Peningkatan Rendemen Gula Pereduksi dari Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dengan Perlakuan Air Kapur (Ca(OH)2)

PENINGKATAN RENDEMEN GULA PEREDUKSI
DARI KAYU JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)
DENGAN PERLAKUAN AIR KAPUR (Ca(OH)2)

YUSUP AMIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Rendemen
Gula Pereduksi dari Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dengan
Perlakuan Air Kapur (Ca(OH)2) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Yusup Amin
NIM E251100111

RINGKASAN
YUSUP AMIN. Peningkatan Rendemen Gula Pereduksi dari Kayu Jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.) dengan Perlakuan Air Kapur (Ca(OH)2).
Dibimbing oleh WASRIN SYAFII, NYOMAN J. WISTARA dan BAMBANG
PRASETYA.
Biomassa kayu merupakan sumber gula paling melimpah yang dapat
dikonversi menjadi bioetanol. Komponen utama dinding sel kayu terdiri dari
selulosa, hemiselulosa dan lignin. Secara biologis hanya komponen selulosa dan
hemiselulosa yang dapat dihidrolisis menjadi gula dan difermentasi menjadi
etanol. Struktur selulosa terdiri dari bagian yang besifat amorf dan kristalin.
Dalam hidrolisis enzimatis, keberadaan lignin dan sifat kristalinitas selulosa
selama ini diyakini sebagai faktor penghambat proses kinerja enzim dalam
mengkonversi selulosa menjadi gula, sehingga diperlukan perlakuan pendahuluan
(praperlakuan) agar dapat meningkatkan kinerja enzim.
Penelitian mengenai praperlakuan bahan berlignoselulosa dalam pembuatan

bioetanol telah banyak dilakukan, salah satunya adalah menggunakan kalsium
hidroksida (Ca(OH)2) atau sering disebut dengan istilah kapur. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan rendemen gula pereduksi (RGP) pada proses
hidrolisis enzimatis kayu jabon dengan praperlakuan kapur, serta mempelajari
perubahan karakteristik morfologi dan kristalinitas kayu jabon setelah melalui
perlakuan tersebut.
Serbuk kayu (tanpa kulit) ukuran 40-60 mesh dibuat dan dipersiapkan dari
log kayu jabon umur 7 tahun asal Garut, Jawab Barat. Analisis komponen kimia
kayu jabon (kadar ekstraktif alkohol-benzena 1:2, holoselulosa, -selulosa,
hemiselulosa dan lignin klason) dilakukan terhadap sampel sebelum dan setelah
perlakuan masing-masing mengacu pada standar TAPPI T204 om-88, TAPPI
T9m-54, Browning (1967), dan TAPPI T222 om-88. Perlakuan dilakukan dengan
menimbang 9 g serbuk jabon yang sudah diketahui kadar airnya, dimasukkan
dalam digester, ditambahkan kapur dengan konsentrasi (KK) 0.1, 0.3 dan 0.5 g
Ca(OH)2/g serbuk kering, dan 90 mL air. Larutan kapur dan serbuk kayu diaduk
sampai merata kemudian dipanaskan dalam penangas minyak dengan variasi suhu
100, 125 dan 150 C selama 2, 4 dan 6 jam. Sebagai pembanding, dilakukan juga
pemasakan hanya dengan air panas “liquid hot water” (LHW) dengan variasi suhu
dan waktu yang sama dengan perlakuan kapur. Substrat hasil perlakuan dibilas
menggunakan air destilasi (aquades) sampai pH-nya netral. Sebagian substrat

yang sudah netral dikeringkan dalam oven 60 °C selama 3 hari untuk mengukur
kadar air (KA) dan kehilangan berat (WL)-nya, sedangkan sebagian lainnya tetap
disimpan dalam lemari pembeku untuk proses hidrolisis enzimatis dan pengujian
lainnya. Hidrolisis enzimatis dilakukan dengan mengacu metode National
Renewable Energy Laboratory (NREL) menggunakan enzim selulase komersial
dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Variasi konsentrasi enzim (KE) yang
digunakan adalah 10, 20 dan 40 FPU/g substrat. Hidrolisis dilakukan dalam
shaking incubator dengan kecepatan 150 rpm, suhu 50 °C selama 48 jam. Posisi
vial diletakkan horisontal untuk memperluas kontak substrat dengan enzim.
Pengukuran RGP dilakukan dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 500 nm berdasarkan metode Nelson-Samogyi. Analisis morfologi

substrat sebelum dan setelah perlakuan dilakukan menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM) FE- SEM INSPECT F50 pada voltase 20 kV dan
working distance (WD) 15.3 mm. Analisis X-Ray Difraction (XRD)
menggunakan XRD-700 MaximaX series (Shimadzu) pada kisaran sudut 2Ɵ 1040o dengan kecepatan 2o/menit dilakukan untuk mengetahui kristalinitas kayu
jabon sebelum dan setelah perlakuan. Data hasil penelitian dianalisis dengan
bantuan Minitab 16 Statistical Software menggunakan model rancangan acak
lengkap (RAL) faktorial yang meliputi faktor KK, suhu dan waktu pemaskan.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kayu jabon pada penelitian ini

memiliki kandungan -selulosa 43.92 %, hemiselulosa 29.96 %, lignin 25.20 %
dan ekstraktif 2.57 % (b/b). Perlakuan kapur mampu meningkatkan RGP kayu
jabon sampai 9.7 kali lebih tinggi daripada RPG kayu jabon tanpa perlakuan.
Penambahan KK (0.1-0.5 g Ca(OH)2/g biomassa kering) dan peningkatan suhu
(100-150 C) memberikan pengaruh signifikan terhadap RGP jabon. RGP
tertinggi (118 mg setara glukosa/g sebuk kering) diperoleh dari kombinasi
perlakuan KK 0.5 g Ca(OH)2/g biomassa kering pada suhu 150 C selama 4 jam,
dengan KE 40 FPU/g substrat. Hasil ini setara dengan 14.4 % dari perhitungan
teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari kayu jabon.
Variasi KE memberikan pengaruh signifikan terhadap RGP pada perlakuan
kapur, tetapi sebaliknya tidak berpengaruh signifikan terhadap RGP dengan
perlakuan LHW. RGP tertinggi masing-masing KE diperoleh dari kombinasi
perlakuan KL 0.5 g Ca(OH)2/g biomassa kering pada suhu 150 C selama 4 jam.
Pada kondisi tersebut, penambahan KE dari 10 ke 20 FPU/g substrat mampu
meningkatkan RGP jabon sebanyak 57.4 %. Sedangkan dari KE 20 ke 40 FPU/g
substrat terjadi peningkatan RGP sebanyak 43.9 %. Hal ini berarti peningkatan
KE 10-20FPU/g substrat lebih efektif pengaruhnya untuk meningkatkan RGP
dibandingkan dengan peningkatan KE 20-40 FPU/g substrat.
Lebih dari sepertiga komponen lignin dan hemiselulosa jabon (45.83 dan
65.52 %) dapat terdegradasasi dengan praperlakuan kapur. Pada perlakuan suhu

dan waktu yang sama, penambahan kapur (0.5 g Ca(OH)2/g biomassa kering)
dapat mendegradasi lignin 6 kali lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan
LHW. Penambahan kapur dan peningkatan suhu mampu meningkatkan
kehilangan hemiselulosa. Meskipun derajat kristalinitasnya meningkat, perlakuan
kapur menyebabkan permukaan dinding sel kayu jabon makin terbuka dan
semakin poros sebagai akibat dari terdegradasinya komponen lignin dan
hemiselulosa, sehingga hal ini menyebabkan RGP jabon meningkat.
Kata kunci: hidrolisis enzimatis, jabon, lignoselulosa, praperlakuan kapur,
rendemen gula pereduksi

SUMMARY
YUSUP AMIN. The Reducing Sugar Yield Improvement of the Jabon Wood
(Anthocephalus cadamba Miq) by Lime (Ca(OH)2) Pretreatment. Supervised by
WASRIN SYAFII, NYOMAN J. WISTARA and BAMBANG PRASETYA.
The cellulosic substances of woody biomass contain the most abundant
sugar convertible into bioethanol. Cellulose can be hydrolyzed into sugar that then
fermented by yeast into ethanol. Lignin and crystalline area of cellulose inhibit
enzyme acessibility in enzymatic hydrolysis. Therefore, pretreatment for lignin
removal or structural modification of cellulose is paramount in biomass based
bioethanol production..

Bioethanol production from lignocellulosic materials has been studied to
greater extent and one of them is lime (Ca (OH) 2) pretreatment. The purpose of
this study was to increase reducing sugar yield of enzymatic hydrolysis of jabon
wood (Anthocephalus cadamba Miq.) assisted by lime pretreatment and to
observe the characteristic changes of pretreated jabon.
The bark-less wood meal (40-60 mesh) in size was made and prepared from
7 year-old of jabon wood harvested from Garut, West Java. The chemical
component analysis (1:2 ethanol-bennzene extractive content, holocellulose, cellulose, hemicelluse and klasson lignin) were conducted on pretreated samples
and control following to protocols of TAPPI T204 om-88, TAPPI T9m-54,
Browning (1967), and TAPPI T222 om-88, respectively. As much as 9 g of the
known moisture content wood meal was put into stainless steel digester and then
lime loaded with the variation of lime loading (LL) of 0.1, 0.3 and 0.5 g /g dry
biomass in 90 mL of water. The slurry was then homogenized and then heated in
the oil bath at 100, 125 and 150 C for 2, 4 and 6 hour. Digestion with liquid hot
water (LHW) alone at the same time an temperature variations as those with lime
was also conducted as control. Upon completion of pretreatment, the wood meal
was washed with destiled water to a neutral pH. Its moisture content (MC) and
wight loss (WL) was then determined at 60 °C for 3 days and the pretreated
samples were stored in the freezer for subsequent enzymatic hydrolysis process
and the other testing.

Enzymatic hydrolysis was performed in accordance to the National
Renewable Energy Laboratory (NREL) procedures using a commercial cellulase
enzyme (200 FPU/g enzyme activities). The enzyme loading (EL) variation was
10, 20 and 40 FPU/g of substrate. This hydrolysis was carried out in a shaking
incubator at 150 rpm and 50 °C for 48 hours with horizontal position of vial glass
to spread out the enzyme and substrate contact. Determination of reducing sugar
yield (RSY) followed the Nelson-Samogyi method using UV-Vis
spectrophotometer at 500 nm of wave-length. The morphological analysis of
control and pretreated samples was conducted by Scanning Electron Microscopy
(SEM) at 20 kV and 15.3 mm of working distance (WD). The determination of
crystallinity index changes between control and pretreated samples were carried
out with X-Ray Diffraction (XRD) analysis at 40 kV, 30 mA and 10-40o of 2Ɵ
angle with 2o/min of speed. The data were subsequently analyzed using factorial

Completely Randomized Design (CRD) assisted by Statistical Software (Minitab
16).
-cellulose, hemicelluloses, lignin and extractives of the jabon wood
(8.67 % of MC) were 43.92, 29.96, 25.20 and 2.57 % (w/w), respectively. The
RSY of pretreated jabon increased up to 9.7 folds from that of its control. The LL
(0.1-0.5 g Ca (OH)2/g dry biomass) and temperature (100-150 C) significantly

affected the RSY. The highest RSY was obtained for pretreatment with 0.5 g
Ca(OH)2/g dry biomass, at 150 °C for 4 hour, hydrolyzed by 40 FPU of cellulase
(118 mg equivalent glucosa/g dry biomass). This yield was comparable with
14.4 % of the theoritical maximum RSY of jabon.
EL variation significantly influenced the RSY of lime pretreated wood. In
48 hours of incubation period, the highest RSY was obtained with 0.5 g Ca (OH)

2/g dry biomasss of LL heated at 150 C for 4 h pretreatment. In these conditions,
the increase of EL from 10 to 20 FPU/g and 20 to 40 FPU/g of pretreated wood
the RSY increased 57.4 % and 43.9 %, respectively. Therefore, it was suggested
that the increase of EL from 10 to 20 FPU/g was more effective to increase RSY.
More than a third of the lignin and hemicellulose content (45.83 and
65.52 %) degraded by lime pretreatment. At the same condition of temperature
and time, the LL of 0.5 g Ca (OH) 2/g of dry biomass removed lignin of more than
6 folds than that with the LHW pretreatment. The increase of LL and temperature
increased the hemicellulose loss. Even though the crystallinity index tended to
increase, lignin and hemicellulose removal by lime pretreatment brought about an
open and porous structure of pretreated wood. This might be the cause of the
increased RSY of the pretreated jabon wood.
Keywords: enzymatic hydrolysis, jabon, lignocellulosic, lime pretreatment,

reducing sugar yield
.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENINGKATAN RENDEMEN GULA PEREDUKSI
DARI KAYU JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)
DENGAN PERLAKUAN AIR KAPUR (Ca(OH)2)

YUSUP AMIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Rita Kartika Sari, SHut MSi

Judul Tesis : Peningkatan Rendemen Gula Pereduksi dari Kayu Jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.) dengan Perlakuan
Air Kapur (Ca(OH)2)
Nama
: Yusup Amin
NIM
: E251100111


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Wasrin Syafii, MAgr
Ketua

Nyoman J. Wistara, Ph.D
Anggota

Prof Dr Ir Bambang Prasetya, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Juli 2014

Tanggal Lulus: 29 Agustus 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul Peningkatan
Rendemen Gula Pereduksi dari Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
dengan Perlakuan Air Kapur (Ca(OH)2) ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juli 2013-Maret 2014 bertempat di Laboratorium
Teknologi Proses Biomassa dan Bioremediasi Pusat Penelitian Biomaterial LIPI
Cibinong.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Wasrin Syafii MAgr, Nyoman
J. Wistara Ph.D dan Prof Dr Ir Bambang Prasetya MSc selaku komisi
pembimbing, serta kepada Prof Dr Ir Sulaeman Yusuf dan Dr Euis Hermiati MSc
atas saran dan arahannya. Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada
Pengelola Program Karyasiswa Kementerian Riset dan Teknologi yang telah
memberikan beasiswa kepada penulis untuk menempuh jenjang pendidikan S2 di
Sekolah Pascasarjana IPB. Ungkapan yang sama penulis sampaikan juga kepada
segenap keluarga besar Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, terutama kepada Bapak
Dr Wahyu Dwianto MAgr, Bapak Jayadi, Bapak Teguh Darmawan, Bapak
Sudarmanto, Bapak Saepul, Ibu Widya Fatriasari, Ibu Triyani Fajriutami, Ibu Sita,
Ibu Ika Wahyuni, Bapak Danang Sudarwoko Adi, Bapak Lucky Risanto, Bapak R
Permana Budi Laksana, dan Ibu Maulida atas dorongan semangat dan bantuannya
selama penelitian. Ungkapan terimakasih yang tak terhingga disampaikan kepada
keluarga terutama ibunda Siti Robi’ah (alm), ayahanda Wardi, ibu dan bapak
mertua, serta istri dan anak tercinta (Rini Oktaviani dan Azfar Rayhan Ibnul
Amin) atas doa, pengertian dan kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan
dukungan yang diberikan kepada penulis selama menempuh program S2.
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang
membutuhkannya.

Bogor, Juli 2014
Yusup Amin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian

1
1
3
3
3
4

2 METODE
Persiapan Bahan Baku dan Analisis Komponen Kimia
Praperlakuan
Hidrolisis Enzimatis
Analisis Gula Pereduksi
Analisis SEM dan Pengukuran Derajat Kristalinitas Kayu Jabon
Analisis Data

4
4
4
4
5
5
5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Praperlakuan Terhadap RGP Kayu Jabon
Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap RGP Kayu Jabon
Perubahan Kristalinitas dan Struktur Kayu Jabon Setelah Praperlakuan

7
7
10
11

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

13
13
13

DAFTAR PUSTAKA

13

LAMPIRAN

17

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Rendemen gula pereduksi kayu jabon pada berbagai variasi perlakuan
2 Perubahan komponen kimia kayu jabon setelah praperlakuan
3 Kristalinitas selulosa kayu jabon setelah praperlakuan

7
9
11

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Diagram alir penelitian
Kehilangan berat biomassa jabon setelah praperlakuan
Kehilangan komponen kimia kayu jabon setelah praperlakuan
Citra SEM penampang melintang serbuk kayu jabon perbesaran 4000 x

6
8
9
12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data kehilangan berat (WL) dan RGP kayu jabon praperlakuan LHW
2 Data kehilangan berat (WL) dan RGP kayu jabon praperlakuan kapur

17
18

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati (BBN) yang dapat
diproduksi dari bahan berlignoselulosa melalui proses sakarifikasi dan fermentasi
(Mejia et al. 2012). Selama ini bahan baku pembuatan bioetanol banyak berasal
dari tanaman pertanian dan perkebunan seperti: tebu, singkong, ubi jalar, jagung,
aren, dan lain sebagainya. Peningkatan permintaan etanol dunia menimbulkan
dilema antara pemenuhan kebutuhan pangan dan energi (Sugiyono 2012).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, konsumsi BBN (termasuk bioetanol) di
Indonesia tahun 2010 sampai 2030 diperkirakan akan mengalami peningkatan
rata-rata 24.1 % dari  2 juta setara barel minyak (SBM) menjadi  72 juta SBM
pada tahun 2030 (ESDM 2010). Penggunaan bahan pangan untuk bioetanol dapat
menyebabkan harga pangan dan bioetanol dunia menjadi mahal. Sehingga untuk
mengatasi masalah tersebut maka perlu dicarikan alternatif sumber bahan baku
yang lain.
Kayu merupakan biomassa lignoselulosa yang dapat dijadikan sebagai
sumber bahan baku alternatif bioetanol (Balat et al. 2008; Wang et al. 2008; Hu et
al. 2008). Pengembangan bioetanol berbahan dasar lignoselulosa diharapkan
dapat memperbaiki atau mendukung upaya mewujudkan keamanan pasokan
energi nasional yang selama ini masih bergantung pada energi minyak, gas bumi
dan batubara (Santoso 2006), serta dapat mengurangi tingkat pencemaran
lingkungan (Balat et al. 2008).
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan salah satu jenis kayu
tropis asli Indonesia yang tergolong tanaman cepat tumbuh dengan riap diameter
dapat mencapai 7-10 cm/tahun, riap tinggi 3-6 m/tahun (Mansur dan Tuheteru
2010), dan rata-rata riap volume 10-26 m³/ha/tahun (Pratiwi 2003). Kayu jabon
memiliki kemampuan beradaptasi pada berbagai kondisi tempat tumbuh,
perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah, serta relatif bebas dari serangan
hama dan penyakit yang serius (Krisnawati et al. 2011). Namun demikian, kayu
jabon termasuk ke dalam kelas kuat IV-III dan kelas awet V (Martawijaya et al.
1989), sehingga kurang cocok untuk digunakan sebagai kayu konstruksi. Pelawi
(2011) melaporkan bahwa kayu jabon memiliki potensi untuk dijadikan sebagai
bahan baku bioetanol.
Komponen utama penyusun bahan lignoselulosa terdiri dari lignin, selulosa
dan hemiselulosa. Selulosa dan hemiselulosa merupakan polisakarida yang dapat
dihidrolisis menjadi gula dan selanjutnya dapat difermentasi menjadi etanol
(Hamelinck et al. 2005; Shi et al. 2009). Struktur selulosa terdiri dari bagian yang
besifat amorf dan kristalin. Dalam hidrolisis enzimatis, keberadaan lignin dan
kristalinitas selulosa selama ini diyakini sebagai faktor penghambat proses kinerja
enzim dalam mengkonversi selulosa menjadi gula, sehingga diperlukan perlakuan
pendahuluan (praperlakuan) agar dapat meningkatkan kinerja enzim dalam
mengkonversi gula menjadi etanol.
Konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol pada dasarnya terdiri atas tiga
tahap, yaitu perlakuan pendahuluan, sakarifikasi (hidrolilis), dan fermentasi.
Praperlakuan merupakan tahapan penting untuk dilakukan dalam proses

2
pembuatan etanol dari bahan ligonselulosa (Mosier et al. 2005; Wang et al. 2008).
Hampir 30 % biaya produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa terdapat pada
tahapan praperlakuan bahan baku (Mosier et al. 2005). Tujuan dilakukannya
praperlakuan adalah untuk membuka struktur lignoselulosa yang dilindungi oleh
lignin agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah
polimer polisakarida menjadi monomer gula (Hendriks dan Zeeman 2009; Zheng
et al. 2009). Stenberg et al. (1999), secara umum praperlakuan berfungsi untuk
menghilangkan lignin, mereduksi sifat kristalinitas selulosa, meningkatkan
permukaan kontak enzim, memudahkan hidrolisis selulosa, serta menghilangkan
zat ekstraktif yang dapat menghambat kerja enzim dan mikroba.
Enzim merupakan gugus polipeptida (protein) yang berfungsi sebagai katalis
pada suatu reaksi kimia. Cara kerja enzim adalah dengan menempel pada
permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga dapat mempercepat reaksi.
Selulase merupakan enzim yang dapat berfungsi sebagai katalis pada reaksi
hidrolisis selulosa menjadi gula. Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil
hidrolisis enzimatis lignoselulosa adalah konsentrasi enzim (KE) (Gregg dan
Seddler 1996; Mussato et al. 2008). Makin banyak dosis enzim selulase yang
digunakan (sampai batas KE tertentu) umumnya menghasilkan tingkat hidrolisis
dan rendemen gula pereduksi (RGP) yang tinggi, karena makin banyak enzim
yang kontak langsung dengan substrat dan menghidrolisis selulosa (Gregg dan
Saddler 1996).
Berbagai penelitian mengenai praperlakuan dalam pembuatan bioetanol dari
bahan lignoselulosa telah banyak dilakukan, baik secara biologis (Irawati et al.
2009, Hermiati et al. 2013), fisik (Kitchaiya et al. 2003, Hu dan Wen 2008),
maupun secara kimiawi (Chang et al. 1998, Wang et al. 2008). Selama ini
praperlakuan secara kimia telah banyak dikembangkan secara komersial, karena
dianggap lebih efektif dan efisien dibanding metode lainya (Meija et al. 2012).
Salah satu proses praperlakuan kimiawi yang banyak dikembangkan adalah
praperlakuan alkali, misalnya menggunakan kalsium hidroksida (Ca(OH)2).
Dibandingkan dengan praperlakuan alkali lainya: sodium hidroksida (NaOH) dan
ammoniak (NH3), Ca(OH)2 (kapur) merupakan yang paling banyak diterapkan
(Chang et al. 2001). Selain efektif, praperlakuan menggunakan kapur juga lebih
ekonomis dan ramah lingkungan karena dapat dilakukan pemulihan kapur melalui
proses karbonasi air pembilasan sampel menggunakan CO2 (Chang et al. 1998;
Xu et al. 2010). Sierra et al. (2009) menambahkan bahwa perlakuan kapur tidak
banyak mendegradasi selulosa, tidak mahal sehingga bisa diaplikasikan pada
produksi energi dan bahan kimia, serta aman untuk digunakan. Seperti perlakuan
alkali lainnya, efek utama perlakuan kapur adalah menghilangkan lignin.
Perlakuan kapur juga mampu menghilangkan gugus asetil pada bahan
berlignoselulosa sehingga dapat meningkatkan digestibilitas dan menghilangkan
inhibitor dalam fermentasi etanol (Sierra et al. 2009).
Chang et al. (1998, 2001) melakukan penelitian praperlakuan kapur yang
diterapkan pada bagas, jerami gandum, kertas koran dan kayu poplar. Dilaporkan
bahwa dengan bahan baku bagas hasil RGP terbaik diperoleh pada kombinasi
konsentrasi kapur (KK) 0.1 g Ca(OH)2/g biomassa kering, suhu pemasakan 120
C selama 1 jam. Sedangkan pada jerami gandum hasil RGP terbaik diperoleh
pada KK 0.1 g Ca(OH)2/g biomassa kering, suhu 50 C selama 24 jam. Pada
kertas koran dan kayu poplar, masing-masing RGP terbaik diperoleh pada KK 0.3

3
g Ca(OH)2/g biomassa kering, suhu 140 C selama 3 jam dan KK 0.1 g Ca(OH)2/g
biomassa kering, suhu 150 C selama 6 jam. Xu et al. (2010), hasil perlakuan
kapur terbaik yang diterapkan pada switchgrass adalah pada kombinasi perlakuan
KK 0.1 g Ca(OH)2/g biomassa kering, suhu 50 C selama 24 jam. Praperlakuan
optimal yang diterapkan pada bermudagrass (Wang et al. 2008) adalah pada KK
0.1 g Ca(OH)2/g biomassa kering, suhu 80 C selama 3 jam. Dibandingkan
dengan tanpa perlakuan, praperlakuan kapur mampu meningkatkan RGP sebanyak
10, 4.3, 2.4 dan 9.1 kali masing-masing pada jerami gandum, bagas, kertas koran,
dan kayu poplar (Chang et al. 1998, 2001), dan 3.61 kali pada switchgrass (Xu et
al. 2010). Pada kondisi perlakuan optimal, peningkatan suhu dari kondisi suhu
ruang sampai pada suhu 80 C mampu menigkatkan RGP teoritis bermudagrass
sebanyak 8 % (Wang et al. 2008).

Perumusan Masalah
Praperlakuan dengan kapur cocok diterapkan untuk material yang kasar
(Chang et al. 1998), terutama dari limbah pertanian, rumput-rumputan dan kayu
keras (Limayen dan Ricke 2012). Dengan berbagai keunggulan karakteristik yang
dimilikinya kayu jabon memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan
sebagai bahan baku bioetanol. Pembuatan bioetanol dari kayu jabon dengan
praperlakuan delignifikasi proses kraft telah dilakukan oleh Pelawi (2011), dan
diperoleh RGP tertinggi 11.53 % pada kadar lignin 12 %. Xu et al. (2010)
melaporkan bahwa perlakuan dengan kapur mampu meningkatkan kinerja enzim
dalam proses pembuatan bioetanol dari switchgrass, sehingga menyebabkan RGPnya meningkat. Sejauh ini belum ada penelitian penggunaan praperlakuan kapur
pada kayu jabon. RGP terbaik dengan perlakuan kapur umumnya diperoleh pada
kombinasi perlakuan KK 0.1 g Ca(OH)2/g biomassa kering dengan suhu yang
relatif rendah dah waktu yang relatif lama. Sehingga perlakuan kapur dengan KK
diatas 0.1 g Ca(OH)2/g biomassa kering diharapkan dapat menghasilkan RGP
jabon yang tinggi dengan tingkat konsumsi energi (suhu) dan waktu yang lebih
rendah.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan RGP pada proses hidrolisis
enzimatis kayu jabon dengan praperlakuan kapur, serta mempelajari perubahan
karakteristik morfologi dan kristalinitas kayu jabon setelah melalui perlakuan.

Hipotesis
1. Penambahan KK, suhu dan waktu praperlakuan dapat meningkatkan
delignifikasi dan aksesibilitas enzim selulase sehingga RGP yang dihasilkan
lebih tinggi.
2. Kombinasi perlakuan kapur suhu dan waktu yang diterapkan dapat
menurunkan derajat kristalinitas kayu jabon hasil praperlakuan.

4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi ilmiah mengenai
pemanfaatan dan pengembangan bioetanol dari bahan lignoselulosa, khususnya
dari bahan kayu jabon.

2 METODE
Persiapan Bahan Baku dan Analisis Komponen Kimia
Serbuk kayu (tanpa kulit) ukuran 40-60 mesh dibuat dan dipersiapkan dari
log kayu jabon umur 7 tahun asal Garut, Jawab Barat. Persiapan bahan baku dan
pengukuran kadar air (KA) masing-masing dilakukan dengan mnegacu pada
standar TAPPI T257 om-85 dan TAPPI T264 om-88. Analisis komponen kimia
kayu jabon (kadar ekstraktif alkohol-benzena 1:2, holoselulosa, alfa-selulosa,
hemiselulosa dan lignin klason) dilakukan terhadap sampel sebelum dan setelah
perlakuan masing-masing mengacu pada pada standar TAPPI T204 om-88,
TAPPI T9m-54, Browning (1967), dan TAPPI T222 om-88.

Praperlakuan
Proses praperlakuan dilakukan dengan memasak 9 g serbuk jabon (40-60
mesh) di dalam digester ukuran 100 mL, ditambahkan kapur dengan konsentrasi
(KK) 0.1, 0.3 dan 0.5 g Ca(OH)2/g serbuk kering, dan 90 mL air. Larutan kapur
dan serbuk kayu diaduk sampai merata kemudian dipanaskan dalam penangas
minyak dengan variasi suhu 100, 125 dan 150 C selama 2, 4 dan 6 jam. Sebagai
pembanding, dilakukan juga perlakuan hanya dengan air panas saja “liquid hot
water” (LHW) dengan variasi suhu dan waktu yang sama dengan perlakuan kapur.
Substrat hasil perlakuan disaring dan dibilas menggunakan air destilasi (aquades)
sampai pH-nya netral. Sebagian substrat yang sudah netral dikeringkan dalam
oven 60 °C selama 3 hari untuk mengukur KA dan kehilangan berat (WL)-nya,
sedangkan sebagian lainnya tetap disimpan dalam lemari pembeku untuk proses
hidrolisis enzimatis dan pengujian lainnya.

Hidrolisis Enzimatis
Hidrolisis enzimatis dilakukan dengan mengacu metode National Renewable
Energy Laboratory (NREL) (Selig et al. 2008). Enzim yang digunakan adalah
enzim selulase komersial (Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas
enzim 200 FPU/g. Variasi KE yang digunakan adalah 10, 20 dan 40 FPU/g
substrat. Larutan buffer sodium sitrat 0.05 M, pH 4.8 disiapkan sebagai pelarut
enzim selulase. Sebanyak 1 g Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium
sitrat hingga volume 100 mL, sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim
selulase 2 FPU/mL. Proses hidrolisis dilakukan terhadap serbuk jabon hasil
praperlakuan dan serbuk jabon tanpa praperlakuan (kontrol). Sebanyak 0.1 g

5
serbuk jabon (berat kering) ditimbang dalam botol vial volume 20 mL, kemudian
ditambahkan 5 mL larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 mL larutan sodium azida
20 mg/mL. Selanjutnya ditambahkan larutan stok enzim selulase 0.5 mL (untuk
KE 10 FPU/g); 1 mL (KE 20 FPU/g) dan 2 mL (KE 40 FPU/g). Larutan buffer
sodium sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total campuran mencapai
10 g. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer (tanpa substrat dan
tanpa penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa substrat). Proses
hidrolisis dilakukan di dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C selama
48 jam. Posisi vial diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak substrat
dengan enzim.

Analisis Gula Pereduksi
Substrat padat hasil hidrolisis enzimatis dinalisa gula pereduksinya mengacu
pada metode Nelson-Somogyi dengan cara mengukur absorbansi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 500 nm dan diatur agar
absorbansi terdeteksi pada kisaran 0.2-0.8 (Wrolstad et al. 2005). Gula pereduksi
substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula pereduksi kontrol buffer dan
kontrol enzim.

Analisis SEM dan Pengukuran Derajat Kristalinitas Kayu Jabon
Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) dan X-Ray Difraction (XRD)
masing-masing dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik morfologi
dan kristalinitas kayu jabon sebelum dan setelah praperlakuan. Untuk mengindari
terjadinya pemulihan bentuk selulosa setelah proses praperlakuan maka sebelum
dilakukan analisis menggunakan SEM dan XRD sampel serbuk kayu tersebut
dikeringkan dengan freeze-dryer. Analisis morfologi substrat dilakukan
menggunakan FE- SEM INSPECT F50 pada voltase 20 kV dan working distance
(WD) 15.3 mm. Sedangkan analisis kristalinitas selulosa dilakukan menggunakan
XRD-700 MaximaX series (Shimadzu), dengan sudut 2 : 10-40 , kecepatan
2/menit (40 kV, 30 mA).

Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan bantuan Minitab 16 Statistical
Software menggunakan model rancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang
meliputi faktor KK, suhu dan waktu pemaskan. Model matematis faktorial yang
digunakan adalah:
Yijk =  + i + j + k + ()ij + ()ik + ()jk + ()ijk + ijk
, dengan:
Yijk
= nilai respon (RGP dan WL) pada perlakuan faktor A taraf ke-i;
faktor B taraf ke- j; dan faktor C taraf ke-k

6

i
j
k
()ij
()ik
()jk
()ijk

=
=
=
=
=
=
=
=

ijk
A
B
C

=
=
=
=

nilai tengah populasi (rata-rata sebenarnya)
pengaruh penambahan taraf ke-i faktor A
pengaruh penambahan taraf ke-j faktor B
pengaruh penambahan taraf ke-k faktor C
pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-k faktor C
pengaruh interaksi taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k faktor C
pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
dan taraf ke-k faktor C
pengaruh galat percobaan yang memperoleh kombinasi ijk
konsentrasi kapur (0.1, 0.3, 0.5 g Ca (OH)2 /g biomassa kering)
suhu (100, 125, 150 C)
waktu pemasakan (2, 4, 6 jam)

Gambar 1 Diagram alir penelitian

7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Praperlakuan Terhadap RGP Kayu Jabon
-selulosa merupakan polimer glukosa yang dapat dihidrolisis menjadi gula
pereduksi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. -selulolosa merupakan
komponen kayu terbanyak (Fengel dan Wegener 1995), berkisar 40–60 % dari
berat kering biomassa (Hamelinck et al. 2005). Kadar -selulosa kayu jabon pada
penelitian ini adalah 43.92 %, hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya
(Emil 2013) yang melaporkan bahwa pada umur 7 tahun kayu jabon memiliki
kandungan selulosa 42.26 %. Kadar -selulosa yang tinggi umumnya
berpengaruh positif terhadap RGP. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
memaksimalkan produksi gula pereduksi dari bahan berlignoselulosa adalah
melalui praperlakuan kapur.
Data RGP hasil penelitian disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Secara umum
praperlakuan kapur menghasilkan RGP yang lebih tinggi daripada metode LHW
(Tabel 1). Penambahan KK sampai 0.5 g Ca(OH)2/g biomassa kering memberikan
pengaruh yang signifikan (p0.05). Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian sebelumnya (Chang et al. 1998), penambahan KK diatas 0.1 g
Ca(OH)2/g biomassa kering tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
RGP bagas dan jerami gandum.
Tabel 1 Rendemen gula pereduksi kayu jabon pada berbagai variasi perlakuan
RGP (mg setara glukosa/g biomassa kering)
KE
(FPU) Wak
tu
(jam)

1100
°C
9.8

125
°C
9.9

150
°C
23.8

100
°C
18.6

0.1
125°
C
19.0

150°
C
15.2

100°
C
19.0

0.3
125°
C
15.2

150°
C
22.5

100°
C
18.0

0.5
125
°C
22.0

150
°C
38.9

4

10.1

10.2

30.0

17.1

19.1

24.5

16.2

21.1

25.0

16.6

23.7

52.1

6

10.2

10.3

31.4

17.8

19.3

24.3

15.7

18.8

28.6

17.2

23.7

49.6

2
10

2
20

Kon
trol
8.3

12.6

12.4

28.8

30.8

33.7

29.7

31.0

27.6

35.7

26.6

26.8

49.0

4

11.3

12.0

37.2

33.7

29.1

38.2

35.4

27.5

37.8

30.4

30.6

82.0

6

12.1

12.4

38.8

31.6

30.5

37.6

31.1

33.2

39.1

31.1

33.2

77.7

13.7

16.9

37.9

36.5

38.3

39.8

37.3

37.5

37.5

37.8

39.0

56.6

17.4

43.8

38.1

36.8

38.0

40.2

39.6

37.8

39.9

39.7

118.0

17.8

44.2

38.7

39.0

40.7

39.2

38.6

42.6

40.1

41.0

110.9

2
40

Kapur (g Ca(OH)2/g biomassa kering)

LHW

4
6

9.8

12.1

15.6
16.4

Siera et al. (2009) menyatakan bahwa dalam praperlakuan kapur, selain KK,
faktor suhu, waktu dan tekanan yang digunakan juga berpengaruh terhadap
rendemen gulanya. Tabel 1 menunjukkan bahwa secara umum RGP jabon
meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Hasil analisis statistik menunjukkan
hanya suhu 150 C yang berpengaruh signifikan (p 45 %). Hal ini karena komponen ekstraktif tidak terikat pada dinding sel,
sehingga lebih mudah terdegradasi. Keberadaan zat ekstraktif pada bahan
berlinoselulosa dapat menghambat kinerja enzim dan mikroba (Stenberg et al.
1999), sehingga terdegradasinya zat ekstraktif ini diduga turut berperan dalam
meningkatnya RGP jabon.
Tabel 2 Perubahan komponen kimia kayu jabon setelah praperlakuan
Komponen
kayu
(%)

kontrol

Ekstraktif
Lignin Klason
Holoselulosa
Alfa-selulosa
Hemiselulosa

2.57
25.20
73.88
43.92
29.96

LHW
100 C,
4 jam
1.57
24.45
68.94
44.00
24.94

Praperlakuan
LHW
Kapur (0.5)
150 C,
100 C,
4 jam
4 jam
1.47
1.31
23.35
20.04
59.02
58.80
43.54
43.73
15.48
15.07

Kapur (0.5)
150 C,
4 jam
1.15
13.65
53.85
43.52
10.33

Jumlah kehilangan (%)

70

60
50

LHW 100 °C, 4 jam

40

LHW 150 °C, 4 jam

30

Kapur (0.5), 100 °C, 4 jam

20

Kapur (0.5), 150 °C, 4 jam

10
0
Ekstraktif

Lignin

Hemiselulosa

Komponen kimia

Gambar 3 Kehilangan komponen kimia kayu jabon setelah praperlakuan
Seperti perlakuan alkali lainnya (NaOH dan NH3), efek kapur dalam
praperlakuan bahan berlignoselulosa adalah menghilangkan lignin (Siera et al.
2009). Pada perlakuan suhu dan waktu yang sama, penambahan kapur (0.5 g
Ca(OH)2/g biomassa kering) dapat mendegradasi lignin 6 kali lebih banyak
dibandingkan dengan perlakuan LHW (Gambar 3). Praperlakuan kapur (KK 0.5 g
Ca(OH)2/g biomassa kering; 150 C; 4 jam) mampu mendegradasi lignin

10
sebanyak 45.83 %. Kehilangan lignin pada jabon lebih tinggi daripada kehilangan
lignin pada bagas (14.03) (Chang et al. 1998). Kehilangan lignin merupakan salah
satu indikator penting dalam penilaian efektifitas metode praperlakuan pembuatan
bioetanol, makin tinggi kehilangan lignin maka semakin efektif metode tersebut.
Praperlakuan kapur terbukti mampu memperbaiki tingkat delignifikasi
lignoselulosa jabon, hal ini memungkinkan makin terbukanya matrik selulosa dan
peningkatan daerah permukaan kontak dengan enzim sehingga menyebabkan
peningkatan RGP (Tabel 1).
Selain mendegradasi lignin, praperlakuan kapur juga menyebabkan
terdegradasinya hemiselulosa jabon. Fengel dan Wegener (1995), ketika
holoselulosa dilarutkan dengan alkali, maka didapat selulosa sebagai fraksi
karbohidrat yang tidak terlarut dan hemiselulosa sebagai fraksi karbohidrat
terlarut. Hemiselulosa menbentuk ikatan kovalen dengan lignin, sehingga apabila
komponen lignin terdegradasi maka sebagian hemiselulosa akan ikut terdegradasi
(Siera et al. 2009; Hendrik dan Zeeman 2009). Penambahan kapur dan
peningkatan suhu mampu mendegradasi komponen hemiselulosa kayu jabon
hingga 65.52 % (Gambar 3). Struktur rantai bercabang dan derajat polimerisasi
yang rendah menyebabkan polimer hemiselulosa lebih mudah terdegradasi
dibandingkan dengan selulosa. Dengan hilangnya sebagian hemiselulosa maka
akan berdampak positif pada tingkat hidrolisis selulosa oleh enzim (Hendrik dan
Zeeman 2009), sehingga berpengaruh terhadap meningkatnya RGP (Tabel 1).

Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap RGP Kayu Jabon
Chang et al. (2001), karena faktor enzim meliputi 44 % dari biaya produksi
gula, maka perlu memilih secara cermat penggunaan KE yang tepat. KE selulase
yang digunakan pada proses hidrolisis bervariasi mulai dari 7 sampai 33 FPU/g
substrat, bergantung pada jenis dan konsentrasi substrat (Sun dan Cheng 2002).
Mussato et al. (2008) menggunakan KE selulase 5-85 FPU/g substrat untuk
menghidrolisis brewer’s spent grain, dengan hasil yang optimal pada KE 45
FPU/g substrat. Sattler et al. (1989), dengan rentang KE selulase 5-100 FPU/g
substrat kayu poplar, hasil hidrolisis terbaik diperoleh pada penambahan KE 5-50
FPU/g substrat. KE 10 FPU/g selulosa merupakan dosis yang sering digunakan
pada penelitian skala laboratorium, karena terbukti dapat menghasilkan RGP yang
cukup tinggi selama inkubasi 48-72 jam (Gregg dan Saddler 1996).
Tabel 1 menjelaskan bahwa pada KE 10 FPU/g substrat, praperlakuan kapur
mampu meningkatkan RGP kayu jabon sampai 6.2 kali daripada kayu jabon tanpa
praperlakuan (8.3 menjadi 52.1 mg setara glukosa/g biomassa kering). Demikian
juga pada KE 20 dan 40 FPU/g substarat, perlakuan kapur mampu meningkatkan
RGP kayu jabon masing-masing sebanyak 8.3 dan 9.7 kali (9.8 dan 12.1 menjadi
82 dan 118 mg setara glukosa/g biomassa kering). Secara statistik, ketiga variasi
KE memberikan pengaruh yang signifikan terhadap RGP praperlakuan kapur,
tetapi sebaliknya tidak berpengaruh signifikan pada praperlakuan LHW. RGP
tertinggi masing-masing KE diperoleh dari kombinasi perlakuan KK 0.5 g
Ca(OH)2/g biomassa kering pada suhu 150 C selama 4 jam. Pada kondisi tersebut,
penambahan KE dari 10 ke 20 FPU/g substrat mampu meningkatkan RGP
sebanyak 57.4 %. Pada penambahan KE dari 20 ke 40 FPU/g substrat terjadi
peningkatan RGP sebanyak 43.9 %. Hal ini berarti peningkatan enzim 10-

11
20FPU/g substrat lebih efektif pengaruhnya untuk meningkatkan RGP
dibandingkan dengan 20-40 FPU/g substrat. Fenomena ini sejalan dengan
penelitian Chang et al.(2001) pada kayu poplar, KE di atas 25 FPU/g substrat
menyebabkan selulosa menjadi jenuh oleh penetrasi enzim sehingga laju hidrolisis
jadi kurang efektif.
RGP tertinggi diperoleh pada KE 40 FPU/g substrat (118 mg setara gula/g
biomassa kering), sedikit lebih tinggi dari penelitian Pelawi (2011) dengan
kondisi perlakuan yang berbeda. Secara teori, konversi selulosa jabon menjadi
gula pereduksi dengan asumsi derajat hidrolisis 100 % dapat menghasilkan  820
mg setara glukosa/g biomassa kering (RGP 82 %). Perlakuan kapur pada
penelitian ini menghasilkan gula pereduksi tertinggi sebanyak  14.4 % dari
jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari kayu jabon.

Perubahan Kristalinitas dan Struktur Kayu Jabon Setelah Praperlakuan
Salah satu tujuan praperlakuan adalah untuk mengurangi sifat kristalinitas
dan meningkatkan porositas bahan (Sun dan Cheng 2002). Tabel 3 menunjukkan
bahwa kristalinitas kayu jabon cenderung meningkat seiring kenaikan suhu dan
penambahan kapur, sehingga hasil ini berbanding terbalik dengan salah satu target
penelitian yang diharapkan. Femomena ini serupa dengan yang dilaporkan
Chundawat et al. (2011) dan Pu et al. (2013). Keduanya melaporkan bahwa preperlakuan asam, LHW, steam explotion dan kapur secara umum menyebabkan
terjadinya peningkatan kristalinitas selulosa dibanding yang tanpa praperlakuan.
Bagian amorf pada selulosa dapat terdegradasi pada suhu kurang dari 150 C,
sedangkan bagian kristalin baru dapat terdegradasi pada suhu minimal 180 C (Pu
et al. 2013). Oleh karena itu suhu maksimal yang diterapkan pada penelitian ini
(150 C) belum dapat mendegradasi bagian daerah kritaslin kayu jabon.
Kombinasi perlakuan suhu dan penambahan konsentrasi kapur menyebabkan
terdegradasinya komponen yang bersifat amorf (lignin dan hemiselulosa),
sehingga intensitas bagian kristalin kayu jabon secara keseluruhan akan
mengalami peningkatan.
Tabel 3 Kristalinitas selulosa kayu jabon setelah praperlakuan
Perlakuan
Kontrol

Puncak
2Theta
22.23

Icr
Ia
(kristalin) (amorf)
0.82
1.47

Kristalinitas
(%)
35.76

LHW, 100 C, 4 jam

22.22

0.88

1.39

38.77

LHW, 150 C, 4 jam

22.33

1.00

1.34

42.71

Kapur (0.5), 100 C, 4 jam

22.33

0.92

1.27

42.01

Kapur (0.5), 150 C, 4 jam

22.37

0.78

1.13

40.88

Hasil pencitraan SEM menunjukkan perbedaan yang cukup jelas antara
sampel sebelum dan setelah praperlakuan (Gambar 4). Pada sampel tanpa
praperlakuan (Gambar 4A) struktur dinding sel terlihat masih utuh, belum terjadi
kerusakan seperti pada sampel yang telah mengalami praperlakuan (Gambar 4B-

12
E). Praperlakuan (LHW dan kapur) mengakibatkan struktur dinding sel kayu
jabon menjadi mengembang dan terbentuk lubang-lubang pori. Pada kondisi suhu
dan waktu yang sama, perlakuan kapur menyebabkan kerusakan struktur sel yang
lebih parah. Dinding sel tampak semakin mengembang, makin terkoyak dan lebih
porous (Gambar 4D dan E). Hal ini mengindikasikan sebagian komponen lignin
dan hemiselulosa telah terdegradasi (Gambar 3) yang mengakibatkan daerah
permukaan selulosa jadi makin terbuka (Hu dan Wen 2008). Tye et al (2012)
menambahkan bahwa perlakuan alkali pada serat kapuk lebih efektif dalam
mendegradasi lignin dan hemiselulosa, sedangkan perlakuan asam hanya
mendegradasi hemiselulosa.

B

A

D

C

E

Gambar 4 Citra SEM penampang melintang serbuk kayu jabon perbesaran 4000 x:
(A) tanpa praperlakuan; (B) LHW 100 C, 4 jam; (C) LHW 150 C, 4
jam; (D) 0.5 g Ca(OH)2/g biomassa kering, 100 C, 4 jam; (E) 0.5 g
Ca(OH)2/g biomassa kering, 150 C, 4 jam
Derajat kristalinitas tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya faktor
pengukur tingkat aksesibilitas bahan berlignoselulosa pada proses hidrolisis
enzimatis (Park et al. 2010), karena terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap aksesibilitas enzim. Faktor hilangnya komponen lignin dan hemiselulosa
cenderung memberikan pengaruh yang lebih dominan terhadap peningkatan RGP
jabon. Degradasi lignin dan hemiselulosa yang cukup tinggi menyebabkan
porositas selulosa meningkat. Dengan semakin banyaknya lignin dan
hemiselulosa yang terdegradasi dan makin terbukanya daerah permukaan selulosa
maka aksesibilitas enzim pada proses hidrolisis akan meningkat, sehingga RGP
yang dihasilkan semakin tinggi.

13

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Praperlakuan kapur mampu meningkatkan RGP kayu jabon 9.7 kali lebih
tinggi dibandingkan kayu jabon tanpa praperlakuan. Penambahan KK (0.1-0.5 g
Ca(OH)2/g biomassa kering) dan peningkatan suhu (100-150 C) memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap RGP jabon, sedangkan perbedaan waktu
pemasakan (2, 4 dan 6 jam) tidak berpengaruh secara signifikan. RGP tertinggi
(118 mg setara glukosa/g sebuk kering) diperoleh pada kombinasi perlakuan KK
0.5 g Ca(OH)2/g biomassa kering pada suhu 150 C selama 4 jam, dengan KE 40
FPU/g substrat. Hasil ini setara dengan 14.4 % dari perhitungan teori jumlah
maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari kayu jabon. Penambahan KE
10-20 FPU/g substrat lebih efektif pengaruhnya terhadap peningkatan RGP jabon
daripada penambahan KE 20-40 FPU/g substrat.
Lebih dari sepertiga komponen lignin dan hemiselulosa jabon (45.83 dan
65.52 %) dapat terdegradasasi dengan praperlakuan kapur. Meskipun derajat
kristalinitasnya meningkat, praperlakuan kapur menyebabkan permukaan dinding
sel kayu jabon makin terbuka dan semakin poros sebagai akibat dari
terdegradasinya komponen lignin dan hemiselulosa, sehingga hal ini
menyebabkan RGP jabon meningkat.

Saran
Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pengaruh praperlakuan kapur
terhadap peningkatan RGP dan penurunan kristalinitas selulosa, disarankan untuk
melakukan penelitian dengan KK dan KE yang lebih bervariasi, serta melakukan
penelitian dengan variasi suhu perlakuan diatas 150 C.

DAFTAR PUSTAKA
Balat M, Balat H, Ozz C. 2008. Progress in bioethanol processing. Progress
Energy Combust Sci. 34:551-573.
Chang VS, Nagwani M, Holtzapple MT. 1998. Lime pretreatment of crop
residues bagasse and wheat straw. Appl Biochem Biotechnol. 74:135-159.
Chang VS, Nagwani M, Kim CH, Holtzapple MT. 2001. Oxidative lime
pretreatment of high-lignin biomass: poplar wood and newspaper. Appl
Biochem Biotechnol. 94:1-28.
Chundawat SPS, Beckham GT, Himmel ME, Dale BE. 2011. Deconstruction of
lignocellulosic biomass to fuels and chemicals. Ann Rev Chem Biomol. 2(6):
1-25.
Emil N. 2013. Analisis komponen kimia dan dimensi serat jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.) menurut lingkar tahun [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

14
Fengel D, Wegener G, 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
Sastrohamidjojo H, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood: Chemistry,
Ultrastructure, Reactions.
Gregg DJ, Saddler JN. 1996. Factors affecting cellulose hydrolysis and the
potential of enzyme recycle to enhance the efficiency of an integrated wood
to ethanol process. Biotechnol Bioeng. 51:375-383.
Hamelinck CN, Hooijdonk GV, Faaij APC. 2005. Ethanol from lignocellulosic
biomass: techno-economic performance in short-, middle-, and long-term. J
Biomass Bioenergy. 28:384-410.
Hendriks ATWM, Zeeman G. 2009. Pretreatments to enhance the digestibility of
lignocellulosic biomass. Bioresource Technol. 100:10-18.
Hermiati E, Anita SH, Risanto L, Styarini D, Sudiyani Y, Hanafi A, Abimanyu H.
2013. Biological pretreatment of oil palm frond fiber using white-rot fungi
for enzymatic saccharification. Makara Seri Teknologi. 17(1): 39-43.
Hu G, Heitmann JA, Rojas OJ. 2008. Feedstock pretreatment strategies for
producing ethanol from wood, bark, and forest residues. Bioresources.
3(1):270-294.
Hu Z, Wen Z. 2008. Enhancing enzymatic digestibility of switchgrass by
microwave-assisted alkali pretreatment. Biochem Eng J. 38:369-378.
Irawati D, Azwar NR, Syafii W, Artika I M. 2009. Pemanfaatan limbah serbuk
kayu untuk produksi etanol dengan perlakuan pendahuluan delignifikasi
menggunakan jamur. J Ilmu Kehutanan. 3(1): 13-22.
[KESDM Pusdatin ESDM] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pusat
Data dan Informasi Energi Sumber Daya Miner