein susu
(kasein), lemak susu atau lemak hewan lainnya, gula-gula susu (laktosa, glukosa),
vitamin dan mineral. Pedet mampu memanfaatkan lemak terutama lemak jenuh
seperti lemak susu, lemak hewan, namun kurang dapat memanfaatkan lemak tak
jenuh misalnya minyak jagung atau kedelai. Sejak umur 2 minggu pedet mulai
dapat mencerna pati-patian, setelah itu secara cepat akan diikuti kemampuan
untuk mencerna karbohidrat lainnya, namun tetap tergantung pada perkembangan
rumen (Imron 2008).
Perkembangan alat pencernaan dimulai sejak umur 2 minggu. Populasi
mikroba rumen mulai berkembang setelah pedet mengkonsumsi pakan
kering. Semakin besar, pedet akan mencoba mengkonsumsi berbagai jenis pakan
dan akan menggertak berkembangnya rumen dan mengalami modifikasi fungsi
(Imron 2008).
Tahap mencapai alat pencernaan seperti pada sapi dewasa umumnya
terjadi pada umur 8 minggu. Namun demikian, kapasitas rumen pada umur 8
minggu masih rendah sehingga pedet belum dapat mencerna/memanfaatkan
rumput atau pakan kasar lainnya secara maksimal. Setelah disapih, pedet akan
mampu memanfaatkan protein vegetal dan setelah penyapihan alat pencernaan
berkembang sangat cepat (Imron 2008).

Feses Sapi/ Ruminansia
Menurut Sugono (2008), feses adalah kotoran atau hasil buangan yang
dikeluarkan dari alat pencernaan ke luar tubuh melalui anus, mengandung zat-zat
makanan yg tidak dapat dicernakan dan zat-zat yg tidak berasal dari makanan,
misalnya jaringan yang rusak, mikroba yang mati dan sebagainya. Menurut
Sihombing (2000), umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah
menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi
menghasilkan 25 kg feses.

6

Feses seringkali digunakan sebagai salah satu indikator ketika hewan
terpapar E. coli. Hal tersebut dapat dilihat dari warna, bau dan konsistensi yang
berubah menjadi cair setelah terinfeksi bakteri E. coli. Hewan yang terinfeksi E.
coli pada umumnya mengalami diare profus dengan frekuensi defekasi meningkat,
dengan durasi yang bervariasi tergantung lamanya terpapar dan tingkat keparahan.
Infeksi E. coli juga dapat menyebabkan terjadinya hemoragi pada usus halus yang
dapat berakibat ditemukannya darah pada feses, adanya luruhan sel akibat
kerusakan mukosa usus dan sebagainya (Anonim 2008; Iswandi 1993).

Escherichia coli
Bakteri Escherichia coli (E. coli) hidup secara normal dalam saluran
pencernaan hewan dan manusia. Menurut Todar (2008), klasifikasi Escherichia
coli adalah sebagai berikut :
Kingdom:

Bacteria

Filum:

Proteobacteria

Kelas:

Gamma Proteobacteria

Ordo:

Enterobacteriales

Famili:

Enterobacteriaceae

Genus:

Escherichia

Spesies:

Escherichia coli

Bakteri E. coli termasuk kedalam famili Enterobacteriaceae, bersifat Gram
negatif, bentuk batang tak berspora, berukuran 2-3 x 0.6 μm, bentuk dan besar
bakteri bervariasi, beberapa strain dapat bergerak dan mempunyai alat gerak
(flagela) (Gambar 3). Sifat lain dari bakteri ini adalah tidak tahan asam dan
fakultatif anaerob. Bakteri E. coli pertama kali diisolasi pada tahun 1885 oleh
ilmuwan kebangsaan Jerman bernama Theodor Von Escherich (Johnson 2007).
Bakteri E. coli dapat ditemukan dalam litter, feses, debu atau kotoran
dalam kandang. Debu dalam kandang ayam mengandung 105 sampai 106 E. coli
per gram (Tabbu 2000 dalam Wardiman 2008). Menurut Gross dan Barness
(1997), bakteri ini dapat bertahan lama dalam kandang, terutama dalam keadaan
kering.

7

Gambar 3. Morfologi Escherichia coli (Sumber. http://commons.wikimedia.org)
[30 April 2008]

Bakteri E. coli yang bersifat patogen memiliki struktur dinding sel yang
disebut phili. Faktor virulensi bakteri ini dipengaruhi oleh ketahanan terhadap
fagositosis, kemampuan perlekatan pada epitel saluran pernafasan, dan daya
bunuh serum (Todar 2008).
Escherichia coli Penyebab Diare
Escherichia coli yang menyebabkan diare sangat sering ditemukan.
Escherichia coli diklasifikasikan oleh ciri khas sifat-sifat virulensinya dan setiap
grup menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda, antara lain:

a. Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC)
Penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara berkembang.
Escherichia coli Enteropatogenik melekat pada sel mukosa. Akibat dari infeksi
EPEC adalah diare cair yang biasanya sembuh sendiri, namun dapat juga kronis.

8

Lama diare akibat EPEC dapat diperpendek dengan pemberian anibiotik. Diare
dapat terjadi pada manusia, kelinci, anjing, kucing dan kuda. Seperti ETEC (E.
coli Enterotoksigenik), EPEC juga menyebabkan diare tetapi mekanisme
molekular dari kolonisasi dan etiologi berbeda. Escherichia coli Enteropatogenik
memiliki sedikit fimbria, toksin ST (stabile temperature) dan LT (labile
temperature).

Escherichia coli Enteropatogenik menggunakan adhesin yang

dikenal sebagai intimin untuk mengikat inang. Sel EPEC invasif (jika memasuki
sel inang) dan menyebabkan radang usus (Pelczar 1988; Collier 1998).

b. Escherichia coli Enterotoksigenik (ETEC)
Escherichia coli Enterotoksigenik (ETEC) merupakan penyebab “diare
wisatawan” dan diare pada bayi di negara berkembang. Beberapa strain ETEC
menghasilkan eksotoksin tidak tahan panas. Ketika timbul diare, pemberian
antibiotik secara efektif dapat mempersingkat durasi penyakit. (Pelczar 1988;
Collier 1998).
Infeksi oleh ETEC menyebabkan terjadinya diare tanpa disertai demam,
dapat terjadi pada manusia, babi, domba, kambing, kuda, anjing, dan sapi.
Escherichia coli Enterotoksigenik menggunakan fimbrial adhesi untuk mengikat
sel-sel enterosit di usus halus. Escherichia coli Enterotoksigenik memproduksi
dua protein enterotoksin yaitu LT dan ST. Enterotoksin LT mempunyai struktur
dan fungsi toksin yang mirip dengan kolera, namun memiliki ukuran lebih kecil.
Enterotoksin ST diproduksi oleh E. coli ETEC atrain K-99, F41 atau 978P.
Enterotokson ST bekerja pada mukosa usus dengan mengaktifkan enzin adenilat
siklase sehingga menyebabkan akumulasi cGMP pada sel target, elektrolit dan
cairan sekresi ke lumen usus sehingga sekresi cairan menjadi berlebih. Strain
ETEC tidak invasive dan tidak tinggal di dalam lumen usus (Amelia 2008; Pelczar
1988; Collier 1998).

c. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Escherichia coli Enterohemoragik menghasilkan verotoksin, dinamai
sesuai efek sitotoksiknya pada sel Vero, suatu sel hijau dari monyet hijau Afrika.
Escherichia coli Enterohemoragik berhubungan dengan kolitis hemoragik, bentuk

9

diare yang berat dan dengan sindroma uremia hemolitik, suatu penyakit akibat
gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia. Diare
ini ditemukan pada manusia, sapi, dan kambing (Pelczar 1988; Collier 1998).

d. Escherichia coli Enteroinvansif (EIEC)
Escherichia coli Enteroinvansif menyebabkan penyakit yang sangat mirip
dengan Shigellosis. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak di negara
berkembang. Escherichia coli Enteroinvansif melakukan fermentasi laktosa
dengan lambat dan tidak bergerak. Escherichia coli Enteroinvansif menimbulkan
penyakit melalui invasi terhadap sel epitel mukosa usus. Diare ini ditemukan
hanya pada manusia (Pelczar 1988; Collier 1998).

e. E. coli Enteroagregatif (EAEC)
Escherichia coli Enteroagregatif

menyebabkan diare akut dan kronik

pada masyarakat di negara berkembang. Bakteri ini ditandai dengan pola khas
perlekatannya pada sel manusia. Escherichia coli Enteroagregatif memproduksi
hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC (Pelczar 1988; Collier
1998).

Patogenisitas Escherichia coli K-99
Bakteri ETEC mengeluarkan toksin di dalam usus, yang kemudian beredar
melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Toksin terikat pada globotriosyl
ceramide, suatu reseptor khusus yang terdapat pada sel endotel di glomerulus,
ginjal. Proses ini menyebabkan terikatnya toksin pada reseptor yang menimbulkan
kerusakan pembuluh darah kecil terutama pada ginjal dan usus besar (Kurniawati
2001).
Infeksi E coli pada hewan muda hampir serupa. Enterotoksigenik E. coli
yang masuk melalui sistem pencernaan akan menempel pada mukosa usus halus
dengan perantaraan fimbriae K-88, K-99, F41 atau P987. Tahap selanjutnya,
bakteri tersebut melakukan perkembangbiakan dan memproduksi toksin. Toksin
yang diproduksi ada dua macam yaitu heat stable toxin (HST) dan heat labile
toxin (HLT). Kedua toksin bekerja menstimulasi sekresi cairan tubuh dan

10

elektrolit secara berlebihan. Sekresi yang terjadi lebih banyak dibandingkan
dengan absorbsi cairan usus, yang berakibat pada terjadinya diare profus dan
dehidrasi. Infeksi jika berlangsung berkelanjutan, dapat menyebabkan kematian
pada hewan, terutama pada hewan muda (Supar 2001). Menurut Gross dan
Barness (1997), faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan virulensi
Escherichia coli berhasil diidentifikasi pada hewan yang sakit, antara lain serotipe
O tertentu (O1, O2, O35 dan O78), fermentasi adonitol, resistensi antibiotik,
kemampuan mengikat warna congo red, plasmid berukuran besar (large plasmid),
colicin V, motilitas, endotoksin, resistensi komplemen, kemampuan menginvasi
sel dan jaringan dan kemampuan untuk berada dalam sirkulasi atau jaringan.

Gejala Klinis Infeksi Escherichia coli
Pedet yang menderita diare kronis akibat ETEC memperlihatkan gejala
klinis berupa lemah, lesu, tidak mampu berdiri, tidak mau menyusu, mukosa
pucat, turgor kulit jelek, aritmia, suhu tubuh meningkat tajam dan disertai
penurunan daya tahan tubuh. Kematian akan terjadi jika tidak segera dilakukan
penanganan. Tingkat kematian yang tinggi dapat terjadi apabila kejadian diare
berlangsung parah dan diikuti dengan septikemia dan perawatan yang buruk.
Kematian yang terjadi tergantung pada hebatnya serangan yang dialami pedet
(Supar et al. 2001)
Faktor individu yang mempengaruhi keparahan gejala klinis yang muncul
pada sapi neonatus adalah penurunan daya tahan tubuh. Penyebab penurunan
daya tahan tubuh diantaranya adalah intake pakan kurang, populasi terlalu padat,
kualitas pakan/susu rendah, higiene pakan dan sanitasi kandang buruk, stres akibat
suhu lingkungan, dan defisiensi antibodi maternal (Setiawan et al. 1983).

Pengobatan Escherichia coli pada Ternak
Antibiotik merupakan pilihan utama dalam pengobatan diare akibat
kolibasilosis pada anak sapi dan babi. Penggunaan antibiotik diyakini dapat
menghambat kerja bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli. Akan tetapi hasil
yang didapatkan kurang maksimal. Selain mortalitas pada pedet di lapangan tetap
tinggi, hasil uji sensitifitas beberapa isolat ETEC terhadap produk antibiotik di
11

beberapa daerah di Jawa Barat memperlihatkan adanya resistensi terhadap
beberapa macam antibiotik. Penggunaan antibiotik, selain sebagai obat, juga
menyebabkan adanya residu antibiotik dalam daging dan anggota tubuh ternak
lain. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penggunaan antibiotik dalam berbagai
kondisi perlu ditingkatkan, terutama pengawasan pada produk ternak sebagai
bahan yang dikonsumsi manusia (Supar 2001).
Salah satu alternatif dalam pencegahan kolibasilosis pada anak sapi adalah
pemberian vaksinasi pada induk dan transfer kekebalan pasif dari induk kepada
anak melalui pemberian kolostrum. Menurut Tizard (2000), vaksinasi merupakan
suatu tindakan memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh untuk
merangsang kekebalan, yang diharapkan dapat melindungi individu terhadap
infeksi yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan menurut Soeripto (2002),
vaksinasi dinilai efektif sebagai tindakan pencegahan karena aman dari residu dan
resistensi terhadap antibiotik serta biaya aplikasi yang lebih murah.
Aplikasi pemberian vaksin kepada induk sapi bunting trimester akhir dapat
dilakukan secara intra-muskuler atau sub-kutan, kemudian dilakukan booster
kembali pada 2 minggu sebelum induk melahirkan. Diharapkan dari vaksinasi
tersebut dapat diperoleh antibodi terhadap E. coli yang dapat diturunkan kepada
pedet melalui kolostrum. Hal tersebut dikarenakan kandungan IgG pada
kolostrum 5 hari pertama setelah induk sapi melahirkan sangat tinggi. Anak sapi
memerlukan antibodi maternal dari kolostrum induk karena tidak memiliki sistem
pertahanan humoral pada saat lahir (Supar 2001).
Vaksin untuk beberapa penyakit dibutuhkan untuk meningkatkan
kekebalan mukosal seperti halnya kekebalan sistemik. Penggunaan vaksin E. coli
dilakukan melalui beberapa rute antara lain sub-kutan, intra-kutan, per-oral,
dicampur dengan pakan, imunisasi transcutaneus, dan sistem pemberian depo
terkontrol (Tizard 2000).
Terdapat dua macam vaksin, yaitu vaksin aktif dan inaktif. Vaksin aktif
adalah vaksin yang mengandung antigen yang sudah dilemahkan untuk
menghilangkan sifat virulensinya namun masih dalam keadaan hidup. Sedangkan
vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi antigen yang sudah inaktif (dimatikan)

12

tetapi masih memiliki sifat imunogenisitas. Isi vaksin dapat mengandung satu atau
lebih antigen (monovalen atau polivalen) (Tizard 2000).
Vaksinasi atau imunisasi terbagi dalam dua macam, yaitu imunisasi aktif
dan pasif. Imunisasi aktif merupakan suatu tindakan vaksinasi langsung ke dalam
tubuh hewan. Sedangkan imunisasi pasif merupakan proses pemberian imunisasi
pada hewan rentan infeksi dengan cara memberikan antibodi yang diperoleh dari
hewan donor yang telah mengalami proses vaksinasi. Salah satu contoh dari
proses ini adalah pemberian kolostrum dari induk kepada anak yang baru lahir
(Tizard 2000).

Gambar 4. Vaksin E coli polivalen

Ketika vaksinasi berlangsung, vaksin yang berasal dari virus, bakteri atau
organisme yang telah mati atau dalam bentuk yang sudah ‘dilemahkan’,
disuntikkan ke dalam tubuh (Gambar 5, kiri). Vaksin merangsang sistem
kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap suatu organisme (Gambar
5, tengah). Kapanpun tubuh terserang oleh kuman setelah vaksinasi, antibodi pada
sistem kekebalan tubuh akan menyerang dan menghentikan infeksi (Gambar 5,
kanan). Vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh akan memberikan reaksi tanggap
kebal terhadap induk sapi (Scorvia 2009).

13

Gambar 5: Cara kerja vaksin (Sumber : www.sehatgroup.web.id ) [3 Juli 2009]

Diare
Secara klinis diare dibagi menjadi empat jenis, yaitu diare berair akut,
diare berdarah akut, diare persisten dan diare dengan malnutrisi berat. Pembagian
tersebut dengan mudah dapat dilakukan pada saat melakukan pemeriksaan fisik.
Setiap tipe diare merefleksikan proses patologi dan perubahan fisiologis yang
terjadi. Diare berair akut berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari.
Diare jenis ini dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan berat badan. Diare
berdarah akut selain menyebabkan dehidrasi, juga menyebabkan kerusakan usus,
sepsis, dan malnutrisi. Diare persisten berlangsung selama 14 hari atau lebih.
Selain dehidrasi, diare persisten dapat juga menyebabkan terjadinya malnutrisi
dan infeksi non-usus. Sedangkan diare dengan malnutrisi berat selain
menyebabkan dehidrasi juga dapat menyebabkan infeksi sistemik yang berat,
gagal jantung, serta defisiensi mineral dan vitamin (Daldiyono 1990)
Secara umum, diare dibagi menjadi dua kategori, yaitu diare yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan nutrisi (non-infeksius) dan diare yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (infeksius). Diare non-infeksius biasanya
disebabkan akibat adanya perubahan (yang mendadak) dari program pemberian
pakan. Kejadian ini bisa terjadi ketika pedet yang pada awalnya mengkonsumsi
susu sebagai sumber nutrisi, setelah tumbuh dewasa mulai mengkonsumsi serat
kasar atau hijauan sebagai suplemen. Selain itu, diare non-infeksius bisa juga
terjadi ketika dilakukan pemberian susu pengganti (CMR - Calf Milk
Replacement) yang tidak sesuai takaran, terlalu dingin atau bahkan basi.
14

Meskipun seringkali tidak terlalu membahayakan dan tidak sampai menyebabkan
kematian, diare non-infeksius ini (terutama pada sapi muda/pedet) dapat dengan
cepat melemahkan tubuh, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ternak menjadi
rentan terhadap diare infeksius atau penyakit lain yang lebih parah (Anonim
2006b).
Diare infeksius disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau protozoa. Oleh
sebab itu, identifikasi terhadap sumber penyebab diare merupakan sebuah langkah
penting dalam membuat program pencegahan diare. Beberapa bakteri yang
berperan

terhadap infeksi ini berasal dari jenis E. coli, Salmonella sp, dan

Clostridium sp (Anonim 2006b).

Gambar 6. Anak sapi penelitian yang terkena diare

Diare infeksius merupakan masalah yang sering terjadi, terutama pada sapi
pedet. Menurut Priyadi dan Natalia (2005), dari anak sapi perah yang mengalami
gejala diare, berhasil diisolasi kuman E. coli, coliform dan C. perfringens.
Sedangkan menurut Aldridge et al. (1992), E. coli merupakan kuman yang paling
sering diisolasi dari anak sapi yang mengalami septikemia.
Hasil pemeriksaan sampel feses anak sapi perah asal Pengalengan dan
feses anak kerbau asal Bararawa dan Sapala menunjukkan bahwa Bacillus spp., E.
coli dan Cl. perfringens merupakan kuman yang paling sering ditemukan pada
feses hewan, tanpa menunjukkan gejala diare. Kematian pada anak kerbau akibat
infeksi E. coli dapat mencapai 40,67% dan 38,09%, masing-masing di Desa
Bararawa dan Sapala (Priyadi dan Natalia 2005)
15

Kolostrum Sapi
Kolostrum atau susu jolong adalah susu yang dihasilkan oleh kelenjar
ambing pada tahap akhir kebuntingan dan bebehapa hari setelah induk melahirkan
(Anonim 2009c). Secara fisik, kolostrum berbeda dengan susu sapi, dengan warna
kekuningan

(kuning

tua)

dan

konsistensi

kental

serta

lebih

lengket

(Waterman 1998).
Menurut Lazzaro (2000), kolostrum mulai diproduksi pada 3-6 minggu
sebelum induk sapi melahirkan (periode kering kandang). Kolostrum disimpan
dalam kelenjar ambing selama 2-7 hari terakhir masa kebuntingan dan
diekskresikan pada 2-3 hari pertama setelah induk sapi melahirkan (Rucketbusch
et. al. 1991).
Kolostrum mengandung lebih dari 90 bahan bioaktif alami. Komponen
utama dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor imun dan faktor pertumbuhan.
Kolostrum juga mengandung berbagai jenis vitamin, mineral, dan asam amino
yang seimbang. Semua unsur ini bekerja secara sinergis dalam memulihkan dan
menjaga kesehatan tubuh (Rucketbusch et. al. 1991).
Menurut Blum dan Hammon (1999), kandungan asam amino essensial dan
non-essensial dalam kolostrum lebih tinggi dibandingkan dengan susu biasa.
Begitu pula dengan kandungan lemak, protein, Na, Cl, vitamin A, B12, E dan
mineral lainnya (Waterman 1998). Kandungan nutrisi yang tinggi dalam
kolostrum dapat digunakan dalam menunjang fungsi metabolisme optimal tubuh
dan mendorong percepatan pertumbuhan neonatus. Kolostrum mengandung faktor
pertumbuhan alami yang berfungsi untuk meningkatkan sistem metabolisme
tubuh, memperbaiki sistem DNA & RNA tubuh, mengaktifkan sel limfosit T,
mencegah

penuaan

dini,

merangsang

hormon

pertumbuhan,

membantu

menghaluskan dan menyehatkan kulit, mencegah osteoporosis, memperbaiki dan
meningkatkan pertumbuhan jaringan tubuh (Blum dan Hammon 1999).
Disamping sebagai faktor pertumbuhan, kolostrum sapi berfungsi juga
sebagai sumber nutrisi dan faktor imun. Fungsi kolostrum bagi kekebalan anak
yang baru dilahirkan adalah sebagai media transfer antibodi dari induk kepada
anak (Watermann 1998).

16

Peran kolostrum dalam reaksi imun adalah menunjang metabolisme
optimal tubuh dan meningkatkan kekebalan. Hal tersebut dikarenakan adanya
komponen bioaktif diantaranya imunoglobulin, beberapa growth factor, seperti
insulin like growth factor 1 (IGF-1) dan IGF-2, transforming growth factorbeta 2
(TGF-β2), dan faktor antimikrobial non-spesifik (lisozim, laktoferin, dan
laktoperoksida) yang terakumulasi menjelang proses kelahiran anak. Growth
faktor dan senyawa antimikrobal dalam kolostrum berperan dalam mengontrol
proses

kehidupan,

merangsang

menyediakan perlindungan

perkembangan

saluran

pencernaan,

dan

non-spesifik melawan infeksi pada sapi neonatus

(Elfstrad et. al. 2002; Reiter 1978; Odle et al. 1996 dalam Esfandiari 2005).
Salah satu hal yang membedakan kolostrum dengan susu sapi adalah
tingginya kadar immunoglobulin (Ig) dalam kolostrum (Watermann 1998).
Menurut Foley dan Otterbry (1978), kandungan IgG, IgM, dan IgA dalam
kolostrum masing-masing sebanyak 50-200, 60-100, dan 25-85 kali susu biasa.
Kolostrum mempunyai kandungan nutrisi 2 kali konsentrasi lemak, 4 kali
konsentrasi protein, 4-62 kali IGF-1 dan 2-4 kali kandungan IGF-2 dibandingkan
dengan susu sapi. Menurut Blum dan Hammon (2000), periode pelepasan
kolostrum berakhir sekitar 1 minggu setelah induk sapi melahirkan.
Imunoglobulin pada kolostrum sapi terdiri dari tiga kelas utama yaitu IgG,
IgM, dan IgA. Imunoglobulin G (IgG) merupakan immunoglobulin terbanyak
dalam kolostrum sapi (Larson 1992). Imunoglobulin G terdiri dari dua macam
sub-kelas yaitu IgG1 dan IgG2. Kandungan IgG1 dalam kolostrum sebanyak 8090% (Larson 1992). Imunoglobulin G1 merupakan antibodi utama yang berperan
dalam pengaturan respon kekebalan sekunder dan terlibat dalam kekebalan pasif
pada anak yang baru dilahirkan (Roitt et al 1998 dalam Esfandiari 2005).
Imunoglobulin G2 berperan dalam fiksasi komplemen, mediator sitokenisitas sel
neutrofil PMN (polymorphonuclear) dan presipitasi antigen. Imunoglobulin A
berperan melindungi permukaan selaput lendir (mukosa usus dan saluran
pernafasan), menetralisir toksin dan mencegah terjadinya kontak (perlekatan
antigen) dengan permukaan sel tubuh, meningkatkan sifat bakteriolitik dan
meningkatkan komplemen antigen. Sementara IgM berperan dalam mekanisme

17

melawan septikemia, fiksasi komplemen dan proses aglutinasi (Larson et.al.1980
dan Roitt et al. 1998 dalam Esfandiari 2005)
Kolostrum sapi mengandung komponen utama IgG yang digunakan
sebagai indikator untuk menentukan kualitas kolostrum yang diproduksi
(Waterman 1998). Selain itu, kualitas imunoglobulin dalam kolostrum yang
dihasilkan juga tergantung dari musim, ras sapi, umur induk, kesehatan kelenjar
ambing, waktu pemerahan setelah partus, periode kering kandang dan kemampuan
mengatasi infeksi oleh antigen (Aldrige et al. 1992; Arthington 1999). Menurut
Waterman (1998), jumlah kolostrum yang diperlukan oleh hewan neonatus
tergantung dari kualitas kolostrum yang dikonsumsi. Kolostrum mutlak diberikan
kepada hewan neonatus sebagai transfer kekebalan pasif dari induk. Hal ini
dikarenakan sapi neonatus tidak mendapat antibodi IgG dari induk melalui
plasenta sehingga mutlak diberikan kolostrum sebagai pasokan IgG (Tizard 2000).
Absorbsi kolostrum berlangsung sangat cepat segera setelah kolostrum
diberikan kepada anak neonatus. Kolostrum hanya efektif diberikan pada hewan
neonatus sebelum hewan berumur 24 jam (Halliwell dan Gorman dalam
Esfandiari 2005). Efisiensi penyerapan kolostrum pada anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya volume kolostrum yang diberikan, konsentrasi IgG
dalam kolostrum, dan jumlah total imunoglobulin yang dikonsumsi (Scoot dan
Fallen 1979 dalam Esfandiari 2005).

18

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 sampai dengan
September 2008. Penelitian dilaksanakan di Kandang Hewan Laboratorium
Ruminansia Besar dan Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah sepuluh ekor anak sapi Friesian
Holstein (FH) baru lahir, sehat secara klinis, dengan bobot badan pada saat lahir
berkisar antara 27-33 kg. Segera setelah lahir, anak sapi dipisahkan dari induk dan
ditempatkan di kandang dengan ukuran 3 x 3 meter. Kandang yang digunakan
dialasi dengan jerami kering.

Alat dan Bahan
Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah bakteri E. coli K-99
hidup, feses, kantung plastik dan sarung tangan.

Alat yang digunakan pada

penelitian ini adalah refrigerator dan termos es.

Metode Penelitian
Vaksinasi Induk Sapi Bunting
Sepuluh ekor induk sapi FH bunting trimester akhir digunakan sebagai
donor kolostrum. Vaksin yang digunakan adalah vaksin E. coli polivalen inaktif
yang mengandung antigen O157 dan O9, 101, enterotoksigenik E. coli K-99 dan
F41. Vaksinasi diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5 ml per ekor.
Vaksinasi dilakukan tiga kali yaitu pada 8, 4, dan 2 minggu sebelum induk sapi
diperkirakan akan melahirkan.

19

Koleksi Kolostrum Sapi
Kolostrum dari induk sapi yang telah divaksin dikoleksi segera setelah
masing-masing induk melahirkan. Kolostrum dari masing-masing induk kemudian
di-pool sesuai dengan waktu pemerahan, kemudian dimasukkan ke dalam
kemasan kantung plastik dan diberi label sebelum diberikan kepada sapi neonatus.

Pemberian Kolostrum/Susu Sapi
Sapi neonatus dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok
yang diberi kolostrum (kelompok kolostrum) dan kelompok yang hanya diberi
susu sapi (kelompok non-kolostrum). Kolostrum/susu diberikan kepada masingmasing sapi neonatus segera setelah lahir sebanyak 10%/KgBB, setiap 12 jam
selama tiga hari. Setelah itu sapi neonatus semua kelompok perlakuan diberi susu
sapi.

Uji tantang dengan Escherichia coli K-99
Uji tantang dilakukan per-oral dengan spoit menggunakan bakteri E. coli
K-99 hidup sebanyak 5x1010 CFU (coloni forming unit) pada semua kelompok
perlakuan. Uji tantang dilakukan pada saat anak sapi berumur 12 jam.

Pengambilan Sampel Feses
Pengambilan sampel feses dilakukan dengan penampungan menggunakan
kantung plastik. Pengambilan sampel feses dilakukan sebelum dan sesudah
dilakukan uji tantang, setiap 12 jam selama satu minggu.

Pemeriksaan Sampel Feses
Sampel feses yang telah ditampung diamati secara makroskopis, yang
meliputi warna, bau, dan konsistensi. Dilakukan pula pengamatan terhadap
frekuensi defekasi, onset dan durasi diare, tingkat keparahan dan identifikasi
bakteri dalam feses. Penilaian terhadap tingkat keparahan dilakukan melalui
pemberian skoring menurut Meyers (1981), dengan kriteria sebagai berikut :
normal (-) dengan feses masih berbentuk; (+) diare muncul dengan bentuk feses
20

lembek dan berlangsung 24 jam setelah uji tantang; (++) diare watery dengan
disertai dehidrasi; (+++) diare watery dengan dehidrasi parah, anak sapi dalam
keadaan lemah; dan (++++) anak sapi mengalami septikemia, dan ak