Ketidakadilan Kesenjangan ekonomi dan Ketimpanga

Ketidakadilan,

Kesenjangan, dan Ketimpangan:

Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

Ketidakadilan,

Kesenjangan, dan Ketimpangan:

Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

Editor : Aris Santoso

Kontributor : Koalisi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015

Tim Penulis:

• Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini | Good

Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi

• Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana

Widimulyani, Repelita Tambunan | Ketimpangan Akses

Kesehatan

• Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko |

Lingkungan

• Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad

Miqdad | Konlik dan Kerentanan • Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat | Mengatasi Kesenjangan • Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo | Pembiayaan

Pembangunan

• Mike Verawati | Pencapaian MDGs

Ketidakadilan, Kesenjangan, dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015

Tim Penulis: Agung Wasono, Yenny Sucipto, Titik Hartini, Sita Aripurnami, Laura Hukom, Rahayuningtyas, Christiana Widimulyani, Repelita Tambunan, Oslan Purba, Iwan Nurdin, Tejo Wahyu Djatmiko, Ruby Khalifah, Ahmad Qisai, Boedhi Wijardjo, Mohamad Miqdad, Sigit Wijayanta, M. Firdaus, Dian Kartikasari, Jonna Damanik, Erickson Sidjabat, Ah. Maftuhan, Sugeng Bahagijo, dan Mike Verawati Editor: Aris Santoso Perancang isi: Handoko Perancang sampul: Bakkar Wibowo

PERPUSTAKAAN NASIONAL. Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-8384-61-2

13 x 19 cm; x + 112 halaman, © Kemitraan, Jakarta, Cetakan pertama, Maret 2013

Diterbitkan oleh: Kemitraan (he Partnership for Governance Reform) Jl. Wolter Monginsidi No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Tel: +62 21-7279-9566 Fax: +62 21-720-5260/720-4916 Website: http://www.kemitraan.or.id

INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu. Jakarta Selatan, 12540 Indonesia. Tel: +62 21 7819734, 7819735 Fax : +62 21 78844703 Website: http://www.inid.org/

Dicetak oleh: INSISTPress Jalan Raya Kaliurang Km.18, Dukuh Sempu, Pakembinangun, Sleman, Yogyakarta 55582, Indonesia Tel: +62 274 8594 244. Faks:: +62 274 896 403. Email: press@insist.or.id | Web: http://blog.insist.or.id/insistpress

KATA PENGANTAR

Millennium Development Goals (MDGs) sebagai agenda pembangunan dunia jangka panjang yang dimulai sejak tahun 2000 akan segera berakhir tahun 2015 atau tinggal 2 tahun lagi. Pada tahun 2012, Sekjend Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki Moon telah menunjuk 3 orang sebagai ketua bersama untuk menyusun Agenda Pembangunan Pasca-MDGs yakni Perdana Menteri Inggris

David Cameron, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Liberia Ellen Jhonson

Sirleaf. Ketiga ketua ini akan memimpin 23 High Level Panel Eminent Persons (HLPEP) yang terdiri dari pakar dibidangnya masing-masing dari seluruh dunia untuk bersama-sama menyusun agenda pembangunan pasca- MDGs (Post-2015 Development Agenda).

Penulisan paper masyarakat sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 bertajuk ”Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015” ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa masyarakat sipil di Indonesia telah dan terus bekerja pada bidangnya masing- masing untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs Penulisan paper masyarakat sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 bertajuk ”Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan: Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015” ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa masyarakat sipil di Indonesia telah dan terus bekerja pada bidangnya masing- masing untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs

Selain hal tersebut, dalam beberapa kali Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia selalu memberikan klaim bahwa upaya pembangunan milenium berada pada jalur yang sudah benar ( on the track), seperti dapat dilihat dalam Laporan Pencapaian MDGs tahun 2004, 2007, 2009, 2010 dan 2011. Namun laporan lembaga internasional juga seringkali memberikan warning kepada Indonesia. Salah satunya adalah Laporan UNESCAP tahun 2006 yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk

10 negara di kawasan Asia Pasiik yang berada pada posisi mengkhawatirkan dalam pencapaian MDGs. Dalam laporan Human Development Report, peringkat Human Development Index Indonesia makin memburuk. Jika di tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 107, di tahun 2007-2008 merosot ke peringkat 109, tahun 2009 berada di peringkat 111, pada tahun 2010 naik menjadi 108, namun pada tahun 2011 turun lagi menjadi 124. Hal ini menunjukkan bahwa betapa berat langkah menuju pencapaian MDGs di tahun 2015.

Terkait dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015, Kemitraan bersama dengan INFID telah diberikan mandat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk menjadi convener dalam pelibatan secara lebih luas suara dari Terkait dengan Agenda Pembangunan Pasca-2015, Kemitraan bersama dengan INFID telah diberikan mandat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk menjadi convener dalam pelibatan secara lebih luas suara dari

Kertas Posisi yang ada dihadapan para pembaca ini adalah kerjasama dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebut satu persatu. Kepada para penulis kami ucapkan benyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyajikan tulisan terbaiknya bagi laporan masyarakat sipil ini

Semoga buku yang disusun berdasarkan bukti-bukti nyata dilapangan dan temuan-temuan dari masyarakat sipil ini berguna dan mampu menghadirkan sudut pandang yang berbeda dan bermanfaat pula sebagai salah satu sumber dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2015 guna pemenuhan hak dasar warga negara di Indonesia.

Jakarta, Maret 2013

Wicaksono Sarosa, Ph.D

Direktur Eksekutif Kemitraan

DAFTAR ISI

Daftar Isi

~ix

Kata Pengantar

I. Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi

~7

II. Ketimpangan Akses Kesehatan

~19

III.

Lingkungan: Bencana Ekologis dan Konlik Berkepanjangan

~41

IV. Konlik dan Kerentanan : Konlik Sosial Berlarut dan Jalan Panjang Perdamamaian

~73

V. Mengatasai Kesenjangan: Menggapai Keadilan Bagi Kelompok Rentan

~75

VI. Pembiayaan: Melipatgandakan Alokasi Bagi Kelompok Rentan

~93

Ketidakadilan, Kesenjangan dan Ketimpangan:

Jalan Panjang Menuju Pembangunan Berkelanjutan Pasca 2015

Pendahuluan

Pada tahun 2000 telah disepakati deklarasi yang ditandatangani 198 negara, yang menyatakan rangkaian keamanan, Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yang kemudian menelurkan delapan target Milenium Development Goals (MDGs). Dapat dikatakan MDGs merupakan kesepakatan yang belum sempurna, namun tetap memberi dampak besar bagi negara dan masyarakat dunia, misalnya untuk

meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan. 1 Dikatakan tidak sempurna karena dalam penyusunannya kurang memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang secara riil dihadapi masyarakat.

Adapun Millenium Development Goals (MDGs) sendiri terdiri dari delapan tujuan besar pembangunan, yaitu: (1) Memberantas kemiskinan kelaparan (2) Mewujudkan pendidikan dasar (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (4) Menurunkan

1 Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar dan Pemutaran Film WRI, Desember 2012 1 Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar dan Pemutaran Film WRI, Desember 2012

Masyarakat internasional telah menetapkan 2015 sebagai tenggat waktu bagi MDGs, dengan sasaran pokoknya adalah pengentasan kemiskinan global. Target utama tersebut telah diprioritaskan oleh banyak pemerintah, lembaga pembangunan, donor dan aktor- aktor pembangunan lainnya sejak tahun 2000. Gugus tugas PBB untuk pasca 2015 mengusulkan peta jalan menuju Pembangunan Pasca 2015 yang baru. Hampir semua upaya yang sedang berlangsung dirancang untuk mengumpulkan masukan yang akan memberi input langsung pada perumusan kerangka kerja pembangunan global pasca 2015, yang kemungkinan akan diadopsi dan diimplementasikan oleh semua negara. Tetapi tidak ada upaya konkrit untuk memastikan atau mendorong proses di level negara yang akan mendukung kerangka pembangunan global pasca 2015. 2

Pada bulan Maret 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi pertemuan HLP ( High Level Panel). Output dari

2 Pada bulan Juli 2013, Sekretaris Jenderal PBB menunjuk sebuah panel beranggotakan 26 orang yang akan memberikan masukan dan nasihat terkait dengan agenda pembangunan global pasca-2015. Para panelis berasal dari pemerintah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat sipil, yang menjadi anggota dalam kapasitas pribadi mereka. Panel tersebut diketuai bersama oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Inggris Perdana Menteri David Cameron. Panel ini disebut High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda (HLP).

HLP ini akan menjadi laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB yang merekomendasikan visi dan bentuk agenda pembangunan pasca 2015. HLP akan mempertimbangkan temuan dari berbagai konsultasi yang dikoordinasikan oleh PBB dalam menulis laporannya. HLP akan didukung oleh tim independen yang direkrut melalui konsultasi langsung dengan tiga co-chairs dari Panel. Laporan akan disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68, September 2013. Pertanyaannya sekarang: model pembangunan seperti apa yang akan dipromosikan oleh pemerintah (Indonesia) pada skema pembangunan berkelanjutan pasca-2015?

Dekade-dekade pembangunan di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa model pembangunan yang dipilih oleh pemerintah Indonesia adalah model pembangunan yang eksploitatif dan merusak, serta berbasis pada pemberian konsesi-konsesi usaha kepada korporasi yang seringkali menyebabkan munculnya berbagai konlik sosial.

Makalah bersama CSO ini diperuntukkan sebagai salah satu bahan advokasi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia untuk Pembangunan Pasca-MDGs. Kelompok ini akan secara rutin mengkampanyekan ke berbagai kalangan dan menyampaikan hasil-hasil kajian kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Percepatan Pembangunan (UKP4) Indonesia dan kepada Co-Chair High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) for Post 2015 Development Agenda. Di dalam HLPEP inilah, Presiden Indonesia bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf duduk sebagai co- Makalah bersama CSO ini diperuntukkan sebagai salah satu bahan advokasi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia untuk Pembangunan Pasca-MDGs. Kelompok ini akan secara rutin mengkampanyekan ke berbagai kalangan dan menyampaikan hasil-hasil kajian kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Percepatan Pembangunan (UKP4) Indonesia dan kepada Co-Chair High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) for Post 2015 Development Agenda. Di dalam HLPEP inilah, Presiden Indonesia bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf duduk sebagai co-

optimisme mengenai pembangunan dengan indikator- indikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia memper- tahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat krisis inansial global diakui oleh institusi keuangan internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini, tingkat investasi juga menjadi kata kunci yang selalu disampaikan oleh pemerintah Indonesia untuk memperlihatkan keberhasilan pembangunan. Namun gambaran cerah tentang pembangunan di Indonesia, belum mencerminkan realitas yang sebenarnya.

Masyarakat sipil (CSO) Indonesia tidak menemukan bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang inklusif dan menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta peningkatan kekayaan segelintir orang dan kesenjangan yang ekstrim, telah memberi keyakinan, bahwa harus ada perubahan dalam orientasi pembangunan. Pada semua aspek dan sektor kehidupan masyarakat, yang menonjol adalah kesenjangan/ketimpangan yang terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan yang dianut, buruknya tata kelola pemerintahan, serta praktik demokrasi yang parsial (prosedural, transaksional, elitis).

Ketimpangan adalah bukti kegagalan konsep pem- bangunan yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena itu, semua upaya dan langkah pembangunan mesti Ketimpangan adalah bukti kegagalan konsep pem- bangunan yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena itu, semua upaya dan langkah pembangunan mesti

Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan komponen penting dalam menentukan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) baik di tingkat nasional maupun lokal. Secara sederhana, Good Governance ini dimaknai sebagai pengelolaan pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan rule of law serta bersifat responsif dan partisipatoris. Aktualisasi Good Governance ini akan menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pada gilirannya akan mempercepat proses pencapaian tujuan negara, yaitu menyejahterakan rakyat.

Di sisi lain, Good Governance ini juga merupakan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat (dari, oleh dan untuk rakyat). Oleh karenanya Good Governance seharusnya menjamin, melindungi serta memperkuat hak-hak rakyat. Singkatnya, Good Governance merupakan prasyarat utama bagi tercapainya MDGs di Indonesia, sebagai negara yang masuk dalam kategori tingkat korupsi tinggi. Good Governance menjadi tantangan utama baik di tingkat nasional mau pun daerah.

Untuk mewujudkan Good Governance, diperlukan sumber daya aparatur birokrasi pemerintah yang berdedikasi dan berkualitas. Tetapi sayangnya, sumber daya aparatur Untuk mewujudkan Good Governance, diperlukan sumber daya aparatur birokrasi pemerintah yang berdedikasi dan berkualitas. Tetapi sayangnya, sumber daya aparatur

Keterbatasan kapasitas aparatur birokrasi ini juga berakibat pada terjadinya alokasi sumber daya yang tidak efektif. Masih banyak alokasi anggaran yang tidak diarahkan untuk program atau kegiatan yang dapat menjawab akar masalah kemiskinan. Selain memang dalam pengalokasian anggaran, proporsi belanja langsung masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Sehingga program/kegiatan yang disusun pemerintah belum mampu mendukung untuk tercapainya target-target MDGs.

Komitmen pemerintah untuk mendorong upaya percepatan MDGs, secara nyata bisa diukur dari ketersedian pembiayaan dalam APBD, bagi masyarakat miskin, rentan dan perempuan. Oleh karena itu, budget tracking atau penelusuran anggaran menjadi penting untuk mengenali masalah-masalah dalam penganggaran. Penelusuran anggaran dilakukan untuk menghasilkan analisis data yang dapat menggambarkan informasi anggaran yang tersedia bagi para pihak untuk melihat secara jelas dari Komitmen pemerintah untuk mendorong upaya percepatan MDGs, secara nyata bisa diukur dari ketersedian pembiayaan dalam APBD, bagi masyarakat miskin, rentan dan perempuan. Oleh karena itu, budget tracking atau penelusuran anggaran menjadi penting untuk mengenali masalah-masalah dalam penganggaran. Penelusuran anggaran dilakukan untuk menghasilkan analisis data yang dapat menggambarkan informasi anggaran yang tersedia bagi para pihak untuk melihat secara jelas dari

Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian MDGs di Indonesia selama ini, seringkali dihadapkan pada persoalan lemahnya pengarusutamaan program-program berkait MDGs antarkementerian/lembaga, serta terbatasnya alokasi anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa target MDGs di Indonesia, misalnya pada sektor kesehatan (kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS akan sulit dicapai pada tahun 2015.

I. Good Governance: Minimnya Transparansi, Akuntabilitas, dan Kompetensi

Bagian ini akan mengulas kondisi terkini yang terjadi di Indonesia terkait dengan problematika pelaksanaan demokrasi prosedural dan pemenuhan demokrasi substansial. Kemitraan melalui Partnership Governance Index (PGI) pada tahun 2008 melakuan survei terhadap

33 provinsi di tingkat provinsi dengan melibatkan enam prinsip good governance, yaitu participation, fairness, accountability, transparency, eiciency dan efectiveness di empat arena, yaitu pemerintah ( political oice), birokrasi, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Secara umum rata-rata nilai PGI di 33 provinsi adalah 5,11 dengan 33 provinsi di tingkat provinsi dengan melibatkan enam prinsip good governance, yaitu participation, fairness, accountability, transparency, eiciency dan efectiveness di empat arena, yaitu pemerintah ( political oice), birokrasi, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil. Secara umum rata-rata nilai PGI di 33 provinsi adalah 5,11 dengan

Berdasar dimensi prinsip good governance yang berkaitan dengan tingkat keterbukaan pemerintah ( Open Government), pemerintah memperoleh skor 5,04 untuk partisipasi, 6,69 untuk akuntabilitas dan 4,26 untuk transparansi. Sementara birokrasi memperoleh skor 3,78 untuk partisipasi, 6,55 untuk akuntabilitas dan 3,79 untuk transparansi. Di antara ketiga prinsip tersebut, yang cenderung memperoleh skor kurang bagus adalah transparansi sehingga menunjukkan bahwa tingkat transparansi pemerintah dan birokrasi Indonesia senantiasa harus selalu ditingkatkan.

Sementara itu, skor akuntabilitas terlihat terbaik di antara prinsip lain. Hal ini dikarenakan PGI hanya menggunakan indikator akuntabilitas secara prosedural, seperti audit BPK yang secara umum telah dipatuhi oleh sebagian besar provinsi meskipun berada dalam kualitas cukup.

Survei Failed State Index/FSI atau Index Negara Gagal 2012, yang dipublikasikan oleh Fund for Peace menetapkan Indonesia sebagai “warning” beresiko sebagai negara gagal. Indonesia memang menunjukkan perkembangan ke arah membaik, apabila dibandingkan FSI Index pada tahun 2011. Dalam survei tersebut Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 177 negara yang sebelumnya pada Survei Failed State Index/FSI atau Index Negara Gagal 2012, yang dipublikasikan oleh Fund for Peace menetapkan Indonesia sebagai “warning” beresiko sebagai negara gagal. Indonesia memang menunjukkan perkembangan ke arah membaik, apabila dibandingkan FSI Index pada tahun 2011. Dalam survei tersebut Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 177 negara yang sebelumnya pada

Dalam kategori tersebut, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya menuju negara gagal. Indonesia memang tidak sendiri, bahkan negara seperti Cina dan India berada kelompok “warning” seperti Indonesia di urutan 76 dan 78. Sedangkan negara Asia Tenggara yang berada pada kelompok “warning” adalah Filipina urutan 58 Malaysia urutan 111 sedangkan hailand pada urutan 84.

Kemudian Fund for Peace juga mengadakan penelitian berdasarkan 13 indikator, yang merupakan rincian dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial di negara tersebut. Berdasarkan 13 indikator itu hasilnya dibagi menjadi empat kriteria yakni negara-negara yang masuk kategori alert, warning, moderate, dan sustainable. Negara-negara yang masuk kategori alert adalah Somalia, Congo, Sudan, Zimbabwe, dan Afganistan. Untuk Asia Tenggara yang masuk kategori ini adalah Myanmar dan Timor Leste.

Evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abu Bakar, menyimpulkan bahwa mayoritas pegawai negeri sipil tak memiliki kompetensi yang memadai. “Dari 4,7 juta PNS yang ada, hanya lima persen yang memiliki kompetensi. PNS di Indonesia sebenarnya terbagi dalam dua kelompok, yaitu struktural dan fungsional. Sayangnya, kelompok fungsional ini tak diisi oleh tenaga ahli di bidangnya”.

Kritik lebih keras juga datang dari Prof. Dr. Eko

Prasodjo (Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), bahwa dari hasil pengamatannya selama berkecimpung dalam praktik keilmuan birokrasi di Indonesia, “Saya bisa katakan 80 persen PNS kita tidak berkompeten dan bermoral rusak. Ini kenyataan ,” kata Eko Prasodjo.

Pada era reformasi ini, perubahan sistem sudah dilakukan meskipun belum tuntas. Di antaranya dengan sistem renumerasi, penggajian berdasarkan kinerja, kompetensi, dan bidang kerja. Perubahan ini diberlakukan di Kementerian Keuangan terutama di Direktorat penghasil pendapatan negara seperti, Bea- Cukai dan Pajak. Tapi ternyata masih ada juga pegawai pajak yang masih korup, meskipun gaji resminya bahkan 10 kali lipat dari PNS biasa.

Di sisi lain, jabatan fungsional umum di lingkungan pemerintahan dinilai masih banyak diisi orang-orang yang tidak kompeten. Hal ini dapat terjadi tidak lain karena rekrutmen dan promosi jabatan didasarkan pada faktor politis dan pertemanan dan bukan melihat pada kompetensinya. Untuk meningkatkan kompetensi pegawai tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyusun 10 langkah reformasi birokrasi yang diantaranya menyelenggarakan Uji Kompetensi PNS secara nasional untuk menyaring PNS yang kompeten.

Selain masalah pengarusutamaan program dan keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang Selain masalah pengarusutamaan program dan keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang

persen. 3 Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs terkesan terbuang sia-sia.

Menyoal efektivitas anggaran memang sangat ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara, yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup menarik meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan

3 Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Alternatif 2013, Menuju Anggaran Konstitusional.

rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka.

Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya. 4

Good governance pada akhirnya tidak terbatas pada menjalankan wewenang dengan baik semata, yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik ( accountable). Oleh karenanya, konsep good governance akan selalu didasarkan pada tiga pilar, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. 5

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di

4 Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998. 5 Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003), hal.3 4 Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998. 5 Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003), hal.3

Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi, tujuan utama UU KIP menjamin hak masyarakat untuk mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Bagi pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan eisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. 6

Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/ daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang

6 Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen anggaran baik di tingkat pusat (kementerian/lembaga) maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai dokumen rahasia yang “diharamkan” dibagi ke publik.

Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak efektifnya program-program pembangunan di Indonesia (termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi) mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas

perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain. 7 Ambil contoh salah satu program MDGs, khususnya menyangkut kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan, hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75 persen) hanya dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dan seterusnya). 8

7 Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun 8 Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun

FITRA 2012 menyatakan: ...program pembinaan KIA dan reproduksi masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan, hanya dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan anak, dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan dan reproduksi. Sungguh ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30 milyar pada program pelayanan kesehatan anak sebagian besar habis untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar (72persen dari total anggaran program

Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu- satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses penganggaran memasuki internal elit, sebab dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup, sehingga tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung. Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi terlebih negosiasi. 9

Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan

pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan dinas mencapai Rp 24 milyar (76persen). Program untuk pengembangan anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak. 9 Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah ketika memasuki tahapan lebih tinggi.Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.

oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran.

Dari pengalaman melakukan penelusuran anggaran di 8 (delapan) wilayah program pencapaian MDGs melalui Good Governance yang di laksanakan oleh tiga

lembaga, yaitu ACE, Kapal Perempuan dan JARI 10 yang di dukung oleh Kemitraan, tergambar bahwa ketidaktepatan dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran daerah akan berpengaruh langsung pada tingkat keberhasilan pencapaian MDGs di wilayah tersebut. Sumber Pendapatan daerah (seperti di Kebumen, Maros dan Lombok Timur) dari tahun 2009 - 2011, selalu didominasi oleh Dana Perimbangan, hal ini menandakan kemandirian iskal daerah rendah atau ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Seumpama dana perimbangan dihilangkan atau dikurangi dengan

10 Program Pencapaian MDGs melalui Good Goverment (Januari 2010-Juni 2012) di laksanakan oleh ACE, Kapal Perempuan dan JARI di dukung oleh kemitraan, di 8 Kabupaten/ kota, di 8 Propinsi (Kebumen-Jawa Tengah, Kupang-Nusa Tenggara Timur, Barito Kuala-Kalimantan Selatan, Padang Panjang-Sumatera Barat,Mamuju- Sulawesi Barat, Kubu Raya-Kalimantan Barat, Lombok Timu-Nusa Tenggara Barat, Maros-Sulawesi Selatan) 10 Program Pencapaian MDGs melalui Good Goverment (Januari 2010-Juni 2012) di laksanakan oleh ACE, Kapal Perempuan dan JARI di dukung oleh kemitraan, di 8 Kabupaten/ kota, di 8 Propinsi (Kebumen-Jawa Tengah, Kupang-Nusa Tenggara Timur, Barito Kuala-Kalimantan Selatan, Padang Panjang-Sumatera Barat,Mamuju- Sulawesi Barat, Kubu Raya-Kalimantan Barat, Lombok Timu-Nusa Tenggara Barat, Maros-Sulawesi Selatan)

Selain juga ditemukan alokasi anggaran di pemerintah daerah masih jauh dari mencukupi untuk upaya-upaya pencapaian MDGs, kemampuan dalam membiayai kegiatan untuk pencapaian MDGs sangat kecil. Karena Pendapatan daerah dari Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum lebih banyak dialokasikan untuk membayar belanja pegawai, lalu Dana Alokasi Khusus kegiatannya sudah ditentukan oleh pemerintah pusat.

Analisis FORMASI Kebumen menyatakan bahwa : “Anggaran Kabupaten belum berpihak kepada masyarakat hal ini terlihat dari komponen belanja yang didominasi oleh belanja tidak langsung yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan untuk masyarakat sedang belanja tidak langsung alokasinya lebih banyak didominasi untuk membayar gaji / belanja pegawai, maka tergambarkan bahwa anggaran lebih banyak untuk membayar gaji birokrasi dari pada untuk melaksanakan pembangunan”

Rekomendasi

Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, idealnya sudah menjadi hak konstitusional rakyat untuk mengetahui dan memperoleh semua informasi mengenai semua pos- pos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/ angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang

terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3” 11 .Langkah

11 Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan 11 Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan

Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama proses penyusunan anggaran, misalnya dengan meng- agendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan.

Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat. Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme

Iingkup Satuan Kerja lingkup Kementerian/Lembaga Negara.

internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya.

II. Ketimpangan Akses Kesehatan

Dalam tinjauan sektor kesehatan selalu digunakan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender. Perspektif HAM merujuk pada hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang bersifat universal. HAM tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau bahkan negara lain. HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan dan melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial dan bahasa serta status lain.

Sedangkan perspekti gender akan membantu kita melihat secara jelas perbedaan-perbedaan, serta mampu menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan ( fairness) terhadap perempuan dan laki-laki. Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara Sedangkan perspekti gender akan membantu kita melihat secara jelas perbedaan-perbedaan, serta mampu menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan gender equality. Gender equity adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan ( fairness) terhadap perempuan dan laki-laki. Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara

Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki, serta menghargai peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk mencapai hasil, sementara gender equality adalah hasil yang ingin dicapai.

Dalam hubungannya dengan perspektif gender, Pemerintah Indonesia telah meratiikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan pada tahun 1984 menjadi UU no. 7 tahun 1984 12 . Pengaturan ini diperkuat lagi pada tahun 1992, melalui sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang melahirkan Rekomendasi Umum Nomor 19 yang menyatakan : “Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai: tindak kekerasan yang secara

12 Bahan ajar tentang hak perempuan: UU no. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Yayasan Obor, 2007.

langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan isik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya”.

Rekomendasi tersebut di atas menunjukkan ketim- pangan terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Deklarasi dan Program Aksi

Wina 13 (Tahun 1993: Bagian 1, Ayat 18) yang menyebutkan: “Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan international, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”.

Permasalahan kesehatan akan dilihat dengan kerangka berpikir yang menggunakan perspektif HAM dan gender agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai bagaimana kondisi kesehatan dan pengaruh upaya-upaya yang telah dilakukan bagi kehidupan masyarakat, baik laki- laki maupun perempuan di Indonesia.

Kesehatan sangat penting bagi pembangunan, karena merupakan prasyarat serta indikator sekaligus hasil sebuah

13 Ibid 13 Ibid

Dengan demikian, tulisan atau ulasan mengenai kesehatan adalah perlu karena sesuai dengan pasal 12 International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights

(1966) 14 , bahwa kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas) sangat penting dalam pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak-hak asasi yang wajib dipenuhi. Selama masih ditemukan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, seperti belum terselenggaranya dengan baik pelayanan kesehatan bagi masyarakat atau belum terpenuhinya bagi semua warga pengadaan air bersih, maka pembahasan mengenai permasalahan kesehatan di Indonesia masih sangat relevan dan beralasan kuat untuk menjadi perhatian dalam agenda Paska 2015.

Indonesia sendiri telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional sebesar 13,33 persen (2010) menuju target

14 Diambil dari web site Oice of the United Nations High Commissioner for Human Rights http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm

8-10 persen pada tahun 2014. 15 Harapannya dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dapat memberi dampak pada perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989, menjadi 18,4 persen pada tahun 2007 sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target

MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015. 16 Dalam dua dasawarsa terakhir Indonesia telah membuat

kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada anak balita dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 21,6 persen pada tahun 2000. Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 24,5 persen pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita kekurangan gizi kembali menurun menjadi

18,4 persen. 17 Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya

penurunan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menjadi 17,9 persen. 18 Dengan melihat kecenderungan ini diharapkan target MDG sebesar 15,5 persen dapat tercapai pada tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 adalah menurunnya prevalensi kekurangan gizi (terdiri dari gizi-kurang dan gizi-buruk) menjadi kurang dari 15

15 Laporan MDGs Bappenas, 2010, hal.5 16 Ibid 17 Riskesdas 2007 18 Riskesdas 2010 15 Laporan MDGs Bappenas, 2010, hal.5 16 Ibid 17 Riskesdas 2007 18 Riskesdas 2010

bayi. Separuh kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi yang buruk. Dimana anak kurang memiliki daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi misalnya ISPA dan diare. Dampak langsung lainnya adalah generasi gagal tumbuh. Kekurangan gizi yang terjadi sejak masa janin dan masa balita akan menyebabkan berat bayi lahir rendah, anak kecil, pendek dan kurus.

Disamping gagal tumbuh, anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin. Dimana ini akan mempengaruhi prestasi sekolah dan keberhasilan pendidikan.

Dalam jangka panjang, masalah gizi pada awal kehidupan akan menurunkan produktivitas. Literatur terkini mengungkapkan bahwa kekurangan dan kelebihan gizi pada usia dini akan menyebabkan gangguan metabolik, khususnya metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein. Ini merupakan faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus type 2 dan stroke pada usia dewasa.

Dalam Undang-Undang Nomor 36/ 2009 tentang

19 Ibid

Kesehatan, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan pembinaan gizi adalah tercapainya mutu gizi perorangan dan masyarakat melalui: perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas isik, dan PHBS ( perilaku hidup bersih dan sehat ), serta peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin.

Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antarprovinsi dan antara desa-kota. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Masih ada 15 provinsi dimana prevalensi anak pendek di atas angka nasional, dan untuk prevalensi anak kurus.

Kondisi gizi balita di desa cenderung lebih buruk daripada kota. Masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun), dan kelompok ibu hamil, khususnya ibu hamil di pedesaan.

Akar masalah gizi adalah kemiskinan yang sangat terkait dengan ketersediaan bahan pangan, pola makan dan kurangnya pengetahuan tentang gizi seimbang serta belum optimalnya program yang ada dalam mengatasi penyebab

masalah gizi kurang, stunting 20 , maupun gizi lebih.

20 Stunting adalah Kondisi dimana seorang anak memiliti tinggi badan

Dengan berbagai pendekatan dan proyek, pemerintah telah berupaya untuk mengatasi beberapa masalah gizi dan memenuhi ketercukupan gizi orang miskin. Namun masih juga ditemukan banyak kasus gizi buruk, kesenjangan antara antar provinsi maupun antara desa-kota. Beberapa tantangan yang dapat diungkap adalah sebagai berikut:

1. Sempitnya pemahaman tentang masalah gizi baik di pemerintahan maupun di masyarakat umum sehingga program penanggulangan gizi buruk cenderung kurang strategis. Hal ini dibuktikan dengan pilihan program dalam rencana aksi daerah pangan dan gizi cenderung ditentukan oleh sektor yang mengkoordinasikan pembuatan rencana aksi daerah tersebut.

2. Koordinasi dan kolaborasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih belum berjalan baik sehingga perencanaan, implementasi dan pemantauan program tidak berjalan lancar.

3. Ketidaksesuaian antara dokumen rencana aksi pangan dan gizi terutama di tingkat provinsi dengan dokumen perencanaan pembangunan yang lain seperti RPJMD, rencana strategis daerah, rencana kerja tahunan dan anggaran.

4. Kurangnnya sistem pemantauan dan evaluasi terkait implementasi kebijakan tentang gizi misalnya UU 36 tentang Kesehatan 2009 dan PP 33 / 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

dibawah normal anak seusianya akibat kekurangan asupan gizi.

5. Pendekatan keproyekan di bidang gizi yang kurang terintegrasi di tingkat desa menjadi kendala dalam mendorong partisipasi dan kemandirian warga untuk mengambil peranan tingkat akar-rumput.

6. Pembinaan terhadap posyandu termasuk kadernya yang dianggap strategis dalam program perbaikan gizi ibu dan anak belum mendapat perhatian dalam rencana aksi nasional maupun daerah

Hambatan dan tantangan yang ada memang cukup memberi dampak pada pencapaian target MDGs. Berikut rekomendasi untuk mencapai taget pemenuhan gizi seimbang untuk masyarakat antara lain:

1. Penguatan program gizi yang sudah ada mulai dari perencanaan, implementasi dan pemantauan untuk setiap komponen program (input – proses – output – outcome) di setiap tingkatan administrasi (mulai dari tingkat nasional hingga desa).

2. Integrasi pembangunan gizi menjadi bagian dari pembangunan di tingkat desa dalam kerangka pemberdayaan daripada keproyekan.

3. Melibatkan partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal perencanaan dan pengganggaran pembangunan gizi pemerintah.

4. Pemerintah perlu mengembangkan konsep pemantauan efektivitas kebijakan yang lebih independen yang melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan 4. Pemerintah perlu mengembangkan konsep pemantauan efektivitas kebijakan yang lebih independen yang melibatkan masyarakat sipil misalnya LSM dan

5. Integrasi pembinaan yang bisa dilakukan oleh Pokjanal posyandu perlu diaktifkan dengan melibatkan sektor pemerintah terkait secara lebih luas.

6. Membangun koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik antara pusat dan daerah , antar instansi, sektor dan program agar memberikan dampak yang signiikan.

7. Pendidikan bagi para kader posyandu tentang gizi yang utuh termasuk pemantauan dan penimbangan ibu hamil, sangat penting untuk ditingkatkan terus- menerus.

Sejak deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948, bangsa-bangsa di dunia sepakat untuk menjamin standar hidup dan hak hidup yang sama kepada semua bangsa dan setiap orang. Artinya setiap manusia, termasuk manusia yang baru lahir, berhak untuk dijamin kesehatannya dan mendapatkan hidup yang layak. Hal ini menjadi landasan dimasukannya target penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) ke dalam salah satu target MDGs.

Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia masih cukup tinggi dimana lebih dari 500 balita (0-5 tahun) meninggal setiap harinya secara rata-rata. Tahun 1990 AKB sebesar 68 per 1000 kelahiran hidup (KH). Menurut data terakhir, AKB