MODEL PENYELENGGARAAN TERPADU DAN EFEKNYA BAGI PENDIDIKAN POLITIK MASYARAKAT: PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sistem politik pada era ini, sering disebut sebagai sistem politik
demokratis partisipatif, sebagai hasil perubahan dari sistem politik
sebelumnya (masa orde baru) yang sering dikatakan sebagai sistem politik
otoriter-represif.
Partisipasi yang dimaksud disini meliputi partispasi publik dalam
proses-preoses perencanaan, pengambilan, pelaksanaan dan pengawasan
keputusan ataupun kebijaksanaan. Partisipasi-partisipasi publik tersebut dapat
berupa penerimaan, pendukungan, penolakan, penerimaan dengan syarat,
ataupun pemberian alternatif. Namun diakui, bahwa jika sistem nasional
perdiksi dari tiga pilar utama yaitu sistem politik, sistem hukum dan sistem
ekonomi sistem politik yang akan menjadi insfrastruktur bagi sistem-sistem
yang lain. Sistem politik yang demokratis partisipatif, pada tahap awal akan
memunculkan tatantan hukum otonom, dengan kecenderungan keadilan
prosedural. Pada tahap berikutnya akan berkembang menjadi tatanan hukum
responsif, dengan kecenderungan keadilan substantif (Nume dan Seclzmick,
1978). Keadilan substantif adalah keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat. Keadilan yang demikian dalam kenyataannya sudah yang dan
terbatas pada keadilan hukum, tetapi juga keadilan sosial, termasuk keadilan
politik.

Perubahan-perubahan struktural yang terjadi pada era reformasi ini,
antara lain dapat dilihat : amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat
kali, dengan berbagai konsekuensinya, perubahan susunan kekuasaan negara,
kemandirian kekuasaan kehakiman (UU No. 4/2004); otonomi daerah yang
diperluas (UU No.22/1999, UU no 32/2004; PERPU No.3/2005: PP No.
6/2005 dan PP No. 17/2005), termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada)
secara langsung, pemilu (pemilihan umum) legislatif (UU No.12/2003 UU No.
10/2008); Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU No. 23/2003) dan
seterusnya. Perubahan-perubahan struktural tersebut cenderung lebih cepat

1

1

2

terjadi, dibandingkan dengan perubahan kultural. Suatu sistem politik yang
solid atau stabil-dinamis memerlukan keseimbangan kualitas antara struktur
politik dan kultur politik (Nurhadiantomo, 2007/;2008).
Yang dimaksud dengan ”Pemilu Legislatif” disini adalah pemilu dalam

rangka pemilihan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) baik
DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/kota, yang juga sering disebut
”Pilwan” (Pemilihan dewan). Sementara yang dimaksud dengan ”Pemilihan
Eksekutif” dalam konteks ini adalah pemilu dalam rangka pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, yang sering disingkat dengan ”Pilpres” yang meliputi
Pilpres I (putaran pertama) dan Pilpres II (putaran kedua). Dalam sistem
politik demokratis – partisipatif, yaitu sistem politik yang mengutamakan
partisipasi

masyarakat,

khususnya

partisipasi

dalam

proses-proses


pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan dan pengawasan keputusan.
Pemilu legislatif dan pemilu eksekutif merupakan proses pengambilan
keputusan yang berskala besar dan mendasar, karena akan menentukan
jalannya penyelenggaraan kehidupan bernegara-bangsa.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan
pemilu yang demikian adalah apabila masalah-masalah pemilu dapat
diselesaikan dengan baik. Masalah-masalah pemilu itu dapat digolongkan
menjadi dua hal pokok. Pertama, bagaimana melaksanakan sistem yang sudah
ada aturan-aturannya secara umum (diakui dan dianut oleh umumnya negaranegara demokratis konstitusional) yang sering disebut electoral laws. Electoral
pada umumnya mengatur sistem pemilu dan memuat aturan-aturan yang
menata bagaimana pemilu dijalankan, bagaimana distribusi hasil pemilu
diterapkan dan sebagainya. Kedua, bagaimana mekanisme penyelenggaraan
pemilu atau disebut dengan electoral process. Dalam electoral process ini
ditentukan tentang lembaga penyelengara, partai peserta Pemilu, dapat
berjalan dengan baik, sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, harus ada keseimbangan antara electoral
laws yang berupa aturan-aturan yang berlaku dan electoral process yaitu

3


praktek penyelenggaraan Pemilu. Kualitas penyelenggaraan Pemilu tersebut
tidak terlepas dari kondisi budaya politik dan budaya hukum yang berjalan
dalam kehidupan bernegara-bangsa dan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bernegara-bangsa konsep”Pendidikan Politik”
tertuang dalam GBHN tahun 1978, yang antara lain disebutkan: ”Pendidikan
politik rakyat ditingkatkan, agar makin sadar akan hak dan kewajibannya
sebagai warga negara, sehingga ikut serta secara aktif dalam kehidupan
kenegaraan dan pembangunan. Sementara itu, Alfian menyebutkan bahwa
pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk merubah
proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka memahami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal
yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan menghasilkan sikap
dan tingkah laku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal itu
dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru (Alfian,
1977).
Arti penting partisipasi rakyat dalam kehidupan kenegaraan dan
pembangunan, yang merupakan hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan
sebagai salah satu tujuan pokok dari pendidikan politik. Tentu saja, intensitas
dan cakupan partisipasi pada masa orde baru dengan sistem politik yang
cenderung otoriter-represif, berlainan dengan intensitas dan cakupan

partisipasi pada era reformasi dengan sistem politik yang cenderung
demokratis – partisipatif. Tetapi harus diakui, bahwa demokrasi sebagai
landasan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat pada era
reformasi ini masih dalam tahapan pembelajaran yang disebut sebagai era
demokratisasi menuju masyarakat demokratis dalam arti yang sebenarnya.
Pada awal reformasi, misalnya dalam proses kampanye 1999, gerakan massa
dan elite partai politik (Parpol) peserta pemilu dalam kampanye, belum dapat
membedakan antara apa yang disebut ”liar” dengan ”bebas” karena kebebasan
senantiasa berada dalam koridor hukum, etika dan tanggung jawab.
Tujuan dari suatu pendidikan politik tentunya adalah membentuk sikap
dan tingkah laku politik masyarakat, agar memahami dan menghayati

4

”kerangka ideal” dari suatu sistem politik, yang pada gilirannya akan
mendukung system politik yang dimaksudkan. Pada pasal 33 ayat (1) UU
No.2 tahun 2008, disebutkan : ”Partai politik melakukan pendidikan politik
bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a.
Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, b. Meningkatkan partisipasi politik
dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, c. Meningkatkan kemandirian, kedeweasaan dan membangun
karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa”.
Selanjutnya, pada pasal 31 ayat (2) UU No. 2 tahun 2008, disebutkan:
”Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk
membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila”.
Dari apa yang telah dikemukakan, pendidikan politik memiliki makna
dan cakupan yang sangat luas, baik proses atau metode maupun isi pesanpesan (messages) berupa nilai-nilai dan norma-norma. Pendidikan politik
sebagai suatu proses, akan menghasilkan suatu efek baik kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap), maupun konatf (tingkahlaku), melalui berbagai
jalur pendidikan yang ada, dan memakan waktu yang panjang. Seperti halnya
pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan, maka pendidikan politik
merupakan bagian integral dari kebudayaan politik, dan kultur politik bersama
struktur politik merupakan penyangga dari suatu sistem politik.
Pemilu merupakan salah satu sarana penting dalam pendidikan politik
rakyat. Setiap kegiatan pemilu, yang tahapannya begitu banyak dan aspekaspeknya sangat luas, terkandung makna pendidikan politik bagi masyarakat,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan tersebut sejak dari
sosialisasi, penyusunan daftar pemilih, pencalonan anggota legislative,
kampanye, pemungutan suara, perhitungan suara, penetapan hasil pemilu dan

sebagainya. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, ketaatan terhadap
hukum dan etika merupakan messages pokok dalam proses pendidikan politik,
khususnya melalui penyelenggaraan Pemilu.

5

Sejak tahun 2004, bangsa Indonesia telah berhasil menyelenggarakan
tiga pemilu dalam satu rangkaian pemilu 2004, yaitu pemilihan anggota DPD,
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota, serta dua tahap pemilihan
Presiden putaran pertama dan kedua. Sebelum tahun 2004, bangsa Indonesia
telah menyelenggarakan pemilihan presiden sebanyak sembilan kali melalui
lembaga legislatif. Tetapi sejak tahun 2004 untuk pertama kalinya bangsa
Indonesia menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil presiden secara
langsung.

Pemilian

eksekutif

secara


langsung

itu

segera

diikuti

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil daerah secara langsung,
baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota.
Secara umum Pemilu 2004, baik Pilwan maupun Pilpres adalah
peristiwa yang sukses dan menjadi salah satu sejarah baru sebagai konsolidasi
demokrasi yang solid. Meski demikian, masih terdapat beberapa hal yang
perlu diperbaiki. Misalnya, adanya data yang tidak sama antara data yang
dimiliki BPS dengan data KPU tentang jumlah orang yang memiliki hak
suara. Kecenderungan korupsi pemilu dan money politics masih ditemui
dengan berbagai ragam dan bentuk. Masih dijumpai adanya PNS, bahkan TNI
dan Polri, yang tidak netral dalam beberapa kasus dan kejadian yang
dilaporkan di daerah. Sistem pemungutan suara yang menggunakan informasi

teknologi (T) dalam rangka mendukung data pusat tabulasi nasional KPU
yang masih lemah (Trikantoro, 2005; Badoh dan Djani, 2006).
Pemilu 2009 yang baru lalu, merupakan pemilu ketiga dan pemilu
presiden yang kedua pada era reformasi, baik Pilwan 2004, tentunya dengan
beberapa perubahan yang bersifat penyempurnaan, berdasarkan pengalaman
sebelumnya. Perlu dicatat, bahwa pilpres 2009 berlangsung dalam satu kali
putaran. Salah satu hal yang menonjol dalam pemilu 2009 mendatang adalah
keterwakilan perempuan dalam Parpol. Pada pasal 2 ayat (2) UU No.2 tahun
2008, disebutkan: Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyatakan 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan. Selanjutnya pada pasal 2 ayat (5) UU No. 2 tahun 2008,
ditentukan. ”Kepengurusan partai politik di tingkat pusat sebagaimana

6

dimaksud ayat (3) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) keterwakilan perempuan”. Begitu pula, pasal pasal 20 UU No.2 tahun
2008, disebutkan ”Kepengurusan Partai politik tingkat provinsi dan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pasal 19 ayat (2) dan (3) disusun
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga

puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART partai politik masingmasing. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 bahwa pemilih perempuan
mencapai 53% dari seluruh pemilih yang ada, calon legislatif yang terpilih
dari kaum perempuan hanya 11,27%. Dengan semakin keadilan dan
kesetaraan gender (pasal 1 ayat (1) UU No.2/2008), diharapkan keterwakilan
perempuan dalam lembaga legislatif pusat dan daerah sekurang-kurang dapat
mencapai 30%.
Beranjak dari tema dan apa yang telah diuraikan di atas, penelitian ini
berfokus pada beberapa beberapa hal, yang meliputi: pertama, partisipasi
dalam pemilu, khususnya derajat partisipasi pemilih yang menggunakan hak
pilihnya serta kecenderunganya meningkat atau menurun, yang merupakan
efek dari proses pendidikan politik. Kedua, kampanye Pemilu sebagai suatu
proses komunikasi politik yang akan membawa berbagai efek, seperti hasil
voting bagi masing-masing kontestan, termasuk berbagai jenis pelanggaran
hukum dan etika yang kontraproduktif terhadap proses pendidikan politik.
Ketiga,

keterwakilan

perempuan


sekurang-kurangnya

30%

dalam

kepengurusan parpol, dan pada gilirannya juga dalam lembaga legislatif pusat
dan daerah pada pemilu 2009 mendatang. Motivasi yang melatarbelakangi ide
tersebut, serta maknanya bagi keberadaan perempuan di negeri ini. Keempat,
peranan dan citra parpol dalam penentuan calon legislatif (Caleg) menurut
pandangan pemilih. Kelima, ide pemilu terpadu Pilwan-Pilpres, Pilgub,
Pilbup, Pilwali, hingga Pilkades. Tingkat kejenuhan pemilih, tentunya yang
harus diperhitungkan dalam pemilihan langsung tersebut. Keenam, format dan
substansi hukum sebagai kebijakan publik dalam pemilu terpadu.
.

7

2. Road map penelitian
Studi tentang pemilu (pemilihan umum) di Indonesia, sejak pemilu
1955 (pemilu pertama), dan enam kali penyelenggaraan pemilu pada masa
order baru, telah banyak dilakukan baik oleh peneliti asing maupun peneliti
Indonesia sendiri. Tetapi studi tentang Pemilu di Indonesia

pada masa

reformasi, khususnya pemilu 2004, yang merupakan satu rangkaian Pilwan
dan Pilpres (secara langsung) yang terdiri dari Pilpres I dan Pilpres II, dengan
pendekatan parsial ataupun komprehensif, relatif masih terbatas.
Salah satu hasil studi tentang pemilu di era reformasi, terutama pemilu
2004 baik Pilwan maupun pilpres, yang menarik adalah hasil studi dari
Ibrahim Fahmy Badoh dan Luky Djani dengan topik: Korupsi pemilu yang
diterbitkan oleh Indonesia corruption watch (ICW) tahun 2006. kajian ini
mengetengahkan berbagai hal berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu,
khususnya pemilu 2004 yang menyangkut pelanggaran hukum dan etika,
berbagai kerawanan hukum yang mengawal penyelenggaraan pemilu, politik
uang

(money

politics),

pelanggaran

administratif,

pengelolaan

dana

kampanye, hingga usulan perbaikan sistem pemilu termasuk undang-undang
yang menjadi landasan pemilu. Hasil studi ini sangat bermanfaat dalam upaya
perbaikan sistem pemilu berikutnya. Hasil studi lain adlaah Karya Didik
Supriyanto tentang Menjaga Independensi Penyelengaraan Pemilu. Yang
diterbitkan oleh Perludem tahun 2007, sehubungan dengan lahirnya UU No.
22/2007 tentang penyelenggaraan Pemilu, berkaitan dengan potensi dan fungsi
KPU dan KPUD, serta pihak pengawas pemilu.
Pendekatan penelitian ini bersifat komprehensif, dan diawali dengan
penelitian pendahuluan, dengan mengkaji data sekunder yang telah ada yang
diperkuat dengan data primer sebagai hasil wawancara mendalam (2007). Dari
hasil penelitian pendahuluan, selanjutnya muncul pokok penelitian yang
dirumuskan dalam judul penelitian di atas yaitu Model Penyelenggaraan
Pemilu Terpadu (Legislatif dan Eksekutif) dan efeknya bagi pendidikan politik
masyarakat. Selanjutnya muncul fokus penelitian yang meliputi beberapa

8

aspek, sebagaimana telah disebutkan di depan yang secara ringkas dapat
diketengahkan kembali, yang meliputi: partipasi dalam pemilu, khususnya
derajat partisipasi pemilih, kampanye pemilu dan hasil voting bagi masingmasing konstestan, keterwakilan perempuan, khususnya dalam pemilu 2009,
peranan dan citra parpol dalam penentuan Caleg dan Pemilu Terpasu Pilwan –
Pilpres dalam perspektif pemilih.

3. Hasil-hasil Penelitian Tahap I (Tahn I/2009)
a. Partisipasi dalam pemilu
Derajat partisipasi dalam pemilu legislatif (Pilwan) khususnya
Pemilu bagi anggota DPR (2009), terendah dalam sejarah pemilu di
Indonesia. Pemilih yang masih dalam daftar pemilih tetap (DPT)
berjumlah 171.068.667 orang dan yang menggunakan hak pilihnya
70,96%, sehingga yang tidak menggunakan hak pilihnya 29,04%. Pemilih
yang masuk dalam DPT Pemilu Eksekutif / Pemilu Presiden (Pilpres)
(2009), berjumlah 176.367.056 orang dan yang menggunakan hak pilihnya
72,56%, sehingga yang tidak menggunakan hak pilihnya 27,44 % dan
suara tidak sah 5,06%. Dibandingkan dengan Pilwan 2009, derajat
partisipasi Pilpres 2009 ada peningkatan 1,6% suatu peningkatan yang
belum signifikan. Tetapi jika dibandingkan dengan Pilpres 2004 (putaran
I) dengan derajat partisipasi 78,23% dan suara tdak 2,17% dan Pilpres
2004 (Putaran II) dengan tingkat partisipasi 76,63% dan suarat tidak
2,06% derajat partisipasi pada Pilpres 2009 cenderung terus menurun.
Bagi pemilih yang menggunakan hak pilihnya, baik pada Pilwan
2009 maupun pilpres 2009, memiliki alasan bahwa partisipasi dalam
Pemilu sebagai kewajiban hak, sebagai warga negara yang baik dan
bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Non voting dan DPT
Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilwan 2009
mencapai 29,04% suatu persentase tertinggi dalam sejarah Pilwan di tanah
air. Jika ditambah suara tidak sah yang mencapai 14,41% persentase non

9

voting (golput) mencapai 43,45%, derajat partisipasi akan terlihat lebih
rendah lagi. Semenara itu, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya
dalam Pilpres 2009 mencapai 27,44% yang berarti ada kenaikan 1,6%
dibandingkan dengan Pilwan 2009, suatu kenaikan yang tidak signifikan
dalam proses perkembangan partisipasi publik. Jika ditambah dengan
suara tidak sah dadlam pilpres 2009 yang mencapai 5,06%, persentase
Golput mencapai 32,5% walaupun lebih dibanding Golput dalam Pilwan
2009 yang mencapai 43,45%, angka itu tetap cenderung tinggi. Ada dua
faktor penyebab menurunnya derajat partisipasi dalam Pilwan 2009 dan
Pilpres 2009, pertama, kejenuhan, dan kedua apatisme. Masyarakat
khususnya pemilih merasa jenuh, karena banyaknya acara pemilihan
kepemimpinan secara langsung, sejak dari Pilkades, Pilkada (gubernur,
bupati/walikota), Pilwan hingga pilpres. Apatisme juga menghinggapi
masyarakat khususnya pemilih, bahwa sistem pemilihan langsung nasional
maupun lokal, baik legislatif maupun eksekutif, sesuai dengan aspirasi
rakyat. Pola kepemimpinan yang sesuai dengan aspirasi rakyat adalah
kepemimpinan yang dapat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.
Dalam pilwan 2009, DPT berjumlah 171.068.667 orang, dan dalam
Pilpres 2009 DPT berjumlah 176.367.056 orang yang berarti terdapat
selisih 5.298.389 orang. Dari data ini terlihat, bahwa dalam Pilwan 2009,
setidak-tidaknya terdapat 5.298.389 orang yang kehilangan hak pilihnya.
Jumlah itu kemungkinan akan lebih besar lagi, karena pada pilpres 2009
masih ada penduduk yang sebenarnya memilkiki hak pilih, tetapi tidak
masuk dalam DPT. Hal demikian, menunjukkan lemahnya administrasi
kependudukan nasional, selain pelanggaran terhadap hak sipil dan politik
yang telah diratifikasi tahun 2005.

c. Kampanye pemilu
Kegiatan kampanye pemilu merupakan suatu proses yang akan
menghasilkan sejumlah efek. Untuk itu, ada beberapa aspek yang perlu
dicatat dalam proses kampanye tersebut. Pertama, kegiatan kampanye

10

pemilu (Pilwan dan Pilpres) lebih bersifat rasional-persuatif dibandingkan
emosional-konfrontatif. Walaupun terjadi pelanggaran hukum dan etika
kampanye relatif kecil dan tidak berkembang menjadi konflik terbuka
antara pendukung parpol. Kedua, kegaiarahan dalam kampanye terbuka
dalam pemilu 2009 (Pilwan dan Pilpres) seperti rapat akbar, panggung
terbuka dan arak-arakan kendaraan bermotor cenderung menurun,
dibandingkan dengan pemilu 2004 (Pilwan dan Pilpres), apalagi
dibandingkan dengan pemilu 1999 dengan massa Peserta pemilu yang
sangat tinggi. Ketiga, televisi khususnya tv-swasta menjadi sumber utama
informasi pemilu, dan saluran-saluran (channels) komunikasi yang lain
termasuk komunikasi sosial sebagai faktor pendukung dalam preoses
difusi informasi pemulu tersebut. Keempat, dalam pandangan masyarakat
khususnya pemilih, messages pemilu (Pilwan dan Pilpres) berupa visi,
missi dan program-program, dianggap serupa/sejenis dalam arti tidak ada
yang “mengigit dan inovatif. Dalam situasi seperti ini tentunya parpol
yang berkuasa, yang memiliki peluang lebih besar dalam difusi informasi
atas program-program yang telah berhasil dijalankannya. Kelimat baik
dalam Pilwan maupun pilpres, pencitraan tokoh ataupun public figure
lebih menarik afinitas politik dibandingkan dengan program-program yang
ditawarkan. Keenam, lingkungan sosial seperti lingkungan RT dan RW,
tempat-tempat ibadah, pos ronda, warung-warung kopi, tempat berkumpul
anak-anak muda, bahkan lingkungan keluarga, cenderung bersifat netral.
Hal demikian, karena berakhirnya ”politik aliran” dan memudarnya ikatanikatan politik primordial.
Kampanye pemuli memiliki sejumlah efek, yang terdiri dari
partisipasi dalam pemul, hasil votig, dan maknanya bagi pendidikan
politik masyarakat. Tingkat partisipasi dalam pemulu, selain karena
sosialisasi yang dilakukan KPU dan KPUD, juga karena proses kampanye
yang dilakukan parpol peserta pemilu. Efek dari proses kampanye yang
pemilu yang ditekankan di sini adalah maknanya bagi pendidikan politik
masyarakat, yang dapat dilihat dari tingkat pelanggaran hukum dan etika

11

politik dalam proses kampanaye itu. Tingkat pelanggaran hukum sejak
dari pelanggaran lalu lintas hingga politik uang dan pelanggaran etika
politik seperti penyelenggaraan panggung hiburan seronok, pemasangan
tanda gambar caleg yang tidak pantas, relatif terbatas. Terjadinya politik
uang, disamping karena tindakan caleg, juga karena sikap masyarakat
sendiri, yang cenderung terbuka terhadap politik uang tersebut. Adanya
aturan main, bahwa untuk meraih ”calon jadi” tidak lagi ditentukan oleh
jumlah suara yang diperoleh masing-masing caleg, menjadi salah satu
faktor pendorong yang kuat terjadinya politik uang. Dapat dicatat pula,
bahwa politik uang lebih banyak dilakukan oleh caleg baru, terutama
untuk DPRD, sedangkan caleg lama cenderung kehabisan dana.
Relatif terbatasnya pelanggaran hukum dan etika politik dalam
penyelenggaraan Pemilu 2009 (Pilwan dan Pilpres), yang berarti tingkat
ketaatan terhadap hukum dan etika politik relatif tinggi.
d. Keterwakilan perempuan
Kepengurusan

Partai

politik

ditingkat

pusat,

provinsi,

kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
paling rendah 30%, yang diatur dalam AD dan ART partai politik masingmasing (UU No. 2/2008, pasal 2, ayat 5, dan pasal 20). Dalam UU No.
10/2008, pasal 35, ayat 2 juga disebutkan : di dalam daftar bakal calon
terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
Pada pemilu Legislatif 2004, pemilih perempuan mencapai 53%
dari seluruh pemilih yang ada, tetapi caleg terpilih dari kaum perempuan
hanya 11,45%. Jumlah anggota DPR (2004-2009) 550 orang, 63 orang
diantaranya perempuan. Pada pemilu legislatif 2009, persentase pemilih
perempuan kurang lebih sama dengan pemilu sebelumnya. Jumlah anggota
DPR (2009-2014) adalah 560 orang, 99 orang diantaranya perempuan atau
17,68%. Dari sini terlihat, bahwa dibandingkan dengan hasil pemilu 2004,
perempuan yang duduk sebagai anggota DPR hasil pemilu 2009
meningkat secara signifikan menjadi 17,68% atau mengalai kenaikan
6,23% tetapi masih jauh dari kerangka deal 30%. Bagi pemilih perempuan,

12

pendekatan kuantitatif (target 30%) tidak ada salahnya dalam menegakkan
keadilan gender. Tetapi pendekatan kualitatif juga tidak kalah pentingnya,
dalam arti bahwa anggota parlemen perempuan secara kualitas terandalkan
dalam memperjuangkan keadilan gender, kepentingan dan aspirasi
perempuan.
e. Perananan dan citra partai politik (parpol)
Sebagai infrastruktur politik, kedudukan dan peranan parpol sangat
strategis dalam proses pemunculan suprastruktur politik, yaitu apa yang
dihasilkan oleh Pemilu. Dalam pandangan pemilih ada beberapa hal yang
perlu dicatat, pertama, bahwa parpol belum dapat berperan secara optimal
dalam menyalurkan aspirasi rakyat, khususnya aspirasi konstituen. Kedua,
parpol belum mampu memunculkan kader-kader terbaiknya sebagai caleg,
karena salah satu syaratnya adalah dana yang relatif besar yang harus
disediakan oleh para kader terbaik tersebut. Ketiga, secara organisatoris,
parpol belum mampu menjaga komunikasi secara berkelangsungan dengan
konstituenya. Karena kondisi tersebut masa pendukung parpol cenderung
cair dalam arti alfinitas politik antara massa pendukung dengan parpol
yang bersangkutan menjadi begitu longgar. Dari sini massa pendukung
parpol, khususnya pemilih dengan mudah berganti parpol yang menjadi
pilihannya.
f. Model pemilu menurut pandangan publik
Model pemilu yang dikehendaki oleh masyarakat cenderung pada
pemilihan pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional secara
terpadu terdiri atas pemilu DPR, DPD dan presiden dan pemilu daerah
secara terpadu terdiri atas pemilu DPRD ( Provinsi, kabupaten/kota), dan
Pilkada gabungan (gubernur, bupati dan walikota). Pemilu nasional
dilaksanakan terlebih dahulu, baru menyusul pemilu daerah. Antara
pelaksanaan kedua pemilu tersebut tentunya harus ada rentang waktu,
boleh jadi dua tahun. Adanya rentang waktu dua tahun tersebut, agar
masyarakat khususnya pemilih, dapat menilai tehradap hasil pilihannya,

13

mengurangi tingkat kejenuhan dan bagi penyelenggara pemilu dapat
melakukan persiapan secara lebih matang.
g. Penetapan suara terbanyak
Berkenaan dengan pemilu-pemilu sebelumnya pemilu 2009, antara
lain ditandai dengan penetapan caleg DPR terpilih berdasarkan perolehan
suara terbanyak pada tiap-tiap daerah pemilihan dari daftar calon tetap
(DCT) yang diajukan oleh partai politik (Parpol) peserta pemilu. Meski
demikian, pemilih tetap diberi peluang untuk menentukan pilihannya
berdasarkan tanda gambar parpol peserta pemilu. Dengan mekanisme
pemilihan dan penetapan caleg terpilih seperti ini, pemilu 2009 telah
memperkenalkan cara baru dalam rekruitmen perwakilan politik dengan
mengkombinasikan peran parpol dan peran pemilih (rakyat)

95

LAMPIRAN
Judul Tesis Mahasiswa S2 / Magister Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang dilibatkan dalam penelitian Hibah
Pasca
Tahun I (2008 – 2009).
1. Keadilan gender dalam politik. Studi Tentang Pemunculan Anggota Legislatif
Wanita dalam pemilu legislatif 2004 dan 2009
Sri Hastutik Ekowati, SH
NIM. R 100080033
2. Pemilu Legislatif sebagai Sarana Pendidikan Hukum dan Politik. Studi
Tentang Tingkat Ketaatan Partai Politik Peserta Pemilu Terhadap Hukum dan
Eetika Politik.
Zainnudin Fanarie, SH
NIM: R 100080024
3. Format Pemilu Terpadu yang Demokratis – Partisipatif: Studi tentang
Efektivitas Hukum.
Muhammad Sofyan, SH
NIM: R 100080008
Tahun II (2008 – 2009).
4. Disorder Law dalam penyelenggaraan Pemilu kode tahun 2007 di kota
Bengkulu. Studi Tentang Pemerintah Pemandulan Eksekutif Putusan Money
Politik.
Emma Ellyani, SH
NIM: R 100 090 006
5. Pemilu Kada dan Hukum Kesehatan: Studi Tentang Pemeriksaan Fisik dan
Jiwa bagi Calon Pimpinan Daerah.
Kusuma Retnowati, SH
NIM 100 090 010
6. Penyelesaian Wewenang Penyelesaian Sengketa Pemilu Kada dari Mahkamah
Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Janu Aji Hermawan
NIM. R 100 080 012

92

DAFTAR PUSTAKA
Hamid S. Attamimi. 1993. Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Diucapkan dalam Pidato
Purna Bakti Guru Besar Tetap Fakultas UI. Depok.
Afrosin Arif, Respati. 2006. Mengawal Demokrasi. Dinamika Pilkada Kabupaten
Grobogan. Surakarta. Indonesia: Iskra Publisher.
Alfian. 1977. Pemikiran dan Perubahan Politik. Jakarta: PT. Gramedia.
Anderson. Games E. 1979. Public Policy Making. Praeger Publishers. New York.
Anonim. 2003. Lembaga
http://www.kpu.go.id.

Penyelenggaraan

Pemilu

di

Indonesia.

Anonim. 2003. Himpunan Undang-undang Bidang Politik. Jakarta. Indonesia:
KPU Press.
Anugrah, Astrid. 2008. UU Parpol 2008 (UU No. 2 Tahun 2008) dan
Keterwakilan Perempuan dalam Parpol. Jakarta: Penerbit Pancuran Alam.
Arief Sidharta. 1994. Teori Murni Tentang Hukum. Dalam Lili Rasjidi dan Arief
Sidharta. Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya. Bandung. Remaja
Rosdakarya.
Badoh, Ibrahim Fahmy dan Luky Djani. 2006. Korupsi Pemilu. Jakarta: Indonesia
Corruption Watch (ICW).
Bintan R. Saragih. 1997. Evaluasi Pemilu Orde Baru dalam Kumpulan Makalah
dengan Judul Masyarakat dan Sistem Pemilu Indonesia. Bandung.
Indonesia: Mizan.
Bintoro Tjokroamidjojo. 1991. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES.
Jakarta.
Braithwaite. J. G. Grootaert dan B. Milanovic. 2000. Poverty and Social
Assistance in Transition Countries. New York: St. Martin’a Press.
Campell. T. G. Petersen dan J. Bazark. 1991. Decentralization to Local
Government in LAC: National Strategies and Local Response In Planning.
Spending. And management. LAC Regional Studies Program Report 5.

93

Latin American And The Caribbean Technical Department. World Bank.
Washington D.C.
Dye. R. Thomas. 1978. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs. Prentice
Hall Inc. New Jersey.
Governance for Sustainable Human Development. The United Nations
Development
Programmed.
Governance:
Sound
Development
Management. Asian Development Bank. 1995.
Jones. Charles O. 1997. An Introduction to Study of Public Policy. Duxbury Press.
Massachusetts.
Kelsen. Hans. 1973. General Theory of Law and State. Terjemahan Andern
Wedberg. New York. Russell & Russell.
Magnis-Suseno, Franz. 2003. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Milovanovic. Dragan. 1994. Sociology of Law. Harrow and Heston. New York.
Narayan. D. Et.Al. 2000. Voices of The Poor: Can Anyone Hear Us? (Vol. 1) New
York. N. Y. Publisher for The World Bank. Oxford. University Press.
Nonet, Philipe & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition. Toward
Responsive Law. New York: Harper and Row.
Nurhadiantomo. 2008. Masyarakat Majemuk, Transformasi Sosial dan Peranan
Hukum. Surakarta: Program PKn-FKIP-Universitas Muhammadiyah
Surakarta (terbitan terbatas).
_____________, Januari 1978. ”Etika Komunikasi Politik: Perspektif Kampanye
Pemilu dan Beberapa Implikasinya”, dalam Jurnal Akademik, No. 3, Tahun
VI. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. (ed). 1996. Pemberdayaan Konsep
Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta.
Partnership for Government Reform. 1999. Tata Pemerintahan yang Baik dari
Kita Untuk Kita. Jakarta.

94

Ravallion M. Dan B. Bidani. 1991. Measuring Changes in Poverty Profile. World
Bank Economic Review. 5.
Sigler. Jay. A. dan Benjamin R. Beede. 1977. The Legal Sources of Public Policy.
D.C Heath and Company. Belmount. California.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali
Press. Jakarta.
Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raya
Grafindo Persada. Jakarta. 1995.
Supriyanto, Didik. 2007. Menjaga Inepenent Penyelenggaraan Pemilu. Jakarta:
Perludem.
Trikartono, Dradjat. 2005. ”Membaca Ulang Pemilu Tahun 2004”. Dalam Dari
Pilwan ke Pilpres: Laporan Pemilu 2004 di Surakarta. Surakarta: Komisi
Pemilihan Umum Kota Surakarta.
Trubek. David. 1972. M. Toward a Social Theory o Law: An Essay on the Study
of Law and Development. The Yale Law Journal. Vol. 83. Number I.
World

Bank Institute and Parliamentery Centre. 1998. Parliamentary
Accountability and Good Governance. A Parliamnetarian’s Handbook.

Zetter, Lionel. 2008. Strategi Memenangkan Pilkada, Pemilu & Pilpres. Jakarta:
PT. Ina Publikatama.
Undang-undang
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD.
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden – Wakil Presiden.
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD

LAPORAN PENELITIAN
HIBAH PENELITIAN TIM PASCA SARJANA-HPTP
(HIBAH PASCA)

MODEL PENYELENGGARAAN TERPADU DAN
EFEKNYA BAGI PENDIDIKAN POLITIK MASYARAKAT:
PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

Oleh:
Dr. Nurhaidnatomo
Dr. KP Eddy S. Wirabhumi, S.H.

Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departement Pendidikan Nasional
Sesuai dengan Huruf Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian
Nomor Kontrak: 316/SP2H/PP/DP2M/IV/2010,
Tertanggal 12 April 2010

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
OKTOBER 2010

i

ABSTRAK
Pemilihan umum (Pemilu), yang terdiri atas pemilu legislative, pemilu
presiden, dan pemilu kepala daerah pada era reformasi sebagai proses pemunculan
wakil rakyat dan pejabat pimpinan melalui jalan pemilihan (voting), yang diproses
dalam pengambilan keputusan dengan skala yang sangat besar. Sistem politik
pada era reformasi yang cenderung demokratis partisipasif, memungkinkan
penyelenggaraan pemilu yang demikian.
Permasalahan yang timbul pada intinya adalah bagaimana
penyelenggaraan pemilu dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan aspirasi
rakyat, berjalan dalam kondisi hukum dan etika politik, dan artinya bagi
pendidikan politik masyarakat. Dari sinilah, selanjutnya muncul sejumlah fokus
penelitian yang juga dapat dijadikan sebagai tujuan penelitian juga dapat dijadikan
sebagai tujuan penelitian. Dari hasil penelitian pendahuluan muncul sejumlah subfokus, dan yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah perubahan
format dan pemilu seperti yang dikehendaki oleh pemilih, dan konsekuensinya
pada perubahan regulasi berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Selanjutnya,
adalah menurunnya derajat partisipasi dalam pemilu di era reformasi;
penyelenggaraan kampanye pemilu sebagai proses dan efek komunikasi politik,
keterwakilan perempuan, penanam partai politik sebagai infrastruktur politik, dan
penetapan caleg DPR berpihak berdasarkan jumlah suara. Penelitian ini,
menggunakan metode kualitatif, melalui tahap-tahap yang telah ditentukan,
dengan analisis reflektif mengalir hingga pemaknaan temuan-temuan.
Penelitian ini membawa sejumlah hasil yang utama, bahwa publik
menghendaki adanya perubahan format pemilu, yang berarti perubahan sistem
publik, adalah pemilihan pemilu nasional (pusat) dengan pemilu daerah. Pemilu
Nasional merupakan gabungan dari pemilu legislative pusat (DPR dan DPD) dan
Pemilu Presiden. Pemilu daerah merupakan gabungan dari pemilu legislatif
Daerah (DPR Provinsi, Kabupaten, Kota) dan pemilu eksekutif daerah (Gubernur,
Bupati, Walikota). Pemilu Nasional dilaksanakan terlebih dahulu, baru disusul
pemilu daerah. Rentang waktu antara pemilu nasional dengan pemilu daerah,
selama dua tahun. Waktu dua tahun, untuk persiapan pemilu berikutnya,
mengevaluasi hasil pemilu yang sudah berlangsung, dan mengurangi tingkat
kejenuhan masyarakat untuk itu diperlukan perubahan sejumlah regulasi, terutama
UU politik, yang terdiri atas ini, tergantung dari keamanan politik pemeritah dan
DPR Perubahan Format Pemilu, berarti perubahan sistem pemilu.
Selain itu, menurunnya derajat partisipasi dalam pemilu, karena faktor
kejenuhan dengan tingginya frekuensi pemilihan secara langsung, dan faktor
apatisme, karena publik mengganggap bahwa pemilu yang ada belum dapat
memunculkan keputusan yang aspiratif. Dalam hal ini kampanye pemilu, publik
mengakui adanya peningkatan kualitas, tetapi belum optimal sebagai sarana
pendidikan politik masyarakat. Keterwakilan perempuan, masih dengan
pendekatan kuantitas, dan belum optimal pada pendekatan kualitas, citra dan
peranan partai politik sebagai infrastruktur politik, masih belum memadai sebagai
saluran aspirasi rakyat. Tetapi penetapan caleg DPR terpilih berdasarkan
perolehan suara terbanyak, memperoleh respon positif dari publik, karena
memperkuat hak pilih masyarakat.
Kata kunci:
Pemilu Nasional, Pemilu Daerah, Sistem Pemilu

iii

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ........................................................................................... i
Halaman Pengesahan ................................................................................. ii
Abstrak ....................................................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................................... iv
Daftar Tabel dan Diagram ......................................................................... v
Prakata ........................................................................................................ vi
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.

PENDAHULUAN .............................................................................
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .....................................
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
METODE PENELITIAN ...................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..........................................

1
14
16
31
34
83

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 92
LAMPIRAN .............................................................................................. 95

iv

Daftar Table dan Diagram

Halaman
Tabel 1 : Hasil Pemilu Legislatif 2009

38

Tabel 2 : Hasil Pemilu Legislatif 2004

39

Tabel 3 : Profil Anggota DPR (2004-2009; 2009-2014) menurut komposisi Pekerjaan
Tabel 4 : Profil Anggota DPR (2004-2009; 2009-2014) menurut komposisi Pendidikan
Tabel 5 : Profil Anggota DPR (2004-2009; 2009-2014) menurut komposisi Agama
Tabel 6 : Partisipasi dalam Pemilu Legislatif dari masa ke masa

45

50

Tabel 7 : Caleg Peraih Suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif 2009

57

Tabel 8 : Tingkat Partisipasi Pemilu Presiden

70

Tabel 9 : Rekapitulasi Nasional dan Perolehan Suara Pasangan calon

71

Tabel 10 : Sejumlah Janji dan Konflik Politik

72

Tabel 11 : Debat Capres soal isu : ” NKRI, Demokrasi, dan Otonomi
daerah ”

78

Diagram
Diagram 1 :Model Proses dan Efek dalam Pembentukan Hukum

v

47
48

19

PRAKATA
Asalamu’ alaikum Wr. Wb
Pemilihan umum (pemilu) baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden,
begitu pula pemilu kada, melalui pemilihan (voting) secara langsung, yang
dilakukan oleh rakyat untuk memilih wakilnya dan pemimpinya, merupakan
proses-proses pengambilan keputusan dengan skala yang sangat besar. Hal
demikian, tentunya berlainan dengan proses-proses pengambilan keputusan
dengan skala yang terbatas, seperti proses-proses pembuatan peraturan perundangundangan. Besarnya kesempatan berpartisipasi tersebut, karena sistem politik
Indonesia pada era reformasi itu, bersifat demokratif – partisipatif.
Berbagai permasalah timbul dalam penyelenggaraan pem pemilu pada era
reformasi ini, seperti kecenderungan makin menurunnya derajat partisipasi dalam
pemilu, penyelenggara hukum dan etika politik dalam proses-proses pemilu,
keterwakilan perempuan, serta citra dan peranan partai politik. Lebih dari itu,
masyarakat juga menginginkan adanya perubahan sistem politik, melalui
perubahan format pemilu, dalam bentuk pemisahan antara pemilu nasional dengan
pemilu daerah, sebagaimana dijelaskan dalam kajian ini.
Tiga peneliti mengucapkan terima hasil yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselenggaranya penelitian ini,
terutama kepada direktora penelitian dan pengabdian kepada masyarakat –
direktorat jenderal pendidikan tinggi. Departemen Pendidikan Nasional RI, serta
lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Surakarta, 11 Oktober 2010
Ketua Tim Peneliti

Nurhadiantomo

vi

RINGKASAN

Pada dasarnya masyarakat Indonesia masih mengganggap arti penting
pemilihan umum (pemilu) sebagai hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara
bangsa. Pemilu legislatif sebagai jalan untuk memilih wakil rakyat di lembagalembaga perwakilan (DPR, DPD, DPAD Provinsi ataupun Kabupaten/Kota).
Sementara itu, pemilu eksekutif, yang meliputi pemilu presiden dan pemilu kada
(Gubernur, Bupati, Walikota), merupakan jalan untuk memilih secara langsung
pejabat

pimpinan,

untuk

memadu

jalannya

pemerintahan.

Masyarakat

mengganggap bahwa pemilu yang telah berjalan pada era reformasi ini, dinilai
relatif berhasil dalam proses pemunculan kepemimpinan. Tetapi penyelenggaraan
pemilu tersebut masih terdapat berbagai kekurangan, terutama dalam hal
perwujudan etika politik dan penegakan hukum. Oleh daripada itu, adalah
bagaimana penyelenggaraan pemilu dapat mendukung kehidupan bernagara
bangsa, secara demokratis partisipatif. Karena itu, publik menghendaki adanya
perubahan sistem pemilu, agar proses dan efek penyelenggaraan pemilu tersebut
lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam mewujudkan kehidupan bernegara
bangsa yang demokratis partisipatif.
Pemilu umum (pemilu), yang terdiri atas pemilu legislatif, pemilu
presiden, dan pemilu kepala daerah sebagai proses pemunculan wakil rakyat dan
pejabat pimpinan melalui jalan pemilihan (voting), yang dilakukan oleh rakyat
secara langsung, merupakan proses-proses pengambilan keputusan dengan skala
yang sangat besar. demokratis partisipatif, memungkinkan penyelenggaraan
pemilu yang demikian.
Permasalahan

yang

timbul

pada

intinya

adalah

bagaimana

penyelenggaraan pemilu itu, sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan aspirasi
rakyat, berjalan dalam kondisi hukum dan etika politik, dan artinya selanjutnya
muncul sejumlah fokus penelitian yang juga dapat dijadikan sebagai tujuan
penelitian dari hasil penelitian pendahuluan muncul sejumlah sub-fokus, dan yang
menjadi perubahan format dan pemilu seperti yang dikehendaki oleh publik, dan
konsekuensinya pada pemilu. Selanjutnya adalah menurunnya derajat partisipasi

dalam pemilu di era reformasi, penyelenggaraan kampanye pemilu sebagai proses
dan efek komunikasi politik, keterwakilan perempuan, peranan partai politik
sebagai infrastruktur politik dan penetapan caleg DPR terpilih berdasarkan jumlah
suara. Penelitian ini, menggunakan metode kualitatif, melalui tahap-tahap yang
salah ditentukan, dengan analisis reflektif mengalir hingga pemaknaan temuantemuan.
Penelitian ini, membawa sejumlah hasil yang utama, bahwa publik
menghendaki adanya perubahan format pemilu yang berarti perubahan sistem
pemilu. Formatpemilu yang dikehendaki publik, adalah pemisahan pemilu
nasional (pusat) dengan pemilu daerah. Pemilu nasional merupakan gabungan dari
pemilu legislatif pusat (DPR dan DPD) dan pemilu presiden. Pemilu daerah
merupakan gabungan dari pemilu legislatif daerah (DPRD Provinsi, Kabupaten,
Kota) dan pemilu eksekutif daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) pemilu nasional
dilaksanakan terlebih dahulu, baru disusul pemilu daerah. Rentang waktu antara
pemilu nasional dengan pemilu daerah, selama dua tahun. Waktu dua tahun, untuk
persiapan pemilu berikutnya, mengevaluasi hasil pemilu yang sudah berlangsung,
dan itu diperlukan perubahan sejumlah regulasi terutama UU Politik, yang terdiri
atas sejumlah Undang-Undang. Sejumlah regulasi yang terangkum dalam UU
Politik itu meliputi : sejumlah regulasi khususnya UU Dasar yang meliputi UU
Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
UU Penyelenggaraan Pemilu. Selanjutnya juga UU Pemilu Daerah, yang terdiri
atas pemilu DPRD dan pemilu kada. Untuk UU Pemilu Kada, tentunya harus
dipisahkan dari UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan sistem
pemilu tergantung dari bermacam politik pihak pemerintah dan DPR. Perubahan
format pemilu, berarti perubahan sistem pemilu, yang bergantung dari bermacam
politik pihak legislatif, yaitu pemerintah dan DPR.
Selain itu, menurunnya derajat partisipasi dalam pemilu, karena faktor
kejenuhan dengan tingginya frekuensi pemilihan secara langsung dan faktor
apatisme, karena publik menganggap bahwa pemilu yang ada belum dapat
memunculkan kepemimpinan yang aspiratif. Dalam hal kampanye pemilu, publik
mengakui adanya peningkatan kualitas, tetapi belum optimal. Sebagai sarana

pendidikan politik masyarakat keterwakilan perempuan, masih dengan pendekatan
kuantitas, dan belum optimal pada pendekatan kualitas citra dan peranan partai
politik sebagai infrastruktur politik, masih belum memadai sebagai saluran
aspirasi rakyat. Tetapi penetapan caleg DPR terpilih berdasarkan perolehan suara
terbanyak, memperoleh respons positif dari publik, karena memperkuat hak pilih
masyarakat.