Fenomena Kyouiku Mama Terhadap Sistem Pendidikan di Jepang
FENOMENA KYOUIKU MAMA TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG
NIHON NI OKERU KYOUIKU SEIDO NI TAISHITE KYOUIKU MAMA NO GENSHO
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian skripsi dalam bidang ilmu Sastra Jepang
Oleh :
BUTET MARTHALINA SARAGIH 100708067
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(2)
FENOMENA KYOUIKU MAMA TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG
NIHON NI OKERU KYOUIKU SEIDO NI TAISHITE KYOUIKU MAMA NO GENSHO
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian skripsi dalam bidang ilmu Sastra Jepang Oleh:
BUTET MARTHALINA SARAGIH 100708067
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Hamzon Situmorang.MS.,Ph.D. Drs. Amin Sihombing
NIP : 19589704 198412 1 001 NIP : 19600403 199103 1 001
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(3)
DISETUJUI OLEH :
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
Medan, November 2014 Departemen Sastra Jepang Ketua,
Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum NIP. 19600919 1988031001
(4)
ABSTRAK
FENOMENA KYOUIKU MAMA TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan kelakuan seseorang melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan mempunyai 2 fungsi dalam mobilitas sosial. Pertama, melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan status sosial dalam masyarakat melalui pekerjaan yang ia dapatkan. Kedua, pendidikan mempengaruhi struktur penghasilan. Jika berbicara tentang pendidikan tidak terlepas dari peranan keluarga Jepang. Sebelum perang kebanyakan orang Jepang dibesarkan dalam keluarga luas (ie). Ie merupakan dasar pendidikan dalam keluarga tersebut. Dalam kenyataannya kebanyakan anak biasanya diasuh oleh nenek yang memanjakan daripada oleh ibu mereka sendiri, yang tidak memiliki kewibawaan nyata untuk mengatur mereka. Dahulu bagi seorang ibu, mempunyai anak sendiri berarti mempunyai persyaratan untuk mendapatkan jaminan akan tinggal di dalam keluarga suaminya. Namun setelah perang dunia kedua, sistem ie dihapuskan dan berubah menjadi keluarga inti (kakukazoku) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Namun didalam pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang menyebabkan tumbuhnya banyak perusahaan-perusahaan baru di Jepang, seorang ayah akan menjadi seorang sarariman. Sarariman sendiri diambil dari bahasa inggris yaitu salaryman yang berarti golongan pekerja yang bekerja di kantor sebagai pegawai tetap. Sebagai seorang sarariman, ayah tidak dapat mendidik anaknya sebagaimana mestinya dikarenakan oleh pekerjaannya. Ia menyerahkan semua tugas dalam mendidik anak dan mengurus rumah tangga kepada istrinya. Istri sebagai ibu dalam rumah tangga berperan aktif dalam kegiatan domestik rumah tangga seperti membersihkan rumah, menyiapkan makanan dan mengurus anaknya serta mendidik anaknya untuk menjadi anak yang berhasil di sekolah maupun di masyarakat.
Karena perkembangan ekonomi yang pesat menjadikan masyarakat Jepang sebagai masyarakat yang sarat akan status sosial yang baik dimata masyarakat. Dengan alasan demikian, seorang ibu semakin terdorong untuk mendidik anaknya agar mempunyai sekolah yang baik, pekerjaan yang baik dan dapat meningkatkan status sosial keluarga dimata masyarakat. Inilah yang menyebabkan munculnya konsep kyouiku mama. Kyouiku mama adalah seorang ibu yang terobsesi dengan pendidikan anaknya. Kyouiku mama melakukan segala upaya untuk memastikan anaknya dapat masuk sekolah terbaik dan universitas terbaik Ia telah menyiapkan sekolah anaknya sejak usia dini Memasukkan anaknya ke TK berkualitas, SD dan sampai universitas yang terbaik. Kyouiku mama selalu mewajibkan anaknya untuk mengikuti les tambahan di juku karena menganggap pelajaran yang diterima di sekolah tidak cukup. Kyoiku mama juga memaksa
(5)
anak-anak mereka belajar lebih panjang dari biasanya, hingga 16 jam dalam sehari. Ketatnya persaingan dalam ujian masuk kampus ternama dijadikan alasan. Selain memberikan pendidikan yang terbaik, kyouiku mama juga menanamkan pendidikan moral yang baik untuk anaknya. Sehingga kyouiku mama telah memberikan pengaruh positif bagi masyarakat Jepang, keluarga dan bagi anaknya. Pendidikan moral seperti budaya malu, giri dan ninjou dan budaya salam yang ditanamkan seorang kyouiku mama kepada anaknya sejak usia dini memberikan pengaruh yang baik bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kyouiku mama juga telah mengajari anaknya kedisplinan, kemandirian, sopan santun, tanggungjawab. Semua itu dilakukan agar anaknya menjadi manusia yang berkualitas dimasyarakat, dan dapat membanggakan keluarga.
Disisi lain kyouiku mama telah berubah menjadi seorang ibu yang egois. Demi mengejar pendidikan yang berkualitas, ia memaksakan kehendaknya kepada anaknya dan membuat anaknya menjadi seorang anak yang pemberontak. Keinginan seorang ibu yang mendorong anaknya melakukan apa yang diinginkannya menimbulkan beban yang berat bagi anaknya. Sehingga anak pun melakukan pengasingan diri (hikikomori), bunuh diri, dan kekerasan pada orang tua. Pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh kyouiku mama juga berdampak bagi sekolah anaknya. Ia selalu mencampuri urusan sekolah anaknya. Sehingga menimbulkan keresahan di pihak sekolah. Kyouiku mama sering mendatangi sekolah anaknya dan ingin tahu perkembangan anaknya. Kadang ia mengganggap rendah seorang guru yang lebih rendah pendidikannya. Akibatnya banyak guru merasa tidak nyaman dan memilih untuk mengundurkan diri karena tidak sanggup mendengar kritikan dari kyouiku mama.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang
selalu memberikan segala berkat-Nya kepada Penulis sehingga mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi yang berjudul “FENOMENA KYOUIKU MAMA TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG” ini diajukan untuk
memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya
Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak
menerima bantuan dan bimbingan moril maupun materil dari berbagai pihak.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Program Studi S-1
Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I,
yang mana dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan
banyak waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan
memeriksa skripsi ini dari awal hingga akhir ujian skripsi ini selesai.
4. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing II, yang mana
(7)
pikiram, dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa
skripsi ini dari awal hingga ujian skripsi ini selesai.
5. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan
menguji skripsi ini. Tak lupa pula penulis sampaikan kepada seluruh staf
pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang yang telah memberikan banyak
ilmu kepada penulis sebagai bekal masa depan dari tahun pertama hingga
dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang
diberikan bermanfaat bagi banyak orang.
6. Kepada kedua orang tua penulis, Bapakku Almarhum J.Saragih dan
Mamaku tercinta Karmina Manik dan ketiga Abang penulis Rudianton
Saragih, Jhonson Saragih, dan Firman Saragih, terimakasih untuk cinta
kasih yang tak terhingga untuk dukungan doa, materiil maupun moril yang
kalian berikan.
7. Untuk teman-teman terbaik AOTAKE 2010 A, terimakasih untuk empat
tahun yang penuh pengalaman ini. Kalian adalah sahabat serta saudara
dalam kehidupan penulis selama empat tahun dan terimakasih untuk
sahabat kecilku, Lina yang selalu mengingatkan penulis tentang skripsi
dan skripsi. Teman-teman kos yang selalu memberikan nasihat-nasihat
berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Tuhan yang Maha Kuasa memberi berkat yang berlimpah serta
membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan kepada Penulis selama ini.
Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karena keterbatasan pengetahuan
(8)
skripsi ini dapat membawa manfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi
pembelajar kebudayaan Jepang.
Medan, November 2014
Penulis
(9)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 7
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.6. Metode Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KYOUIKU MAMA 2.1. Keadaan Keluarga Jepang setelah Perang Dunia II ... 13
2.2. Sistem Pendidikan di Jepang ... 18
2.3. Sistem Perekrutan Tenaga kerja di Jepang ... 24
2.4. Kyouiku Mama sebelum Perang Dunia II ... 27
2.5. Kyouiku Mama setelah Perang Dunia II ... 29
BAB III PENGARUH KYOUIKU MAMA TERHADAP PENDIDIKAN DI JEPANG 3.1. Pengaruh Kyouiku Mama terhadap Lingkungan Sosial 3.1.1 Di Masyarakat………34
3.1.2. Dibidang Akademik……… 36
(10)
3.3. Pengaruh Kyouiku Mama terhadap Anak………. 44
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ... 51
4.2 Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK
(11)
ABSTRAK
FENOMENA KYOUIKU MAMA TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan kelakuan seseorang melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan mempunyai 2 fungsi dalam mobilitas sosial. Pertama, melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan status sosial dalam masyarakat melalui pekerjaan yang ia dapatkan. Kedua, pendidikan mempengaruhi struktur penghasilan. Jika berbicara tentang pendidikan tidak terlepas dari peranan keluarga Jepang. Sebelum perang kebanyakan orang Jepang dibesarkan dalam keluarga luas (ie). Ie merupakan dasar pendidikan dalam keluarga tersebut. Dalam kenyataannya kebanyakan anak biasanya diasuh oleh nenek yang memanjakan daripada oleh ibu mereka sendiri, yang tidak memiliki kewibawaan nyata untuk mengatur mereka. Dahulu bagi seorang ibu, mempunyai anak sendiri berarti mempunyai persyaratan untuk mendapatkan jaminan akan tinggal di dalam keluarga suaminya. Namun setelah perang dunia kedua, sistem ie dihapuskan dan berubah menjadi keluarga inti (kakukazoku) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Namun didalam pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang menyebabkan tumbuhnya banyak perusahaan-perusahaan baru di Jepang, seorang ayah akan menjadi seorang sarariman. Sarariman sendiri diambil dari bahasa inggris yaitu salaryman yang berarti golongan pekerja yang bekerja di kantor sebagai pegawai tetap. Sebagai seorang sarariman, ayah tidak dapat mendidik anaknya sebagaimana mestinya dikarenakan oleh pekerjaannya. Ia menyerahkan semua tugas dalam mendidik anak dan mengurus rumah tangga kepada istrinya. Istri sebagai ibu dalam rumah tangga berperan aktif dalam kegiatan domestik rumah tangga seperti membersihkan rumah, menyiapkan makanan dan mengurus anaknya serta mendidik anaknya untuk menjadi anak yang berhasil di sekolah maupun di masyarakat.
Karena perkembangan ekonomi yang pesat menjadikan masyarakat Jepang sebagai masyarakat yang sarat akan status sosial yang baik dimata masyarakat. Dengan alasan demikian, seorang ibu semakin terdorong untuk mendidik anaknya agar mempunyai sekolah yang baik, pekerjaan yang baik dan dapat meningkatkan status sosial keluarga dimata masyarakat. Inilah yang menyebabkan munculnya konsep kyouiku mama. Kyouiku mama adalah seorang ibu yang terobsesi dengan pendidikan anaknya. Kyouiku mama melakukan segala upaya untuk memastikan anaknya dapat masuk sekolah terbaik dan universitas terbaik Ia telah menyiapkan sekolah anaknya sejak usia dini Memasukkan anaknya ke TK berkualitas, SD dan sampai universitas yang terbaik. Kyouiku mama selalu mewajibkan anaknya untuk mengikuti les tambahan di juku karena menganggap pelajaran yang diterima di sekolah tidak cukup. Kyoiku mama juga memaksa
(12)
anak-anak mereka belajar lebih panjang dari biasanya, hingga 16 jam dalam sehari. Ketatnya persaingan dalam ujian masuk kampus ternama dijadikan alasan. Selain memberikan pendidikan yang terbaik, kyouiku mama juga menanamkan pendidikan moral yang baik untuk anaknya. Sehingga kyouiku mama telah memberikan pengaruh positif bagi masyarakat Jepang, keluarga dan bagi anaknya. Pendidikan moral seperti budaya malu, giri dan ninjou dan budaya salam yang ditanamkan seorang kyouiku mama kepada anaknya sejak usia dini memberikan pengaruh yang baik bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kyouiku mama juga telah mengajari anaknya kedisplinan, kemandirian, sopan santun, tanggungjawab. Semua itu dilakukan agar anaknya menjadi manusia yang berkualitas dimasyarakat, dan dapat membanggakan keluarga.
Disisi lain kyouiku mama telah berubah menjadi seorang ibu yang egois. Demi mengejar pendidikan yang berkualitas, ia memaksakan kehendaknya kepada anaknya dan membuat anaknya menjadi seorang anak yang pemberontak. Keinginan seorang ibu yang mendorong anaknya melakukan apa yang diinginkannya menimbulkan beban yang berat bagi anaknya. Sehingga anak pun melakukan pengasingan diri (hikikomori), bunuh diri, dan kekerasan pada orang tua. Pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh kyouiku mama juga berdampak bagi sekolah anaknya. Ia selalu mencampuri urusan sekolah anaknya. Sehingga menimbulkan keresahan di pihak sekolah. Kyouiku mama sering mendatangi sekolah anaknya dan ingin tahu perkembangan anaknya. Kadang ia mengganggap rendah seorang guru yang lebih rendah pendidikannya. Akibatnya banyak guru merasa tidak nyaman dan memilih untuk mengundurkan diri karena tidak sanggup mendengar kritikan dari kyouiku mama.
(13)
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah
Menurut Ihromi (1999: 61) mengatakan bahwa sejak revolusi pendidikan
ditahun 1950, seluruh masyarakat di dunia meletakkan harapan dan arti yang
tinggi terhadap pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Masyarakat berpendapat
bahwa, dengan nilai-nilai tertentu yang disandang pendidikan tinggi, maka
individu dapat di tempatkan pada satu stage tertentu. Nilai ini pada akhirnya melahirkan suatu keyakinan bahwa melalui pendidikan tinggi, seorang individu
dapat memperoleh mobilitas sosial. Pendidikan tinggi mengemban dua fungsi
dalam rangka mobilitas sosial. Pertama, pendidikan tinggi mempengaruhi
mobilitas sosial ke atas sehingga menolong kelompok masyarakat untuk
meningkatkan pekerjaan yang dikehendaki. Kedua, pendidikan tinggi
mempengaruhi perubahan dalam struktur penghasilan.
Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Damsar (2011:
8) merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Dari pengertian kamus terlihat bahwa melalui pendidikan: satu, orang
mengalami pengubahan sikap dan tata laku; dua, orang yang berproses menjadi
dewasa, menjadi matang dalam sikap dan tingkah laku; tiga, proses pendewasaan
ini dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari kamus Bahasa
Indonesia tersebut juga dipahami bahwa pendidikan merupakan proses, cara dan
(14)
Kemajuan yang sangat pesat dari bangsa Jepang setelah perang dunia
kedua tidak terlepas dari pendidikan. Pendidikan telah mempunyai nilai yang
menentukan, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa hanya Jepang sendirilah
diantara semua negara di Asia yang telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang
luar biasa. Pada tahun 1955 kira-kira separuh dari anak muda Jepang memasuki
sekolah menengah dan kurang dari sepuluh persen (10%) memasuki lembaga
pendidikan sekolah menengah. Pada akhir tahun 1970 lebih dari sembilan puluh
persen (90%), baik anak-anak perempuan maupun anak laki-laki Jepang, telah
menamatkan sekolah menengah, dibandingkan dengan kira-kira delapan puluh
persen (80%) dari semua anak muda Amerika. Dalam tahun 1975, sembilan puluh
tujuh persen (97%) dari anak-anak Jepang yang memasuki sekolah menengah dan
menamatkannya, dibanding dengan tujuh puluh sembilan persen (79%) di
Amerika. Pada tingkat sesudah sekolah menengah di Jepang, kira-kira dalam
jumlah yang sama, laki-laki dan perempuan, memasuki sekolah tinggi, tetapi anak
perempuan pada umumnya lebih banyak menamatkan jadwal studi dua tahun, dan
anak laki-laki lazimnya lebih banyak menamatkan jadwal studi empat tahun.
Meluasnya pendidikan secara cepat itu membantu terjadinya modernisasi Jepang.
(Vogel, 1982: 207)
Peningkatan pendidikan tersebut tak terlepas dari peranan keluarga Jepang.
Sebelum perang kebanyakan orang Jepang dibesarkan dalam keluarga luas (ie). Ie
merupakan dasar pendidikan dalam keluarga tersebut dan dalam kenyataannya
kebanyakan anak biasanya diasuh oleh nenek yang memanjakan daripada oleh ibu
mereka sendiri, yang tidak memiliki kewibawaan nyata untuk mengatur mereka.
(15)
untuk mendapatkan jaminan akan tinggal di dalam keluarga suaminya (Fukutake,
1988: 54). Namun setelah perang dunia kedua, sistem ie dihapuskan dan berubah menjadi keluarga inti (kakukazoku) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Namun
didalam pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang menyebabkan tumbuhnya
banyak perusahaan-perusahaan baru di Jepang, seorang ayah akan menjadi
seorang sarariman. Sarariman sendiri diambil dari bahasa inggris yaitu salaryman yang berarti golongan pekerja yang bekerja di kantor sebagai pegawai tetap. Sebagai seorang sarariman, ayah tidak dapat mendidik anaknya sebagaimana mestinya dikarenakan oleh pekerjaannya. Ia menyerahkan semua
tugas dalam mendidik anak dan mengurus rumah tangga kepada istrinya. Istri
sebagai ibu dalam rumah tangga berperan aktif dalam kegiatan domestik rumah
tangga seperti membersihkan rumah, menyiapkan makanan dan mengurus serta
mendidik anaknya untuk menjadi seseorang yang berhasil di sekolah maupun di
masyarakat.
Perkembangan ekonomi yang pesat menjadikan masyarakat Jepang sebagai
masyarakat yang sarat akan persaingan untuk mendapatkan status sosial yang baik
dimata masyarakat. Dengan faktor yang demikian, seorang ibu semakin terdorong
untuk mendidik anaknya menjadi manusia yang berkualitas, mempunyai sekolah
yang baik, pekerjaan yang baik dan dapat meningkatkan status sosial keluarga
dimata masyarakat. Inilah yang menyebabkan munculnya konsep kyouiku mama
yang berarti “ibu pendidikan”. Dapat kita lihat kyouiku mama terdiri dari dua buah kanji yaitu kyouiku (教育) dan mama (ママ), kata kyouiku (教育) memiliki arti
“pendidikan” dan mama ditulis dalam huruf katakana (ママ) yang merupakan kata serapan dari bahasa inggris yang sebenarnya dalam bahasa Jepang sama
(16)
artinya dengan okasan ( 母 ) yang berarti “ibu” didalam bahasa Indonesia. Dan dari pengertian kanji di atas dapat kita simpulkan bahwa kyouiku mama adalah seorang ibu pendidikan atau education mother dalam bahasa Inggris. Ini merupakan suatu konsep yang mendorong peningkatan pendidikan di Jepang.
Dimana anak-anak di Jepang sekarang berlomba-lomba masuk ke perguruan
tinggi yang terbaik untuk memperoleh pekerjaan yang baik nantinya. Jika
anak-anak kyouiku mama berhasil di sekolah maka kyouiku mama dianggap sukses karena memasuki universitas yang tepat berarti mendapatkan kerja yang bagus 4
tahun kemudian. Di dalam hal pendidikan ini seorang ibu Jepang sangat
bersungguh-sungguh pada anaknya. Seperti yang yang dikatakan Toshiaki (2010:
144) dalam The New Paradox for Japanese Women bahwa:
If it is that Japanese parents want quality children, they will invest a lot in education and will try to enroll their children at top flight schools, to cultivate their children’s aesthetic sensibilities through piano, painting, or voice lessons, and to develop their children’s athletic skill so they might even be professional athletes in the future.
Artinya:
Jika benar bahwa orangtua di Jepang menginginkan anaknya berkualitas,
mereka akan banyak berinvestasi pada pendidikan anaknya dan akan terus
mencoba untuk mendorong anaknya untuk masuk ke sekolah terbaik, atau
melihat perkembangan jiwa seni anaknya melalui belajar piano, melukis,
les vokal dan juga membangun kemampuan anaknya dalam berolahraga
(17)
Tidak cukup hanya menerima pelajaran di sekolah, kyouiku mama mewajibkan juga anaknya mengikuti les tambahan dengan pergi ke juku dan menghabiskan waktu sampai pukul sepuluh atau sebelas malam setiap harinya. Ia
selalu melakukan sesuatu yang terbaik bagi anaknya sehingga dengan tanpa sadar
ia memasukkan anaknya kelompok kachigumi yaitu kelompok pemenang. Kelompok kachigumi ini adalah sekumpulan murid-murid yang mempunyai prestasi yang baik di sekolah.
Tidak hanya mendorong anaknya untuk terus berprestasi di sekolah,
kyouiku mama juga mendidik moral anaknya supaya menjadi manusia yang sukses dalam dunia pendidikan dan mempunyai moral yang baik dalam hidup
bermasyarakat. Ia menanamkan nilai-nilai moral kepada anaknya sejak anaknya
berusia dini dan menerapkan kedisplinan yang ketat. Semua dilakukannya untuk
menempah mental anaknya supaya menjadi manusia yang berguna di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa penting untuk membahas ini
dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul “ Fenomena Kyoiku Mama terhadap Sistem Pendidikan di Jepang”
1.2.Perumusan Masalah
Peranan seorang ibu di dalam keluarga Jepang menjadi sebuah kunci untuk
mengantarkan anaknya ke dalam masyarakat yang sarat akan persaingan karena di
lain pihak masyarakat Jepang menganut penilaian “atas bawah” atau ranking
dalam status sosial kemasyarakatannya (Sembiring, 2011: 4). Peranan kyoiku mama yang terobsesi pada pendidikan anaknya mulai dari awal mereka masuk ke
(18)
sekolah sampai mereka masuk ke perguruan tinggi cenderung begitu memaksakan
kehendak kepada anaknya hingga terkadang anak kebanyakan menghabiskan
waktu hanya untuk belajar dan belajar terus menerus, tanpa dapat bersosialisasi
dengan ayah, ibu atau saudara-saudaranya. Tidak cukup mengirim anak ikut kelas
privat (juku) karena menganggap pelajaran yang diterima di sekolah tidaklah
cukup, kyoiku mama juga memaksa anak-anak mereka belajar lebih panjang dari
biasanya, hingga 16 jam dalam sehari. Ketatnya persaingan dalam ujian masuk
kampus ternama dijadikan tolak ukur dan alasan. Berhasil masuk kampus ternama
dianggap menciptakan bibit unggul dalam pasar kerja sehingga dapat memperoleh
posisi tinggi dalam pekerjaan dan akhirnya meningkatkan taraf ekonomi
keluarganya.
Selain itu, kyoiku mama mempunyai anggapan bahwa citra ibu yang berhasil adalah ibu yang anaknya masuk kampus ternama. Anak yang kuliah di
kampus non-unggulan dianggap sebagai anak biasa-biasa saja, dari keluarga
biasa-biasa pula, dan ibu yang tidak berhasil.
(http://amikaze-sasori.blogspot.com/2009/02/ekonomi-jepang.html)
Adapun permasalahan yang akan dibahas dirumuskan dalam bentuk-bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep kyoiku mama di Jepang?
2. Bagaimana pengaruh konsep kyoiku mama terhadap masyarakat, keluarga
(19)
1.3.Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar
pembahasan tidak terlalu melebar sehingga menyulitkan pembaca untuk
memahami pokok permasalahan yang dibahas.
Di dalam skripsi ini, penulis membatasi permasalahan penelitian yang
berkaitan dengan konsep kyoiku mama yang terjadi dikeluarga sarariman, diwilayah perkotaan dimana seorang ibu hanya berperan sebagai ibu rumah
tangga dan memberi pengaruh yang sangat besar dalam pendidikan anaknya dan
sebaliknya peran seorang ayah dalam mendidik anak sama sekali tidak terlihat.
Selain itu penulis juga membatasi masalah penelitian dengan hanya meneliti
pengaruh positif dan negatif kyoiku mama tersebut pada anak dan keluarganya serta lingkungan sosialnya.
1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
A. Tinjauan Pustaka
Kyoiku mama adalah satu kosakata yang baru muncul dalam generasi baby boomers tahun 1960-an. Daoed Joesoef, seorang mantan menteri Pendidikan Indonesia bermaksud menjelaskan fakta tentang obsesi besar sejumlah ibu akan
anak-anak mereka dalam merebut bangku pendidikan di beberapa sekolah (dan
kampus) ternama. Terdorong obsesi yang begitu besar, ibu-ibu itu melakukan
segala upaya, memastikan (kerap juga memaksa) anak-anak mereka dapat masuk
(20)
menganggap pelajaran yang diterima di sekolah tidaklah cukup, kyoiku mama juga
memaksa anak-anak mereka belajar lebih panjang dari biasanya, hingga 16 jam
dalam sehari. Ketatnya persaingan dalam ujian masuk kampus ternama dijadikan
tolak ukur dan alasan. Kyoiku mama kerap digambarkan sebagai ibu yang telah mempersiapkan anak mereka, bahkan semenjak taman kanak-kanak.
(http://amikaze-sasori.blogspot.com/2009/02/ekonomi-jepang.html)
Keluarga adalah tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar mengenal
lingkungan dan masyarakat yang ada disekitarnya. Hubungan ibu dan anak pun
secara emosional sangat erat, yang juga mempermudah proses pendidikan. Di
samping itu, pola kekuasaan juga memberikan kekuatan pada apa yang telah
dipelajari; yaitu, kekuasaan dan kekuatan yang lebih besar yang dimiliki orangtua
membuat pelajaran mereka lebih berkesan bagi sang anak. Dominasi orangtua,
dalam hal ini ibu memegang peranan penting dalam tersampai atau tidaknya
ajaran nilai-nilai dan norma-norma yang ditanamkan. (Soekanto, 1992: 10)
Landis dan Mary (1960: 6) mengemukakan bahwa:
We may list the functions of the family as it exists in our society today in three chief division. they are 1. to provide physical care for children; 2. to nurture the growth of personality-to equip the children to live succesfully in their social environment; 3. to meet the emotional needs of adults as well as children in the family.
Artinya:
Kita boleh mendata fungsi keluarga seperti yang ada dalam masyarakat kita
hari ini di tiga divisi utama. Mereka adalah 1. untuk memberikan perawatan fisik
(21)
anak-anak untuk hidup sukses dalam lingkungan sosial mereka; 3. untuk
memenuhi kebutuhan emosional orang dewasa maupun anak-anak dalam keluarga.
Okamura (1973: xi) mengatakan bahwa hal lain yang amat menarik
mengenai kehidupan keluarga adalah bahwa ibu adalah pusat dari segala kegiatan
keluarga. Keluarga-keluarga Jepang pada umumnya berbentuk keluarga batih
dengan rata-rata dua anak perpasang. Peranan sentral dari ibu, terutama dalam
hubungannya dengan anak-anaknya, terlihat juga dalam tulisan Tsurumi, yang
mengatakan bahwa “…. Keluarga adalah benteng bagi mayoritas wanita Jepang.”
(hlm. 120). Hasil dari suatu penelitian nasional (1972-73) oleh panitia penelitian
mengenai masalah-masalah wanita yang dibentuk oleh Kantor Perdana Menteri
Jepang, memperlihatkan bahwa bagi wanita apa yang menjadikan kehidupan itu
paling berarti adalah pertama “anak-anak” (52,16%), kedua “keluarga” (13,2%),
ketika “pekerjaan” (9,0%) dan terakhir “suami” dengan hanya 2,7%.
B. Kerangka Teori
Dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
fenomenologis menurut Moeleong dalam Sembiring (2011: 10). Menurut
Moeleong pendekatan fenomenologis menekankan rasionalitas dan realitas
budaya yang ada serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku
budaya tersebut. Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk mengetahui arti
peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu.
Dalam pengerjaan penelitian ini, penulis juga menggunakan pendekatan
(22)
mempelajari hubungan antar individu di dalam keluarga, hubungan keluarga
dengan keluarga lainnya, serta segala aspek-aspek yang timbul dari hubungan
tersebut (Khairuddin, 1997: 4). Penulis menggunakan pendekatan ini karena
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kyoiku mama dengan keluarganya, anaknya dan masyarakat disekitarnya.
Penulis juga menggunakan pendekatan teori pola asuh orang tua menurut
Gunarsa dalam Harahap (2014: 5). Menurut Gunarsa pola asuh orang tua
merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan
hanya pemenuhan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku
dimasyarakat agar dapat hidup selaras dengan lingkungan. Kyouiku mama merupakan ibu yang mendedikasikan dirinya untuk mendidik anaknya supaya
dapat sukses dimasa depan. Tidak hanya peduli dengan pendidikan formal yang
ada tapi kyouiku mama jug menerapkan norma-norma yang berlaku dimasyarakat
agar anaknya kelak menjadi anak berkualitas dalam pendidikan formal maupun
dalam sikap bermasyarakat.
1.5.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
A. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis untuk membahas tentang dampak konsep kyoiku mama setelah perang dunia kedua adalah:
(23)
2. Untuk mengetahui pengaruh konsep kyoiku mama terhadap masyarakat, keluarga dan anak
B. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang kyoiku mama
2. Menambah wawasan penulis dan pembaca sejarah perkembangan konsep
kyoiku mama
3. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang pengaruh dari konsep
kyoiku mama terhadap masyarakat, keluarga dan anak
1.6.Metode Penelitian
Dalam mengerjakan penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif yaitu penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss, 2003: 4) contohnya dapat
berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, disamping
itu juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik.
Adapun metode penelitian kualitatif adalah untuk memberikan rincian yang
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan (Library research).
Menurut Nasution (1996: 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik
(24)
permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu
informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan
aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa
aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan
serta saran. Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Survey book dilakukan diberbagai perpustakaan.
Metode lain yang digunakan penelitian ini adalah metode penerjemahan.
Dimana menurut Malo (1985: 97), teori terjemahan adalah menerjemahkan pesan
dan amanat yang terdapat dalam bahasa sumber kedalam bahasa sasaran dengan
mencari padanan terdekat yaitu dari segi makna dan gaya bahasa. Adapun bahasa
yang di terjemahkan Penulis adalah Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.
Selain itu, penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di
(25)
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP KYOIKU MAMA
2.1.Keadaan Keluarga Jepang Setelah Perang Dunia II
Bentuk keluarga Jepang sebelum perang dunia dua di kenal sebagai ie yang merupakan sistem kekerabatan yang terdapat pada keluarga tradisional Jepang.
Keluarga ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah
(Situmorang 2011: 24). Unsur keluarga ie terbentuk minimal dua (2) generasi, oleh karena itu ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu
pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut. Sistem ie mengambil bentuk keluarga besar yang di sebut daikazoku yang terdiri kakek-nenek, ayah-ibu dan anak-anak. Sistem keluarga ie merupakan sistem yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jepang sejak zaman feodal di Jepang. Sistem keluarga ini
berporos pada garis keturunan ayah, yang mengutamakan anak laki-laki sulung
dan keanggotaan keluarga tidak terbatas pada hubungan darah karena pekerja di
dalam ie pun disebut anggota keluarga ie. Pada sistem keluarga ie, ayah sebagai kepala keluarga (shuto) dan anak lelaki tertua sangat berhubungan erat karena jika
suatu saat ayah meninggal yang meneruskan ie dan menjadi kepala keluarga adalah anak lelaki tertua sedangkan anak kedua (jinnan) dan anak ketiga (sannan)
dapat keluar dari keluarga ie dan membentuk keluarga ie baru atau dapat pula menjadi anggota keluarga ie lain.
Kedudukan seorang wanita di dalam keluarga tradisional ie memang dianggap rendah. Karena pada waktu masa anak-anak wanita bekerja untuk ayah,
(26)
wanita berkerja untuk anak laki-laki tertuanya (Situmorang, 2011: 30). Ketika
seorang wanita masih menjadi seorang istri atau menantu (yome). Ia harus dapat
menempatkan dirinya sebagai yome dan tunduk kepada kacho (kepala keluarga) maupun shutome (ibu mertua). Sebagai menantu perempuan, ia diharuskan untuk menghormati dan melayani mertuanya lebih baik melebihi orangtuanya. Ia harus
bangun lebih awal dan tidur paling akhir dalam keluarga. Menurut Huda dalam
Sembiring (2011: 20) keberadaan atau status seorang istri baru diakui keluarga
apabila ia berhasil dengan baik dalam melayani mertuanya atau setelah ia bisa
memberikan keturunan untuk keluarga suaminya. Apabila ia dianggap gagal oleh
kacho maupun shutome, ia bisa saja di ceraikan oleh mertuanya tersebut tanpa persetujuan dari suaminya sendiri. Peran yome pun dalam keluarganya sendiri kurang di lihat dan dipandang sebelah mata. Ia harus menekan
keinginan-keinginan pribadinya dan membuat dirinya lebih tertuju untuk memelihara ie dan menjaga nama baik ie.
Menurut Weber yang dikutip oleh Tominaga dalam Tobing (2006: 52)
dalam keluarga sistem partriakhat terdapat kepala keluarga yang memiliki
kekuasaan otoriter. Dalam keluarga tradisional dengan sistem partriarkhat tersebut,
seluruh anggota keluarga harus mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan dengan
ketat dan mengikat. Sistem keluarga yang partriakhat ini juga sama dengan ie yang generasinya di tentukan oleh garis keturunan dari ayah.
Setelah Perang Dunia II, ditandai dengan kalahnya bangsa Jepang pada
sekutu tanggal 30 Agustus 1945. Jepang berada dibawah kekuasaan pemerintahan
sekutu. Kekalahan Jepang dalam perang tersebut membawa pengaruh yang besar
(27)
di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Perang Dunia II menahan pertambahan
penduduk kota karena selama perang arus penduduk yang kembali ke daerah
pedesaan mencapai lebih dari 30% (persen) dari jumlah penduduk kota. Ketika
perang berakhir dan keadaan perekonomian sudah mulai membaik, yaitu pada
sekitar pertengahan tahun lima puluhan, jumlah penduduk kota sedikit demi
sedikit mulai meningkat mencapai jumlah penduduk melebihi sebelum perang.
Dibandingkan masyarakat pedesaan, masyarakat kota lebih cepat
mengalami perubahan dalam sistem keluarga sebagai akibat dari jenis pekerjaan
yang sangat bervariasi dan terbatasnya lahan untuk mendirikan rumah bagi tempat
tinggal mereka. Pada umumnya pasangan suami istri yang baru saja menikah di
kota-kota lebih suka hidup terpisah dari orangtua mereka. Keluarga kelas atas,
meskipun mempunyai ruangan di rumah lama bagi pengantin baru, mungkin lebih
suka membangun rumah baru bagi mereka. Atau karena tingginya harga tanah,
orangtua pada umumnya mendirikan rumah baru di tanah mereka sendiri untuk
kepentingan pasangan suami-istri. Pria dan wanita dari golongan menengah dan
bawah yang baru menikah biasanya tidak mempunyai dana untuk menjamin
kemandirian mereka dan kerap kali mereka hidup terpisah dari orangtua mereka
dalam kamar sewaan dengan bantuan dari orangtua. Perubahan-perubahan
semacam itu telah memacu kecenderungan orang untuk membuat keluarga inti
menjadi norma. (Fukutake, 1988: 45)
Pada umumnya bentuk keluarga yang ada adalah bentuk keluarga nuklir
atau keluarga batih. Keluarga nuklir adalah bentuk keluarga yang anggotanya
terdiri dari hanya satu generasi, yaitu ayah, ibu, dan anak-anak yang belum
(28)
dalam tiap keluarga adalah sebanding dengan jumlah yang pada umumnya
dijumpai di berbagai negara di Eropa dan Amerika. Meningkatnya jumlah
keluarga adalah langsung berkaitan dengan meningkatnya jumlah keluarga inti
pada tahun-tahun belakangan ini. Berakhirnya ie sebenarnya sudah di rancang didalam Undang-Undang di zaman Showa. Pemerintahan Jepang menganggap
sistem keluarga tradisional ie tidak dapat lagi dipakai pada era zaman baru karena
masyarakat tidak lagi banyak yang hidup bertani di desa sebaliknya semakin
berkembangnya industrialisasi menyebabkan anak laki-laki yang semulanya
bertani di kampung, kini telah berpergian ke kota guna mencari peruntungan di
kota, dengan menjadi buruh di perusahaan-perusahaan baru. Sehingga ie tidak lagi
di jalankan sebagaimana mestinya.
Dinyatakan dalam undang-undang tersebut bahwa keluarga terbatas pada
hanya satu generasi dan berpusat pada suami istri; dan hak memilih jodoh, hak
waris, memilih tempat tinggal, perceraian, dan lain-lain ditetapkan berdasarkan
azas demokrasi yang ditegakkan pada kedua belah pihak; serta menjunjung tinggi
kebebasan individu.
Perbandingan antara Undang-Undang Sipil Meiji (Meiji Minpo) dan
Undang-Undang Sipil Showa (Showa Minpo) adalah sebagai berikut :
UU Sipil Meiji : UU Sipil Showa :
Keluarga tradisional (sistem Kafucho) Keluarga nuklir
1. Keluarga otoriter 1. Keluarga demokrasi
2. Keluargaisme 2. Individualisme
3. Sistem ahli waris chonan 3. Sistem warisan dibagi
(29)
Orangtua-anak (keluarga vertikal) pada suami istri
5. Ie 5. Keluarga batih 6. Kesinambungan keluarga 6. Hanya satu generasi
(Tobing, 2006: 69)
Ketika Undang-Undang Showa menetapkan adanya sistem keluarga batih,
pada sekitar tahun 1947-an masyarakat di Jepang diperkenalkan dengan adanya
sistem keluarga model Eropa-Amerika. Dengan adanya undang-undang tersebut,
dari sudut hukum keluarga tradisional telah dibubarkan. Dari segi demikian,
alasan pertama hancurnya keluarga tradisional Jepang adalah karena adanya
alasan modernisasi politik. Alasan kedua hancurnya keluarga tradisional Jepang
adalah karena terjadinya industrialisasi. Dari sudut pandang ekonomi, keluarga
tradisional tidak cocok dengan tuntutan masyarakat industrial karena industri
melahirkan beragam jenis pekerjaan.
Dengan berakhirnya sistem ie dan dimulainya sistem keluarga batih, seorang istri memiliki kedudukan yang sedikit lebih baik daripada di keluarga ie.
Seorang istri memegang penuh kuasa di rumahnya sendiri. Maka ini menimbulkan
kelegaan bagi seorang istri untuk mengatur rumah tangganya. Dulunya ia hanya
seorang yome yang mengikuti semua aturan dari mertuanya (shutome), pekerjaan yang dilakukannya adalah perintah dari shutome, namun sekarang semua urusan rumah tangga di kerjakannya sendiri tanpa mengikuti perintah dari sang shutome. Dalam mengurus anak pun, ia sudah bisa lega karena sepenuhnya itu menjadi
tanggungjawabnya sendiri. Mulai dari menyiapkan makanan anak, menyiapkan
(30)
Perubahan di Jepang juga ditandai dengan pertambahan produksi dan
perubahan ekonomi yang sangat pesat. Sehingga disetiap rumah tangga di Jepang
tidak jarang sudah banyak ditemui televisi, mesin cuci, lemari es dan lainnya. Dan
itu sangat membantu seorang ibu dalam menyelesaikan tugas rumahnya dan
sekarang waktunya lebih banyak ia habiskan dengan membantu studi anaknya.
2.2.Sistem Pendidikan di Jepang
Pasal 26 dari Undang-Undang Dasar (Konstitusi) Jepang menetapkan:
“semua orang berhak mendapat pendidikan sesuai dengan kemampuannya…..
semua orang wajib bertindak agar semua putra-putra atau putri-putri dibawah
asuhan mereka memperoleh pendidikan biasa…. Pendidikan wajib demikian
bersifat cuma-cuma” (Kedutaan Besar Jepang, 1989: 121). Pada sekitar tahun 1970an hampir 99,99% anak di Jepang mengikuti pendidikan wajib tersebut dan
tak terkecuali anak yang cacat mental dan fisik serta yang sakit-sakitan juga
mengikuti pendidikan wajib tersebut. Alhasil, anak-anak yang hingga waktu itu
dikecualikan atau diizinkan menangguhkan pendidikan sekolah, seperti anak-anak
yang harus tetap tinggal di tempat tidur, mencatatkan diri ke sekolah-sekolah dan
mulai mendapat pendidikan di rumah mereka dari guru-guru yang datang.
Pendidikan dari SD hingga SMA diselenggarakan sesuai dengan garis-garis
petunjuk pengajaran yang ditetapkan oleh negara. Buku-buku pelajaran yang
disusun oleh perusahaan-perusahaan swasta sesuai dengan garis-garis petunjuk
tersebut harus memperoleh pengesahan Kementrian Pendidikan. Setiap daerah
memilih buku-buku pelajaran sendiri dari buku-buku yang telah memperoleh
(31)
dibagikan secara cuma-cuma kepada para siswa. Meskipun telah disahkan
Kementrian Pendidikan, kenyataannya, biasanya hanya terdapat empat atau lima
buku pelajaran yang disahkan mengenai suatu mata pelajaran tertentu dan untuk
kelas tertentu. Di Jepang masa pendidikan untuk jenjang sekolah dasar (SD)
berlangsung selama 6 tahun lamanya, untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)
berlangsung selama 3 tahun saja dan untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)
berlangsung selama 3 tahun serta untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) berlangsung selama 5 tahun.
Adapun jadwal studi pertama kali di selesaikan pada tahun 1958 dan
perbaikan dilakukan pada tahun 1968 dan 1978. Dan jadwal studi yang diterapkan
untuk Sekolah Dasar meliputi: Bahasa Jepang, Ilmu sosial, berhitung, sains, musik,
seni, kerajinan tangan, kesehjahteraan keluarga, serta pendidikan jasmani (Vogel,
1982: 214). Lebih dari 99% anak usia Sekolah Dasar telah terdaftar di sekolah.
Hampir semua pendidikan dasar berlangsung di sekolah umum dan sekitar 1%
berlangsung di sekolah swasta (karena sekolah swasta cenderung mahal).
Kebanyakan sekolah negeri tidak mewajibkan seragam, akan tetapi setiap anak
diharuskan memakai name tag di sebelah kiri baju. Biasanya juga ada badge di bahu kirinya, yang biasanya warnanya disesuaikan dengan tingkatan kelasnya.
Misalnya warna kuning untuk kelas satu. Biasanya tas anak SD dilengkapi dengan
peluit kecil yang dibagikan dari sekolah secara gratis. Peluit ini diajarkan kepada
anak-anak untuk ditiup kalau bertemu dengan orang asing (tidak dikenal) yang
mengganggu (http: //japanlunatic.do.am/index).
Di tingkat SD biasanya tidak mengenal ujian kenaikan kelas. Siswa yang
(32)
demikian juga seterusnya. Siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD
dapat langsung mendaftar ke SMP. Akan tetapi tentu saja guru melakukan
ulangan sekali-kali untuk mengecek tingkat daya tangkap siswanya. Untuk siswa
kelas 4 hingga kelas 6 diadakan test IQ untuk melihat kemampuan dasar para
siswa. Data ini bukan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan hasil test IQ-nya,
tapi untuk memberikan perhatian lebih kepada siswa yang kemampuan dibawah
rata-rata maupun diatas rata-rata.
Untuk Sekolah Menengah Pertama adapun jadwal yang diterapkan
meliputi: Bahasa Jepang, Ilmu sosial, matematika, sains, musik, kesenian halus,
kesehatan, pendidikan jasmani, kerajinan industri, kesejahteraan keluarga, dan
bahasa asing. Berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang
berlainan setiap hari selama seminggu sehingga jarang ada jadwal pelajaran yang
sama pada hari yang berbeda. Tidak seperti SD, siswa SMP memiliki guru yang
berbeda untuk mata pelajaran yang berbeda. Pembelajaran di SMP cenderung
mengandalkan metode ceramah. Guru juga menggunakan metode lain seperti
radio atau televisi dan ada beberapa laboratorium. Semua siswa SMP harus
mempelajari karya klasik seperti Genji Monogatari dan hikayat Genji yang umurnya sudah 1000 tahun. Mereka tidak hanya diajarkan tentang hikayat Genji namun juga di ajari tentang tata bahasa Jepang klasik yang digunakan pada Genji Monogatari. Di tingkat SMP dan SMA di Jepang ada dua kali ulangan seperti mid test dan final test tapi tidak bersifat wajib ataupun nasional. Penilaian kelulusan tingkat SMP dan SMA di Jepang tidak berdasarkan final test akan tetapi akumulasi dari nilai test sehari-hari, ekstrakulikuler, mid test dan final test. Dengan sistem seperti ini, tentu hampir 100% siswa di Jepang dapat naik kelas
(33)
atau lulus. Di beberapa perfektur di Jepang mengadakan final test serentak selama
tiga hari, dengan materi ujian yang dibuat oleh sekolah berdasarkan standar dari
educational board disetiap perfektur. Selanjutnya siswa SMP yang telah lulus dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi mereka harus mengikuti ujian
masuk SMA yang bersifat standar educational board disetiap perfektur. Dalam memilih SMA yang akan dimasukinya, dia dapat berkonsultasi dengan guru,
orang tua atau lembaga khusus di educational board yang bertugas melayani konsultasi dalam memilih sekolah. Adapun bidang studi yang diujiankan adalah:
bahasa Jepang, bahasa Inggris, matematika, sosial dan sains.
Program wajib belajar di Jepang di kenal dengan nama “gimukyoiku” (compulsory education), yang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses
penuh kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan
SMP) dengan menggratiskan „tuition fee‟ dan mewajibkan orangtua untuk menyekolahkan anak. Di negara maju pengertian compulsory education (wajib belajar) mempunyai ciri-ciri :
a. Adanya unsur paksaan agar peserta didik bersekolah
b. Diatur dengan Undang-Undang tentang wajib belajar
c. Adanya sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah
d. Tolak ukur keberhasilan
(http: //mylawliet.multiply.com/journal).
Untuk memudahkan akses disetiap distrik didirikan SD dan SMP
walaupun di daerah kampung dan siswanya masih sedikit. Orangtua pun tidak
boleh menyekolahkan anaknya ke distrik lain, jadi selama program wajib belajar,
(34)
negeri di semua distrik sama, dalam arti fasilitas sekolah, bangunan sekolah,
tenaga pengajar dengan persyaratan yang sama (guru harus memegang lisensi
mengajar yang dikeluarkan oleh Educational board di setiap perfektur). Oleh karena itu mutu siswa SD dan SMP di Jepang yang bersekolah di sekolah negeri
dapat dikatakan sama, sebab kementrian pendidikan mengkondisikan equality (persamaan) disemua sekolah.
Untuk di SMA ada tiga jenis SMA yang dapat di pilih seperti : full time, part time, dan tertulis. Sekolah menengah yang full time berlangsung selama 3 tahun sedangkan kedua jenis lainnya menghasilkan diploma setara. Namun
sebagian besar siswa memilih SMA yang full time. SMA di Jepang memiliki beberapa jenis jurusan berdasarkan pola kurikulum yaitu jurusan umum
(akademis), pertanian, teknik, perdagangan, perikanan, home ekonomi dan
perawatan. Hampir semua SMP, SMA dan perguruan tinggi dan universitas
menentukan penerimaan siswa melalui ujian masuk, dan setiap sekolah
mengadakan ujian masuk sendiri. Siswa yang ingin masuk ke sekolah
bersangkutan harus mengikuti ujian masuk dan membawa surat referensi dari
SMP tempat ia lulus sebelumnya.
Dan setelah lulus dari tingkat SMA, para siswa yang ingin melanjut ke
perguruan tinggi harus mengikuti ujian masuk universitas yang berskala nasional.
Adapun ujian masuk perguruan tinggi yang harus diikuti oleh para siswa adalah
dalam dua tahap. Pertama secara nasional yaitu soal-soal yang disusun oleh
kementrian Pendidikan, yang terdiri atas lima subjek, sama seperti ujian masuk di
SMA, selanjutnya untuk tahap kedua siswa harus mengikuti ujian masuk yang di
(35)
dianggap sebagai “neraka” oleh para siswa lulusan SMA. Mereka tidak hanya dituntut untuk belajar dengan displin, tapi harus menguasai beberapa ilmu
pengetahuan. Seorang siswa yang mengikuti ujian masuk perguruan tinggi tidak
hanya bersaing dengan teman-teman sekolahnya saja, tapi dengan beribu-ribu
siswa yang tak dikenal dari wilayah lain yang ingin memasuki perguruan tinggi
yang sama. Disinilah peran orang tua, guru dan siswa menjadi sangat erat dan
saling bergantung satu sama lain. Orang tua dituntut untuk memberikan semangat
dan tidak membebani pikiran anaknya dan mengatur waktu anaknya agar tidak
terbuang percuma dengan kegiatan-kegiatan yang tidak berguna, dan seorang ibu
harus mempersiapkan segala kebutuhan anaknya dalam mengikuti les tambahan
(juku), dan guru mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk mendidik
siswanya agar dapat masuk ke perguruan tinggi yang diinginkannya.
Skor kelulusan adalah akumulasi ujian masuk nasional dan ujian masuk
Perguruan Tinggi. Adapun skor hasil ujian tidak diumumkan akan tetapi jawaban
soal ujian tersebut akan diberitakan dengan via koran, televisi, atau internet
sehingga para siswa dapat mengira-ngira sendiri berapa skor total yang diperoleh.
Siswa yang memilih universitas dengan skor tinggi, tapi jika skornya tidak
memadai, dapat mengacu ke pilihan universitas kedua. Namun jika skor yang
diperoleh tidak mencukupi, siswa yang bersangkutan tidak dapat masuk
universitas. Selanjutnya ia dapat mengikuti ujian masuk Universitas atau
Perguruan Tinggi swasta atau menjalani masa ronin (menyiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk ditahun berikutnya) di prepatory school (yubikou).
Di Jepang ada tiga jenis lembaga pendidikan tinggi, yaitu:
(36)
terdapat pendidikan sarjana (S-1) dan pasca sarjana (S-2 dan S-3). Pendidikan S-1
berlangsung selama 4 tahun kecuali untuk fakultas kedokteran dan kedokteran
gigi yang berlangsung selama 6 tahun, dan pendidikan S-2 berlangsung selama
dua tahun serta pendidikan S-3 atau yang sering disebut dengan Doctor’s degree berlangsung selama 3 tahun. Sedangkan untuk junior college memberikan pendidikan selama 2 atau 3 tahun. Sebagian besar siswa dari junior college ini di dominasi oleh perempuan, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan wanita
sebagai ibu rumah tangga. Adapun mata kuliahnya sangat terbatas dan hanya
mengacu kepada kurikulum tunggal saja, seperti kurikulum untuk musik saja,
melukis atau hanya untuk kurikulum bahasa inggris saja. Kebanyakan dari lulusan
junior college ini tidak melanjutkan kuliahnya ke S-1 dan sedikitnya hanya 5% saja lulusannya yang melanjutkan kuliah ke jenjang S-1. Dan untuk technical college masa pendidikannya berlangsung selama 5 tahun dan siswa lulusan tingkat SMP dapat melanjut ke lembaga tersebut dan nantinya siswa lulusan technical college ini menjadi tenaga teknisi yang handal.
2.3.Sistem Perekrutan Tenaga Kerja di Jepang
Sistem perekrutan tenaga kerja di Jepang di perusahaan-perusahaan Jepang
bukanlah dengan sistem yang bersifat pribadi atau kekeluargaan.
Perusahaan-perusahaan di Jepang tidak menganut sistem nepotisme dimana sanak family maupun keluarga sendiri baik itu anak tidak terlalu dipentingkan dalam merekrut
tenaga kerja baru. Karena ada semacam hubungan yang mendarah daging di
Jepang yang di sebut dengan hubungan senpai dan kohai. Nakane (1981: 154) menjelaskan bahwa keterikatan dan harapan-harapan seseorang seringkali tertuju
(37)
kepada kobun-nya, dan bukan kepada anak-anak dan kerabat sendiri. Memang kedudukan dan status tidaklah dimonopoli oleh satu keluarga yang khusus atau
kelompok berstatus, karena posisi atau status perorangan dalam garis vertikal itu
didasarkan pada hubungan pribadi yang bersifat langsung dengan orang-orang lain,
dan posisi seseorang jarang diserahkan kepada orang yang tidak secara langsung
ada hubungan dengannya didalam pekerjaan. Ada banyak kasus, dimana seorang
ayah yang memiliki posisi yang penting menunjuk seseorang diantara
bawahannya menjadi penggantinya bukan kepada anaknya sendiri karena
nantinya sang anak akan menghadapi hubungan pribadi yang kurang enak dengan
orang-orang yang lebih senior dari dirinya, yang tadinya secara langsung telah
mengikat diri kepada ayahnya; kesetiaan mereka itu kepada sang ayah tidak dapat
dengan mudah dipindahkan kepada si anak.
Pada umumnya di Jepang kemampuan pribadi dan prestasi seseoranglah
yang lebih banyak diperhitungkan daripada latar belakang keluarga. Apakah
seseorang dilahirkan didalam suatu keluarga terhormat atau kaya atau didalam
lingkungan keluarga petani yang miskin tidaklah menjadi persoalan ketika ia
dapat masuk kedalam kelompok yang terhitung berhasil (Nakane, 1981: 145).
Kemampuan seseorang secara langsung dan sederhana diterjemahkan melalui
kualifikasi pendidikannya. Baik lamanya pendidikan maupun mutu pendidikan itu
merupakan kriteria yang relevan. Dengan adanya patokan seperti itu, orang yang
kualifikasinya hanya sampai tingkat sekolah menengah tidak akan dapat bersaing
dengan seorang lulusan universitas dalam memperoleh kerja atau dalam mendaki
tangga promosi, apapun kemampuan dan pengalaman yang dipunyainya.
(38)
sebagai salah satu ukuran terpenting atas kemampuan dan kedudukan sosial
seseorang, dan tidak tinggi anggapan orang terhadap apa yang diperbuat seseorang
diluar pendidikan sekolah.
Nilai akademik yang dicapai oleh seseorang juga sangat menentukan
dalam pekerjaan yang akan dilamarnya. Misalnya seseorang dengan tingkat
prestasi yang begitu gemilang dimasa perkuliahannya akan cepat mendapatkan
pekerjaan yang dibuka oleh suatu perusahaan sebaliknya seseorang dengan nilai
akademik yang tidak begitu cemerlang akan memperoleh banyak tantangan untuk
mendapat pekerjaan. Bahkan beberapa perusahaan besar di Jepang melakukan
perekrutan tenaga kerja melalui sebuah lembaga khusus untuk merekrut
tenaga-tenaga profesional. Dan universitas akan memainkan perannya untuk menciptakan
generasi-generasi yang berkualitas di Jepang. Sebuah universitas ternama di
Jepang yaitu Universitas Tokyo merupakan sebuah universitas mapan yang sudah
diakui kualitasnya di Jepang. Bahkan lulusan-lulusan dari Universitas Tokyo
sudah diakui oleh masyarakat. Bahkan ada yang menyebutkan semacam “klik sosial” lulusan Universitas Tokyo. Kadang-kadang klik itu memiliki fungsi yang dapat dibandingkan dengan semacam kasta di India, yaitu didalam memonopoli
hak-hak istimewa tertentu dengan memanfaatkan persahabatan dan
hubungan-hubungan yang bahkan dapat menerobos melewati bagian-bagian departemen dan
lembaga (Nakane, 1981: 159).
Tingkatan universitas dimana seseorang menamatkan pendidikannya
banyak sedikitnya menentukan cakupan kegiatan orang itu, memberi
kemungkinan memasuki tingkat-tingkat status tertentu, dan menentukan berapa
(39)
kecenderungan makin lama makin kelihatan dalam tahun-tahun belakangan ini,
pada pabrik industri atau usaha bisnis yang paling tinggi posisinya, merekrut
calon-calon pegawainya dari universitas yang tingkatannya paling tinggi. Pada
waktu kecenderungan itu menjadi demikian kuat, seperti sudah disebutkan diatas
bahwa perusahaan-perusahaan yang posisinya paling tinggi membatasi secara
ketat permohonan kerja hanya bagi lulusan-lulusan baru dari
universitas-universitas yang tingkatannya paling tinggi.
2.4.Kyoiku Mama sebelum Perang Dunia II
Sebenarnya istilah kyouiku mama telah lama ada sebelum Perang Dunia II,
yaitu pada waktu pemerintahan Meiji. Konsep kyouiku mama sudah tertanam sejak digalakkannya istilah ryosai kenbo pada sekitar tahun 1890-an dikalangan para wanita saat itu. Ryosai kenbo berarti istri yang baik dan ibu yang bijaksana.
Pada waktu itu pemerintahan Meiji menggalakkan istilah “ryosai kenbo” untuk menekan pemberontakan perempuan-perempuan Jepang yang dikenal dengan
istilah moga atau wanita modern yang dipengaruhi oleh budaya barat yang menginginkan hak-hak yang sama dengan hak laki-laki dan juga moga diistilahkan dengan wanita masa kini. Dimana seorang wanita moga wajar pergi keluar dari rumah dengan rok pendek, ber-makeup, merokok dan lain sebagainya.
Ini merupakan ancaman bagi negara Jepang khususnya keluarga tradisional
Jepang.
Istilah ryosai kenbo berarti istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Sebagai
seorang istri yang baik, wanita Jepang harus melayani suaminya dengan setia dan
(40)
rumah tangga dengan baik. Dan sebagai ibu yang bijaksana, wanita Jepang
membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan baik sehingga dapat
menghasilkan anak-anak yang pandai, patuh dan cinta kepada tanah airnya
( http://thesis.binus.ac.id/Asli/Bab5/2008-2-00334-JP%20Bab%205.pdf).
Pemerintahan Meiji menggalakkan bahwa istilah ryosai kenbo adalah definisi sosial tanggung jawab wanita dalam bangsa kekaisaran, dan
keterbatasannya sebagai manusia. Seorang wanita berperan menjadi penjaga
kediaman domestik, memasak, bersih, mengelola keuangan rumah tangga, dan
diatas semua menyediakan lingkungan bahagia untuk suami yang bekerja keras
dan memberikan pendidikan yang tepat untuk generasi berikutnya untuk kejayaan
kekaisaran Jepang (http://from10thousandbc.files.wordpress.com). Disisi lain
adalah istri yang baik, ibu yang bijaksana (ryosai kenbo), lambang tradisionalisme
Jepang dan moral sehat yang baik. Istilah ryosai kenbo adalah tunduk dalam semua aspek hidupnya; dia adalah milik suaminya dan didakwa dengan menjaga
rumah dan mendidik anak-anaknya. Dari pengertian istilah ryosai kenbo diatas dapat kita lihat bahwa istilah kyouiku mama sudah ada sebelum perang dunia II yang tercermin dalam istilah ryosai kenbo dengan tujuan yang sama yakni seorang
istri difokuskan untuk mendidik anaknya menjadi manusia yang berkualitas dan
berguna bagi bangsa dan negaranya. Ryosai kenbo dan kyouiku mama dituntut untuk menjadi seorang istri yang tidak hanya berperan dalam mengurus masalah
rumah tangga saja tapi juga mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang
berhasil.
Pada awal sekitar tahun 1890-an telah berdiri berbagai perguruan tinggi
(41)
Sedangkan para perempuan hanya diberikan sekolah sampai tingkat SMA saja dan
fokus pendidikannya adalah untuk mempersiapkan diri menjadi ibu rumah tangga
yang baik nantinya. Bahkan pemerintahan pun menolak jika ada perempuan yang
ikut andil dalam kegiatan politik. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan
hanya memperkerjakan wanita yang belum menikah untuk jam kerja penuh waktu.
Dasar inilah yang menyebabkan ryosai kenbo menjadi paham yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang. Orang tua selalu menekankan anak
perempuannya untuk selalu patuh dan tunduk kepada suaminya.
Ryosai kenbo pun menjadi paham yang mendarah daging di masyarakat Jepang sejak zaman Meiji hingga akhir perang dunia pertama. Memasuki Perang
Dunia II, masyarakat Jepang mengalami krisis ekonomi yang parah dan
menyebabkan terjadi sedikit pergeseran istilah ryosai kenbo. Di Jepang pada saat itu mengalami perekonomian yang buruk dan banyak para suami yang ikut serta
berperang demi negara sehingga seorang ibu yang tadinya hanya mengurus rumah
tangga, kini harus rela membantu suami mencari nafkah dengan bekerja menjadi
buruh di perusahaan. Dengan kata lain istilah ryosai kenbo tidak terbatas hanya pada pekerjaan rumah tangga semata tetapi ia juga dituntut untuk melakukan
tugasnya diluar pekerjaan rumah tangga.
2.5.Kyoiku Mama setelah Perang Dunia II
Setelah Perang Dunia II, negara Jepang mengalami banyak perubahan
dalam arti kemajuan pesat negara dalam banyak bidang termasuk bidang ekonomi,
sosial dan pendidikan. Masyarakat dituntut untuk lebih kompetitif dalam
(42)
(gakurei shakai). Untuk memperoleh status sosial di masyarakat, tidak terlepas
dari tingkat pendidikan tinggi yang disandang oleh seseorang serta pekerjaan yang
di gelutinya. Di era baru tersebut muncullah istilah konsep kyouiku mama yang menggambarkan seorang ibu yang berusaha untuk mendorong anaknya sekolah
setinggi-tingginya serta nantinya akan memperoleh pekerjaan yang baik.
Adapun beberapa pengertian kyouiku mama menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1. Kyouiku mama menurut Takie Sugiyama Lebra dalam Sembiring (2011: 15) mengatakan bahwa kyouiku mama adalah ibu yang terobsesi dengan pendidikan anaknya dan secara terus menerus mendorong anaknya untuk belajar,
khususnya dalam persiapan untuk mengikuti ujian masuk sekolah.
2. Menurut Amano dalam (
http://thesis.binus.ac.id/Asli/Bab5/2008-2-00334-JP%20Bab%205.pdf) kyouiku mama adalah merupakan sebuah konsep yang muncul dalam masyarakat Jepang akibat sistem pendidikan yang berdasarkan
seleksi ujian masuk, perekonomian rumah tangga, serta kompetisi di berbagai
aspek kehidupan kian meningkat pada tahun 1974. Sebuah konsep dimana para
ibu memiliki ambisi berlebihan terhadap pendidikan anaknya sehingga rela
mengorbankan seluruh pikiran, tenaga, pekerjaan, maupun uang demi
memberikan anaknya pendidikan serta penghidupan yang layak yang tidak bisa
mereka dapatkan dulu atau sewaktu perekonomian Jepang belum stabil.
3. Menurut pandangan seorang psikolog Jepang, Shizuo dalam White dalam
(http://thesis.binus.ac.id/Asli/Bab5/2008-2-00334-JP%20Bab%205.pdf) Kyouiku mama merupakan salah satu gambaran pop culture yang sangat populer di dalam kebudayaan Jepang kontemporer. Para kyouiku mama merupakan para ibu yang
(43)
memaksa anak-anaknya untuk berhasil di segala bidang serta berambisi
mengarahkan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Istilah kyoiku mama sebenarnya pertama kali muncul di Jepang pada tahun 1960-an. Dimana pada saat itu wanita-wanita Jepang menginspirasi media untuk
menghasilkan idiom kyoiku mama, yang mana ditujukan untuk bagian rumah tangga dari keluarga sarariman. Ini mencakup sebuah tanggung jawab utama untuk mengasuh anak, terutama anak laki-laki, agar berhasil melalui tes yang
penuh dengan persaingan untuk memasuki sekolah lanjutan dan kampus. Tidak
ada muncul idiom serupa yang menganggap laki-laki sebagai “papa pendidikan”
melainkan “mama pendidikan” (http://en.wikipedia.org/wiki/Kyoiku_mama).
Tugas besar yang diemban seorang kyouiku mama ini tidak terlepas dari ketidakhadiran seorang ayah di tengah-tengah keluarga. Ayah menjadi seorang
sarariman yang selalu bertekad untuk menghidupi keluarga menjadikan keluarganya tidak berkekurangan apapun. Inilah yang menyebabkan seorang ayah
rela tidak bersosialisasi dengan keluarga serta anak-anaknya. Ia pulang dimalam
hari ketika keluarganya sudah tidur dan berangkat bekerja pada waktu pagi-pagi
sekali ketika anaknya masih terlelap. Semua yang berkaitan dengan pekerjaan
rumahtangga ia serahkan kepada sang istri. Sehingga hubungan ayah dan anak
tidak terjalin dengan baik. Penanaman nilai-nilai displin dan bijaksana yang
seharusnya diajarkan oleh ayah pun tidak lagi didapat oleh anaknya. Sehingga
semuanya ditanggungkan kepada istrinya. Inilah yang menyebabkan seorang
kyoiku mama semakin bertambah dekat dengan anaknya dan sebaliknya hubungan kyoiku mama dengan suaminya semakin menjauh. Okamura (1973: 22) juga mengatakan bahwa di Jepang sudah lama terdapat kecenderungan bagi istri untuk
(44)
bersikap kolot dalam menyatakan cintanya kepada suami, dan menjadikan anak
laki-lakinya yang akan menggantikan kepala keluarga sebagai objek cintanya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang ibu merupakan
benteng bagi rumah tangganya. Ia berperan aktif dalam lingkungan domestik dan
ayah berperan sebagai pencari nafkah semata. Peran ibu semakin erat kaitannya
dengan anak dimana Takie Sugiyama Lebra dalam Sembiring (2011: 27)
menjelaskan bahwa interaksi dan hubungan yang terjadi antara ibu dan anak
dalam keluarga Jepang merupakan suatu contoh ungkapan perilaku
ketergantungan antara anak terhadap ibunya. Ada beberapa ketergantungan yang
terjalin antara ibu dan anak dalam bentuk tradisi berupa hubungan yang ideal
yaitu, pertama, ibu memiliki wewenang terhadap anak, yang saat ini menjadi
suatu ketergantungan secara penuh yaitu dalam pengawasan, perlindungan dan
ketahanan hidup. Kedua, ibu adalah seorang penjaga dalam hal apa saja bagi
anaknya, misalnya ibu bertanggung jawab mulai dari makanan, pakaian, hingga
pengawasan kebutuhan ke kamar kecil. Ketiga, harapan atas keikutsertaannya
yang dipenuhi oleh rasa puas dalam hubungan ibu-anak. Sehingga pada akhirnya,
seluruh hidupnya akan dicurahkan untuk kesejahteraan anaknya.
Hubungan ibu dan anak pun semakin erat ketika ibu hanya berada di rumah
dan tidak bekerja. Ketika anak mulai memasuki bangku sekolah, kyouiku mama selalu berada disampingnya dan membantunya dalam mengerjakan semua tugas
(PR) yang diberikan oleh gurunya, bahkan ia juga yang meruncingkan pensil
anaknya agar waktu belajar anaknya tidak terbuang percuma. Begitu juga dengan
kegiatan sehari-hari yang dilakukan kyouiku mama terhadap anaknya. Seperti bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan
(45)
anaknya. Setelah anak dan suaminya pergi ke kantor dan sekolah, ia pun segera
bergegas untuk membersihkan rumah dan menyiapkan makan siang untuk
anaknya. Setelah anak kembali dari sekolah, ibu telah menyiapkan makanan
untuknya, kemudian ia harus segera menyiapkan diri untuk pergi ke juku, untuk menambah pelajaran dari sekolahnya.
Ketika anaknya mengikuti ujian masuk nasional yang diadakan di Tokyo,
kyouiku mama akan ikut dengan anaknya menuju tempat ujian dan menginap di hotel terdekat untuk memastikan anaknya supaya tidak terlambat ikut ujian,
membangunkan anaknya di pagi hari dan menyemangati anaknya dimenit terakhir
(46)
BAB III
PENGARUH KYOUIKU MAMA TERHADAP PENDIDIKAN DI JEPANG
3.1. Pengaruh Kyouiku Mama terhadap Masyarakat
Perubahan sosial yang terdapat dalam masyarakat Jepang setelah menjadi
masyarakat industrialisasi menyebabkan kelas-kelas sosial mulai dari menengah
sampai kelas sosial ke atas. Kyouiku mama sebagai ibu yang bertanggung jawab atas keberhasilan anaknya ingin menempati urutan kelas-kelas tersebut
menyebabkan ibu selalu mendorong anaknya untuk selalu menjadi “anak sempurna” baik dibidang akademik maupun di lingkungan sosialnya.
3.1.1. Di Lingkungan Sosial
Di lingkungan sosialnya kyouiku mama menanamkan “hal yang harus
dilakukan dan hal yang tidak boleh dilakukan” kepada anaknya sejak anak usia
dini. Ini dimaksudkan agar anak nantinya terlatih bila berada di lingkungan
sekitarnya. Misalnya mengucapkan terimakasih, menghormati yang lebih tua
darinya, meminta maaf ketika melakukan kesalahan, dan bersikap jujur, berterus
terang, tidak menutup-nutupi, serta dapat dipercaya. Anak-anak dari kyouiku mama selalu dilatih untuk mengharmoniskan kembali hubungannya setelah bermasalah dengan orang lain dengan inisiatifnya sendiri. Adapun beberapa hal
yang tidak boleh dilakukan adalah tidak boleh iri terhadap orang lain,
menginginkan sesuatu yang dimiliki oleh orang lain, bertengkar, rasa mau menang
sendiri dan tidak boleh menyebabkan masalah bagi orang lain.
Pendidikan moral yang semacam itu, membawa pengaruh besar bagi
masyarakat Jepang dimana dapat kita lihat bahwa di Jepang norma-norma
(47)
kesopanan menjadi sangat mendarah daging, menghormati orang yang lebih tua,
dan dapat pula kita lihat bahwa didalam diri masyarakat Jepang terdapat budaya
malu (shame culture), giri dan ninjou, budaya salam (ojigi) yang sangat sopan. Ini
merupakan didikan yang baik dari kyouiku mama kepada anaknya sejak usia dini.
Bahkan mantan perdana menteri Indonesia, bapak Daoed Joesoef mengacungi
jempol kepada kyouiku mama yang telah berjasa melahirkan dan mendidik anak-anak Jepang yang bermoral tinggi dan menjadi bangsa yang maju tapi tidak
melupakan budayanya. Seperti yang dikutip dari
http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/02/kyoiku-mama.html pengalaman Daoed Joesoef
ketika berada di Jepang dikatakan bahwa “Di toko buku, saya melihat seorang ibu sedang memilih-milih buku untuk anaknya, seorang murid SD. Ketika saya sapa,
dia menyadari saya orang asing, dia tegak kaku dengan tersenyum malu-malu.
Ibunya datang mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk
berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang memberi hormat, sambil
mengucapkan sesuatu yang lalu ditiru anaknya. Setelah mengetahui saya seorang
menteri pendidikan dan kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak
menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara nyaris merukuk, meminta
saya menandatangani buku yang baru mereka beli”.
Dari pernyataan yang dijelaskan di atas, dapat kita simpulkan bahwa
seorang kyouiku mama sangat berpengaruh dalam pembentukan norma-norma kesopanan dalam diri anak-anak Jepang. Meskipun bertemu dengan orang yang
tidak dikenalnya, ia harus sopan dan menunduk untuk memberikan salam. Dan
norma-norma kesopanan semacam itu telah berakar dan menjadi gaya hidup di
(48)
3.1.2. Dibidang Akademik
Kyouiku mama selalu menghadiri pertemuan guru dan orangtua yang diadakan di sekolah atau biasa disebut Parents Teacher Asociation (PTA). Di Jepang biasanya PTA ini diadakan dua kali dalam satu tahun. Ini bertujuan supaya
orangtua mengetahui seberapa besar kemajuan anaknya dalam sekolah. Di
pertemuan orang tua dan guru ini juga orangtua dapat berkonsultasi dengan
gurunya tentang tingkah laku dan prestasi-prestasi yang sudah dicapai oleh
anaknya. Ketika mengalami penurunan nilai-nilai prestasi, seorang kyouiku mama
akan mencari tahu sebabnya dan berusaha membangkitkan kembali minat belajar
anaknya dengan membantunya mengerjakan tugas-tugas sekolah. Ketika anaknya
berprestasi dan mencapai nilai-nilai akademik yang baik, kyouiku mama tak lantas
senang dan mengungkapkan kegembiraannya pada diri anaknya, sebaliknya ia
akan memberikan pujian itu kepada temannya karena ia telah berhasil menjadi
kyouiku mama yang berhasil mendidik anak yang berprestasi seperti yang diinginkannya.
Di pertemuan antara guru dan orangtua siswa (PTA) ini juga seorang
kyouiku mama dapat berkonsultasi dengan guru anaknya tentang sekolah atau universitas yang terbaik untuk anaknya masuki kelak. Sehingga seorang kyouiku mama dapat menginvestasikan dana pendidikan untuk anaknya. Seperti kata Muraya dalam
http://thesis.binus.ac.id/Asli/Bab5/2008-2-00334-JP%20Bab%205.pdf bahwa “Apabila kita menyebut kyouiku mama, maka ia adalah seorang ibu yang dapat memberikan anak-anaknya sebuah pendidikan
yang baik secara apik. Dengan alasan itulah, bagi kyouiku mama biaya pendidikan anak merupakan sebuah sasaran penghematan. Oleh karena itu, topik
(49)
yang paling penting bagi para kyouiku mama adalah dana pendidikan harus
dipergunakan dengan baik serta efisien.”
Ketika anak mulai mengikuti ujian perguruan tinggi, maupun ujian
semester maupun ujian masuk perguruan tinggi, seorang kyouiku mama telah mempersiapkan anaknya untuk masuk ke juku guna mengikuti pelajaran tambahan
agar anaknya dapat mengikuti ujian tersebut dengan baik dan lolos dengan nilai
yang memuaskan. Persaingan masuk ke perguruan tinggi yang begitu ketat
mendorong kyouiku mama untuk memaksakan anaknya supaya lolos ke perguruan
tinggi yang terbaik di Jepang. Ini merupakan tujuan seorang ibu menjadi seorang
kyouiku mama yang sangat ingin anaknya sukses dalam dunia pendidikan dan akan memajukan bangsa Jepang lewat pekerjaan yang digeluti anaknya kelak.
Kyouiku mama menjadi faktor pendukung terbesar dalam kemajuan bangsa Jepang dalam bidang ekonomi. Seperti yang dikutip dalam
http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/02/kyoiku-mama.html?m=1 bahwa “unsur kunci dari economic /miracle negeri sakura ini ternyata telah diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng, yaitu peran kyoiku mama atau education mama. Merekalah
yang membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa dari bangsanya sesudah
Perang Dunia. Kerja dan pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam
jalannya pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangat
krusial bagi keberhasilan ekonomi sesuatu bangsa.”
Meskipun kyouiku mama telah menjadi suatu faktor pendukung kemajuan bangsa Jepang, namun disisi lain kyouiku mama telah menimbulkan suatu keresahaan di lingkungan sekolah anaknya. Perhatian yang berlebih kepada sang
(50)
sekolah anaknya. Dapat dipastikan seorang kyouiku mama selalu mengawasi anaknya setiap saat dengan menelepon guru atau datang langsung ke sekolah
anaknya. Seperti beberapa kasus di bawah yang menunjukkan begitu antusiasnya
seorang kyouiku mama terhadap anaknya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan guru dan pihak sekolah.
Kasus 1.
Kasus Miyuki
Miyuki adalah salah satu ibu yang berpendidikan, lulusan perguruan tinggi.
Miyuki adalah seorang mantan guru prasekolah, yang cenderung merasa yakin
terhadap disiplin, dan melaporkan bahwa ibu-ibu lain sering memintanya untuk
dukungan dan saran:
“Sudah banyak teman-teman yang sangat terkesan dengan cerita saya. Kau tahu pengalaman saya sebagai seorang guru prasekolah telah
sangat membantu saya. Saya sering diminta nasihat ole ibu-ibu lain karena
itu. Mereka pikir saya tahu lebih banyak tentang membesarkan anak”. Miyuki merasa nyaman memonitoring dan mendukung kemajuan
anak-anaknya di sekolah. Dia mengevaluasi dengan cermat guru-guru yang tidak masuk
kelas. Dia merasa frustrasi bahwa guru prasekolah anaknya tidak memberi tahu
dirinya setiap spesifik tentang kemajuan anaknya di tahun pertama. Dia
menyarankan ibu-ibu lain untuk bersikap tegas dalam mendukung anak-anak
mereka, bahkan jika itu mungkin mengakibatkan "yang ditandai sebagai ibu
(1)
Tidak hanya itu, kyouiku mama juga berhasil dalam mendidik sikap tata krama Jepang dalam diri anaknya Misalnya ketika mulai makan anak kyouiku mama mencuci tangannya terlebih dahulu dan mengucapkan
“itadakimasu” untuk selalu bersyukur atas makanan yang diberikan dan setelah makan mengucapkan “gochishosamadeshita”.
5. Disisi lain kyouiku mama juga menimbulkan suatu masalah baru didalam keluarga. Kekerasan yang dilakukan seorang anak kepada ibunya adalah sebagai wujud pemberontakan anak atas sikap keegoisan kyouiku mama dalam mendidik anaknya atau sering disebut kateinaiboryoku. Alasan anak melakukan kekerasan terhadap orang tua, disebabkan oleh “rasa dendam terhadap orang tua” atau “ kesal terhadap diri sendiri.” Perasaan ini muncul ketika orang tua memberikan beban terhadap anak untuk mengikuti jalan hidup yang telah ditentukan ibu, yaitu masuk “sekolah top,” mendapat “nilai bagus,” dan bekerja di “perusahaan top.”
6. Pengaruh kyouiku mama terhadap anak dapat terlihat ketika anak-anak di Jepang menjadi anak yang displin dan mandiri. Ia berubah menjadi anak yang displin dalam menggunakan waktu. Ia tidak pernah terlambat ke sekolah, ia selalu tepat waktu dalam mengerjakan segala sesuatu. Anak kyouiku mama juga sangat mandiri ketika ia masih kecil. Ini dapat terlihat
ketika ia dapat menggunakan sumpit ketika makan, buang air dengan pergi ke toilet sendiri tanpa bantuan dari kyouiku mama. Ketika mulai bersekolah pun ia dapat menyusun mata pelajaran yang akan
(2)
ranjau mental kepada anaknya. Pengasingan diri dari dunia sosial (hikikomori) dan fenomena bunuh diri (jisatsu) dikalangan pelajar di Jepang menjadi semakin marak akibat tuntutan yang berlebihan dari seorang kyouiku mama.
4.2 Saran
Seorang kyouiku mama menjadi salah satu orang memiliki peran yang sangat besar dalam pendidikan anaknya. Pembentukan moralitas, sopan santun, tata krama dan kedisplinan serta kemandirian anaknya. Namun disi lain seorang kyouiku mama juga ternyata memberikan pengaruh buruk terhadap masyarakat, keluarga dan anaknya sehingga menyebabkan seorang kyouiku mama dianggap baik untuk sekalangan orang dan dianggap kejam juga bagi sekalangan orang. Meskipun sebenarnya tujuan seorang kyouiku mama sangat baik yaitu untuk mensukseskan anaknya namun ada baiknya seorang kyouiku mama melihat kemampuan anaknya, tidak hanya memaksakan kehendaknya sendiri terhadap anaknya.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Damsar, Dr. Prof. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa ini. Jakarta: Gramedia
Harahap, Risma Dani. 2014. Skripsi: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Temperamen Anak Usia Sekolah Di Desa Tanjung Rejo Dusun XI
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Medan: USU
Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Khairuddin, H. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Kedutaan Besar Jepang. 1989. Jepang Sebuah Pedoman Saku. Jakarta: Foreign Press Center
Landis, Judson dan Mary Landis. 1960. Personal Adjustment Marriage and Family Living. United States Of America: Prentice-hall,inc Englewood
Cliffs, N. J
Malo, Manase. 1985. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Karunia Jakarta
Nakane, Chie.1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan
Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Tarsito
(4)
Sembiring, Erma Dani. 2011. Skripsi: Peranan “Kyoiku Mama” Dalam Membentuk Karakteristik Bangsa Jepang. Medan: USU
Seputri, An Wariyah M. 2008. Skripsi: Kekerasan Anak Terhadap Orang tua (Katenaiboryoku) di masyarakat Kontemporer Jepang. Depok. UI
Situmorang, Hamzon dan Rospita Uli. 2011. Telaah Budaya dan Masyarakat Jepang. Medan: USU Press
Soekanto, Soerjono. 1992. Sosiologi keluarga, Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta
Strauss, anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Tobing, Ekayani. 2006. Keluarga Tradisional Jepang dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial. Depok: ILUNI KWJ
Toshiaki, Tachibana. 2010. The New Paradox for Japanese Women: Greater Choice, Greater Inequality. Tokyo: LTCB International Library
Foundation.
Vogel, Ezra F. 1982. Jepang Jempol. Jakarta Timur: Sinar Harapan
http://amikaze-sasori.blogspot.com/2009/02/ekonomi-jepang.html ( diakses 10 maret 2014)
http://en.wikipedia.org/wiki/Kyoiku_mama (diakses pada tanggal 8 september 2014)
(5)
日本
教育制度
対し
教育ママ
現象
教育 練習 教え 人 性質 行為 変わ 過程 し あ 教 育 社会動員 機能 あ 一番 教育 仕 社会 人 社会地 高くす 番 教育 所得 構造 影響
す 教育 話せ 家族 役割 関係 あ 戦争 前 日本人 大 部分 大家族 家 育 家 家族 教育 中 原則 し あ 現実 権威 い 母 育 甘や す 暗 育 子供
多い 昔 母 対し 子供 生 夫 家族 す 保障 持 いう意味 あ し し 第 次世界大戦 あ 家 消え
父 母 子供 核家族 変わ す く経 長 し 日本 会社 多く 父 マン しまう
マン いう 英語 [salaryman] 会社 務員 し 仕
す 人 いう意味 持 マン し 仕 父 子供 うまく育 い 家庭 子供 育 妻 任せ 妻 主婦 し 掃除し 食べ物 作 学校 社会 環境 功し 子供 育 う 活動 す
経 長 す 日本人 いい社会的地 し
い 其 原因 母 いい社会的地 や仕 いい学校 持 育 い 教育ママ 概念 現 教育マ マ 子供 教育 妄想 母 あ 教育ママ 子供 いい学 校 いい大学 入 す 教育ママ 小 い年齢 学校
用意す 子供 いい幼稚園やいい小学校やいい大学 入学 教育ママ い 学校 学 足 い 思 子供 塾 勉強し い 教育ママ 一日 子供 十六時間 勉強し
い 強制す 大学 入学試験 厳し 理由 い 教育 あ い い 教育ママ 子供 徳的価値 育
教育ママ 子供 家族 日本社会 積極的影響 あ 教育ママ 子供 育 恥文化 義理 人情 辞儀 う 徳的価値 日本社会 積極的影響 挙 習 そ く 教育葉子供 規律 自立 礼儀 責任 教え 全 す いい人間 家族 自
あ
(6)
ママ 否定的影響 子供 学校 当 あ 教育ママ 子供 学校 く干 す 学校側 不安 起 す 教育ママ 子供 発 し く学校 来 教育ママ い先生 軽 視す い 教育ママ 批判 い 学校 出 い 先生 多い