KESIMPULAN DAN SARAN

B. Kerangka Teori Pendekatan Masalah

Sektor industri kecil mempunyai peran penting dalam perekonomian baik daerah maupun nasional. Salah satu industri kecil yang masih terus berkembang adalah industri pengolahan pangan. Dan adapun salah satu industri pengolahan pangan yang masih berkembang adalah pengolahan mete. Mete merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Kabupaten Wonogiri. Industri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak, sehingga industri ini harus lebih dikembangkan oleh pemerintah.

Melihat peranan industri kecil terhadap penyediaan kesempatan kerja kepada masyarakat yang cukup besar, telah membuktikan bahwa industri

commit to user

pemerintah. Pengembangan agroindustri pengolahan mete diawali dengan mengidentifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Kondisi keragaan yang diidentifikasi disini meliputi beberapa keadaan yakni bahan baku termasuk jumlah pelaku usaha, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan saran prasarana.

Tahap pertama dalam perumusan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah identifikasi faktor internal dan eksternal. Tujuan dari analisis faktor internal adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal kunci yang menjadi kekuatan dan kelemahan di dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete. Analisis faktor eksternal adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor eksternal kunci yang menjadi peluang dan ancaman di dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete.

Hasil dari identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal kemudian diringkas dan dievaluasi dalam matriks IFE dan matriks EFE. Matriks IFE digunakan untuk meringkas dan mengevaluasi faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan utama yang dianggap penting. Data dan informasi aspek internal perusahaan dapat digali dari beberapa fungsional perusahaan. Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi faktor eksternal perusahaan. Data eksternal dikumpulkan untuk menganalisa hal-hal yang menyangkut persoalan ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan persaingan dipasar industri dimana perusahaan berada, serta data eksternal yang relevan lainnya. Hal ini penting karena faktor eksternal berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan.

Untuk merumuskan alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri digunakan Matriks SWOT. Matriks SWOT adalah alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis industri. Matriks SWOT menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal dapat dipadukan dengan kekuatan dan kelemahan dari faktor internal sehingga dihasilkan rumusan strategi pengembangan industri.

commit to user

terbaik yang dapat diterpakan dalam pengembangan industri dengan analisis yang lebih objektif dan intuisi yang baik dalam matriks QSP. Hasil matriks QSP akan memperlihatkan skor. Skor yang tertinggi menunjukkan bahwa alternatif strategi tersebut penting sebagai prioritas utama untuk diterapkan sehingga menghasilkan umpan balik (feedback) yang akan dipertimbangkan dalam keberlanjutan industri tersebut.

Dari uraian tersebut di atas di dapatkan kerangka teori pendekatan masalah sebagai berikut :

commit to user

Alternatif Strategi Matriks SWOT

Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah

Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete

Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Faktor Internal:

- Kondisi Keuangan - Pemasaran - Produksi/Operasi - Manajemen - Sumber Daya Manusia

Faktor Eksternal:

- Kondisi Perekonomian - Sosial dan Budaya - Pemerintah - Teknologi - Persaingan - Keadaan alam

External Factor Evaluation (EFE Matrix) dan

Internal Factor Evaluation (IFE Matriks)

Prioritas Strategi

Qualitative Strategic Planning Matriks (QSPM)

Bahan Baku

Pemasaran Sarana Prasarana

Skala Usaha

commit to user

C. Pembatasan Masalah

1. Penelitian dilakukan pada stakeholder usaha agroindustri pengolahan mete yaitu pelaku usaha, pengepul, konsumen, dan pengambil kebijakan/pemerintah.

2. Harga faktor produksi dan hasil diperhitungkan sesuai dengan harga setempat yang berlaku di saat penelitian.

3. Faktor internal yang dianalisis meliputi kondisi keuangan, pemasaran, produksi/operasional, manajemen, dan sumber daya manusia.

4. Faktor eksternal yang dianalisis meliputi kondisi perekonomian, sosial dan budaya, pemerintah, teknologi, persaingan, dan keadaan alam.

5. Penelitian dilaksanakan bulan Oktober-November 2012

D. Definisi Operasional

1. Strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman dari faktor eksternal serta kekuatan dan kelemahan dari faktor internal yang dapat mempengaruhi pengembangan usaha pengolahan mete di masa yang akan datang.

a. Skala usaha adalah analisis terhadap besarnya usaha pengolahan mete yang diwakili dengan analisis terhadap biaya, penerimaan, dan keuntungan usaha pengolahan mete.

b. Bahan baku adalah bahan utama yang diperlukan dalam proses pengolahan mete dalam hal ini adalah gelondong mete.

c. Pengelolaan produksi adalah pengelolaan proses produksi dalam pengolahan mete yang dilakukan oleh setiap pelaku usaha, yang terdiri atas penjemuran gelondong, sortasi gelondong, pengacipan, pengupasan kulit ari, penjemuran, serta pengemasan kacang mete.

d. Pengemasan adalah proses pengemasan produk pengolahan mete untuk kemudian siap disalurkan kepada pengepul atau pelanggan

e. Pemasaran adalah proses penyaluran produk pengolahan mete yang berupa kacang mete kepada pelanggan ataupun pengepul.

commit to user

agroindustri pengolahan mete dari awal proses produksi sampai pemasaran.

2. Industri pengolahan mete adalah proses produksi pengolahan mete dari bentuk bahan baku berupa gelondong mete sampai siap dipasarkan.

3. Pengembangan industri pengolahan mete adalah proses perubahan secara positif dari segi kualitas dan kuantitas produksi pengolahan mete yang terjadi pada industri pengolahan mete.

4. Faktor internal adalah adalah faktor-faktor yang berada di dalam lingkungan perusahaan yang mempengaruhi kinerja agroindustri pengolahan mete secara keseluruhan.

a. Kondisi keuangan adalah meliputi pengkajian terhadap asal modal, besar modal, manajemen keuangan, dan sistem pengendalian keuangan dalam agroindustri pengolahan mete

b. Pemasaran adalah analisis produk olahan mete yang meliputi kualitas, kontinuitas produk, dan evaluasi produk, analisis harga produk yang meliputi kesesuaian harga di pasaran, dan perbandingan dengan harga subtitusi

c. Produksi/operasi meliputi pengkajian terhadap proses produksi, peralatan yang digunakan, kondisi tempat produksi, dan pengelolaan limbah produksi dalam agroindustri pengolahan mete

d. Manajemen

meliputi

pengkajian

terhadap perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, dan evaluasi.

e. Sumber daya manusia meliputi pengkajian terhadap jumlah tenaga kerja, pendidikan tenaga kerja, dan keterampilan tenaga kerja dalam agroindustri pengolahan mete

5. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar lingkungan perusahaan yang mempengaruhi kinerja agroindustri pengolahan mete secara keseluruhan.

a. Kondisi perekonomian meliputi pengkajian terhadap pengaruh kenaikan biaya produksi dan permintaan pasar

commit to user

gaya hidup konsumen dan kondisi lingkungan yang aman.

c. Pemerintah meliputi pengkajian terhadap program pelatihan dan penyuluhan, rencana pemerintah dalam pengembangan agroindustri dan bantuan fasilitas

d. Pemasok meliputi pengkajian terhadap kontinuitas dan kualitas pasokan bahan baku

e. Teknologi meliputi pengkajian terhadap perkembangan teknologi pengolahan mete dan akses terhadap teknologi informatika

f. Persaingan meliputi pengkajian terhadap posisi, kekuatan, dan strategi pesaing agroindustri.

g. Keadaan alam meliputi pengkajian terhadap pengaruh keadaan alam terhadap agroindustri dan pengaruh perubahan keadaan alam terhadap agroindustri.

6. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) adalah matriks yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting.

7. Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) adalah matriks yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal perusahaan berkaitan dengan peluang dan ancaman yang dianggap penting.

8. Matriks SWOT adalah matriks yang akan digunakan untuk menyusun berbagai alternatif pengembangan usaha melalui strategi SO, WO, ST, dan WT.

9. Qualitative Strategic Planning Matrix (QSPM) adalah alat yang digunakan untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif untuk menentukan prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan industri pengolahan mete.

commit to user

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis yaitu metode yang memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masalah-masalah yang aktual. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis (Surakhmad,1994).

Teknik penelitian dilaksanakan dengan teknik survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995).

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kabupaten Wonogiri merupakan Kabupaten yang memiliki luas areal dan produksi jambu mete tertinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah Tabel 5. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011

No.

Kabupaten/Kota

Luas (ha)

Produksi (ton)

1. Kabupaten Wonogiri

20.505,00

7.145,00

2. Kabupaten Sragen

1.088,50

297,40

3. Kabupaten Blora

1.023,07

290,28

4. Kabupaten Jepara

740,57

233,85

5. Kabupaten Rembang

522,00

116,96

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2012

b. Kecamatan Jatisrono merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Wonogiri yang memiliki luas areal dan produksi jambu mete yang tinggi

31

commit to user

Kabupaten Wonogiri Tahun 2011

No.

Kecamatan

Luas (ha)

Produksi (ton)

1. Kecamatan Ngadirojo

3. 296,00

1.712,00

2. Kecamatan Sidoarjo

3.069,00

975,00

3. Kecamatan Jatiroto

2.306,00

818.00

4. Kecamatan Jatisrono

1.967,00

782,00

5. Kecamatan Girimarto

818,00

345,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, 2012

c. Kecamatan Jatisrono merupakan kecamatan yang memiliki jumlah industri pengolahan mete paling tinggi di Kabupaten Wonogiri, dari 785 industri kecil dan menengah pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri, 583 diantaranya ada di Kecamatan Jatisrono (Disperindagkop dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007).

C. Tahapan Penelitian

Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi tiga tahapan yaitu tahap input yaitu mengidentifikasi faktor strategis baik internal dan eksternal dari agroindustri pengolahan mete dilanjutkan dengan merumuskan strategi alternatif dan menentukan prioritas strategi yang sesuai agroindustri pengolahan mete. Dari uraian di atas dapat disusun dalam bagan tahapan penelitian dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

Langkah pertama “tahap input” (matriks IFE dan EFE) yaitu :

1. Melakukan identifikasi lingkungan Internal dan Eksternal agroindustri pengolahan mete.

2. Melakukan penilaian bobot dan rating faktor strategis pengembangan agroindustri pengolahan mete.

3. Membuat matriks IFE dan EFE dari hasil penilaian.

Langkah kedua “tahap pencocokan” (matriks SWOT) :

1. Melakukan analisis SWOT dari pengklasifikasian faktor internal dan eksternal yaitu membandingkan antara faktor eksternal ’ peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal organisasi kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness).

commit to user

strategi yang memungkinkan untuk dilaksanakan.

Langkah ketiga “tahap keputusan” (matriks QSPM) yaitu :

1. Membuat daftar peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan di kolom sebelah kiri QSPM dan beri penilaian (informasi diambil dari matriks IFE dan EFE pada tahap pertama)

2. Melakukan identifikasi strategi alternatif

3. Menetapkan AS (Attractive Score) yaitu nilai yang menunjukkan kemenarikan relatif untuk masing-masing strategi

4. Menentukan peran tiap faktor dalam proses pemilihan strategi

5. Menjumlahkan total nillai AS (Attractive Score)

6. Menentukan prioritas strategi dari total TAS yang tertinggi

Pengumpulan Data

Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete

Identifikasi Internal (Kekuatan dan Kelemahan)

Identifikasi Eksternal (Peluang dan Ancaman)

Nilai Bobot dan Rating Kekuatan dan Kelemahan

Nilai Bobot dan Rating

Peluang dan Ancaman

Matriks IFE Analisis Internal dan Eksternal Matriks EFE

Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete (Matriks SWOT)

Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete

Perumusan Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete (Matriks QSP)

Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete

Gambar 2. Tahapan Penelitian

commit to user

D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data (data primer maupun sekunder) dalam penelitian ini adalah wawancara, content analysis (mencatat dokumen dan arsip), kuisioner, dan observasi. Menurut Bungin (2003), dalam kegiatan pengumpulan data selain memanfaatkan dokumen juga dapat menggunakan rekaman. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dari hasil wawancara lebih akurat dan dapat disimpan untuk mencegah kehilangan.

1. Wawancara Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang berasal dari informan yang khususnya dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam (indepth interview). Tujuan utama melakukan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, motivasi, perasaan, tingkat atau bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk merekonstruksi beragam hal itu sebagai bagian dari masa lampau, dan memproyeksikan hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang (Sutopo, 2002). Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden maupun pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini melalui wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kuisioner digunakan untuk memperoleh informasi mengenai keragaan agroindustri, identifikasi lingkungan internal dan eksternal, penilaian bobot dan rating faktor strategis, analisis SWOT, perumusan strategi pengembangan, serta perumusan prioritas strategi. Sumber data primer adalah pengusaha pengolahan mete, pembeli/pelanggan/pengepul hasil produksi pengolahan mete dan instansi pemerintah yaitu Dinas Perindustrian, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten .

2. Content Analysis atau Mencatat Data

Menurut Yin dalam Sutopo (2002) mencatat dokumen disebut sebagai content analysis yang dimaksudkan bahwa peneliti bukan sekedar

commit to user

tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu dalam menghadapi beragam arsip dan dokumen tertulis sebagai sumber data peneliti harus bersikap kritis dan teliti. Dalam penelitian ini data dicatat secara sistematis dan dikutip secara langsung dari instansi pemerintah atau lembaga- lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UKM, Kantor Kecamatan dan Desa serta lembaga-lembaga lain yang terkait di dalamnya. Pencatatan dilakukan dengan cara mencatat data-data yang diperoleh dari sumber yang bersangkutan, dan sumber-sumber lain yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian ini.

3. Observasi Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap objek yang akan diteliti sehingga didapatkan gambaran yang jelas mengenai objek yang diteliti. Teknik ini digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda serta rekaman gambar (Sutopo, 2002). Pengamatan langsung ini dilakukan untuk mengetahui kondisi di lapang pada usaha agroindustri pengolahan mete, kemudian mencatat informasi yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan.

E. Metode Penentuan Sampel Responden

a. Penentuan Sampel /Responden Untuk Perumusan Strategi

1) Identifikasi keragaan Penentuan sampel untuk identifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete yang meliputi identifikasi analisis usaha, bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan dan sarana prasarana, dipilih secara purpossive. Informasi mengenai keragaan agroindustri pengolahan mete diperoleh melalui wawancara dan pengamatan. Jumlah responden yang digunakan adalah 15 pelaku usaha pengolahan mete dengan kriteria sebagai berikut:

commit to user

12 orang pelaku usaha dengan omset maksimal 300 juta per tahun atau omset maksimal 25 juta setiap bulan, selanjutnya disebut

responden pelaku usaha pengolahan mete skala mikro

b) 3 orang pelaku usaha dengan omset antara 300 juta sampai dengan 2,5 milyar pertahun, selanjutnya disebut responden pelaku usaha pengolahan mete skala kecil.

Sampel responden pelaku usaha pengolahan mete diambil secara purpossive dari salah satu desa di Kecamatan Jatisrono, yaitu Desa Tanjungsari, yang merupakan sentra agroindustri pengolahan mete. Di desa ini terdapat 48 usaha mete (Disperindag, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007). Akan tetapi, setelah dilaksanakan survei lebih lanjut, ada 15 usaha yang melakukan pengolahan mete dari awal sampai akhir sedangkan yang lain hanya melaksanakan beberapa tahapan dari proses pengolahan mete.

2) Identifikasi faktor internal-eksternal Penentuan sampel pada tahap identifikasi internal dan eksternal responden dipilih dengan prosedur purposive yaitu dipilih dengan sengaja. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh seperti faktor internal dan faktor eksternal dalam perumusan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Informasi tersebut diperoleh dengan wawancara maupun pengamatan. Responden yang digunakan dalam identifikasi faktor internal dan faktor eksternal berjumlah 16 responden. Responden yang digunakan adalah :

a) Pelaku usaha pengolahan mete berjumlah 7 orang dengan kriteria memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam usaha pengolahan mete selama kurang lebih 5 tahun serta pengusaha yang jangkauan pemasaran produknya adalah dalam dan luar Kabupaten Wonogiri. Pelaku usaha tersebut dipilih karena

commit to user

pengolahan mete

b) Dinas Perindustrian, Koperasi, dan Penanaman Modal berjumlah

3 orang dengan kriteria memiliki pengalaman dalam mendampingi pengusaha pengolahan mete dalam bentuk program-program pelaksanaan maupun secara teknis.

c) Pengepul/pedagang berjumlah 3 orang dengan kriteria memiliki pengalaman sebagai pengepul hasil produksi pengolahan mete baik disalurkan di lokal Kabupaten Wonogiri maupun di luar Kabupaten Wonogiri.

d) Konsumen berjumlah 3 orang dengan kriteria memiliki pengalaman sebagai konsumen terakhir hasil produksi pengolahan mete.

3) Penentuan Bobot Dan Rating Faktor Strategis Dari hasil pengamatan berupa faktor-faktor internal kemudian dianalisis dengan matriks IFE dan eksternal dengan matrik EFE yang dapat diidentifikasikan menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete. Responden ahli dipilih secara sengaja (purpossive) yaitu 1 orang pelaku usaha pengolahan mete, 1 orang Dinas Perindustrian, Koperasi, dan Penanaman Modal, 1 orang pengepul, dan 1 orang konsumen.

4) Penentuan Bobot dan Nilai Daya Tarik dalam Matriks QSP

Penentuan bobot dan AS (Attractive Score) dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun kuisioner yang berisi faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan ekternal (peluang dan ancaman) serta alternatif strategi yang akan dipertimbangkan untuk menjadi prioritas strategi dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Pengambilan responden dilakukan secara purposive sampling (sengaja) yaitu orang-orang yang telah cukup lama dan masih terlibat secara penuh/aktif pada kegiatan yang menjadi perhatian peneliti. Responden tersebut dapat membantu

commit to user

penelitian yang sedang dilakukan. Responden yang digunakan dalam penentuan bobot dan AS menggunakan responden yang sama saat mengidentifikasi adalah 1 orang pelaku usaha pengolahan mete, 1 orang Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UKM, 1 orang pengepul, dan 1 orang konsumen.

Berdasarkan uraian di atas, responden untuk masing-masing tahapan penelitian dapat diringkas sebagai berikut: Tabel 7. Responden dalam Perumusan Strategi Pengembangan

Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

Tahapan Penelitian

Unsur

Jumlah Identifikasi Keragaan

 Pelaku Usaha Skala Mikro  Pelaku Usaha Skala Kecil

 12 orang  3 orang

Identifikasi Faktor Internal- Eksternal

 Pelaku Usaha  Disperindagkop

dan

Penanaman Modal  Pengepul

 Konsumen Akhir

 7 orang  3 orang

 3 orang  3 orang

Penentuan Bobot dan Rating Faktor Strategis

 Pelaku Usaha  Disperindagkop

dan

Penanaman Modal  Pengepul

 Konsumen Akhir

 1 orang  1 orang

 1 orang  1 orang

Penentuan Bobot dan Nilai Daya Tarik

 Pelaku Usaha  Disperindagkop

dan

Penanaman Modal  Pengepul

 Konsumen Akhir

 1 orang  1 orang

 1 orang  1 orang

F. Metode Analisis Data/Perumusan Strategi

Perumusan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap masukan (input stage), tahap pencocokan (matching stage) dan tahap pengambilan keputusan (decision stage). Tahap masukan adalah menyimpulkan informasi dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dan EFE

commit to user

dan data sekunder. Tahap pencocokan merupakan tahapan yang merumuskan strategi, tahap kedua ini menggunakan matriks SWOT. Dilanjutkan tahap ketiga yaitu tahap pengambilan keputusan yang menggunakan matriks QSP.

1. Analisis Usaha

a. Biaya Produksi Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam industri pengolahan mete. Nilai total biaya pada industri pengolahan mete adalah penjumlahan dari nilai total biaya tetap (TFC) dan nilai biaya variabel yang digunakan dalam kegiatan pengolahan mete.

TC = TFC + TVC Dimana, TC

: biaya total industri pengolahan mete (Rupiah) TFC

: total biaya tetap industri pengolahan mete (Rupiah) TVC

: total biaya variabel industri pengolahan mete (Rupiah)

b. Penerimaan Usaha Hasil produksi berupa mete yang keseluruhannya dijual. Penerimaan usaha pengolahan mete (TR) merupakan hasil kali antara produksi yang diperoleh (Y) dengan harga jual (Py).

TR = Y . Py

c. Keuntungan Usaha Keuntungan usaha pengolahan mete ( π) adalah selisih antara penerimaan yang diperoleh dari usaha pengolahan mete dengan semua biaya yang dikeluarkan dalam usaha pengolahan mete.

π = TR – TC

2. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

a. Matriks External Factor Evaluation (EFE) dan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Matriks EFE digunakan untuk menganalisis faktor-faktor eksternal, mengklasifikannya menjadi peluang dan ancaman bagi

commit to user

matriks IFE digunakan untuk menganalisis faktor-faktor internal dan mengklasifikannya menjadi kelemahan dan kekuatan bagi perusahaan. Tabel 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE)

Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor =Bobot x Rating Peluang

bobot adalah antara

total Sumber : Umar, 2001 Tabel 9. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor =Bobot x Rating Kekuatan

bobot adalah antara

total Sumber : Umar, 2001

Langkah-langkah pengembangan matriks EFE dan IFE adalah sebagai berikut:

1) Pada kolom 1, menentukan faktor-faktor strategis eksternal yang menjadi peluang dan ancaman serta faktor-faktor strategis internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan.

2) Pada kolom 2, masing-masing faktor tersebut diberi bobot dengan skala mulai dari 1 (paling penting) sampai 0 (tidak penting). Bobot yang diberikan pada suatu faktor menunjukkan seberapa penting faktor itu menunjang keberhasilan perusahaan dalam industri yang digelutinya. Jumlah semua bobot harus sama dengan 1, bobot

commit to user

atas rata-rata. (c) 0,10 = rata-rata. (d) 0,05 = di bawah rata-rata.

3) Pada kolom 3, diberi rating dengan tujuan untuk mengidentifikasikan seberapa efektif strategi yang telah dimiliki perusahaan dalam memberikan respon terhadap faktor-faktor strategis, dimana : (a) nilai 1 = respon kurang, (b) nilai 2 = respon rata-rata, (c) nilai 3 = respon di atas rata-rata, dan (d) nilai 4 = respon luar biasa.

4) Pada kolom 4, bobot pada kolom 2 dikalikan dengan rating pada

kolom 3 untuk memperoleh bobot skors masing-masing.

5) Menjumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana organisasi bereaksi terhadap faktor-faktor strategis eksternal dan internalnya. mengklasifikasikannnya menjadi kelemahan dan kekuatan bagi perusahaan. Total Skor pembobotan berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan di bawah 2,5 maka kondisi internal atau eksternal organisasi lemah. Sedangkan jika total skor pembobotan di atas 2,5 menunjukkan posisi internal atau eksternal organisasi yang kuat

3. Alternatif Strategi

Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri digunakan analisis matriks SWOT. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi oleh suatu usaha dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis SWOT digambarkan ke dalam matriks SWOT dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahan-peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

commit to user

Strenght (S) Menentukan 5-10 faktor-faktor kekuatan internal

Weakness (W) Menentukan 5-10 faktor-faktor kelemahan internal

Opportunities (O) Menentukan 5-

10 faktor-faktor peluang eksternal

Strategi S-O Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi W-O Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Threats (T) Menentukan 5-

10 faktor-faktor ancaman eksternal

Strategi S-T Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk

mengatasi

ancaman

Strategi W-T Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan

dan menghindari ancaman

Sumber : Rangkuti, 2001 Delapan tahapan penentuan alternatif strategi yang dibangun melalui

matriks SWOT adalah sebagai berikut :

a. Menuliskan peluang faktor eksternal kunci dalam pengembangan industri pengolahan mete

b. Menuliskan ancaman faktor eksternal kunci dalam pengembangan industri pengolahan mete

c. Menuliskan kekuatan faktor internal kunci dalam pengembangan industri pengolahan mete

d. Menuliskan kelemahan faktor internal kunci dalam industri pengolahan mete

e. Mencocokkan kekuataan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi S-O dalam sel yang sudah ditentukan.

f. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi W-O dalam sel yang sudah ditentukan.

commit to user

eksternal dan mencatat Strategi S-T dalam sel yang sudah ditentukan.

h. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan ancaman faktor eksternal dan mencatat Strategi W-T dalam sel yang sudah ditentukan.

4. Prioritas Strategi

Menentukan prioritas strategi dalam industri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri menggunakan analisis Matriks QSP. Matriks QSP digunakan untuk memilih strategi terbaik yang paling cocok dengan lingkungan eksternal dan internal. Alternatif strategi yang memiliki nilai total daya tarik terbesar merupakan strategi yang paling baik. Tabel 11. Matriks QSP

Alternatif Strategi

Strategi 1

Strategi 2 Strategi 3

AS

TAS AS TAS AS TAS Faktor-Faktor Kunci Internal

Total Bobot

Faktor-Faktor Kunci Eksternal

Total Bobot

Jumlah Total Daya Tarik

Sumber : David, 2004 Tahapan-tahapan dalam pembuatan matriks QSP yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Membuat daftar peluang/ancaman dari faktor eksternal dan kekuatan/ kelemahan faktor internal.

b. Memberi bobot pada setiap faktor dari 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (amat penting). Bobot menunjukkan kepentingan relatif dari faktor tersebut. Jumlah seluruh bobot yang diberikan harus sama dengan 1,0.

commit to user

yang harus dipertimbangkan untuk diterapkan.

d. Menentukan Nilai Daya Tarik (AS) yang didefinisikan sebagai angka yang menunjukkan daya tarik relatif masing-masing strategi pada suatu rangkaian alternatif tertentu. Nilai Daya Tarik ditentukan dengan memeriksa masing-masing faktor eksternal atau faktor internal, satu per satu, sambil mengajukan pertanyaan, “Apakah faktor ini mempengaruhi pilihan strategi yang dibuat?” Jika jawaban atas

pertanyaan tersebut adalah ya, maka strategi tersebut harus dibandingkan secara relatif dengan faktor kunci. Khususnya, Nilai Daya Tarik harus diberikan pada masing-masing strategi untuk menunjukkan daya tarik relatif suatu strategi terhadap yang lain, dengan mempertimbangkan faktor tertentu. Cakupan Nilai Daya Tarik adalah : 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = wajar menarik; dan

4 = sangat menarik. Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah tidak , hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing faktor kunci tidak mempunyai pengaruh atas pilihan khusus yang dibuat.

e. Menghitung TAS (Total Nilai Daya Tarik). Total Nilai Daya Tarik didefinisikan sebagai hasil mengalikan bobot (langkah b) dengan Nilai Daya Tarik di masing-masing baris (langkah d). Total Nilai Daya Tarik menunjukkan daya tarik relatif dari masing-masing strategi alternatif, dengan hanya mempertimbangkan dampak dari faktor keberhasilan krisis eksternal atau internal yang berdekatan.

commit to user

A. Keadaan Alam

1. Letak Geografis Kecamatan Jatisrono merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang mempunyai luas wilayah 5002,7360 ha. Kecamatan Jatisrono mempunyai 17 Desa/Kelurahan. Kecamatan Jatisrono merupakan wilayah kecamatan yang terletak antara kaki Gunung Lawu dan Pegunungan Sewu. Kecamatan Jatisrono yang terletak di bagian timur Kabupaten Wonogiri mempunyai batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara

: Kecamatan Jatipurno

Sebelah Selatan

: Kecamatan Jatiroto

Sebelah Timur

: Kecamatan Slogohimo

Sebelah Barat

: Kecamatan Sidoarjo

2. Pemanfaatan Wilayah Pemanfaatan wilayah di suatu daerah bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan dan kesesuaian dari kemampuan wilayah tersebut. Pemanfaatan wilayah Kecamatan Jatisrono dibagi menjadi lima, yaitu tanah tanah sawah, bangunan/pekarangan, tegal, perkebunan negara dan lain-lain. Pemanfaatan wilayah di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Penggunaan Lahan Kecamatan Jatisrono Tahun 2011

No Penggunaan Lahan

Luas (ha)

(%)

1. Tanah Sawah

1.424,8283

28,48

2. Bangunan/Pekarangan

Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Tabel 12 menunjukkan bahwa 52,55 % wilayah Jatisrono

merupakan tanah tegal, 28,48 % berikutnya berupa lahan sawah, yang sebagian besar berada di sepanjang aliran sungai Mider di Desa

45

commit to user

dan sisanya adalah untuk lain-lain seluas 6,42 %. Dengan demikian wilayah di Kecamatan Jatisrono sebagian besar dimanfaatkan untuk tegal yang biasanya digunakan untuk tanaman palawija atau menanam tanaman keras.

B. Keadaan Penduduk

1. Keadaan Penduduk menurut Jenis Kelamin Pembangunan kependudukan merupakan langkah penting dalam mencapai keberhasilan pembangunan di suatu wilayah. Keadaan penduduk menurut jenis kelamin dapat mempengaruhi besarnya tenaga yang dibutuhkan dalam pembangunan. Hal ini karena besarnya tenaga yang dihasilkan antara laki-laki dan perempuan berbeda. Keadaan penduduk menurut jenis kelamin di Kecamatan Jatisrono disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin di Kecamatan

Jatisrono Tahun 2010 dan 2011

No

Jenis Kelamin

Sex Ratio

1,01

1,02

Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di

Kecamatan Jatisrono mengalami peningkatan. Penduduk di Kecamatan Jatisrono tahun 2011 berjumlah 69.299 jiwa, lebih banyak jumlahnya dari pada tahun 2010 yaitu 69.281 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di Kecamatan Jatisrono salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk secara alami, dimana jumlah penduduk yang lahir lebih besar dari penduduk yang mati. Bertambahnya jumlah penduduk juga menyebabkan bertambahnya kepadatan penduduk di Kecamatan Jatisrono. Hal ini akan menambah beban pembangunan di wilayah tersebut. Jumlah penduduk yang semakin bertambah akan berdampak negatif pada

commit to user

menyebabkan adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian, salah satunya untuk pemukiman. Di sisi lain, semakin berkurangnya lahan pertanian produktif akan berdampak pada penyediaan pangan bagi masyarakat. Oleh karena itu, upaya penggalian potensi berbasis pertanian sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan.

Penduduk di Kecamatan Jatisrono lebih banyak laki-lakinya daripada perempuannya penduduk laki-lakinya. Meskipun demikian perbedaan jumlah keduanya tidak terpaut terlalu besar. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat digunakan untuk mengukur besarnya sex ratio yaitu perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.Untuk mengetahui besarnya sex ratio, digunakan rumus sebagai berikut:

x 100

Penduduk Jumlah Penduduk

laki Penduduk Jumlah Penduduk

Sex Ratio

Sex Ratio Kecamatan Jatisrono pada tahun 2010 sebesar 1,01 berarti pada setiap 100 perempuan terdapat 101 laki-laki. Sedangkan pada tahun 2011 yaitu 1,02 berarti setiap 100 perempuan terdapat 102 laki-laki. Hal ini menunjukkan jumlah laki-laki dan perempuan di Kecamatan Jatisrono hampir seimbang.

2. Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur Keadaan penduduk menurut umur merupakan penggolongan penduduk berdasarkan umur sehingga dapat diketahui jumlah penduduk yang produktif dan tidak produktif yang terdapat pada suatu wilayah tertentu. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, golongan umur produktif adalah golongan umur antara 15-64 tahun, sedangkan golongan umur 0-14 tahun dan golongan umur sama dengan atau lebih dari 65 tahun merupakan golongan umur non produktif. Keadaan penduduk di Kecamatan Jatisrono berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 14.

commit to user

Laki-laki Perempuan

Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Keadaan penduduk berdasarkan umur dapat digunakan untuk

mengetahui angka beban tanggungan (ABT). Angka beban tanggungan (ABT) yaitu penduduk usia non produktif yang ditanggung penduduk usia produktif. ABT dihitung dengan rumus:

100 Pr

Pr x Usia Penduduk Jumlah Penduduk

Non Usia Penduduk Jumlah Penduduk Beban Angka Beban 

=64,21

ABT di Kecamatan Jatisrono sebesar 64,21 artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 64 orang penduduk yang tidak produktif. Hal ini berarti jumlah penduduk usia non produktif lebih kecil daripada penduduk usia produktif sehingga satu penduduk usia produktif menanggung kurang dari satu penduduk non produktif. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan agroindustri pengolahan mete cukup berperan terhadap penduduk Kecamatan Jatisrono dalam memberikan mata pencaharian, sehingga dapat mengurangi Angka Beban Tanggungan.

3. Keadaaan Penduduk menurut Mata Pencaharian Keberhasilan pembangunan suatu wilayah dapat dilihat dari tingkat penyerapan tenaga kerja bagi penduduknya. Besarnya penyerapan tenaga kerja akan dapat meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, yang akhirnya akan berimbas bagi kesejahteraan penduduk suatu wilayah. Keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 15.

commit to user

Pencaharian Tahun 2011 (orang)

Mata Pencaharian

27,72 Buruh Tani

6.416

17,49 Pengusaha Kecil

2.028

5,53 Buruh Industri

4.219

11,50 Buruh Bangunan

Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Sebagian besar penduduk Kecamatan Jatisrono pada tahun 2011

bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 10.167 jiwa atau 27,72% dari penduduk yang bekerja di Kecamatan Jatisrono dan 21,96% bekerja sebagai buruh bangunan. Selanjutnya, sebesar 17,49% penduduk yang bekerja bekerja sebagai buruh tani, 11,50% sebagai buruh tani. Sebesar 8,34% dari penduduk yang bekerja sebagai pedagang, 16,58% lain-lain. Sedangkan yang bekerja sebagai pengusaha kecil yang termasuk didalamnya sebesar 5,53%

C. Keadaan Sarana Perekonomian

Keadaan sarana perekonomian menentukan lancar atau tidaknya pelaksanaan kegiatan perekonomian. Adanya sarana perekonomian diharapkan roda perekonomian di Kecamatan Jatisrono berjalan dengan lancar. Sarana perekonomian di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Sarana perekonomian di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011

Sarana Perekonomian

Jumlah

Pasar Umum

2 Pasar Hewan

1 Pasar Desa

2 Toko/Kios

1.417

Jumlah 1.422

Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012 Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa sarana perekonomian terbanyak

di Kecamatan Jatisrono adalah toko/kios yang berjumlah 1.417. Masyarakat

commit to user

besar. Selain itu, tata usahanya dapat dikelola sendiri. Kelancaran sarana perekonomian di Kecamatan Jatisrono juga harus didukung dengan infrastruktur penunjang seperti sarana angkutan. Sarana angkutan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan karena sebagai sarana penghubung. Jumlah sarana angkutan di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Jumlah Sarana Angkutan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011

Sarana Angkutan

Jumlah

Bus/Mini Bus

58 Sedan/Station

430 Truk

50 Pick-Up

61 Sepeda Motor

5.475 Sepeda

2.578 Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012

Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa sarana angkutan paling banyak adalah sepeda motor sebanyak 5.475 unit. Sepeda motor merupakan sarana transportasi yang paling umum digunakan, karena akan lebih mudah dan fleksibel untuk menjangkau semua daerah. Sarana angkutan terbanyak kedua adalah sepeda sebanyak 2.578 unit. Selanjutnya adalah sedan/station yang merupakan sarana angkutan yang umumnya digunakan di Kecamatan Jatisrono sebanyak 430 unit, bus/mini bus yang digunakan untuk menghubungkan antar kecamatan sebanyak 58 unit dan pick-up yang biasanya dimanfaatkan untuk mengangkut hasil pertanian sebanyak 61 unit.

D. Keadaan Sektor Pertanian

Sektor pertanian memberikan sumbangan cukup besar terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang paling besar pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan pangan adalah subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor tanaman bahan makanan didukung oleh produksi beberapa komoditas, antara lain: tanaman padi, palawija, sayuran dan buah-buahan. Tanaman padi dan palawija di Kecamatan Jatisrono antara lain:

commit to user

masing jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Kecamatan Jatisrono

Tahun 2011 (kw)

No. Komoditas Jumlah

1. Padi 17.462,59

2. Jagung 2.029,00

3. Ubi Kayu 1.806,00

4. Kedelai 185,00

5. Kacang Tanah 644,00 Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012

Berdasarkan Tabel 18 produksi tanaman padi adalah yang jumlahnya terbesar. Hal ini dikarenakan kondisi alam yang sesuai untuk tanaman padi khususnya untuk daerah di sepanjang aliran sungai dan sebagian besar petani memang memilih untuk menanam tanaman padi. Adanya sungai menyebabkan kebutuhan air untuk tanaman padi dapat terpenuhi. Tanaman palawija biasa ditanam oleh petani hanya pada musim tertentu saja.

Subsektor pertanian yang terdapat di Kecamatan Jatisrono yang lain adalah subsektor perkebunan dan peternakan. Komoditas subsektor perkebunan yang dibudidayakan di Kecamatan Jatisrono antara lain: jati, mahoni, sengon, malaba, mete, jarak, coklat, akasia, dan petai. Tanaman perkebunan di Kecamatan Jatisrono tersaji pada Tabel 19.

Tabel 19. Komoditi Perkebunan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (Batang)

No. Jenis Tanaman Jumlah Tanaman (batang)

9. Petai 17.100 Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012

commit to user

jumlahnya di kecamatan Jatisrono adalah tanaman jati sebanyak 580.144 batang. Selanjutnya adalah tanaman mahoni sebanyak 289.267 batang, sengon sebnayak 139.807 batang, tanaman mete sebanyak 31.550 batang, tanaman petai 17.100 batang, tanaman jarak 6.000 batang, coklat sebanyak 1.125 batang, malaba 1.000 batang dan tanaman akasia 600 batang.

Sedangkan komoditas subsektor peternakan di Kecamatan Jatisrono antara lain: sapi, kerbau, babi, kambing/domba, ayam ras, ayam buras, puyuh, dan entog. Populasi ternak di Kecamatan Jatisrono tersaji pada Tabel 20.

Tabel 20. Populasi Ternak di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (Ekor)

No. Komoditas Jumlah Ternak

3. Kambing/Domba 7.842

4. Ayam Ras 18.400

5. Ayam Buras 101.350

6. Puyuh 1.065 8. Entog

66 Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012

Berdasarkan Tabel 20 populasi terbesar adalah ayam buras yang jumlahnya pada tahun 2011 adalah 101.350 ekor. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk wilayah Kecamatan Jatisrono memelihara ayam buras sebagai ternak pelihaaraan, baik untuk dimanfaatkan daging ataupun telurnya. Populasi ternak terendah yaitu kerbau, yakni sebanyak 26 ekor. Hal ini dikarenakan penduduk di Kecamatan Jatisrono mayoritas lebih memilih memelihara sapi dikarenakan bisa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan jenis ternak yang lain.

E. Keadaan Industri

Menurut data terakhir dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Wonogiri (2007), kelompok industri kecil potensial yang ada di Kecamatan Jatisrono adalah sebagai berikut tersaji pada Tabel 21.

commit to user

No. Jenis Industri Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja

1. Konveksi

17 34

2. Anyaman Bambu

138

276

3. Tape Ubi

6. Emping Mlinjo

115

326

7. Makanan Olahan

9. Jamu Tradisional

25 46

10. Cendol Dawet

6 12

11. Kacang Mete

14. Ice Cream

9 18

15. Criping Singkong

8 16

16. Jamu Gendong

18 36

17. Kasur Kapuk

7 14

18. Keripik Singkong

9 18 Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal

Kabupaten Wonogiri, 2007 Berdasarkan Tabel 21 jumlah industri kecil yang paling banyak di

Kecamatan Jatisrono adalah kacang mete yaitu sebanyak 583 unit dan menyerap sebanyak 2.258 tenaga kerja. Hal ini dikarenakan Kecamatan Jatisrono merupakan sentra pengolahan kacang mete di Kabupaten Wonogiri. Sedangkan jumlah industri kecil yang paling rendah adalah usaha cendol dawet sebanyak 6 unit usaha.

commit to user

A. Karakteristik Responden

1. Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete

a. Identitas Responden Identitas responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usaha, dan lama mengusahakan; yang disajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel 22. Identitas Responden Pelaku Usaha Pengolahan Mete di

Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

3. Jumlah Anggota Keluarga

3 orang

4. Jumlah Anggota Keluarga yang Aktif dalam Usaha

1 orang

5. Lama Mengusahakan

13 tahun Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 22 menunjukkan identitas pelaku usaha pengolahan mete di

Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Rata-rata usia dari pelaku usaha adalah 51 tahun, dimana pada usia ini kekuatan fisik seseorang sudah berkurang sehingga pelaku usaha lebih memilih pekerjaan dalam agroindustri pengolahan mete dibandingkan pekerjaan lain yang membutuhkan kekuatan fisik. Rata-rata pendidikan dari pelaku usaha adalah 7 tahun atau setingkat tidak tamat SMP. Pada agroindustri pengolahan mete, tingkat pendidikan tidak mempengaruhi keterampilan dalam melakukan pekerjaan, yang dibutuhkan dalam usaha ini adalah ketelitian dan kehati-hatian yang dapat diperoleh melalui pengalaman usaha. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usaha ini adalah 1 orang, yang biasanya adalah anggota keluarga yang menjadi pengelola agroindustri dan mengerjakan pekerjaan sortir. Rata-rata lama mengusahakan agroindustri pengolahan mete ini adalah selama 13

54

commit to user

sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha pengolahan mete.

b. Karakteristik Usaha Karakteristik usaha berkaitan dengan bagaimana posisi pekerjaan sebagai pelaku usaha pengolahan mete, apakah sebagai pekerjaan utama ataukah pekerjaan sampingan, yang dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini. Tabel 23. Karakteristik Usaha Responden Pelaku Usaha Agroindustri

Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

No.

Uraian

Jumlah (orang)

1. Pekerjaan Utama

12

2. Pekerjaan Sampingan

Total

15

Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa karakteristik usaha responden pelaku usaha pengolahan mete adalah sebanyak 12 orang dari responden menjadikan agroindustri pengolahan mete sebagai pekerjaan utama, artinya usaha ini dijadikan prioritas dalam curahan waktu dan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. dan 3 orang sisanya sebagai pekerjaan sampingan, bukan merupakan pekerjaan proritas, pekerjaan utama mereka adalah PNS dan pengepul kacang mete.

2. Pemerintah Responden pemeritah dalam penelitian ini diwakili oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri. Responden diambil dengan perimbangan mengetahui dan terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan program-program lain dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Identitas responden pemerintah disajikan pada Tabel di bawah ini.

commit to user

Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

No. Uraian Rata-rata

3. Jumlah Anggota Keluarga

3 orang

4. Pengalaman

4 tahun Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 24, rata-rata usia dari responden pemerintah

adalah 48 tahun, dimana usia ini masih merupakan usia produktif sehingga dapat memberikan sumbangan dan peran dalam usaha pengembangan agroindustri pengolahan mete. Rata-rata pendidikan responden adalah 16 tahun atau setingkat Diploma. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir dan wawasan dalam menjalankan fungsi masig-masing. Pengalaman mendampingi agroindustri pengolahan mete baik dalam bentuk kebijakan maupun secara teknis adalah selama 4 tahun.

3. Pedagang Pengepul Pedagang pengepul/distribuor merupakan pedagang yang membeli produk kacang mete dalam jumlah besar, kemudian dijual kembali kepada konsumen akhir. Dalam penelitian ini, pedagang pengepul yang menjadi responden yang diwawancarai adalah yang bertempat tinggal di Kecamatan Jatisrono. Identitas responden pedagang pengepul disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Identitas Responden Pedagang Pengepul dalam Pengembangan

Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

3. Jumlah Anggota Keluarga

3 orang

4. Pengalaman

7 tahun Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Rata-rata usia pedagang pengepul produk kacang mete adalah 42

tahun, dengan rata-rata pendidikan 10 tahun (tidak tamat SMA). Usia dan

commit to user

keputusan untuk membeli produk kacang mete, dan kemudian menjualnya kembali. Pengalaman usaha yang sudah cukup lama, yakni 7 tahun, tentunya memberikan banyak pelajaran dalam perannya sebagai pedagang pengepul produk kacang mete, baik mengenai produk, harga, maupun kualitas kacang mete. Responden membeli produk biji kacang mete dalam kemasan besar 25 kg, dan untuk dijual kemudian dikemas lagi dengan ukuran 1 kg.

4. Konsumen Akhir Konsumen akhir adalah konsumen yang membeli produk biji kacang mete kepada pelaku usaha maupun pedagang pengepul untuk konsumsi, bukan untuk dijual kembali. Identitas responden konsumen akhir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 26. Identitas Responden Konsumen Akhir dalam Pengembangan

Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

3. Jumlah Anggota Keluarga

4 orang Sumber: Analisis Data Primer, 2012

Rata-rata usia responden konsumen akhir adalah 44 tahun dengan rata-rata pendidikan 7 tahun. Hal ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pembelian kacang mete untuk konsumsi dalam hal harga, kualitas, jumlah pembelian, dan tempat pembelian. Responden membeli biji kacang mte untuk keperluan hajatan, arisan, serta acara keluarga lainnya.

B. Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

1. Skala Usaha Anonim (2009) menyatakan bahwa penggolongan UMKM berdasarkan UU. Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah sebagai berikut:

commit to user

Rp 50 juta atau dengan hasil penjualan paling besar Rp 300 juta. b) Usaha Kecil dengan nilai asset lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak 500 juta atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta hingga maksimum 2,5 milyar.

c) Usaha Menengah adalah perusahaan dengan nilai kekayaan bersih lebih dari 500 juta hingga paling banyak Rp 10 miliar atau memiliki hasil penjualan tahunan di atas Rp 2,5 milyar.

Pelaku usaha pengolahan mete yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 15 orang untuk analisis usaha. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang penggolongan UMKM tersebut, ditemukan ada dua skala usaha dari responden pelaku usaha pengolahan mete. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi keragaan usaha pengolahan mete, dilakukan dua penggolongan sebagai berikut (1) Responden Usaha Pengolahan Mete Skala Mikro, yaitu responden dengan omset maksimal 300 juta pertahun, atau dengan kata lain omset maksimal 25 juta per bulan, sebanyak 12 responden; (2) Responden Usaha Pengolahan Mete Skala Kecil, yaitu responden dengan omset antara 300 juta sampai dengan 2,5 milyar pertahun sebanyak 3 responden. Penggolongan responden dilakukan untuk lebih menggambarkan atau merepresentasikan skala usaha dari masing-masing responden yang diambil.

Skala usaha dalam penelitian ini dilihat melalui rata-rata jumlah tenaga kerja, biaya, penerimaan (omset), dan keuntungan setiap bulan dari pelaku usaha agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Data yang ditampilkan merupakan data rata-rata dari

15 pelaku usaha yang diwawancarai oleh peneliti.

a. Tenaga Kerja Tenaga kerja memiliki peranan yang penting dalam agroindustri pengolahan mete. Keterampilan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh lama bekerja, karena yang dibutuhkan dalam usaha ini adalah ketelitian

commit to user

pada agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Ketenagakerjaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri

Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

No.

Jenis Pekerjaan

Rata-rata

Skala Mikro

Skala Kecil

1. Ceklok dan Cukil

1 orang Sumber: Analisis Data Primer, 2012

Menurut Tabel 27, ada tiga pekerjaan dalam agroindustri pengolahan mete. Pertama adalah ceklok dan cukil dengan rata-rata jumlah tenaga kerja untuk responden usaha mikro 4 orang dan usaha kecil 11 orang. Ceklok dan cukil adalah kegiatan memisahkan biji mete dengan gelondong mete dengan peralatan yang dibutuhkan adalah kacip dan pisau kecil. Kacip digunakan untuk membelah gelondong mete menjadi dua, dengan biji mete masih melekat pada salah satu bagian gelondong, kegiatan ini juga sering dinamakan dengan ceklok, karena alat yang digunakan bernama kacip ceklok. Sedangkan pisau kecil digunakan untuk mencukil biji mete yang masih melekat pada gelondong mete. Jumlah tenaga kerja pada agroindustri pengolahan mete ini juga menunjukkan skala usaha. Semakin besar skala usaha, maka tenaga kerja yang dibutuhkan juga semakin besar, karena bahan baku yang diolah jumlahnya juga semakin besar.

Kegiatan yang kedua adalah klethek, yaitu proses pengupasan kulit ari yang masih menyelimuti biji mete. Alat dan bahan yang diperlukan selama kegiatan ini adalah tungku, seng dan arang. Kegiatan inilah yang memerlukan ketelitian dan kehati-hatian ekstra dibandingkan dau kegiatan yang lain karena akan sangat mempengaruhi produk yang dihasilkan. Kegiatan yang terakhir adalah sortir/sortasi biji kacang mete yang dihasilkan menjadi mete kualitas super, biasa, atau campur. Kegiatan sortir ini biasanya dilakukan oleh tenaga kerja

commit to user

setiap hari oleh para tenaga kerja pada setiap jenis pekerjaan masing- masing, dan besarnya upah untuk setiap jenis pekerjaan tidaklah sama tergantung tingkat kesulitan dari pekerjaan tersebut.

b. Total Biaya Produksi Total biaya produksi adalah jumlah biaya produksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha agroindustri pengolahan mete selama proses produksi. Komponen dari biaya produksi total ini adalah biaya tetap dan biaya variabel yang besarnya dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini. Tabel 28. Rata-Rata Total Biaya Produksi Responden Pelaku Usaha

Agroindustri Pengolahan Mete selama 1 Bulan

No. Jenis Biaya Rata-Rata (Rp) Skala Mikro

Skala Kecil

1. Biaya Tetap

- Biaya Overhead

2. Biaya Variabel

a. Bahan

b. Bahan Penolong

41.708,33

126.663,33

c. Tenaga Kerja

2.979.812,50

9.026.500,00

d. Pasca Produksi

Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 28 menunjukkan besarnya rata-rata dan jenis total biaya

produksi pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono. Total biaya produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya overhead tetap, sedangkan biaya variabel disusun oleh biaya bahan baku utama yang merupakan biaya tertinggi; biaya bahan penolong; biaya tenaga kerja; dan yang terakhir adalah biaya pasca produksi. Besar biaya overhead tetap adalah Rp 370.333,35 untuk usaha skala mikro dan Rp 762.955,56 untuk usaha kecil. Biaya overheaad adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara langsung oleh para pelaku usaha agroindustri pengolahan mete. Biaya overhead ini

commit to user

dan ponsel; PBB; pajak kendaraan; angsuran dan atau bunga; dan biaya penyusutan. Bahan baku utama yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete berupa gelondong mete yang rata-rata pelaku usaha setiap bulannya membutuhkan gelondong mete dengan biaya sebesar Rp. 5.837.500,00 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil dengan biaya sebesar Rp 18.800.000,00. Ada tiga bahan baku penolong yang digunakan yaitu arang, tepung terigu, dan kapur dengan biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 41.708,33 untuk responden usaha skala mikro dan Rp 126.663,33 untuk responden skala kecil. Rata-rata biaya tenaga kerja yang dikeluarkan responden usaha skala mikro adalah Rp 2.979.812,50 dan Rp 9.026.500,00 untuk responden skala kecil. Biaya pasca produksi terdiri dari biaya pengiriman dan biaya pengemasan yang besarnya adalah Rp 88.466,67 untuk responden skala mikro dan Rp 470.666,67 untuk skala kecil. Rata-rata total biaya produksi selama satu bulan pada agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono adalah sebesar Rp 9.317.820,80 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil Rp 29.186.755,60.

c. Penerimaan Usaha Penerimaan merupakan hasil perkalian antara kuantitas atau jumlah produksi suatu produk dengan harga masing-masing produk. Rata-rata penerimaan usaha pada agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono selama satu bulan dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini.

commit to user

Pengolahan Mete selama 1 Bulan

No. Jenis Produk Rata-Rata (Rp)

Skala Mikro

Skala Kecil

1. Mete Super

7.546.875,00

23.887.500,00

2. Mete Biasa

1.868.750,00

5.915.000,00

3. Mete Campur

790.625,00

2.502.500,00

4. Kulit Mete

Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 29, dapat dilihat ada beberapa produk yang

dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono yang masing-masing memberikan penerimaan kepada pelaku usaha. Produk utama yang dihasilkan oleh agroindustri ini adalah biji kacang mete yang terdiri atas tiga kualitas, yaitu mete super; mete biasa; dan mete campur. Sedangkan produk sampingan yang dihasilkan adalah kulit mete, yang sebenarnya adalah limbah produksi, tetapi tidak bisa diolah sendiri oleh para pelaku usaha dan kemudian dijual kepada pengepul. Rata-rata penerimaan usaha agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono setiap bulannya adalah Rp 10.666.250,00 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil Rp 33.758.333,33.

d. Keuntungan Usaha Keuntungan usaha diperoleh dari hasil pengurangan antara total penerimaan dan total biaya. Besarnya rata-rata keuntungan usaha pada agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Rata-Rata Keuntungan Usaha pada Agroindustri Pengolahan

Mete selama 1 Bulan

No. Uraian Rata-Rata (Rp) Skala Mikro

Skala Kecil

1. Total Penerimaan

10.666.250,00

33.758.333,33

2. Total Biaya

Sumber: Analisis Data Primer, 2012

commit to user

para pelaku usaha agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri setiap bulan yang besarnya adalah adalah Rp 1.348.229,20 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil Rp 4.571.577,73. Berdasarkan Tabel di atas, besarnya skala usaha akan menentukan besarnya keuntungan yang diperoleh. Semakin besar skala usaha, keuntungan yang diperoleh juga semakin besar.

Untuk memperoleh gambaran mengenai analisis usaha ini, diperlukan analisis terhadap biaya, penerimaan, dan keuntungan per kilogram dari produk yang dihasilkan. Rata-rata biaya, penerimaan, dan keuntungan per kilogram kacang mete dapat dilihat pada Tabel di bawah ini Tabel 31. Rata-Rata Total Biaya, Penerimaan, dan Keuntung per kg

produk pada Agroindustri Pengolahan Mete

No. Uraian Rata-Rata (Rp)

1. Biaya Bahan Baku

40.992,33

Bahan Penolong

Tenaga Kerja

12.500,00

Pasca Produksi

808,37

Total Biaya

54.854,63

2. Total Penerimaan

Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 31 menunjukkan rata-rata biaya, penerimaan, dan keuntungan

per kilogram produk kacang mete yang dihasilkan pelaku usaha agroindustri pengolahan mete. Perbandingan antara gelondong dan biji kacang mete adalah 4:1, artinya empat kilogram gelondong mete menghasilkan satu kilogram kacang mete. Rata-rata biaya untuk menghasilkan 1 kilogram kacang mete adalah Rp 54.854,63 dan penerimaan untuk per kilogram produk sebesar Rp 73.000,00. Keuntungan

commit to user

adalah Rp 18.145,37 Berdasarkan uraian mengenai skala usaha, agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono ini dapat memenuhi ciri-ciri agroindustri pengolahan hasil pertanian yang dikemukan Kusnandar dkk (2010) sebagai berikut:

a. Dapat meningkatkan nilai tambah Agroindustri pengolahan mete, yang memproses gelondong mete menjadi kacang mete, sudah barang tentu meningkatkan nilai tambah produk yang semula berupa gelondong mete menjadi biji kacang mete yang mempunyai harga jual yang lebih tinggi. Apabila dibandingkan saat masih berbentuk gelondong mete, biji kacang mete memiliki nilai yang lebih besar.

b. Menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan Salah satu ciri dari sebuah agroindustri adalah menghasilkan produk yang dimanfaatkan. Agroindustri pengolahan mete menghasilkan biji kacang mete yang dapat dipasarkan dan dikonsumsi oleh konsumen. Setelah melalui proses produksi, gelondong mete yang awalnya diolah menjadi biji kacang mete yang bisa dikonsumsi.

c. Meningkatkan daya saing Melalui proses pengolahan kacang mete, pengemasan dalam berbagai variasi ukuran dan pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha, agroindustri ini bisa meningkatkan daya saing dari produk gelondong mete, bahkan ada yang bisa menembus pasar ekspor.

d. Menambah keuntungan dan pendapatan produsen

Berdasarkan hasil penghitungan terhadap biaya, penerimaan dan keuntungan usaha, ternyata agroindustri pengolahan mete ini dapat memberikan sejumlah pendapatan dan keuntungan bagi para pelaku usaha jika dibandingkan dengan hanya menjual gelondong mete saja.

commit to user

Bahan baku utama dari agroindustri pengolahan mete adalah gelondong atau biji mete. Gelondong mete ini merupakan buah sejati dari jambu mete. Pelaku usaha biasanya memperoleh bahan baku dari pedagang pengepul gelondong mete di pasar tradisional Kecamatan Jatisrono. Untuk pelaku usaha yang berskala lebih besar, terkadang bahan baku diperoleh dari pengepul gelondong mete yang mengantar langsung ke lokasi usaha.

Gelondong mete tersedia dalam jumlah besar pada saat masa panen. Musim panen jambu mete adalah sekali setiap tahun, antara bulan Juli- September. Untuk menjaga ketersedian bahan baku sepanjang tahun, pelaku usaha pengolahan mete biasanya melakukan pembelian gelondong mete dalam jumlah besar setiap masa panen kemudian disimpan untuk persediaan saat bukan masa panen. Kulitas gelondong mete ini akan tetap baik selama masa penyimpanan asalkan dijemur sampai kadar airnya serendah mungkin. Gelondong mete yang sudah dijemur dengan kadar air yang tepat bisa disimpan sampai dengan tiga tahun. Selain dari produksi jambu mete Kecamatan Jatisrono dan Kabupaten Wonogiri sendiri, gelondong mete juga diperoleh dari Makasar, Sumbawa, Surabaya, dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono bisa tetap terjaga sepanjang tahun, sehingga produksi kacang mete juga tetap bisa dilaksanakan saat bukan masa panen jambu mete. Yang membedakan adalah harga kacang mete saat masa panen jambu mete lebih rendah daripada saat bukan musim panen.

Selain gelondong mete, usaha pengolahan mete juga menggunakan beberapa bahan baku penolong yaitu arang, tepung terigu, dan kapur. Arang digunakan sebagai bahan bakar tungku yang membantu proses pengelupasan kulit ari biji kacang mete. Bahan baku penolong kedua yang digunakan adalah tepung terigu yang berfungsi sebagai lem alami untuk biji mete yang patah atau terbelah selama proses pengelupasan kulit ari.

commit to user

mete selama proses ceklok, yaitu proses pemisahan gelondong mete dan biji mete, jika tidak menggunakan kapur ini maka kulit yang terkena getah akan melepuh. Jumlah penggunaan bahan baku penolong dipengaruhi oleh jumlah bahan baku utama yang digunakan. Semakin besar jumlah bahan baku utama, bahan baku penolong yang dibutuhkan juga semakin besar.

3. Pengelolaan Produksi Pengolahan kacang mete adalah kegiatan mengolah bahan baku yang berupa gelondong mete menjadi produk kacang mete yang siap dipasarkan. Dalam proses pengolahan mete ini sangat memerlukan sinar matahari. Proses produksi dari pengolahan mete yang dilakukan oleh pelaku usaha di Kecamatan Jatisrono adalah sebagai berikut:

a. Penjemuran Gelondong Mete Pelaku usaha biasanya membeli gelondong mete yang sudah dalam keadaan kering. Pengeringan dilakukan oleh para pelaku usaha hanya jika dirasa gelondong mete yang mereka dapatkan belum cukup kering. Pengeringan mete gelondongan dapat dilakukan dengan cara dijemur di bawah panas matahari. Mete gelondongan dihamparkan di lantai jemur. Jika tidak tersedia lantai jemur, pengeringan biji mete dapat menggunakan anyaman bambu, tikar, atau tampah. Pengeringan mete gelondongan dilakukan hingga kadar airnya mencapai 3%. Pengeringan mete gelondongan selain bertujuan mempertahankan kualitas, juga bertujuan untuk memudahkan pengupasan.

b. Pengupasaan Kulit Gelondong dan Pemisahan Kacang dari Gelondong Pengupasan kulit gelondong mete dapat dilakukan secara manual ataupun secara mekanis. Di Kecamatan Jatisrono pengupasan kulit gelondong mete dilakukan secara manual. Pengupasan kulit gelondong dilakukan dengan cara membelah gelondong menggunakan kacip. Kacip berfungsi untuk membelah gelondong menjadi dua, kemudian kacang mete yang masih menempel pada gelondong dipisahkan atau dikeluarkan dengan menggunakan pisau kecil. biasanya para pelaku

commit to user

menghindari getah yang ada pada kulit gelondong mete.

c. Pengeringan Kacang Mete Kacang mete yang telah dipisahkan dari kulitnya dikeringkan lagi hingga kadar air mencapai sekitar 3% dari sebelumnya 5%. Pengeringan kacang mete ini bertujuan untuk memudahkan pengelupasan kulit ari kacang mete. Di samping itu, pengeringan kacang mete bertujuan untuk mencegah serangan hama dan jamur serta meningkatkan daya simpan. Pengeringan tidak boleh terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan kacang mete rapuh sehingga dapat meningkatkan persentase pecah pada penanganan selanjutnya. Pengeringan kacang mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari yang dipadukan dengan pengeringan menggunakan tungku dan arang.

Pengeringan kacang mete di bawah sinar matahari dilakukan sebagai berikut: Kacang mete dihamparkan pada rigen-rigen pengering yang terbuat dari bambu maupun tampah dari aluminium atau seng. Untuk mencapai kadar air sekitar 3%, penjemuran kacang mete dapat dilakukan selama 7-8 jam/hari pada cuaca cerah. Keuntungan pengeringan kacang mete dengan sinar matahari adalah kacang mete tidak gosong sehingga menghasilkan mete berkualitas baik.

Pengeringan dengan tungku dilakukan untuk melengkapi pengeringan dengan sinar matahari dan mempermudah pengupasan kulit ari. Pengeringan ini dilakukan dengan mengisi tungku yang terbuat dari tanah dengan arang, kemudian tungku ditutup dengan seng, selanjutnya dibagian atasnya ditambah lagi seng yang lebih lebar. Kacang mete dihamparkan pada seng yang paling atas, setelah kacang mete panas, akan lebih mudah dikupas kulit arinya.

d. Pengupasan Kulit Ari Sebagian besar pelaku usaha pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono melakukan pengupasan kulit ari dengan terlebih dahulu

commit to user

dilakukan dengan menggunakan pisau. Pengupasan kulit ari dengan pisau dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai kacang mete yang dapat menurunkan mutu. Pada tahap ini, sebagian pelaku usaha melakukan pengeleman kacang mete yang terbelah dengan diolesi tepung terigu kemudian bagian yang terbelah ditempelkan. Kacang mete yang telah dikupas kulit arinya terkadang masih dijemur lagi jika diperlukan. Penjemuran ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya simpan.

e. Sortasi Kacang Mete Kacang mete yang sudah bersih selanjutnya disortasi dan digrading terlebih dahulu sebelum dijual ke konsumen/pasar. Sortasi dan grading bertujuan untuk menyeragamkan kacang mete menurut kualitasnya sehingga memudahkan dalam penentuan harga dan penjualan di pasar.

Sortasi merupakan kegiatan memisahkan kacang mete yang baik (utuh putih, utuh agak putih) dengan kacang mete yang kurang baik (remuk, utuh agak gosong, utuh gosong). Grading adalah kegiatan mengelompokkan kacang mete yang telah disortasi ke dalam kelompok-kelompok kelas mutu. Kelas mete yang ada di Kecamatan Jatisrono adalah kelas super, kelas biasa, dan campur. Kelas super terdiri dari kacang mete yang utuh putih berukuran besar, kelas biasa terdiri dari kacang mete yang utuh tetapi tidak terlalu besar, atau utuh tetapi karena dilem dengan tepung terigu. Sedangkan kelas campur terdiri dari kacang mete lem dengan kacang mete yang belah. Ciri-ciri dari masing-masing kelas/grade biji kacang mete di Kecamatan Jatisrono disajikan pada Tabel di bawah ini.

commit to user

No. Jenis Produk

Ciri-Ciri

Harga/kg

1. Mete

Super

(Grade I)

Utuh

seluruhnya,

tanpa cacat, tanpa bintik hitam atau coklat, tua dan kering, warna putih, tidak tercampur biji busuk atau kotoran.

(Grade II)

Utuh dan utuh karena dilem (hanya

sebagian

kecil), ukuran lebih kecil dari grade I, tanpa bintik hitam atau coklat, tua dan kering, warna putih atau pucat putih, tidak tercampur biji busuk atau kotoran.

Rp 65.000,00

3. Mete

Campur (Grade III)

Belah memanjang menjadi dua dan ada yg dilem, tanpa bintik hitam atau coklat, tua dan kering, warna pucat atau agak putih, tidak tercampur biji busuk atau kotoran.

Rp 55.000,00

Sumber: Analisis Data Primer, 2012

4. Pengemasan Kacang mete cepat mengalami kerusakan karena proses enzimatis atau serangan cendawan dan serangga. Untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor di atas, kacang mete perlu dikemas dengan baik. Tujuan pengemasan selain melindungi kacang mete dari kerusakan serangan cendawan atau serangga juga bertujuan melindungi kacang mete dari kerusakan mekanis sewaktu proses pengangkutan atau kerusakan fisiologis karena pengaruh lingkungan, misalnya suhu dan kelembaban. Pengemasan sebaiknya rapat dan tidak tembus udara karena dapat menghambat proses respirasi, proses pembusukan dan gangguan serangga fisiologis lainnya pada kacang mete. Dengan pengemasan yang baik dan benar maka kualitas mete dapat dipertahankan dalam waktu lama.

Selain dapat mencegah kerusakan kualitas kacang mete, pengemasan memudahkan pengangkutan, pemasaran dan meningkatkan daya tarik. Pelaku usaha pengolahan mete melakukan pengemasan dengan menggunakan plastik ukuran isi 25 kg untuk produk kacang mete yang

commit to user

untuk konsumen yang mengecer atau membeli dalam jumlah sedikit. Plastik yang digunakan adalah plastik dengan ketebalan 0,3-0,4 mm untuk menjaga kualitas produk. Tidak ada teknologi khusus dalam pengemasan kacang mete, plastik kemasan besar cukup ditali dengan rafia dan kemasan kecil dengan stapler. Jangka waktu antara proses pengemasan dengan pendistribusian ke pasar berkisar antara 1-2 hari sehingga kerusakan atau penurunan mutu bisa diminimalisir sekecil mungkin karena tidak terlalu lama disimpan di gudang penyimpanan.

5. Pemasaran Di Kecamatan Jatisrono, pemasaran produk kacang mete relatif sederhana karena produsen kacang mete di wilayah ini sudah memiliki distributor tetap di beberapa kota seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Untuk pengusaha dengan skala mikro, produk kacang mete disetorkan ke pengusaha yang berskala lebih besar atau langsung ke pedagang pengepul yang biasa disebut ke pabrik. Pelaku usaha yang disebut berskala pabrik pelaku usaha yang mempunyai tenaga kerja dalam jumlah besar, kurang lebih 40 orang, dengan produksi kacang mete yang juga besar, dan mayoritas pelaku usaha mikro menyetorkan kacang mete yang dihasilkan ke pabrik ini. Selain itu, pengusaha pengolah kacang mete juga memasarkan kacang mete secara eceran ke pasar-pasar tradisional dan toko atau swalayan ke beberapa kota seperti di Yogya, Solo, Klaten, Sukoharjo dan lain sebagainya. Proses pemasaran kacang mete melibatkan beberapa pihak terkait, antara lain adalah petani, pedagang pengumpul, pengusaha atau pengolah kacang mete, pedagang besar, industri makanan, eksportir, pedagang pengecer (pasar dan toko) dan konsumen. Dalam rangka pemasaran tersebut, pengusaha pada industri pengolahan kacang mete di Kecamatan Jatisrono telah menjalin kerjasama dengan beberapa pedagang besar dan industri makanan. Dalam pemasaran mete, produk yang dipasarkan sebagian besar dalam bentuk kacang mete mentah karena kacang mete mentah ini lebih awet atau tahan lama dibandingkan dengan

commit to user

kacang mete yang siap konsumsi sesuai pesanan untuk mengurangi resiko kerusakan. Di bawah ini adalah gambar rantai pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono.

6. Sarana Prasarana Sarana prasarana yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:

a. Rumah Produksi Suatu usaha tidak akan berjalan tanpa adanya tempat produksi. Pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri rumah produksi ada yang terpisah dari rumah utama (responden usaha pengolahan mete skala kecil) dan ada pula yang masih menjadi satu dengan rumah utama. Rumah produksi dimanfaatkan sebagai tempat melaksanakan proses produksi dan menyimpan persediaan bahan baku.

Petani

Pedagang Pengumpul

Pengolah Kacang Mete

Industri Eksportir Makanan

Pedagang Besar

(Grosir)

Pedagang Pengecer

(Pasar dan Toko)

Konsumen

Gambar 3. Rantai Pemasaran Kacang Mete di Kecamatan Jatisrono

commit to user

Sarana transportasi digunakan untuk mendistribusikan produk kacang mete yang dihasilkan para pelaku usaha pengolahan mete. Sarana transportasi yang dimiliki berupa mobil untuk responden usaha pengolahan mete skala kecil karena digunakan untuk mengirim barang sampai ke luar kota, sisanya sarana transportsi yang digunakan adalah sepeda motor.

c. Lembaga Keuangan Modal merupakan faktor produksi yang cukup penting bagi keberjalanan suatu usaha. Sumber modal, baik itu berasal dari pinjaman maupun dari modal sendiri menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena untuk mengetahui akses pelaku usaha terhadap lembaga keuangan. Sumber modal usaha agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Sumber Modal Responden Pelaku Usaha Agroindustri

Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

No.

Uraian

Jumlah (orang) Skala Mikro

Skala Kecil

1. Sendiri

2. Pinjaman

3. Sendiri dan Pinjaman

Total

12 3

Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 33 menunjukkan sumber modal pada agroindustri pengolahan mete. Sumber modal pada responden pelaku usaha agroindustri pengolahan mete skala kecil adalah modal sendiri sebanyak 2 orang, pinjaman 5 orang, serta modal sendiri dan pinjaman sebanyak 5 orang. Sedangkan sumber modal pada responden pelaku usaha skala kecil adalah sebayak 2 orang dari modal pinjaman serta 1 orang berasal dari modal sendiri dan pinjaman. Berdasarkan Tabel dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden sudah memanfaatkan adanya lembaga keuangan untuk menunjang

commit to user

yang mempunyai potensi dan prospek yang cukup bagus membuat lembaga keuangan dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari beberapa bank dan bahkan pemerintah melalui PNPM memberikan kemudahan akses pinjaman modal bagi para pelaku usaha. Pelaku usaha pun mampu memanfaatkan akses ini untuk menambah permodalan.

d. Kacip Ceklok Kacip adalah alat yang digunakan untuk mengupas dan memisahkan gelondong mete dengan biji kacang mete. Alat ini terdiri dari alat pembelah yang terbuat dari semacam sabit dengan ukuran besar dan tebal serta landasannya yang terbuat dari kayu. Cara menggunakan alat ini adalah dengan meletakkan gelondong mete antara sabit dan landasan, kemudian gelondong dibelah menggunakan sabitnya. Alat ini memang masih manual, untuk pengupasan gelondong harus satu persatu.

e. Pisau Kecil Pisau digunakan untuk memisahkan biji kacang mete yang masih melekat pada gelondong mete setelah dikupas dengan cara dicukilkan. Pisau kecil juga digunakan untuk mengupas kulit ari biji mete. Kulit ari biasanya dikupas dengan dipanaskan terlebih dahulu diatas tungku yang telah diisi dengan arang panas dan seng yang diletakkan diatas tungku dan biji mete dihamparkan di atas seng. Biji mete yang telah panas kemudian dikupas pelan-pelan dengan pisau agar tidak merusak kualitas kacang mete

f. Timbangan Timbangan digunakan untuk mengukur berat, baik itu gelondong mete maupun biji kacang mete yang sudah siap dikemas. Timbangan yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono adalah timbangan besar yang bisa untuk menimbang dalam jumlah besar serta ada pula yang menggunakan timbangan kecil untuk

commit to user

pembelian eceran.

g. Alat Penjemur Alat ini digunakan untuk menjemur mete, baik yang masih gelondongan ataupun yang sudah dalam bentuk biji mete. Penjemuran bertujuan untuk meningkatkan daya simpan, aagar tidak terserang jamur selama penyimpanan. Alat penjemur ini ada yang terbuat dari anyaman bambu dan ada pula yang terbuat dari seng.

h. Tungku Tungku digunakan untuk membantu proses pengupasaan kulit ari. Tungku yang digunakan biasanya adalah yang terbuat dari tanah.

i. Seng Seng juga digunakan untuk membantu proses pengupasan kulit ari. Seng digunakan karena lebih bisa mempertahankan panas dari arang.

C. Kondisi Faktor Internal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

Faktor internal merupakan lingkungan dalam agroindustri yang mampu dikendalikan oleh pelaku usaha yang mencakup kekuatan dan kelemahan yang ada di agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dalam melakukan pengembangan usahanya. Pengumpulan data kekuatan dan kelemahan pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Hasil wawancara terhadap responden kemudian digunakan sebagai dasar mengidentifikasi dan menentukan kekuatan dan kelemahan yang ada pada agroindustri pengolahan mete ini. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor internal, didapatkan kekuatan dan kelemahan bagi agroindustri pengolahan mete sebagai berikut yang ditampilkan pada Tabel 34.

commit to user

Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

Faktor Internal

Kekuatan ( Strength)

Kelemahan ( Weakness)

Kondisi Keuangan

- Ketersediaan modal

- Pencatatan keuangan belum rapi Pemasaran

- Adanya variasi produk

dan harga - Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan

- Kemasan produk masih sederhana

Produksi/Operasi - Ketersediaan bahan

baku - Produk lebih unggul

daripada wilayah lain - Produk tahan lama

- Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar

- Belum ada pengelolaan limbah Manajemen

- Manajemen masih lemah/kurang SDM

- Pengalaman usaha

- Tenaga kerja musiman Sumber: Analisis Data Primer, 2012

Tabel 34 merupakan hasil identifikasi terhadap faktor-faktor internal yang menghasilkan kekuatan dan kelemahan bagi agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Penjabaran dari masing- masing kekuatan dan kelemahan adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan Agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri memiliki beberapa kekuatan yang bisa menjadi keunggulan bagi perkembangan usahanya mencakup:

a. Ketersediaan modal Modal merupakan input yang sangat krusial bagi perjalanan suatu usaha. Oleh karena itu, ketersedian modal menjadi faktor yang perlu mendapat perhatian. Sebagian besar pelaku usaha pengolahan mete mendapatkan kemudahan pinjaman modal setiap tahunnya, baik dari pemerintah maupun dari lembaga keuangan lainnya. Untuk pelaku usaha berskala mikro, dengan jumlah tenaga kerja 1-3 orang, mayoritas mendapat bantuan pinjaman modal dari PNPM. Untuk pelaku usaha

commit to user

Usaha Rakyat) bank pemerintah.

b. Adanya variasi produk dan harga Variasi produk dan harga yang dimaksud disini berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete. Ada tiga jenis kualitas produk yang dihasilkan yaitu kualitas super, biasa, dan campur, dengan harga di masing-masing kualitas yang juga berbeda- beda. Hal ini akan memberikan pilihan bagi konsumen untuk membeli produk kacang mete sesuai kebutuhannya, mengingat harga produk ini cukup tinggi.

c. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan

Proses pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono bisa dikatakan mudah dan sederhana karena mayoritas pelaku usaha memiliki distributor ataupun pelanggan yang tetap. Setiap pelaku usaha, memiliki distributor sendiri untuk memasarkan produk kacang mete yang dihasilkan. Untuk pelaku usaha skala mikro, produk mereka disetorkan kepada pengusaha yang lebih besar, pabrik, atau terkadang ada konsumen akhir yang datang langsung ke lokasi usaha untuk membeli produk kacang mete. Distributor berasal dari beberapa kota di Indonesia yakni Surakarta, Semarang, Jakarta, dan Surabaya.

Pemasaran produk kacang mete yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri meliputi dalam maupun luar wilayah Kabupaten Wonogiri. Di Kecamatan Jatisrono, pemasaran produk kacang mete relatif sederhana karena produsen kacang mete di wilayah ini sudah memiliki distributor tetap di beberapa kota seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Selain itu, pelaku usaha pengolahan kacang mete juga memasarkan kacang mete secara eceran ke pasar-pasar tradisional dan toko atau swalayan ke beberapa kota seperti di Yogya, Solo, Klaten, Sukoharjo dan lain sebagainya. Proses pemasaran kacang mete melibatkan beberapa pihak terkait, antara lain adalah petani, pedagang pengumpul, pengusaha atau

commit to user

pedagang pengecer (pasar dan toko) dan konsumen. Dalam rangka pemasaran tersebut, pengusaha pada industri pengolahan kacang mete di Kecamatan Jatisrono telah menjalin kerjasama dengan beberapa pedagang besar dan industri makanan. Dalam pemasaran mete, produk yang dipasarkan sebagian besar dalam bentuk kacang mete mentah karena kacang mete mentah ini lebih awet atau tahan lama dibandingkan dengan kacang mete siap konsumsi. Umumnya para pelaku usaha hanya menjual kacang mete yang siap konsumsi sesuai pesanan untuk mengurangi resiko kerusakan

d. Ketersediaan bahan baku Ketersediaan bahan baku utama yaitu gelondong mete juga menjadi salah satu kekuatan dalam agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono. Pada saat musim panen, gelondong mete tersedia dalam jumlah yang besar. Para pelaku usaha memperoleh gelondong mete ini dari pedagang pengepul atau langsung dari petani. Akan tetapi, sedikit sekali dari pelaku usaha yang memperoleh gelondong mete langsung dari petani, kebanyakan dari mereka memperoleh gelondong mete dari pedagang pengepul. Selain dari dalam wilayah Kabupaten Wonogiri, bahan baku berasal dari Sumbawa, Makasar, dan Sulawesi, karena daerah-daerah tersebut juga merupakan daerah penghasil jambu mete di Indonesia.

e. Produk lebih unggul dari wilayah lain Kabupaten Wonogiri merupakan wilayah yang terkenal akan produk kacang metenya, terlebih lagi Kecamatan Jatisrono yng merupakan sentra usaha agroindustri pengolahan mete. Oleh karena itu, produk kacang mete dari Kecamatan Jatisrono mendapat kesan lebih baik dalam hal kualitas oleh para konsumen. Salah satu hal yang menyebabkan keunggulan kualitas ini berasal dari faktor bahan baku. Gelondong mete yang berasal asli dari petani lokal umumnya berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan gelondong mete yang berasal dari

commit to user

disini lebih mengarah pada ukuran biji mete, karena kualitas biji kacang mete ditentukan berdasarkan ukurannya.

f. Produk tahan lama Biji kacang mete bisa bertahan sampai 6 bulan asalkan dengan penanganan yang tepat. Kunci keberhasilan dalam menjaga kualitas kacang mete agar memiliki umur simpan yang lama adalah pada proses pengeringan, baik pada saat masih dalam bentuk gelondong maupun saat sudah dalam bentuk kacang mete. Proses pengeringan yang baik dan benar akan mengurangi resiko biji mete terserang jamur.

g. Pengalaman usaha Pengalaman usaha berhubungan dengan lamanya pelaku usaha pengolahan mete menjalankan usahanya. Mayoritas pelaku usaha sudah menjalankan usaha pengolahan metenya lebih dari 10 tahun, bahkan sudah turun temurun sejak orang tua mereka. Pelaku usaha juga mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal untuk meningkatkan kemampuan dalam usaha pengolahan mete. Pengalaman usaha tentu saja menjadi kekuatan tersendiri, karena akan membuat produk yang dihasilkan tidak diragukan lagi kualitasnya.

2. Kelemahan Lingkungan internal yang menjadi kelemahan bagi agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:

a. Pencatatan keuangan belum rapi Pencatan keuangan secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap kemajuan suatu usaha. Pencatatan keuangan berhubungan dengan kerapian pembukuan keuangan. Jika tidak ada pencatatan keuangan, pelaku usaha tidak dapat mendokumentasikan arus keuangan di dalam usaha mereka.

commit to user

Kemasan dan pelabelan akan berhubungan dengan ketertarikan konsumen dengan produk. Kemasan akan mempengaruhi minat konsumen untuk membeli produk. Kemasan yang menarik akan mempengaruhi pilihan konsumen untuk membeli suatu produk. Pelabelan mempengaruhi keyakinan konsumen akan produk yang akan dibeli. Sementara itu, produk kacang mete di Kecamatan Jatisrono belum memiliki kemasan dan pelabelan yang bagus. Selama ini pelabelan untuk merek biasanya dicetak dengan sablon, menggunakan nama masing-masing nama pemiliki dari agroindustri pengolahan mete. Yang paling ditekankan adalah “mete asli Jatisrono” atau terkadang “mete asli Wonogiri”

c. Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar Tanaman jambu mete merupakan tanaman tahunan yang tidak bisa dipanen sepanjang tahun. Masa panen dari tanaman jambu mete adalah bulan Juli-September. Oleh karena selain pada bulan itu, pelaku usaha akan kesulitan untuk mendapatkan gelondong mete. Ketidaktersediaan bahan baku ini bisa mengganggu proses produksi. Untuk mengatasi kesulitan bahan baku ini, pelaku usaha membeli gelondong mete dalam jumlah besar saat masa panen, dan kemudian disimpan sendiri, sebagai persediaan saat tidak ada bahan baku sehingga proses produksi dapat terus berjalan. Dengan kata lain, untukmenjaga kontinuitas produksi pelaku usaha perlu menyiapkan biaya atau modal dalam jumlah besar untuk pembelian bahan baku di masa panen.

d. Belum ada pengelolaan limbah Limbah utama dari proses pengolahan mete adalah kulit gelondong mete. Selama ini tidak ada pengelolaan limbah yang dilakukan oleh pelaku usaha pengolahan mete. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya sumberdaya yang mampu melakukan pengolahan limbah kulit gelondong mete menjadi lebih bermanfaat. Padahal, limbah ini

commit to user

kepada pengepul kulit gelondong mete, sehingga bisa menjadi tambahan penerimaan bagi pelaku usaha pengolahan mete.

e. Manajemen masih lemah/kurang Manajemen merupakan proses pengaturan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan (POAC) suatu usaha, termasuk agroindustri pengolahan mete. Kegiatan manajemen di agroindustri pengolahan mete dapat dikatakan masih lemah karena belum ada penjadwalan yang pasti untuk setiap kegiatan pada pengolahan mete. Banyak kegiatan masih dilaksanakan sesuai kelonggaran waktu tenaga kerja. Misalnya, jika tenaga kerja yang berasal dari luar lokasi, harus membantu tetangga yang punya hajatan, maka produksi dihentikan sementara waktu sampai tenaga kerja bisa bekerja kembali, demikian pula jika mendatangi undangan hajatan dan sebagainya. Hal ini tentu saja sedikit banyak dapat mempengaruhi proses produksi.

f. Tenaga kerja musiman Tenaga kerja merupakan hal penting dalam suatu usaha, karena tanpa adanya tenaga kerja produksi tidak akan berjalan. Pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, tenaga kerja diupah dengan sistem borongan, yaitu seberapa banyak pekerjaan yang dapat ia selesaikan untuk jenis pekerjaan tertentu, sehingga setiap tenaga kerja sangat mungkin menerima upah yang berbeda-beda sesuai ketrampilan yang ia miliki. Ketrampilan ini berkaitan dengan lamanya seorang tenaga bergelut dengan usaha pengolahan mete. Tenaga kerja pada agroindustri pengolahan mete seringkali tidak tersedia sepanjang waktu. Kebanyakan tenaga kerja biasanya berasal dari luar desa (bukan merupakan

yang mayoritas bermatapencaharian utama sebagai petani atau buruh tani di daerah masing-masing, yang mengisi waktu luang antara penanaman-panen untuk bekerja di agroindustri pengolahan mete. Sehingga, jika masuk

commit to user

sangat sedikit. Mengatasi hal ini, untuk jenis pekerjaan kletek biasanya tidak dikerjakan di lokasi usaha, tetapi dirumah para tenaga kerja, yang apabila sudah selesai bisa diserahkan kembali.

Berdasarkan uraian tentang keadaan faktor internal pada agroindustri pengolahan mete di atas, maka akan diperoleh pembobotan dan skor untuk masing-masing kekuatan dan kelemahan pada agroindustri melalui Matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Penentuan nilai bobot dan rating dilakukan oleh responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Nilai bobot dan rating yang diberikan oleh masing-masing responden kemudian dirata-rata oleh peneliti. Total skor dari matriks ini digunakan untuk mengetahui respon pelaku usaha terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki usahanya. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) untuk agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri disajikan pada Tabel 35 di bawah ini. Tabel 35. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri

Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor Strategis Internal

Bobot Rating Skor

Kekuatan

1. Ketersediaan modal

2. Adanya variasi produk dan harga

3. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan

4. Ketersediaan bahan baku

5. Produk lebih unggul dari wilayah lain

6. Produk tahan lama

7. Pengalaman usaha

1. Pencatatan keuangan belum rapi

2. Kemasan masih sederhana

3. Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar

4. Belum ada pengelolaan limbah

5. Manajemen masih kurang/lemah

6. Tenaga kerja musiman

Sumber: Analisis Data Primer, 2012

commit to user

berdasarkan faktor-faktor internal yang ada pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Skor merupakan perkalian antara bobot dan rating. Berdasarkan matriks IFE di atas diketahui bahwa kekuatan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah memiliki distributor/pelanggan tetap, yang ditetapkan berdasarkan nilai skor tertinggi. Begitu pula dengan kelemahan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, yaitu pencatatan keuangan yang belum rapi.

Nilai kumulatif/total matriks IFE pada pengembangan agroindustri pengolahan mete menurut Tabel 35 adalah 2,6125. Menurut David (2009) nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete memiliki posisi internal yang kuat (lebih dari 2,5), sehingga dapat dikatakan pelaku usaha sudah mampu memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi kelemahan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.

D. Kondisi Faktor Eksternal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

Lingkungan eksternal merupakan lingkungan luar yang tidak mampu dikendalikan sendiri yang mencakup peluang dan ancaman yang ada di agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dalam melakukan pengembangan usahanya. Pengumpulan data peluang dan ancaman pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Hasil wawancara terhadap responden kemudian digunakan sebagai dasar mengidentifikasi dan menentukan peluang dan ancaman yang ada pada agroindustri pengolahan mete ini. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor eksternal, didapatkan peluang dan ancaman bagi agroindustri pengolahan mete sebagai berikut yang ditampilkan pada Tabel 36.

commit to user

Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

Faktor Eksternal

Peluang ( Opportunity)

Ancaman ( Threats)

Kondisi Perekonomian - Permintaan produk fluktuatif Sosial dan Budaya

- Kondisi sosial budaya

mendukung karena merupakan sentra usaha

- Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus

- Produk oleh-oleh khas

Pemerintah

- Bantuan peralatan dari

pemerintah

- Program pemerintah belum kontinu - Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan

Teknologi - Teknologi konvensional Persaingan

- Kualitas produk

pesaing lebih rendah

Keadaan Alam - Produksi tergantung kondisi cuaca

Sumber: Analisis Data Primer, 2012

1. Peluang Peluang yang dimiliki agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono dalam mengembangkan usahanya adalah sebagai berikut:

a. Kondisi sosial budaya mendukung karena merupakan sentra usaha Jatisrono adalah kecamatan yang terkenal akan metenya. Kecamatan Jatisrono merupakan wilayah sentra pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri sejak ditetapkan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri pada tahun 2006. Kecamatan Jatisrono bisa dikatakan demikian karena, dari total jumlah pelaku usaha pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri sebagian besar, kurang lebih tigaperempatnya, adalah di Kecamatan Jatisrono. Hal ini juga peneliti jumpai, di desa tertentu yang hampir setiap rumah tangga bermatapencaharian sebagai pengolah

commit to user

sentra usaha ini merupakan peluang tersendiri bagi pengembangan agroindustri pengolahan mete, karena akan menumbuhkan suasana persaingan usaha yang sehat bagi para pelaku usaha untuk menghasilkan produk biji kacang mete dengan kualitas terbaik agar bisa menjadi pilihan konsumen.

b. Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus

Produk kacang mete merupakan sajian atau snack khas yang hampir selalu ada untuk acara-acara khusus di Kecamatan Jatisrono dan Kabupaten Wonogiri, misalnya hajatan ataupun arisan ataupun acara keluarga lainnya. Penggunaan kacang mete juga dianggap bisa menunjukkan prestige bagi keluarga yang mengadakan acara, karena harga kacang mete ini jauh di atas kacang-kacang yang lain (kacang bawang, kacang telur) dan belum ada produk makanan ringan sejenis yang bisa mensubstitusi kacang ini. Oleh karena itu, pada bulan-bulan tertentu, terutama pada musim hajatan dan lebaran, permintaan kacang mete meningkat. Hal ini tentu saja menjadi peluang tersendiri bagi para pelaku usaha pengolahan mete, agar juga meningkatkan penawaran pada bulan-bulan tersebut.

c. Produk merupakan oleh-oleh khas Ciri lain dari produk kacang mete adalah produk ini merupakan oleh-oleh khas Kabupaten Wonogiri, terutama produk kacang mete yang berasal dari Kecamatan Jatisrono. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi permintaan dan pemasaran dari produk kacang mete. Banyak dari penduduk Kabupaten Wonogiri merupakan perantau, yang biasanya akan membawa oleh-oleh jika kembali ke perantauan, dan diantaranya memilih untuk membawa kacang mete sebagai oleh-oleh. Kacang mete juga sering dibeli oleh konsumen dari dalam wilayah, yang kemudian ditujukan untuk oleh-oleh sanak famili yang berkunjung ke Kabupaten Wonogiri atau ketika berkunjung ke sanak famili dan kerabat di luar Kabupaten Wonogiri.

commit to user

Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri juga memberikan perhatian terhadap pengembangan agroindustri pengolahan mete. Pemerintah melihat bahwa agroindustri pengolahan mete di Kecamatan memiliki peluang untuk terus dikembangkan dan menjadi ciri khas bagi Kabupaten Wonogiri. Oleh karena itu pemerintah menetapkan Kecamatan Jatisrono sebagai sentra usaha pengolahan mete dan memberikan bantuan peralatan berupa satu unit kacip ceklok untuk setiap pelaku usaha pengolahan mete secara bergilir dan mengadakan pelatihan mengenai pengolahan mete dan tekonologinya. Pemberian bantuan peralatan ini diberikan secara bergilir bertujuan agar bantuan bisa diberikaan secara merata kepada seluruh pelaku usaha, mengingat banyaknya jumlah pelaku usaha pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, yaitu berjumlah sekitar 580 usaha.

Ada pula bentuk perhatian lain yang diberikan oleh pemerintah yang juga berperan dalam kesinambungan agroindustri pengolahan mete terutama yang termasuk dalam usaha berskala mikro dalam bentuk pinjaman modal dengan bunga ringan yang berasal dari dana PNPM. Pinjaman modal ini sangat membantu operasional pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, terutama untuk membeli bahan baku dalam jumlah besar sebagai persediaan menghadapi kekurangan bahan baku saat bukan masa panen jambu mete.

e. Kualitas produk pesaing lebih rendah Posisi pesaing, selain bisa menjadi ancaman bagi suatu usaha di lain pihak juga bisa menjadi peluang jika pengusaha mampu menganalisis keberadaan dan posisi pesaing dengan baik. Pesaing menjadi ancaman jika posisi tawarnya lebih kuat dari usaha yang kita miliki, demikian pula sebaliknya menjadi peluang jika posisi tawarnya lebih rendah/lemah apabila dibandingkan dengan usaha yang kita

commit to user

Jatisrono, hampir setiap responden selalu memperhatikan kondisi usaha pesaing baik itu mengenai kualitas produk yang dihasilkan maupun pemasarannya, bukan untuk menjatuhkan pihak pesaing, tetapi untuk senantiasa memperbaiki usaha yang dijalankannya. Mereka tidak

menganggap pesaing sebagai “musuh” tetapi lebih pada saudara, dan ada diantaranya benar-benar saudara mereka sendiri. Produk kacang mete yang dihasilkan oleh pesaing umumnya memiliki kualitas yang

lebih rendah dibandingkan pelaku usaha di wilayah Kecamatan Jatisrono. Perbedaan kualitas produk ini lebih berkaitan dengan pengalaman usaha dalam menggeluti usaha pengolahan mete.

2. Ancaman

a. Permintaan produk fluktuatif Kacang mete bukan merupakan produk yang dikonsumsi sehari- hari, tetapi hanya pada hari-hari tertentu saja. Karena hal inilah, permintaan poduk kacang mete ini sangat fluktuatif. Permintaan biasanya akan tinggi pada waktu lebaran dan atau musim hajatan. Permintaan yang fluktuatif ini tentunya juga akan berpengaruh pada harga produk. Harga biasanya akan naik/tinggi pada saat musim hajatan dan lebaran mencapai Rp. 90.000,00 untuk mete super, dimana saat itu permintaan juga meningkat. Di luar itu harga kacang mete relaif normal berkisar antara Rp. 60.000,00 sampai Rp. 70.000,00 per kilogram untuk mete kualitas super.

b. Program pemerintah belum kontinu Program yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka usaha mengembangkan agroindustri pengolahan mete berupa pemberian bantuan kacip ceklok dan pengadaan pelatihan. Pelatihan terakhir dilakukan antara 3-4 tahun yang lalu dengan tidak semua pelaku usaha mengikuti program ini. Akan tetapi, program ini dinilai belum efektif oleh para pelaku usaha karena tidak ada follow up dan pendampingan lebih lanjut dalam menjalankan usaha ini. Pun tentang menjadikan

commit to user

saja karena peneliti menjumpai tidak adanya up date data mengenai usaha pengolahan mete ini. Data jumlah pelaku usaha yang tersedia sampai saat peneliti melakukan penelitian adalah tahun 2007. Padahal tentunya seharusnya ada pendataan lagi untuk mengetahui perubahan jumlah pelaku usaha.

c. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan Perkembangan suatu usaha tentu saja dipengaruhi oleh pemerintah setempat, baik dinas terkait, dalam hal ini adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kabupaten Wonogiri maupun pemerintah wilayah setempat, yakni pemerintah Kecamatan Jatisrono. Berdasarkan hasil pengamatan, kedua belah pihak terkesan berjalan sendiri-sendiri dalam pengelolaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, bahkan dari pemerintah Kecamatan Jatisrono terkesan kurang peduli terhadap usaha ini. Padahal, agroindustri ini merupakan salah satu lapangan pekerjaan yang menopang kehidupan masyarakat Kecamatan Jatisrono.

d. Teknologi konvensional Proses produksi pengolahan mete sampai saat ini masih tergantung pada tenaga manusia, karena belum ada mesin yang tersedia untuk menggantikan tenaga manusia. Selama ini, memang sudah ada wacana dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa universitas untuk menciptakan mesin yang membantu proses produksi pengolahan mete, tetapi belum ada realisasinya untuk para pelaku usaha di Kecamatan Jatisrono, dan kalaupun ada, peneliti menilai harganya akan sangat mahal dan belum tentu bisa terjangkau. Di samping itu, para pelaku usaha menilai, dengan teknologi konvensional ini, akan lebih menjaga kualitas dari produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari setiap tahap dari proses produksi yang membutuhkan kehati-hatian dan ketelitiaan dari masing-masing agar tidak menurunkan kualitas produk. Akan tetapi, tetap saja keberadaan teknologi baru akan diperlukan,

commit to user

mengurangi biaya produksi, terutama untuk tenaga kerja.

e. Proses produksi tergantung cuaca Proses produksi dalam agroindustri pengolahan mete sangat dipengaruhi oleh cuaca, terutama untuk proses penjemuran. Penjemuran sangat diperlukan untuk menjaga kualitas, baik itu gelondong mete yang disimpan untuk persediaan selama tidak ada bahan baku, maupun untuk produk kacang mete yang siap dipasarkan. Penjemuran di sini berkaitan dengan daya simpan. Penjemuran yang mencapai kadar air yang tepat akan membuat gelondong mete masih dalam kondisi bagus sampai dengan tiga tahun, dan kacang mete sampai 6 bulan, karena kadar air yang tepat akan mengurangi resiko mete terserang jamur.

Berdasarkan uraian tentang keadaan faktor eksternal pada agroindustri pengolahan mete di atas, maka akan diperoleh pembobotan dan skor untuk masing-masing peluang dan ancaman pada agroindustri melalui Matriks External Factor Evaluation (EFE). Penentuan nilai bobot dan rating dilakukan oleh responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Nilai bobot dan rating yang diberikan oleh masing-masing responden kemudian dirata-rata oleh peneliti. Total skor dari matriks ini digunakan untuk mengetahui respon pelaku usaha terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki usahanya. Matriks External Factor Evaluation (EFE) untuk agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri disajikan pada Tabel 37 di bawah ini

commit to user

Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor Strategis Eksternal

Bobot Rating Skor

merupakan sentra usaha

2. Produk banyak dikonsumsi untuk acara- acara khusus

3. Poduk merupakan oleh-oleh khas

4. Bantuan peralatan dari pemerintah

5. Kelemahan dari produk pesaing

1. Permintaan produk fluktuatif

2. Program pemerintah belum kontinu

3. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan

4. Teknologi konvensional

5. Proses produksi tergantung cuaca

Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 37 di atas merupakan hasil pemberian bobot dan rating pada

matriks EFE berdasarkan faktor-faktor eksternal yang ada pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Skor merupakan perkalian antara bobot dan rating. Berdasarkan matriks EFE di atas diketahui bahwa peluang utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah produk merupakan oleh- oleh khas, yang ditetapkan berdasarkan nilai skor tertinggi. Begitu pula dengan kelemahan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, yaitu teknologi konvensional.

Nilai kumulatif/total matriks EFE pada pengembangan agroindustri pengolahan mete menurut Tabel 37 adalah 2,5375. Menurut David (2009) nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete memiliki posisi eksternal yang cukup kuat (lebih dari 2,5), hal tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha pengolahan mete dapat merespon secara baik peluang dan ancaman yang ada.

commit to user

Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri digunakan analisis matriks SWOT. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi oleh suatu usaha dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis SWOT digambarkan ke dalam matriks SWOT dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahan- peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 38 berikut :

commit to user

Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

Strengths (S)

1. Ketersediaan modal 2. Adanya variasi produk

dan harga

3. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan

4. Ketersediaan bahan baku 5. Produk lebih unggul dari

wilayah lain

6. Produk tahan lama 7. Pengalaman usaha

Weakness (W) 1. Pencatatan keuangan belum rapi 2. Kemasan masih sederhana 3. Pembelian bahan baku

memerlukan biaya besar 4. Belum ada pengelolaan limbah 5. Manajemen masih lemah/kurang 6. Tenaga kerja musiman Opportunities (O) 1. Kondisi sosial budaya mendukung karena merupakan sentra usaha

2. Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus

3. Produk merupakan oleh-oleh khas 4. Bantuan peralatan dari pemerintah 5. Kualitas produk pesaing lebih rendah

Strategi S-O

1. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar (S2,S3,S5,O1,O2,O3,O5)

2. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk (S1,S4,S5,S6,S7,O1,O4,O 5)

Strategi W-O 1. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi (W3,W5,W6, O1,O2,O3)

2. Meningkatkan kemampuan manajemen; mengupayakan kemasan yang lebih marketable (W1,W2,W5, O1,O2,O3)

Threats (T) 1. Permintaan produk fluktuatif 2. Program pemerintah belum kontinu 3. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan

4. Teknologi konvensional 5. Produksi tergantung kondisi cuaca

Strategi S-T

1. Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan (S1, S7, T2, T4)

2. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan (S2,S3,S4,S5,S6, T1,T3,T5)

Strategi W-T 1. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah (W4, T2, T3, T4)

2. Meningkatkan jaringan pemasaran (W2,W3, T1, T5)

Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel matriks SWOT, alternatif strategi yang diperoleh dan dapat diterapkan pada agroindustri pengolahan mete adalah sebagai berikut:

1. Strategi S-O, yaitu strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

a. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar.

commit to user

untuk meningkatkan kuantitas dan kalitas produk.

2. Strategi W-O, yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

a. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi

b. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan yang lebih marketable.

3. Strategi S-T, yaitu strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

a. Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan.

b. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan

4. Strategi W-T, yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

a. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah

b. Meningkatkan jaringan pemasaran.

F. Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri

Untuk menentukan prioritas strategi dalam industri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri menggunakan analisis Matriks QSP. Matriks QSP digunakan untuk memilih strategi terbaik yang paling cocok dengan lingkungan eksternal dan internal. Alternatif strategi yang memiliki nilai total daya tarik terbesar merupakan strategi yang paling baik. Pemberian bobot dan nilai dalam agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 39 di bawah ini.

commit to user

commit to user

commit to user

masing strategi yang dihasilkan sebagai berikut

1. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar (5,075) Distributor dan pelanggan merupakan mitra yang sangat penting bagi pemasaran produk kacang mete. Oleh karena itu hubungan yang sudah terjalin antara pelaku usaha, distributor dan pelanggan harus tetap dijaga dan diperkuat lagi misalnya dengan memberikan bonus ataupun potongan harga, dan yang paling utama adalah menjaga kualitas agar distributor dan pelanggan tidak berpindah ke tempat lain.

2. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk (5,975) Bantuan fasilitas dari pemerintah, yang berupa kacip ceklok dan terutama kemudahan bantuan pinjaman modal merupakan suatu kekuatan yang penting bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses produksi. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu mengoptimalkan kesempatan ini sebaik-baiknya, mengingat prospek usaha ini cukup bagus dalam memberikan nilai tambah dan sumber penghasilan (berdasarkan hasil analisis usaha) kepada para pelaku usaha, sehingga pelaku usaha tidak perlu khawatir jika tidak bisa membayar cicilan.

3. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi (4,475) Bahan baku merupakan hal yang paling penting dalam suatu agroindustri, sehingga demi kelancaran kegiatan produksi dapat terus berlangsung maka agroindustri pengolahan mete harus memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan pembayaran yang tepat waktu. Kuatnya hubungan antara pelaku usaha dan pemasok dapat memastikan pemasok akan terus memasok bahan baku pada masa panen selanjutnya. Begitu pula dengan tenaga kerja, mengingat pada agroindustri pengolahan mete ini tenaga kerja bersifat musiman, tidak tersedia sepanjang waktu dan ada

commit to user

denga tenaga kerja dapat diperkuat dengan memberikan bonus atau tunjangan hari raya.

4. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan yang lebih marketable dan pelabelan produk (5,125) Kemampuan manajemen merupakan salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh para pelaku usaha, walaupun bukan faktor utama dalam pengembangan agroindustri. Dengan kemampuan manajemen yang baik, pelaku usaha dapat mengelola usahanya secara rapi, baik secara administrasi maupun secara teknis. Salah satu cara peningkatan kemampuan manajemen adalah dengan mengupayakan kemasan yang lebih marketable dan pelabelan produk. Kemasan dan pelabelan yang baik akan lebih memperkuat keyakinan konsumen terhadap produk yang akan dibeli, apalagi kalau dilengkapi dengan surat ijin usaha ataupun sertifikasi. Dalam usaha ini, juga diperlukan perbaikan dalam hal perencanaan produksi, sehingga tidak ada kejadian kehabisan bahan baku saat musim panen masih lama atau sebaliknya, bahan baku masih sangat melimpah padahal musim panen sudah dekat.

5. Meningkatkan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan (4,3375) Sinergisitas antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan tidak dipungkiri merupakan faktor yang cukup penting dalam pengembangan suatu usaha, karena program-program yang akan dijalankan menjadi lebih tepat sasaran. Dengan hubungan yang baik, juga akan mempermudah akses fasilitas dan permodalan. Begitu pula antara pemerintah kabupaten dan kecamatan, perlu ada komunikasi yang lebih efektif dalam rangka pengelolaan dan pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ini.

6. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan (6,1625)

Kualitas produk merupakan salah satu pertimbangan yang dipakai oleh konsumen dalam mengkonsumsi atau membeli suaatu produk. Oleh

commit to user

produk, kualitas menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Upaya peningkatan kualitas produk dapat dilakukan dengan menyeleksi bahan baku yang digunakan serta menetapkan standard dalam proses produksi.

7. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru melalui bantuan penyuluhan dari pemerintah (5,9375)

Salah satu tujuan dari upaya pengelolaan limbah sendiri adalah untuk meningkatkan penerimaan yang diterima oleh pelaku usaha. Tentu saja hal ini memerlukan sumber daya manusia dan teknologi yang memadai. Begitu juga dengan pengenalan teknologi baru dalam pengolahan mete, diharapkan dapat menarik minat pelaku usaha dan dapat mengurangi biaya produksi. Untuk mewujudkan hal ini, sangat diperlukan bantuan dari dinas terkait sebagai penggerak dan penentu kebijakan. Kedua hal tersebut dapat diwujudkan melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilaksanakan secara berkesinambungan.

8. Meningkatkan jaringan pemasaran (5,8875) Jaringan pemasaran dapat diperkuat dengan menjaga hubungan dan loyalitas dari pengepul dan pelanggan serta meningkatkan kualitas produk, sehingga diharapkan pengepul dan pelanggan dapat membawa jaringan pemasaran baru bagi pelaku usaha. Loyalitas dan kepuasan pedagang pengepul pelanggan akan membawa manfaat tersendiri bagi pelaku usaha. Biasanya, jika seseorang puas akan pelayanan ataupun kualitas produk yang dibelinya, dia akan menceritakannya kepada orang-orang di sekitarnya. Hal ini juga akan berlaku dalam usaha pengolahan mete ini, jika kualitas produk terus dijaga, diharapkan akan menimbulkan kepuasan bagi yang membelinya, dan selanjutnya akan membawa jaringan pemasaran baru bagi usaha.

Prioritas strategi ditentukan berdasarkan jumlah nilai daya tarik yang tertinggi. Dari hasil perhitungan matriks QSP dengan mengalikan bobot masing-masing faktor dengan nilai daya tarik dihasilkan total nilai daya tarik

yang terpilih adalah strategi ke 6 yaitu meningkatkan kualitas produk yang

commit to user

Kabupaten Wonogiri karena memiliki jumlah total nilai daya tarik yang tertinggi.

Secara umum, berdasarkan hasil observasi dan pembahasan mengenai agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, peneliti mendapatkan gambaran umum agroindustri ini. Usaha ini merupakan usaha yang sebagian besar berskala mikro dengan keterbatasan akses terhadap berbagai hal. Kelemahan dalam hal manajemen, baik dalam hal perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan produksi, serta evaluasi terhadap yang dihasilkan dan pasca produksi, menyebabkan pelaku usaha sulit mendapatkan akses kepada lembaga keuangan sehingga modal yang dimiliki untuk usaha ini menjadi terbatas. Selama ini pinjaman modal berasal dari PNPM yang jumlahnya tidak besar, berkisar antara Rp 2.000.000,00-Rp 3.000.000,00 per tahunnya, yang tidak bisa untuk membeli bahan baku dalam jumlah besar saat masa panen jambu mete.

Keadaan modal pelaku usaha berskala mikro ini akan sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan usaha berskala kecil yang dapat mengakses modal ke bank hingga puluhan juta per tahunnya, sehingga bisa menampung bahan baku dalam jumlah besar, produk yang dihasilkan akhirnya juga lebih banyak. Keterbatasan modal juga akan berpengaruh terhadap teknologi yang digunakan pelaku usaha dalam proses produksi pengolahan mete. Teknologi yang digunakan akan berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Mayoritas pelaku usaha berskala mikro, tidak memiliki rumah produksi tersendiri untuk pengolahan mete sehingga tidak memiliki lokasi khusus untuk penjemuran kacang mete. Berbeda dengan pelaku usaha berskala kecil dan pabrik yang sudah memiliki lokasi khusus untuk pengolahan mete, bahkan pengeringannnya pun sudah menggunakan oven. Hal ini sedikit banyak akan memberi jarak terhadap kualitas produk pelaku usaha berskala mikro yang tidak dapat mencapai standar kualitas kacang mete seperti yang bisa dicapai pelaku usaha skala kecil dan pabrik.

Pelaku usaha pengolahan mete skala kecil biasanya menyetorkan produk kepada pabrik karena kuantitas yang dihasilkan tidak besar sehingga akan sulit untuk memasarkan sendiri. Sementara itu, standar kualitas antara keduanya

commit to user

karena itu, usaha mikro pun memiliki posisi tawar yang rendah terhadap produk yang mereka hasilkan. Harga produk ditentukan oleh pabrik yang jauh di bawah harga pasaran dan mau tidak mau mereka harus menerima itu.

Prioritas strategi yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, akan sangat sesuai untuk pelaku usaha berskala mikro. Untuk meningkatkan kualitas, pelaku usaha dapat mencari informasi mengenai pengolahan mete dan teknologinya, serta mengenai standar kualitas produk yag diinginkan konsumen, karena konsumen biasanya lebih memilih produk dari pabrik. Setelah mendapatkan informasi, pelaku usaha bisa berupaya untuk memperbaiki proses produksi kacang mete yang dilaksanakan dengan mengoptimalkan fasilitas dan teknologi yang dimiliki sehingga memperbaiki dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, dan meningkatkan posisi tawarnya terhadap pabrik. Untuk pelaku usaha skala kecil yang sudah memiliki jaringan pemasaran tersendiri, strategi yang dapat diterapkan memperkuat hubungan yang telah dijalin dengan beberapa stakeholder, yakni distributor, pelanggan, pemasok bahan baku, dan tenaga kerja.

commit to user

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Keragaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:

a. Rata-rata keuntungan responden pelaku usaha pengolahan mete skala mikro setiap bulannya adalah Rp 1.348.229,20. Sedangkan rata-rata keuntungan responden usaha pengolahan mete skala kecil adalah Rp 4.571.577,73. Dan rata-rata keuntungan yang diterima responden untuk per kilogram kacang mete yang dihasilkan adalah Rp 18.145,37.

b. Bahan baku utama dalam agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah gelondong mete yang diperoleh dari pedagang pengepul.

c. Proses produksi dari agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah penejemuran gelondong; pengupasan kulit gelondong dan pemisahan kacang dari gelondong; penjemuran kacang mete; pengupasan kulit ari; sortasi kacang mete.

d. Pengemasan kacang mete bertujuan untuk menghindari kerusakan dan mempermudah pemasaran. Pengemasan menggunakan plastik kemasan

25 kg dan 1 kg.

e. Pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dapat dikatakan cukup mudah, karena masing-masing pelaku usaha memiliki distributor.

f. Sarana-prasarana yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete diantaranya adalah rumah produksi, sarana transportasi, lembaga keuangan, kacip, timbangan, tungku, seng, dan pisau.

100

commit to user

pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:

a. Kekuatan yang ada di agroindustri pengolahan mete adalah kemudahan pinjaman modal dari lembaga keuangan, pemasaran produk mudah, memiliki distributor/pelanggan tetap, bahan baku mudah didapat, produk lebih unggul dari wilayah lain, produk tahan lama, dan pengalaman usaha.

b. Kelemahan yang ada agroindustri pengolahan mete adalah pencatatan keuangan belum rapi, kemasan dan pelabelan masih sederhana, bahan baku hanya tersedia saat musim panen, belum ada pengelolaan limbah, manajemen masih kurang/lemah, tenaga kerja musiman.

3. Kondisi faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan aancaman dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:

a. Peluang pada pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah kondisi lingkungan mendukung karena merupakan sentra usaha, produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus, produk merupakan oleh-oleh khas, bantuan peralatan dari pemerintah, dan kelemahan dari produk pesaing.

b. Ancaman pada pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah harga produk fluktuatif, program pemerintah tidak kontinu, teknologi konvensional, tidak ada kerjasama dalam pemerintahan, dan produksi tergantung cuaca.

4. Alternatif strategi pengembangan yang dapat diterapkan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:

a. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar

b. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal

untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk

commit to user

untuk menjaga keberjalanan proses produksi

d. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan yang lebih marketable

e. Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan.

f. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan

g. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah

h. Meningkatkan jaringan pemasaran

5. Prioritas strategi dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Untuk pelaku usaha skala mikro dapat ditempuh dengan memperdalam pengetahuan tentang pengolahan mete, teknologi, dan standar kualitas, dan memperkuat hubungan dengan stakeholder terkait untuk pelaku usaha skala kecil.

B. SARAN

Saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut

1. Untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas mutu produk yang dihasilkan, maka pengusaha perlu lebih memperdalam pengetahuan, teknologi dan informasi mengenai pengolahan kacang mete dan secara bersamaan upaya ini juga perlu didukung oleh instansi pemerintahan terkait seperti Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan Dinas Pertanian.

2. Untuk meningkatkan produksi yang ada diharapkan adanya transfer teknologi melalui penyuluhan-penyuluhan secara berkala dan pengenalan teknologi tepat guna sehingga proses produksi lebih efisien.

3. Untuk memperbaiki dan mendapat harga yang baik di tingkat pengolah, pelaku usaha perlu mencari informasi harga secara reguler baik dari dinas terkait, pelaku usaha lainnya maupun pedagang atau pengepul di kota besar yang menjadi tujuan pemasarannya selama ini.

commit to user

diharapkan akan lebih menarik minat konsumen untuk membeli produk kacang mete yang dihasilkan oleh para pelaku usaha. Di samping itu, dengan adanya pelabelan menunjukkan produk sudah mendapat ijin dan sertifikasi sehingga konsumen akan lebih yakin untuk membeli produk.