PEKERJAAN BETON

BAB IV PEKERJAAN BETON

4.1. Material Penyusun Beton

Beton dihasilkan dari sekumpulan interaksi mekanis dan kimiawi sejumlah material pembentuknya (Nawy, 1985:8). Sehingga untuk memahami dan mempelajari perilaku beton, diperlukan pengetahuan tentang karakteristik masing – masing komponen pembentuknya. Bahan pembentuk beton terdiri dari campuran agregat halus dan agregat kasar dengan air dan semen sebagai pengikatnya.

4.1.1 Agregat Pada beton biasanya terdapat sekitar 70% sampai 80 % volume agregat terhadap volume keseluruhan beton, karena itu agregat mempunyai peranan yang penting dalam propertis suatu beton (Mindess et al., 2003). Agregat ini harus bergradasi sedemikian rupa sehingga seluruh massa beton dapat berfungsi sebagai satu kesatuan yang utuh, homogen, rapat, dan variasi dalam perilaku (Nawy, 1998).

Sifat-sifat Agregat sangat berpengaruh pada mutu campuran beton. Untuk menghasilkan beton yang mempunyai kekuatan seperti yang diinginkan, maka sifat-sifat agregat harus diketahui dan diuji. Sifat-sifat tersebut antara lain :

1. Serapan air Serapan air dihitung dari banyaknya air yang mampu diserap oleh

agregat pada kondisi Jenuh Permukaan Kering (JPK) atau Saturated Surface Dry (SSD).

2. Kadar air Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam suatu agregat.

Kadar air di dalam pasir dapat diukur dengan cara sebagai berikut : Timbangan pasir sebanyak 500 gram, keringkan pasir tersebut dengan memasukannya ke dalam oven sampai tidak berkurang beratnya.

Kadar air = x 100% (4.1)

Dalam hitungan campuran adukan beton dipakai berat satuan pasir untuk tingkat jenuh kering permukaan karena tidak menambah ataupun mengurangi jumlah air ke dalam campuran.

3. Berat jenis dan Daya serap agregat Berat jenis digunakan untuk menentukan volume yang diisi oleh

agregat. Berat jenis pada agregat pada akhirnya akan menentukan berat jenis dari beton sehingga secar langsung menentukan banyaknya campuran beton. Hubungan antara berat jenis dengan daya serap adalah jika semakin tinggi nilai berat jenis agregat maka semakin kecil daya serap air agregat tersebut. Dalam hitungan Kadar air sering pula dipakai berat jenis pasir jenuh kering permukaan yang diperoleh dengan rumus:

Bj =

(' ))

dimana :

A = berat pasir jenuh kering permukaan

B = berat pasir dalam air

4. Gradasi agregat Gradasi agregat adalah distribusi ukuran dari batuan. Bila butir-butir

batuan mempunyai ukuran yang sama (seragam) volume pori akan besar. Sebaliknya bila ukuran butir-butirnya bervariasi akan terjadi volume pori yang kecil. Hal ini karena butiran yang kecil mengisi pori diantara butiran yang lebih besar, sehingga pori-porinya menjadi sedikit, dengan kata lain kemampatannya tinggi, karena volume porinya sedikit, dan ini bearti hanya membutuhkan bahan ikat sedikit (bahan ikat mengisi pori antara butir-butir batuan, bila volume pori sedikit bearti bahan ikat sedikit pula). SK.SNI T-15-1990-03 memberikan syarat-syarat untuk agregat halus, dimana agregat halus dikelompokan dalam empat zone (daerah) yaitu: batuan mempunyai ukuran yang sama (seragam) volume pori akan besar. Sebaliknya bila ukuran butir-butirnya bervariasi akan terjadi volume pori yang kecil. Hal ini karena butiran yang kecil mengisi pori diantara butiran yang lebih besar, sehingga pori-porinya menjadi sedikit, dengan kata lain kemampatannya tinggi, karena volume porinya sedikit, dan ini bearti hanya membutuhkan bahan ikat sedikit (bahan ikat mengisi pori antara butir-butir batuan, bila volume pori sedikit bearti bahan ikat sedikit pula). SK.SNI T-15-1990-03 memberikan syarat-syarat untuk agregat halus, dimana agregat halus dikelompokan dalam empat zone (daerah) yaitu:

: Pasir kasar

b. Daerah Gradasi I

: Pasir agak kasar

c. Daerah Gradasi I

: Pasir halus

d. Daerah Gradasi I

: Pasir agak halus

Tabel 4.1. Syarat Batas Gradasi Pasir Lubang

Berat Tembus Komulatif (%)

ayakan Zone I

Zone II

Zone III

Zone IV

(mm) Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah Atas

5. Modulus halus butir Modulus halus butir adalah suatu indek yang dipakai untuk mengukur kehalusan atau kekerasan butir-butir agregat. Modulus halus butir

didefinisikan sebagai jumlah persen komulatif dari butir agregat yang tertinggal diatas suatu set ayakan kemudian nilai tersebut dibagi dengan seratus (Ilsley, 1942:232). Susunan lubang ayakan itu sebagai berikut : 38 mm, 19 mm, 9.6 mm, 4.8 mm, 2.4 mm, 1.2 mm, 0.6 mm,

0.3 mm, dan 0.15 mm. Makin besar nilai modulus halus menunjukan bahwa makin besar butir-butir batuannya. Pada umumnya pasir dapat dikelompokan menjadi tiga macam tingkat kehalusan, yaitu :

a. Pasir halus : dengan modulus halus butir 2,2 – 2,6

b. Pasir sedang : dengan modulus halus butir 2,6 – 2,9

c. Pasir kasar : dengan modulus halus butir 2,9 – 3,2 Adapun modulus halus kerikil diantara 5 dan 8.

Modulus halus butir selain untuk menjadi ukuran kehalusan butir juga dapat dipakai untuk mencari nilai perbandingan berat antara pasir dan kerikil, bila kita akan membuat campuran beton. Modulus halus butir batuan dari campuran pasir dan kerikil untuk bahan pembuat beton berkisar antara 5 dan 6,5. Hubungan antara modulus halus butir pasir dan dengan modulus halus butir kerikil dan dengan modulus halus butir campurannya dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

W=

x 100% (4.3)

Dimana : W = persentase berat pasir terhadap kerikil K = modulus halus butir kerikil P = modulus halus butir pasir

C = modulus halus butir campuran Misalnya dari hasil pemeriksaan pasir dan kerikil diperoleh dengan modulus halus butir pasir dan kerikil berturut-turut 2,5 dan 7,4. Diinginkan modulus halus butir campurannya sebesar 5,8 maka dapat dihitung :

Berat pasir terhadap kerikil sebesar 49% atau dapat dikatakan perbandingan antara berat pasir dengan kerikil sebesar 49 : 100. Cara menentukan perbandingan dengan rumus ini dapat dipakai, akan tetapi hasilnya masih harus digambarkan dengan diagram gradasi, karena nilai modulus halus butir tidak menggambarkan variasi besar butir yang diteliti. Jadi sebaiknya rumus ini hanya dipakai untuk menentukan perbandingan pasir dan kerikil secara kasar saja sebelum memulai hitungan gradasi campuran yang menggunakan tabel-tabel dan diagram gradasi.

Jenis agregat digolongkan dua macam, yaitu sebagai berikut:

1. Agregat halus (pasir alami dan buatan) Agregat halus disebut pasir, baik berupa pasir alami yang diperoleh

langsung dari sungai atau tanah galian, atau dari hasil pemecahan batu. Agregat halus adalah agregat dengan ukuran butir lebih kecil dari 4,75 mm (ASTM C 125 – 06). Agregat yang butir-butirnya lebih kecil dari 1,2 mm disebut pasir halus, sedangkan butir-butir yang lebih kecil dari 0,075 mm disebut silt, dan yang lebih kecil dari 0,002 mm disebut clay (SK SNI T-15-1991-03). Persyaratan mengenai proporsi agregat dengan gradasi ideal yang direkomendasikan terdapat dalam standar ASTM C 33/ 03 “Standard Spesification for Concrete Aggregates”. Menurut SK SNI S 04 1989 F : 8 disebutkan mengenai persyaratan pasir atau agregat halus yang baik sebagai bahan bangunan sebagai berikut :

a. Agregat halaus harus terdiri dari butiran yang tajam dan keras dengan indeks kekerasan < 2,2.

b. Sifat kekal apabila diuji dengan larutan jenuh garam sulfat sebagai berikut :

• Jika dipakai natriun sulfat bagian hancur maksimal 12% • Jika dipakai magnesium sulfat bagian halus maksimal 10% • Tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5% dan apabila

apabila pasir mengandung lumpur lebih dari 5% maka pasir harus dicuci.

• Pasir tidak boleh mengandung bahan-bahan organik terlalu banyak, yang harus dibuktikan dengan percobaan warna dari

Abrans-Harder dengan larutan jenuh NaOH 3% • Susunan besar butir pasir mempunyai modulus kehalusan

antara 1,5 sampai 3,8 dan terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam.

• Untuk beton dengan tingkat keawetan yang tinggi reaksi pasir terhadap alkali harus negatif.

• Pasir laut tidak boleh digunakan sebagai agregat halus untuk semua mutu beton kecuali dengan petunjuk dari lembaga

pemerintahan bahan bangunan yang diakui. • Agregat halus yang digunakan untuk plesteran dan spesi

terapan harus memenuhi persyaratan pasir pasangan.

Tabel 4.2. Gradasi Saringan Ideal Agregat Halus Diameter Saringan

Gradasi Ideal (mm)

Persen Lolos

5 (Sumber: ASTM C 33/ 03)

0 - 10

2. Àgregat kasar (kerikil atau batu pecah) Menurut ASTM C 33 - 03 dan ASTM C 125 - 06, agregat kasar adalah

agregat dengan ukuran butir lebih besar dari 4,75 mm. Ketentuan mengenai agregat kasar antara lain :

a. Harus terdiri dari butir – butir yang keras dan tidak berpori.

b. Butir – butir agregat kasar harus bersifat kekal, artinya tidak pecah atau hancur oleh pengaruh – pengaruh cuaca, seperti terik matahari dan hujan.

c. Tidak boleh mengandung zat alkali atau zat-zat yang dapat merusak beton, seperti zat – zat yang relatif alkali.

d. Tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1 %. Apabila kadar lumpur melampaui 1 %, maka agregat kasar harus dicuci.

e. Ukuran maksimal kerikil beton adalah 30 mm dan ukuran minimal adalah 6 mm.

Persyaratan mengenai proporsi gradasi saringan untuk campuran beton berdasarkan standar yang direkomendasikan ASTM C 33/ 03 “Standard Spesification for Concrete Aggregates” (lihat Tabel 3.1). Dan standar pengujian lainnya mengacu pada standar yang direkomendasikan pada ASTM.

Tabel 4.3. Gradasi Saringan Ideal Agregat Kasar Diameter Saringan

Gradasi Ideal (mm)

Persen Lolos

2,5 (Sumber: ASTM C 33/ 03)

4.1.2 Semen (Portland Cement) Portland cement merupakan bahan pengikat utama untuk adukan beton dan pasangan batu yang digunakan untuk menyatukan bahan menjadi satu kesatuan yang kuat. Jenis atau tipe semen yang digunakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kuat tekan beton, dalam hal ini perlu diketahui tipe semen yang distandardisasi di Indonesia. Menurut ASTM C150, semen Portland dibagi menjadi lima tipe, yaitu : Tipe I

: Ordinary Portland Cement (OPC), semen untuk penggunaan umum, tidak memerlukan persyaratan khusus (panas hidrasi, ketahanan terhadap sulfat, kekuatan awal).

Tipe II : Moderate Sulphate Cement, semen untuk beton yang tahan terhadap sulfat sedang dan mempunyai panas hidrasi sedang. Tipe III : High Early Strength Cement, semen untuk beton dengan kekuatan awal tinggi (cepat mengeras)

Tipe IV : Low Heat of Hydration Cement, semen untuk beton yang memerlukan panas hidrasi rendah, dengan kekuatan awal rendah.

Tipe V : High Sulphate Resistance Cement, semen untuk beton yang tahan terhadap kadar sulfat tinggi.

Selain semen Portland di atas, juga terdapat beberapa jenis semen lain :

1. Blended Cement (Semen Campur) Semen campur dibuat karena dibutuhkannya sifat-sifat khusus yang

tidak dimiliki oleh semen portland. Untuk mendapatkan sifat khusus tersebut diperlukan material lain sebagai pencampur. Jenis semen campur :

a. Portland Pozzolan Cement (PPC)

b. Semen Mosonry

c. Portland Composite Cement (PCC)

2. Water Proofed Cement Water proofed cement adalah campuran yang homogen antara semen

Portland dengan “Water proofing agent”, dalam jumlah yang kecil.

3. White Cement (Semen Putih) Semen putih dibuat untuk tujuan dekoratif, bukan untuk tujuan konstruktif.

4. High Alumina Cement High alumina cement dapat menghasilkan beton dengan kecepatan

pengerasan yang cepat dan tahan terhadap serangan sulfat, asam akan tetapi tidak tahan terhadap serangan alkali.

5. Semen Anti Bakteri Semen anti bakteri adalah campuran yang homogen antara semen

Portland dengan “anti bacterial agent” seperti germicide. (Sumber : http://en.wikipedia.org )

4.1.3. Air Fungsi dari air disini antara lain adalah sebagai bahan pencampur dan pengaduk antara semen dan agregat. Pada umumnya air yang dapat diminum memenuhi persyaratan sebagai air pencampur beton, air ini harus bebas dari padatan tersuspensi ataupun padatan terlarut yang terlalu banyak, dan bebas dari material organik (Mindess et al.,2003).

Persyaratan air sebagai bahan bangunan, sesuai dengan penggunaannya harus memenuhi syarat menurut Persyaratan Umum Bahan Bangunan Di Indonesia (PUBI-1982), antara lain :

1. Air harus bersih dan bening, tidak bewarna dan tidak berasa.

2. Tidak mengandung lumpur, minyak dan benda terapung lainnya yang dapat dilihat secara visual.

3. Tidak boleh mengandung benda-benda tersuspensi lebih dari 2 gram / liter.

4. Tidak mengandung garam-garam yang dapat larut dan dapat merusak beton (asam-asam, zat organik dan sebagainya) lebih dari 15 gram /

liter. Kandungan klorida (Cl), tidak lebih dari 500 p.p.m. dan senyawa sulfat tidak lebih dari 1000 p.p.m. sebagai SO3.

5. Semua air yang mutunya meragukan harus dianalisa secara kimia dan dievaluasi.

4.1.4 Bahan tambah (Zat Additive) Bahan tambah (additive) ditambahkan pada saat pengadukan

dilaksanakan. Bahan tambah (additive) lebih banyak digunakan untuk penyemenan (cementitious), jadi digunakan untuk perbaikan kinerja. Ketentuan mengenai zat additive antara lain :

1. Pemakaian zat additive pada campuran beton untuk segala alasan yang berhubungan kemudahan dalam pengerjaan beton atau Workability harus disetujui oleh Konsultan PENGAWAS.

2. Penggunaan zat additive dalam campuran beton harus melalui proses penelitian dan percobaan dilaboratorium beton dengan biaya sendiri dari Kontraktor Pelaksana.

3. Kontraktor Pelaksana harus menunjukan standar, aturan, dan syarat yang berlaku secara umum mengenai zat additive yang akan dipakai.

4. Kerusakan dan kegagalan struktur akibat penggunaan zat additive yang dapat dibuktikan secara teknis sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor Pelaksana.

Menurut standar ASTM C 494/C494M – 05a, jenis bahan tambah kimia dibedakan menjadi tujuh tipe, yaitu :

a. water reducing admixtures

b. retarding admixtures

c. accelerating admixtures

d. water reducing and retarding admixtures

e. water reducing and accelerating admixtures

f. water reducing, high range and retarding admixtures admixtures

4.2. Perencanaan Campuran (Mix Design)

Tujuan utama mempelajari sifat – sifat beton adalah untuk perencanaan campuran (mix design), yaitu pemilihan bahan – bahan beton yang memadai, serta menentukan proporsi masing – masing bahan untuk menghasilkan beton ekonomis dengan kualitas yang baik (Antoni – P.Nugraha, 2007). Sedangkan tujuan utama dari perencanaan beton (mix design) adalah menentukan volume/kuantitas masing-masing bahan sehingga menghasilkan beton yang seekonomis mungkin. Secara umum faktor-faktor perencanaan campuran beton (Nugraha P., 1980), adalah :

1. Persyaratan :

a. Jenis struktur

b. Kondisi lingkungan

c. Kualitas material

d. Ukuran penampang

e. Koefisien variasi

2. Dasar perencanaan :

a. Kekuatan rencana

b. Ukuran butir terbesar b. Ukuran butir terbesar

d. Kelecakan (workability)

e. Ketahanan (durability)

f. Jenis admixture

3. Perhitungan :

a. Faktor air/semen

b. Jumlah air

c. Faktor semen/agregat

d. Perhitungan proporsi.

Dalam laporan ini, mix design dilaksanakan dengan menggunakan metode DOE (Department of Environment). Perencanaan dengan cara DOE dipakai sebagai standar perencanaan oleh Departemen Pekerjaan Umum di Indonesia dan dimuat dalam buku standar SK SNI T-15-1990. Pemakaian metode DOE karena metode ini yang paling sederhana dengan menghasilkan hasil yang akurat, diantaranya penggunaan rumus dan grafik yang sederhana.

Secara garis besar langkah perhitungan mix design cara DOE dapat diuraikan sebagai berikut :

1. menentukan kuat tekan rata-rata rencana (f’c)

2. faktor air semen

3. nilai slump

4. besar butir agregat maksimum

5. kadar air bebas

6. proporsi agregat

7. berat jenis agregat gabungan, dan

8. menghitung proporsi campuran beton.

4.3. Quality Control

4.3.1. Slump Test

1. Pemeriksaan kekentalan beton (kosistensi) harus dilakukan setiap beton dituangkan dari Concrete Mixer atau minimal setiap 3 m3 pekerjaan beton pada setiap mutu beton.

2. Pemeriksaan kekentalan beton dilakukan dengan metode Slump Test dimana nilai slump yang diperoleh harus sesuai dengan nilai slump

rencana yang ada pada Mix Disain.

3. Nilai slump = Tinggi alat slump – Tinggi beton setelah penurunan

4. Alat uji harus berupa sebuah cetakan yang terbuat dari bahan logam yang tidak lengket dan tidak bereaksi dengan pasta semen. Ketebalan logam tersebut tidak boleh lebih kecil dari 1,5 mm dan bila dibentuk

dengan proses pemutaran (spinning), maka tidak boleh ada titik dalam cetakan yang ketebalannya lebih kecil dari 1,15 mm.

Gamabr 4.1. Cetakan untuk Uji Slump (kerucut abram)

4.3.2. Benda Uji Beton

1. Kontraktor Pelaksana harus mengambil benda uji beton dalam bentuk kubus dan slinder standar. Ukuran kubus adalah 20x 20x20 cm dan

ukuran silinder tinggi 30 cm dan diameter 15 cm.

2. Benda uji beton harus diambil minimal 20 benda uji untuk setiap mutu beton yang berbeda atau minimal satu benda uji setiap 3 m3 beton

dalam satu kali pengecoran.

3. Pengambilan benda uji harus dilakukan secara acak dan selang seling antara satu campuran dengan campuran yang lain untuk mutu beton

yang sama.

4. Benda uji beton harus dirawat sampai berumur 28 hari.

5. Pada benda uji beton harus dicantumkan mutu beton, nama benda uji ,dan tanggal pengambilan benda uji yang tidak mudah hilang dan

luntur.

Gambar 4.2. Tanda Benda Uji Kuat Beton

4.3.3. Pemeriksaan Kuat Tekan Beton

1. Kontraktor Pelaksana harus melakukan pemeriksaan terhadap kuat tekan beton yang telah selesai mereka kerjakan minimal sebelum

pekerjaan pengecoran melebihi 50% dari total pekerjaan pengecoran.

2. Tujuan pemeriksaan kuat tekan beton adalah untuk mendapatkan Mutu Beton hasil pelaksanaan pekerjaan pengecoran lapangan.

3. Yang dimaksud dengan Mutu Beton adalah Kuat Tekan Karakteristik yang diperoleh dari hasil pemeriksaan kuat tekan benda uji kubus

ukuran 20 x 20 x 20 cm umur 28 hari dengan minimal 20 benda uji.

4. Pemeriksaan kuat tekan beton dilakukan di Laboratorium Beton dengan minimal 20 benda uji kubus atau silinder untuk setiap mutu

beton.

5. Pemeriksaan kuat tekan beton pada Laboratorium Beton oleh Kontraktor Pelaksana harus didampingi oleh Konsultan Pengawas. Pemeriksaan kuat tekan beton tanpa didampingi oleh Konsultan

Pengawas hasilnya dianggap tidak sah.

6. Semua biaya yang dikeluarkan untuk pekerjaan pemeriksaan kuat tekan beton ini dibebankan kepada Kontraktor Pelaksana.

7. Mutu Beton hasil pemeriksaan kuat tekan benda uji kubus yang kurang dari 95% dari Mutu Beton Rencana dianggap gagal dan beton yang telah selesai dikerjakan dilapangan harus dibongkar kecuali diputuskan

lain oleh Konsultan Perencana dengan disertakan Rekomendasi Ahli beton.

8. Kontraktor Pelaksana tidak diperbolehkan melanjutkan pekerjaan pengecoran beton jika hasil pemeriksaan kuat tekan beton

menghasilkan kuat tekan yang berbeda dengan kuat tekan beton rencana.

9. Perencanaan ulang untuk Mix Disain harus dilakukan oleh Kontraktor Pelaksana untuk beton yang gagal dalam uji kuat tekan jika dalam

pemeriksaan oleh Konsultan Pengawas bersama dengan Kontraktor Pelaksana kegagalan kuat tekan disebabkan oleh kesalahan dalam perencanaan campuran dan bukan karena kesalahan pada tahap pelaksanaan.

10. Pemeriksaan kuat tekan beton selain dengan uji tekan pada laboratorium beton harus disetujui oleh Konsultan Pengawas.

11. Laporan hasil pemeriksaan Mutu Beton harus disetujui oleh Konsultan Pengawas.

Gambar 4.3. Perkiraan Perkembangan Kekuatan Beton

4.3.4. Pemeriksaan Kuat Tekan Beton Dengan Cara Lain

1. Jika pemeriksaan Kuat Tekan Beton dengan cara Uji Tekan Kubus Beton hasilnya meragukan dan tidak disetujui oleh Konsultan

Perencana, Konsultan Pengawas atau Owner, maka cara pemeriksaan mutu beton dengan uji langsung pada konstruksi beton harus dilakukan.

2. Pemeriksaan mutu beton dengan uji langsung ke konstruksi beton jika tidak ditentukan khusus oleh Konsultan Perencana maka harus

dilakukan dengan salah satu metode seperti dibawah ini :

a. Metode Core Drill.

b. Metode Hammer Test.

3. Konsultan Perencana berhak menentukan metode mana yang akan dipakai untuk pemeriksaan kuat tekan beton langsung ke konstruksi

beton.

4. Posisi dan lokasi pengujian untuk masing-masing komponen struktur ditentukan oleh Konsultan Perencana atau Konsultan Pengawas

5. Jumlah titik pengujian jika tidak ditentukan oleh Konsultan Perencana, maka harus diambil minimal 10 titk untuk masing-masing

komponen struktur dan masing-masing mutu beton.

6. Data Kuat Tekan yang diperoleh dari hasil uji langsung kuat tekan pada konstruksi beton harus dikalkulasi kembali oleh Kontarktor

Pelaksana untk memperoleh Kuat Tekan karakteristik Beton (mutu beton).

7. Kuat Tekan Beton Karakteristik yang diperoleh dari uji langsung ke konstruksi beto adalah hasil final yang harus diakui oleh Konsultan

Perencana, Konsultan Pengawas, Kontraktor Pelaksana dan Owner. .

4.3. Bahan Capping

Pada saat pengujian compression, permukaan silinder beton haruslah rata sehingga gaya tekan menyebar di semua permukaan silinder beton tersebut. Untuk mendapatkan permukaan silinder beton yang rata diperlukan bahan tambahan yang disebut capping. Bahan capping yang biasa digunakan adalah belerang.

Bahan pembuatan belerang sebagai capping adalah dengan cara memanaskan bubuk belerang hingga mencair dan dituang ke alat cetak capping. Selanjutnya ujung permukaan silinder beton yang tidak rata di timpa ke alat cetak capping tersebut sampai belerang menutup ujung permukaan beton dan mengeras.

Selain belerang terdapat juga bahan capping lainnya yaitu topi baja dan teflon. Topi baja berupa pad elastomer yang dimasukkan ke dalam topi logam kaku yang berfungsi menahan atau mereduksi beban. Ukuran diameter topi baja 6 mm lebih besar dari diameter silinder beton. Sedangkan untuk penggunaan teflon dibentuk mengikuti bentuk permukaan benda uji. Teflon ini mempunyai dua jenis ketebalan yaitu 100 µm dan 50 µm.

(a)

(b) (c)

Gambar 4.4. Jenis capping, (a) belerang (b) topi baja dan (c) teflon

4.4. Karbonasi

Karbonisasi pada beton terjadi akibat unsur kalsium yang ada pada beton tercampur oleh karbon dioksida yang ada di udara dan berubah menjadi kalsium karbonat. Pasta semen mengandung 25-50% kalsium hidroksida (Ca(OH)2), dimana rata-rata nilai pH dari pasta semen segar setidaknya 12,5. Sedangkan nilai pH pasta semen yang terkarbonasi seluruhnya berkisar 7.

Beton akan terkarbonasi jika karbon dioksida dari udara atau dari air meresap ke dalam beton. Tingkat karbonasi tergantung dari porositas dan unsur kelembaban pada beton. Jika beton terlalu kering (RH<40%) CO2 tidak dapat larut dan karbonasi tidak terjadi. Sebaliknya jika beton terlalu basah (RH>90%) CO2 tidak dapat meresap ke dalam beton dan karbonasi Beton akan terkarbonasi jika karbon dioksida dari udara atau dari air meresap ke dalam beton. Tingkat karbonasi tergantung dari porositas dan unsur kelembaban pada beton. Jika beton terlalu kering (RH<40%) CO2 tidak dapat larut dan karbonasi tidak terjadi. Sebaliknya jika beton terlalu basah (RH>90%) CO2 tidak dapat meresap ke dalam beton dan karbonasi

Karbonasi sangat merugikan pada beton bertulang karena menyebabkan atau berhubungan langsung dengan proses korosi pada tulangan dalam beton dan proses penyusutan (shrinkage). Tetapi pada beton biasa, karbonasi menyebabkan peningkatan nilai kuat tekan maupun tarik. Sehingga tidak semua efek karbonasi itu merugikan. Untuk mengetahui secara cepat dimana beton mengalami karbonasi, dapat dilakukan dengan cara menuangkan/meneteskan cairan Phenolphthalein, yang biasa disebut Phenolphthalein indicator. Jika setelah dituang beton berwarna keunguan, maka beton tidak terkarbonasi. Tetapi jika tidak berwarna, maka beton telah terkarbonasi.

Gambar 4.5. Beton terkarbonasi