Muhammadiyah Vis A Vis Globalisasi Neoliberal (1)

WAWASAN MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah Vis A Vis
Globalisasi Neoliberal (1)
HAMZAH FANSURI

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd

fsp

litm

erg
er.
co
m)

M

uhammadiyah sudah sejak satu abad yang silam
berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang dibingkai dengan pendekatan gerakan sosial
keagamaan. Perjalanan panjang Muhammadiyah sejak didirikan
oleh KH Ahmad Dahlan telah menorehkan berbagai sepak terjang
dalam menjawab tantangan perubahan sosial yang terjadi, baik
dalam bingkai ke-Indonesia-an maupun pada lingkup global.
Sedari awal konsentrasi gerakan Muhammadiyah dialamatkan ke model gerakan dengan mengusung tema perlindungan
dan penyelamatan bagi kaum marjinal (musthad’afin). Dengan
pendekatan teologis yang cukup kuat, terutama pada penafsiran
terhadap teks surat Al-Maa’uun, KH Ahmad Dahlan meletakkan
argumentasi gerakannya yaitu bagaimana membangun keberpihakan kepada kaum miskin dan terpinggirkan, yang kemudian
tercermin pada salah satu amal usaha kesehatan bernama

Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Sejarah awal gerakan
Muhammadiyah tidak lepas dari ranah pendidikan, kesehatan
dan kesejahteraan sosial, ketika PKO didirikan secara serentak
diiringi dengan pembentukan sekolah modern dan pendirian rumah
singgah atau panti asuhan bagi kaum miskin.

De
mo
(

Negara dan Civil Society
Apa yang menjadi design awal gerakan Muhammadiyah
apabila dikontekstualisasikan pada kehidupan kontemporer tidak
lain adalah penerjemahan makna di balik teks-teks Al-Qur’an
menjadi praksis sosial yang melawan kemiskinan, ketertindasan,
lemahnya akses terhadap kesehatan dan rendahnya pendidikan.
Model advokasi kebijakan negara selalu dijalankan Muhammadiyah sebagai praksis gerakan dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar warga negara, khususnya pada tiga sektor
kehidupan di atas yang terbukti sampai saat ini masih menjadi
ancaman nyata bagi kelangsungan hidup masyarakat secara
umum dan khususnya kelas tertindas.

Dalam perspektif Immanuel Wallerstein, globalisasi dilihat dengan kacamata ilmu sosial Marxian. Argumen kunci dari perspektif
Wallerstein tentang globalisasi adalah apa yang disebut dengan
dunia inti/pusat, semi pinggiran dan pinggiran secara ekonomi
dan politik. Tetapi, apa yang hendak dikatakan Wallerstein sesungguhnya adalah globalisasi dunia yang tengah terjadi di bidang
ekonomi dan politik sejatinya dikuasai oleh negara-negara kapitalis
dan didukung oleh sistem ekonomi kapitalis yang berada pada
52

7 - 21 SYAWAL 1431 H

arus utama (negara-negara industri maju).
Dalam diskursus globalisasi, negara berada pada posisi formal
birokratis yang memungkinkan bagi masuknya perusahaan-perusahaan multinasional. Sedangkan, selaku agen penghubung
terhadap kebijakan dalam negeri dan penataan sistem ekonomi
diserahkan kepada agen-agen kapitalisme global seperti Bank
Dunia, Lembaga Keuangan Internasional dan Organisasi
Perdagangan Dunia.
Sementara itu, lapisan civil society yang diharapkan sebagai
lapisan kritis dari masyarakat dalam konstelasi ruang publik, justru
menuai kritik. Mansour Fakih misalnya, melihat civil society sebagai kepanjangan tangan rezim globalisasi dengan neoliberalisme

sebagai ideologi geraknya. Menurut Fakih (2003), proses globalisasi neoliberal dan rezim pasar bebas telah mengambil dan meng-

WAWASAN MUHAMMADIYAH
Lembaga ini hadir sebagai embrio gerakan kemasyarakatan
dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai lembaga kemasyarakatan,
Muhammadiyah mempunyai keunggulan komparatif daripada birokrasi pemerintahan karena sifatnya yang berakar pada masyarakat dan mempunyai keunggulan apabila dibandingkan dengan
LSM yang ada karena sifat organisasinya yang vertikal dan horizontal. Di samping itu optimisme yang muncul juga ditopang dengan
kemampuan finansial karena memiliki sumber daya sendiri (amal
usaha) sehingga tidak perlu bergantung pada pendanaan dari luar
(Kuntowijoyo et.al, 1990).
Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45, lahirlah Majelis
Pemberdayaan Masyarakat (MPM) yang diharapkan berperan
di garda depan perjuangan gerakan Muhammadiyah yang berhubungan langsung dengan masyarakat (gerakan horizontal). Tercetusnya komitmen pemberdayaan sosial dan segenap potensi
masyarakat ini tidak lepas dari tuntutan zaman yang dihadapi oleh
Muhammadiyah untuk dapat berpihak dan membela problemproblem masyarakat di akar rumput dan komunitas musthad’afin
(marjinal) dalam berbagai ruang lingkup dan variasinya.
Fakta bahwa hingga sekarang sudah ratusan lembaga sosial
(dalam berbagai skala dari lokal sampai internasional) yang melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan berbagai variasi dan konsentrasi kegiatan. Variasi dan konsentrasi pemberdayaan yang paling umum adalah penguatan ekonomi, kesehatan,
pendidikan, kesadaran hak-hak berpolitik, termasuk isu gender
dan lingkungan. Sedangkan konsentrasi isu gerakan yang masih

sedikit dilakukan antara lain, pengembangan crisis center untuk
bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan. Pola pemberdayaan yang selama ini berkembang antara lain pendampingan
(komunitas binaan), pengguliran dana dan advokasi kebijakan.
Menyadari modal sosial yang dimiliki Muhammadiyah meliputi jaringan organisasi dari tingkat pusat hingga ke kelurahan dapat menjadi prakondisi bagi implementasi program pemberdayaan
masyarakat secara nyata. Di samping itu, Muhammadiyah memiliki modal historis yang panjang terkait dengan pemberdayaan
kaum marjinal (oppresses community).
Pola dan lahan garapan dari MPM tentunya merujuk pada
pemaknaan tentang pemberdayaan masyarakat sebagaimana
yang lazim digunakan oleh kalangan civil society. Tema pemberdayaan pada dasarnya merupakan sebuah gerakan perlawanan
pembangunan alternatif terhadap hegemoni developmentalisme
(teori modernisasi). Sebagai bentuk gerakan perlawanan Muhammadiyah menyadari bahwa pembangunanisme yang bekerja di
balik rezim globalisasi neoliberal justru berbanding terbalik dengan
kesejahteraan masyarakat, terlebih masyarakat negara berkembang. Dalam konteks ini MPM membuka ruang geraknya pada
sektor-sektor strategis yang langsung bersinggungan dengan masyarakat luas seperti pertanian, pemberdayaan pada masyarakat
pesisir pantai (nelayan), pemberdayaan pada kaum miskin kota
serta isu-isu perempuan dan lingkungan.l Bersambung
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM,
pernah menjadi Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat
(MPM) PDM Kota Bengkulu.


De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd

fsp

litm
erg

er.
co
m)

gunakan gagasan civil society dengan tujuan menjinakkan gerakan resistensi rakyat dan gerakan organisasi non-pemerintah untuk
menerima global governance, yakni relasi negara, rezim pasar,
dan rakyat model neoliberal. Padahal konsepsi civil society, menurut Gramsci, sejatinya dipakai sebagai weapon of the weak,
sebagai kendaraan kaum marjinal dan tertindas untuk mempertahankan hak-hak asasi mereka, bukan malah menjadi penyangga
argumentasi kalangan neoliberal.
Sebagai jawaban dari kebuntuan gerakan civil society dalam
konteks menjalankan fungsi check and balances dan kontrol terhadap negara, maka wacana mengenai gerakan sosial (social

Foto: DIDIK SUJARWO

movement) hadir sebagai antitesis gerakan. Dalam konteks ini,
Muhammadiyah dengan majelis-majelis yang saling bersinergi
dapat didorong kepada pola gerakan sosial yang langsung bersinggungan dengan lapisan masyarakat bawah.
Pemberdayaan Masyarakat
Dalam realitas sosial, ekonomi dan politik seperti yang disebut
di atas Muhammadiyah dituntut untuk mampu menjawab tantangan

akan ketidakadilan tersebut sebagai salah satu elemen bangsa
yang diharapkan memainkan fungsi sebagai civil society sekaligus
gerakan sosial secara maksimal. Pada tahun ’90-an Muhammadiyah telah memiliki struktur kelembagaan yang bergerak di
bidang pengembangan masyarakat yang dikenal dengan nama
Majelis Pengembangan Masyarakat.

SUARA MUHAMMADIYAH 18 / 95 | 16 - 30 SEPTEMBER 2010

53