Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan Bagi Kelompok Rentan

IV. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan Bagi Kelompok Rentan

Kesenjangan adalah kosekuensi logis dari penerapan rezim ekonomi yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai paradigma, yang memikirkan kemudian peme- rataan nya setelah ada yang dibagi. Strategi pembangunan Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang sebenarnya tidak banyak bergeser dari trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan. Kalau di masa Orba, pertumbuhan ekonomi dijaga dengan stabilitas politik, kemudian pemerataan dilaksanakan dengan cara topdown. Sekarang sebenarnya nyaris sama namun lebih kacau. Stabilitas dijaga dengan demokrasi yang masih prosedural, sementara hasil pertumbuhan dihabiskan untuk ekonomi biaya tinggi, serta birokrasi tidak efektif dan produktif. Dan yang paling parah, merajalelanya korupsi sehingga tidak ada yang dibagi ke rakyat. Dengan demikian persoalan inequality adalah persoalan sejauh mana keperpihakan politik para penguasa terhadap rakyat yang memilihnya.

Keterbatasan ruang dan akses orang miskin dalam bidang ekonomi di pedesaan memaksanya untuk pergi ke perkotaan guna bekerja di pabrik. Hal itu disebabkan – salah satunya -- karena lambatnya pertumbuhan pasar rakyat sebagai tempat masyarakat melakukan aktivitas ekonomi, dan makin kencangnya laju perkembangan pasar modern ( hypermart). Pertumbuhan gerai minimart dan hypermart mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008. Sementara jumlah pasar rakyat dalam kurun lima tahun cenderung stagnan.

Meski pemerintah telah berupaya mengatasinya melalui kebijakan dan program pengembangan UMKM, seperti fasilitas permodalan bagi UMKM melalui KUR, dana bergulir, program kemitraan BUMN (PKBL), permodalan melalui PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, dan seterusnya. Namun program tesebut dinilai kalangan masih jauh dari harapan. Salah satunya, tergambar sekitar 79 persen masyarakat miskin Indonesia tidak memiliki akses pada layanan keuangan formal. Hanya 21persen penduduk yang berhubungan dengan layanan keuangan formal, yakni 19 persen berhubungan dengan bank dan 2 persen dengan layanan keuangan formal lain.

Dalam tataran implementasi pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) terdiskriminasi dalam strategi pembangunan dibanding usaha besar. Oleh karenanya, pemerintah perlu mendorong pengembangan

UMKM yang terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Sektor ini memiliki jumlah partisipan yang cukup besar, yaitu 53 juta pelaku usaha mikro, 60 persen diantaranya adalah perempuan (Kemenkop dan UMKM 2010). Usaha ini juga yang banyak dimasuki kelompok miskin dan rentan miskin. Sehingga pemerintah bisa menanggulangi kemiskinan bagi sekitar 23 persen penduduk Indonesia.

Kenyataannnya, meskipun penyebaran program pengembangan UMKM terdapat di sejumlah kementerian, baik yang ada di bawah kementerian ekonomi, seperti Kementerian Koperasi dan UMKM, maupun yang ada di bawah wewenang Menko Kesra (seperti Kementrian Sosial). Termasuk Kementrian Dalam Negri, salah satu contohnya program SPP (simpan pinjam perempuan) yang diberikan kepada kelompok perempuan miskin. Namun program pada dua kementrian tersebut tidak bersinegi dengan program pengembangan UMKM di bawah Kementerian Koperasi dan UMKM, yang jelas lebih fokus kepada “peningkatan kapasitas” pengusaha.

Catatan suram juga terjadi pada para penyandang disabilitas atau penyandang cacat, yang merupakan komunitas atau kelompok masyarakat yang termarjinalkan dan terdiskriminasi di hampir seluruh hak-haknya sebagai sesama manusia, maupun sebagai warganegara. World Health Organization (WHO) memperkirakan ada sekitar

10 persen dari populasi penduduk atau sekitar 23 juta orang. Angka yang tidak sedikit untuk komunitas warga negara 10 persen dari populasi penduduk atau sekitar 23 juta orang. Angka yang tidak sedikit untuk komunitas warga negara

PBB telah mengeluarkan kebijakan Convention on the Right of Persons with Dissability (CRPD) pada Desember tahun 2006 yang mendorong negara-negara yang menandatanganinya untuk meratiikasi serta mengimplementasi di negaranya. Indonesia meratiikasi konvensi CRPD dengan disahkannya Undang-undang No.

19 tahun 2011 pada bulan November 2011, serta tercatat dalam lembar negara RI tahun 2011 No.107, membuka era baru bagi para penyandang disabilitas diseluruh dunia yang mengusung kesetaraan hak (right) bagi para penyandang disabilitas dari berbagai aspek kehidupan

Sayangnya isu disabilitas tidaklah menjadi suatu isu yang dibahas tersendiri dalam MDGs, sejak dicanangkannya namun menjadi cross cutting. Jika kita ingin mengevaluasi keberhasilan MDGs 2000 - 2015 dalam konteks isu disabilitas sangat sulit, karena hanya menjadi bagian- bagian kecil dari delapan kategori yang dicanangkan serta sangat bergantung bagaimana pemerintah negara masing- masing dalam memandang, apakah isu disabilitas menjadi perhatian dalam melaksanakan serta mencapai delapan Sayangnya isu disabilitas tidaklah menjadi suatu isu yang dibahas tersendiri dalam MDGs, sejak dicanangkannya namun menjadi cross cutting. Jika kita ingin mengevaluasi keberhasilan MDGs 2000 - 2015 dalam konteks isu disabilitas sangat sulit, karena hanya menjadi bagian- bagian kecil dari delapan kategori yang dicanangkan serta sangat bergantung bagaimana pemerintah negara masing- masing dalam memandang, apakah isu disabilitas menjadi perhatian dalam melaksanakan serta mencapai delapan

secara khusus isu disabilitas dalam program MDGs, namun lebih pada melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan seperti UUD 1945, Undang-Undang No. 04 tahun 1997 tentang penyandang cacat (saat ini sedang pembahasan RUU pengganti sesuai Undang-undang No.19 tahun 2011) dan beberapa perangkat Peraturan Menteri yang ada. Akibatnya penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 23jutaan menjadi kelompok yang benar-benar termajinalkan dan terdiskriminasi.

Ditahun 2011 PBB menerbitkan suatu Formula Disabilitas dalam MDGs, dimana dalam empat tahun sisa implementasi MDGs, diharapkan isu disabilitas terimplementasi dalam bentuk kebijakan maupun pelaksanaan dengan pengintegrasian program MDGs yang sedang berjalan dengan isu disabilitas dari tahun 2010 sampai berakhirnya MDGs 2015, serta pasca 2015.

Sebagai kelompok yang terdiskriminasi dari berbagai kehidupan, keberadaan penyandang disabilitas sangatlah sulit untuk mendapatkan akses pekerjaan, serta pemberdayaan diri yang berujung pada ketidakmampuan dalam hal ekonomis yang memiskinkan. Angkatan kerja produktif penyandang disabilitas sangat sulit mendapatkan pekerjaan walau perangkat kebijakan seperti Undang- Undang No.04 tahun 1997, dalam petunjuk pelaksanaannya mempersyaratkan keberadaan satu penyandang disabilitas Sebagai kelompok yang terdiskriminasi dari berbagai kehidupan, keberadaan penyandang disabilitas sangatlah sulit untuk mendapatkan akses pekerjaan, serta pemberdayaan diri yang berujung pada ketidakmampuan dalam hal ekonomis yang memiskinkan. Angkatan kerja produktif penyandang disabilitas sangat sulit mendapatkan pekerjaan walau perangkat kebijakan seperti Undang- Undang No.04 tahun 1997, dalam petunjuk pelaksanaannya mempersyaratkan keberadaan satu penyandang disabilitas

Di samping itu, jika kita berbicara tingkat pendidikan dan kemampuan kerja penyandang disabilitas amatlah rendah. Karena akses untuk mendapatkan pendidikan sangatlah sulit dan berliku, belum lagi keberadaan balai- balai latihan tenaga kerja yang sering tidak memberikan kemampuan berdasarkan apa yang dibutuhkan pasar kerja. Mentalitas penyandang disabilitas sebagai objek yang harus dikasihani, dan objek charity semakin membuat terpuruknya kondisi penyandang disabilitas yang selalu berharap dari belas kasih orang lain.

Program Sekolah Inklusi diharapkan bisa menjawab ketersediaan Sekolah bagi penyandang disabilitas, namun hal ini masih butuh perjuangan panjang dengan sejumlah problematik yang ada didalamnya seperti: aksesibilitas infrastuktur, ketersedian guru bantu khusus, ketersediaan dana pendukung, belum lagi kesiapan inklusif dalam artian sebenarnya. Termasuk persepsi lingkungan sekolah yang juga harus kondusif menerima penyandang disabilitas. Pendanaan program BOS contohnya, menyamaratakan pendanaan sebesar Rp 150 ribu / siswa /bulan.

Sementara kebutuhan bagi siswa seorang tunanetra berkisar Rp 300 ribu per bulan, sedangkan untuk siswa Sementara kebutuhan bagi siswa seorang tunanetra berkisar Rp 300 ribu per bulan, sedangkan untuk siswa

Realitas yang lebih berat dihadapi wanita dengan penyandang disabilitas mengalami multidiskriminasi dalam hal gender dan psikologis. Kesetaraan gender tampak masih sedikit memperjuangkan keberadaan wanita penyandang disabilitas. Contohnya dalam satu pasal Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan: “Bahwa laki-laki boleh menikah lagi atau menceraikan isterinya apabila isteri tersebut mengalami disabilitas”. Hal ini mengakibatkan posisi perempuan penyandang disabilitas mengalami multidiskriminasi, dalam hal mengekspresikan hak-hak berkeluarga, seksualitas dan hak reproduksi.

Multidiskriminasi yang dihadapi wanita penyandang disabilitas karena mereka merupakan perempuan, penyandang disabilitas, dan miskin. Miskin dalam hal berbagai akses kehidupan yang mestinya menjadi hak wanita penyandang disabilitas itu sendiri. Mengutip Buku Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, dari almarhum Mansour Fakih, bahwa perbedaan gender ( gender diferences) sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak Multidiskriminasi yang dihadapi wanita penyandang disabilitas karena mereka merupakan perempuan, penyandang disabilitas, dan miskin. Miskin dalam hal berbagai akses kehidupan yang mestinya menjadi hak wanita penyandang disabilitas itu sendiri. Mengutip Buku Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, dari almarhum Mansour Fakih, bahwa perbedaan gender ( gender diferences) sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak

Dalam hubungannya dengan isu gender, yang akhir- akhir ini semakin kuat gaungnya, perlakuan dan asumsi pemerintah maupun masyarakat terhadap penyandang dissabilitas perempuan masih bias gender. Artinya bahwa eksistensi penyandang dissabilitas perempuan masih ‘dianggap’ belum memiliki kemampuan bila dibandingkan dengan laki-laki. Terlihat adanya subordinasi dan marginalisasi terhadap penyandang disabilitas perempuan, terbaca dalam publikasi Economic Social Commission for Asia Pasiic (ESCAP) : “Di antara para perempuan, penyandang disabilitas perempuan dipandang sebagai inferior (rendah), begitu pula di antara penyandang disabilitas yang lain terutama laki-laki. ( Women and Girls with Disabilities in he Asia and Pasiic Region, ESCAP, 1995).

Demikian pula pada kelahiran anak penyandang disabilitas, dianggap menjadi petaka bagi keluarga. Pola pandang sebagai petaka bahkan kesialan terbentuk karena Demikian pula pada kelahiran anak penyandang disabilitas, dianggap menjadi petaka bagi keluarga. Pola pandang sebagai petaka bahkan kesialan terbentuk karena

Ketimpangan juga terjadi pada akses pendidiksan bagi perempuan. Secara umum akses perempuan dan anak perempuan terhadap pendidikan lebih kecil dari laki-laki. Hal ini dibuktikan dari data yg menunjukkan bahwa jumlah anak perempuan dan laki-laki yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.

Jumlah anak perempuan yang berhasil menyelesaikan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), setara dengan jumlah anak laki-laki yang berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat SD.

Namun jumlah anak perempuan yang berhasil lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) lebih kecil dari jumlah anak laki-laki yang lulus SLTP. Fenomena itu berlanjut pada tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), anak perempuan yang berhasil lulus (SLTA), jauh lebih sedikit dari jumlah anak laki-laki. Perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki yang berhasil lulus dari sekolah SLTP dan SLTA di pedesaan menunjukkan Namun jumlah anak perempuan yang berhasil lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) lebih kecil dari jumlah anak laki-laki yang lulus SLTP. Fenomena itu berlanjut pada tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), anak perempuan yang berhasil lulus (SLTA), jauh lebih sedikit dari jumlah anak laki-laki. Perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki yang berhasil lulus dari sekolah SLTP dan SLTA di pedesaan menunjukkan

Akses untuk meningkatkan kualitas sebagai pendidik juga menunjukkan adanya ketimpangan kesempatan antara guru di pedesaan dan di perkotaan. Guru di perkotaan lebih memiliki akses lebih besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan daripada guru yang tinggal di pedesaan. Ketimpangan tersebut semakin tajam seiring dengan kebijakan sertiikasi mutu pendidik yang diberlakukan oleh pemerintah. Karena guru di perkotaan lebih mudah memenuhi persyaratan peningkatan mutu sebagai pendidik, dibandingkan guru yang tinggal di pedesaan. Guru perempuan di pedesaan dan di jenjang pendidikan SD hampir rata-rata tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan mutu sebagai pendidik ataupun pesryaratan sertiikasi pendidik.

Begitu pula jumlah perempuan yang buta huruf lebih banyak dari jumlah laki-laki yang buta huruf. Di pedesaan, jumlah perempuan yang buta huruf hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang buta huruf. Sedangkan di perkotaan, selisihnya lebih sedikit. Kemudian jumlah perempuan yang tidak cakap berbahasa resmi negara (bahasa Indonesia) lebih besar dari pada jumlah laki-laki. Jika dibandingkan antara perkotaan dan pedesaan Begitu pula jumlah perempuan yang buta huruf lebih banyak dari jumlah laki-laki yang buta huruf. Di pedesaan, jumlah perempuan yang buta huruf hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang buta huruf. Sedangkan di perkotaan, selisihnya lebih sedikit. Kemudian jumlah perempuan yang tidak cakap berbahasa resmi negara (bahasa Indonesia) lebih besar dari pada jumlah laki-laki. Jika dibandingkan antara perkotaan dan pedesaan

Akses perempuan terhadap Sumber Daya Alam (SDA), terutama akses terhadap tanah, juga lebih kecil dari pada laki-laki. Rendahnya akses perempuan terhadap SDA – terutama tanah- disebabkan oleh pembakuan peran dalam keluarga berdasarkan ajaran agama, budaya dan peraturan perundang-undangan. Pembakuan peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah menjadi dasar bagi pemberian hak atas tanah bagi laki-laki. Sementara hak atas tanah bagi perempuan menjadi lebih kecil atau sama sekali tidak memiliki hak atas tanah, karena perempuan ditempatkan sebagai pihak yang menjadi tanggungan laki- laki.

Dalam komunitas masyarakat adat, tidak dikenal hak atas tanah bagi perempuan. Hal ini dibuktikan dengan realitas, bahwa semua hak atas tanah ulayat adalah milik laki-laki dalam komunitas tersebut. Di samping itu, negara memiliki peran besar dalam pengabaian hak atas tanah bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan sertiikasi tanah masyarat dalam kebijakan tata kelola pertanahan, misalnyadalam program sertiikasi hak atas tanah transmigran hanya atas nama Kepala Keluarga.

Akses perempuan terhadap sumber-sumber permodalan untuk usaha melalui perbankan, juga lebih kecil daripada Akses perempuan terhadap sumber-sumber permodalan untuk usaha melalui perbankan, juga lebih kecil daripada

Akses permodalan untuk usaha tani yang dilakukan perempuan jauh lebih kecil dari akses permodalan untuk usaha industri kecil. Jumlah uang yang dapat dipinjam oleh perempuan petani untuk usaha tani tidak sesuai dengan kabutuhan dana yang harus disediakan untuk pertanian. Di samping itu, tata cara pembayaran kredit pertanian yang diberlakukan sama dengan usaha industri kecil, yaitu membayar secara bulanan, bukan berdasarkan perolehan hasil panen, mengakibatkan perempuan petani terjebak pada praktik menggali utang untuk menutup utang sebelumnya.

Dalam hal pendidikan bagi anak-anak, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan standar pelayanan minimal bidang pendidikan sebagai upaya secara terbuka untuk meningkatkan layanan dan akses pendidikan di seluruh negeri. Namun kenyataan menunjukkan bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia mulai SD hingga SMA/ SMK masih belum melewati mutu Standar Pelayanan Minimum. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah Standar Pelayanan Minimum, 48,89 persen pada posisi Standar Pelayanan Minimum, hanya 10,15 persen yang memenuhi standar Dalam hal pendidikan bagi anak-anak, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan standar pelayanan minimal bidang pendidikan sebagai upaya secara terbuka untuk meningkatkan layanan dan akses pendidikan di seluruh negeri. Namun kenyataan menunjukkan bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia mulai SD hingga SMA/ SMK masih belum melewati mutu Standar Pelayanan Minimum. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah Standar Pelayanan Minimum, 48,89 persen pada posisi Standar Pelayanan Minimum, hanya 10,15 persen yang memenuhi standar

Tujuan pamungkas pendidikan bisa mengacu pada realisasi diri manusia secara penuh sehingga tujuan pendidikan lebih berkaitan dengan tugas-tugas untuk meneliti potensi-potensi yang ada dalam diri manusia dan membuat proyek yang membantu manusia supaya dapat

merealisasikan potensi dirinya secara penuh 46 . Persoalan ketidakmampuan daya tampung SLTP termasuk pada jenjang berikutnya, diikuti dengan adanya persoalan memarginalkan anak-anak yang berada di desa-desa terpencil atau wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, anak-

44 Dikutip dari http://balitbangnovda.sumselprov.go.id/berita/129 berita tanggal 13 Agustus 2012 45 Disampaikan dalam Seminar Nasional setengah hari dalam rangkaian kegiatan Fajar Institute Pro-Otonomi (Fipo) di Hotel Sahid, Makassar, Sabtu (30/6/2012) 46 Dikutip dari : Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Berkarakter. Jakarta: Grasindo 44 Dikutip dari http://balitbangnovda.sumselprov.go.id/berita/129 berita tanggal 13 Agustus 2012 45 Disampaikan dalam Seminar Nasional setengah hari dalam rangkaian kegiatan Fajar Institute Pro-Otonomi (Fipo) di Hotel Sahid, Makassar, Sabtu (30/6/2012) 46 Dikutip dari : Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Berkarakter. Jakarta: Grasindo

Seharusnya tidak perlu ada kompetisi dalam mengakses pendidikan. Pendidikan adalah hak anak maka ada pihak-pihak yang seharusnya memenuhi hak ini bukan menciptakan kompetisi dalam mengakses pendidikan. Hal positif sudah digagas oleh Pemerintah Indonesia melalui kebijakan SD dan SMP satu atap yang telah diujicobakan di beberapa wilayah di Indonesia. Dengan cara seperti itu seluruh anak yang menyelesaikan pendidikan kelas 6 dapat ditampung seluruhnya di kelas 7 yang setara kelas

1 SMP/SLTP. Kebijakan ini perlu diupayakan menyeluruh di wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah terpencil yang memiliki tingkat kesulitan akses yang tinggi. Kebijakan seperti ini akan membantu meniadakan upaya pungutan- pungutan yang beragam tujuan alokasinya.

Rekomendasi :

Bidang kesejahteraan melalui UMKM

1) Negara perlu mendorong pengembangan UMKM yang terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional sebagai salah satu solusi untuk penanggulangan kemiskinan.

2) Negara perlu mendorong tumbuh kembang lembaga koperasi, karena dapat berperan sebagai lembaga penyalur pembiayaan usaha mikro kecil, peningkatan kapasitas, akses market, dsb. Selain itu, koperasi secara 2) Negara perlu mendorong tumbuh kembang lembaga koperasi, karena dapat berperan sebagai lembaga penyalur pembiayaan usaha mikro kecil, peningkatan kapasitas, akses market, dsb. Selain itu, koperasi secara

3) Berkaitan dengan program bantuan permodalan usaha pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan terkait fasilitasi permodalan UMKM, seperti perlunya penyederhanaan birokrasi dan prosedur dalam penyaluran permodalan usaha.

4) Pemerintah perlu memberikan program peningkatan kapasitas bagi pelaku usaha yang telah mendapat dana bergulir, berupa aspek pendampingan yang terdiri dari (pelatihan produksi, manajemen usaha, informasi sumber permodalan usaha, hingga penciptaan akses pasar ). Untuk melaksanakannya pemerintah bermitra dengan pihak terkait (koperasi, perbankan,LSM,mahasiswa, perusahaan, dsb).

5) Program penanggulangan kemiskinan perlu memberlakukan kuota keterlibatan perempuan dalam partisipasi, akses, pengambilan keputusan dan kontrol yang berkaitan dengan program-program pengembangan usaha.

6) Negara perlu mengefektifkan peran lembaga yang telah ada, seperti TKPK Nasional/Daerah sebagai lembaga yang berwenang melakukan koordinasi nasional dan daerah secara integratif.

Kelompok Disabilitas

1. Rasio tenaga kerja disabilitas. Kebijakan alokasi

1persen penyandang disabiltas tidak berjalan kecuali di perusahaan asing. Harus proporsional dalam menentukan rasio ketersediaan lapangan kerja bagi penyandang dissabilitas mengingat komposisi jumlahnya yang mencapai 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

2. Fasilitas dan infrastuktur yang aksesibel sesuai amanah CRPD yang sudah di Undang- Undang kan.

3. Partisipasi dalam pemilu. Hak politik penyandang disabilitas merupakan Hak Asasi Manusia, yang mendapatkan hak politik termasuk aksesibilitas terhadap perangkat dan pendukung yang berhubungan dengan Pemilihan Umum, keterwakilan pada lembaga- lembaga negara dan hak sebagai warga negara untuk menjadi pemimpin pada tingkatan apapun sesuai dengan ekspetasi penyandang disabilitas. Hilangkan terminologi sehat “jasmani dan rohani” atau “normal dan tidak normal”.

4. Integrasi dalam masyarakat. Terciptanya kesetaraan bagi penyandang disabilitas pada akhirnya terintegrasi pada suatu tatanan masyarakat yang inklusif dalam harmoni, dinamis, saling menghargai dan menerima.

Kesetaraan dan Keadilan Gender

1. Pengurangan Kemiskinan dan keberlanjutan Pembangunan akan terwujud apabila ketimpangan Kesetaraan dan keadilan Gender dihapuskan.

Karenanya, visi, prinsip dan agenda Pembangunan Paska MDG 2015 harus mengintergasikan pengarus utamaan gender yang mencakup keseteraan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan bagi laki-laki dan perempuan.

2. Partisipasi penuh dan sejati dari kaum perempuan dalam pembangunan dan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang substantif akan terwujud bila secara terencana dilakukan program pemberdayaan perempuan, termasuk di dalamnya memberlakukan kebijakan Tindakan Khusus Sementara ( Temporary Special Measurement).

3. Upaya pemberdayaan perempuan hanya dapat mencapai hasil yang bermakna apabila segala kondisi dan situasi yang mengakibatkan kerentanan perempuan terhadap segala tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM hanya akan terwujud apabila perempuan memiliki pengetahuan dan informasi serta kesadaran kritis terhadap hak-haknya. Untuk itu perlu dilakukan pendidikan kritis tentang HAM dan Keadilan Gender bagi perempuan, serta peningkatan kepemimpinan perempuan agar perempuan dapat menyuarakan dan melakukan pembelaan terhadap kepentingannya.

4. Data terpilah gender yang akurat, dan kecakapan perencana pembangunan untuk menggunakan data tersebut dalam perumusan perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran perlu ditingkatkan.

Akses Pendidikan

1. Pembangunan bidang pendidikan kedepan harus memiliki tujuan pada realisasi diri manusia secara penuh sehingga tujuan pendidikan lebih berkaitan dengan tugas-tugas untuk meneliti potensi-potensi yang ada dalam diri manusia dan membuat proyek yang membantu manusia supaya dapat merealisasikan potensi dirinya secara penuh. Tujuan pendidikan demikian seharusnya dialami oleh seluruh anak tanpa terkecuali dengan segala sarana dan prasarana pendukungnya. Hal seperti ini merupakan mandat bagi negara untuk dipenuhi.

2. Terkait agenda pembangunan pasca 2015 maka perlu adanya pengutamaan pada akses kepada tempat layanan pendidikan dengan kualitas merata di seluruh negeri bagi semua anak khususnya anak yang beresiko termarginalkan oleh pembangunan bidang pendidikan tanpa dihambat oleh masalah pembiayaan pendidikan.