Pergerakan Nasionalis Maroko Vis A Vis Kolonial Prancis”

(1)

(2)

i

Resistensi Politik :

Pergerakan Nasionalis Maroko Vis À Vis Kolonial

Prancis (1912-1956)

Skripsi

Ditulis sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh: M Arief Rahman Nim: 1110022000025

Disetujui oleh Pembimbing,

Dr. H.Muslih Idris, Lc., M.A. NIP: 19520903 198603 1 001

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H/2015 M


(3)

(4)

(5)

iii

ABSTRAK

M Arief Rahman

”Resistensi Politik Kolonial: Pergerakan Nasionalis Maroko Vis A Vis Kolonial Prancis”

Skripsi ini bertujuan untuk membahas proses pembentukan resistensi masyarakat Maroko terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh Prancis. Lebih jauh skripsi ini juga ingin menjelaskan perjuangan yang dilakukan orang-orang Maroko untuk mendapatkan kebebasan ekonomi, politik, dan sosial. Pada konteks Prancis vis a vis Maroko, Dahir Berbere digunakan oleh Prancis untuk memecah bangsa Arab Maroko dengan bangsa Berber Maroko. Namun langkah devide et impera yang diterapkan oleh Prancis tidak berhasil memecah bangsa Maroko. Justru, dahir tersebut menjadi bumerang bangsa Prancis. Skripsi ini menemukan dua poin penting yaitu (1) sekolah dan media menjadi corong utama Prancis dalam upaya internalisasi budaya, (2) Istiqlal menjadi wadah dalam mewujudkan indepedensi masyarakat Maroko, lewat gerakan sosial dengan beragam ide-ide kontra-kolonialisme.


(6)

iv

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat disetiap hambanya berupa kecerdasan, seperti memudahkan penulis untuk bisa membuat skripsi ini. Tak lupa penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad Saw yang telah membawa umat manusia dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang.

Skripsi yang berjudul Resistensi Politik Kolonial: Pergerakan Nasionalis Maroko Vis A Vis Prancis merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. Selaku pimpinan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memudahkan penulis dalam mengurus persyaratan penulisan Skripsi hingga Ujian Munaqosah.

2. Bapak H. NurHasan, M.A. Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) yang telah membantu dan memudahkan penulis dalam proses terlaksananya skripsi ini.

3. Ibu Sholikatus Sa‘diyah, M.Pd. Selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

4. Bapak Dr. H M Muslih Idris Lc., M.A. Selaku dosen pembimbing, yang telah menyisikan waktunya guna membimbing penulisan skripsi ini


(7)

v

dengan baik. Beliau juga mengajarkan Penulis untuk lebih teliti dalam menggunakan sumber-sumber.

5. Ibu Dr. Awalia Rahma, M.A. Selaku Dosen Penasehat Akademik, yang selalu memberikan arahan serta motivasi dalam belajar.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

7. Ibunda tercinta ibu Nadrah dan juga kepada Ayahanda tersayang Ayah Burhanuddin yang selalu memberikan arahan, doa, dan semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Penulis yang sedang mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan cita-citanya.

8. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.

9. Paman Mashudi Zein beserta Keluarga yang telah ikhlas mengayomi penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Banyak hal yang penulis dapatkan bersamanya.

10. Teman seperjuangan SKI 2010, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang membantu terselesaikannya skripsi ini, yang selalu memberikan inspirasi, semangat dan keceriaan. Walaupun kita berpisah, Semoga silaturahim kita tetap terjalin sampai kapan pun.


(8)

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Pembatasan masalah... 7

C. Perumusan masalah ... 7

D. Tujuan penelitian ... 7

E. Manfaat penelitian ... 8

F. Metode penelitian ... 8

1. Tahap pencarian sumber ... 9

2. Tahap pengolaan data ... 10

3. Tahap interpretasi data ... 11

4. Tahap penyajian ... 11

G. Tinjauan Pustaka ... 12


(9)

vii

Bab II MAROKO: MENUJU KOLONIALISME PRANCIS

A. Maroko: Daratan di Tepi Laut Mediterania ... 16 B. Selayang Pandang: Maroko sebelum Kedatangan Prancis ... 19 C. Sultan dan Ulama sebelum Protektorat Prancis ... 26

Bab III KEBANGKITAN NASIONALISME MAROKO

A. Pemantik Resistensi Kolonial ... 33 B. Perang Dunia II dan Penguatan Nasionalisme ... 37 C. Gerakan Anti-Kolonialisme ... 45

BAB IV RESISTENSI POLITIK KOLONIAL DI MAROKO

A. Mobilisasi Masyarakat ... 49

B. Demonstrasi dan Pemberontakan ... 59

C. Kedaulatan Maroko ... 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 70


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Maroko, atau lebih tepatnya al-Mamlakah al-Maghribiyyah (kerajaan Maroko), merupakan kerajaan yang terletak di daerah Magribi (Magreb) berasal

dari bahasa Arab yang seringkali di terjemahkan sebagai ―barat‖, ―oksiden‖, atau ―wilayah matahari terbenam‖. Dalam sejarahnya istilah ini dipakai untuk menyebut daerah-daerah di barat sungai nil sampai pantai atlantik di Afrika Utara. Dalam konteks sistem Negara modern, yang disebut sebagai kawasan Magribi adalah Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Sahara barat (yang tidak diakui semua negara).1

Jauh sebelum Maroko jatuh ke tangan Prancis, dinasti-dinasti Islam silih berganti menguasai Maroko. Mulai dari Dinasti Idrisiyyah, Dinasti Murabittun, Dinasti Muwahiddun, Dinasti Mariniyyah, hingga yang terakhir – bahkan masih eksis sampai saat ini – Dinasti Alawiyyah. Sejarah mencatat, Maroko merupakan bangsa paling independen bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa Maghrib lainnya yang nyatanya berulang kali takluk oleh bangsa yang lebih superior.

Maroko sebagai bangsa yang terakhir dikuasai oleh orang-orang Eropa di kawasan Al-Maghreb, setelah Aljazair dan Tunisia,juga pernah menjadi pusat dua kerajaan besar Arab-Berber, tetapi tidak pernah menjadi bagian dari imperium

1

Riza Sihbudi, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Bandung: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) h. 117


(11)

2

kerajaan Utsmani.2 Kemudian pada tahun 1901, Prancis memulai upaya penaklukan Maroko dan wilayah itu sepenuhnya dikuasai Prancis sejak tahun 1907 hingga 1912.

Membahas Maroko tidak bisa terlepas dari Dinasti Alawiyah, dan Dinasti Alawiyah Berbeda dengan dinasti-dinasti Maroko lainnya yang akhirnya runtuh, dinasti Alawiyah merupakan dinasti Maroko yang bertahan dari abad ke-16 sampai sekarang. Maulawi ar Rasyid (1666-1672) merupakan raja pertama dinasti Alawiyah, ia mengambil alih kota Rif dan membuka rute perdagangan antara Sijilmasa dan Mediterania. Kekuasaan ia tidak berumur panjang karena pada tahun 1672 ia meninggal dalam sebuah kecelakaaan dalam berburu. Saudaranya, Maulawi Ismail (1672-1727), sebagai suksesornya berhasil meletakkan pondasi dinasti Alawiyah dengan kokoh. Ia berhasil menaklukkan pemberontakan di Fez dan untuk melanggengkan kekuasaannya banyak hal yang ia lakukan seperti bersekutu dengan aliansi lainnya, membuat tentara Abid -tentara budak yang sangat kuat, menandatangani pakta kerjasama perdagangan dengan Inggris dan Prancis, mengambil pajak yang tinggi, membangun kota Meknes sebagai ibu kota, memonopoli perdagangan dan membuat bajak laut untuk merampok kapal yang melintasi wilayahnya. Ia dikenal sebagai raja yang kejam dan otoriter. Banyak kebijakannya yang bertentangan dengan dengan Syariah islam sehingga membuat para ‘Ulama dan Syarif tidak suka dengannya. Masa kekuasaannya berlangsung lebih dari setengah abad.3

2

Hitti, History of the Arabs, h. 336.

3

Philip C. Naylor. North Africa: A History from Antiquity to the Present. (USA: University of Texas Press, 2009) hal. 130


(12)

3

Banyak terjadi huru-hara setelah kematian Maulawi Ismail seperti pemberontakan, pasukan tentara Abid yang membangkang, dan perang saudara terkait siapa yang berhak menggantikannya. Abdullah mendeklarasikan dirinya lima kali sebagai raja dan empat kali diganti sebelum akhirnya ia meninggal pada 1757. Ia berhasil memarginalisasi tentara ‘Abid karena mereka banyak yang membangkang terhadap raja. Sidi Muhammad III (1757-1790) berhasil menggantikan ayahnya, Abdullah. Ia ingin membangun Negara dengan perdagangan, bukan dengan kekuatan militer. 4

Sidi Muhammad III berhasil mendatangani pakta kerjasama perdagangan dengan Denmark, Venisia, Inggris, Swedia, Prancis dan Portugal. Ia juga membangun pelabuhan baru di Mogador untuk memudahkan proses perdagangan dengan Negara-negar luar. Sidi Muhammad III berhasil mereorganisasi sistem pemerintahan, ia mengangkat Wazir atau Perdana Menteri yang menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap internal organisasi Negara. Selain itu, ia juga membentuk Menteri Kelautan untuk mengatur hubungan dagang dengan Negara luar. Meski Sidi Muhammad III berhasil meletakkan pondasi dasar struktur pemerintahan.5

Maulawi Sulaiman (1792-1822) adalah raja yang sholeh, terpelajar dan mengagumi pengajaran model Wahhabi. Karena terpengaruh dengan Wahhabi maka pada tahun 1811 ia melarang tarian dan lagu-lagu tentang sufi. Berbeda dengan bapaknya, ia lebih waspada dan hati-hati dengan Negara Eropat terkait

4

C.N. Pennell, Morocco From Empire to Independent (UK: Oneworld Oxford, 2003) hal. 108 5


(13)

4

hubungan perdagangan. Ia sangat membutuhkan pendapatan dan saudaranya, Abdurrahman, mendorongnya untuk melakukan kontak perdagangan dengan Eropa. Ia mendesak raja untuk mengekspor padi namun ada rasa kekhawatiran pada rakyatnya. Kalau seandainya padi terus diimpor dan suatu saat lumbung padi rakyat habis maka akan terjadi kelaparan. Maka pada tahun 1820 terjadi kerusuhan dan pemberontakan terkait isu tersebut. Pada tahun 1822 Sulaiman berhasil dikalahkan oleh pemberontak Zawiya di dekat Marrakesh. Ia meminta kepada para Ulama untuk mengangkat Abdurrahman menjadi raja menggantikan dirinya.6

Raja Abdurrahman (1822-1859) yang berhasil meredam semua pemberontakan dan kerusuhan yang terjadi hingga dinasti Alawi masih bisa bertahan sampai sekarang di Maroko. Ia memperbaiki hubungan dengan para ahli thariqah, memutuskan faham Wahhabi, menjalin hubungan kerjasama perdagangan dengan Eropa. Sebagaimana mana raja Negara muslim lainnya, ia juga menghadapi invasi Negara-negara Barat.7

Bila ditelisik lebih jauh ke akarnya, penetrasi bangsa Perancis terhadap kawasan Al-Maghreb diawali dengan penaklukan Prancis pada bangsa Aljazair pada tahun 1830, Ini merupakan sekuel pembuka dari trilogi kolonialisasi bangsa Perancis yang kemudian secara bertahap dilanjutkan dengan penaklukan bangsa Tunisia ke bagian timur yang berhasil dikuasai pada tahun 1881, yang kemudian mempraktekkan dengan kebijakan politis yang sama. Sebagaimana pula di

6

Philip C. Naylor. North Africa: A History from Antiquity to the Present. (USA: University of Texas Press, 2009) hal 132

7


(14)

5

Maroko, Prancis berusaha menggantikan bahasa Arab yang selama ini menjadi bahasa kesustraan bagi penduduk pribumi dan pemersatu bagi bangsa Berber dan Arab yang kemudian menggantikannya dengan bahasa Perancis, meski pada perkembangannya bahasa Arab tetap menjadi bahasa nasional dan Perancis menjadi bahasa pendamping pada masyarakat kawasan Al-Maghreb pada umumnya.8

Penulis mengamati Kolonialisme Prancis di Maroko berdasarkan tiga konsep imperialisme kuno: Gold, Glory dan Gospel yang pada saat itu merupakan kebijakan politik yang sangat populer bagi bangsa-bangsa Imperialisme khususnya Eropa, dalam hal ini guna mengimbangi hegemoni bangsa-bangsa Islam di dunia serta terdapat indikasi persaingan Prancis dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya dalam menjaga stabilitas Negara karna hal itu lah imperialisme juga dikenal sebagai pos-ekonomi modern bagi bangsa Eropa yang menjadi prioritas utama Perancis.

Berangkat dari fakta tersebut, satu demi satu negeri-negeri Islam – yang pada saat itu sedang rapuh – itu jatuh ke tangan Barat. dalam waktu yang relatif cepat, kerajaan-kerajaan besar Eropa sudah membagi-bagi seluruh dunia Islam. Inggris merebut India dan Mesir. Rusia menyeberangi Kaukasus dan menguasai Asia Tengah. Prancis menaklukan Afrika Utara atau juga yang disebut daerah Maghreb, dan bangsa-bangsa Eropa lainnya mendapat bagiannya dari warisan Islam itu akibat dari kehancuran dan kemunduran tiga pilar kerajaan Islam.9

8

Hitti, History of the Arabs, h. 916.

9


(15)

6

Dengan berbagai manuver bangsa Eropa terhadap pengukuhan hegemoni mereka pada Negara-negara Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara. Penulis sangat tertarik mendalami akan penetrasi yang dilakukan salah satu bangsa kolonialis terkemuka yaitu Prancis akan kepentingan Prancis terhadap kawasan Afrika Utara atau kita kenal populer dengan sebutan Al-Maghreb. Selain itu usaha-usaha Prancis yang sangat ingin mengubah secara sistematis dan struktural pada Negara-negara protektoratnya, seperti usaha menjadikan bahasa Prancis sebagai pengganti bahasa ibu pada Negara koloninya ataupun hal lainnya seperti memasukkan hukum ala barat agar dapat menggantikan syariat Islam bahkan memasukkan kisah-kisah nenek moyang Prancis di berbagai institusi pendidikan di negara koloninya juga menjadi cerita menarik lainnya.

Berangkat dari latar belakang di atas, penulis memilih proses terbentuknya ide mengenai resistensi politik kolonial di Maroko yang disuarakan oleh gerakan-gerakan nasionalis Maroko yang mana nantinya akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemerdekaan Maroko. Adapun judul penelitian ini yaitu,

Resistensi Politik: Pergerakan Nasionalis Maroko Vis À Vis Kolonial Prancis (1912-1956)‖.

B. Pembatasan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, agar penelitian ini menjadi terarah maka, penelitian ini difokuskan pada wilayah Maroko dengan rentang tahun pengkajian pada masa Kolonial Prancis (1912-1956). Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu gerakan-gerakan nasionalisme yang muncul di Maroko, respon masyarakat sekaligus respon Raja kesultanan di Maroko atas kedatangan


(16)

7

Prancis dan juga munculnya gerakan-gerakan anti-kolonial dan terakhir bagaimana dampak munculnya gerakan anti-kolonial ini terhadap kemerdekaan Maroko.

C. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana kondisi Maroko pada masa Kolonial Prancis?

2. Bagaimana proses terbentuknya resistensi politik kolonial di Maroko pada masa Kolonial Prancis hingga masa kemerdekaan Maroko?

D. Tujuan Penenelitian

Lewat sejumlah permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini yaitu adalah:

1. Mengetahui lebih jauh bagaimana kondisi Maroko sebelum dan saat masa Kolonial Prancis.

2. Mengetahui lebih jauh proses terbentuknya resistensi politik kolonial di Maroko.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Menambah pengetahuan penulis mengenai Maroko sekaligus sebagai syarat kelulusan mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S.Hum).

2. Menambah daftar referensi mengenai sejarah kesultanan Maroko di perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora.


(17)

8

F. Metode Penelitian

Sebagai studi sejarah, penelitian ini pada dasarnya menggunakan metode penelitian sejarah10, menggunakan instrumen studi kepustakaan (Library Research) dan juga jenis sejarah dalam penelitian ini adalah sejarah sosial.11 Namun demikian, untuk bisa lebih menjelaskan bagaimana perjalanan gerakan-gerakan sosial yang anti-kolonial dalam memperjuangkan nilai-nilai kebebasan guna memperoleh kemerdekaan di Maroko atas Prancis, kajian ini juga menggunakan ilmu bantu sosiologi sebagai alat analisis, dengan menggunakan kerangka teori gerakan sosial.12

Selain itu, pendekatan sosiologi juga dibutuhkan untuk memahami lebih jauh mengenai kondisi sosial masyarakat Maroko pada masa Kolonial Prancis.

10

Lihat Louis Gottschalk, Understanding History. A Primer of Historical Method (New York: Alfred Knopf, 1969), second ed. Terj. Nugroho Notosutanto, Mengerti Sejarah. Pengantar Metode Sejarah (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975). Lihat juga H.C. Hockett,

Critical Method in Historical Research and Writing (New York: Macmillan & Co., 1967).

11

Sekalipun sejarah sosial sudah menjadi gejala baru dalam penulisan sejarah sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi sebagai sebuah jenis penulisan sejarah baru mendapat tempat pada tahun 1950-an. Paling tidak Mazhab Annales yang dipelopori oleh Marc Bloch di Prancis merupakan embrio bagi jenis penulisan sejarah baru, dalam hal ini sejarah sosial. Dari situ nantinya, sejarah sosial akan terus berkembang menjadi canggih lewat modifikasi terus-menerus. Namun pada dasarnya, sejarah sosial merupakan sejarah yang mempunyai bidang garapan yang sangat besar karena metode pengawinan dua ilmu atau lebih menjadi sebuah narasi sejarah yang lebih kompleks. Misalnya saja dengan ekonomi, sosiologi maupun antropologi. Lihat, Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 33.

12

Istilah gerakan sosial merupakan istilah yang muncul di kalangan sosiolog Amerika Serikat di tahun 1950-an. Pada dasarnya gerakan-gerakan sosial muncul karena adanya penentangan (resistensi) atau bahkan perlawan terbuka terhadap sebuah sistem yang berlaku di masyarakat. Pada perkembangannya banyak sejarawan yang mulai menggunakan kerangka teori ini untuk melihat objek kajian sejarahnya. Misalnya, Hobsbawm membahas pemberontakan primitif (primitive rebels) yang bahasannya mencakup mulai dari pemberontakan yang dilakukan oleh para bandit hingga orang-orang yang percaya akan datangnya zaman millenia atau Spitz yang mengkaji tentang masa-masa sebelum meletusnya Reformasi Jerman yang menekankan pada pentingnya tindakan kolektif untuk mengubah tatanan yang ada secara langsung ketimbang secara kelembagaan dan mungkin juga Burke yang melihat Revolusi Prancis. Lebih jauh lihat, Peter Burke, History and Social Theory (New York: Cornell University Press, 1993), h. 132-136; L.W.

Spitz, ―The Third Generation of German Renaissance Humanists‖, dalam A.R. Lewis, ed.,

Aspects of the Renaissance (Austin: T.p, 1967), h. 105-121; dan Eric Hobswawm, Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social Movement in the Nineteenth and Twentieth Century.


(18)

9

Kemudian, sejauh mana dampak yang diberikan kepada masyarakat Maroko dengan eksistensi gerakan-gerakan anti-kolonial pada masa tersebut. Ditambah, akan membantu dalam memahami dinamika masyarakat –utamanya dalam hal sosial-politik– di masa Kolonial Prancis.

Selanjutnya, dalam Metode Penelitian Sejarah terdapat tahapan-tahapan yang biasanya dilakukan oleh peneliti sejarah13 dan penulis juga mengikuti prosedur yang telah ada. Adapun, tahap-tahap yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap Pencarian Sumber

Penulis melakukan browsing di beberapa situs, seperti Bibliothèque Nationale de France, situs jurnal-jurnal baik berbayar maupun tidak berbayar, serta situs-situs sejenis merupakan ‗surga‘ bagi penulis dalam pencarian sumber -sumber tertulis penelitian ini. Pasalnya, sebagian besar literatur-literatur yang penulis dapatkan berasal dari situs-situs luar negeri yang akses terbuka maupun akses bebas.

Akses daring ke situs arsip nasional Maroko dan Prancis sangat membantu penulis dalam penelitian ini. Karena, arsip-arsip nasional Maroko dan tulisan-tulisan para aktivis dari kalangan nasionalis yang pernah terbit pada masa perjuangan seperti Les Notables. Selain itu, penulis juga berhasil mendapatkan beberapa buku primer dan arsip, beberapa diantaranya adalah, The Independence Movement in Arab North Africa, salah satu karya pejuang kemerdekaan, al-Fassi,

13


(19)

10

Au temps des Mehallas au Maroc ou le Maroc de 1860 a 1912 karya Louis Arnaud, dan Arsip Renseignements Coloniaux, 1923.

Adapun sumber data sekunder yang menjadi acuan penulis antara lain; yaitu pandangan dan tulisan orang yang memiliki relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai laporan penelitian, makalah, buku, media cetak dan elektronik.

2. Tahap Pengolahan Data

Kajian sejarah, tentu saja tidak lepas dari sumber-sumber tertulis yang menggunakan berbagai aksara.Dalam pengolahan data, penguasaan aksara sangat penting agar informasi-informasi yang kita dapatkan bisa menjadi sebuah data.Sehingga, aksara bisa menjadi jembatan antara informasi yang begitu banyak dengan data-data yang diperlukan.Adapun dalam penelitian kali ini, aksara-aksara yang penulis kuasai guna mengolah informasi-informasi yang penulis dapatkan pada tahapan sebelumnya yaitu, Prancis, Inggris, Arab dan Indonesia.

Kemudian, setelah informasi-informasi diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah mensortir dan mengklasifikasikan informasi menjadi data-data berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dan tentu saja sebagai landasan untuk menjawab permasalahan.

3. Tahap Interpretasi Data

Setelah dilakukan pensortiran dan pengklasifikasian data, maka tahapan selanjutnya adalah tahap interpretasi data, yang terdiri dari analisis dan sintesis.14Analisis, atau juga disebut sebagai penguraian, merupakan langkah

14


(20)

11

mereduksi data-data yang telah didapat menjadi lebih informatif guna perkembanganpenelitian ini.

Kemudian setelah dilakukan analisis, langkah selanjutnya adalah sintesis. Sintesis yang berarti menyatukan. Yang mana dalam hal ini adalah menyatukan hasil bacaan yang telah kita analisis sebelumnya. Dalam kasus ini, data-data yang telah dianalisis, kemudian baru disatukan menjadi kategori-kategori besar.

Misalnya, dalam menganalisis, data-data yang kita dapatkan adalah pertempuran, rapat, mobilisasi massa, pembunuhan, penggulingan penguasa, demonstrasi massa dan sebagainya, maka kita dapat mensintesiskan data-data tersebut menjadi satu kategori besar. Dalam hal ini yang paling mendekati adalah revolusi.15

4. Tahap Penyajian

Tahap ini, merupakan tahapan yang mengupayakan agar data-data sejarah yang telah didapatkan sebelumnya bisa menjadi bukti untuk menjawab permasalahan, tetapi masih terbelah. Untuk itu, agar dapat menjadi suatu kajian yang bersifat utuh, sistematis, komunikatif dan mudah dimengerti khalayak maka harus sesuai dengan kaidah historiografi atau penulisan sejarah. Di mana, historiografi mencakup cara penelitian, pemaparan serta hasil pelaporan penelitian sejarah yang telah penulis lakukan.

Namun demikian, paling tidak terdapat dua hal penting agar tercipta historiografi yang memadai dan nikmat dibaca. Yaitu, imajinasi dan kemampuan mentransmisikan pendapat ke dalam bentuk tulisan. Karena dua hal tersebut

15


(21)

12

menjadi faktor penting guna mewujudkan karya skripsi yang integral. Dan yang terakhir, sekaligus yang terpenting, historiografi penelitian kali ini, tetap berada di dalam kaidah yang semestinya.

Adapun buku ―Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta‖, terbitan CeQDA 2007, menjadi buku acuan yang penulis gunakan, supaya penelitian skripsi ini sesuai koridor penulisan yang ditentukan oleh UIN Jakarta Syarif Hidayatullah.

G. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang kemerdekaan Maroko dari Prancis merupakan kajian yang sebetulnya sudah banyak ditulis oleh sarjana-sarjana di dunia. Pasalnya, kajian ini termasuk kajian yang bahasannya mengenai kemerdekaan negara dunia ketiga atau negara berkembang (developing country) dan hal tersebut merupakan isu yang pernah ―seksi‖ bagi para sarjana-sarjana terutama pada awal kebangkitan teoripost-colonial. Adapun di bawah ini merupakan karya sarjana-sarjana –baik di Indonesia maupun luar Indonesia– yang membahas kemerdekaan Maroko dari Pemerintah Protektorat Prancis:

1. Anita Handayani, Fatima Mernissi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya dalam Mewujudkan Demokrasi dan Hak-Hak Perempuan di Maroko, 1922-1997 (2003).16 Skripsi dari Handayani ini mempunyai jangkauan waktu yang sama dengan kajian penulis. Bedanya, Handayani juga memasukkan tahun-tahun pasca kemerdekaan. Selain itu, fokus kajian dalam penelitian Handayani berfokus kepada peran perempuan dalam memperjuangkan

16

Anita Handayani, Fatima Mernissi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya dalam Mewujudkan Demokrasi dan Hak-Hak Perempuan di Maroko, 1922-1997(Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003).


(22)

13

nilai kesetaraan jender ditambah perannya dalam mewujudkan demokrasi dan kemerdekaan Maroko.

2. Abdul Latif, Dinasti Alawiyah: Kontribusi Maulay Ismail pada Kemajuan Kebudayaan di Maroko, 1672-1727 (2015).17 Meskipun sama-sama membahas Maroko sebagai objek kajian penelitian, namun penelitian Latif membahas Maroko sebelum kedatangan Protektorat Prancis. Skripsi ini menjelaskan bahwa Maulay Ismail merupakan salah satu sultan yang mempunyai pengaruh yang relatif signifikan dalam kemajuan Maroko pada abad 17 dan 18-an, khususnya di bidang kebudayaan.

Sejauh penelaahan penulis di atas, kajian mengenai resistensi politik kolonial yang dilakukan oleh gerakan-gerakan sosial (social movements) anti-kolonial di Maroko atas Pemerintahan Kolonial Prancis, yang sifatnya komprehensif belum banyak ditulis. Misalnya saja melihat bagaimana respon raja dan masyarakat terhadap isu kebangkitan nasionalisme di Maroko pada masa Protektorat Prancis. H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri ke dalam lima Bab pembahasan.

Bab Pertama, membahas tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan dan metode penelitian, kajian yang relevan serta terakhir sistematika penulisan penelitian ini.

17

Abdul Latif, Dinasti Alawiyah: Kontribusi Maulay Ismail pada Kemajuan Kebudayaan di Maroko, 1672-1727, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015).


(23)

14

Bab Kedua, akan membahas kondisi Maroko sebelum dan saat kedatangan Prancis. Dengan judul bab; Maroko: Menuju Kolonialis Prancis. Dengan sub-bab sebagai berikut:

a) Maroko: Daratan di Tepi Laut Mediterania

b) Selayang Pandang: Maroko Sebelum Kedatangan Prancis c) Sultan dan Ulama sebelum Kolonial Prancis

Bab Ketiga, akan membahas awal kemunculan gerakan-gerakan anti-kolonialisme dan bagaimana respon masyarakat Maroko maupun Kolonial Prancis. Dengan judul bab Kebangkitan Nasionalisme Maroko. Dengan sub-bab sebagai berikut:

a) Pemantik Resistensi Kolonial

b) Perang Dunia II dan Penguatan Nasionalisme c) Gerakan Anti-Kolonialisme

Bab Keempat, akan membahas bagaimana kontestasi yang terjadi antara gerakan-gerakan anti-kolonialisme dengan Kolonial Prancis. Dengan judul bab – Resistensi Politik Kolonial di Maroko. Dengan sub-bab sebagai berikut:

a) Mobilisasi Masyarakat

b) Demonstrasi dan Pemberontakan c) Kedaulatan Maroko

Sedangkan bab kelima, berisi kesimpulan kemudian dilanjutkan dengan Daftar Pustaka dan Daftar Lampiran.


(24)

15

BAB II

MAROKO: MENUJU KOLONIALISME PRANCIS

Maroko, secara geografis, merupakan salah satu negara Afrika Utara yang bersentuhan langsung dengan Eropa, Spanyol. Tepatnya, Maroko terletak di barat laut Afrika yang memiliki garis pantai yang panjang dekat yang memanjang melewati selat Gibraltar hingga ke laut tengah. Di sebelah utara, Maroko berbatasan dengan Spanyol, timur dengan Algeria, barat dengan samudra Atlantik dan selatan berbatasan dengan Mauritania.

Maroko juga bisa dikatakan sebagai negara yang punya sejarah panjang, karena dari sebelum masehi sudah bersinggungan dengan peradaban-peradaban kuno yand ada di dunia, persis bersamaan dengan negara-negara tetangganya seperti, Tunis, Libya dan Aljazair. Hal tersebut dikarenakan letaknya yang cukup strategis, tepat berbatasan dengan Laut Mediterania, laut yang pernah menjadi saksi sejarah kemajuan peradaban para pelaut dulu.

Pada perjalanannya, Maroko juga bersinggungan dengan bangsa-bangsa besar seperti, Romawi dan Arab. Masuknya kedua bangsa ini ke Maroko jelas mempunyai peranan yang signifikan dalam membentuk identitas kebangsaan orang-orang Maroko kedepannya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pengaruh bangsa Eropa –dalam hal ini adalah Prancis – yang telah mengkonstruksi sedemikian rupa bangsa Maroko. Pada bab ini, penulis akan membahas bagaimana situasi dan kondisi Maroko sebelum kedatangan Prancis dan ketika Prancis datang.


(25)

16

A. Maroko: Daratan di Tepi Laut Mediterania

Sultan Hasan II berkata bahwa ―Maroko ibarat pohon, ia memiliki akar yang membentang di Afrika. Namun, bernafas di udara Eropa‖.Memang, Maroko

merupakan Negara Magrib paling barat diantara Negara-negara Magrib lainnya Algeria dan Tunisia. Ibukota kerajaan Maroko adalah Rabat, tapi kota terbesar dan yang paling terkenal adalah Casablanca.

Tanah

Maroko terletak dipersimpangan antara Eropa, Afrika dan Asia. Maroko memiliki empat ibu kota: Rabat, ibukota administrasi, Casablanca, ibukota perdagangan dan perisdustrian, Marrakech, ibukota wisata dan Fes, ibukota budaya dan ilmu pengetahuan. Wilayah Maroko terdiri dari 5 bagian: pegunungan, lahan subur di bagian barat, tanah lumpur di barat daya, lahan pertanian di tengah dan gurun dekat Sahara.

Wilayah gunung dibagi menjadi tiga area: Middle Atlas, High Atlas dan Anti-Atlas Ranges.18 Ke selatan dari Rif dan lembah sungai Sebu adalah wilayah Middle Atlas, terpisah dari pinggir bagian timur High Atlas yang membentang sampai ke lembah sungai Abid. High Atlas memiliki panjang 450 mil dan luas 40 mil.Maka dari itu wilayah High Atlas memiliki dua zona iklim yang berbeda; yang satu dipengaruhi oleh angin laut Mediterania dan satunya lagi oleh Sahara.Anti-Atlas ke selatan, dihubungkan dengan High Atlas oleh gunung vulkano Siruoa.Jauh ke selatan Anti-Atlas adalah oase, sungai musiman, dan

18

Raphael Chijioke Njoke, Culture and Costumes of Morocco (USA:Greenwwod Press: 2006) hal. 24


(26)

17

kota pulau kecil. Ada dua gunung yang mempengaruhi pembagian wilayah Maroko yaitu gunung Atlas dan gunung Rif. Dan Maroko memiliki empat musim: musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur.

Orang-orang Maroko

Sebagaimana masyarakat Arab atau Afrika, Maroko juga terdiri dari ratusan komunitas bahasa.Dahulu, masing-masing komunitas bahasa hidup sendiri-sendiri dan mandiri.Penduduk asli Maroko adalah suku Berber. Ia telah mendiami wilayah Maroko dan sekitarnya ratusan tahun sebelum bangsa lain menjajahnya. Suku Berber dibagi menjadi tiga suku: Amazigh, Syilha dan Rifi. Ketiga suku ini memiliki bahasa dan dialek sendiri-sendiri.Hal tersebut memudar dengan adanya nikah antar suku dan dominasi bangsa Arab baik dari segi bahasa maupun identitas.Hingga akhirnya melahirkan generasi baru yakni Arab-Berber. Adapun Arab-Berber Maroko adalah mayoritas penduduk Maroko dengan persentase 99.1 %, disusul dengan Yahudi dengan 0,2 %, dan minoritas lainnya 0,7 % seperti Moor, Arab, Negro, dan Eropa.19

Sepertiga dari jumlah penduduk Maroko, 32.209.101 juta jiwa, tinggal di daerah kota, dan seperti tiga dari yang tinggal di kota itu tinggal di Casablanca. Masyarakat Berber lokal sebagian besar tinggal di pegunungan.Adapun asal usul kata Berber adalah sebutan dari orang-orang Romawi ‗Barbarus‘ bagi orang yang tinggal di wilayah Maroko. Namun sekarang, orang-orang Maroko kebanyakan adalah keturunan campuran Arab, Berber dan Afrika. Orang Maroko Arab-Berber

19


(27)

18

memiliki beberapa keunikan dan karakteristik yang membedakan dengan yang lainnya: mereka memiliki mata biru dengan variasi warna kulit karena perkawinan antar suku serta tinggi dan kurus.

Bahasa

Ada tiga bahasa mayoritas bahasa yaitu Arab, Berber dan Prancis. Bahasa arab digunakan oleh 70% dari total populasi. Ada dua jenis bahasa arab di Maroko yakni bahasa Arab standar dan bahasa arab Maroko. Bahasa arab standar atau bahasa Arab fushah digunakan dalam surat kabar, korespondensi, pidato dan belajar agama dan filsafat. Bahasa arab Fushah jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Arab Maroko sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahasa Arab yang terpengaruh dengan dialek orang Berber, Prancis dan Spanyol. Bahasa Berber digunakan 30% populasi dan bahasa Prancis digunakan untuk urusan bisnis, pemerintahan, dan hubungan international. Bahasa Prancis sangat ditekankan di dalam kurikulum sekolah agar generasi mendatang bisa berhubungan dengan dunia international.20

Pemerintahan

Tahta kerajaan merupakan warisan turun-temurun yang dipegang oleh dinasi

Alawiyah. Raja sebagai kepala Negara dibai‘at sebagaimana sistem khalifah dan diberi gelar Amirul Mukmin yang mengisyaratkan raja juga sebagai pemimpin umat islam. Roda pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang diangkat oleh raja. Maroko memiliki parlemen yang terdiri

20


(28)

19

dari majelis rendah yang dipilih secara langsung dan majelis tinggi yang dipilih secara tidak langsung. Setelah kematian ayahnya, raja Muhammad VI mendeklarasikan bahwa Maroko adalah Negara monarki konstitusional, menganut paham liberalisme ekonomi dan menganut paham banyak partai. Dia berjanji akan memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan lebih mementingkan kepentingan rakyat. 21

B. Selayang Pandang: Maroko Sebelum Kedatangan Prancis

Sebelum datangnya Prancis ke Maroko, sebagai sebuah negara protektorat pada tahun 1912, sebetulnya Maroko sudah berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Baik secara politik maupun ekonomi. faktanya di pertengahan abad-19, Maroko telah menghadapi gelombang kolonialisme yang dilancarkan orang-orang Eropa di tanah Maghrib. Tentu saja hal tersebut akan menjadi hambatan besar bagi kemajuan Maroko kedepannya, terutama bagi kedaulatan Maroko itu sendiri.

Proses panjang sampai Maroko bisa jatuh ke tangan Prancis dimulai pada tahun 1830, ketika Prancis melakukan intervensi militer ke Aljazair.22 Dari situ sinyal-sinyal merambatnya tangan-tangan kolonialisme sudah mulai dirasakan orang-orang Maroko.23 Ditambah dengan serangan orang-orang Austria di Larache, kota pelabuhan penting di Tanger-Tetouan sebelah selatan Maroko.

21

Raphael Chijioke Njoke, Culture and Costumes of Morocco (USA:Greenwwod Press: 2006) hal.31

22

Thomas K. Park dan Aomar Boum, Historical Dictionary of Morocco. Second Edition

(Oxford: Scarecrow Press Inc., 2005), h. lxv.

23

C.R. Pennell, Morocco: From Empire to Independence (Oxford: One World, 2003), h. 115.


(29)

20

Paling tidak, dua kejadian tersebut mengakibatkan tersebarnya rumor bahwa orang-orang ―Kristen‖ akan menyerang seluruh dataran Maroko.24

Kemudian, dengan jatuhnya Aljazair yang notabene masih di bawah bayang-bayang Turki Utsmani, maka dengan sendirinya Prancis juga berhasil memutuskan jalinan diplomasi antara Maroko dengan Turki Utsmani yang biasanya dilakukan melalui perantara Aljazair.25 Dengan demikian posisi Maroko di tanah Maghrib semakin tidak menguntungkan, apalagi di tengah-tengah tekanan-tekanan politik kolonialisme dari negara-negara Eropa yang tengah melanda daerah tersebut. Meski demikian, perlawanan bantuan masih diberikan oleh Maroko untuk membantu Aljazair melawan Prancis. Kendati demikian, kekuatan militer Maroko tidak sebanding dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh Prancis.26

Pada perkembangan selanjutnya, Maroko tidak hanya mendapatkan tekanan dari Prancis dan Austria semata. Spanyol dan Inggris ikut ke dalam persaingan tersebut untuk mendapatkan bagian dari wilayah paling ujung di tanah Maghrib tersebut. Tentu saja hal tersebut berdampak besar kepada perekonomian Maroko. Pasalnya, invasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa tersebut bukan hanya bersifat politik namun juga ekonomi.

Larache –yang sebelumnya diambil alih oleh orang-orang Austria– menjadi basis para pedagang-pedagang Eropa.27 Singkatnya para

24

Ibid., h. 116.

25

Edmund Burke, Prelude to Protectorate in Morocco: Pre-colonial Protets and Resistance 1860-1912 (Chicago: The Chicago Unversity Press, 1976), h. 22.

26

Ibid.

27

C.R. Pennell, Morocco since 1830: A History (New York: New York University Press, 2000), h. 17.


(30)

21

pedagang lokal kalah bersaing dalam perdagangan dengan orang-orang Eropa. Pedagang-pedagang Maroko hanya unggul dalam penjualan domestik, karena ulama menetapkan aturan agar tidak menjual atau membeli barang ke orang-orang Eropa Kristen yang notabene kafir (menurut pandangan ulama).28 Selain itu, otoritas ulama juga melarang sultan menaikkan pendapatan negara dengan pajak, karena tidak sesuai dengan Syariat Islam.29

Perekonomian Maroko menjadi begitu terpuruk dengan kedatangan orang-orang Eropa tersebut. Sultan yang mencoba mengandalkan sektor ekspor barang-barang lokal khas Maroko seperti gandum, kain wol, kulit, lilin dan karet sebetulnya merupakan sebuah keputusan yang tepat.30 Namun hal tersebut juga dimatikan oleh orang-orang Eropa dengan munculnya perjanjian antara Inggris dan Prancis mengenai Perjanjian Negosiasi Perdagangan (Trade Negotiation Agreement) yang memperbolehkan delegasi-delegasi dagang asing mendapatkan dasar hukum yang sah, sehingga bisa melakukan monopoli perdagangan di Maroko.31 Pada tahun-tahun kedepannya, perekonomian Maroko jelas tidak mempunyai masa depan yang cukup baik, sehingga memperlemah kekuatan Maroko.

Selain perekonomian, kondisi Maroko yang turut tidak stabil adalah politik. Jelas, tujuan dari politik kolonial mencoba membentuk identitas Eropa ke dalam bangsa-bangsa yang dijajahnya. Maka dari itu, politik jelas-jelas menjadi

28

Louis Arnaud, Au temps des Mehallas au Maroc ou le Maroc de 1860 à 1912

(Casablanca: Atlantides, 1952), h. 66.

29

Ibid., h. 67.

30

C. Avonde, Le Commerce Extérieur du Maroc Français (Renseignements Coloniaux, 1923) h. 365-383.

31


(31)

22

agenda utama dalam politik kolonial disamping ekonomi. Dalam tahun-tahun ini nampaknya agama bukan menjadi agenda utama lagi bagi orang-orang kolonial.

Lalu, pada tahun 1883, di tengah krisis ekonomi yang tidak berkesudahan, Hassan I selaku Sultan Dinasti Alawiyah di Maroko melakukan terobosan dengan mengeluarkan kebijakan pajak pada produksi pertanian.32 Terobosan ini ia ambil agar Maroko tidak jatuh dan menjadi negara yang bangkrut, dengan ganjaran ia harus melanggar hukum yang telah ditentukan oleh otoritas ulama tentang pajak pendapatan. Namun, orang-orang Eropa yang tinggal di Maroko, baik pedagang atau bukan, lewat perwakilan mereka menolak untuk membayar pajak yang diterapkan oleh sultan. Walhasil, kebijakan baru ini tidak dapat mendongkrak perekonomian Maroko di tengah krisis ekonomi negara tersebut yang sudah berlarut-larut tak tentu arah. Bahkan ekonomi Maroko semakin terpuruk dari tahun ke tahun.33

Sementara itu, Prancis mulai menduduki wilayah-wilayah strategis untuk melancarkan rencananya menduduki Maroko di tahun-tahun kedepannya. Belum lagi ditambah dengan rencana di balik layar negara-negara Eropa untuk ―bagi

-bagi‖ wilayah kekuasaan Afrika dan Asia. Yang mana dalam hal ini, Afrika Utara yang menjadi wilayah yang akan dibagi-bagi oleh negara-negara Eropa. Pada kasus ini, Maroko yang sudah lama diincar oleh Prancis pun dilepaskan oleh negara-negara Eropa lainnya. Di lain pihak, Italia mendapatkan Libya, Spanyol mendapatkan Pantai Barat Sahara dan Maroko bagian Utara.

32

Pennell, Morocco since 1830, h. 22.

33


(32)

23

Lebih jauh lagi, pada tahun 1904, The Entente Cordiale, antara Inggris, Prancis dan Rusia meneguhkan pondasi-pondasi yang penting bagi Prancis untuk menguasai Maroko. Dimana, Mesir yang tadinya milik Prancis ditukar dengan Maroko milik Inggris. Pada tahun-tahun ini, merupakan tahun di mana kedaulatan Maroko, sebagai negara merdeka terakhir di Tanah Maghrib, dirampas kemerdekaannya. demikian pula dengan kewenangan sultan juga sudah runtuh.

Bila diibaratkan maka Maroko seperti negara yang sebentar lagi mau ‗mati‘

karena kelaparan dan lumpuh.

Selanjutnya pada tahun 1909 bisa dikatakan sebagai tahun-tahun dimana kekuatan Prancis di Maroko mulai menguat. Pasalnya, Mawlay Abdelhafid, sultan terakhir sebelum berkuasanya Prancis di Maroko benar-benar sudah kehabisan dana untuk membayar tentara-tentara dan pegawai-pegawainya, sehingga pemerintahannya benar-benar rapuh. Sampai pada akhirnya, masih di tahun yang sama, ia mengutus delegasinya (delegasinya nanti akan menjadi penghianat dan pro kepada pihak Prancis) untuk melakukan negosiasi di Paris untuk menegosiasikan hutang-hutang Maroko yang luar biasa banyak.

Pada 3 Maret 1910, ia setuju dengan perjanjian yang dilakukan delegasinya di Paris namun dengan bayaran yang sangat mahal. Dia mendapatkan banyak uang dari perjanjian tersebut untuk melunasi hutang-hutang Maroko namun ditukar dengan kendali atas negaranya. Sehingga, ia sudah tidak punya kendali apa-apa di Maroko.

Prancis kemudian mengumumkan kekuasaannya di Maroko, dari Chaouia, Casablanca dan wilayah Oujda. Pemerintahan lokal di wilayah-wilayah tersebut


(33)

24

dibentuk ulang dan mereka juga merekrut orang-orang Maroko yang potensial masuk ke dalam lingkaran pendudukan Prancis sebagai tentara kolonial. Prancis juga mengambil kontrol penuh atas pendapatan, pajak dan juga monopoli perdagangan di wilayah-wilayah tersebut.

Terlepas daripada itu, Makhzen, sebagai kelompok yang cukup berkuasa juga tidak punya kebebasan ekonomi lagi. Musim panas tahun 1910, Prancis benar-benar mendominasi mereka. Orang-orang penting mereka yang juga sebagai anggota dari Keluarga El-Mokri; Mohammed ben Abdessalem El Mokri, yang juga menjabat sebagai menteri Ekonomi yang sebelumnya bernegosiasi di Paris terkait pinjaman dana, menjadi perdana menteri, dan ketiga anaknya menduduki posisi menteri Ekonomi, Pasha di Tangier dan Pasha di Fez. Sedangkan yang tidak pro dengan Prancis maka akan ditendang dari kekuasaannya.

Meskipun Prancis belum mengendalikan kelompok Makhzen tetapi Makhzen juga tidak punya kuasa lagi atas Maroko. Setelah pemberontakan di Middle Atlas pada Januari 1911, Mawlay Zein, saudara lainnya dari sultan, memproklamirkan dirinya di Meknes pada bulan April. Oleh karena itu di penghujung bulan Mei, enam ribu pemberontak telah mengepung Fez. Pemerintah Prancis telah memutuskan untuk ikut campur tangan dalam perselisihan tersebut. Mengklaim bahwa the Act of Algeciras memperbolehkan mereka untuk mengintervensi untuk memulihkan kestabilan, mereka memanfaatkan pemberontakan sebagai dalih untuk menguasai Fez pada tanggal 21 Mei. Sebagai respon dari tindakan Prancis tersebut, Spanyol memutuskan untuk melindungi apa


(34)

25

yang dikatakan sebagai ― wilayah kanan‖ di Maroko, dan menguasai Larache dan Ksar el-Kebir (Alcazarkebir).

Tindakan-tindakan tersebut nampaknya disetujui begitu saja oleh Pemerintahan kolonial Inggris. Dan protes satu-satunya hanya datang dari Berlin. Pada 1 Juli kapal penjelajah bersenjata milik Jerman, the Panther, telah dikirim ke Agadir, dengan tujuan melindungi kepentingannya di selatan Maroko.

Singkatnya, Insiden Agadir tersebut sebetulnya telah mengantarkan negara-negara Eropa tersebut ke pinggir jurang peperangan. Namun, dengan bantuan Inggris, permasalahan dapat diselesaikan dengan apik dan damai. Dengan sebuah keputusan bersama yang disetujui seperti berikut; yaitu Jerman boleh mendapatkan teritori kolonial di Sungai Kongo sebagai gantinya tidak akan mengganggu gugat Prancis di Maroko sekaligus membiarkan Prancis bergerak dengan leluasa di Maroko.

Pintu sekarang sudah terbuka lebar bagi Prancis untuk mendirikan protektorasinya di Maroko. Tentara Prancis juga sudah menduduki seluruh negeri Maroko – kecuali bagian yang dikuasai Spanyol. Mereka juga memaksa Si Madani El Glaoui turun dari jabatan wazir yang ia pegang dan adiknya Si Thami sebagai Pasha Marrakesh, karena mereka termasuk orang-orang yang sejatinya tidak pro-Prancis. Namun sebagai ganjarannya, mereka mendapat perlindungan Prancis.34

Sebagai daerah pedalaman yang secara cepat dan tidak disengaja menjadi kendali Prancis, Perdana Menteri Prancis di Tangier, Henri Regnault, melakukan

34


(35)

26

perjalanan ke Fez dengan segala jenis kebutuhan untuk pesta besar-besaran dan teks perjanjian yang ia serahkan ke Mawlay Abdelhafid untuk ditandatangani pada 12 May 1912.35 The Treaty of Fez menjamin wewenang keagamaan yang dimiliki oleh sultan dan kedaulatan sekulernya, tetapi memberikan segala kekuatan eksekutif di tangan Prancis. Dan dengan ini dimulailah masa Protektorat Prancis.

C. Sultan dan Ulama sebelum Protektorat Prancis

Mohammed Lahhabi, mempublikasikan bukunya yang berjudul Le

Gouvernement Marocain à l’Aube du Vingtième Siècle yang isinya menerangkan

sistem politik yang ada di Maroko. Baik sebelum maupun sesudah kedatangan Prancis. Ia berpendapat bahwa Prancis, telah menghancurkan dasar azas politik di Maroko yang kondisinya sebetulnya sudah mapan. Protektorat Prancis mengubah kedaulatan yang tadinya berada pada tangan rakyat menjadi sebaliknya. Dimana kedaulatan tertinggi berada pada pemerintah, atau dengan kata lain bersifat monarki absolut.36

Kemudian, berangkat dari kasus-kasus sejarah, Lahhabi berpendapat bahwa dulu masyarakat madani telah terbangun dengan baik di Maroko sebelum kedatangan Prancis. Yang mana terdapat hubungan yang positif antara Sultan, Ulama serta Masyarakat Maroko, dan hal tersebut tidak dapat dilupakan dalam sejarah panjang Maroko. Ia mencontohkan misalnya kasus sultan yang dapat dilengserkan, yaitu sultan Abd‘ al-Aziz, pada tahun 1908. Dari hal tersebut terlihat bahwa contoh tersebut telah menjadi bukti mengenai ruang kebebasan

35

Ibid.

36

Gellner dikutip dari C.R. Pennell: ‗Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought‘ dalam Morocco: Occasional Papers, No. 1, 1994, h. 13


(36)

27

untuk ideologi masyarakat. Selain itu, konsep mengenai pemimpin tirani yang harus digantikan juga berdiri begitu kokoh pada masa pra-kolonial Maroko seperti yang dikatakan oleh Pennell:

If the Sultan rules justly, preserves order and the safety of the roads, keepshis officers under control so that they do not ‘tyrannise’ the people, raisestaxes in a fair way in accordance with the shari’a, and protects the countryagainst attack by outside forces, particularly the Christians, then they have aduty to obey him. If he does not, and fails so manifestly that justice andorder are replaced by tyranny, then he can be removed from office. Indeed,on occasion it was argued that it was not only the right of the people –ledby the ‘ulema– to remove him, but their duty to do so.37 Selain itu, terdapat contoh lainnya yang masih terkait dengan kasus kuatnya masyarakat madani pada masa pra-kolonial. Yaitu, pembalikan bai‘at sultan Abd al-‗Aziz yang dilakukan oleh el-Kattani di tahun 1908. Padahal hal tersebut benar-benar sudah melampaui kehendak sultan atau ulama, namun el-Kattani.38 menjadikan hal tersebut menjadi mungkin. Dia merupakan contoh figur sejarah yang berhasil mematahkan istilah populis kewenangan mutlak ‗tangan

tuhan di muka bumi‘. Selain itu, dia juga salah satu tokoh utama yang mencoba memberikan makna bai‘at sebagai sesuatu yang sifatnya sementara waktu. Dimana secara tersirat hal tersebut sama saja mendobrak kepatuhan tradisi dan praktik yang sudah cukup lama diterapkan oleh Maroko.

37Pennel: ‗Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought‘,

h. 22.

38 ‗abd

al-Hayyal-Kattani atau El Kattani (1873-1909) merupakan seorang akademisi sekaligus sufi yang dimuliakan oleh masyarakat. Sosoknya semakin terkenal ketika ia dengan lantang menyuarakan ketidaksukaannya atas lemahnya sang sultan yang mau bernegosiasi dengan kolonial Prancis pada tahun 1904-1909. Meskipun dikatakan sebagai seorang sufi, dia juga tidak bisa dikatakan sebagai tipikal representatif ulama. Hukuman pertama kali dijatuhkan kepadanya oleh ulama, yaitu eksekusi mati pada tahun 1896-1887 dengan tuduhan bid‘ah walaupun alasan sebetulnya karena perjuangannya yang kokoh melawan sultan yang tidak pro-rakyat.Lebih jauh lihat, Thomas K. Park dan Aomar Bourn, Historical Dictionary of Morocco. Second Edition (Lanham: The Scarecrow Press, 2005), h. 136-138.


(37)

28

Karena hal tersebut, pada tahun-tahun menjelang pendudukan Prancis sebagai sebuah negara Protektorat di Maroko, El Kattani dijadikan buronan negara atas perintah Abd al-‗Aziz, karena dinilai telah melemahkan posisinya di mata masyarakat sebagai sultan, selaku pemimpin tertinggi di Maroko saat itu. Faktor lainnya karena el-Kattani dinilai sebagai orang yang berbahaya karena punya kemampuan menggerakkan massa dengan mudah.

Terkait peristiwa sejarah yang mengakibatkan dilengserkannya Abd

al-‗Aziz, sebetulnya punya hubungan yang relatif harmonis dengan ambisi kolonial Prancis. Karena hal tersebut dijadikan celah oleh Prancis untuk memaksa Abd

al-‗Aziz untuk menandatangani Perjanjian Algeciras pada tahun 1906 dengan dalih Prancis akan memberikan dukungan kekuatan secara politik kepada Abd al-‗Aziz. Setelah menguasai Casablanca dan Oujda yang diikuti penandatanganan Perjanjian Algeciras, el-Kattani menjadi satu-satunya yang menentang usaha-usaha sultan karena upaya sultan yang ingin melakukan putusan atas kehadiran Prancis di Maroko. Namun demikian, adik dari sang sultan, Hafidh, yang mengumpulkan massa di Marrakesh, jauh dari Fez, pada 16 Agustus 1907 ternyata punya rencana yang senada dengan el-Kattani. Dia meminta massa tersebut untuk memilih sultan lain yang mampu menentang para penjajah. Dalam hal ini, dia meminta orang-orang yang dikumpulkannya tersebut untuk mengangkat dirinya sendiri dan terjadilah bai‘at baru, yang secara terang-terangan menentang posisi kakaknya sendiri, Abd al-‗Aziz. Ulama Marakesh pun dipaksa untuk menandatangani hal tersebut untuk melegalkan kekuasaan Abdel Hafidh.39

39


(38)

29

Bila dicermati lebih jauh, sebetulnya, bila Abd al-‗Aziz bisa memposisikan dirinya sebagai kontra dari kolonial Prancis, tentu saja apa yang disebut sebagai ketidak patuhan sipil tidak akan terjadi.

Menanggapi hal tersebut, sang Sultan mengumpulkan kelompok ulama Fassi di istananya di Rabat dan memaksa mereka untuk mengeluarkan fatwa agar membatalkan bai‘at Marakesh, menyatakan bahwa mereka tidak punya alasan apapun untuk mengambil sumpah kesetiaan. Pada januari 1908, kejadian serupa juga terjadi di tempat lain, yang mana para ulama Fassi dipaksa oleh segerombolan orang-orang yang marah di Fez. Gerombolan tersebut terdiri dari petani, masyarakat miskin dan tukang kayu. Penggambaran Munson paling tidak dapat memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai peristiwa di Fez tersebut: On 15 December 1907, peasants swarmed into Fez refusing to pay a markettax imposed by Moulay ‘Abd al-‘Aziz. Joined by the city’s poor, the peasants broke open thestrongboxes where the tax revenues were kept andattacked a number of shops, theFrench post office, and the office of the government’s tobacco monopoly. The crowds also tried to pillage theJewish quarter, but its gates were shut before they could. After two days ofthis rioting, merchants succeeded in restoring order by means of a makeshiftmilitia composed largely of porters and slaves. The sultan’s army wasabsent, having left Fez in September when Mulay ‘Abd al-‘Aziz haddecided he would be safer in Rabat, near French troops and ships.40 Pada Januari 1908, perkumpulan sebanyak 20.000 orang yang ingin melakukan protes mengawal beberapa ulama-ulama berpengaruh di Fez ke universitas Qarawiyyin. Mereka menuntut menandatangani petisi yang akan mendeklarasikan Abd al-‗Aziz sebagai bukan lagi penguasa resmi dan mengalihkan baiat ke Mawlây Abdel Hafidh, adiknya sendiri. Hal tersebut dilakukan atas dasar sikap tunduknya Abd al-‗Aziz terhadap Prancis dan gagal

40


(39)

30

untuk menerapkan hukum Islam di Maroko. Dalam 30 menit, bai‘at yang baru telah dibuat garis besarnya dan ditandatangani.

Kesetiaan yang baru terhadap Abdel Hafidh berarti menjadi tugas besar baginya yang secara tidak langsung telah menjadi tempat untuk masyarakat bergantung atas kepedihan-kepedihan yang telah diberikan oleh Prancis di Maroko. Banyak tuntutan masyarakat yang harus dilaksanakan, seperti pembebasan teritori-teritori yang dikuasai oleh Prancis, dengan menghilangkan segala campur tangan orang-orang Eropa dalam permasalahan Maroko, dan menghilangkan pajak-pajak non-quran41. dan perlindungan terhadap hak istimewa ulama tradisional.

Walaupun Abdel Hafidh merupakan orang yang diuntungkan dari bai‘at baru tersebut, ia menjadi sangat marah ketika mendengar tentang kondisi-kondisi yang mengganggunya. Menurutnya, kondisi-kondisi terikat tersebut melemahkan kekuatannya dan menjadi hambatan bagi kemampuannya untuk memerintah. Ketakutan ulama dengan cepat mengingkari kondisi-kondisi kontraktual tersebut dan menyalahkan kejadian tersebut ke El Kattani, meminta dengan tegas bahwa mereka telah dipaksa untuk menerima hal tersebut. Dengan ketidakmampuan sultan baru untuk membendung pasukan Prancis, membuat tegang hubungan antara El Kattani, orang paling berkuasa di Fez dengan Sultan menjadi lebih buruk. Pada musim semi 1909, el-Kattani pergi meninggalkan kota Fez menuju Middle Atlas untuk memulai pemberontakan dan perang suci melawan Prancis.

41

Pajak non-Qur‘an adalah pajak-pajak yang tidak ada landasan hukumnya dalam


(40)

31

Sesudah itu ditangkap oleh pasukan-pasukan sultan, dibawa menuju Fez, dicambuk hingga mati dan dikubur pada tengah malam.42

Dua contoh sejarah di atas menggambarkan batasan-batasan dalam perbedaan yang berhubungan dengan agama dan perannya yang dimainkan ulama dalam menciptakan kebebasan publik. Perannya baik semata-mata untuk kesatuan ataupun semata-mata untuk bersebrangan pendapat dalam kenegaraan. Hal tersebut juga menyajikan perlindungan baik untuk individual maupun hak-hak kelompok dari campur tangan pemerintahan yang monarki.

Berangkat dari kasus bai‘at 1908, dasar bai‘at yang sifatnya sementara menjadi jauh dari standar yang seharusnya. Dan kemudian munculnya gerombolan massa mengamuk yang memaksa ulama untuk menandatangani bai‘at baru dan hal tersebut terlihat bahwa ulama tidak sepenuhnya independen. El Kattani, seperti yang disebutkan di atas, tidak mau mengikuti ulama-ulama pada umumnya dan akhirnya menjadi sufi, ia bahkan menghormati penghinaan yang bersifat agama yang dilakukan oleh kaum ortodoks. Sebagai ganjaran keputusannya:

It is true that the weakened state of the Sultanate in 1907–8 enabled the Moroccan ‘ulema to play a more conspicuous political role than they usually did. Still, even in these years, most scholars remained pawns manipulated by those who held real power, be it the reigning sultan, . . . or el-Kattani when he was able to mobilize huge crowds of artisans, shopkeepers, and peasants. In this period, as in previous centuries, no one denied that approval by the ‘ulema was a prerequisite of legitimate rule. But nor did those with power have any difficulty in forcing the ‘ulema to legitimate whatever it was they wanted legitimated.43

42

Ibid.

43


(41)

32

Tozy bahkan mengekspresikan dengan kata-kata yang kurang lebih sama: What is sure is that despite the real weight that the ‘ulema represented, their power remained limited and one should not exaggerate their importance’.44

Perkembangan-perkembangan di masa pra-kolonial ini seharusnya paling tidak mengindikasikan satu hal penting dalam struktur ruang publik pada hubungan negara-masyarakat di awal abad kedua puluh. Hal tersebut adalah satu hal penting dari agama yang ideal dalam menantang kekuasaan si penguasa, yang melekat ke dalam mode-mode kekuasaan agar mengetahui sejarah Maroko, jauh-jauh hari sebelum disusupi oleh kebudayaan-kebudayaan dari bangsa lain.45

Sejarah dan tradisi-tradisi budaya telah menempatkan agama dan ulama di dalam jantung hubungan sosial mengikat antara negara dan masyarakat, agar melewati prosesb bertujuan memastikan kedudukan ruang kebebasan publik, Hubungan yang kontraktual antara penguasa dan yang dikuasa, bagaimanapun diartikulasikan sebagai bentuk terbaik dari kepatuhan.

44

Mohamed Tozy,Champs et contre-champs politico-religieux au Maroc (Disertasi Gelar Doktor dalam Ilmu Politik, Université de Droit, d‘Economie et des Sciences d‘AixMarseille, 1984), h. 34.

45

James N. Sater, Civil Society and Political Change in Morocco (London: Routledge, 2007), h. 33.


(42)

33

BAB III

KEBANGKITAN NASIONALISME MAROKO

Pandangan umum mengenai perkembangan pergerakan nasionalis Maroko menekankan bahwa terdapat peran penting Perang Dunia Kedua dalam transisi gerakan-gerakan pemikiran yang berbasis kemerdekaan dan berusaha mempengaruhi otoritas Prancis untuk merancang ulang kebijakan-kebijakan mereka di Maroko yang sama sekali sarat dengan kepalsuan akan kemerdekaan semu yang diberikan oleh Prancis.

A. Pemantik Resistensi Kolonial

Bibit Nasionalisme, menurut beberapa sarjana, dimulai pada November 1925.46 Diawali dari studi grup mahasiswa yang bersama-sama mencari format baru mengenai hubungan Maroko dengan Protektorat Prancis. Dari studi grup tersebut, nantinya ide nasionalisme akan menyebar ke seluruh penjuru Maroko. Lalu, studi grup yang notabene terdiri dari mahasiswa Universitas Qaramiyyin ini, pada dasarnya terinspirasi oleh pergerakan Salafi dalam melawan praktik politik kolonial.47

Selain itu, anggota studi grup tersebut pada umumnya berasal dari golongan borjuis kota tradisional, Fez. Dalam sejarahnya, mereka merupakan

46

John P. Halstead,Rebirth of a Nation: The Origins of and Rise of Moroccan Nationalism,1912-1944(Harvard: Harvard University Press, 1967),h. 66;Jamil M. Abun-Nasr,A Historyof the Maghrib. 2nd edition (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), h. 368.

47

Secara tidak langsung, pergerakan Salafi mempunyai andil yang besar dalam kemerdekaan Maroko. Ide-ide salafi tentang memodernisasikan Islam untuk dunia yang sedang dikuasai oleh orang-orang Eropa menjadi faktor yang menjadi utama yang mendorong terjadinya banyak perubahan di dunia Islam Timur Tengah. Dengan kata lain, salafi adalah kontra dari kolonialisme pada saat itu.


(43)

34

kelompok yang berada di garda depan dalam mendesak reformasi Makhzen untuk mencegah okupasi yang akan dilakukan oleh orang-orang Eropa ditahun 1912.48

Pengaruh dari luar jelas menjadi – dalam hal ini Timur Tengah –faktor utama yang mempengaruhi kebangkitan nasional di Maroko. Misalnya seperti Kemalist Turki yang pengaruhnya dan Pergerakan Salafi yang disuarakan oleh"tiga serangkai pembaharu‖,Jamâl al-Dîn al-Afghânî, Muhammad ‗Abduh danMuhammad Rasyîd Ridâ.49

Tuntutan pertama golongan nasionalis mulai timbul ketika gerakan masyarakat mulai terbentuk ditahun 1930, dimana Protektorat Prancis di Afrika Utara terlihat begitu kuat kekuasannya. Pada tahun tersebut, pemerintahan Prancis mengharuskan Sultan untuk menerbitkan dahir untuk menempatkan suku berber di bawah hukum adat bukannya hukum Islam.50 Meskipun hal tersebut tidak lebih dari hasil undang-undang dari keputusan eksekutif yang dibuat lebih dari 10 tahun sebelumnya, golongan nasionalis –dengan visi salafinya tentang nilai-nilai sosial Islam dan penyatuan syariah Islam dalam hukum Maroko–tidak setuju dengan dekrit tersebut. Karena, secara politis dekrit tersebut jelas menjadi alat bagi Protektorat Prancis sebagai media pemecah belah, penghancur integritas serta kedaulatan Maroko. Berangkat dari hal tersebut, kalangan nasionalis melakukan protes besaran-besaran, menggunakan Latif, sebuah doa tradisional yang dilakukan pada waktu genting.

48

ʻAbd Allah ʻArawi, Les Origines Sociales et Culturelles du Nationalisme Marocain, 1830-1912 (Paris: F. Maspero, 1977), h. 62.

49

Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (Cambridge: Cambridge University Press,1983), h. 371-372.

50


(44)

35

Lebih jauh lagi, isu yang kemudian dikenal sebagai Dahir Berber tersebut menjadi hal yang kontroversial di Maroko. Hal itu dapat terjadi karena Prancis mempunyai persepsi bahwa Masyarakat Berber dengan Masyarakat Arab harus dipisah. Berber di pedesaan dan Arab di perkotaan.Orang-orang Berber tersebut, diasingkan di gunung, dan kemudian wilayah-wilayah tersebut disebut sebagai Bled as-Siba atau ―land of dissidence‖. Sedangkan bagi Arab yang dipaksa menetap di kota, wiyalah-wilayahnya disebut sebagai Bled al-Makhzen atau

―Land of Government‖.51

Pemerintahan Prancis benar-benar mengangkat isu perbedaan tersebut ke ranah yang sifatnya sangat politis. Karena hal tersebut, gap sosial yang terjadi antara Orang Berber dengan Orang Arab menjadi semakin dalam. Selain itu, karena dibiasakan tinggal di kota, maka kemampuan fisik orang Arab jauh lebih lemah disanding orang Berber yang tinggal di pegunungan. Dampaknya, sultan lebih senang mempekerjakan orang-orang Berber ketimbang orang-orang Arab untuk dijadikan sebagai tentaranya.52

Karena Dahir tersebut, kalangan nasionalis semakin geram dengan Prancis. Kalangan nasionalis yang notabene memiliki ide perjuangan pergerakan salafi, semakin berani tampil di ruang publik untuk menyerang kebijakan-kebijakan Prancis yang dinilai merugikan Maroko. Ditambah, dukungan-dukungan dari gerakan salafi di luar Maroko semakin memberikan mereka

51

Halstead, Rebirth of Nation, h. 68.

52

Edmund Burke, 'The Image of the Moroccan State in French Ethnographical Literature: a new look at the origins of Lyautey's Berber policy', dalamErnest Gellner danCharles Micaud, Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa (London: Duckworth, 1973), h. 78.


(45)

36

keberanian. Bahkan, para pendukung ataupun simpatisan terhadap golongan nasionalis semakin bertambah seiring berjalannya waktu.

Meluasnya dukungan-dukungan yang didapat kalangan nasionalis dalam rangkaian panjang kampanye Dahir Berber menjadi alasan kuat mereka untuk semakin berani dan di tahun 1934 memaksa untuk mencabut perjanjian.53 Kampanye Dahir Berber hanyalah awal dari tujuan besar kalangan nasionalis agar Prancis sikapnya di Maroko tidak semena-mena dan membawa kerjasama yang sebenarnya antara orang Eropa dan orang Afrika Utara.

Pada akhir tahun 1937 pergerakan nasionalis ditindas dan pemimpin-pemimpinnya ditangkap, dipenjarakan atau bahkan dibuang dan diasingkan. Prancis mengira dengan menangkap para pembesar golongan nasionalis maka ancaman terhadap protektorat telah selesai. Padahal, secara diam-diam kalangan nasionalis membentuk kelompok studi yang selalu berubah-ubah namanya sehingga keberadaan mereka sulit dilacak.54 Upaya ini terus dilakukan hingga para pembesar kalangan nasionalis dibebaskan oleh Prancis dari masa pembuangan mereka.

Dari tahun 1934 kedepannya, kesadaran politik dan ekonomi masyarakat mulai terbangun di kota-kota kecil seperti Ouezzane yang terletak di kawasan Jbala, wilayah yang berada di tengah batas ujung zona Spanyol dan zona Prancis. Protes-protes pun mulai bermunculan secara acak di wilayah tersebut. Tidak hanya protes-protes yang dilakukan oleh para pedagang memperjuangkan nasib mereka dalam perekonomian masa Protektorat Prancis tapi juga suku-suku lokal

53

K. Brown, 'The Impact of the Dahir Berbere in Sale', dalam Ernest Gellner and Charles Micaud, Arabs and Berbers (London: Duckworth, 1973), h. 201.

54


(46)

37

mulai belajar tentang peristiwa-peristiwa di Fez lewat ‗les notables‘ dan sebagian dari pelajar yang melakukan kontak baik langsung ataupun tidak langsung dengan Fez dan kota-kota lainnya. Dalam hal ini, pedagang kecil pun juga memainkan peran penting. Mereka, yang sering melakukan perjalanan dagang dari wilayah pedesaan ke kota-kota besar seperti Fez, Casablanca, Kenitra dan Tetuan, sekembalinya menyebarkan berita-berita tentang peristiwa-peristiwa di kota besar tersebut dan perlahan-lahan membangun simpati nasionalis di douars.55 kota-kota kecil lainnya letaknya tidak lebih strategis dari Ouezzane, yang memiliki akses yang mudah ke kota-kota besar juga terpengaruh ide-ide mengenai nasionalisme. Seperti, Boujad,56 Sefrou,57 Azrou and Midelt.58

B. Perang Dunia II dan Penguatan Nasionalisme

Depresi luar biasa di kota-kota ternyata mempunyai dampak signifikan terhadap pertumbuhan pemikiran dan rasa nasionalisme. Pendatang baru, dipaksa keluar dari pedesaan dan datang ke kota mencari pekerjaan dengan kesempatan nyaris nihil. Sebelum Perang Dunia Dua pengembangan industri-industri di Maroko tidak dapat menampung permintaan pekerjaan yang melebihi kapasitas.59 Kerajinan tradisional dan manufaktur lokal pun semakin kesulitan bersaing melawan barang-barang asing murah-meriah di negara pasca keluaranya Undang-Undang Algeciras, 1906; Depresi tersebut merupakan pukulan telak bagi

55

Ibid

56

Dale F. Eickelman, Moroccan Islam: Tradition and Society in a Pilgrimage Center

(Austin: Texas University Press, 1976)h. 229.

57

C. Geertz,H. Geertz dan L. Rosen, Meaning and Order in Moroccan Society

(Cambridge, 1979), h. 15.

58

Robin L.Bidwell, Morocco under Colonial Rule: French Administration of Tribal Areas, 1912-1956 (London, I973), h. 57

59

Charles F. Stewart, Economy of Morocco, 1912-1965 (Cambridge: Harvard University Press, 1964),h. 16-17.


(47)

38

orang Maroko.60 Dalam kondisi ekonomi yang begitu memprihatinkan seperti ini, tidak mengherankan apabila kebencian orang-orang Maroko semakin mencapai titik ledak yang pada ujungnya menjadi pendukung bagi golongan nasionalis.

Kesulitan yang sama pun dialami oleh orang-orang Maroko yang tinggal di pedesaan. Dalam kurun waktu 1930-1933, pendapatan mereka menurun hingga 60 persen. Dalam hal ini, faktor Ekonomi merupakan faktor utama yang membentuk pergerakan-pergerakan perlawanan pemerintahan kolonial ketimbang tekanan-tekanan politis yang mereka alami. Sehingga, pada akhirnya kemerdekaan adalah satu-satunya solusi untuk keluar dari masa paceklik ini, baik bagi penduduk desa maupun kota.

Ketika deklarasi Perang Dunia Kedua diumumkan di Maroko oleh pemerintah Prancis, Sultan menawarkan dukungan penuh untuk membantu Prancis dalam perang tersebut.61 Pada titik ini, kalangan nasionalis juga mengendurkan kampanye mereka melawan sistem Kolonial yang diterapkan oleh Prancis karena asumsinya mereka lebih baik mengumpulkan kekuatan sembari menunggu kedatangan kembali pemimpin-pemimpin mereka yang ditahan oleh Prancis. Dukungan sultan terhadap Prancis juga tidak serta-merta ditolak oleh orang-orang Maroko. Alasannya, akan lebih baik bila mendukung Prancis, karena bila Prancis kalah, maka Jerman akan mengambil alih Maroko. Hal tersebut sudah terlihat ketika Jerman mengunjungi Tangier di tahun 1905 dan insiden Agadir di

60

Ibid., h. 17.

61


(48)

39

tahun 1911.62 dan juga bantuan-bantuan yang diberikan oleh Jerman kepada masyarakat Maroko ketika melawan Prancis.63

Lebih jauh lagi, propaganda Nazi juga terus digelontorkan oleh orang-orang Jerman yang ada di Prancis. Propaganda ini berawal dari tahun 1937, melalui petugas Jerman di sebuah sekolah militer di Chaouen, salah satu kawasan di zona Spanyol dan dibantu dengan kelompok fasisme lainnya, Italia.64 Dari situ terlihat bahwa ambisi Jerman untuk mengusir Prancis dari Maroko begitu besar.

Namun, alasan dibalik semua bantuan dan campur tangan Jerman di Maroko adalah ideologi anti-semit. Jerman ingin menghabisi orang-orang Yahudi di Maroko. Akan tetapi, Prancis menjadi tembok penghalang yang besar bagi Jerman untuk mewujudkan hal tersebut. Apalagi Prancis juga menolak pemikiran anti-semit yang digembar-gemborkan oleh Jerman. Maka dari itu, Jerman mengambil simpati kalangan nasionalis agar bisa mencapai tujuannya.65

Pun demikian, kalangan nasionalis Maroko melihat tabiat Jerman yang nyatanya tidak akan menguntungkan juga bagi mereka terutama bagi kalangan nasionalis Maroko yang berada di zona Spanyol. Karena negara-negara poros seperti Jerman dan Italia yang berideologi Fasisme tidak lebih baik dari Prancis ataupun Spanyol.66

62

Jamil M. Abun-Nasr, History of the Maghrib (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), h.300-302 dan Frederick V. Parsons, The Origins of the Morocco Question, 1800-1900 (London: Duckworth,1976), h. 516.

63

SHAT, Maroc E12 bis.Dokumen ini mendeskripsikan secara detail mengenai agen-agen dan mata-mata Jerman di Selatan Maroko.

64

Bulletins mensuels du Protectorat', January 1936, March 1937, (AGGA), h. 27.

65

Halstead, Rebirth of a Nation, h. 260.

66


(49)

40

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari campur tangan Jerman di Maroko, sedikit banyak mereka telah membantu perjuangan kalangan nasionalis melawan protektorasi yang diterapkan oleh Prancis dan Spanyol.67 Bahkan bantuan berupa pasukan bersenjata pun pernah didatangkan Jerman ke Casablanca yang mana pada saat itu sedang terjadi bentrokan antara kalangan nasionalis dengan Protektorat Prancis.

Kekalahan Prancis pada Perang Dunia Kedua oleh Jerman jelas menjadi pengaruh besar bagi perkembangan perjuangan kalangan nasionalis. Pasalnya, hal tersebut berdampak pada psikologi orang-orang Maroko yang semakin percaya diri. Hal tersebut membuktikan bahwa Prancis tidak sesuperior yang diperkirakan hingga dapat dikalahkan oleh Jerman pada tahun 1940. Terlepas dari itu, hal tersebut nyatanya selaras dengan kasus Indonesia. Kekalahan Belanda oleh Jepang, dan kekalahan Jepang oleh sekutu memengaruhi kejiwaan para pahlawan dan bapak pendiri bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kemerdekaan adalah hal yang realistis pada waktu itu. Rentetan peristiwa di atas hanya faktor pendukung namun kunci utama agar kemerdekaan dapat terwujud tetap berada di tangan sultan. Karena, bagaimanapun sultan adalah pemegang kekuasaan tertinggi bagi komunitas muslim Maroko. Posisinya mewakili mayoritas penduduk Maroko yang bercorakkan muslim.68

Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada BAB II, posisi sultan sudah dilemahkan oleh orang-orang Eropa. Namun disatu sisi, Prancis tidak ingin ‗main

kasar‘ dengan menggulingkan sultan, karena cara tersebut justru akan merugikan

67

Leon Borden Blair, Western Window in the Arab World (Austin: University of Texas Press, 1970), h. 65-66.

68


(50)

41

Prancis. Sultan masih dibutuhkan untuk melanggengkan kekuasaan Prancis di Maroko, sebab bagaimanapun sultan Mohammed V merupakan tokoh populer di Maroko pada saat itu. Di sisi lainnya, kalangan nasionalis membutuhkan sosok sultan untuk mengisi kekosongan jabatan kala Prancis berhasil ditaklukkan, agar Maroko tidak runtuh sebagai sebuah negara. Apalagi sepanjang sejarahnya Maroko adalah negara adidaya di daratan Maghrib.

Artinya, kalangan nasionalis sangat tergantung kepada dukungan sultan agar upaya-upaya yang mereka lancarkan dapat berjalan sesuai rencana. Bak gayung bersambut, nyatanya Mohammed V juga simpati dengan perjuangan yang dilakukan kalangan nasionalis. Setidaknya sultan sudah simpati sejak tahun 1934. Maka dari itu, kalangan nasionalis sangat berhati-hati agar tuntutannya terhadap Protektorat Prancis tidak mengusik kekuasaan sultan. Pertemuan dengan Roosevelt juga membuktikan bahwa dia siap untuk menjalankan tugas-tugas diplomasi negara dengan kapasitasnya sebagai kepala negara Maroko.

Hubungan komunikasi yang dilakukan kalangan nasionalis dengan pihak kesultanan terus dijalin dengan baik. Lewat Putra Mahkota, Mohammed el-Fassi, mereka terus melakukan konsolidasi secara sembunyi-sembunyi.69 Alasannya untuk menghindari kecurigaan Prancis di bawah kepemimpinan baru, De Gaulle. Sama seperti pemerintahan Prancis sebelumnya, Gaulle juga tidak punya sikap politik yang jelas terkait hak-hak yang dituntut oleh orang-orang Maroko.

Pada tahun 1943, para pemimpin nasionalis masih dalam tahanan dan pengasingan. Hal ini memaksa kalangan nasionalis untuk segera merubah bentuk

69


(51)

42

perjuangannya yang mana pada awalnya hanya memaksa Prancis untuk merubah total beberapa hal terkait hubungan antara Maroko dengan Prancis kemudian beralih menjadi menuntut kemerdekaan. Permintaan itu tertuang dalam sebuah pernyataan yang dibuat oleh Ahmed Balafrej, Abdallah Ibrahim, Mohammed Lyazidi dan Umar Abdeljalil, yang ditujukan tidak hanya untuk Gubernur Jenderal, namun dinaikkan ke dalam forum internasional, agar Prancis mendapat tekanan dunia internasional.70

Pada tanggal 11 Januari 1944 Partai Istiqlal (Hizb al-Istiqlal, selanjutnya Istiqlal) didirikan sekaligus penyampaian pernyataan kemerdekaan kepada Gubernur Jenderal yang baru, Gabriel Puaux. Setelah disampaikan, Prancis akan mempertimbangkan mengenai reformasi hubungan antara Maroko dengan Prancis namun tidak untuk pemberian kemerdekaan kepada Maroko.

Pada tanggal 13 Januari 1944, dalam Konferensi Brazzaville, gelagat Prancis jelas terlihat tidak akan mempertimbangkan apapun atas apa yang telah dituntut oleh kalangan nasionalis. Pada tanggal 29 Januari, justru orang-orang Istiqlal dijadikan tahanan politik. Selain itu, sultan dianggap sebagai pembangkang oleh De Gaulle karena simpati terhadap pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kalangan nasionalis. Hubungan komunikasi diam-diam yang dibangun selama ini nampaknya ketahuan oleh pihak Prancis.

Pada tahun 1947, sultan mulai terang-terangan mendukung perjuangan kalangan nasionalis. Hal ini diperlihatkannya ketika melakukan kunjungan ke Tangier, sebuah lokasi yang dijadikan tempat netral, zona internasional.

70 Mu ammad ibn Mu ammad al

- ʻAlami, Mohammed V: Histoire de l ind pendance du Maroc (Sale: Maroc, 1981), h. 71.


(1)

74 Berque, Jacques. Etudes d'Histoire Rurale Maghrebine. Fes: Les Ed.

Internationales, 1938.

Bidwell, R. Morocco Under Colonial Rule: French Administration of Tribal Areas, 1912-1956. London: Duckworth, 1973.

Blair, Leon Borden. Western Window in the Arab World. Austin: University of Texas Press, 1970.

Brown, K. "The Impact of the Dahir Berbere in Sale." In Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa, by Ernest Gellner, & Charles Micaud, 201-215. London: Duckworth, 1973.

Brown, Kenneth, and George Henderson. "Resistance and Nationalism." International Journal of Politics, Vol 7 No. 3, Fall, 1977: 100-106.

Burke, Edmund. Prelude to Protectorate in Morocco: Pre-Colonial Protests and Resistance, 1860-1912. Chicago: The Chicago University Press, 1976.

Burke, Edmund. "The Image of Morocco in French Colonial Scholarship." In Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa, by Ernest Gellner, & Charles Micaud, 165-190. Paris: Lexington, 1972.

Burke, Edmund. "The Image of the Moroccan State in French Ethnographical Literature: a new look at the origins of Lyautey's Berber Policy." In Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa, by Ernest Gellner, & Charles Micaud, 75-99. London: Duckworth, 1973.


(2)

75 Burke, Peter. History and Social Theory. New York: Cornell University Press,

1993.

—. New Perspectives on Historical Writing. Cambridge: Polity Press, 2001.

Catroux, Georges. "France, Tunisia and Morocco." International Journal Vol. 9 No. 4, 1954: 282-294.

Charnay, Jean Paul. La vie Musulmane en Algerie, d'apres la Jurisprudence de la Premiere Moitie du XXe Siecle. Paris: Presses Universitaries de France, 1965.

Crapanzano, Vincent. The Hamadsha: a Study in Moroccan Ethnopsychiatry. Berkeley: University of California Press, 1973.

Damis, John. "Developments in Morocco under the French Protectorate, 1925-1943." Middle East Journal Vol. 24 No. 1, Winter, 1970: 74-86.

—. "The Free-School Movement in Morocco, 1919-1970." Disertasi Doktor. Tuft University, 1970.

Eickelman, Dale F. Moroccan Islam: Tradition and Society in a Pilgrimage Center. Austin: Texas University Press, 1976.

al-Fassi, Allal. The Independence Movement in Arab North Africa. Terjemahan Hazem Zaki Nuseibeh. Washington DC: American Council of Learned Societies, 1954.


(3)

76 Geertz, C., H. Geertz, and L. Rosen. Meaning and Order in Moroccan Society.

Cambridge: Cambridge University Press, 1979.

Gotschalk, Louis. Understanding History. A Primer Historical Method. Second Edition. Terj Nugroho Notosutanto. Jakarta: UI Press, 1975.

Halstead, John P. Rebirth of a Nation: The Origins and Rise of Moroccan Nationalism, 1912-44. Cambridge: Cambridge University Press, 1967.

Handayani, Anita. Fatima Mernissi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya dalam Mewujudkan Demokrasi dan Hak-Hak Perempuan di Maroko, 1922-1997. Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003.

Hitti, Phillip K. History of the Arabs. London: The Macmillan, 1974.

Hobswawm, Eric. Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social Movement in the Nineteenth and Twentieth Century. Manchester, 1971.

Hockett, H.C. Critical Method in Historical Research and Writing. New York: Mac Millan & Co., 1967.

Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.

Hunter, F. Robert. "Promoting Empire: The Hachette Tourist in French Morocco, 1916,36." Middle Eastern Studies Vol. 43 No. 4, July, 2007: 579-591.


(4)

77 Julien, Charles Andre. L'Afrique du Nord en Marche: Algerie-Tunisie-Maroc,

1880-1952. Paris: Omnibus, 2002.

Kably, Mohammed. "Legitimacy of State Power and Socio-ReligiousVariations in Medieval Morocco." In In the Shadow of the Sultan: Culture, Power and Politics in Morocco, by Rahma Bourqia, & Susan Gilson Miller, 256-288. Cambridge: Harvard Centre for Middle Eastern Studies, 1999.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.

Lahabbi, Mohammed. Le Gouvernement Marocain a l'Aube du 20 siecle. Casablanca: Editions Maghrebines, 1975.

Latif, Abdul. Dinasti Alawiyah: Kontribusi Maulay Ismail pada Kemajuan Kebudayaan di Maroko, 1672-1727. Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015.

Leveau, Remy. Le Fellah Marocain, defenseur du trone. Paris: Presses de la Fondation nationale des sciences politiques, 1976.

Mansour, Mohamed El. "Salafists and Modernists in the Moroccan Nationalist Movement." In Islamism and Secularism in North Africa, by John Ruby, 33-56. New York: St. Martin's Press, 1999.

Mortons, Patricia. Hybrid Modernities: Architecture and Representation at the 1931 Colonial Exposition, Paris. Cambridge: MIT Press, 2000.


(5)

78 Ouardighi, Abderrahim. La Grande Crise Franco-Marocaine, 1952-1956. Rabat:

L'imprimerie Nouvelle, 1976.

Park, Thomas K., and Aomar Boum. Historical Dictionary of Morocco. Second Edition. Oxford: Scarecrow Press Inc, 2005.

Parsons, Frederick V. The Origins of the Morocco Questions, 1800-1900. London: Duckworth, 1976.

Pennel, C.R. Morocco: From Empire to Independence. Oxford: One World, 2003.

Pennell, C.R. Morocco since 1830: A History. New York: New York University Press, 2000.

Pennell, C.R. "Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought." Morocco: Occasional Papers, No. 1, 1994: 22-37.

Rivet, Daniel. Le Maroc de Lyautey a Mohammed V: Le Double Visage du Protectorat. Paris: Denoel, 1999.

—. Lyautey et L'institution du Protectorat Francais au Maroc, 1912-1925. Vol. 1. Paris: L'harmattan, 1988.

Rochmat, Saefur. Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

Sater, James N. Civil Society and Political Change in Morocco. London: Routledge, 2007.


(6)

79 Schroeter, Daniel J., and Joseph Chetrit. "Emancipation and Its Discontents: Jews

at Formative Period of Colonial Rule in Morocco." Jewish Social Studies, New Series, Vol. 13 No. 1, Autumn, 2006: 170-206.

Sihbudi, Riza. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. PT Ichtiar Baru van Hoeve: Bandung, 2002.

Spitz, L.W. "The Third Generation of German Renaissance Humanists." In Aspects of Renaissance, by ed. A.R. Lewis, 105-121. Austin, 1967.

Stewart, Charles F. Economy of Morocco, 1912-1965. Cambridge: Harvard University Press, 1964.

Stoddard, L. Dunia Baru Islam. Jakarta, 1966.

Tozy, Mohammed. Champs et Contre-Champs Politico-Religieux au Maroc. Thesis, Marseille: Universite de Droit, d'Economie et des Sciences d'Aix, 1984.

Waterbury, John. The Commander of the Faithful: The Moroccan Political Elite. New York: Columbia University Press, 1970.

World Affair Institute. "Spain in Morocco." Advocate of Peace Through Justice Vol. 87, 1925: 147-149.

Wyrtzen, Jonathan. "Performing the Nation in Anti-Colonial Protest in Interwar Morocco." Journal of the Association for the Study of Ethnicity and Nationalism, 2013: 615-634.