Analisis Kemiskinan pada Penduduk Betawi vis-a-vis Pendatang di DKI Jakarta

(1)

ANALISIS KEMISKINAN

PADA PENDUDUK BETAWI

VIS-A-VIS

PENDATANG

DI DKI JAKARTA

DIANA ARYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Kemiskinan pada Penduduk Betawi vis-a-vis Pendatang di DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Diana Aryanti


(3)

ABSTRACT

This Research is aimed generally to understand the problem of poverty from the point of view of socioeconomic and cultural in Betawi as indegenous population in Jakarta vis-a-vis migrant (non-indegenous) population in there. Particular purpose are: (1) to determine the variation (difference) the characteristics of poverty in population of Betawi vis-a-vis migrant; (2) to understand the correlation among socioeconomic and culture factors that contribute to the poverty in DKI Jakarta, (3) to know the value orientation and culture on poor population of Betawi vis-a-vis migrant in living their everyday lives, especially those associated with poverty’s exit strategy. The method of analysis in this research is descriptive analysis, logit regression model, and Kluckhohn's value model. The result of the research shows: (1) characteristics of expenditure by quintile, the distribution of higher spending on migrant, the percentage is greater than in Betawi. Characteristics of household heads work on the Betawi largest percentage of poor population working in the business sector tenancy (rented house), while the migrant, the largest percentage of the work in the trade sector. (2) The level of education, the status of trying, have access to credit, working hours, health conditions, sex female household head is positively correlated with poverty. Age and ethnic the Betawi household heads tend to negatively correlated with poverty. Many of the state in favor of the Betawi than the migrant, such as the existence of inherited land. (3)Progressive cultural are owned by the migrant than the Betawi.

Keyword : Poverty, Socioeconomic, Cultural, Betawi (Indegenous Population), migrant, Kluckhohn's value model


(4)

RINGKASAN

DIANA ARYANTI. Analisis Kemiskinan pada Penduduk Betawi vis-a-vis

Pendatang di DKI Jakarta. Dibimbing oleh SAID RUSLI sebagai acting chairman

ketua, SLAMET SUTOMO dan ISANG GONARSYAH sebagai anggota.

Upaya mengatasi persoalan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, namun hasilnya masih kurang memuaskan, jumlah penduduk miskin di Jakarta sangat sulit dikurangi dari angka tiga sampai empat persen pada sekitar sepuluh tahun terakhir menurut Badan Pusat Statistik. Diduga budaya berperan sebagai salah satu penyebabnya. Fenomena ini terjadi pada penduduk asli (Betawi) dan juga terjadi pada penduduk pendatang. Di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta. Bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk miskin sehingga menghambat mereka untuk berkembang merupakan hal penting yang perlu diteliti.

Penelitian ini bertujuan secara umum untuk memahami masalah kemiskinan yang lebih menekankan pada aspek budaya pada penduduk Betawi

vis-a-vis pendatang, disamping meninjau fakta lapangan mengenai karakteristisk sosial dan ekonomi pada penduduk Betawi dan pendatang tersebut. Tujuan khususnya adalah: (1) memahami bagaimana variasi (perbedaan) karakteristik kemiskinan pada rumah tangga Betawi vis-a-vis penduduk pendatang; (2) mengetahui kecenderungan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kemiskinan di DKI-Jakarta; (3) memahami orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis-a-vis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk dapat keluar dari kemiskinan.

Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari studi mendalam tahun 2007 di Kelurahan Marunda (Jakarta Utara), Kelurahan Kebagusan (Jakarta Selatan), dan Kelurahan Menteng Dalam (Jakarta Selatan) dengan menggunakan metode sampling bertahap. Data sekunder berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik Provinsi DKI-Jakarta 2004, data Susenas tahun terakhir yang mengumpulkan variabel suku bangsa kepala rumah tangga responden. Metode analisis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, model regresi logit, dan analisis kualitatif model orientasi nilai budaya Kluckhohn melalui wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan: Karakteristik pengeluaran menurut kuantil menunjukkan distribusi pengeluaran lebih tinggi pada pendatang. Karakteristik kepala rumah tangga pada penduduk miskin Betawi, persentase terbesar bekerja di sektor persewaan, sedangkan pada pendatang persentase terbesar bekerja di sektor perdagangan. Pada kepala rumah tangga, tingkat pendidikan, status pekerjaan, kepemilikan akses kredit usaha, jam kerja, kondisi kesehatan, jenis kelamin perempuan berkorelasi positif dengan kemiskinan. Umur dan suku Betawi pada kepala rumah tangga cenderung berkorelasi negatif dengan kemiskinan. Dalam hal ini Betawi cenderung kondisinya disokong oleh kepemilikan aset tanah/tempat tinggal yang merupakan warisan, namun tidak menutup kemungkinan aset ini akan habis pada generasi berikutnya. Budaya Progresif lebih banyak dimiliki oleh penduduk miskin pendatang dibandingkan Betawi.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menyantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh


(6)

ANALISIS KEMISKINAN

PADA PENDUDUK BETAWI

VIS-A-VIS

PENDATANG

DI DKI JAKARTA

DIANA ARYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Penguji Luar Komisi Pembimbing: Dr. Setia Hadi, MS


(8)

Judul Tesis : Analisis Kemiskinan pada Penduduk Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang di DKI Jakarta

Nama : Diana Aryanti, SP

NRP : P.15500039.E

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ir. Said Rusli, MA

ActingChairman Ketua Komisi

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Anggota

Dr. Slamet Sutomo,SE, MS Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Bambang Juanda

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

PRAKATA

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah, SWT, Sang Maha Membukakan dan Maha Pemberi Kekuatan, serta sholawat dan salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang

berjudul “Analisis Kemiskinan pada Penduduk Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang

di DKI Jakarta”, diharapkan dapat memperkaya informasi terkait pengentasan kemiskinan sehubungan dengan semakin terkoordinasinya upaya pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan pada beberapa tahun terakhir ini, khususnya bagi pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menanggulangi masalah kemiskinan di DKI Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak, termasuk seluruh civitas akademika IPB, khususnya kepada dosen pembimbing, Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D yang banyak memberikan pencerahan mengenai peran budaya yang membentuk kemajuan manusia sebelum beliau sakit; Ir. Said Rusli, MA sebagai acting chairman ketua pembimbing terus memotivasi penulis dalam mengeksekusi penulisan; dan Dr. Slamet Sutomo sebagai anggota komisi pembimbing yang terus memberikan dukungan penuh dan membimbing penulis agar selalu mengaitkan penelitian dengan pilar-pilar PWD. Di sisi lain, merupakan suatu kehormatan bagi penulis atas kesediaan Dr. Setia Hadi, MS yang telah meluangkan waktunya menjadi penguji luar komisi dan kesediaan Prof. Dr. Bambang Juanda (ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan) yang turut menguji dan memberikan pengarahan saat ujian tesis.

Penulis menyadari studi ini masih jauh dari harapan. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan sangat berarti bagi penulis sebagai upaya untuk terus mengembangkan penelitian terkait di masa yang mendatang.

Bogor, Juli 2011


(10)

RIWAYAT HIDUP

Diana Aryanti, keturunan Minang, lahir di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1975 dari Ayah Mochtar Rachim dan ibu Masni Rani, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai Mahasiswi Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 1998.

Sebagai wujud kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, penulis melanjutkan pendidikan pada sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, melalui program khusus. Penulis melalui perkuliahan dan penelitian sambil berkarya dan bekerja di Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Berkesempatan mengikuti kursus penghitungan penduduk miskin yang diselenggarakan oleh World Bank bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik pada tahun 2002, memberikan inspirasi bagi penulis untuk mendalami aspek lain yang berkaitan dengan kemiskinan – budaya berperan dalam kemajuan manusia.

Penulis menikah pada tahun 2004 dengan pilihan hati yang bernama Riky Aditya Nazir yang banyak berkiprah di bidang teknik sipil. Saat ini penulis telah dikarunia dua orang putra yang bernama Muhammad Raafisatria Aditya (lahir tahun 2005) dan Muhammad Arfarazzaaq Aditya (lahir di penghujung tahun 2010).


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah Penelitian ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Kegunaan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Kemiskinan ... 13

2.2. Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) dan Perlindungan Sosial Ekonomi ... 20

2.3. Keterkaitan Pembangunan Kota dan Desa ... 21

2.4. Sejarah Penduduk asli (Etnik Betawi) vis-a-vis Penduduk Pendatang di DKI Jakarta ... 24

2.5. Budaya Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang di Jakarta ... 30

2.6. Nilai Budaya dan Tipologi Budaya ... 33

2.7. Beberapa Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Penduduk Betawi dan Penduduk Pendatang ... 39

2.7.1. Pola Hubungan Sosial Antara Orang Betawi dengan Pendatang ... 39

2.7.2. Dampak Perkembangan Kota Jakarta terhadap Kesejahteraan Penduduk Asli dan Pendatang serta Perubahan Fungsi Kawasan Condet ... 40

2.7.3. Analisis Tingkat Kesejahteraan Etnik Betawi di Daerah Pinggiran Jakarta (Kasus di Desa Rawapanjang Kecamatan Rawapanjang, Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat) ... 43

2.7.4. Akar Penyebab Kemiskinan menurut Rumah Tangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya (Kasus di Kota Ambon, Provinsi Maluku, dan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo) ... 46

2.8 Motivasi Wirausaha ... 47

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1. Kerangka Pemikiran ... 49

3.2. Hipotesis ... 59

3.3. Metode Penelitian ... 59

3.3.1. Sumber Data ... 59


(12)

3.3.3. Metode Pengumpulan Data ... 60

3.3.4. Definisi Operasional ... 60

3.4. Metode Analisis ... 67

3.4.1. Metode Wawancara Mendalam ... 68

3.4.2. Metode Regresi logistik ... 68

3.4.3. Metode Pendekatan Budaya (Kluckhon) ... 71

3.4.4. Pengumpulan Data ... 72

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ... 73

4.1. Gambaran Umum DKI Jakarta ... 73

4.1.1. Kondisi Geografis ... 73

4.1.2. Penduduk ... 75

4.1.3. Tingkat Pendidikan ... 76

4.1.4. Tingkat Kesehatan ... 77

4.1.5. Tingkat Kemiskinan ... 78

4.1.6. Pendapatan Regional ... 79

4.2. Gambaran Umum Kelurahan Wilayah Studi ... 80

4.3. Karakteristik Responden ... 85

4.3.1. Kelurahan Kebagusan ... 85

4.3.2. Kelurahan Menteng Dalam ... 91

4.3.3. Kelurahan Marunda ... 96

V. KARAKTERISTIK KEMISKINAN PENDUDUK BETAWI VIS A VIS PENDATANG ... 103

5.1. Karakteristik Pengeluaran menurut Kelas Kuantil ... 103

5.2. Karakteristik Sosial Demografi ... 104

5.3. Karakteristik Pendidikan ... 107

5.4. Karakteristik Ketenagakerjaan ... 109

5.5. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan) ... 112

VI. KECENDERUNGAN KEADAAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI DKI-JAKARTA ... 117

6.1. Kecenderungan Keadaan Sosial, Ekonomi yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta ... 117

6.2. Kecenderungan Budaya yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta ... 123

6.2.1. Orientasi Nilai-Budaya pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang ... 124

6.2.2. Orientasi Nilai-Budaya yang Berpihak Kemajun pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang ... 130

6.2.3. Kendala untuk dapat Mencapai Kemajuan pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang ... 132

6.2.4. Harapan Bantuan pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang ... 136

VII. ANALISIS KEMISKINAN DI DKI JAKARTA ... 139

7.1. Kemiskinan dan Betawi yang Terpinggirkan ... 139


(13)

7.3. Kurang produktifnya perilaku rumah tangga miskin Betawi ... 143

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 147

8.1. Kesimpulan ... 147

8.2. Saran ... 149

DAFTAR PUSTAKA ... 151


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman No.

1 Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Kepala Rumahtangga Tidak Miskin dan Miskin pada Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk

Pendatang, 2004 ... 8 2 Persentase Penduduk Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang di DKI

Jakarta, 2004 ... 51 3 Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Masalah Dasar Hidup yang

Menentukan Nilai Orientasi Budaya Manusia ... 71 4 Jumlah penduduk DKI Jakarta menurut Kabupaten/Kota

Administrasi dan Jenis Kelamin Tahun 2010... 75 5 Jumlah, Persentase, dan Garis Kemiskinan Penduduk Miskin

menurut Kabupaten/Kota Administrasi di DKI Jakarta, 2007... 80 6 Profil Kota Jakarta Utara Berdasarkan Data PNPM Mandiri Tahun

2008 ... 82 7 Jumlah Satuan Lingkungan Setempat dan Penduduk Kelurahan

Kebagusan, Tahun 2008 ...

83 8 Jumlah Satuan Lingkungan Setempat dan Penduduk Kelurahan

Menteng Dalam, Tahun 2008 ... 84 9 Jumlah Satuan Lingkungan Setempat dan Penduduk Kelurahan

Marunda, Tahun 2008 ... 85 10 Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan

Kebagusan, Tahun 2007 ... 86 11 Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan

Kebagusan, Tahun 2007 ... 87 12 Persentase Responden menurut Jumlah Jam Kerja dalam

Seminggu di Kelurahan Kebagusan, Tahun 2007 ... 87 13 Persentase Responden menurut Umur di Kelurahan Kebagusan,

Tahun 2007 ... 88 14 Persentase Responden menurut Jenis Kelamin di Kelurahan

Kebagusan, Tahun 2007 ... 89 15 Persentase Responden menurut Tingkat Kesehatan di Kelurahan

Kebagusan, Tahun 2007 ... 89 16 Persentase Responden menurut Jaminan Kesehatan Masyarakat di

Kelurahan Kebagusan, Tahun 2007 ... 90 17 Persentase Responden menurut Jumlah Anggota Rumah Tangga di


(15)

18 Persentase Responden menurut Perolehan Kredit Usaha di

Kelurahan Kebagusan, Tahun 2007 ... 91 19 Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan

Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 91 20 Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan

Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 92 21 Persentase Responden menurut Jumlah Jam Kerja Dalam

Seminggu di Kelurahan Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 93 22 Persentase Responden menurut Umur di Kelurahan Menteng

Dalam, Tahun 2007 ... 93 23 Persentase Responden menurut Jenis Kelamin di Kelurahan

Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 94 24 Persentase Responden menurut Tingkat Kesehatan di Kelurahan

Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 95 25 Persentase Responden menurut Jaminan Kesehatan Masyarakat di

Kelurahan Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 95 26 Persentase Responden menurut Jumlah Anggota Rumah Tangga di

Kelurahan Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 96 27 Persentase Responden menurut Perolehan Kredit Usaha di

Kelurahan Menteng Dalam, Tahun 2007 ... 96 28 Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan

Marunda, Tahun 2007 ... 97 29 Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan

Marunda, Tahun 2007 ... 97 30 Persentase Responden menurut Jumlah JamKerja Dalam

Seminggu di Kelurahan Marunda, Tahun 2007 ... 98 31 Persentase Responden menurut Umur di Kelurahan Marunda,

Tahun 2007 ... 99 32 Persentase Responden menurut Jenis Kelamin di Kelurahan

Marunda, Tahun 2007 ... 99 33 Persentase Responden menurut Tingkat Kesehatan di Kelurahan

Marunda, Tahun 2007 ... 99 34 Persentase Responden menurut Jaminan Kesehatan Masyarakat di

Kelurahan Marunda, Tahun 2007 ... 99 35 Persentase Responden menurut Jumlah Anggota Rumah Tangga di

Kelurahan Marunda, Tahun 2007 ... 101 36 Persentase Responden menurut Perolehan Kredit Usaha di

Kelurahan Marunda, Tahun 2007 ... 101 37 Persentase Pembagian Pengeluaran per Kapita Rumah Tangga


(16)

Rumah Tangga Pendatang ... 103 38 Persentase Penduduk Miskin menurut Penduduk Betawi vis-a-vis

Penduduk Pendatang ... 104 39 Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga Penduduk Miskin dan

Tidak Miskin pada Rumahtangga dengan Kepala Rumahtangga

Betawi vis-a-vis Pendatang... 105 40 Persentase Jenis Kelamin Kepala Rumahtangga Perempuan Miskin

dan Tidak Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang ... 106 41 Rata-rata Usia Kepala Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin

Betawi vis-a-vis Pendatang ... 107 42 Persentase Kepala Rumahtangga menurut Kemampuan Membaca

dan Menulis pada Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi

vis-a-vis Pendatang ... 108 43 Persentase Kepala Rumahtangga menurut Pendidikan Tertinggi

yang Ditamatkan pada Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin

Betawi vis-a-vis Pendatang ... 108 44 Persentase Kepala Rumahtangga menurut Jenis Lapangan Usaha

pada Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi vis-a-vis

Pendatang ... Error! Bookm 110 45 Persentase Kepala Rumahtangga menurut Status Pekerjaan pada

Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi vis-a-vis

Pendatang... 111 46 Persentase Kepala Rumahtangga menurut Rata-rata Jam Kerja dalam

Seminggu pada Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi

vis-a-vis Pendatang ...111 47 Persentase Kepala Rumahtangga menurut Luas Lantai Tempat

Tinggal per Kapita pada Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin

Betawi vis-a-vis Pendatang ... 113 48 Persentase Kepala Rumah Tangga menurut Sumber Air Minum

pada Rumahtangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi vis-a-vis

Pendatang ... 113 49 Persentase Kepala Rumah Tangga menurut Fasilitas BAB pada

Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi vis-a-vis

Pendatang ...114 50 Persentase Kepala Rumah Tangga menurut Penguasaan Bangunan

Tempat Tinggal pada Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin

Betawi vis-a-vis Pendatang ... 115 51 Analisis Regresi Logistik antara Keadaan Rumah Tangga Miskin

dengan Peubah Sosial, Ekonomi, dan Budaya ... 122 52 Kecenderungan Orientasi Nilai-Budaya pada Penduduk Miskin


(17)

Kluckhohn tentang Lima Masalah Dasar dalam Hidup) ... 129 53 Orientasi terhadap Nilai Budaya Maju pada Responden Penduduk

Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang ... 131 54 Kendala dalam Menjalani Hidup menurut Pengakuan Responden

Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang ...135 55 Harapan Bantuan menurut Responden Penduduk Miskin Betawi

vis a vis Pendatang ... 137 56 Kecenderungan Prilaku Responden Penduduk Miskin Betawi


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 57 2 Alur Penelitian ... 58 3 Peta DKI Jakarta ... 73 4 Sketsa Tiga Kelurahan Lokasi Penelitian: Kebagusan, Menteng


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil Regresi Logistik... 159 2 Contoh Hasil Studi Mendalam ... 163 3 Hasil Pengolahan Uji U ... 175


(20)

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jakarta telah mengalami pertumbuhan dan pembangunan yang sangat pesat sehingga menjadi magnet bagi penduduk di luar Jakarta untuk bermigrasi ke tempat ini. Ada harapan besar dan faktor mental yang mempengaruhi kemajuan mereka seperti semangat untuk berjuang mengadu nasib di daerah orang lain. Bahkan, seiring dengan perjalanan waktu, kehadiran pendatang telah membuat keberadaan penduduk asli Jakarta yang dikenal dengan orang Betawi, cenderung semakin terpinggirkan. Tercatat pada hasil Sensus Penduduk tahun 1930 jumlah mereka sekitar 64 persen jumlah penduduk Jakarta (Shahab, 2004). Namun, pada tahun 2000 jumlah mereka hanya tinggal sekitar 27,65 persen dari jumlah penduduk Jakarta (Badan Pusat Statistik, 2000). Namun demikian, menurut media on line Berita Jakarta, 2009, banyak pula pendatang yang ke Jakarta tanpa dibekali ketrampilan yang akhirnya menjadi warga miskin di kota ini karena tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan menjadi pengangguran.

Berkaitan dengan kehadiran pendatang, urbanisasi di Indonesia tercatat mulai merupakan fenomena yang signifikan sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia (Rustiadi dan Panuju, 1999). Awal urbanisasi di Indonesia, faktor dorongan untuk bermigrasi dari pedesaan akibat kemiskinan nampak jauh lebih kuat dari faktor daya tarik perkotaan. Akibatnya karakteristik perkotaan di Indonesia, khususnya kota Jakarta, sangat diwarnai oleh keberadaan tenaga kerja sektor informal dan pengangguran tak kentara atau disguished unemployment

(Temple, 1974 dalam Rustiadi dan Panuju,1999).

Di sisi lain, pembangunan selama masa orde baru yang bias ke perkotaan dan bias Jawamenjadi sebab utama perbedaan karakteristik kota Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia sehingga menimbulkan ketimpangan, misalnya ketimpangan distribusi akses penduduk terhadap sumber-sumberdaya, kesempatan kerja dan pendapatan. Ketimpangan tersebut menyebabkan derasnya proses (speed up processes) migrasi penduduk dari wilayah pedesaan ke kota ini. Mereka, pendatang yang berasal dari sebaran etnik yang beragam (multietnik), beramai-ramai mencari rizki di Jakarta. Namun, sebagian penduduk tersebut tidak


(22)

memiliki keahlian dan ketrampilan khusus sehingga timbul beberapa dampak sosial, seperti masalah pengangguran yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan (Affendi, 1999), yang pada akhirnya merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah DKI Jakarta.

Upaya mengatasi permasalahan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, seperti dalam bidang perbaikan permukiman (kampung), persediaan air, sanitasi dan transportasi, serta penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Namun, hasilnya masih kurang memuaskan, masih banyak jumlah penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tercatat jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sekitar 286,9 ribu orang (3,42 persen) pada tahun 2002, cenderung bertahan menjadi 294,1 ribu orang pada tahun 2003 (Badan Pusat Statistik, 2004). Jumlah tersebut kemudian turun menjadi 277,1 ribu (3,2 persen) orang pada tahun 2004 (Badan Pusat Statistik, 2004), meningkat menjadi sekitar 405,7 ribu orang (4,61 persen) pada tahun 2007 (Badan Pusat Statistik, 2007), perlahan-lahan turun hingga menjadi 312,2 ribu (3,48 persen) pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2010), dan meningkat kembali menjadi 363,42 ribu (3,75 persen) pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2011).

Persentase penduduk miskin di DKI Jakarta sejak tahun 2002 sampai tahun 2011 seperti yang telah disebutkan, cenderung tidak memiliki pola dengan besaran yang sulit turun dari angka tiga sampai empat persen. Sulit untuk turunnya persentase angka kemiskinan tersebut merupakan perihal yang menimbulkan pertanyaan mengingat pemerintah Provinsi DKI Jakarta cenderung sangat besar perhatiannya terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Apakah kisaran angka tersebut ini mengindikasikan suatu keadaan kemiskinan yang apabila dilihat dari sisi kuantitasnya relatif sudah dalam tingkatan „orang miskin yang tersisa‟ sehingga sangat sulit untuk dientaskan (hard core poverty) juga merupakan suatu pertanyaan. Barangkali dalam keadaan serupa ini, faktor budaya yang belum berpihak kepada kemajuan seperti prilaku pasrah menjalani kehidupan, sikap yang sudah tidak atau belum termotivasi untuk bekerja keras, berperan bahkan mendominasi prilaku penduduk miskin tersebut.


(23)

Berkaitan dengan seriusnya perhatian pemerintah Indonesia pada umumnya, maupun pemerintah provinsi DKI Jakarta pada khususnya terhadap pengentasan kemiskinan terindikasi dari sikapnya yang seiring dengan perjalanan waktu, terus menyempurnakan upaya pengentasan kemiakinan. Program penanggulangan kemiskinan yang cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin, seperti beras untuk orang miskin (raskin), jaringan pengaman sosial untuk orang miskin (JPS), kini juga disertai dengan program yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup, seperti bebas biaya sekolah SD dan SLTP, serta fasilitas kesehatan berupa berobat gratis bagi orang miskin. Selain itu, penanggulangan kemiskinan yang sebelumnya dilakukan secara terpisah oleh suatu instansi maupun departemen, perencanaannya mulai dilakukan dengan lebih terkoordinir dibawah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejateraan Rakyat (Menko Kesra) agar tidak terjadi tumpang tindih. Tim ini terus disempurnakan. Berdasarkan Perpres Nomor 15 tahun 2010 dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) sebagai penyempurnaan dari Perpres Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. TNP2K diketuai oleh Wakil Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden.

Selanjutnya, di dunia internasional pada dekade terakhir, strategi pembangunan dan program bantuan yang mempertimbangkan unsur keberagaman budaya telah menjadi perhatian penting dan bersifat global. Melengkapi pemikiran-pemikiran mengenai upaya pengetasan kemiskinan pada masa-masa sebelumnya, faktor budaya kembali diangkat sebagai salah hal yang diperhitungkan dalam pengentasan kemiskinan tersebut. Budaya dipandang sebagai suatu syarat perlu bagi kesejahteraan umat manusia karena suatu kemajuan tak lepas dari peran budaya. Nilai-nilai budaya penting dalam proses kemajuan manusia karena hal ini membentuk cara orang-orang berpikir tentang kemajuan. Kebiasaan, ide dan nilai-nilai yang berkembang pada masing-masing etnik terbentuk dari suatu pengalaman budaya yang panjang dan telah menjadi kebiasaan dari suatu masyarakat. Bahkan, menurut Lindsay, 1999, dalam Harrison dan Hutington, 2006, budaya adalah sebuah penentu penting kemampuan


(24)

suatu negara untuk makmur karena budaya membentuk pemikiran orang-orang mengenai resiko, penghargaan dan kesempatan.

Terkait dengan persoalan kemiskinan di DKI Jakarta, Adiati (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan di Jakarta masih seragam, belum spesifik berdasarkan masing-masing akar permasalahannya. Kembali mengaitkan apakah faktor budaya berperan dalam hal kemiskinan di DKI Jakarta, terdapat fenomena “orang Betawi” yang selama ini dianggap sebagai penduduk asli kota Jakarta. menurut Shahab (2004), secara spasial orang Betawi semakin terdesak ke daerah pinggiran kota Jakarta dan secara sosial, mereka semakin sering berinteraksi dengan etnik-etnik lain yang datang dan berdiam di kota ini. Secara ekonomi maupun budaya, masyarakat Betawi kinipun termasuk kelompok yang kian jauh terpinggirkan. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang masuk dalam kelompok masyarakat berada (Bamus Betawi, 2005).

Berkaitan dengan pendapat yang menyebutkan suatu kemajuan tak lepas dari peran budaya, sejak lebih dari tiga dekade yang lalu, antropolog Indonesia, Koentjaraningrat (1997), pernah menyarankan pentingnya mengetahui variasi sistem nilai budaya pada masyarakat sebelum membuat perangsang yang tepat bagi masyarakat yang bersangkutan agar memiliki sikap mental yang tepat bagi pembangunan. Fenomena mengenai penduduk miskin yang tidak mudah untuk ditanggulangi, yang terjadi pada penduduk asli dan juga terjadi pada penduduk pendatang, di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta, merupakan topik yang dipandang menarik dan bermanfaat untuk diteliti. Bagaimana karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya dapat menjelaskan kemiskinan pada penduduk Betawi vis-a-vis pendatang menjadi penting untuk dikaji. Penelitian ini akan menganalisis kemiskinan yang akan dibatasi pada kasus penduduk Betawi (penduduk asli) vis-a-vis penduduk pendatang di DKI Jakarta.

1.2. Perumusan Masalahan Penelitian

Pembangunan yang bias ke perkotaan di Indonesia selama ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan pemerintah pusat dalam memeratakan pembangunan. Akibatnya terjadi ketimpangan yang semakin


(25)

melebar antara distribusi akses penduduk di kawasan kota, khususnya DKI Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia, dan wilayah lainnya terhadap sumber-sumberdaya, kesempatan kerja dan pendapatan.

Gejala pemusatan aktivitas beserta konsekuensinya terjadi di DKI Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia. Hal ini membuat Jakarta mempunyai daya tarik yang besar bagi penduduk Indonesia. Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi, pusat perdagangan, pusat jasa, pusat pendidikan, pusat industri, pusat investasi, dan sebagainya. Kemudian, Jakarta menjadi salah satu kota yang mempunyai daya tarik yang tinggi bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Bagi penduduk yang tinggal di luar Jakarta, kota ini dianggap kota yang dapat memberikan pengharapan akan masa depan. Dengan situasi perdesaan yang semakin sulit, taraf subsisten, terbatasnya fasilitas dan infrastruktur, dapat dipahami bahwa pada akhirnya terjadi migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan maupun kota-kota lainnya ke Jakarta.

Arus migrasi yang berlebih pada akhirnya menimbulkan kepincangan-kepincangan pada lembaga masyarakat di Jakarta, yang dapat mengarah pada masalah sosial kemiskinan. Sharp, et. al (1996: 173-191) yang dikutip kembali oleh Kuncoro (2003), mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Selanjutnya, migrasi penduduk dari berbagai wilayah di Indonesia ke Jakarta telah membuat kota ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi juga terdiri dari pendatang yang berasal dari berbagai suku bangsa (multietnik). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ismani (1991), salah satu ciri masyarakat kota yang sangat menonjol adalah heterogenitasnya dalam berbagai bidang


(26)

kehidupan dan penghidupan. Heterogenitas tersebut dapat dilihat dari tingkat sosial ekonominya berbeda-beda, tingkat pendidikan dan agama juga berlainan satu sama lain, mata pencaharian berbeda dan lain sebagainya. Di samping itu, pada berbagai negara yang berpenduduk multi ethnic, penduduk di daerah perkotaannya cenderung berasal dari kelompok-kelompok etnik (ethnic group) yang berbeda-beda.

Meskipun Jakarta terdiri dari masyarakat yang berasal dari beragam suku bangsa, namun penduduk yang dianggap sebagai penduduk asli adalah suku Betawi. Dalam sensus 1930 orang Betawi merupakan mayoritas penduduk kota Jakarta, yaitu sebesar 778.953 orang atau sekitar 64 persen dari jumlah penduduk (Shahab, 2004). Seiring dengan perjalanan waktu, komposisi tersebut saat ini telah mengalami penurunan menjadi sekitar 27,65 persen atau sebesar 2.301.587 orang dari 8.324.707 orang penduduk Jakarta pada tahun 2000 (Badan Pusat Statistik, 2000).

Penduduk Betawi sejak dulu telah hidup berdampingan dan melakukan interaksi sosial dengan penduduk pendatang. Penduduk Betawi sendiri enggan untuk merantau. Menurut Alwi yang dikutip oleh Shahab, 2002, sifat tidak mau meninggalkan kampung atau merantau, memang sifat yang telah turun-temurun bagi orang Betawi. Dalam salah satu bukunya, Shahab mengemukakan enggannya masyarakat Betawi merantau punya kaitan dengan sejarah. Ditetapkannya Batavia sebagai pusat pemerintahan sejak masa Hindia Belanda telah membuat kota ini memiliki banyak fasilitas. “Mau sekolah, tidak usah pergi jauh-jauh. Lapangan pekerjaan relatif banyak tersedia, kantor-kantor bejibun. Dan, yang paling penting dekat dengan keluarga”, begitu ungkapan mereka.

Tokoh Betawi Djabir, Alwi Mas‟oed, dan Firman Muntaco (seperti yang dikutip

oleh Shahab, 2002), mengakui ada faktor negatif akibat enggannya etnis Betawi pergi merantau. Akibatnya, hidup mereka menjadi lebih santai dan kurang menghadapi tantangan. Bagi pendatang, apabila tidak sukses tinggal di Jakarta biasanya malu untuk pulang kampung. Tidak demikian bagi orang Betawi, mereka berkesempatan untuk mendatangi famili yang agak berkecukupan untuk mendapatkan bantuan.


(27)

Pada masa lampau penduduk Betawi cenderung tertinggal dalam kehidupan masyarakat, padahal mereka adalah penduduk asli Jakarta. Menurut Shahab, 2004, sampai dengan sebelum tahun 1975, tidak satupun literatur yang menyebutkan kelebihan dari etnik ini, bahkan disebutkan bahwa suku Betawi merupakan kelompok inferior di Jakarta.

Betawi dianggap merupakan kelompok inferior pada masa itu, sebenarnya dapat dihubungkan dengan kehidupan Betawi pada masa lampau. Menurut hasil penelitian ahli sejarah dan ekonomi, L. Castles, yang meneliti komposisi suku-bangsa penduduk Jakarta melaporkan bahwa jumlah penduduk Betawi yang melek huruf pada tahun 1930 sebesar 11,9 persen, suatu angka yang terlampau rendah untuk daerah perkotaan. Perkembangan selanjutnya, tercatat pada tahun 1961, hanya sekitar dua persen penduduk Betawi yang menamatkan sekolah lanjutan pertama.

Bila ditelaah dari sejarah Betawi di masa lampau, seperti yang diungkapkan oleh Castle (1967), yang dikutip kembali oleh Koentjaraningrat (1975), bahwa taraf pendidikan yang rendah dari penduduk Jakarta asli disebabkan karena mulai permulaan abad ke-17 sistem pemerintah kolonial Belanda selalu bersifat langsung, dengan membawa sendiri formasi pegawainya, baik yang berbangsa Belanda maupun yang berbangsa Indonesia dari daerah-daerah lain di Jakarta. Orang Jakarta sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengurusan daerahnya sendiri, sehingga sejak dulu mereka tak pernah dikembangkan keinginannya untuk masuk ke dalam golongan kepegawaian, dan dengan demikian juga suatu keinginan untuk maju dalam pendidikan sekolah. Pada saat itu, orang Jakarta asli jarang ada yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam kepegawaian atau dalam pemerintahan. Tokoh seperti Husni Thamrin misalnya, merupakan terkecualian yang jarang. Sementara, di tempat-tempat lain di Indonesia keinginan rakyat untuk bersekolah sudah lama dirangsang dengan adanya kesempatan-kesempatan untuk menjadi pegawai negeri dan guru.

Intepretasi tentang hal yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk Betawi pada masa lampau seperti yang telah diungkapkan di atas, diperkuat lagi dengan orientasi penduduk Betawi ke arah agama Islam yang amat kuat dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa lampau, sekolah mereka hubungkan


(28)

dengan cara hidup orang Belanda atau orang Cina, yang dalam hati sanubari mereka tidak mereka sukai. Sedangkan pengaruh dari guru-guru mengaji mendorong mereka untuk memilih belajar mengaji atau masuk pesantren ataupun madrasah dan tidak pergi ke sekolah tempat orang Belanda dan Cina (non muslim) pergi bersekolah.

Menurut Soekanto, 1990, pola prilaku yang dipengaruhi nilai-budaya dapat berubah (perubahan sosial) apabila pola prilaku tersebut dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Sejalan dengan hal itu, menurut Shahab (2004), perubahan sosial telah terjadi pada penduduk Betawi seperti yang pernah diungkapkannya “orang Betawi bangkit sehingga menepis pandangan streotype tentang orang Betawi”.

Namun, masih ada sebagian pengamat yang memandang betawi sebagai kelompok inferior. Meskipun pendapat ini dibantah oleh Asbah, 1992 yang dikutip kembali oleh Shahab 2004 “Banyak orang sok tahu mengenai Betawi, tetapi sebenarnya pengetahuan mereka cuma di permukaan saja. Jangan katakan bahwa orang Betawi sedang tenggelam, menyingkirlah kamu yang bermaksud demikian”.

Tabel 1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Kepala Rumahtangga Tidak Miskin dan Miskin pada Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang, Tahun 2004

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan

Tidak/ belum pernah sekolah

Tidak

tamat SD SD SLTP SLTA

Perguruan Tinggi

Tidak Miskin Pendatang 1,35 5,40 16,05 19,76 42,50 14,94 Betawi 5,65 10,87 25,07 19,14 33,25 6,01 Miskin Pendatang 5,97 14,98 30,54 29,48 19,02 0,00 Betawi 6,05 9,84 34,89 29,63 19,60 0,00

Total 2,33 6,69 18,23 19,85 40,11 12,79

Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Kor 2004, diolah.

Data menunjukkan bahwa sebagian besar kepala rumahtangga Betawi miskin memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah (34,89 persen), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 (pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumahtangga tidak miskin dan miskin pada penduduk Betawi dan penduduk pendatang). Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,


(29)

pendidikan berkaitan dengan produktivitas. Produktivitas yang rendah pada gilirannya menyebabkan upah yang rendah. Hal menarik yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan pada tabel tersebut adalah pada penduduk miskin, tingkat pendidikan kepala rumahtangga Betawi relatif sama dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga pendatang. Sementara itu, pada penduduk tidak miskin persentase tingkat pendidikan kepala rumahtangga terlihat semakin rendah dibandingkan tingkat pendidikan kepala rumahtangga pendatang pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Dari data tersebut nampaknya pendapat streotype tentang orang Betawi masih belum sepenuhnya dapat dihilangkan.

Shahab, 2004, pernah mengemukakan bahwa orang Betawi sampai tahun 1960-an mungkin tidak pernah merasakan ada tantangan hidup yang cukup berarti. Pada masa itu mereka masih dininabobokan oleh aset besar yang dimilikinya. Mereka rata-rata masih punya tanah yang luas dengan tanaman yang hasilnya bisa bisa memenuhi kebutuhan hidup. Bila kebetulan ada kesulitan, bisa diatasi dengan menjual sebagian tanah tadi. Keadaan demikian menyebabkan mereka menjadi terlena dan lengah dalam menghadapi dan menuju hari depannya. Keadaan terlena tersebut mungkin masih membekas pada sebagian penduduk Betawi pada saat ini, khususnya bagi mereka yang terlambat untuk berpikir pro- kemajuan.

Upaya pemerintah untuk memastikan tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan diantaranya dengan terus konsisten dalam melakukan pengentasan kemiskinan dengan strategi yang diantaranya adalah melalui perbaikan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya, serta melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Namun, pengentasan kemiskinan yang sebelumnya dilakukan melalui pendekatan berdasarkan gejala kemiskinan yang ada dan bersifat seragam, perlu diperkaya dengan pemahaman terhadap orientasi nilai budaya pada penduduk miskin yang diduga akan bersifat beragam. Apalagi untuk kota Jakarta dengan penduduk dengan beragam budaya. Dengan demikian, diharapkan dapat diketahui terapi yang lebih efektif dalam pengentasan kemiskinan.


(30)

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bagaimana menjelaskan kemiskinan yang terjadi khusus penduduk Betawi dan pendatang di Jakarta merupakan hal yang masih perlu dikaji. Oleh sebab itu, yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana kemiskinan pada penduduk Betawi sebagai penduduk asli DKI Jakarta vis-a-vis penduduk pendatang? Sementara yang menjadi permasalahan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik kemiskinan pada rumah tangga betawi vis-a-vis penduduk pendatang?

2. Bagaimana menjelaskan kecenderungan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kemiskinan di DKI-Jakarta?

3. Bagaimana orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis-a-vis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk dapat keluar dari kemiskinan?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan batasan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian secara umum adalah memahami persoalan kemiskinan pada penduduk Betawi sebagai penduduk asli DKI Jakarta vis-a-vis penduduk pendatang. Tujuan khususnya adalah:

1. Mengetahui karakteristik kemiskinan penduduk Betawi vis-a-vis

penduduk pendatang .

2. Mengetahui kecenderungan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kemiskinan di DKI-Jakarta

3. Mengetahui orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis-à-vis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk dapat keluar dari kemiskinan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan tambahan referensi bagi para pengambil kebijakan (policy maker) yaitu pemerintah Provinsi DKI-Jakarta pada


(31)

khususnya dan pemerintah Indonesia pada umumnya dalam menyusun kebijakan pengentasan kemiskinan.

2. Memberikan inspirasi bagi pemerintah daerah lainnya dalam mengentasakan kemiskinan.

3. Memberikan informasi bagi para akademisi mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan persoalan kemiskinan.


(32)

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Kemiskinan

Berbagai pendapat dan sudut pandang tentang kemiskinan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 2007, lembaga resmi pemerintah yang mengeluarkan data makro jumlah penduduk miskin (angka kemiskinan) di Indonesia, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (basic need approach). Indikator yang digunakan adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Sumber data yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan tersebut adalah data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), khususnya modul konsumsi dan pendapatan rumahtangga dan Susenas KOR. Selain itu, digunakan pula hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan. Data makro berupa perkiraan penduduk miskin ini hanya dapat disajikan sampai tingkat provinsi/kabupaten.

Salah satu sudut pandang yang umum dikemukakan misalnya, dengan mengaitkan kemiskinan dengan tingkat pendapatan. Ditinjau dari sisi tingkat pendapatan, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sementara itu, berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural (Kartasasmita, 1996 dalam Ahmad, 2006).

Seseorang dikatakan miskin secara absolut jika penghasilannya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, baik berupa makanan maupun non makanan. Kategori miskin tidaknya seseorang disini, ditentukan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need). Kebutuhan dasar tersebut dikonversikan dalam nilai rupiah untuk membentuk suatu batas yang disebut dengan garis kemiskinan.

Kemiskinan relatif melihat kondisi miskin dari sisi adanya ketimpangan distribusi pendapatan akibat pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Standar minimum disusun


(34)

berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada suatu waktu tertentu. Seluruh penduduk diurutkan menurut tingkat pendapatan/pengeluaran. Dari tingkatan tersebut perhatian difokuskan pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20 persen atau 40 persen tingkat pendapatan/pengeluaran terendah. Kelompok inilah yang dimaksud dengan penduduk relatif miskin (Badan Pusat Statistik, 2007).

Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan karena dari asalnya memang sudah miskin. Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai, baik sumberdaya alam, maupun sumberdaya manusia, sehingga mereka tidak dapat ikut serta secara aktif dalam pembangunan. Kalaupun ada yang ikut serta dalam pembangunan, pada umumnya kompensasi yang mereka terima sangat rendah.

Kemiskinan natural seperti ini, pada umumnya selalu ada dalam setiap negara yang sedang membangun dan oleh sebab itu salah satu prioritas pembangunan yang dilaksanakan adalah untuk menghilangkan kemiskinan natural ini. Sungguh pun demikian, karena kemampuan dan kepemilikan sumberdaya antar kelompok masyarakat sangat beragam, maka peran serta masyarakat dalam pembangunan juga tidak merata. Perbedaan ini pada akhirnya telah menyebabkan ketimpangan dalam perolehan pendapatan antar satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan perolehan hasil pembangunan ini disebut kemiskinan struktural.

Penjabaran konsep kemiskinan struktural seperti yang tersebut di atas antara lain adalah pendapat bahwa penduduk miskin selain tidak bisa mencukupi pangan dan sandang, juga tidak sanggup mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai, serta terkucil dalam pergaulan sosial di lingkungannya. Pendapat lainnya adalah bahwa kemiskinan terkait dengan faktor pemicunya, yaitu kemiskinan yang timbul karena adanya ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi, kemiskinan yang terkait dengan sikap, budaya hidup dan lingkungan mencari nafkah yang terbatas atau ketidakberdayaan terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga sekelompok masyarakat ini berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (BKPRI dan SMERU, 2001 dalam Ahmad, 2006).


(35)

Sementara itu, kemiskinan kultural mengacu kepada sikap seseorang atau masyarakat yang karena gaya hidup, kebiasaan dan budayanya, mereka sudah merasa berkecukupan dan sama sekali tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan, sulit melakukan perubahan, menolak mengikuti perkembangan dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Akibatnya, penghasilan mereka tergolong rendah, dan jika menggunakan garis kemiskinan absolut, mereka bisa dikategorikan sebagai penduduk miskin, walaupun mereka merasa tidak miskin dan tidak mau dikatakan miskin.

Selanjutnya, ditinjau dari sudut sosiologi, menurut Soemardjan (1977), berdasarkan penyebabnya terdapat beberapa pola kemiskinan. Yang pertama adalah kemiskinan individual. Kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan-kekurangan yang disandang oleh seseorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk megentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu tersebut sakit-sakitan sehingga tidak dapat bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin ia tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar, tidak mempunyai modal finansial atau pun modal ketrampilan untuk berusaha. Dapat pula individu tersebut tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam kehidupannya. Individu demikian itu dapat menderita hidup miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu tersebut dikaruniai jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi, niscaya ia akan menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya.

Yang kedua adalah kemiskinan relatif, merupakan pengertian sosiologis yang di atas disebut dengan socio-economic-status atau disingkat SES (biasanya untuk suatu keluarga atau rumahtangga) diadakan perbandingan antara taraf kekayaan materil dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu komunitas teritorial. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas itu. Ukuran yang dipakai adalah ukuran setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif miskin dapat saja termasuk golongan kaya diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang lebih miskin.


(36)

Yang ketiga adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu golongan yang built in atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat. Seperti yang digambarkan mengenai kemiskinan individual, maka di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Contoh dari golongan yang menderita kemiskinan struktural itu misalnya golongan pegawai negeri sipil kecil, petani yang tidak memiliki tanah, nelayan yang tidak memiliki perahu, buruh tanpa ketrampilan khusus, pemulung sampah dan sebagainya. Di dalam tiap-tiap golongan itu banyak terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya, akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit utang yang tak kunjung lunas.

Yang keempat adalah kemiskinan budaya. Yang dimaksudkan dengan kemiskinan budaya di sini adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Sebabnya kemiskinan itu oleh karena kebudayaan masyarakat itu tidak mengandung ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk keperluan manusia dan masyarakat. Kalau ditinjau secara objektif, maka sebenarnya masyarakat di Indonesia buat sebagian besar hidup dalam kimiskinan budaya seperti didefinisikan di sini.

Yang kelima adalah budaya kemiskinan. Istilah kemiskinan budaya adakalanya dipakai secara terbalik menjadi budaya kemiskinan. Yang dimaksudkan dengan budaya kemiskinan tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Dengan perkataan lain, kemiskinan yang diderita masyarakat itu dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin diubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa atau frustasi secara berkepanjangan. Dalam rangka


(37)

budaya kemiskinan ini manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu menggunakan sumberdaya lingkungannya untuk mengubah nasib itu.

Selanjutnya, dari kajian tentang profil kemiskinan masyarakat, terungkap bahwa masalah kemiskinan bukan saja masalah welfare, tetapi juga mengandung enam masalah lainnya (Tjokrowinoto, 1993 dalam Ahmad, 2006). Pertama, masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan (vulnerability). Pembangunan infrastruktur ekonomi dan pertanian bisa saja meningkatkan pendapatan petani dalam besaran yang memadai, akan tetapi jika terjadi kekeringan musim selama dua tahun berturut-turut misalnya, akan dapat menurunkan tingkat hidup mereka sampai titik terendah.

Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses produksi, atau mereka terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif yang menuntut kerja keras dengan jam kerja yang panjang, tetapi dengan imbalan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh posisi tawar mereka dalam struktur hubungan produksi amat lemah. Kemiskinan dengan demikian juga berarti adanya ketergantungan kepada pemilik tanah, rentenir, pimpinan proyek, elit desa dan lain sebagainya.

Ketiga, kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan yang menyangkut dirinya secara sepihak tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengaktualisasikan diri, ketidakberdayaan menghadapi penyakit, kekumuhan, dan kekotoran.

Keempat, kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian besar penghasilan mereka untuk konsumsi pangan dalam kuantitas dan kualitas yang terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka menjadi amat rendah, yang pada akhirnya mengakibatkan produktivitas (dan kadang-kadang juga etos kerja) yang rendah. Ketahanan fisik mereka juga menjadi rendah.

Kelima, kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan (dependency ratio), karena besarnya jumlah anggota keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi


(38)

yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka, sehingga di dalam kompetisi merebut peluang dan sumberdaya dalam masyarakat, anak-anak kaum miskin tersebut akan berada pada pihak yang lemah.

Keenam, kemiskinan juga terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, pembangunan fisik tidak secara otomatis dapat menghapus kemiskinan budaya. Budaya kemiskinan yang diwariskan secara turun menurun cenderung menghambat motivasi mereka untuk melakukan mobilitas keatas, yang pada akhirnya menghambat kemajuan mereka.

Karena banyak dipengaruhi oleh banyak dimensi dalam kehidupan, maka kemiskinan yang terjadi di Indonesia menjadi berwajah majemuk dan sangat dinamis perubahannya dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Karena itu agar bisa lebih fleksibel dalam memahami pengertian tentang kemiskinan pada suatu periode dan pada suatu lokasi tertentu, berikut ini dikemukakan uraian mengenai dimensi kemiskinan.

Kemiskinan tidak saja berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga sangat terkait dengan kesejahteraan sosial, budaya dan politik. Untuk mengetahui kemiskinan secara ekonomi, dapat diketahui dengan cara membandingkan kemampuan seseorang dengan garis kemiskinan yang sudah ditentukan. Tetapi untuk mengetahui kemiskinan yang terkait dengan kesejahteraan sosial, budaya dan politik, tentu lebih sulit, karena ukurannya sangat subjektif dan kualitatif. Berikut ini adalah penjelasan tentang dimensi-dimensi apa saja yang menyertai kemiskinan itu (Ellis, 1984 dalam Ahmad, 2006).

Pertama, yang paling jelas adalah bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau materi. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya materi, seperti pangan, sandang dan perumahan. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah, meskipun harganya selalu berubah-ubah tergantung dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri.

Kedua, kemiskinan berdimensi sosial dan budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi ini, sehingga ukurannya sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomi miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi


(39)

kelangsungan hidup mereka. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, ketidakberdayaan dan lain sebagainya. Untuk itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, maka kemiskinan juga akan sulit ditanggulangi.

Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik, artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakikatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menjadi struktur sosial yang paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural dan politis akan miskin secara ekonomi. Untuk itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

Selanjutnya, untuk melengkapi data makro yang menentukan jumlah penduduk miskin berdasarkan garis kemiskinan, BPS pernah mencoba melakukan studi untuk menentukan kriteria rumahtangga yang mampu mencirikan kemiskinan pendekatan kebutuhan dasar pada tahun 2000. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat delapan kriteria sebagai berikut yang mencirikan kemiskinan. Luas lantai per kapita lebih rendah atau sama dengan delapan meter persegi, Jenis lantai tanah, ketidaktersediaan fasilitas air minum atau air bersih, jamban, tidak memiliki asset, tingkat pendapatan lebih kecil atau sama dengan 350.000 rupiah, pengeluaran untuk makanan lebih besar atau sama dengan 80 persen dan konsumsi lauk-pauk tidak bervariasi. Rumahtangga dikatakan miskin bila memiliki minimal lima ciri tersebut. Namun dalam perkembangannya diketahui kriteria ini baru merupakan syarat perlu yang mencirikan kemiskinan. Ada hal lain yang disebut spesifik lokal yang merupakan ciri-ciri khusus yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya.

BPS dalam setiap tahun melakukan survei yang bertujuan melihat kondisi sosial ekonomi penduduk Indonesia yang dikenal dengan Susenas kor. Dari survei ini dapat dilihat keadaan sosial demografi penduduk, kondisi kesehatan, pendidikan, kegiatan penduduk seperti bekerja, sekolah, mengurus rumahtangga, dan lainnya, keadaan ketenagakerjaan seperti penduduk yang mencari pekerjaan,


(40)

jumlah jam kerja, lapangan usaha pekerjaan, jenis pekerjaan, status dalam pekerjaan, pendapatan. Selain itu, survei ini juga dapat memberikan gambaran status gizi dan kesehatan anak usia dibawah lima tahun dan ibu atau perempuan usia subur, pengeluaran rumahtangga baik pengeluaran makanan dan bukan makanan, kondisi fisik dan fasilitas tempat tinggal, serta keterangan sosial-ekonomi lainnya seperti keterlibatan dalam kegiatan sosial dan sebagainya.

Analisis yang bersumber dari survei ini baru mencangkup analisis keadaan di masing-masing propinsi, di wilayah perkotaan atau di wilayah perdesaan, yang lebih jauh lagi ditinjau menurut kabupaten/kota. Analisis kemiskinan berdasarkan jenis suku bangsa kepala rumahtangga secara umum belum pernah dilakukan. Padahal sampai dengan tahun 2004, variabel sukubangsa kepala rumahtangga dicakup dalam survei ini. Studi ini mencoba untuk memanfaatkan variabel tersebut untuk menganalisis kemiskinan ditambah data primer untuk menggali lebih dalam lagi orientasi nilai-budaya pada penduduk miskin Betawi dan penduduk miskin pendatang, terutama yang berkaitan dengan keinginan mereka untuk dapat keluar dari kemiskinan.

2.2. Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) dan Perlindungan Sosial Ekonomi

Untuk mendapatkan data kemiskinan mikro yang dapat menunjukkan siapa dan dimana orang miskin itu tinggal, BPS pernah melakukan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk pada tahun 2005 (PSE05). Hasil pendataan itu berupa direktori rumahtangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), salah satu program pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap penduduk miskin dan mendekati miskin. Hasil pendataan juga digunakan sebagai target dalam program bantuan pemerintah berupa beras bagi masyarakat miskin paling raskin (rawan pangan) yang dijual dengan harga seribu rupiah per kilogram sebanyak maksimum dua puluh kilogram per keluarga (raskin).

Metode yang reliabel pada saat itu untuk mendapatkan data mikro ini didasari pada pendekatan karakteristik rumahtangga, bukan dengan pendekatan kebutuhan dasar (non-moneter approach). Indikator yang digunakan meliputi empat belas variabel, yaitu luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding,


(41)

fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging/ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga dan aset yang dimiliki rumahtangga. Setiap variabel diberi skor yang diberikan bobot berdasarkan pengaruh setiap variabel terhadap kemiskinan. Oleh sebab itu, jumlah dan besarnya bobot berbeda di setiap kabupaten/kota. Dari bobot masing-masing variabel terpilih tersebut, selanjutnya dihitung skor rumahtangga yang disebut dengan indeks rumahtangga penerima BLT (IRM)

dengan nilai antara nol dan satu. Semakin tinggi nilai IRM maka semakin miskin

rumahtangga tersebut.

PSE05 ini kemudian pada tahun 2008 dilakukan pemutakhiran data (sekaligus penyempurnaan metode) dengan kegiatan yang dikenal dengan Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS 2008). Hasil pendataan PPLS 2008 digunakan untuk target penerima BLT, raskin, program yang dibuat pemerintah untuk menjamin kebutuhan kesehatan bagi masyarakat kurang/tidak mampu (jamkesmas), PKH, BOS, reforma agraria. Pemutakhiran dilakukan setiap tiga tahun sekali sehingga pada tahun 2011 pendataan (PPLS 2011) akan kembali dilakukan.

2.3. Keterkaitan Pembangunan Kota dan Desa

Migrasi desa-kota merupakan bagian dari proses perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Arus gerak penduduk dari desa ke kota, khususnya di Indonesia, meningkat dengan pesat pada dua dekade terakhir ini antara lain disebabkan oleh perbaikan sarana transportasi antara desa-kota, meningkatnya jasa angkutan umum yang menembus ke desa-desa terpencil, meningkatmya pendapatan masyarakat sehingga mampu membayar ongkos perjalanan dan membeli mobil pribadi (Hugo, 1992 dalam Rusli, Wahyuni, et. all, 2004). Disamping itu perbaikan dalam sarana komunikasi di wilayah Indonesia memungkinkan masyarakat desa memperoleh beragam informasi dari kota secara cepat pula.

Kemudahan melakukan perjalanan dan akses terhadap informasi telah mengurangi kesenjangan antara desa dan kota. Baik dalam hal arus manusia, barang-barang modal dan ide-ide. Masyarakat desa dengan mudahnya merespon


(42)

adanya peluang kerja yang lebih baik di kota dengan cara melakukan migrasi ke kota, baik secara permanen maupun non-permanen. Dengan makin berkurangnya perbedaan antara desa-kota, misalkan dalam hal gaya hidup, karakteristik ekonomi, sosial dan demografi, ragam fasilitas yang tersedia, dan kemampuan mobilitas individu. Hugo (1992) dalam Rusli, Wahyuni, et al, (2004) berpendapat bahwa antara desa dan kota bukan lagi suatu dikotomi tetapi suatu kontinum, dan bahkan perbedaan desa dan kota tersebut sudah makin menjadi samar akhir-akhir ini.

Pada sisi lain dapat kita lihat bahwa sejak dulu hingga kini, peradaban manusia selalu menunjukkan adanya perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Perpindahan tersebut awalnya menempuh jarak yang relatif dekat, namun seiring dengan perjalanan waktu, jarak yang ditempuh semakin jauh. Semua itu terjadi berdasarkan motivasi dan tujuan tertentu.

Perpindahan penduduk atau migrasi terjadi dari satu lokasi pemukiman ke lokasi pemukiman, baik secara permanent maupun semi permanent. Menurut Lee (1966) yang dikutip kembali oleh Ismani (1991), terdapat empat faktor yang menimbulkan perpindahan penduduk, yaitu: (1) faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah asal; (2) faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah tujuan; (3) faktor-faktor lain yang berpengaruh, seperti kebiasaan merantau; (4) faktor-faktor pribadi.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah asal biasanya berupa kekurangan-kekurangan yang dirasakan tidak memberikan harapan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Misalnya, sikap ingin merubah nasib yang dilakukan oleh petani yang memiliki lahan sempit karena hasil pengolahan lahan tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sikap yang sama juga dapat terjadi pada seseorang yang bekerja pada berbagai bidang lainnya, ketika keadaan bidang pekerjaan di tempat asal sudah jenuh. Dengan demikian pada umumnya faktor-faktor tersebut berkaitan dengan usaha mencari nafkah.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah tujuan menyangkut kesempatan dan harapan yang dianggap lebih cerah. Anggapan keadaan yang lebih baik pada daerah tujuan menjadi daya tarik yang cukup kuat untuk pindah meskipun pada kenyataannya, hidup mereka selanjutnya mengecewakan.


(43)

Faktor-faktor lain yang berpengaruh dapat berupa lancarnya komunikasi dan transportasi, integrasi nasional, kebiasaan untuk merantau, dan sebagainya. Kebiasaan merantau sering dimiliki oleh beberapa etnik bangsa di Indonesia, misalnya etnik Minangkabau. Mereka tidak segan meninggalkan kampung halamannya, bahkan sebagian pemuda merasa malu bila tetap berada di kampung halamannya. Demikian halnya dengan suku Batak, kebiasaan meninggalkan kampung halaman sudah merupakan kebiasaan sejak dulu. Bahkan menjadi suatu kebanggaan kalau anggota marga (clan) maupun kerabatnya (subclan) yang merantau tersebut berhasil dalam hidupnya dan hal ini menjadi inspirasi bagi yang lain untuk bermigrasi pula. Untuk suku bangsa lain seperti Banjar, Ambon, Bugis, Jawa dan sebagainya, kebiasaan merantau semakin hari semakin meresap di kalangan mereka (Naim, 1976 dalam Ismani, 1991). Sementara itu, faktor-faktor kepribadian sangat dominan pengaruhnya untuk menimbulkan perpindahan penduduk. Termasuk dalam hal ini adalah keberaniaan seseorang untuk menanggung resiko, kemampuan dalam berbagai bidang, kemampuan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daerah baru dan ketrampilan serta keahlian.

Selanjutnya, migrasi dari desa ke kota disebut urbanisasi. Gejala urbanisasi banyak terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia. Terlebih lagi negara berkembang seperti Indonesia, arus urbanisasi semakian hari semakin meningkat. Keadaan urbanisasi di sini tidak bisa dipisahkan dari pola pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Orientasi pembangunan yang bias urban telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan antar sektor dan antar lokasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa urbanisasi itu timbul karena ketimpangan keruangan (spatial imbalance), termasuk didalamnya ketimpangan penduduk dan ekonomi (Bintarto, 1984 dalam Ismani, 1991). Namun seperti yang telah dikemukakan di atas, perbedaan desa dan kota tersebut sudah makin menjadi samar akhir-akhir ini.

Menurut Ismani (1979) dalam Ismani (1991), penduduk yang melakukan urbanisasi umumnya memiliki keluarga atau teman dekat yang sudah tinggal di kota dan bersedia membantu mereka untuk memberikan informasi ataupun pertolongan lainnya. Para pendatang baru itu ditampung dan dibantu mendapatkan


(44)

pekerjaan sehingga akhirnya mampu berdiri sendiri. Mereka yang datang itu makin banyak jumlahnya dan membina pemukiman sendiri dalam kelompok mereka. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai di kota-kota besar yang penghuninya berasal dari desa yang sama atau kelompok etnik yang sama.

Selain penduduk yang melakukan urbanisasi untuk menetap di kota, terdapat pula yang hanya sementara (musiman) saja menetap. Mereka yang melakukan hal ini biasanya bertujuan mencari nafkah sambil menunggu waktu senggang, saat pekerjaan pada bidang pertanian di pedesaan sudah selesai. Pada saat pekerjaan di bidang pertanian memerlukan tenaga mereka, mereka akan pulang kampung (mudik). Di kota, mereka mengandalkan fisiknya dalam berusaha mendapatkan pekerjaan apa saja di sektor informal. Sementara itu, terdapat pula pola urbanisasi dimana para pelakunya menetap di kota dalam waktu relatif lama. Mereka mencari nafkah di kota dan hasilnya dikirim ke desa.

Arus urbanisasi yang terus menerus dan semakin deras baik bagi lingkungan fisik maupun non fisik. Para pendatang cenderung mencari pemukiman yang sesuai dengan tingkat ekonominya. Sebagian besar mereka termasuk golongan ekonomi lemah sehingga mereka tinggal di kampung-kampung yang terdapat di perkotaan yang kemudian menjadi pemukiman kumuh (slum area). Sementara itu, dengan keterbatasan kemampuan mereka, umumnya mereka bekerja di sektor informal, karena sektor ini tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan maupun ketrampilan tertentu. Hampir semua dari mereka memasuki sektor ini yang seiring dengan waktu keadaannya semakin jenuh. Persaingan diantara mereka untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat karena jumlah mereka yang berlebih. Sebagian dari mereka yang beruntung mendapat pekerjaan meski penghasilannya rendah. Namun sebagian lagi tidak mendapat pekerjaan dan menjadi pengangguran. Dari situasi yang demikianlah dapat timbul kriminalitas.

2.4. Sejarah Penduduk asli (Etnik Betawi) vis-a-vis Penduduk Pendatang di

DKI Jakarta a. Identifikasi

Jakarta merupakan ibu kota Indonesia merupakan kota terbesar dan paling padat penduduknya di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang. Dahulu kota ini berasal dari sebuah perkampungan kecil (bernama Kalapa, juga merupakan


(45)

sebuah bandar) dari kerajaan Hindu Tarumanagara, dengan rajanya Purnawarman. Kerajaan Tarumanagara memudar pada abad ke-7 M. Pada saat itu terjadi vacuum

kekuasaan politik di Kalapa. Pada masa vacuum itu, muncul kekuasaan Budha Sriwijaya sebagai periode interrugnum di Kalapa. Kemudian, pada abad ke-12 daerah Kalapa mulai menjadi bagian kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Pada saat itu, kerajaan pajajaran mendirikan kantor administrasi pelabuhan di Kalapa yang kemudian berfungsi sebagai pelabuhan kecil yang bernama Sunda Kalapa. Pelabuhan ini sudah banyak dikunjungi oleh para pedagang dan pelaut dari Sumatera, Malaka, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Pada saat itu, pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan paling ramai dibandingkan pelabuhan lain yang dikontrol kerajaan Pajajaran, seperti sejumlah pelabuhan di Cimanuk, Tengaran (Tanggerang). Pada masa-masa berikutnya, kota pelabuhan ini menjadi tujuan untuk menetap bagi kelompok etnik dari bagian nusantara lainnya, juga warga bangsa-bangsa dari belahan dunia lain.

Beberapa waktu setelah itu, yaitu sekitar tahun 1522, Portugis mengadakan perjanjian dengan penguasa Pajajaran untuk bisa membuat kastil di daerah Sunda Kalapa. Kemudian daerah Sunda Kelapa direbut dan dikuasai oleh Portugis. Namun berhasil direbut kembali oleh Fatahillah atau Raden Patah dari kerajaan Islam Demak, pada tanggal 22 Juni 1527. Bersamaan dengan hal tersebut, nama daerah Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah yang artinya kemenangan yang sempurna.

Kemenangan bagi kota Jayakarta ternyata tidak mencapai satu abad. Tercatat bahwa pada tahun 1619 Belanda dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dibawah kepemimpinan Jan Pieterszon Coen berhasil merebut Jayakarta yang kemudian mendudukinya. Pada tahun yang sama di wilayah tersebut mulai dibangun sebuah kota yang diberi nama Batavia, berfungsi sebagai sebuah benteng dan pos dagang, yang pada perkembangan selanjutnya kota ini menjadi pelabuhan utama VOC dan ibukota Hindia Belanda. Orang Belanda menghancurkan permukiman kaum pribumi dan menjadikan Batavia sebagai jiplakan kampung halaman mereka di Belanda waktu itu, lengkap dengan kanal, jembatan tarik, rumah kanal, kanopi susun, jalanan yang dikeraskan dengan batu-batu dan sebagainya. Untuk membangun kota Batavia, Belanda mendatangkan


(1)

Kota Administrasi : Jakarta Selatan

Kecamatan : Tebet

Kelurahan : Menteng Dalam

No. Responden : 28

Nama : Ksh – Pendatang

______________________________________________________________________________

Ksh (60 tahun) saat ini tinggal bersama dua orang cucunya, Amanda (8 tahun) dan Bilal (4 tahun). Bagi wanita yang sudah bercerai dengan suaminya ini, kehidupannya sekarang terasa susah. Meskipun demikian ia masih optimis, di tengah kesusahan asalkan mau berusaha pasti ada rejeki yang didapat, atau secara lebih sederhana, Ksh berpendapat, “kalo mau rajin, seperak dua perak sih ketemu,” katanya bijaksana. Ia pun sebenarnya menginginkan kehidupan yang lebih baik. Cara yang ditempuh untuk mencapai keingianan tersebut menurut Ksh adalah dengan melakukan usaha semaksimal mungkin. Adapun usaha yang dilakukan Ksh adalah dengan menanami lahan-lahan kosong dengan singkong yang daunnya dipetik seminggu dua kali untuk dijual, selain itu ia juga membuat dan menjual keripik pisang seminggu sekali. Pekerjaannya tersebut dilakukannya sambil terus menjaga cucu-cucunya. Saat ini keinginan Ksh yang belum terwujud adalah memiliki modal untuk berdagang kecil-kecilan di rumahnya.

Menurut Ksh, hakikat bekerja tidak hanya untuk mendapatkan uang, tetapi juga untuk memperoleh kehormatan keluarga dan ia merasa puas dengan apa yang ia kerjakan sekarang ini. Dulu Ksh sempat berdagang warteg, berdagang warung, dan mengkreditkan pakaian,bahkan menjadi pembantu rumah tangga, namun ada saja halangan yang membuatnya harus berhenti melakoni pekerjaan tersebut. Pada waktu dagang warteg ia digusur, demikian juga ketika membuka warung, sementara pada saat mengkreditkan pakaian, banyak pembelinya tidak mau membayar, akibatnya ia menjadi rugi dan usahanya harus gulung tikar. Sekarang Ksh berjualan kripik pisang di rumah dan ingin memiliki pekerjaan lain, yaitu berdagang sembako di rumahnya, ia tidak mau menyewa warung karena biayanya mahal, selain itu dengan membuka usaha di rumah, Ksh merasa tidak repot karena bisa sekaligus menjaga cucu-cucunya. Mengenai pekerjaannya yang sekarang, Ksh mengaku hanya meneruskan apa yang dilakukan oleh mantan suaminya dulu. Ketika masih hidup bersama, sehari-hari suami Ksh menggarap lahan kosong dan ditanami sayur mayur, namun setelah mereka berpisah, Ksh-lah yang meneruskan kegiatan tersebut ”dulu pernah punya warteg, pernah buka warung, pernah kreditin pakaian, tapi ada saja


(2)

halangannya. Sekarang jualan kripik pisang di rumah sambil manfaatin lahan kosong milik orang lain untuk nanemsayuran. Lumayan bisa sambil menjaga cucu”.

Ksh setuju bahwa masa depan harus direncanakan, dulu ia pernah punya keinginan untuk memiliki tabungan, tujuannya untuk simpanan jika ada kebutuhan tak terduga, demikian juga dengan sikap hidup hemat, Ksh memiliki suatu pernyataan yang sederhana namun mengena, demikian katanya: “kalo nggak hemat, dipuas-puasin (boros), besok gak makan, tapi kalo dihemat-hematin, besok masih bisa makan, kalo sakit juga masih punya uang”.

Ksh yang berasal dari Pekalongan ini tak pernah mengenyam bangku sekolah. Waktu pertama kali ka Jakarta dulu, ia sudah beranak tiga, ke ibukota dengan maksud mencari pekerjaan dan diajak teman mengontrak di tempat yang ia tinggali hingga kini. Sepanjang hidupnya, Ksh sudah menikah dua kali, suaminya yang pertama meninggal dunia. Walaupun memiliki rumah di daerah asalnya, Ksh jarang pulang ke Pekalongan dan tidak pernah mengirim uang. Anak-anaknya kini sudah bekerja di Jakarta dan ada juga yang di Lampung. Walaupun mengganggap pendidikan anak-anak adalah hal yang penting, hanya satu anak Ksh yang berhasil menamatkan pendidikan SMP, selebihnya putus sekolah dan tidak melanjutkan karena masalah biaya yang tidak dapat teratasi hingga kini. Kini, Amanda, cucu Ksh masih bersekolah kelas 2 SD.

Alam bagi Ksh, harus dimanfaatkan, “sayang, peninggalan suami”, katanya. Pun jika ada

sampah yang menumpuk di depan rumahnya akan Ksh sapu dan buang supaya bersih. Saat ini Ksh memiliki aset berupa tanah di Pekalongan seluas 420 meter persegi.

Tidak ada tokoh yang menjadi panutan hidup Ksh, namun dalam hal bertetangga, ia mengaku setuju harus menjaga hubungan baik, “biar tolong-menolong”, sahut Ksh mencoba bijak. Bagi Ksh, yang menentukan nasibnya adalah dirinya sendiri, bukan orang lain, bukan juga anak-anaknya yang kini sudah memiliki penghasilan, “mau minta (uang) ke anak gak berani, karena dulu kita nggak modalin (maksudnya ia merasa tak pernah memberi bekal, baik pendidikan maupun uang bagi anak-anaknya untuk bekerja kini),” jelas Ksh. “Kalo dikasih, ya terima,” tambahnya. Dengan keyakinan “banyak anak banyak rejeki”, Ksh tidak setuju, menurutnya, “banyak anak banyak biaya,” tandasnya.

Ksh merasa yang menjadi penyebab ia hidup susah saat ini adalah kerena tidak berpendidikan, ia berharap jika mendapat bantuan dapat berupa modal untuk membuka usaha


(3)

dagang sembako, karena ia merasa kehidupan keluarganya saat ini belum wajar dan harus diperbaiki.


(4)

Lampiran 2: Hasil Pengolahan Uji U

NPar Tests

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum Percentiles

25th

50th

(Median) 75th hh 57 2.33 .951 1 3 1.00 3.00 3.00 motivasi 57 1.96 .801 1 3 1.00 2.00 3.00 usaha 57 1.60 .495 1 2 1.00 2.00 2.00 hk 57 1.16 .527 1 3 1.00 1.00 1.00 hw 57 2.14 .480 1 3 2.00 2.00 2.00 ha 57 1.40 .678 1 3 1.00 1.00 2.00 hm 57 1.12 .466 1 3 1.00 1.00 1.00 suku 57 1.53 .504 1 2 1.00 2.00 2.00

Mann-Whitney Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks hh Betawi 27 27.94 754.50 Pendatang 30 29.95 898.50

Total 57

motivasi Betawi 27 27.56 744.00 Pendatang 30 30.30 909.00

Total 57

usaha Betawi 27 25.72 694.50 Pendatang 30 31.95 958.50

Total 57

hk Betawi 27 27.57 744.50 Pendatang 30 30.28 908.50

Total 57

hw Betawi 27 28.15 760.00 Pendatang 30 29.77 893.00

Total 57

ha Betawi 27 28.69 774.50 Pendatang 30 29.28 878.50

Total 57

hm Betawi 27 29.07 785.00 Pendatang 30 28.93 868.00


(5)

Test Statistics(a)

hh motivasi usaha hk hw ha hm Mann-Whitney U 376.500 366.000 316.500 366.500 382.000 396.500 403.000 Wilcoxon W 754.500 744.000 694.500 744.500 760.000 774.500 868.000 Z -.558 -.662 -1.664 -1.255 -.490 -.169 -.072 Asymp. Sig. (2-tailed) .577 .508 .096 .210 .624 .866 .942 a Grouping Variable: suku


(6)

RINGKASAN

DIANA ARYANTI. Analisis Kemiskinan pada Penduduk Betawi vis-a-vis

Pendatang di DKI Jakarta. Dibimbing oleh SAID RUSLI sebagai acting chairman

ketua, SLAMET SUTOMO dan ISANG GONARSYAH sebagai anggota.

Upaya mengatasi persoalan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, namun hasilnya masih kurang memuaskan, jumlah penduduk miskin di Jakarta sangat sulit dikurangi dari angka tiga sampai empat persen pada sekitar sepuluh tahun terakhir menurut Badan Pusat Statistik. Diduga budaya berperan sebagai salah satu penyebabnya. Fenomena ini terjadi pada penduduk asli (Betawi) dan juga terjadi pada penduduk pendatang. Di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta. Bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk miskin sehingga menghambat mereka untuk berkembang merupakan hal penting yang perlu diteliti.

Penelitian ini bertujuan secara umum untuk memahami masalah kemiskinan yang lebih menekankan pada aspek budaya pada penduduk Betawi

vis-a-vis pendatang, disamping meninjau fakta lapangan mengenai karakteristisk sosial dan ekonomi pada penduduk Betawi dan pendatang tersebut. Tujuan khususnya adalah: (1) memahami bagaimana variasi (perbedaan) karakteristik kemiskinan pada rumah tangga Betawi vis-a-vis penduduk pendatang; (2) mengetahui kecenderungan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kemiskinan di DKI-Jakarta; (3) memahami orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis-a-vis penduduk pendatang miskin dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan upaya untuk dapat keluar dari kemiskinan.

Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari studi mendalam tahun 2007 di Kelurahan Marunda (Jakarta Utara), Kelurahan Kebagusan (Jakarta Selatan), dan Kelurahan Menteng Dalam (Jakarta Selatan) dengan menggunakan metode sampling bertahap. Data sekunder berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik Provinsi DKI-Jakarta 2004, data Susenas tahun terakhir yang mengumpulkan variabel suku bangsa kepala rumah tangga responden. Metode analisis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, model regresi logit, dan analisis kualitatif model orientasi nilai budaya Kluckhohn melalui wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan: Karakteristik pengeluaran menurut kuantil menunjukkan distribusi pengeluaran lebih tinggi pada pendatang. Karakteristik kepala rumah tangga pada penduduk miskin Betawi, persentase terbesar bekerja di sektor persewaan, sedangkan pada pendatang persentase terbesar bekerja di sektor perdagangan. Pada kepala rumah tangga, tingkat pendidikan, status pekerjaan, kepemilikan akses kredit usaha, jam kerja, kondisi kesehatan, jenis kelamin perempuan berkorelasi positif dengan kemiskinan. Umur dan suku Betawi pada kepala rumah tangga cenderung berkorelasi negatif dengan kemiskinan. Dalam hal ini Betawi cenderung kondisinya disokong oleh kepemilikan aset tanah/tempat tinggal yang merupakan warisan, namun tidak menutup kemungkinan aset ini akan habis pada generasi berikutnya. Budaya Progresif lebih banyak dimiliki oleh penduduk miskin pendatang dibandingkan Betawi.