Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini

(1)

1

FENOMENA KODOKUSHI DI JEPANG DEWASA INI

GENZAI NO NIHON NI ARU KODOKUSHI NO GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: DILA FITRIA

100708029

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

2

FENOMENA KODOKUSHI DI JEPANG DEWASA INI

GENZAI NO NIHON NI ARU KODOKUSHI NO GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: Dila Fitria 100708029

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamzon Situmorang, M. S, Ph. D. Adriana Hasibuan, S. S, M. Hum. NIP. 195807041984121001 NIP. 196207271987032005

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

3 Disetujui oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, Oktober 2014 Depatemen Sastra Jepang Ketua Departemen

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum. NIP. 19600919 1988 03 1 001


(4)

i ABSTRAK

Fenomena kodokushi di Jepang Dewasa Ini

Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dengan tingkat perekonomian yang tinggi. Meski begitu akibat kemajuan dalam semua bidang, termasuk bidang kesehatan, Jepang tidak terlepas dari masalah-masalah sosial yang harus dihadapi. Jepang yang telah memiliki layanan kesehatan yang mudah diakses, kemajuan teknologi kedokteran dan gaya hidup sehat. Hal ini menyebabkan tingginya angka harapan hidup masyarakatnya. Pada dasarnya ini merupakan hal yang positif karena menandakan meningkatnya kualitas hidup, tetapi dilain sisi menyebabkan makin meningkatnya populasi penduduk lansia di Jepang. Peningkatan jumlah lansia merupakan masalah sosial yang sedang dihadapi masyarakat Jepang saat ini karena tidak diikuti dengan jumlah kelahiran. Kemerosotan angka kelahiran ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup lansia ke depannya. Jika jumlah anak merosot ini berarti jumlah tenaga produktif akan berkurang. Jika tenaga produktif berkurang maka pajak pendapatan guna membiayai lansia ikut berkurang dan terbatasnya tenaga perawat bagi lansia. Padahal dari tahun ke tahun tunjangan kesehatan yang harus di keluarkan negara bagi para lansia semakin besar.

Para lansia ini juga sedang dihadapkan pada masalah yang disebut

kodokushi. Kodokushi adalah suatu kondisi dimana seseorang mati dalam keadaan kesepian atau sendirian tanpa ada keluarga yang mendampingi. Kondisi ini sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja, namun di Jepang fenomena kodokushi

banyak terjadi pada para lansia yang tinggal sendiri. Kodokushi menjadi perhatian pasca gempa bumi Kobe pada tahun 1995. Saat itu ditemukan 207 kasus kematian


(5)

ii

lansia yang hidup tanpa keluarga. Di duga hal ini karena kurangnya kepedulian masyarakat sekitar sehingga para lansia merasa terisolasi dari lingkungannya dan tidak lagi memiliki keinginan untuk hidup (ikigai). Selain itu lemahnya ikatan sosial yang terjadi dalam masyarakat Jepang sekarang sehingga membuat jarak antara generasi muda dan generasi tua. Penyebabnya sejak pasca perang dunia II kehidupan masyarakat Jepang mulai beralih dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Perubahan ini juga turut mengubah struktur keluarga di Jepang yang awalnya berbentuk ie berubah menjadi bentuk kaku kazoku. Ini disebabkan perindustrian membuat para remaja harus pergi ke kota untuk mencari pekerjaan dan harus berpisah dengan orang tua mereka akibatnya perlahan-lahan sistem ie mulai tergantikan. Para generasi tua yang terbiasa dengan sistem ie ini akhirnya merasa tersisihkan dari lingkungan sosial yang kemudian menyebabkan depresi dan kehilangan keinginan untuk hidup. Para lansia yang depresi kemudian banyak yang mengkonsumsi minuman keras dan melakukan tindakan bunuh diri. Masalah ekonomi juga turut memperparah keadaan para lansia. Karena tidak mampu membiayai hidupnya banyak para lansia yang meninggal karena sakit, kelaparan, dan kedinginan.

Fenomena kodokushi sendiri menyebabkan adanya rasa takut terhadap para lansia. Banyak dari mereka karena khawatir akan mengalami kodokushi

sehingga tidak ingin tinggal di tempat penampungan. Bahkan banyak dari lansia melakukan tindakan kriminal seperti mencuri atau mengutil di toko untuk mencari perhatian, sebagian besar mengambil kerja paruh waktu agar mereka tidak merasa disisihkan dari kehidupan bermasyarakat.


(6)

iii

Meningkatnya jumlah kodokushi dari tahun ke tahun menjadi masalah yang sangat serius bagi warga Jepang saat ini. Beberapa media massa banyak menyalahkan pemerintah mengenai fenomena kodokushi ini. Mereka mengatakan pemerintah tidak ikut serta dalam membangun komunitas yang saling peduli, padahal pemerintah telah membuat undang-undang yang menjamin kesejahteraan lansia. Selain itu untuk mendukung undang-undang ini banyak program yang dibuat oleh pemerintah, masyarakat, juga para lansia guna menjamin kesejahteraan dihari tua.

Program yang dilakukan pemerintah diantaranya memberikan tunjangan kesejahteraan bagi lansia, membangun panti jompo, mendatangkan perawat asing, dan lain sebagainya.Para lansia sendiri juga melakukan banyak usaha untuk mengurangi kodokushi, diantaranya dengan membentuk kelompok lansia, menjadi

volunteer disuatu lembaga, membangun usaha sendiri, dan sebagainya.


(7)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil „Alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah begitu banyak memberi nikmat kepada penulis baik nikmat waktu, kesempatan, kesehatan dan masih banyak lagi yang sering penulis lupakan. Berkat rahmat Allah SWT juga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat dan salam penulis sampaikan semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, sahabatnya, dan seluruh umat dimanapun berada.

Adapun skripsi ini berjudul: Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini dapat selesai berkat bantuan dari banyak pihak, maka dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M. S., Ph. D., selaku Dosen Pembimbing I yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Adriana Hasibuan, S. S, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam mengerjakan skripsi.

i


(8)

v

5. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ilmu Budaya USU, khususnya pada Departemen Sastra Jepang yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis.

6. Ayah dan Mamak tercinta (Ahdan dan Nurmismah) yang tanpa lelah mengorbankan segalanya sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan sampai saat ini, kalian menjadi inspirasi dan penyemangat yang luar biasa. 7. Adik-adikku tersayang (Rizal, Taufik, Arini) yang telah menjadi

penyemangat dan penghibur bagi penulis sampai saat ini, penulis akan berusaha lebih baik lagi ke depannya untuk membantu kalian mewujudkan impian dan menjadi contoh yang bisa di teladani.

8. Orang-orang yang akan paling di rindukan setelah tamat, Elvi, Liska, Echa, Vitri, Martha, yang dengan senang hati mau mendengar keluh-kesah penulis, sabar menghadapi sikap penulis yang menyebalkan, dan menghibur penulis dengan semua candaan dan gurauannya. Setelah ini kita masih punya mimpi yang harus kita kejar dan meski nanti kita terpisah, semoga gak ada yang berubah ^_^.

9. Teman-teman penulis, Puti, Chusyam, Dian, Lina, Linda, Restu, Bari, Baim, Rauf, pendopo genk, dan berbagai pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, biarpun nanti kita berjauhan jangan lupa sama ku ya .

10.Untuk “BM” (Ayu, Tika, Ifa, Winda) dan Retno yang biarpun kita jarang ketemu karena kesibukan masing-masing, tapi kalian tetap nggak bosan-bosan ngingatkan aku tentang skripsi, menjadi sahabat terhebat sampai hari ini dan semoga selama-lamanya.

ii


(9)

vi

11.Rekan-rekan Sastra Jepang Stambuk 2010 yang telah memberi banyak bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan yang telah menemani penulis dalam menghadapi dunia perkuliahan sampai saat ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya dan ingin mengetahui lebih banyak mengenai

kodokushi.

Medan, Oktober 2014

Penulis,

Dila Fitria

iii


(10)

vii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI……….….…………...…iii

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1. Latar Belakang Masalah……….1

1.2. Perumusan Masalah………...……….6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan………...7

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………8

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..……...11

1.6. Metode Penelitian……….12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI 2.1. Definisi kodokushi……….13

2.1.1. Pertumbuhan Penduduk Jepang………..16

2.1.2. Pelaku Kodokushi………20

2.2. Penyebab Terjadinya Kodokushi………...22

2.3. Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia……...30

2.4. Contoh-contoh Kejadian Kodokushi……….34

BAB III DAMPAK KODOKUSHI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG 3.1. Diri Sendiri (Kaum Lansia)………36

3.2. Masyarakat………...…………... 40

3.3. Negara………46

iv


(11)

viii BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan………... 55

4.2. Saran……… 56

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK.

v


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Selain memiliki kebudayaan yang begitu beragam, Jepang juga memiliki perindustrian yang maju dan ekonomi yang kuat. Tidak banyak negara maju yang mampu mempertahankan kebudayaannya hingga dikenal diseluruh dunia namun diimbangi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang merupakan salah satu dari negara-negara Asia yang mampu bersaing dengan negara-negara barat saat ini, Jepang yang awalnya mencontoh dari negara-negara barat terutama Amerika dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini mampu mengimbangi negara-negara tersebut bahkan mengunggulinya.

Kemajuan Jepang dalam berbagai bidang telah dimulai sejak pemerintahan Meiji yang menganjurkan industrialisasi dan peningkatan produksi, kemakmuran nasional, dan kekuatan militer, akibatnya ekonomi kapitalis Jepang mulai tumbuh pesat. Setelah Perang Dunia II kemakmuran Jepang juga dikarenakan adanya perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat yang menekankan kemajuan ekonomi dan politik yang berorientasi pada perdagangan dan pendidikan, hal itu membantu memulihkan kondisi rakyat yang menderita trauma dan peperangan. Pencapaian Jepang hingga sekarang tidak terlepas dari semangat kerja orang Jepang yang sangat tinggi serta budaya kelompok yang kuat. Setiap pekerjaan yang mereka lakukan merupakan pekerjaan untuk kepentingan bersama. Mereka bekerja keras untuk menunjukkan keberhasilan pekerjaan yang dilakukannya juga


(13)

2

rela dan loyal melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya demi kepentingan keluarga dan negara walaupun pekerjaan itu berat. Sikap loyal diperlukan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup didalam masyarakat. Semangat kerja mayarakat Jepang ini dapat dilihat disiaran televisi, koran, ataupun majalah Jepang yang sering memberitakan tentang orang meninggal karena kelelahan dalam bekerja, fenomena ini disebut dengan istilah karoshi (Skripsi Lastri Pebriyanti Situmorang: 2008). Ini merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka lebih mementingkan pekerjaannya daripada kehidupan sosialnya.

Statistik tahun 2013 menunjukkan rata-rata setiap tahunnya pekerja Jepang bekerja sekitar 1.765 jam yang merupakan salah satu jam kerja tertinggi di dunia dan para pekerja Jepang lebih sering merelakan hari liburnya untuk bekerja. Para pekerja di Jepang secara tradisional maupun struktural didorong untuk meningkatkan pendapatan dengan bekerja lembur. Perusahaan tidak memaksa pegawai bekerja lebih panjang, akan tetapi pegawai secara sukarela melakukannya demi prestasi. Mereka secara sukarela harus bekerja lebih lama, baik untuk prestasi atau meraih pendapatan lebih tinggi karena dalam budaya kerja masyarakat Jepang kenaikan pangkat dinilai berdasarkan prestasi kerja.

Orang-orang yang hidupnya tergantung gaji ini dikenal dengan istilah

Salaryman. Mereka adalah kaum pekerja kelas menengah kebawah yang hidupnya serba pas-pasan. Para salaryman ini seluruh hidupnya berkutat disekitar pekerjaan dikantor dan bekerja lembur setiap hari. Jenis pekerjaan yang termasuk kedalam

Salaryman adalah pegawai Bank, asuransi, perusahaan pelayanan, pegawai perusahaan listrik dan gas, pegawai perkapalan, pegawai kontruksi, dan lain sebagainya. Sikap masyarakat Jepang yang seperti ini tidak terlepas dari tingginya


(14)

3

biaya hidup yang harus dipenuhi. Hal ini menyebabkan para pekerja tidak

memiliki kehidupan sosial diluar kehidupan kantornya karena mereka hanya berteman dan bergaul dengan orang-orang ditempat kerjanya. Mereka tidak mengenal orang-orang dilingkungan sekitarnya sehingga ketika mereka telah pensiun dan berpisah dari teman-teman kantornya mereka tidak memiliki teman untuk berbagi bahkan dengan keluarga sendiripun tidak memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka bahkan tidak memiliki keluarga karena tidak pernah menikah. Kondisi seperti ini disebut dengan istilah Muen shakai yaitu seseorang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Kondisi masyarakat yang seperti ini pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah sosial dalam masyarakatnya.

Salah satu masalah sosial yang sedang dihadapi Jepang saat ini adalah

kodokushi. Jika dilihat dari kanjinya yaitu kodoku(孤独) yang berarti kesepian dan

shi(死) yang berarti kematian, maka kodokushi dapat diartikan mati kesepian atau mati dalam kesendirian. Kodokushi merupakan masalah sosial yang saat ini sedang dihadapi kaum lansia Jepang, suatu kondisi dimana orang tua yang hidup sendiri, di apartemen ataupun di rumah mereka, meninggal tanpa ada keluarga yang merawatnya. Hal ini dikarenakan adalah berubahnya sistem masyarakat di Jepang yang disebabkan beralihnya masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Pola keluarga Jepang yang awalnya berbentuk Ie dimana dalam satu rumah tangga dapat hidup dua sampai tiga generasi berubah menjadi kaku kazoku

atau keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Hal ini dimaklumi mengingat biaya hidup yang semakin lama semakin mahal membuat tradisi keluarga besar yang hidup bersama semakin pudar.


(15)

4

Akibatnya banyak orangtua yang tidak lagi tinggal bersama anak atau cucunya kemudian menyebabkan banyak orang tua tinggal sendiri atau di panti jompo dan kemudian meninggal. Fenomena kodokushi ini merupakan dampak dari peningkatan jumlah lansia di Jepang dimana saat ini pertumbuhan kaum lansia meningkat sedangkan penduduk usia muda semakin menurun atau biasa disebut

shoushi koreika. Penyebab menurunnya jumlah penduduk usia muda dikarenakan kaum wanita Jepang saat ini merasa kesulitan untuk memilih antara kodratnya sebagai ibu rumah tangga yang harus mendidik anak atau berkarir. Banyak dari mereka lebih memilih bekerja sehingga mereka tidak mau melahirkan anak bahkan semakin banyak kaum wanita yang tidak mau menikah. Ini menyebabkan angka kelahiran di Jepang saat ini adalah yang terendah di dunia yaitu sekitar 1,3 per pasangan sedangkan angka lansia mencapai 23,3% pada 2011 dan diprediksi akan mencapai 38,5% pada 2050. Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan kaum lansia yang hidup tanpa keluarga dan hubungan sosial yang baik dengan sekitarnya. Pada dasarnya peningkatan usia hidup disatu sisi menunjukkan hal yang positif karena hal ini berarti meningkatnya sistem kesehatan dan pola hidup yang baik, akan tetapi dalam perkembangannya hal ini menimbulkan masalah yaitu tentang penanganan lansia. Para lansia tidak mendapatkan kualitas pemeliharaan yang memadai akibat keterbatasan tenaga muda yang produktif.

Fenomena kodokushi adalah fenomena sosial yang muncul ke permukaan di Jepang pasca gempa bumi Kobe tahun 1995. Kasus ini mencuat pasca ditemukannya 207 lansia yang meninggal di rumah penampungan sementara (Themporary Shelter Housing). Mereka adalah para lansia yang menjadi korban gempa dan tidak memiliki sanak keluarga. Kondisi ini menyebabkan mayoritas


(16)

5

dari mereka mengalami deperesi akibat kesepian, banyak diantaranya yang akhirnya mengalami ketergantungan alkohol. Sebagian lagi ditemukan karena kelaparan, kekurangan gizi, atau sakit lever. Mayoritas adalah pria berusia 55 an. Jumlahnya hampir dua kali lipat wanita yang rata-rata berusia 70 tahun-an.

Kasus-kasus kodokushi lainnya banyak dialami oleh para pekerja yang memasuki usia pensiun dimana sebagian besar masyarakatnya, terutama kaum pria, memiliki fokus yang lebih besar terhadap pekerjaannya sehingga mereka akan merasa diasingkan apabila mereka telah pensiun atau kehilangan pekerjaan. Pada lansia berumur 70-80 tahunan sering muncul perasaan tidak puas terhadap kaum muda yang dianggap tidak mampu merawat mereka dan mereka beranggapan bahwa keberhasilan Jepang menjadi negara maju yang membuat para generasi muda hidup nyaman adalah berkat jasa mereka. Hal ini diperparah karena adanya budaya malu dalam masyarakat Jepang dan kebiasaan tidak ingin mencampuri masalah orang lain sehingga ketika seseorang dalam kesulitan mereka tidak mau meminta bantuan orang lain meski itu keluarganya sendiri, bagi mereka lebih baik bertahan dalam penderitaan daripada harus meminta bantuan orang lain. Karenanya masyarakat Jepang cenderung individualis dan merasa hidup nyaman tanpa harus berinteraksi dengan banyak orang. Gaya hidup masyarakat Jepang yang cenderung individualis ini pada akhirnya membawa dampak negatif karena ketika mereka meninggal tidak ada yang mengurus jasad mereka. Namun disisi lain hal ini melahirkan perusahaan-perusahaan yang menangani urusan kematian, mulai dari pemindahan barang-barang orang yang sudah meninggal, upacara kematian, hingga pemakaman.


(17)

6

Menurut Soekanto dalam sosiologi suatu pengantar, sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya serta menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya (1990: 124). Proses ini bisa disebut sosialisasi sehingga ketika kehilangan agen sosialisasi untuk sebagian besar manusia ini membuat mereka merasa terisolasi dari lingkungannya dan kehilangan masa depannya. Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian besar kaum lansia Jepang sekarang ini, ditambah tidak adanya lagi sistem keluarga besar dimana dalam satu keluarga dapat hidup dua sampai tiga generasi yang memungkinkan kaum lansia dapat terus bersosialisasi.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis merasa penting untuk membahas dan menganalisis tentang sejarah dan pekembangan kodokushi

yang berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Jepang. Hal ini akan penulis bahas melalui skripsi yang berjudul Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini .“

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Guba dalam Moleong (2007: 93) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara 2 faktor atau lebih yang menghasilkan situasi lain yang menyeret mereka dalam hubungan yang rumit yang mereka sendiri sulit memahaminya.

Fenomena kodokushi sendiri telah menjadi masalah serius bagi pemerintahan Jepang. Fenomena tersebut menunjukkkan lemahnya ikatan sosial masyarakat Jepang saat ini padahal Jepang adalah negara yang bangga akan


(18)

7

komitmen mereka untuk menghormati orang tua. Kebanggaan ini ditunjukkan dari adanya sistem Ie dimana dalam satu keluarga dapat terdiri dari dua hingga tiga generasi, menurut Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2011: 25) Ie adalah kelompok kerjasama dalam mengelola kehidupan. Maka jika ditinjau lebih jauh pada dasarnya masyarakat Jepang didasarkan pada dua pilar yaitu pekerjaan dan keluarga yang stabil, namun sekarang hal tersebut tidak sekuat dulu lagi.

Berdasarkan hal diatas maka permasalahan penelitian ini akan menjawab masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah realitas kodokushi?

2. Bagaimanakah usaha mengatasi kodokushi dan apa dampak yang ditimbulkan oleh kodokushi terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang?

1.3. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah karena dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga penulis dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah tersebut dan agar tidak menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Seperti diketahui bahwa setiap manusia memiliki masalah tidak peduli apakah seseorang tersebut muda ataupun tua. Di Jepang sendiri yang merupakan negara maju masyarakatnya tidak terlepas dari masalah-masalah sosial tidak


(19)

8

hanya kaum muda saja, tetapi kaum lansia juga. Salah satu masalah sosial yang sedang dihadapi kaum lansia Jepang saat ini adalah kodokushi. Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan, dalam penulisan ini hanya akan membahas masalah

Kodokuhi dalam kehidupan kaum lansia Jepang dan dampak yang ditimbulkannya terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang. Untuk mendukung pembahasan ini penulis juga akan membahas tentang kehidupan sosial masyarakat Jepang dewasa ini, latar belakang terjadinya kodokushi, serta faktor-faktor penyebab terjadinya

kodokushi di Jepang.

1.4. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

a. Tinjauan Pustaka

Setiap manusia dimanapun mereka berada tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain karena manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri sehingga perlu adanya jalinan kerjasama antara manusia yang satu dengan yang lain. Tidak dapat dibayangkan bagaimana kehidupan manusia jika tidak berada dalam masyarakat (sosial) sebab setiap individu tidak dapat hidup dalam keterpencilan selama-lamanya. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai manusia. Saling ketergantungan ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.

Mac Iver dan page dalam Hasan (2009: 28) menyatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta


(20)

9

kebebasan- kebebasan manusia. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan masyarakat selalu berubah.

Kenudian Ralph Linton dalam Hasan (2009: 28) dalam bukunya yang berjudul The Study of Man, mengemukakan masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

Dari penjelasan diatas maka jelaslah bahwa manusia adalah makhluk sosial sedangkan yang merupakan bentuk umum dalam proses-proses sosial adalah interaksi sosial, bahkan beberapa ahli sosiologi berpendapat bahwa interaksi sosial tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses-proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan secara perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1990: 51).

Namun dalam masyarakat Jepang sekarang ini interaksi sosial yang terjadi sangat jarang karena adanya tuntutan pekerjaan sehingga interaksi sosial dianggap tidak terlalu penting. Hal ini akhirnya menjadi masalah bagi masyarakat Jepang yang salah satunya adalah kodokushi.

b. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian perlu adanya kerangka teori untuk mendukung penelitian tersebut, menurut Koentjaraningrat (1976: 1) kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak


(21)

10

kedalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini, penulis menggunakan teori pendekatan psikologi sosial, teori sosiologi, juga pendekatan fenomenologis untuk meneliti masalah yang berkaitan dengan kodokushi.

Michener dan Delameter, dalam Tridayaksini dan Hudaniah (2003: 5) mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi yang sistematik tentang sifat alami dan sebab-sebab dari perilaku sosial manusia. Sementara menurut Shaw Costanzo dalam Sarwono (1987: 3), psikologi sosial didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu sebagai fungsi dari rangsangan-rangsangan sosial. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan rangsangan-rangsangan-rangsangan-rangsangan sosial adalah manusia dan seluruh hasil karya manusia yang ada disekitar individu. Teori ini berhubungan dengan bagaimana cara berfikir kaum lansia di Jepang dalam menghadapi masalah yang ada dalam kehidupannya.

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto dalam Upe (2010: 39) menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial dan masalah sosial.

Menurut Moleong (1994: 8), pendekatan fenomenologis menekankan rasionalitas dan realitas budaya yang ada serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut. Dalam pendekatan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu.


(22)

11

Penulis menggunakan teori psikologi sosial, teori sosiologi, dan pendekatan fenomenologis untuk menjawab hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya

kodokushi dan dampak yang ditimbulkan oleh kodokushi terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang karena perilaku individu pelaku kodokushi merupakan gejala psikologi sosial yang terjadi di masyarakat.

1.5. TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN

a. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui latar belakang terjadinya kodokushi.

2. Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh kodokushi terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang.

b. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai kodokushi.

2. Diharapkan mampu menambah informasi bagi para pembaca khususnya pelajar Bahasa Jepang mengenai masalah sosial yang sedang dihadapi kaum lansia di Jepang yaitu kodokushi.

3. Menjadi bahan referensi bagi pembaca yang ingin meneliti masalah

kodokushi lebih jauh.


(23)

12 1.6. METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian sangat diperlukan metode-metode yang mendukung penelitian untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Maka dalam mengerjakan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya. Menurut Koentjaraningrat (1976: 30) penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh, dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Selain itu untuk pengumpulan data penulisan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran. Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book

dilakukan di perpustakaan. Data juga didapat melalui Internet yang berhubungan mengenai masalah kodokushi dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial ini.


(24)

13 BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI

2.1. Definisi Kodokushi

Kata kodokushi Jika dilihat dari makna kanjinya maka 孤 独(kodoku)

berarti kesepian atau kesunyian, sedangkan死 (shi) yang memiliki arti kematian. Jadi 孤独死 (kodokushi) secara harafiah berarti mati kesepian atau mati dalam kesendirian tanpa ada keluarga yang mendampingi. Fenomena kodokushi banyak dialami oleh para lansia di Jepang saat ini dan makin bertambah setiap tahunnya mengingat tingginya jumlah penduduk lanjut usia (lansia).

Fenomena kodokushi sendiri awalnya disebabkan adanya pencanangan program pemerintah pasca Perang Dunia II. Tepatnya pada tahun 1947 pemerintah Jepang mencanangkan sebuah program diet nasional yang disebut kokkai yang jika diterjemahkan berarti “hari beras”. Fungsi program ini adalah untuk menyehatkan pemerintah, terutama untuk merestorasi keuangan Jepang yang hancur total akibat mendanai perang. Ternyata program ini juga diikuti oleh program-program nasional lainnya, diantaranya adalah program yang menyehatkan badan masyarakat Jepang. Hal ini berdasarkan pada pemikiran bahwa jika masyarakat mampu menjaga badannya agar tetap sehat maka mereka juga akan mampu menjaga negaranya agar tetap aman, karena masyarakatnya hidup sehat maka tingkat harapan hidup makin tinggi. Karena hal inilah digalakkan program kesehatan masyrakat Jepang. (http://www.wfs.org/sept-Oct07 files/Trend2so07.htm)


(25)

14

Pada dasarnya hal ini merupakan sesuatu yang baik karena menunjukkan kualitas hidup yang baik, kemajuan teknologi kedokteran, serta pelayanan kesehatan yang modern. Namun diluar dugaan hal ini menimbulkan masalah dibelakang hari karena menyebabkan makin meningkatnya populasi manusia lanjut usia (manula) yang berbanding terbalik dengan jumlah kelahiran.

Istilah kodokushi sendiri sebenarnya telah ada pada era 1980-an. Pada 1980 sampai awal 1990-an dimana ketika itu permasalahn mengenai koreika shakai atau masyarakat yang mulai beranjak tua, banyak menghiasi halaman media utama Jepang. Terminologi ini kemudian dilanjutkan dengan korei shakai

atau masyarakat lanjut usia. Pada akhir 1990-an, istilah ini berubah menjadi

chokoreika shakai masyarakat yang mulai beranjak sangat tua dan chokorei shakai atau masyarakat sangat tua.

Peningkatan jumlah manula berarti dibutuhkan perawatan yang lebih bagi para manula tersebut, namun peralihan masyarakat Jepang dari masyarakat agraris menajadi masyarakat industri membuat perawatan lansia tidak lagi terjamin. Peralihan ini mengubah pola keluarga di Jepang yang awalnya berupa dozoku

(sistem keluarga besar) berubah menjadi kaku kazoku (keluarga inti). Dalam sistem dozoku dalam satu rumah tangga dapat tinggal dua sampai tiga generasi, hal ini berbeda dengan kaku kazoku. Menurut Murdock dalam Alimansyar (2004: 25) mendefinisikan keluarga inti (kaku kazoku) sebagai keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan anak-anak yang belum menikah. Pola masyarakat industri ini juga turut mengubah pola pikir wanita Jepang dimana para wanitanya sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak memiliki waktu berada dirumah dan harus hidup terpisah dengan orangtuanya. Kondisi ini mempengaruhi perawatan


(26)

15

bagi lansia, para lansia terpaksa dititipkan dirumah jompo atau tinggal sendiri karena keluarganya tidak memiliki waktu untuk mengurus mereka. Hal ini menyebabkan banyak para lansia yang mengalami depresi karena kesepian dan akhirnya meninggal dunia. Dari sinilah mulai berkembang istilah kodokushi.

Meski begitu fenomena kodokushi mulai muncul ke permukaan pasca gempa bumi Kobe tahun 1995 dimana ketika itu ditemukan 207 lansia yang meninggal, termasuk bunuh diri, di rumah penampungan sementara (temporary shelter housing). Mereka adalah para orang tua yang tidak memiliki keluarga dan merasa kesepian. Akibat rasa kesepian karena disisihkan oleh keluarga dan masyarakat banyak dari mereka akhirnya mengalami ketergantungan alkohol sebagai bentuk pelampiasan dari keadaan yang dialami. Sebagian lagi ditemukan meninggal karena mengalami kelaparan, kekurangan gizi, sakit lever, dan lain sebagainya. Para lansia ini merasa tidak memiliki tujuan hidup lagi.

Istilah kodokushi digunakan oleh media sebagai judul berita yang sensasional dengan tujuan menarik perhatian masyarakat terkait masalah pasca gempa bumi Kobe yang terjadi pada 24 April 1998. Kata kodokushi sering menyebabkan ketegangan bila digunakan, meski tidak mengejutkan, juga menggambarkan kesedihan dan menarik perhatian publik jika mengingat orang tua yang meninggal karena kesepian. Media Jepang menyatakan kasus kodokushi

dapat terus diberitakan jika hal tersebut dapat membuat masyarakat untuk peduli pada masalah ini, meskipun hal ini tidak dapat mencegah orang dari mati kesepian. Meski begitu berita yang dilaporkan tidak terkait dengan kasus kodokushi tertentu, melainkan kodokushi secara umum.


(27)

16

Sebuah artikel surat kabar Jepang memandang kodokushi sebagai fenomena simbolik yang menunjukkan kegagalan pemerintah untuk berkolaborasi dengan warga guna mengembangkan komunitas yang saling peduli.

2.1.1. Pertumbuhan Penduduk Jepang

Dampak pertumbuhan penduduk disuatu negara dipengaruhi oleh tiga hal yaitu angka kelahiran (birth rate), angka kematian (mortality rate), serta migrasi (out migration and in migration). Birth rate mengacu pada jumlah kelahiran hidup dalam satu tahun pada seribu penduduk pada pertengahan tahun. Mortality rate

mengacu pada jumlah kematian pada seribu penduduk dalam satu tahun pada pertengahan tahun. Out migration menyangkut migrasi yang meninggalkan daerah sedangkan in migration menyangkut migrasi yang memasuki suatu daerah (Sunarto, 2000: 173).

Umumnya tingkat kelahiran dan kematian di negara berkembang sangat pesat dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, kurangnya sosialisasi mengenai keluarga berencana, serta sedikitnya fasilitas dan akses kesehatan. Hal ini berbanding terbalik dengan negara maju yang angka kelahiran dan kematiannya relatif rendah. Para ahli demografi cenderung mengaitkan hal tersebut dengan kemajuan perindustrian. Atas dasar keterkaitan ini, mereka membuat teori kependudukan yang dikenal dengan teori transisi demografi (demographic transition theory). Menurut teori ini, masyarakat yang mengalami proses industrialisasi akan melewati tiga tahap. Tahap pertama, yaitu tahap pra industri, tingkat kelahiran dan kematian tinggi dan stabil. Pada tahap kedua, tahap transisi, terjadi peningkatan kelahiran akibat meningkatnya kualitas kesehatan.


(28)

17

Pada tahap ketiga tingkat kelahiran dan kematian rendah dan stabil (Sunarto, 2000: 175)

Jepang adalah salah satu negara maju yang melewati tahap tersebut dan sekarang telah sampai ditahap ketiga dimana terjadi penurunan jumlah kelahiran yang sangat drastis. Hal tersebut dapat terlihat pada table (Thang, 2001: 174) berikut ini:

Trends in Population Structure: 1920-2075 Population Composition by Major Age Dependency Ratio Year 0-14 15-64 65+ Total Children Elders

1920 36.48 58.26 5.29 71.6 62.6 9.0 1925 36.70 58.24 5.06 71.7 63.0 8.7 1930 36.59 58.66 4.75 70.5 62.4 8.1 1935 36.89 58.46 4.66 71.1 63.1 8.0 1940 36.08 59.19 4.73 69.0 61.0 8.0 1947 35.30 59.90 4.79 66.9 58.9 8.0 1950 35.41 59.64 4.94 67.7 59.4 8.3 1955 33.44 61.24 5.29 63.3 54.6 8.7 1960 30.15 64.12 5.72 55.9 47.0 8.9 1965 25.73 67.98 6.29 47.1 37.9 9.2 1970 24.03 68.90 7.06 45.1 34.9 10.3 1975 24.32 67.72 7.92 47.6 35.9 11.7 1980 23.50 67.35 9.10 48.4 34.9 13.5 1985 21.51 68.16 10.30 46.7 31.6 15.4 1990 18.24 69.69 12.08 43.5 26.2 17.3 1995 15.90 69.28 14.82 44.4 23.0 21.4 2000 15.18 67.79 17.03 47.5 22.4 25.1 2005 15.64 65.24 19.12 53.3 24.0 29.3 2010 16.37 62.35 21.28 60.4 26.3 34.1 2015 16.34 59.53 24.14 68.0 27.4 40.5 2020 15.43 59.01 25.51 69.4 26.2 43.2 2025 14.50 59.71 25.79 67.5 24.3 43.2 2030 14.17 59.81 26.02 67.2 23.7 43.5 2035 14.59 58.82 26.58 70.0 24.8 45.2 2040 15.34 56.68 27.98 76.4 27.1 49.4 2045 15.79 55.82 28.37 79.2 28.3 50.9 2050 15.74 56.09 28.17 78.3 28.1 50.2 2075 17.09 57.32 25.58 74.5 29.8 44.6

Sources: (Up to 1995) Institute of Population Problems, Ministry of Health and Welfare. Latest Demographic Statistics 1995, Tokyo; Statistics Bureau, Management and Cordination Agency. Quick Report on One-percent Sample Tabulations of the 1995 Population Census, Tokyo, 1996. (From 2000) Institute of Population Problems, Ministry of Health and Welfare, Population Projections for Japan: 1991-2090, Tokyo,1992 (cited in Kono 1996, 10-11)


(29)

18

Seperti diketahui di Jepang antara tahun 1947 dan 1949 terjadi baby boom

sejumlah 2,7 juta per tahun sebagai akibat kembalinya tentara Jepang yang selamat dari medan pertempuran lalu menikah, namun hal ini diikuti dengan kurangnya perumahan yang tidak memungkinkan penyebaran penduduk menjadi faktor utama dalam peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah tersebut baru dimulai bersama dengan terjadinya peralihan dari masa pemulihan menuju pertumbuhan. Pada tahun 1955 rata-rata keluarga mempunyai 4,97 anggota, kira-kira sama seperti sebelum perang dan berangsur-angsur turun setiap tahunnya (Fukutake, 1988: 38). Meski begitu antara tahun 1971 dan 1974 terjadi lagi baby boom dengan skala yang lebih kecil (2,14 anak per wanita pada 1973), tapi setelah itu terjadi penurunan kelahiran secara berkelanjutan hingga mencapai 1,43 persen per wanita pada tahun 1995 (Thang, 2001: 174).

Jepang merupakan salah satu negara dengan angka harapan hidup tertinggi di dunia, dengan kata lain masyarakat yang memiliki umur panjang. Selain itu Jepang menempati urutan teratas dengan jumlah lansia terbanyak dibandingkan dengan angka kelahiran bayi disana. Estimasi Kementrian Kesehatan Jepang menyatakan jumlah penduduk di Jepang menurun hingga 244 ribu orang pada 2013. Jumlah tersebut lebih banyak daripada jumlah merosotnya populasi Jepang pada 2012 yaitu sebanyak 219 ribu jiwa. Jumlah tersebut turun 0,21% dari tahun 2012, tahun 2013 pemerintah setempat menyatakan jumlah penduduk di Jepang menurun 0,17%, yakni menjadi 127,2 juta. Jumlah tersebut termasuk warga asing yang lama tinggal di Jepang. Menurut penelitian U.S. Census Bureau (Internasional Data Base) dan Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan diperkirakan pada tahun 2050 jumlah kelahiran di Jepang mencapai titik terendah.


(30)

19

Pada 2008 jumlah lansia Jepang mencapai seperlima dari populasi dan rata-rata harapan hidup orang Jepang meningkat pula, yaitu menjadi 82 tahun dibandingkan dengan tahun 1947 yang hanya mencapai 50 tahun. Ini turut mengubah bentuk grafik masyarakat Jepang yang awalnya berbentuk pohon dengan jumlah kelahiran bayi yang besar menjadi layang-layang dengan proporsi penduduk lansia yang makin meningkat.

(http://abgnet.blogspot.com/2008/05/jumlah-penduduk-lansia-jepang-meningkat.html)

Meningkatnya jumlah lansia di Jepang secara berkelanjutan merupakan masalah serius yang harus dihadapi. Ini berarti semakin meningkatnya biaya kesejahteraan dan perawatan yang harus diberikan pemerintah kepada lansia


(31)

20

padahal biaya kesejahteraan itu diambil dari pajak penghasilan masyarakat Jepang, namun berkurangnya tenaga muda yang bekerja menyebabkan berkurangnya pajak penghasilan yang didapat. Selain itu menurut lembaga survei diwilayah metropolitan Tokyo saja lansia yang hidup sendiri yang awalnya sebanyak 11,1% (1,87 juta) pada 1990 meningkat menjadi 24,8% (4,76 juta) pada 2010 (Thang, 2001: 177). Sedangkan angka kelahiran di Jepang saat ini adalah yang terendah yaitu sekitar 1,3 per pasangan, sementara itu jumlah penduduk lansia mencapai 23,3% pada 2011 dan diprediksi akan mencapai 38,5% pada tahun 2050. (http//www.anthropoetics.ucla.edu/ap1801/1801taylor.pdf).

Hal tersebut menunjukkan kurangnya tenaga muda produktif yang akan menanggung biaya hidup para lansia. Pada tahun 1990, dalam setiap enam orang tenaga kerja produktif terdapat satu lansia, angka ini terus menurun setiap tahunnya menjadi empat orang tenaga produktif yang harus menanggung satu lansia pada tahun 2000. Tahun 2010 menjadi tiga tenaga produktif membiayai satu lansia. pada 2025 diperkirakan tinggal dua tenaga produktif menanggung satu lansia.

2.1.2. Pelaku Kodokushi

Kodokushi atau mati dalam kesepian dapat menimpa siapa saja baik kaum muda maupun tua. Namun di Jepang fenomena ini banyak dialami oleh kaum lansia mengingat saat ini Jepang merupakan negara dengan jumlah penduduk senior tertinggi didunia.

Pada lansia kasus kodokushi banyak terjadi pada laki-laki yang hidup sendiri, terasing, dan berada dibawah garis kemiskinan menurut standar Jepang. Biasanya menimpa kaum pria yang memasuki masa pensiun. Mayoritas


(32)

21

masyarakat Jepang, terutama kaum pria, lebih mementingkan pekerjaan sehingga mereka akan merasa terbuang apabila memasuki masa pensiun atau kehilangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan kehidupan sosial mereka hanya seputar pekerjaan dan hanya bergaul dengan kerja mereka, ini bukan hal yang mengherankan mengingat mereka bekerja seharian sampai kira-kira jam 19.30 dan sebelum pulang biasanya minum-minum dengan teman kantor hingga jam 21.00. Mereka tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan tetangga disekitar lingkungannya, bahkan mereka jarang bercengkrama dengan anak istrinya. Dihari minggu pun mereka jarang di rumah, terkadang bermain golf dengan atasan di kantor. Hampir setiap hari anak mereka jarang bertatap muka dengan ayahnya, kondisi ini menyebabkan lemahnya ikatan kekeluargaan. Karena hal tersebut ketika memasuki masa pensiun atau kehilangan pekerjaan, mereka tidak lagi memiliki teman untuk menghabiskan waktu dan berbagi hingga akhirnya merasa kesepian dan tidak lagi memiliki tujuan hidup.

Jumlah kasus kodokushi yang dialami laki-laki dua kali lebih banyak jika dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Doshisha pada tahun 1997 menemukan bahwa sebagian besar orang yang meninggal kesepian adalah mereka yang berusia diatas 50 tahun, sedangkan wanita pada usia diatas 70 tahun. Kasus kodokushi pada laki-laki berusia 50-an dan 60-an tahun terhitung hampir setengah dari total kasus kodokushi.


(33)

22 2.2. Penyebab Terjadinya Kodokushi

Peningkatan jumlah lansia di Jepang dari tahun ke tahun menyebabkan makin meningkatnya kasus kodokushi yang terjadi. Adapun fenomena kodokushi

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Hidup sendiri tanpa keluarga

Fenomena kodokushi turut dipicu oleh berubahnya struktur keluarga yaitu dari sistem ie berubah menjadi kaku kazoku (keluarga inti). Perubahan ini disebabkan oleh industrialisasi yang mendorong kaum muda di Jepang melakukan urbanisasi dan beralih pekerjaan dari sektor agraris ke sektor industri. Pada masa sebelum perang ie menjamin kehidupan para lansia karena harta warisan yang ada tidak dibagi-bagi, melainkan diwariskan kepada anak tertua dengan syarat pewaris akan menjaga dan merawat orangtuanya dimasa tua mereka (Fukutake, 1988: 45-46). Namun berubahnya sistem keluarga menjadi keluarga inti (kaku kazoku) menyebabkan banyak lansia yang harus hidup terpisah dari anak dan cucu mereka. Alasannya sebagian besar anak-anak tinggal dan menetap di kota atau tempat lain karena penempatan kerja. Selain itu pasangan suami-istri yang baru saja menikah lebih suka hidup terpisah dari orang tua mereka. Keluarga kelas atas, meskipun mempunyai ruangan di rumah lama bagi pengantin baru, lebih suka membangun rumah baru bagi mereka. Sedangkan pasangan dari kelas menengah bawah yang baru menikah biasanya tidak mempunyai dana untuk menjamin kemandirian mereka dan kerap kali mereka hidup terpisah dari orang tua mereka dalam kamar sewaan dengan bantuan dari orang tua (Fukutake, 1988: 45).

Okamoto mengatakan bahwa orang tua yang terbiasa hidup dalam keluarga besar menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari,


(34)

23

kesehatan yang buruk, kesepian, dan bunuh diri. Sebenarnya antrian untuk masuk rumah jompo memang tinggi namun masih banyak yang memilih untuk hidup sendiri, mereka ingin mempertahankan sosialisasi dalam komunitas yang mereka kenal. Alasan lain mereka hidup sendiri karena mereka tidak pernah menikah sebelumnya sehingga tidak ada keluarga yang mengurus mereka ketika tua.

2. melemahnya interaksi sosial (fureai)

Masyarakat Jepang saat ini menghabiskan seluruh waktunya ditempat kerja menyebabkan mereka apatis terhadap orang-orang dilingkungan tempat tinggalnya. Kesibukan tersebut akhirnya menyebabkan para tetangga yang rumahnya berdekatan tidak lagi sering saling menyapa sehingga ketika di tempat mereka tinggal ada orang tua, yang rentan terhadap penyakit dan tentunya kecelakaan didalam maupun diluar rumah, luput dari perhatian dan tidak menyadarinya. Selain itu sifat masyarakat Jepang yang cenderung tertutup menyebabkan mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain dan sebaliknya tidak ingin urusannya dicampuri. Menurut sebuah survei yang dikutip penyiaran TBS menyatakan 70 persen penduduk Jepang tidak menginginkan tetangga untuk masuk dalam kehidupan mereka. Ini mengindikasikan meskipun terjadi interaksi antar tetangga hanya berupa ucapan salam dan obrolan ringan saja. Akibatnya banyak orang yang memilih meninggal sendirian di apartemen atau rumah mereka karena tidak lagi memiliki keinginan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, mereka merasa tersisihkan dari lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan survei nilai dunia yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang meminta para responden memberitahu tentang kontak sosial mereka didapati bahwa Jepang merupakan


(35)

24

salah satu negara paling kesepian di dunia. Orang Jepang tampaknya memiliki paling sedikit kontak sosial dengan teman-teman, rekan kerja, dan kenalannya. Tidak heran keadaan ini menyebabkan para lansia merasa kesepian. Kata-kata seperti masyarakat, relawan, kodokushi, mengembangkan tsunagari (hubungan), seikatsu fukko (rekonstruksi kehidupan), fureai (interaksi sosial), dan yang berkaitan dengan kepedulian sosial menjadi kosa kata yang umum untuk dibahas baik oleh media maupun pidato pemerintah setempat.

3. kondisi ekonomi

Jepang merupakan negara dengan tingkat perekonomian terbesar ketiga di dunia. Jepang telah mengambil berbagai langkah untuk memacu pertumbuhan perekonomiannya hingga menjadi salah satu negara dengan pereokonomian terbesar di dunia setelah bertahun-tahun mengalami stagnansi, namun tingkat kemiskinan meningkat 15,7 persen ditahun 2007. Satu dari enam penduduk Jepang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut OECD mereka yang masuk kategori miskin adalah mereka yang berpenghasilan setengah dari penghasilan rata-rata pendudk Jepang, yaitu sekitar Rp 79 juta per tahun. Angka ini termasuk besar jika dilihat dari kacamata orang Indonesia namun di Jepang hanya untuk membayar sewa rumah sudah menghabiskan setengah dari gaji yang didapat. Ini belum termasuk biaya makan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Maka jumlah ini tidak mencukupi. Menurut kementrian kesehatan, ketenagakerjaan, dan kesejahteraan, sejak tahun 2000 lebih dari 700 orang meninggal karena kelaparan.

Masalah ekonomi ini juga menjadi masalah yang sangat mengkhawatirkan bagi penduduk lansia yang hidupnya hanya tergantung pada uang pensiun. Kaum lansia Jepang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi


(36)

25

kebutuhan hidupnya. Hal ini terbukti dari banyaknya laporan yang menyatakan bahwa lansia yang meninggal dunia tidak mampu mebayar tagihan listrik dan gas, sewa rumah, bahkan banyak dari mereka yang meninggal karena kelaparan sehingga terserang berbagai penyakit.

4. Rendahnya angka kelahiran

Rendahnya angka kelahiran turut pula memperparah keadaan para lansia. Kementrian komunikasi dan urusan dalam negeri Jepang memprediksi di Tokyo saja jumlah anak dibawah 15 tahun menurun 160 ribu orang dibandingkan tahun 2013. Itu adalah penurunan tertinggi sejak pemerintah setempat memulai sensus tahunan pada 1950. Jumlah anak-anak saat ini hanya 12,8% dari populasi Jepang. Jika dibandingkan negara lain yang berpenduduk diatas empat puluh juta, Jepang memiliki rasio jumlah anak-anak terendah.

(http://internasional.kompas.com/read/2014/01/03/0837105/Penurunan.Populasi.C atat.Rekor.Tertinggi.di.Jepang).

Menurunnya populasi di Jepang berarti berkurangnya tenaga kerja produktif untuk merawat lansia dan menurunnya pajak penghasilan yang didapat untuk membiayai lansia. Akibat jumlah lansia yang meningkat setiap tahunnya berarti memerlukan tenaga medis dan perawat yang lebih banyak sedangkan populasi penduduk muda Jepang terus menurun pada tahap yang mengkhawatirkan. Diperkirakan ada beberapa penyebab rendahnya angka kelahiran, antara lain:

1. Tidak ingin memiliki anak karena biaya pendidikan anak yang sangat mahal.

2. Tidak ingin memiliki anak karena ketika mempunyai anak seorang wanita harus menghentikan karirnya (keluar dari pekerjaan) dan harus


(37)

26

menghabiskan banyak waktu untuk merawat anak, di Jepang tidak ada asisten rumah tangga.

3. Tidak ada kewajiban merawat orang tua, apalagi jika punya anak perempuan yang marga-nya berubah ketika telah menikah.

4. Meski punya anak tidak ada jaminan akan dirawat dihari tua karena tempat tinggal yang terpisah bahkan jauh. Di hari tua pun mereka tetap tinggal sendiri, apalagi jika pasangannya telah meninggal.

(http://majalah1000guru.net/2011/02/lansia-di-jepang/)

Saat ini di Jepang juga muncul istilah “anak kunci”, yaitu suatu kondisi dimana ketika seorang anak pulang ke rumah mereka mendapati rumah itu kosong sehingga mereka harus membawa kunci rumah atau apartemen (Fukutake, 1988: 45). Baik suami maupun istri terus bekerja untuk meningkatkan taraf hidup mereka agar bisa meninggalkan perumahan umum dan memasuki rumah milik sendiri sehingga mengakibatkan pembatasan jumlah anak yang sebenarnya tidak mereka inginkan.

Berkurangnya angka kelahiran ini terkait dengan peningkatan jumlah wanita yang ikut berpartisipasi dalam angkatan kerja dan banyaknya jumlah wanita yang baru melahirkan anak pertama mereka pada usia tua. Beberapa kritikus menafsirkan bahwa merosotnya angka kesuburan merupakan pembalasan kaum wanita Jepang yang menentang sistem sosial patriarkal dan dominasi kaum pria, serta institusi-institusi terkait.

Akibat dari penurunan jumlah kaum muda ini mengindikasikan di masa yang akan datang jumlah perawat lansia akan semakin berkurang. Masalah lain yang menyebabkan kurangnya tenaga perawat adalah perawat untuk usia lanjut di


(38)

27

Jepang kebanyakan bekerja dimalam hari seperti memandikan pasien. Orang yang berhenti dari perawat orang jompo biasanya disebabkan depresi, sakit pinggang, dan lain-lain. Mereka merasa tidak sanggup lagi bekerja. Yang lebih fatal lagi, menjadi perawat jompo menyebabkan meningkatnya presentase perceraian di Jepang.

Penurunan angka kelahiran membawa dampak negatif bagi negara maju dan harus mendapat perhatian khusus. Kementrian menyatakan secara resmi bahwa ancaman berkurangnya penduduk produktif semakin nyata. Sebuah penelitian pada 2012 memprediksi bahwa Jepang akan punah seribu tahun lagi. Sebab, rendahnya tingkat kelahiran membuat jumlah anak-anak menurun seorang setiap seratus detik. Hiroshi Yoshida, Profesor Ekonomi di Universitas Tohoku menyatakan jika penurunan rasio ini berlanjut, kami akan merayakan Hari Anak 5 Mei pada 3011 tanpa ada anak-anak di Jepang.

5. Budaya malu

Jepang merupakan negara yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi budaya malu. Terdapat beberapa hal yang mendasari sikap orang Jepang dalam bertindak, yaitu bertindak dengan menghindari “rasa malu” karena rasa malu merupakan sanksi yang utama dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu sebelum sanksi masyarakat itu jatuh pada dirinya, mereka bertindak seolah-olah mengungkapkan pengakuan dirinya dengan sikap rasa bersalah. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dibayangkan seolah-olah dia sedang diperolok-olok oleh orang lain, sedangkan rasa bersalah merupakan bagian dari tata karma dalam bertindak. Bersikap yang didasari atas rasa malu dan rasa bersalah ini sudah merupakan bagian sikap yang sudah melekat pada orang Jepang. Berdasarkan


(39)

28

kedua hal tersebut ini merupakan bagian dari tata krama dalam bertindak. Berdasarkan kedua hal ini Ruth Benedict mengatakan bahwa, budaya malu (haji no bunka) dan budaya rasa bersalah (tsumi no bunka) merupakan budaya yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jepang. Untuk menghindari rasa malu, masyarakat Jepang dalam bersosialisasi berusaha menjaga hubungan dengan memegang prinsip “meiwakuni sarenaiyouni meiwakuwo shinai” yang artinya jangan mengusik orang, supaya tidak di usik.

(http://ameliaazzahra.weebly.com/26/post/2012/06/kajian-kebudayaan-orang-jepang-sekarang-sudah-berubah.html)

Rakyat Jepang mempunyai kecendrungan mendalam untuk menganggap bantuan keringanan penderitaan sebagai sesuatu yang memalukan; kemiskinan itu adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh keluarga dan sanak saudara. Kemiskinan yang tidak dapat ditangani dengan cara ini dianggap sebagai suatu masalah orang-orang bernasib malang dan harus ditangani melalui kegiatan-kegiatan karitatif. Orang-orang yang tidak mempunyai sanak saudara untuk membantu mereka hanya dipandang sebagai yang terendah diantara orang-orang yang malang nasibnya. Sama sekali tidak terdapat suatu sikap bahwa orang-orang itu mempunyai hak untuk memperoleh bantuan dari masyarakat melalui sistem kesejahteraan nasional (Fukutake, 1988: 140). Karena sikap tersebut ketika para lansia mengalami kesulitan mereka tidak mau meminta bantuan kepada orang lain maupun memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah karena menganggap hal tersebut dianggap sesuatu yang memalukan.


(40)

29

6. Semakin meningkatnya jumlah wanita yang bekerja

Wanita dari dulu sampai sekarang merupakan perawat utama dalam keluarga. Menurut Spitze dan Logan dalam Suleeman (1999: 108), ada dua alasan kenapa lebih banyak wanita yang merawat orang tuanya dibandingkan pria.

Pertama, baik pria maupun wanita percaya bahwa anak perempuan secara alamiah mempunyai sifat merawat sehingga tugas wanita berkisar dibidang perawatan dan pengasuhan. Sebelum menikah dia mengasuh adiknya, setelah menikah dia merawat anak, suami, dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

Kedua, wanita biasanya tidak mencari nafkah, atau kalaupun mencari nafkah, biasanya mereka bekerja paruh waktu (part time) sehingga mereka memiliki waktu lebih banyak untuk merawat orang tua mereka dibandingkan dengan pria.

Namun saat ini sangat sulit bagi wanita yang juga mempunyai pekerjaan diluar rumah untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dalam hal merawat lansia, baik orang tuanya sendiri maupun mertua, yang berada dalam kondisi fisik yang lemah di rumah. Banyak dari wanita Jepang saat ini mengambil pekerjaan

full time. Di kota padat seperti Tokyo dimana suami-istri benar-benar harus bekerja keras untuk membiayai hidup, bahkan untuk mempunyai anak saja tidak ada waktu, mengurus orang tua atau para lansia mereka adalah sebuah hal yang berat. Menurut survey tahun 1975 mengenai tenaga kerja, hampir separuh (47%) dari karyawan wanita yang bekerja penuh dalam pekerjaan bukan pertanian dan bukan kehutanan adalah wanita-wanita yang telah menikah. Dan kira-kira seperempat dari jumlah wanita yang tidak bekerja menginginkan pekerjaan; 40 persen atau lebih dari mereka mengatakan “ini bukanlah karena kita mengalami kesulitan untuk mencari nafkah; saya hanya ingin mencari uang untuk biaya


(41)

30

pengeluaran tambahan bagi rumah tangga (Fukutake, 1988: 48). Jumlah ini meningkat dari tahun ke tahun, Jeff Kingston menyatakan pada tahun 2010 sebanyak 55% pasangan suami-istri Jepang bekerja sehingga beban perempuan menjadi lebih berat. Bahkan karena kesibukan pekerjaan wanita Jepang saat ini banyak dari mereka lebih memilih karir daripada harus menikah. Karena tidak memiliki waktu mereka lebih memilih menitipkan orang tua mereka di panti jompo atau health care manula. Mereka berpendapat bahwa hal ini lebih baik daripada membiarkan orang tua mereka mati kesepian.

2.3. Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia

Di masa lampau, ketika orang Jepang belum banyak dipengaruhi oleh modernisasi, mereka senantiasa diliputi rasa berhutang budi (on) kepada orang tua, para penguasa, masyarakat dan negara. Karena adanya rasa berhutang budi, maka orang Jepang merasa berkewajiban untuk membalas budi baik kepada orang tua, para penguasa, masyarakat dan negara; rasa berkewajiban itu dinamakan gimu. Inilah yang memperkuat solidaritas kelompok dan patriotismenya. Di Jepang tidak ada pendidikan khusus mengenai patriotisme, apalagi setelah Perang Dunia II. Tetapi karena kuatnya sifat berkewajiban membalas budi itu, maka patriotisme tetap kuat diantara rakyat Jepang yang telah mengalami modernisasi yang tinggi. Selain itu, orang Jepang selalu merasa berkewajiban untuk membalas sikap atau kebaikan yang telah diterima dari orang lain dengan setimpal, yang disebut giri

(Suryoharjodiprojo, 1982: 47-48).

Namun masyarakat Jepang yang dahulu memiliki komitmen untuk menghormati orang tua kini telah banyak berubah, modernisasi Jepang


(42)

31

menyebabkan berkurangnya rasa berhutang budi itu, meskipun belum sepenuhnya hilang. Perubahan ini mulai terjadi setelah Perang Dunia II dan juga disebabkan hilangnya sistem Ie dimana ketika itu seseorang menjadi ayah dan pemimpin rumah tangga, didampingi oleh istrinya sebagai ibu. Kalau anak laki-laki tertua telah menikah dan meningkat umurnya, maka dia harus beralih menjadi pimpinan rumah tangga, sedangkan ayah yang telah menjadi kakek beralih menjadi pinisepuh rumah tangga dan tinggal dalam lingkungan rumah tangga sampai mereka meninggal (Suryoharjodiprojo, 1982: 45). Dalam sistem ini juga sang nenek memiliki peranan penting. Ie merupakan dasar pendidikan dalam keluarga tersebut. Anak-anak dalam keluarga ie biasanya diasuh dibawah bimbingan nenek yang memanjakan daripada oleh ibu mereka sendiri yang tidak memiliki kewibawaan nyata untuk mengatur mereka. Bagi seorang ibu mempunyai anak sendiri berarti mempunyai persyaratan untuk mendapatkan jaminan akan dapat tinggal dalam keluarga suaminya. Anak-anak dalam keluarga tradisional ini mendapatkan dari ibu dan nenek mereka disiplin yang menumbuhkan apa yang oleh Ruth Benedict disebut shame culture atau budaya rasa malu (Fukutake, 1988: 54).

Namun saat ini wewenang tersebut tidak berlaku lagi. Generasi kakek-nenek tidak lagi dapat mempertahankan hak-hak istimewa mereka dalam mendidik anak-anak yang dahulu mereka miliki sebelum perang karena berubahnya bentuk keluarga luas menjadi keluarga inti. Dalam keluarga inti tidak terdapat tekanan psikologis yang disebabkan tinggalnya dua generasi dalam satu rumah tangga. Mungkin mereka akan lebih bahagia namun jika melihat masa depan mereka tentulah masa depan mereka tidak terjamin. Ini karena


(43)

32

aggota keluarga dalam sistem seperti ini tidak dapat menjamin kehidupan hari tua mereka. Dalam keluarga inti para ibu bebas dari campur tangan ibu mertua, tetapi mereka kehilangan kesempatan untuk belajar lebih banyak dari generasi tua.

Sebelum perang, orang-orang cacat fisik dan mental, yatim piatu, dan orang-orang tua yang kesepian tanpa keluarga dapat menghidupi dirinya melalui pertolongan sanak saudara atau menerima belas kasihan dari tetangga sekitarnya. Namun hal ini sudah mulai pudar, generasi saat ini menganggap bahwa hal tersebut bukan tanggung jawab mereka. Survei pendapat umum oleh kantor perdana menteri mengenai kehidupan dan masalah penduduk berusia lanjut menunjukkan bahwa angka perbandingan orang-orang yang beranggapan jaminan hari tua sebagai tanggung jawab keluarga adalah 34% pada tahun 1969, tetapi menurun menjadi 22% pada tahun 1973. Sebaliknya yang beranggapan bahwa tanggung jawab itu harus ditanggung oleh negara atau masyarakat meningkat dari 15% menjadi 24%. Survei ini juga menunjukkan bahwa orang-orang berusia lanjut seharusnya diurus oleh mereka sendiri atau masyarakat, semakin banyak dianut oleh responden yang usianya lebih muda (Fukutake, 1988: 47-48).

Saat ini di Jepang mulai bermunculan bentuk keluarga ie dimana dalam satu rumah terdapat dua rumah tangga (nisetai juutaka), maksudnya kakek-nenek tinggal dilantai yang berbeda atau sisi yang berbeda dari anak-cucu mereka juga memiliki dapur, kamar mandi, dan kadang pintu masuk masing-masing. Kikuko kato menyebut hal ini sebagai keluarga “ie modifikasi” karena meskipun dalam satu rumah hidup tiga generasi dan berbagi alamat yang sama, pada dasarnya terdapat dua keluarga inti dalam generasi yang berurut. Bentuk keluarga ie saat ini berbeda jauh dengan ie sebelumnya, meski kakek-nenek hidup dalam satu rumah


(44)

33

dengan cucu mereka namun mereka tidak dapat menjadi pendorong dan pendidik karena terhalang oleh generasi tengah (Thang, 2011: 140-141).

Seringnya media melaporkan kasus mengenai banyaknya lansia yang hilang, namun keluarga yang harusnya merupakan paling dekat dengan orang tua mereka tidak mengetahui keberadaannya dan dalam banyak kasus tidak mau meminta polisi untuk mencari mereka menunjukkan lemahnya ikatan sosial bahkan diantara keluarga.

Perbedaan jarak umur antara generasi tua dan generasi muda juga turut membuat mereka menjauh. Banyak pelajaran di Jepang pada persepsinya para lansia difokuskan bagi pelajar SMA dan mahasiswa sebagai bahan perbincangan. Koyano dalam Thang (2011: 179) mengatakan pelajaran-pelajaran ini secara keseluruhan menyimpulkan sikap remaja Jepang kepada lansia ditandai oleh stereotip negatif. Sebuah survei perbandingan Internasional tentang pandangan mahasiswa kepada lansia di Jepang oleh The United States, Great Britain, dan

Sweden lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak remaja Jepang menganggap para lansia suka mengeluh dan keras kepala, hanya sedikit yang melihat mereka sebagai orang yang baik dan jujur melebihi teman sebaya. Ini menunjukkan bahwa remaja Jepang memandang lansia dengan anggapan negatif dan hal ini berlawanan dengan ajaran Jepang yang idealis untuk hormat dan peduli terhadap lansia. Meski begitu anggapan negatif terhadap lansia tidak berlaku bagi anak-anak yang berusia 9-12 tahun, survei yang dilakukan kepada mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki pandangan positif terhadap lansia. namun ketika mereka memasuki SMP, Tim peneliti menemukan bahwa gambaran positif terhadap lansia sedikit demi sedikit menurun seiring dengan pertambahan umur si anak.


(45)

34

Meningkatnya pandangan negatif diantara anak SMP mungkin dipengaruhi oleh usia kakek-nenek mereka yang tinggal dengan mereka. Karena kemungkinan banyak dari kakek-nenek ini yang telah memasuki kategori usia old-old (75 tahun keatas) ketika cucu-cucu mereka masuk SMP atau juga dipengaruhi oleh gambaran stereotip negatif mengenai lansia yang didominasi oleh media.

2.4. Contoh-contoh Kejadian Kodokushi

Kasus kodokushi melonjak tajam dari tahun ke tahun. Diketahui bahwa kasus kodokushi yang disebabkan oleh bunuh diri (jisatsu) melonjak tajam dari hanya dua puluh tiga ribu kasus ditahun 1997 melonjak menjadi tiga puluh ribu kasus di tahun berikutnya. Tanggal 9 Januari 2000, sebuah surat kabar Asahi melaporkan telah terjadi 38 kasus kodokushi dan bunuh diri di perumahan rekonstruksi negara, disamping 230 kasus kodokushi yang terjadi di tempat penampungan sementara. Menurut biro kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat disebuah Kota pada tahun 2008 diketahui bahwa lebih dari dua ribu dua ratus orang berusia 65 tahun menjadi pelaku kodokushi.

Berikut ini beberapa contoh kejadian kodokushi yang dialami oleh lansia di Jepang:

1. Di sebuah hari yang panas akhir Juli, polisi Jepang menemukan jenazah Sogen Kato, yang sudah menjadi mumi, masih terbaring di atas tempat tidur tempat dia meninggal 30 tahun yang lalu. Pada usia 111 tahun dia merupakan pria Jepang tertua. Putrinya, yang berusia 81 tahun, menyembunyikan kematiannya dan mengantungi US$ 106.000 lebih dari uang pensiun ayahnya, seperti kata polisi.


(46)

35

(http://BBC Indonesia - Majalah - Hilangnya Manula di Jepang.htm)

2. Di Prefektur Saitama yang terletak tidak jauh dari Tokyo, tiga orang anggota keluarga ditemukan meninggal dalam keadaan lapar. Jasad mereka baru ditemukan setelah lebih dari enam bulan. Mereka adalah pasangan berusia sekitar 60 tahun dan yang seorang berusia sekitar 30 tahun. Di rumah sewanya yang belum dibayar selama enam bulan, diketahui bahwa listrik, air, dan gas diputus karena belum dibayar. Hanya ditemukan beberapa batang permen dan beberapa uang koin satu yen. Sang ibu pernah meminta bantuan kepada salah satu tetangganya namun ditolak dan disarankan untuk pergi ke kantor pemerintah untuk meminta dana kesejahteraan namun ia tidak melakukannya.

3. Kasus lainnya adalah dua orang saudara perempuan berusia 40 tahun ditemukan meninggal pada Februari 2012 dalam apartemen mereka di Sapparo, Hokaido. Mereka nampaknya meninggal karena kedinginan. Tidak ada pemanas dalam apartemen meskipun suhu dapat mencapai minus nol derajat.

4. Masih di tahun yang sama, kasus lain juga terjadi di Tokyo. Jasad seorang wanita berusia 45 tahun dan anaknya yang berusia 4 tahun ditemukan dalam apartemennya di Tachikawa, Tokyo. Mereka telah meninggal berbulan-bulan yang lalu. Sang ibu diketahui meninggal karena pendarahan otak dan anaknya yang cacat, tidak mampu memberi makan dirinya sendiri, akhirnya meninggal karena kelaparan.

(http://tutee.wordpress.com/2012/03/06/kodokushi/)


(47)

36 BAB III

DAMPAK KODOKUSHI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG

Seperti halnya masalah sosial lainnya, fenomena kodokushi ini turut memeberi dampak terhadap kaum lansia, masyarakat, juga negara.

Adapun dampak dari kodokushi tersebut adalah sebagai berikut:

3.1. Kaum Lansia

Fenomena kodokushi ini memberikan perasaan takut kepada para lansia. banyak dari mereka tidak ingin menghabiskan hari tua sendiri dan terisolasi dari lingkungan sekitarnya. Ini terlihat ketika sebuah stasiun TV mewawancarai beberapa lansia, para lansia ini mengatakan bahwa mereka takut untuk tinggal di

Public Reconstruction Housing (PRH) sendirian karena takut mengalami

kodokushi. Ini menunjukkan bahwa PRH dipandang sebagai tempat pembuangan para lansia dan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi lansia. ini juga menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap orang tua yang sakit dan anak-anak mereka lalai mengurus mereka.

Keterasingan sosial dari lingkungan sekitar juga diperkirakan mengangkat tingkat bunuh diri dan kriminalitas dikalangan manula. Kejahatan seperti mengutil di toko, meningkat pesat dalam beberapa tahun belakangan ini. Selain karena faktor ekonomi, dalam banyak kasus penyebabnya lebih kepada mencari perhatian. Untuk menghindari perasaan terasing dan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dimasa tuanya para lansia melakukan berbagai upaya, diantaranya:


(48)

37

1. melakukan kegiatan untuk mengisi waktu

Saat ini banyak para manula Jepang mengambil pekerjaan paruh waktu di tempat-tempat umum. Hal ini menunjukkan sifat warga Jepang yang mandiri dan tak mau bergantung pada orang lain dan para manula yang sudah pensiun ini selalu berusaha mengisi waktu mereka dengan berbagai macam kegiatan, bahkan para lansia Jepang yang tidak bekerja menghabiskan waktunya dengan bermain arcade (lebih popular dengan sebutan mesin dingdong). Tujuannya untuk memperoleh kesenangan dan menambah teman dilingkungan bermain tersebut. Banyak juga dari para manula yang tinggal sendiri ini memelihara anjing untuk menemani mereka sebagai penggganti keluarga, mereka akan mengajak anjing-anjing ini berjalan-jalan jika merasa bosan dan kesepian. Sebagian lagi mengabdikan dirinya menjadi Foster grandma (nenek asuh), ini mirip dengan foster grandparent program (program kakek-nenek asuh) di Amerika, foster grandma juga ada di beberapa wilayah di Jepang. Sebuah lembaga bernama Nada-ward di Kobe misalnya, memulai program ini sejak 1992 dengan tujuan menyediakn konsultasi lewat telepon dan kunjungan ke rumah oleh para lansia bagi wanita yang baru menjadi ibu dalam keluarga inti (nuclear family) di lingkungan mereka, mereka akan mengajarkan kepada para ibu muda ini bagaimana cara mengurus rumah tangga dan sebagainya. Banyak juga lansia yang hidup sendiri membimbing anak-anak di usia produktif mereka dengan cara menjadi relawan di pusat pendidikan sepulang sekolah, sebagai konsultan dan sebagai guru pertukangan, guru seni tradisional, dan lain sebagainya (Thang, 2011: 185).


(49)

38

2. kembali bekerja

Pensiunan yang memiliki keahlian banyak yang memilih untuk kembali bekerja. Memasuki masa pensiun banyak lansia yang berkumpul untuk membangun perusahaan yang kebanyakan bergerak dibidang konsultasi dengan memanfaatkan pengalaman kerja. Ada juga pensiunan yang menjadi relawan sebagai ahli (silver expert) yang dikirim mewakili JICA (Japan International coorporation Agency) ke negara-negara berkembang. Ada juga yang bekerja kembali di yayasan seperti JASS (Japan Association of Second life Service) dengan berbagai kegiatan seperti menyelenggarakan seminar tentang pelajaran hidup, berdiskusi dengan orang asing mengenai budaya, atau mengadakan kelas untuk memaknai hidup. Dalam satu tahun ada sekitar 2.500 acara yang diselenggarakan JASS di seluruh Jepang. (http://rizkyadiproject.wordpress.com/2004/05/15/jepang-lautan-lansia/)

3. Masuk Asuransi (kaigo hoken)

Pemerintah Jepang mewajibkan semua warga untuk mengikuti asuransi kesehatan sejak usia 40 tahun. Asuransi ini disebut kaigo hoken dimana asuransi ini memberikan kaigo sabisu (pelayanan perawatan) sesuai dengan batas keuangan tertentu. Beberapa manfaat dari asuransi ini adalah jika para lansia yang netakiri

(tidak dapat beranjak dari tempat tidur) dan mengalami kepikunan yang memerlukan perawatan jangka panjang maka kaigo hoken akan memberikan dukungan sosial kepada lansia dan memungkinkan mereka menjaga martabat kemanusiaan mereka melewati akhir hidup masa tuanya supaya dapat hidup mandiri atau dapat berdiri sendiri dalam kondisi dimana mereka membutuhkan perawatan jangka panjang (Arioka, 2000: 353). Manfaat lainnya adalah ketika


(50)

39

warga membutuhkan rumah yang nyaman di hari tua, melalui pemeriksaan kesehatan serta didukung asuransi yang dimilikinya, penduduk usia lima puluh tahun keatas memperoleh kesempatan untuk menyewa tempat tinggal disebuah perumahan khusus lansia atau masuk kerumah perawatan. Kesempatan ini mengingat adanya kecendrungan kaum lansia Jepang saat ini yang terpaksa harus tinggal sendiri karena anak-anaknya sibuk atau bekerja di kota lain. Ada beberapa tipe rumah yang disediakan bagi lansia, yaitu untuk lansia yang masih sehat dan mandiri disediakan rumah yang disebut silver housing. Untuk lansia pikun, dan membutuhkan perawatan dapat tinggal di fasilitas perawatan (nursing home). (http://www.kamusilmiah.com/kesehatan/perawatan-lansia-di-jepang-catatan-pengalaman-pengamatan-dan-pembelajaran/)

4. Bergabung dalam kelompok lansia

Para lansia membentuk club (kelompok) lansia yang memungkinkan mereka bertemu dan melakukan kegiatan bersama. Aktifitas lansia ini terkoordinasi dengan baik, mereka melakukan kegiatan bersama-sama seperti menjadi volunteer, memasak, acara kebudayaan, senam lansia, ketrampilan, dan berbagai kesibukan untuk para lansia. Banyak juga kelompok lansia yang berinteraksi dengan murid-murid sekolah dasar. Biasanya kegiatan mereka meliputi bermain permainan tradisional, memasak dan makan bersama, belajar seni, dan kegiatan lainnya.

5. memesan kuburan sendiri

Di Jepang saat ini karena banyaknya lansia yang hidup sendiri dan jumlah kaum muda yang menurun dikhawatirkan tidak semua lansia akan terurusi ketika meninggal nanti, kebanyakan dari para lansia dicemaskan akan meninggal sendiri tanpa ada yang mengurusi. Survei hasil nasional tahun 2011 yang dilakukan oleh


(51)

40

Sosiolog dari Universitas Kristen Ibaraki, Kenji mori, menunjukkan bahwa 60% warga Jepang memiliki lokasi pemakaman yang akan diurus oleh kerabatnya. Sementara itu, 40% merasa khawatir pemakamannya akan menyusahkan keluarga dan tetangga mereka. Berdasarkan pertimbangan ini banyak lansia berinisiatif untuk memesan kuburannya sendiri agar tidak ada kekhawatiran bahwa ketika meninggal tidak ada yang mengurus pemakamannya. Mereka membayar biaya pemakaman kepada perusahaan yang mengurus pemakaman, ketika meninggal perusahaan akan mengurus semuanya baik pemesanan kuburan, upacara pemakaman, dan hal lain yang diperlukan ketika seseorang meninggal.

(http://dunia.news.viva.co.id/news/read/468583-populasi-meningkat-lansia-jepang-urus-pemakaman-sendiri/)

3.2. Masyarakat

Masyarakat Jepang yang terkenal dengan komitmen untuk menghormati kaum lanjut usia kini tidak sekuat dulu lagi. Jeff Kingston, seorang pengamat Jepang, menyatakan saat ini kohesi sosial diantara masyarakat Jepang telah melemah. Masyarakat tidak lagi terlalu peduli tentang orang-orang yang tinggal dilingkungan sekitarnya, ini terlihat dari ketidakpedulian mereka terhadap manula yang tinggal sendirian yang akhirnya meninggal tanpa diketahui siapapun. Banyak kasus kodokushi yang baru diketahui setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun kemudian. Ketika pemerintah mengadakan penyelidikan mengenai lansia berusia seratus tahun keatas banyak yang dinyatakan hilang tanpa diketahui orang-orang dilingkungan sekitarnya.


(1)

58

DAFTAR PUSTAKA

Arioka, Jirou. 2000. “Koreika Shakai” dalam Asahi Gendai Yougo (The Asahi Encyclopedia of Current Terms 2000). Jepang: Asahi Shimbunsha.

Elsy, Putri. 2012: Dinamika Lansia Jepang. Jakarta: Iluni KWJ Press.

Fukutake, Kadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: PT. Gramedia.

Hasan, Hamid. 2009. Pengantar ilmu Sosial: Sebuah kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Hudaniah & Tri Dayaksisi. 2003. Psikologi Sosial. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sarwono, W. S. 1987. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawalu Press.

Situmorang, Hamzon. 2011. Telaah Budaya dan Masyarakat Jepang. Medan: USU Press.

Situmorang, Lastri Pebriyanti. 2008. (Skripsi) Fenomena Hikikomori dalam Kehidupan Kaum Muda Perkotaan di Jepang Dewasa Ini. Medan.


(2)

59

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada.

Suleeman, Evelyn. 1999. Bunga Rampai Sosial Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sunarto, Kamanto.2004. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Hidup. Jakarta: Penerbit UI Pustaka Bradjaguna.

Tanaka, Kimiko. 2008. (Disertasi) Aging in Japan: Importance of Social Integration. Michigan State.

Thang, Leng Leng. 2011. Generation in Touch: Linking the Old & Young in a Tokyo Neighborhood. New York: Cornell Paperbacks.

Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi: Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: Rajawali Pers.

Sumber Website

http://abgnet.blogspot.com/2008/05/jumlah-penduduk-lansia-jepang-meningkat.html diakses pada tanggal 13 Juni 2014

http://ameliaazzahra.weebly.com/26/post/2012/06/kajian-kebudayaan-orang-jepang-sekarang-sudah-berubah.html diakses pada tanggal 27 Juli 2014

http://article.wn.com/view/2011/05/01/Noida_sister_lonely_deaths_its_kodokushi_in_jpn / diakses pada tanggal 13 Oktober 2013

http://asalasah.blogspot.com/2012/04/mahalnya-biaya-bila-meninggal-di-jepang.html

diakses pada tanggal 25 Juni 2014


(3)

60

http://BBC Indonesia - Majalah - Hilangnya Manula di Jepang.htm diakses pada

tanggal 06 Oktober 2013

http://dunia.news.viva.co.id/news/read/468583-populasi-meningkat-lansia-jepang-urus- pemakaman-sendiri/ diakses pada tanggal 6 Juni 2014

http://internasional.kompas.com/read/2014/01/03/0837105/Penurunan.Populasi.C atat.Rekor.Terti nggi.di.Jepang diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://ipezone.blogspot.com/2010/04/suicide-cleanup-japanese-growth.html/ 19 Juni 2014

http://japanese.binus.ac.id/2013/12/14/dampak-peningkatan-jumlah-lansia-terhadap-munculnya-

fenomena-sosialkodokushi

%E5%AD%A4%E7%8B%AC%E6%AD%BBdying-alone-studi-kasus-pada-gempa-bumi-kobe-1995/ diakses pada tanggal 07 Maret 2014

http://lifejpn.blogspot.com/2010/11/salaryman-di-jepang.html diakses pada tanggal 10 Maret 2014

http://majalah1000guru.net/2011/02/lansia-di-jepang/ diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://okonomikatsu.blogspot.com/2013/07/japan-undercover-apakah-ada-kemiskinan.html pada tanggal 25 Juli 2014

http://parapenuliskreatif.wordpress.com/2012/04/09/masa-depan-lansia-jepang/ diakses pada tanggal 13 Juni2014

http://phyrahysteria.blogspot.com/2013/08/kemiskinan-di-jepang.html diakses pada tanggal 25 Juli 2014

http://rizkyadiproject.wordpress.com/2004/05/15/jepang-lautan-lansia/ diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://rninggalih.wordpress.com/2011/12/20/lansia-jepang/ diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://roundstone7seas.blogspot.com/2013/01/permasalahan-anak-muda-dan-lansia-di.html diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://tomsaptaatmaja.blogspot.com/2012/05/seputar-bisnis-kuburan-periskop-sindo-6.html diakses pada tanggal 25 Juni 2014


(4)

61

http://tutee.wordpress.com/2012/03/06/kodokushi/ diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://www.facebook.com/busohsensenINDONESIA/posts/515835718447445 diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://www.kamusilmiah.com/kesehatan/perawatan-lansia-di-jepang-catatan-pengalaman- pengamatan-dan-pembelajaran/ diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://www.lihat.co.id/2013/05/10-aspek-aneh-budaya-negara-jepang.html diakses pada tanggal 09 Oktober 2013

http://www.merdeka.com/khas/jepang-lebih-fokuskan-penelitian-bagi-lansi-7m4n818.html diakses pada tanggal 13 Juni2014

http://www.suarameredeka.com/harian/07/10/2009/ragam01.html diakses pada tanggal 25 Juni 2014

http://www.tahupedia.com/content/show/189/10-Negara-paling-Berkembang-di-Dunia diakses pada tanggal 25 Juli 2014

http://www.wfs.org/sept-Oct07 files/Trend2so07.htmdiakses pada tanggal 25 Juni 2014


(5)

62 要旨

現在 日本 あ 孤独氏 現象

日本 世界 一 経済性 高く 発展さ 国 あ そ

分野 進歩 医学 タ 国 社会問題

直面 い 日本 医療サービ 簡単

医療技術 進歩 い 健康的 ラ フ タ 発展 あ

そ 社会 余命 高く 基本的 生活 質 改善 示

い 一方 日本 高齢者社会 増加 高齢者社会 増

加 日本社会 直面 い 社会的 生存 影響 あ 出生数 況

総生産力 低 高齢者 問題 い 出生数 い い

出世率 劣化 高齢者 将来 支払わ 所得税 減少さ 高

齢者 看護婦 世話 限 実 毎年国 高齢者 払わ

い医療給付 多く

さ 高齢者 孤独氏 言わ 問題 直面 い 孤独氏

いう 家族 九手 一人 死 条件 あ 実 条件

起 日本 孤独氏 一人暮 高齢者 経験さ 多い 孤

独氏 1995 年 神戸 地震 関心 そ 家族 く

生 高齢者 207 死 発見さ 社会 注意 足 い

高齢者 感触 環境 隔 さ 生 い い そ 日

本社会 中 社会的 結合 如 あ 若い世代 年寄世代 間

距 作 理由 世界 戦 日本社会 農民社会 生活 工業

社会 変化 あ 変化 日本 家族 構造 変え

家用紙 核家族 業界 引起させ 若者 仕 見

都市 行 い 彼 両親 別々 生

い 結局家 シ 変わ 家 シ 中 生

い 高齢者 漸く い 生 意志 感 失

あ あ 高齢者 酒 飲 自

多く 経済問題 高齢者 状況 悪化させ

高齢者 自分 生 支払う い 病気 飢餓 寒さ

高齢者 死亡 多い

孤独氏現象 高齢者 恐 彼 孤独氏 経験

心配 避 賞 済 く い人 多い そ 幾人 高齢者 注意

求 犯罪 犯 え 万引 あ ほ 環境

隔 さ い バ 毎年 孤独氏 増加数 現象

日本社会 深刻 問題 いく 孤独氏 現象 い

政府 責 政府 相互思いや コ ュニ

構築 関 い 実 政府 高齢者 福祉 保証 法


(6)

63

作 そ 法 支援させ 政府 社会 高齢者 多くプ

ラ 使わ 目的 年寄 時 福祉 保証 政府

プ ラ 作 福祉 看護婦 や 避 所 作 や外国

看護婦 働 せ あ 高齢者 孤独氏 軽減 色々

努力 え 高齢者 ープ 作 や協会 ボラン

や自分 ビ ネ 構築 あ