Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan Komunikasi Antar Budaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono Di Desa Bangorejo Banyuwangi)

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
(PENDEKATAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA TERHADAP
PEMENTASAN WAYANG KULIT KI YUWONO DI DESA
BANGOREJO BANYUWANGI)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Komunikasi Pernyiaran Islam (S.Kom.I)

Oleh:
Aldi Haryo Sidik
NIM: 109051000024

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 November 2014

Aldi Haryo Sidik

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH
(Pendekatan Komunikasi Antar Budaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono
di Desa Bangorejo Banyuwangi)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai

Gelar Sarjan Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Disusun Oleh :
Aldi Haryo Sidik
NIM : 109051000024
Di Bawah Bimbingan

Drs. M. Sungaidi, MA
NIP: 1960 08 03 1997 03 1006

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2014

LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan
Komunikasi Antarbudaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono

di Desa Bangorejo Banyuwangi telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa 23 Desember 2014. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 23 Desember 2014
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang

Sekretaris Sidang

Rachmat Baihaky, MA
NIP.19761129 200912 1 001

Fita Fathurokhmah, M.Si
NIP. 19830610 200912 2 001

Penguji I

Penguji II


Drs. Study Rizal, LK, MA
NIP.19640428 199303 1 002

Rachmat Baihaky, MA
NIP. 19761129 200912 1 001

Pembimbing

Drs. M. Sungaidi, MA
NIP. 19600803 199703 1 006

ABSTRAK
Aldi Haryo Sidik, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan
Komunikasi Antarbudaya Pada Pementasan Wayang Kulit Ki Yuwono di Desa
Bangorejo Banyuwangi) Pembimbing: Drs. M. Sungaidi, MA
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang
paling menonjol di anatara karya budaya lainnya di Indonesia. Budaya wayang
meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tuur, seni sastra, seni lukis, seni
pahat dan juga seni perlambangan. Wayang sebagai titik temu nilai budaya Jawa

dan Islam adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan
khasanah budaya Jawa. Wayang bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar
hiburan, juga merupakan alat komunikasi yang mampu menghubungkan kehendak
dalang lewat alur cerita, sehingga dapat menginformasikan ajaran-ajaran Islam.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk
menjawab pertanyaan mayor dan minor. Adapun mayornya adalah Bagaimana
akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono
di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur? Kemudian minornya Bagaimana
pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta
(framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit
dalang Ki Yuwono? Bagaimana faktor penghambat dan pendukung perilaku
komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di pementasan
wayang kulit Ki Yuwono?
Dilihat dari apa yang di teori kegunaan dan kepuasan (Uses and
Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan
menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak
yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber
media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya
pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.

Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskritif. Peneliti
menggambarkan dan menguraikan secara faktual apa yang dilihat dan ditemukan
dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk menghimpun, mengolah dan
menganalisa secara kualitatif dan terwujudkan dalam konsep. Sedangkan data
yang penulis peroleh dengan cara, observasi, wawancara, study dokumentasi.
Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil kebudayaan,
mempunyai kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyrakat
Indonesia sampai saat ini. Wayang kulit sudah mendarah daging bagi masyarakat
Jawa. Dalam pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak membawa
pengaruh bagi para penggemarnya dan masyarakat Jawa. Karena di dalam
pementasan atau pertunjukan wayang kulit banyak mengandung falsafah
kehidupan dan tata nilai yang luhur.
Keyword: Wayang, Akulturasi, Media, dan Dakwah

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberi kita begitu banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayah-Nya
kepada setiap makhluk ciptaan-Nya sehingga atas izin-Nya akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam kita haurkan kepada hamba Allah yang paling manis

tutur katanya, yang paling banyak sujudnya dan yang paling bijaksan kepada
umatnya, Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul
“Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Pendekatan Komunikasi Antar Budaya
Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Yuwono di Desa Bangorejo
Banyuwangi”.
Penelitian ini bukan semata-mata buah tangan sendiri, tetapi juga
merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Peneliti juga
merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan
karena keterbatasan penulis sebagai manusia, untuk itu saran dan kritikan yang
membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutkan tidak lupa peneliti haturkan
terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuannya, semoga
amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah SWT.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
i

1. Dr. H. Arief Subhan,MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi beserta Dr. Suparto, M. Ed, MA. Selaku Wakil

Dekan I, Drs.Jumroni, M.Si. selaku Wakil Dekan II, Drs. Wahidin
Saputra, M.A. selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi.
2. Rachmat Baihaky M.A, selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam dan Ibu Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam.
3. Dr. Armawati Arbi,M.Si, selaku dosen pembimbing akademik KPI A
2009, terima kasih atas ilmu, motivasi dan saran yang telah diberikan
kepada saya.
4.

Bapak Drs. Muhammad Sungaidi, MA selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan
memberikan pengarahan serta motivasi kepada peneliti sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan.

5. Dalang Ki Dwi Arto Yuwono yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan informasi kepada penulis.
6. Teristimewa untuk Orang Tua penulis Bapak H. Suyanto Sidik S.H
dan Ibu Hj. Sriwiyati yang saya cintai, terima kasih telah merawat,

mengajarkan segala hal positif dan membesarkan penulis serta telah
berupaya memberikan motivasi baik moril maupun material.
Terimakasih juga untuk do‟a yang selalu dipanjatkan untuk peneliti.
ii

Adik-adiku Aqmarina Fildzah Sidik dan Agib Bagaskara Sidik yang
selalu menghibur peneliti. Untuk keluarga besar Sidik yang di
Banyuwangi, terima kasih telah memberikan do‟a dan mempermudah
penulis untuk melakukan penyelesaian skripsi ini.
7. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, motivasi dan
waktunya untuk peneliti.
9. Untuk kawan-kawan KPI A 2009, yang telah menghibur, memberikan
motivasi serta menjadi teman diskusi. Untuk Sahabat-Sahabatku Rizqi
Rahayu Setiani, Iqbal Zulfahmi, Tri Amirullah, Fitri Hanani, Alyssa
Miratin, dan Ika Istiani yang selalu mendukung penulis dari awal
hingga akhir penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah menjadi teman
diskusi untuk penyeselesaian skripsi ini. Untuk keluarga besar LSO

KLISE FOTOGRAFI, yang telah memberikan do‟a, semangat, dan
dukungannya kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.
10. Semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi
rasa hormat. Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua
kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis.

iii

Semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Amin.

Jakarta, 15 Desember 2014

Peneliti

iv

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... i

Daftar Isi .............................................................................................................. v
BAB I

PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

BAB II

Latar Belakang ........................................................................ 1
Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................ 6
Tujuan Penelitian .................................................................... 6
Manfaat Penelitian .................................................................. 7
Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7
Kerangka Teori ....................................................................... 8
Metodologi Penelitian ............................................................. 9
Tahapan Penelitian ................................................................. 10
Sistematika Penelitian ............................................................ 12

TINJAUAN TEORITIS
A. Paradigma Penelitian ....................................................... 13
B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah .................................. 15
1). Ruang Lingkup Wayang ................................................... 15
2). Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit ....................... 18
3). Dalang Sebagai Juru Dakwah ........................................... 21
C. Ruang Lingkup Dakwah ........................................................ 28
1). Pengertian Dakwah ........................................................... 28
2). Bentuk-Bentuk Dakwah .................................................... 30
3). Unsur-Unsur Dakwah ....................................................... 31
D. Komunikasi Antar Budaya ..................................................... 38
1). Pengertian Komunikasi Antar Budaya ............................. 38
2). Bahasa Verbal dan Non-Verbal ........................................ 47
3). Akulturasi ......................................................................... 52
4). Peran Komunikasi Dalam Akulturasi ............................... 55

BAB III

PROFIL DALANG KI YUWONO, GAMBARAN UMUM
WAYANG KULIT DAN GAMBARAN UMUM DESA
BANGOREJO
A. Sejarah Hidup Ki Yuwono ..................................................... 63
B. Gambaran Umum Wayang ..................................................... 66
1). Pengertian Wayang ........................................................... 66
2). Jenis-Jenis Wayang ........................................................... 68
C. Desa Bangorejo Banyuwangi ................................................. 77
1). Gambaran Umum .............................................................. 77

v

2). Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat
Desa Bangorejo ................................................................ 79
BAB IV

ANALISIS WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH
A. Akulturasi Bahasa Dalam Pementasan Wayang Kulit ......... 82
B. Nilai Pesan Dakwah Dalam Pementasan Wayang Kulit ...... 88
C. Kearifan Lokal Jawa dan Islam Jawa .................................... 97

BAB V

KESIMPULAN
A. Kesimpulan ......................................................................... 102
B. Kritik dan Saran .............................................................. 104

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 107
LAMPIRAN ...................................................................................................... 111

vi

BAB I
Pendahuluan
A.

Latar Belakang
Sejarah adalah mata rantai kehidupan dan kita adalah bagian dari mata rantai

kehidupan tersebut. Hanya orang yang pandai menangkap semangat zaman, yang
akan menjadi pelita dan membuat kehidupan lebih bermakna. Maka sudah
sepatutnya setiap pribadi dari kita memperhatikan waktu dan lingkungannya. Hari
kemarin adalah pelajaran hari esok, hari ini adalah kenyataan dan hari esok adalah
harapan perjuangan untuk mewujudkan harapan. Hal ini dapat dimengerti karena
berbicara masalah sejarah tidak lepas dari tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu,
masa kini, dan masa yang akan datang.
Manusia pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup, yaitu
makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia memiliki
banyak tujuan dan cita-cita yang ingin dicapainya, di mana setiap individu
memiliki kebutuhannya sendiri dan juga berbeda satu dengan yang lain.
Sedangkan makhluk sosial, manusia tidak lepas dengan berinteraksi dengan yang
lain dan memiliki kehidupan yang dinamis bersama orang lain di sekitarnya
maupun di tempat yang lain.
Dalam proses perkembangan peradaban, suatu bangsa memiliki adat
kebiasaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut
merupakan suatu unsur yang terpenting dan dapat memberikan ciri serta identitas
diri bangsa yang bersangkutan.

1

2

Sebagai ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat, maka
masing-masing individu dan kelompok menunjukan local genius yang menjadi
ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat. Kedudukan local genius ini sentral,
karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang
datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.
Hilangnya atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian
suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan
berkembang menunjukan pula kepribadian suatu masyarakat itu. Dalam pada itu,
kita pun perlu menyadari bahwa hubungan dan pergaulan dengan masyarakat dan
bangsa lain akan menimbulkan akulturasi, di mana masing-masing masyarakat
saling memberikan dan menerima pengaruh. Suatu proses alkuturasi yang
akhrinya mendatangkan dominasi kebudayaan asing berarti memusnahkan local
genius sebagai pencerminan identitas budaya masyarakat setempat. 1
Kesenian merupakan salah satu hasil perwujudan dari sebuah kebudayaan,
berbagai corak ragam kesenian yang ada di Indonesia terjadi karena adanya
lapisan-lapisan budaya yang bertumpuk dari masa ke masa. Di samping itu
keanekaragaman kesenian di Indonesua juga terjadi karena adanya berbagai etnik
yang memiliki sistem budaya sendiri-sendiri. Setiap masyarakat memiliki ragam
kesinian, masyarakat Jawa memiliki ragam kesenian tersendiri dan tumbuh sesuai
dengan perkembangan budaya Jawa itu sendiri.
Dari sekian banyak jenis kesenian Jawa, seni pewayangan yang hidup sejak
ribuan tahun yang lalu. Seni pewayangan merupakan sebuah tuntutan hidup bagi

1

Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan; Suatu Pendekatan Filosofis,(Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).h.122

3

masyarakat Jawa, sarat akan kandungan nilai-nilai yang sampai sekarang masih
didambakan oleh masyarakat Jawa. 2
Pewayangan mempunyai andil besar dalam pengislaman masyarakat Jawa.
Sebetulnya wayang sendiri merupakan peninggalan agama Hindu. Namun para
Wali dapat berpikir rasional. Mereka sadar bahwa peertujukan wayang telah
berakar kuat di masyarakat dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja.
Sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai hiburan yang
mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun tuntunan. Penyampaian
ceritanya diselingi pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan,
sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya dapat meliputi segi
kepribadian, kepemimpinanan, kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Seringkali, ajaran-ajaran yang hendak disampaikan dalam kesenian wayang
kulit dikemas dalam bentuk pasemon, simbol atau perlambang, sehingga tentunya
untuk mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperlukan
penghayatan

secara

mendalam.

Nilai-nilai

ataupun

ajaran-ajaran

yang

disampaikannya itu sesuai dengan sosiokultural, kepribadian, dan pemikiran khas
masyarakat jawa sebagai sebuah masyarakat yang pertama kali menciptakan
kesenian wayang tersebut. Hal ini sudah menjadi kewajaran dalam masyarakat
jawa, sebab dalam setiap kali memahami filsafat, mereka memberikan suatu
pengertian bahwa berfilsafat adalah berarti cinta kesempurnaan (ngudi
kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, love of wisdom, sehingga
untuk menyampaikan suatu makna atau ajaran, seringkali cara penyampaiannya

2

Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, (Semarang: Dahara Prize,1993) h.iv

4

dengan menggunakan suatu simbol tertentu yang penuh penjiwaan, cipta, dan rasa
yang tinggi.3
Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang
patut menurut budayanya. Bahasa persahabatan, kebiasaan makan, praktek
komunikasi, tindakan-tindakan sosial, dan sebagainya, semua itu berdasarkan
pola-pola budaya.

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat.

Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalamn,
kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan
ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh
sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalaui usaha individu dan
kelompok.4Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan da‟i
atau pendakwah agar terciptanya individu, keluarga, dan masyarakat yang
menjadikan islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan
bahagia baik di dunia maupun di akhirat.5
Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif untuk
penyampaian pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya peninggalan
leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di masyarakat,
seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian nilai-nilai
luhur/moral, etika, dan relegius. Dari zaman kedatangan islam digunakan para
walisongo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.6

3

Ridin sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), h. 80.
4
Deddy Mulyana, Jalaludin Rakhmat Komunikasi Antar Budaya. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 1993,) h. 19
5
Rosid, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet . Ke-1, h.1
6
Hazim Amir, Nilai-nilai Etis dalam Wayang, (Jakarta: CV. Mulia Sari, 1991, Cet. Ke-1),
h. 16

5

Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbabagi
perwatakan yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada tokoh jahat adapula yang
baik. Ada yang melambangkan kejujuran, keadilan, kesucian, kepahlawanan,
tetapi ada pula melambangkan tetang angkara murka, keserakahan, ketidak
jujuran, dan lain sebagainya. Ada sifat dan perilaku tokoh yang patuh ditiru atau
dicontoh, tetapi ada pula sifat yang tak perlu untuk di ditiru atau dijauhi. Berbagai
perlambangan itu akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan kepribadian
diri, setidaknya untuk mawas diri.
Cerita wayang adalah menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan
yang ada dalam pementasan wayang kulit. Cerita dalam pewayangan tidak hanya
sebagai pertunjukan seni semata, juga berfungsi sebagai media dakwah atau
sebagai sarana untuk memyampaikan ajaran keagamaan. Sosok dalang
sesungguhnya bukan seorang juru penerang yang serba bisa, tetapi dituntut harus
bisa, tetapi berperan sebagai budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara
yang bisa mengartifikasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa.
Dalam pementasan wayang kulit di desa Bangorejo Banyuwangi ini menjadi
media yang masih digunakan dalam aktifitas berdakwah. Dengan kesenian budaya
dari leluhur sebagai media berdakwah yang dilakukan para ulama dan wali,
pementasan wayang di desa Bangorejo Banyuwangi sangat berperan penting bagi
nilai-nilai moral, etika dan religious.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis menyusun skripsi
dengan judul “WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Pendekatan
Komunikasi Antar Budaya Terhadap Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki
Yuwono di Desa Bangorejo Banyuwangi).

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberi arah yang tepat dalam
pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka
penelitian ini dibatasi hanya pada daerah

pementasan wayang kulit pada

masyarakat Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi saja agar tidak melebar luas ke
topik pembahasan yang lain.
2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitan ini adalah:
a. Bagaimana akulturasi narasi pakem Jawa Tengah pada pementasan
wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo Banyuwangi Jawa Timur?
b. Bagaimana pesan dakwah dikemas dalam kekuatan bahasa (signing),
kekuatan fakta (framing), dan kekuatan tata waktu (priming) pada
pementasan wayang kulit dalang Ki Yuwono?
c. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung perilaku
komunikasi antar budaya dalam penyampaian pesan dakwah di
pementasan wayang kulit Ki Yuwono?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini :
1. Peneliti ingin mengetahui model akulturasi narasi pakem Jawa Tengah
pada pementasan wayang kulit Ki Yuwono di desa Bangorejo
Banyuwangi Jawa Timur.

7

2. Peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang pesan dakwah dikemas
dalam

kekuatan bahasa (signing), kekuatan fakta (framing), dan

kekuatan tata waktu (priming) pada pementasan wayang kulit dalang Ki
Yuwono.
3. Peneliti ingin mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat
dalam penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang
kulit Ki Yuwono.

D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat akademis dari penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khazanah kajian
ilmu dakwah dan religius dengan kebudayaan lokal.
2. Diharapkan dapat menjadi masukan baru bagi aktivis dakwah, akademis
serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah untuk
menjadikan seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah.
b. Manfaat praktis :
Penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan kontribusi bagi
khazanah sejarah islam Indonesia. Untuk menambah literatur kebudayaan
yang berkaitan dengan sejarah islam yang berasal dari tanah Jawa ini.
E. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran koleksi skripsi pada Perpustakaan Utama
dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian mengenai analisis media

8

cetak memang sudah banyak yang diteliti khususnya di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi., diantaranya adalah seperti :
1.

“Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit Dalang
Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang” oleh Yogyasmara. P. Ardhi ,
Tahun 2010. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Dalam skripsi ini
yang lebih di ungkapkan menunjukan peranan pementasan wayang kulit dan
kebudayaan Jawa yang menjadi media dakwah.7

2.

“Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan” oleh Moh. Rois
Fathurohim, Tahun 2007. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Dalam skripsi
ini lebih menjelaskan wayang terhadap pendidikan moral, agama, dan
soisal.8
Namun, dari hasil penelusuran ini tidak membuat peneliti berhenti untuk

melanjutkan penelitian ini. Karena, ada beberapa hal yang peneliti anggap sebagai
kelebihan sekaligus pembeda dari penelitian yang lain. Salah satu perbedaannya
adalah penelitian ini merupakan cerita pewayangan yang disampaikan dan
berbeda tempat.
F. Kerangka Teori
Subjek dari penelitian ini adalah Ki Yuwono. Dan objek dari penelitian ini
adalah Pementasan Wayang Kulit di Bangorejo

Banyuwangi. Dengan

Teorikegunaan dan kepuasan (Uses and Grafications Theory) yang di perkenalkan
oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974), bahwa pengguna media memainkan
peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain,

7

Yogyasmara. P. Ardhi, Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit
Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang, 2010
8
Moh. Rois. Fathurohim, Pertunjukan Wayang Sebagai Media Pendidikan, 2007

9

pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna
media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha
memenuhi kebutuhannya, artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif
untuk memuaskan kebutuhannya.9Model yang di gunakan adalah S (Source) M
(Massage) C (Channel) R (Receiver), Menurut Berlo, dengan demikian proses
komunikasi dapat terjadi apabila empat komponen tersebut terdapat saling
hubungan, saling berproses dalam mewujudkan komunikasi yang dikehendaki.
Teori dasar komunikasi inilah yang melandasi munculnya Media Komunikasi.
Media Komunikasi menjadi dasar munculnya Media Belajar atau Media
Pembelajaran. Karena pada dasarnya proses pembelajaran adalah proses
komunikasi yang terjadi antara Sumber dan Penerima antara dalang dengan
penonton.
G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskritif
analisis

dengan

pendekatan

kualitatif.Metode

deskritif

yaitu,

metode

mengumpulkan, mengklafikasikan, menganalisis data yang menggambarkan
situasi keadaan dan hasil temuan lapangan yang bersifat non-hipotesis,
selanjutnya mendeskripsikan apa yang di lihat, di dengar, di rasakan, dan
ditanyakan. 10
Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta
tata cara yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian ini tidak menceritakan dan
menjelaskan hubungan, dan tidak menguji hipotesis. Deskriptif diartikan
9

Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan
Penelitian), (Bandung; ALFA BETA, 2005), cet. 1, h. 17.
10

10

melukiskan variabel demi variabel. Pada hakikatnya metode deskriptif
mengumpulkan data secara univariat. Karakteristik data diperoleh dengan ukuranukuran

kecenderungan

pusat

(central

tandency)

atau

ukuran

sebaran

(dispersion).11
Kirk dan Miller mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dar
pengamatan

pada

manusia

baik

dalam

kawasannya

maupun

dalam

peristilahannya.12 Kemudian Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan
metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskritif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.13

H. Tahapan Penelitian
1. Teknik Pengumpulan data
Ada pun teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitiam ini adalah :
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang terjadi terhadap gejalagejala yang diteliti. E.C. Wragg menjelaskan bahwa observasi yaitu
pengamatan secara sistematis dan analisa yang memegang peranan penting
untuk meramalkan tingkah laku sosial, sehingga hubungan antara satu
peristiwa dengan yang lainya menjadi jelas.14 Dalam pengumpulan data,

11

Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h.

41
12

Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1989), h.192
Masri Singarimbun, Op.Cit. h. 193
14
Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah, Dengan Pendekatan Kualitatif
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 8
13

11

peneliti datang langsung ke lapangan untuk memperoleh data untuk
pementasan wayang kulit Ki Yuwono.
b. Wawancara
Menurut

Subyantoro

dan

Suwarto,

“wawancara

merupakan

alat

pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya-jawab sepihak,
dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan penelitian”.15
Wawancara dilakukan dengan Ki Yuwono untuk mendapatkan keterangan
mengenai wayang kulit sebagai media dakwah di Desa Bangorejo.
c. Dokumentasi
Menurut Soehartono, “Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan
data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen
yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi.”16
Teknik ini digunakan sebagai sumber dan pelengkap penelitian.
2. Pengolahan data
Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Analisis Data
Tahap analisis data adalah tahap yang penting dan menentukan. Pada tahap
inilah data dikerjakan dan dimanfaatkan demikian rupa sampai berhasil
15

Arief Subyantoro dan FX. Suwarto, Metode dan Teknk Penelitian Sosial, (Yogyakarta,
ANDI, 2007), h.97
16
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: : Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2008), Cet.1. h.70.

12

menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.17
Analisis tersebut dilakukan terhadap data yang sudah diperoleh dengan
menggunakan teknik pengumpulan data yang digunakan. Setelah data
diperoleh, selanjutnya data dianalisis menggunakan analisis deskritif.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data ini adalah
sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Mereduksi data berarti membuat rangkuman, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, mencari tema dan pola, serta
membuang yang dianggap tidak penting.18 Reduksi data diperlukan
mengingat banyaknya data yang didapat selama melakukan penelitian.
Sehingga dalam melakukan analisis menjadi lebih mudah dan cepat.
b. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data
Pada langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun
secara sistematis dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut
kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang pesan-pesan
dakwah dalam pementasan wayang kulit Ki Yuwono.
I. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, peneliti menyusun penulisan
skripsi ini dengan lima bab, yang masing-masing terdiri dari beberapa sub bab,
yaitu:

17

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1991), Cet. XI, h. 264
18
Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan bagi Pengembang Profesi Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan, (Jakarta, Kencana, 2010), h.287

13

BAB I Penulis akan menjabarkan tentang Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian,
Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Penulis akan menjelaskan tentang paradigma penelitan pengertian
umum, ruang lingkup wayang kulit, pengertian wayang kulit, sejarah
perkembangan wayang kulit, macam-macam wayang kulit, dan ruang lingkup
dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah, materi dakwah, dan tujuan
dakwah. Ruang lingkup wayang kulit dan dalang sebagai juru dakwah.
BAB III mendeskrisipkan mengenai profil dalang Ki Yuwono yang terdiri
dari riwayat hidup, pendidikan, prestasi dan pengalaman beliau serta aktifitas
dalam pementasan wayang kulit di Bangorejo Banyuwangi.
BAB IV dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data
penelitian, menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh Ki
Yuwono, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di Bangorejo
Banyuwangi.
BAB V Merupakan bab terakhir dalam rangkaian penulisan penelitian.
Penulis akan menguraikan dalam bentuk kesimpulan dan juga saran penulis atas
permasalahan yang telah diteliti dan dilengkapi daftar pustaka.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan perspektif penelitian yang digunakan peneliti, yang
berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views), bagaimana mempelajari
fenomena, cara-cara yang digunakan dalam penelitian, dan cara-cara yang
digunakan dalam menginterprestasikan temuan. Pemilihan paradigma penelitian
dalam konteks desain penelitian menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang
akan mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian (Guba, 1990).1
Denzin dan Lincoln (1998:107) menyatakan “a paradigm may be viewed
as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first
principle” (suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat kepercayaan
dasar (atau yang berada di balik fisik, yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau
prinsip utama). Sementara itu, adapula yang berpendapat bahwa ilmu sosial dapat
dikonseptualiskan dengan empat asumsi yang berhubungan dengan ontologi,
epistemologi, sifat manusia (human nature), dan metodologi.2
1) Ontologi adalah asumsi yang penting tentang inti dari fenomena dalam
penelitian. Pertanyaan dasar tentang ontologi menkekan pada apakah
“realita” yang diteliti objektif ataukah “realita” adalah produk kognitif
individu.

1

Iman Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif; Teori dan Praktik, (Jakarta; PT. Bumi
Aksara, 2013), h. 25
2
Iman Gunawan. h.25

14

15

2) Epistimologi adalah tentang landasan ilmu pengetahuan (grounds of
knowladge) – tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia
dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain.
3) Sifat manusia (human nature) adalah asumsi-asumsi tentang hubungan
antarmanusia dan lingkungannya.
4) Metodologi adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang
berusaha untuk menyelidiki dan mendapat “pengetahuan” tentang dunia
sosial.3
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber
yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial,
tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakanperorangan
yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu,
metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau
pemahaman (jadi bukan eklaren atau penjelasan). Menurut Supardan (1997; 95)
untuk memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seseorang
peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat
memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman
yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial
yang diamatinya.4
Dalam

penelitian

kualitatif

terdapat

paradigama

yang

bersifat

konstruktivisme, Guba (1990: 25) menyatakan “ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan
percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka teori. Basis untuk menemukan

3
4

Iman Gunawan h.27
Iman Gunawan. h.34

16

“sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak. Realitas hanya
ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (kontruk) untuk berpikir tentang
realitas tersebut). Kaum kontruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian
itu tidak bebas nilai. Jika “realitasí” hanya dapat dilihat melalui jendela teori,
maka itu hanya dapat dilihat semua melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian
dimungkinkan. Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas
nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kaca mata) yang
berdasarkan nilai. 5
Paradigma konstruktivisme menolak pandangan

positivisme

yang

memisahkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan kontruktivisme,
bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka
dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampaian pesan. Kontruktivisme justru
menganggap subjek (komnikator/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan
komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Dengan begitu dalam lingkup
paradigma kontruktivisme ini, teori kegunaan dan kepuasan (Uses and
Grafications Theory) yang di perkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974), bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan
menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak
yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber
media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya, artinya
pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.6

5
6

Iman Gunawan. h.49
Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), (Jakarta: Airlangga, 1986). h. 126

17

B. Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah
a) Ruang Lingkup Wayang
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang
di Jawa. Wayang berasal dari kata 'MaHyang' yang artinya menuju kepada roh
spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang
adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena
penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya
saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalangyang juga menjadi narator
dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balikkelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan
wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon),
penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang
bayangannya tampil di layar.
Menurut Bambang Sugito, wayang kulit yaitu suatu bentuk pertunjukan
tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunkan gambar
boneka atau semacamnya dari kulit sebagai alat pertunjukan dengan diiringi
musik yang telah ditentukan.7
Bagi Orang Jawa, dunia pewayangan merupakan dunianya sendiri, dunia
Jawa agar mencerminkan usaha yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai simbol
7

Bambang Sugito, Op.Cit, h.31

18

kehidupan masyarakat. Karena orang Jawa menilai bahwa wayang mengandung
filsafat yang dalam dan memberi peluang untuk melakukan pengajian filsafat dan
ajaran keagamaan. 8 Wayang kulit penuh dengan simbolik. Dalam pertunjukannya
menggambarkan perjalanan hidup manusia, yakni manusia yang mencari
keinsyafan akan sangkan-parannya, bukan manusia yang hanya hidup dan tidak
mati. Gambaran yang jelas dapat dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh
dalang yakni menceriterakan perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan.9
Salah satu perlengkapan wayang yang disebut Gunungan atau Kayon
memiliki makna simbolis. Kayon menyerupai bentuk masjid, apabila dibalik akan
menyerupai jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah bahwa dalam
kehidupan umat Islam, jantung hatinya harus senantiasa berada di masjid.
Semua unsur dalam dunia pewayangan mengandung simbolisme. Dalam
mengapresiasikan wayang, orang Jawa tidak pernah berhenti pada aspek formal
ceritanya saja, melainkan mereka akan selalau menarik makna esoterik yang
terkandung di dalamnya. Karena itu, persepsi orang Jawa, antara satu dengan yang
lainnya, tentang wayang juga berbeda-beda tetapi secara umum gambarangambaran simbolis mengenai bentuk fisik wayang yang tembus pada kondisi batin
tokoh-tokoh wayang hampir semua dipahami penonton.
Wayang kulit atau wayang purwo sebagaimana adanya sekarang
merupakan kreasi Wali songo, khususnya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dari
membaca „alam‟ lingkungan masyarakat Jawa yang telah tumbuh sebelumnya.10
8

S. Haryanto, Bayang-bayang Adiluhung, (Semarang, Dahara Prize, 1992), h. 77
Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga. (Jakarta: Menara Kudus, 1960), h. 65
10
Suyanto Sidik, Makalah; Membaca Ayat-Ayat Semesta, Kearifan Lokal dan Islam
Jawa”, dalam Diskusi Panel dan Sarasehan; “Membaca Alam Dalam Kearifan Lokal
Berdasarkan Nilai-Nilai Spiritual Jilid 2”,2013, Banyuwangi.
9

19

Cerita wayang yang berasaldari kesusasteraan India, di ubah oleh para wali
tersebut dalam seni pertunjukan dengan muatan-muatan Islam sebagai sarana
dakwah.
Kreativitas para wali memanfaatkan budaya setempat sebagai media
penyebaran Islam yang efektif tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Jawa. Selain itu para wali juga berjasa dalam
mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk kesenian pentas yang merupakan
salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah berakar jauh ke masa lalu dan
cukup banyak mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan dari masa ke masa.
Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut
penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk,
sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan
orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah
sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi,
mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana,
dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang
menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orangorangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di
dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan
di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena
setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang
membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.

20

b) Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit
Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan
waktu pengertian itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan
panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai
seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi
berbeda dengan sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai
pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal dengan dalang,
yang peranannya dapat dominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di
Jawa, wayang purwa atau wayang ramayana di Bali dan wayang banjar di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalamwayang orang peranan
dalang tidak begitu menonjol. 11
Berdasarkan berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, di masa
lampau di nusantara ini telah tumbuh dan berkembang berbagai macam dan
atau jenis wayang. Sedemikian banyak jumlah wayang yang ada di
nusantara. Sebelum Islam masukketanah Nusantara, khususnya di Jawa,
wayangtelahmenemukanbentuknya.Bentukwayangpadaawalnyamenyerupai
relief yang bisakitajumpai di candi-candiseperti di Prambananmaupun
Borobudur.Pagelaranwayangsangatdigemarimasyarakat.Setiappementasannyas
elaludipenuhipenonton. 12
Wayang Nusantara memiliki definisi yang tidak terpisah antara
Pertunjukkan Seni dengan Peraga, Membawa Lakon kisah-kisah, dan muatan

11

Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. (Jakarta: UI Press,
1988), h. 11
12
Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan
Wayang, (Surakarta: Etnika Surakarta, 2004). h. 1

21

Nilai-nilai Nusantara. Budaya Wayang Indonesia adalah salah satu budaya
nusantara yang telah mengarungi jalan panjang sejak sejarah mencatat seni
wayang nusantara di abad ke-9. Bahkan dipercaya seni ini sudah menjadi bagian
kehidupan nusantara jauh sebelum itu
Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang
berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini
selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia,
juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau,
Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.13 Alasan ini cukup kuat karena seni wayang
masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa
Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam
pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan
Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis
pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain.14
Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama
dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di
Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan
(976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.
Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga
Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin
berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
13
14

h.21

http://www.tempokini.com/2014/09/kenalilah-wayang-maka-anda-akan-mencintai-nya/
Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965).,

22

Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan
Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan
menceritakan

kembali

dengan

memasukkan

falsafah

Jawa

Kuna

kedalamnya.15Menurut Dr. Hazeu, wayang telah ada sejak zaman Airlangga (950
caka = 1028 M permulaan abad XI sesudah Masehi) didalam kerajaan Kediri yang
makmur. Pertunjukan wayang mwmpergunakan boneka dari kulit (walulang
inukir) dan bayangan-bayanganya diproyeksi pada tabir (kelir/layar).16
Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada sejak
zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata
“wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya sejak
awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak
berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji
ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi
menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam,
diantaranya para Wali Sanga.17
Wayang telah dikenal sejak zaman purba yang merupakan perwujudan dari
bayang-bayang nenek moyang. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme
suatu kepercayaan yang dianut masyrakat pada zaman itu berkaitan dengan roh
nenek moyang yang telah lama mati menjadi pelindung bagi manusia yang masih
hidup. Roh tersebut tinggal di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besa dan
benda-benda lainnya.
15

http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit dikases pada Kamis, 17 Juli

16

Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1965).,

2014.
h.28
17

Bram Palgunadi, Tinjauan Tentang Wayang Kulit, (bulletin PSTK-ITB, Edisi 1 Tahun
ke-2 1978).

23

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang
merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang
sudah ada berabad-abad sebeluh Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita
wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya
sastra India, yaitu Ramayan dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam
pewayangan

banyak

mengalami

pengubahan

dan

penambahan

untuk

menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.18

c) Dalang Sebagai Juru Dakwah
Sumber ilmu dakwah tidak bisa terlepas dari Al-Quran dan Sunnah
sebagai pijakannya indiologi sumber ilmu. Dengan berpedoman pada sumber
ilmu, tidak cukup dengan hanya satu mazhab tetapi multimazhab yang lahir
dari bangunan keilmuan dakwah untuk mengkomunikasikan bahasa agama
kepada umat manusia. Tetapi perlu dipahami bahwa “dakwah” dan “Ilmu
Dakwah” berbeda. Jika dakwah selalu memilih kata sebaiknya, seharusnya,
maka ilmu dakwah harus tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah ilmu yang
sifatnya netral dan tidak memihak. 19 Kajian Epistemologi Sultan memberikan
gambaran tentang epistemologi ilmu dakwah. 20
Peran dalang erat hubungannya dengan fungsi wayang dalam kehidupan
sosial. Pada masa lampau (sebelum tahun 1965-an), wayang bagi masyarakat
Jawa bukanlah sekedar ekspresi seni dan hiburan, melainkan juga sebagai
18

Sri Mulyono,Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. (Jakarta: ALDA, 1965).,

h.14
19

Nasir Mahmud, Bunga Rapai epistemology dan Metode Studi Islam, (Cet.1; IAIN
Alauddin Press, 1988), h. 39
20
Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000). h.49

24

sumber acuan hidup, sebuah frame of reference, mitologi, dan cermin budaya
Jawa. Lewat lakon, di dalam pertunjukan wayang memuat nilai-nilai filsafat,
etika, estetika, religius, dan pendidikan. Maka wayang merupakan media
pengajaran bagi manusia yang melambangkan pergulatan hidup dan budi
pekerti luhur (tuntunan). Menurut para ahli budaya Jawa, lakon-lakon wayang
melukiskan kehidupan masyarakat dan negara, kebijakan dan praktik
kenegaraan, sehingga tak pelak bila Umar Kayam pernah mensinyalir bahwa
untuk mengetahui kehidupan negara perlu melihat wayang. Oleh karena itu
pula lakon wayang sering dipercaya dapat berpengaruh bagi kehidupan
penanggapnya.
Dari fungsi wayang semacam itulah, dalang sebagai sutradara dan
pelaku utama dalam pertunjukan sering diibaratkan dengan seorang pembawa
kaca benggala, simbol perantara antara mikrokosmos dan makrokosmos, guru
masyarakat (ngudal piwulang). Dalang memiliki kedudukan yang tinggi
setingkat kiai, pujangga dan sebagainya. Karena wayang tersebut tidak
mungkin bisa bergerak sendiri tanpa adanya dalang, maka jelas sekali bahwa
peranan dalang sangat penting dan paling menentukan bagi perkembangan
dunia pewayangan. 21
Dalam prakteknya, dakwah yang dilakukan oleh para pembawa ajaran
yaitu dengan upaya mengakulturasikan budaya – budaya yang sudah ada dengan
dengan meng-input ajaran-ajaran Is