Kemampuan Hutan Kota dalam Ameliorasi Iklim Mikro di Kampus IPB Darmaga (Studi Kasus Arboretum Arsitektur Lanskap)

KEMAMPUAN HUTAN KOTA DALAM AMELIORASI IKLIM
MIKRO DI KAMPUS IPB DARMAGA (STUDI KASUS
ARBORETUM ARSITEKTUR LANSKAP)

SAQINAH NUR RAHMAWATI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kemampuan Hutan
Kota dalam Ameliorasi Iklim Mikro di Kampus IPB Darmaga (Studi Kasus
Arboretum Arsitektur Lanskap) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Saqinah Nur Rahmawati
NIM E34100082

ABSTRAK
SAQINAH NUR RAHMAWATI. Kemampuan Hutan Kota dalam Ameliorasi
Iklim Mikro (Studi Kasus Arboretum Arsitektur Lanskap). Dibimbing oleh
ENDES N DACHLAN dan BREGAS BUDIANTO.
Perubahan penggunaan lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun di
Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang cukup pesat. Perubahan ini mempengaruhi tingkat kenyamanan
yang ditandai dengan kondisi suhu dan kelembaban udara. Arboratum Arsitektur
Lanskap merupakan salah satu hutan kota di kampus IPB Darmaga yang
diharapkan memiliki fungsi ameliorasi iklim mikro. Penelitian bertujuan untuk
menguji hipotesis pengaruh vegetasi hutan kota terhadap iklim mikro dan
mengukur kemampuan hutan kota dalam ameliorasi iklim mikro. Hasil penelitian
menunjukkan suhu udara rata-rata pada siang hari di lokasi bervegetasi dominan
pohon lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi dominan rumput dan di trotoar

ternaungi pohon, sedangkan berkebalikan dengan nilai kelembaban udara. Suhu
udara dari tepi ke dalam hutan kota yang didominasi pepohonan mengalami
penurunan suhu yaitu suhu udara di dalam hutan kota lebih rendah 0.3-1.1 ºC
dibandingkan tepi hutan kota, sedangkan kelembaban udara lebih besar yaitu 0-7
% sehingga vegetasi mempengaruhi iklim mikro dan hutan kota bervegetasi
dominan pohon mampu berfungsi sebagai ameliorasi iklim mikro.
Kata kunci: ameliorasi, hutan kota, iklim mikro

ABSTRACT
SAQINAH NUR RAHMAWATI. Ability of Urban Forest on the Microclimate
Amelioration at Campus IPB Darmaga (Case Study Arboretum Arsitektur
Lanskap). Supervised by ENDES N DACHLAN and BREGAS BUDIANTO.
Changes open green space became the land of building on Campus Bogor
Agricultural University (IPB) Darmaga and surrounding areas from year to year
has increased significantly. These changes the level of comfort that is
characterized by the condition of microclimate is temperature and humidity. One
of urban forestry is Arboretum Arsitektur Lanskap. The objective of this research
were to confirm the hypothesis of the influence of forest vegetation on
microclimate and measure the ability of the urban forest microclimate
amelioration. The results showed an average temperature on daylight period at the

site vegetated the dominant tree lower than the dominant vegetation in grass and
tree shaded sidewalks, while contradictive humidity. Temperature from the edge
of the urban forest into a city dominated forest trees decreased temperature is the
temperature in the urban forest was lower by 0.3-1.1 ºC from the edge of the
urban forest, while the humidity is higher at 0-7%, so the vegetation influence
microclimate and urban forest vegetation with dominant trees is able to function
as microclimate amelioration.
Keywords: amelioration, microclimate, urban forest

5

KEMAMPUAN HUTAN KOTA DALAM AMELIORASI IKLIM
MIKRO DI KAMPUS IPB DARMAGA (STUDI KASUS
ARBORETUM ARSITEKTUR LANSKAP)

SAQINAH NUR RAHMAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan

pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

6

Judul Skripsi : Kemampuan Hutan Kota dalam Ameliorasi Iklim Mikro di Kampus
IPB Darmaga (Studi Kasus Arboretum Arsitektur Lanskap)
Nama
: Saqinah Nur Rahmawati
NIM
: E34100082

Disetujui oleh


Dr Ir Endes N Dachlan, MS
Pembimbing I

Ir Bregas Budianto, Ass Dipl
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanallahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan April 2014 ini ialah hutan kota dan iklim mikro, dengan judul

Kemampuan Hutan Kota dalam Ameliorasi Iklim Mikro di Kampus IPB Darmaga
(Studi Kasus Arboretum Arsitektur Lanskap).
Karya ilmiah ini dalam penyelesaiannya tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung, yaitu:
1. Bapak Dr Ir Endes N Dachlan, MS dan Bapak Ir Bregas Budianto, Ass
Dipl selaku pembimbing skripsi, serta kepada Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar,
MSc selaku pembimbing akademik
2. Keluarga tercinta, yaitu almarhum Bapak, Emak, M Darmanto, Emi
Asih, Mutia Fauziyah, Fithriyah, M Fikri Maulana dan Ghina Raisa
Hanun, terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya yang tulus
3. Bapak Agus selaku Ka bag Kebersihan dan Pertamanan, Biro Umum
IPB atas bantuan berupa data sekunder penelitian
4. Keluarga Bapak Anda, Ibu dan adik Apri atas keceriaan yang menemani
selama pengambilan data di lokasi penelitian
5. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas beasiswa dan motivasi
untuk menjalankan perkuliahan di Institut Pertanian Bogor
6. Teman-teman departemen GFM (Ika Purnamasari, Shalah, dan Khabib)
yang telah membantu dalam pengerjaan alat penelitian, dan memberikan
saran membangun terkait penelitian

7. Teman-teman 139, B24, keluarga Asrama Putri Darmaga, rekan-rekan
satu bimbingan, teman-teman seperjuangan KSHE 47 (Nepenthes
rafflesiana), Ami, Dini, Estu, Dayang, dan Ita atas bantuan dan
semangat yang ditularkan selama studi dan menyelesaikan penulisan
karya ilmiah ini
8. Serta pihak-pihak lain yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan
namanya satu persatu.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2014
Saqinah Nur Rahmawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


2

Hipotesis

2

METODE

2

Lokasi dan Waktu

2

Objek dan Alat

2

Jenis Data


2

Prosedur Pengumpulan Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

7

Kondisi Titik Lokasi Pengukuran Iklim Mikro

8

Iklim Mikro


9

Kemampuan Ameliorasi Iklim Mikro Hutan Kota
SIMPULAN DAN SARAN

14
17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

20

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan metodologi penelitian
2 Perbandingan suhu dan kelembaban udara rata-rata pada siang hari
dengan kondisi atmosfer yang berbeda
3 Pengukuran suhu rata-rata dan kelembaban rata-rata pada titik
pengukuran berbeda

3
10
14

DAFTAR GAMBAR
1 Rangkaian dioda dan resistor
2 Konstruksi alat sensor suhu yang terdiri dari sensor suhu bola kering
dan sensor suhu bola basah
3 Pengukuran suhu dan kelembaban udara di lokasi penelitian
4 Sebaran titik lokasi pengukuran iklim mikro
5 Lokasi di dalam hutan kota dengan dominasi pohon (a), dominasi
rumput (b) dan lokasi di tepi luar hutan kota berupa jalan trotoar yang
masih ternaungi pohon
6 Suhu udara rata-rata ± standar deviasi di ke-3 lokasi penelitian yaitu
bervegetasi pohon (─ᴏ─), bervegetasi rumput (─Δ─), dan jalan
trotoar ternaungi pohon (─□─)
7 Kelembaban udara rata-rata ± standar deviasi di ke-3 lokasi penelitian
yaitu bervegetasi pohon (─ᴏ─), bervegetasi rumput (─Δ─), dan jalan
trotoar ternaungi pohon (─□─)
8 Suhu udara rata-rata pada titik pengukuran berbeda
9 Hubungan kerapatan vegetasi pohon dengan suhu udara

3
4
5
9

10

11

13
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data kalibrasi alat sensor suhu dengan termometer
2 Hasil Kalibrasi sensor suhu 2BK (a), 2BB (b), 4BK (c), dan 4BB (d)

20
21

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan penggunaan lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun di
Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang cukup pesat. Tahun 1994 luas lahan bervegetasi di wilayah
Kampus IPB Darmaga sebesar 80% dan pada tahun 2009 mengalami penurunan
menjadi 36.4% (Fahmi 2013). Berkaitan dengan meningkatnya infrastruktur,
Irwan (2008) menyatakan bahwa padatnya bangunan dan gedung-gedung tinggi
akan mengakibatkan peningkatan suhu, karena bangunan memantulan cahaya
matahari ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. Menurut data
BMKG (2010) diacu dalam Dahlan (2011) menunjukkan adanya terjadi
peningkatan suhu udara sebesar 0.25 oC sejak tahun 2001 sampai tahun 2010 di
Kampus IPB Darmaga.
Hutan kota merupakan salah satu dari bentuk lahan bervegetasi. Hutan
kota adalah kumpulan tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang
keberadaannya memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam
perbaikan lingkungan salah satunya ameliorasi iklim mikro (Fakuara 1987).
Ameliorasi iklim atau perbaikan iklim mikro adalah keadaan iklim mikro
(setempat) di dalam lingkungan hutan yang ditandai dengan suhu udara yang lebih
rendah, sebaliknya kelembaban udara yang lebih tinggi (Dachlan 2013).
Suhu udara dan kelembaban udara sebagai bagian dari unsur iklim mikro
berpengaruh pada tingkat kenyamanan. Suhu udara yang meningkat akan
mempengaruhi tingkat kenyamanan di suatu kawasan yang kemudian akan
mempengaruhi produktivitas orang yang berada di dalamnya. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan di sekitar kampus IPB
yakni melalui pengaturan iklim mikro.
Arboretum Arsitektur Lanskap, IPB merupakan salah satu RTH mewakili
bentuk hutan kota yang berada di dalam kampus. Letaknya sebagai pembatas
kampus menjadikan hutan kota ini memungkinkan keberadaanya berfungsi
sebagai greenbelt atau sabuk hijau antara kecenderungan suhu udara yang lebih
panas di luar kampus karena padatnya pemukiman dan transportasi lalu lintas
dengan kawasan di dalam kampus. Seperti halnya pendapat Tauhid (2008)
kebutuhan sabuk hijau berupa komunitas vegetasi untuk memberikan efek
pendinginan. Keberadaan Arboretum Arsitektur Lanskap diharapkan dapat
berfungi dalam ameliorasi iklim mikro dengan menurunkan suhu dan
meningkatkan kelembaban udara. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian
mengenai kemampuan hutan kota dalam ameliorasi iklim mikro di Kampus IPB
Darmaga.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan hutan kota
Arboretum Arsitektur Lanskap dalam ameliorasi iklim mikro yang digambarkan
dengan kondisi suhu dan kelembaban udara di hutan kota Arboretum Arsitektur
Lanskap, Institut Pertanian Bogor.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
penentuan kebijakan dalam rangka perencanaan dan pengelolaan hutan kota di
Kampus IPB Darmaga di masa mendatang, serta dapat menjadi informasi kepada
masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan kota sehingga dapat ikut
berpartisipasi dalam pengembangan hutan kota.

Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
1. Vegetasi berpengaruh terhadap iklim mikro.
2. Lokasi yang lebih terbuka memiliki suhu udara yang lebih tinggi,
sebaliknya kelembaban udara lebih rendah jika dibandingkan dengan
lokasi ternaungi tajuk pohon.

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu pembuatan alat sensor suhu pada
bulan April 2014, dan pengambilan data pada bulan Mei-Juni 2014 di Arboretum
Arsitektur Lanskap, Kampus IPB Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Objek dan Alat
Objek penelitian ini adalah vegetasi hutan kota, dan sekitar kawasan hutan
kota. Alat yang digunakan antara lain, peta Arboretum Arsitektur Lanskap,
dokumen pengelolaan kawasan, tally sheet, meteran gulung 50 m, pita ukur,
kompas, haga, sensor suhu (meliputi multimeter, dioda silikon 1N4148, baterai,
resistor, multimeter, kipas, pipa aluminium 30 cm, tombol tac switch, dan kabel),
global positioning system (GPS), kamera digital, alat tulis, serta program ArcGis
versi 9.3, Microsoft Excel 2010, dan Microsoft Word 2010.

Jenis Data
Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil pengukuran dan pengamatan, sedangkan data sekunder
diperoleh dari berbagai instasi dan pustaka literatur terkait (Tabel 1).

3
Tabel 1 Jenis dan metodologi penelitian
Jenis data

Jenis data

Metode
pengumpulan data
Sekunder
Studi pustaka dan
dan primer pengamatan

Kondisi umum lokasi
penelitian (letak dan
luas)
Kondisi iklim mikro
(Suhu dan kelembaban)

Primer

Pengukuran

Parameter vegetasi
(Jumlah individu dan
jenis, tinggi total, tinggi
bebas cabang, diameter)

Sekunder
Studi pustaka,
dan primer pengukuran dan
pengamatan

Sumber data
Biro umum IPB,
pustaka dan lokasi
penelitian
Lokasi penelitian
Biro umum IPB dan
lokasi penelitian

Prosedur Pengumpulan Data
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Data kondisi umum lokasi penelitian diperoleh melalui studi literatur dan
pengumpulan data inventarisasi pohon yang dilakukan oleh Biro Umum IPB pada
tahun 2011. Pengamatan juga dilakukan untuk menggambarkan lokasi penelitian
secara deskriptif.
Pembuatan Sensor Suhu
Pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan alat sensor suhu.
Pembuatan alat sensor suhu dilakukan sebelum pengukuran suhu dan kelembaban
udara di lokasi penelitian. Pada satu alat sensor suhu terdapat sensor suhu bola
kering (TBK) dan sensor suhu bola basah (TBB). Kode sensor suhu yang
digunakan yaitu sensor suhu 2 (2BK-2BB) dan sensor suhu 4 (4BK-4BB). Sensor
suhu menggunakan komponen utama dioda silikon 1N4148 yang berbahan dasar
semi konduktor dan merupakan suatu penyearah arus yang tegangan jatuhnya
dipengaruhi suhu (Soedarsono 1991) sehingga memiliki karakteristik yang
sensitiv terhadap suhu.
Rangkaian sensor suhu terdiri dari tiga buah dioda silikon 1N4148 yang
memiliki kemampuan yang sama, resistor 8k2 ohm, baterai 6 volt, dan multimeter
yang dihubungkan dengan kabel (Gambar 1). Rangkaian dioda disusun secara
seri.

Gambar 1 Rangkaian dioda dan resistor

4
Rangkaian dioda diletakkan di belakang kipas yang terpasang pada pipa
alumunium 30 cm, yaitu pada bagian kipas yang menyedot udara dengan posisi
sensor suhu bola basah terletak paling dekat dengan kipas dan di sebelahnya
sensor suhu bola kering (Gambar 2). Kipas berguna untuk membuat kondisi suhu
udara di sekitar dioda homogen.
Rangkaian dioda pada TBK dan TBB dilakukan pengecatan menggunakan
cat berwarna putih agar tidak terjadi penyerapan panas, sehingga pengukuran
murni karena suhu udara di lingkungan. Sensor suhu bola basah dililitkan benang
yang kondisi benang dijaga agar tetap basah dengan cara bagian sisi benang
lainnya dimasukkan ke dalam pipa yang berisi air. Hal ini dilakukan untuk
menjaga TBB tetap dalam keadaan jenuh. Setelah rangkaian terbentuk, sensor
suhu dipasangkan dua tombol tac switch pada pipa alumunium. Pengukuran
dengan TBB dan TBK dapat aktif dengan menekan tombol tac switch masingmasing sensor.
Kipas

Sensor suhu
bola basah

Pipa beriasi air

Sensor suhu
bola kering

(Tampak samping)

(Tampak depan)

Tombol Tac
Switch sensor
suhu bola
kering
Tombol Tac
Switch sensor
suhu bola
basah

(Bagian belakang
multimeter)

Gambar 2 Konstruksi alat sensor suhu yang terdiri dari sensor suhu bola kering
dan sensor suhu bola basah
Perubahan arus yang mengalir pada dioda berbanding terbalik dengan
suhu di sekitar dioda. Proses kerja rangkaian ini diawali dengan pengaruh suhu di
sekitar dioda yang mempengaruhi besar kecilnya arus yang melewati dioda. Arus
yang mengalir pada dioda berbanding terbalik dengan suhu udara di sekitarnya.
Jika suhu udara di sekitar dioda semakin tinggi maka arus yang mengalir pada
dioda semakin kecil. Dioda silikon 1N4148 dipilih sebagai tipe sensor suhu dalam
alat ini karena temperatur kerja dioda berada pada level suhu yang berada
dilingkungan pengukuran, yaitu batas suhu maksimal dioda silikon 1N4148 ini
sampai 175 oC (Prawida 2009). Alat sensor ini memiliki kelebihan dibandingkan

5
termometer air raksa yaitu memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi, aman dari
bahaya air raksa jika terjadi kerusakan pecah pada termometer dan memiliki
respon yang lebih cepat yaitu dalam hitungan 6-10 detik pengukuran suhu sudah
dapat diketahui, sedangkan termometer air raksa membutuhkan waktu dalam
hitungan menit, sehingga penggunaan alat sensor suhu menunjang pengukuran
pada tiap lokasi yang berbeda untuk mengurangi perbedaan waktu pengukuran
yang relatif lama dari satu titik lokasi pengukuran ke titik lokasi pengukuran
lainnya. Dioda juga memiliki harga yang murah dan mudah didapatkan.
Hasil pengukuran suhu bola kering (TBK) dan suhu bola basah (TBB)
dengan menggunakan sensor suhu terbaca pada multimeter berupa nilai voltase
atau tegangan listrik yang keluar dari rangkaian sehingga untuk memperoleh nilai
suhu udara dari sensor suhu dalam satuan derajat celcius (ºC), sensor suhu perlu
dikalibrasi terlabih dahulu dengan termometer standar.
Kalibrasi dilakukan dengan cara mengukur suhu udara menggunakan
termometer dan sensor suhu secara bersamaan. Pengukuran dikondisikan pada
kondisi suhu rendah, suhu ruang dan suhu tinggi (13.5 ºC, 15 ºC, 25.5 ºC, 27 ºC,
30 ºC, dan 32 ºC) dengan masing-masing kondisi dilakukan tiga kali ulangan.
Kondisi suhu rendah diperoleh di dalam lemari es, kondisi suhu ruang di dalam
ruangan, dan kondisi suhu tinggi diperoleh dengan memposisikan sensor suhu dan
termometer dekat dengan teko panas. Berdasarkan hasil kalibrasi diperoleh bahwa
semakin besar nilai voltase yang terbaca pada multimeter alat sensor suhu, maka
suhu udara semakin rendah.
Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan di dalam hutan kota
dan di tepi luar hutan kota yang masih diduga memperoleh pengaruh dari
keberadaan vegetasi hutan kota. Jarak antara hutan kota dengan pengukuran suhu
di tepi hutan kota, yaitu jalan trotoar yang berjarak 1m dari hutan kota dan masih
ternaungi pohon. Pengukuran dilakukan pada 15 titik lokasi di dalam hutan kota
yang dipilih secara acak dan 4 titik lokasi di tepi hutan kota.
Data pengukuran suhu udara dan kelembaban udara diambil tiga kali
ulangan yaitu pagi (pukul 08.00-10.00 WIB), siang (pukul 12.00-14.00 WIB) dan
sore (pukul 15.00-17.00 WIB) selama sepuluh hari. Pengukuran dilakukan dengan
memposisikan sensor suhu setinggi ± 1.5 meter dari permukaan tanah (Gambar 3).

Gambar 3 Pengukuran suhu dan kelembaban udara di lokasi penelitian

6
Nilai suhu dan kelembaban udara diperoleh berdasarkan pengukuran
menggunakan sensor suhu bola kering (TBK) dan sensor suhu bola basah (TBB)
yang menunjukkan nilai suhu masing-masing. Berdasarkan hal tersebut dapat
diketahui nilai suhu dan kelembaban udara. Pengukuran suhu bola kering
dilakukan dengan menekan tombol tac switch masing-masing sensor suhu secara
bergantian. Suhu udara yang ditunjukkan oleh TBK lebih mudah berubah
daripada suhu TBB (Manan 1991), sehingga pada waktu pengukuran dan
pembacaan pada tiap titik lokasi terlebih dahulu TBK kemudian TBB.
Pengamatan dan Pengukuran Parameter Vegetasi
Pengamatan dan pengukuran struktur vegetasi dilakukan melalui metode
kuadrat yaitu list count quadrate dengan luasan 314 m2 pada tingkat tiang dan
pohon yang ada di hutan kota. Metode kuadrat dipilih karena mudah, dan sesuai
jika digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat pancang, tiang dan pohon
(Fachrul 2006). Parameter vegetasi yang diukur meliputi tinggi total (Tt), tinggi
bebas cabang (Tbc), dan diameter (Dbh). Pengukuran Tt dan Tbc menggunakan
alat haga hypsometer, sedangan pengukuran Dbh menggunakan pita ukur.

Analisis Data
Suhu dan Kelembaban Udara
Data suhu bola kering (TBK) dan data suhu bola basah (TBB) pada tiap
titik pengukuran diolah untuk memperoleh nilai suhu udara dan kelembaban
udara. Suhu udara diketahui berdasarkan TBK, sedangkan kelembaban udara
diketahui dengan menggunakan tabel RH berdasarkan nilai TBB dan selisih antara
TBK dan TBB. Nilai TBK dan TBB yang terbaca pada multimeter di tiap titik
pengukuran berupa nilai voltase, sehingga untuk mengkonversinya ke dalam
satuan ºC dilakukan dengan memasukkan nilai voltase yang terbaca ke dalam
persamaan regresi hasil kalibrasi yang telah dilakukan (Lampiran 2). Berdasarkan
hasil kalibrasi, karakter sensor memiliki nilai R2 mendekati 1 (R2 > 0.7) yang
menunjukkan kemampuan sensor suhu hubungannya dengan termometer standar.
Nilai suhu udara dan kelembaban udara yang diperoleh pada tiap titik lokasi
digambarkan dalam grafik dan dianalisis dengan statistik deskriptif berdasarkan
pada tutupan lahan, titik lokasi dan kerapatan vegetasi pohon.
Kemampuan hutan kota dalam ameliorasi iklim mikro
Kemampuan hutan kota dalam ameliorasi iklim mikro dilihat berdasarkan
persentase perbedaan suhu dan kelembaban udara antara tepi hutan kota (T3 dan
T1) dan bagian dalam hutan kota (T2) dengan rumus sebagai berikut:

Analisis kemampuan hutan kota sebagai ameliorasi iklim mikro juga
dilakukan dengan melihat iklim mikro pada kerapatan pohon yang berbeda dan
memperhatikan komposisi jenis. Analisis vegetasi dilakukan bertujuan

7
memperoleh informasi kuantitatif tentang komposisi suatu komunitas tumbuhan
(Indriyanto 2008). Kerapatan menyatakan banyaknya individu dari jenis penyusun
yang merupakan salah satu komponen struktur vegetasi (Fachrul 2006). Kerapatan
pohon dalam suatu luasan komunitas vegetasi diukur melalui analisis vegetasi
sederhana khusus untuk tingkat kelas umur tiang dan pohon pada setiap titik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kampus IPB Darmaga terletak ke dalam wilayah Desa Babakan, Kecamatan
Darmaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas keseluruhan Kampus IPB
adalah 270 Ha (Fahmi 2013), dengan topografi yang sangat beragam, mulai
dataran sampai bergelombang dengan gedung-gedung yang dikelilingi vegetasi.
Secara umum, vegetasi di Kampus IPB Darmaga berupa vegetasi semak
berumput, tegakan karet, pinus, hutan campuran, hutan percobaan, arboretum,
taman pekarangan perumahan dosen dan taman (Hernowo et al. 1991).
Jenis tanah di Kampus IPB Darmaga termasuk jenis Latosol dengan
ketinggian tempat berkisar antara 145-200 mdpl. Menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson, Kampus IPB Darmaga termasuk daerah yang memiliki tipe hujan A
dengan bulan basah dari 9 bulan (Balen et al. 1986 diacu dalam Kurnia 2003)
dengan curah hujan rata-rata tahunan mencapai 4 046 mm per tahun (Mulyani
1985 diacu dalam Kurnia 2003). Berdasarkan data iklim selama 10 tahun (19881997) dari Stasiun Klimatologi Darmaga bahwa rata-rata bulanan daerah Darmaga
adalah 25.48 ºC, dengan suhu tertinggi 32.25 ºC yaitu September dan suhu
terendah 21.22 ºC pada bulan Agustus. Kelembaban udara rata-rata adalah 84.4%,
kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu 89.2% dan terendah pada
bulan Agustus dan September yaitu 79.6% (Suciasti 2004). Terdapat 12 jenis
mamalia dan 68 jenis burung, 37 jenis reptilia, dan 4 ikan (Hernowo et al. 1991),
serta 13 jenis amfibi (Yuliana 2000) di Kampus IPB Darmaga.
Arboretum Arsitektur Lanskap adalah salah satu arboretum yang berada di
kampus IPB Darmaga dengan luas 4 Ha. Batas-batas Arboretum Arsitektur
Lanskap yaitu pada bagian utara berbatasan dengan Jalan Ramin, bagian timur
dan selatan berbatasan dengan Jalan Raya Darmaga, sedangkan bagian barat
berbatasan dengan Jalan Pintu 1 Masuk IPB.
Topografi di Arboretum Arsitektur Lanskap yaitu bergelombang dengan
jenis tanah latosol. Selain difungsikan sebagai tempat praktikum dan penelitian
mahasiswa maupun dosen IPB, Arboretum Arsitektur Lanskap merupakan bagian
dari ring II dalam tata lokasi dan fungsi wilayah di IPB, yaitu wilayah yang
berfungsi sebagai daerah penyangga untuk membantu kenyamanan kegiatan
akademik di kampus. Arboretum Arsitektur Lanskap menjadi salah satu lokasi
penanaman pohon koleksi IPB. Arboretum menurut Taman (1995) dan Tohir
(1985) diacu dalam Nazir (2001) adalah taman pohon-pohonan atau kayu-kayuan
yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan terutama ilmu kehutanan, atau sebagai
koleksi tanaman, biasanya tanaman kehutanan.
Arboretum Arsitektur Lanskap terbagi ke dalam dua struktur vegetasi, yaitu
struktur vegetasi yang didominasi pepohonan pada seluruh bagian sisi hutan kota

8
dan struktur vegetasi yang didominasi oleh rerumputan pada bagian tengahnya.
Berdasarkan daftar nama jenis tanaman hasil inventarisasi yang dilakukan oleh
pihak Biro Umum IPB, diketahui bahwa terdapat 121 jenis tanaman yang terdiri
dari 43 famili di Arboretum Arsitektur Lanskap. Jenis yang dapat ditemukan di
antaranya rasamala (Altingia excelsa), damar (Agathis dammara) ketapang
(Terminalia catappa), trembesi (Samanea saman), matoa (Pometia pinnata),
akasia (Acacia mangium), beringin (Ficus sp.), bintaro (Cerbera manghas),
bungur (Lagerstromia speciosa), jakaranda (Jacaranda mimosifolia), eboni
(Diospyros celebica), tangkil/melinjo (Gnetum gnemon), sawo kecik (Manilkara
kauki), saputangan (Manioltoa browneode), kekecrutan (Spathodea campanulata),
pulai (Alstonia scholaris), mahoni (Swietenia mahagoni), bacang (Mangifera
indica), meranti (Shorea sp.), manggis (Garcinia mangostana), tanjung
(Mimusops elengi), angasana (Pterocarpus indicus), sonokeling (Dalbergia
celebica), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan jenis lainnya. Satwa yang
terdapat di Arboretum Arsitektur Lanskap yaitu mamalia dapat ditemukan bajing,
herpetofauna dapat ditemukan kadal, biawak, ular pucuk hijau, ular kobra jawa,
dan burung dapat ditemukan raja udang meninting, tekukur biasa, kowak malam
kelabu, bondol jawa, kepudang kuduk hitam, pipit hutan, dan cucak kutilang.
Arboretum Arsitektur Lanskap pada mulanya berada di bawah pengelolaan
Fakultas Pertanian, IPB namun sejak tahun 2013 pengelolaannya menjadi
wewenang Biro Umum, IPB. Pengelolaan yang dilakukan yaitu menjaga dan
merawat Arboretum Arsitektur Lanskap dengan melakukan pembabatan rumput
dan semak secara rutin pada setiap bulan dan kegiatan yang dilakukan secara
insidential yaitu kegiatan pemangkasan dan penanaman.
Arboretum Arsitektur Lanskap menjadi salah satu hutan kota yang berada di
kampus IPB Darmaga. Hutan kota yang dimaksud tidak berdasarkan PP 63 tahun
2002 tentang Hutan Kota yaitu hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang
bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan
baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota
oleh pejabat yang berwenang, tetapi berdasarkan ekosistem dan luasanya yang
melebihi 0.25 ha. Berdasarkan PP tersebut, Arboretum Arsitektur Lanskap sudah
memenuhi definisi hutan kota, kekurangannya hanya berdasarkan penetapannya.

Kondisi Titik Lokasi Pengukuran Iklim Mikro
Suhu udara dan kelembaban udara yang diukur pada lokasi penelitian adalah
lokasi yang terdapat di dalam hutan kota (bervegetasi pohon dan rumput) dan
lokasi yang berada di tepi luar hutan kota (jalan ternaungi pepohonan). Titik
lokasi pengukuran di dalam hutan kota dinotasikan dalam angka (1 sampai dengan
15) yang diklasifikasikan berdasarkan struktur dominan penyusunnya yaitu titik
lokasi pengukuran yang didominasi vegetasi pepohonan (titik lokasi 1 sampai
dengan 8, 10 dan 12 sampai dengan 15) dan titik lokasi yang di dominasi oleh
rerumputan (titik lokasi 9 dan 11). Titik lokasi pengukuran di tepi luar hutan kota
yang masih ternaungi pohon dinotasikan dalam bentuk huruf (a sampai dengan d)
(Gambar 4)
Titik lokasi 1 sampai dengan 8 didominasi oleh pepohonan dengan
kerapatan secara berturut-turut yaitu 1 ind/100m2, 2 ind/100m2, 3 ind/100m2, 4

9
ind/100m2, 3 ind/100m2, 5 ind/100m2, 5 ind/100m2, dan 4 ind/100m2. Titik lokasi
9 dan 11 didominasi oleh rerumputan dan berada di tengah hutan kota. Titik lokasi
10, 12 sampai dengan 15 didominasi oleh pepohonan dengan kerapatan secara
berturut-turut yaitu 3 ind/100m2, 10 ind/100m2, 4 ind/100m2, 6 ind/100m2, 4
ind/100m2.

Gambar 4 Sebaran titik lokasi pengukuran iklim mikro
Pada sebrang dari bagian tepi depan hutan kota merupakan daerah luar
kampus yang dipadati oleh pemukiman, sedangkan pada sebrang bagian tepi
belakang hutan kota merupakan bagian dari kampus IPB Darmaga. Bagian ini
masih terdapat vegetasi pepohonan yang juga menaungi jalan.

Iklim Mikro
Analisis Suhu Udara
Suhu udara merupakan energi kinetik molekul (Neiburger 1995). Suhu
udara di hutan kota dan sekitarnya mengalami variasi berdasarkan tingkat
penutupan awan, waktu dan struktur vegetasi yang dominan. Berdasarkan data
yang diperoleh selama pengukuran, pada kondisi atmosfer cerah memiliki nilai
suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi atmosfer cerah
berawan dan mendung. Kondisi atmosfer cerah diperoleh pengukuran pada pagi
hingga sore hari, sedangkan kondisi cerah berawan ataupun mendung pada saat
hari pengukuran tidak tercatat suhu udara pada waktu sore hari karena pada waktu
sore hari terjadi gerimis dan hujan. Pengukuran pada kondisi hujan tidak dapat
dilakukan karena titik-titik air hujan akan menghomogenkan suhu udara sehingga
pengukuran tidak akan efektif, sehingga data suhu dan kelembaban yang
digunakan untuk membandingkan antara titik lokasi adalah pada kondisi cerah.
Rata-rata suhu udara siang hari dengan kondisi cerah dan berawan ataupun
mendung masing-masing yaitu 27.6 ºC dan 24.2 ºC dan kelembaban udara rata-

10
rata masing-masing 61% dan 62%. Rata-rata suhu udara pada kondisi atmosfer
berawan nilainya lebih rendah (24.2 ºC), namun kelembaban tinggi (62%) dari
pada kondisi atmosfer cerah (suhu udara 24.2 ºC dan kelembaban 61%) (Tabel 2),
hal ini dikarenakan awan dapat mengurangi nilai penerimaan komponen radiasi
matahari (Monteith 1975). Radiasi matahari yang diterima bumi terdiri dari dua
bagian yaitu radiasi langsung dan radiasi baur atau difusi, penjumlahan keduanya
disebut dengan radiasi total (Geiger et al. 1959). Faktor dominan yang
mempengaruhi penerimaan radiasi di permukaan bumi adalah keadaan awan.
Menurut Monteith (1975), jumlah dan jenis awan secara kuat berpengaruh
terhadap perubahan radiasi difusi.
Tabel 2 Perbandingan suhu dan kelembaban udara rata-rata pada siang hari
dengan kondisi atmosfer yang berbeda
Kondisi atmosfer
Suhu udara (ºC)
Kelembaban udara (%)
Cerah
27.6
61
Berawan
24.2
62
Suhu udara berdasarkan hasil pengukuran dipengaruhi juga oleh waktu. Pagi
hari (pukul 08.00-10.00 WIB) hingga sore hari (pukul 15.00-17.00 WIB) di hutan
kota Arboretum Arsitektur Lanskap dan tepi luar hutan kota memiliki nilai suhu
yang bervariasi. Pada seluruh tutupan lahan, suhu udara rata-rata akan meningkat
dari pagi menjelang siang hari dan mengalami penurunan suhu pada sore hari. Hal
ini berkaitan erat dengan intensitas radiasi matahari yang dipengaruhi oleh sudut
datang matahari. Sudut datang matahari rendah pada saat pagi dan sore hari, dan
sudut datang matahari tinggi pada siang hari. Sudut datang matahari
mempengaruhi radiasi yang diterima oleh suatu objek (Handoko 1993). Semakin
tinggi sudut datang matahari, semakin tegak datangnya sinar, intensitas radiasi
ke permukaaan bumi akan lebih tinggi, semakin tinggi pula suhu udara.
Kartasapoetra (2002) menyatakan bahwa sinar yang tegak lurus membuat suhu
lebih panas daripada sinar yang datang. Sesuai dengan pernyataan (Monteith
1975) bahwa radiasi matahari yang diterima permukaan horizontal meningkat
seiring dengan meningkatnya ketinggian matahari.
Suhu udara yang diukur pada lokasi penelitian adalah pada lokasi di dalam
hutan kota dengan dominasi pohon dan didominasi rumput, dan lokasi di luar
hutan kota jalan trotoar yang masih ternaungi oleh pohon dari hutan kota (Gambar
5).

(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Lokasi di dalam hutan kota dengan dominasi pohon (a), dominasi
rumput (b) dan lokasi di tepi luar hutan kota berupa jalan trotoar
yang masih ternaungi pohon (c)

11



17.00

16.00‒

15.00‒

14.00‒

13.00‒

12.00‒

11.00‒

10.00‒

09.00‒

08.00‒

Suhu (°C)

Suhu udara tertinggi pada pagi hari dan siang hari di vegetasi rumput yaitu
(25.1 ± 2.8) ºC dan (28.5 ± 2.6) ºC, namun pada sore hari memiliki suhu udara
terendah yaitu (25.5 ± 3.2) ºC sedangkan suhu tertinggi yaitu jalan ternaungi
pohon yaitu (26.2 ± 3.1) ºC. Waktu dengan suhu udara tertinggi yaitu pada siang
hari pukul 13.03 dengan suhu mencapai 32.7 °C (Gambar 6).

Waktu

●Suhu bervegetasi pohon ▲suhu bervegetasi rumput ■ suhu di jalan ternaungi

Gambar 6 Suhu udara rata-rata ± standar deviasi di ke-3 lokasi penelitian yaitu
bervegetasi pohon (─ᴏ─), bervegetasi rumput (─Δ─), dan jalan
trotoar ternaungi pohon (─□─)
Lokasi yang bervegetasi pohon memiliki suhu yang lebih rendah pada pagi
hari hingga sore hari dibandingkan lokasi lainnya, hal ini dikarenakan vegetasi
hutan kota berupa menyerap panas melalui mekanisme penyerapan cahaya
matahari yang sebagian dimanfaatkan oleh fotosintesis sehingga radiasi matahari
tidak memanaskan suhu udara disekitar vegetasi. Penelitian oleh Rushayati et al.

12
(2009) di Bandung diketahui bahwa area bervegetasi suhu udaranya rendah,
sedangkan area terbuka tanpa vegetasi suhu udaranya tinggi.
Tepi jalan ternaungi memiliki suhu terendah ke-2 setelah lokasi bervegetasi
pohon, hal ini dikarenakan pohon memberikan efek peneduhan atas tajuk pohon
termasuk trotoar yang ternaungi tajuk pepohonan dibandingkan rumput dan hal ini
berdampak pada efek pendinginan. Menurut Dahlan (2011) menyatakan bahwa
jalan aspal, paving block, tembok adan atap gedung merupakan sebagian contoh
dari permukaan kota yang berpotensi menaikkan suhu udara melalui refleksi,
transmisi dan absorbsi radiasi matahari. Penelitian Koto (1991) juga menyatakan
bahwa di beberapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wanabakti hutan
memiliki suhu udara yang paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu udara di
taman parkir, padang rumput dan beton. Hal ini mengindikasikan bahwa vegetasi
pepohonan dalam jarak 1 meter dari hutan kota dan masih ternaungi tajuk pohon
mampu mengurangi efek dari keberadaan jalan aspal maupun paving block dan
bangunan. Arief (1994) menyatakan bahwa suhu di bawah pohon berada beberapa
derajat dibawah suhu di luar naungan pohon.
Pada siang menuju sore hari suhu udara lokasi bervegetasi rumput menurun
lebih besar suhunya dibandingkan lokasi bervegetasi pohon dan jalan di luar
hutan kota yang ternaungi pohon. Kondisi ini disebabkan karena pada lokasi
ternaungi, tajuk pohon menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Miller 1988).
Pada saat radiasi matahari yang diterima semakin sedikit yaitu menjelang sore
hari, proses fotosintesis semakin berkurang, namun proses respirasi yang
menghasilkan CO2 tetap berlangsung sehingga berdampak pada meningkatnya
konsentrasi CO2. Konsentrasi CO2 yang merupakan salah satu penyerap radiasi
gelombang panjang yang efektif (Handoko 1993).
Analisis Kelembaban Udara
Kelembaban nisbi (RH) merupakan kelembaban udara dengan melihat
perbandingan antara kelembaban aktual yang dinyatakan sebagai tekanan uap
aktual dengan kapasitas udara untuk menampung air yang merupakan tekanan uap
jenuh (Handoko 1993). Kelembaban udara adalah kandungan uap air yang ada di
udara. Semakin tinggi kelembaban menandakan bahwa kandungan uap air di
udara banyak. Pengukuran kelembaban dilakukan dengan melihat suhu bola
kering dan suhu bola basah, semakin sedikit selisih perbedaan nilai antara suhu
bola basah dengan suhu bola kering, maka nilai kelembabannya akan semakin
besar.
Kelembaban udara tertinggi pada pagi dan siang hari di vegetasi pohon yaitu
(74 ± 11)% dan (62 ± 10)%, dengan kelembaban udara tertinggi terjadi pada pagi
hari yaitu pukul 08.10 yaitu mencapai 95%, sedangkan pada sore hari kelembaban
udara tertinggi berada pada lokasi vegetasi rumput yaitu sebesar (77 ± 9)%
(Gambar 3). Hal ini dikarenakan adanya pengaruh vegetasi, yakni dalam hal
transpirasi. Transpirasi adalah penguapan air pada tumbuhan menjadi uap air di
udara. Kelembaban udara di dalam hutan ditentukan oleh transpirasi tajuk pohon
karena terjadi pengurangan pergerakan udara di dalam hutan yang akan menahan
uap air sehinga kelembaban di dalam hutan menjadi lebih tinggi. Wenda (1991)
diacu dalam Dahlan (2004) menyatakan bahwa pada areal bervegetasi nilai
kelembaban 66-92%, pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh
tembok memiliki nilai kelembaban 62-78%. Kondisi ini juga sesuai dengan hasil

13

17.00‒

16.00‒

15.00‒

14.00‒

13.00‒

12.00‒

11.00‒

10.00‒

09.00‒

08.00‒

Kelembaban (%)

penelitian Kawilarang (2013) yang diketahui bahwa pada lokasi ternaungi tajuk
pohon memiliki kelembaban udara lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang
tidak ternaungi berupa rumput, yaitu masing masing 66-85% dan 66-79%.

Waktu
●Kelembaban bervegetasi pohon ▲kelembaban bervegetasi rumput ■ kelembaban di jalan ternaungi pohon

Gambar 7 Kelembaban udara rata-rata ± standar deviasi di ke-3 lokasi penelitian
yaitu bervegetasi pohon (─ᴏ─), bervegetasi rumput (─Δ─), dan jalan
trotoar ternaungi pohon (─□─)
Pada pagi hari kelembaban udara tinggi kemudian pada siang hari turun dan
kembali tinggi pada sore hari, sesuai dengan pendapat Tjasyono (2004) yang
menyatakan bahwa kelembaban udara berubah sesuai tempat dan waktu, yaitu
pada tengah hari kelembaban udara berangsur-angsur turun kemudian pada sore
hingga menjelang pagi bertambah besar. Jika di bandingkan dengan hasil
pengukuran suhu udara maka dapat diketahui bahwa kelembaban udara memiliki

14
keterkaitan dengan suhu udara, yaitu kelembaban udara cenderung berbanding
terbalik dengan suhu udara. Ketika suhu udara tinggi, maka kelembabannya akan
rendah.

Kemampuan Ameliorasi Iklim Mikro Hutan Kota
Kecenderungan Suhu dan Kelembaban Udara dengan Letak Titik
Pengukuran Berbeda
Berdasarkkan prinsip bahwa pengaruh hutan kota menurunkan suhu adalah
selisih hasil pengukuran pada tepi dan dalam hutan hota maka dapat diketahui
bahwa pada siang sampai dengan sore hari di dalamhutan kota memiliki suhu
yang lebih rendah dibandingkan di tepi hutan kota yaitu 0.3-1.1 ºC , sedangkan
kelembaban udara lebih besar yaitu 0-7%. Pada pagi hari hutan kota efektif
menurunkan suhu yaitu 1.1 dan 0.8 ºC dibandingkan pada siang dan sore hari.
Sedangkan peningkatan kelembaban oleh hutan kota efektif pada siang hari yaitu
5% dan 7% (Tabel 3).
Tabel 3 Pengukuran suhu rata-rata dan kelembaban rata-rata pada titik
pengukuran berbeda
Unsur iklim
mikro

Waktu

Suhu (°C)

Pagi
Siang
Sore

Kelembaban Pagi
Siang
(%)
Sore

Beda titik pengukuran
Tepi
Dalam Tepi
depan (T2)
belakang
(T1)
(T3)
24.6
23.5
24.3
28.2
27.3
27.7
26.2
25.7
26.0

Rata- Selisih
rata
T2-T1

T2-T3

25.9
26.9
26.0

-1.1
-0.9
-0.5

-0.8
-0.5
-0.3

72
60
72

67
68
74

3
5
3

6
7
0

75
65
75

69
58
75

Suhu udara di tepi depan hutan kota menurun sampai di dalam hutan kota
dan meningkat pada tepi belakang hutan kota baik pada pagi, siang maupun sore
hari (Gambar 8). Jika membandingkan antara tepi depan dan tepi belakang hutan
kota, maka diketahui bahwa tepi depan hutan kota Arboretum Arsitektur Lanskap
yang merupakan daerah di luar kampus memiliki suhu yang lebih tinggi (pagi
(24.6 ± 2.1) ºC, siang (28.2 ± 2.6) ºC, sore (26.2 ± 2.1) ºC dibandingkan tepi
belakang hutan kota yang merupakan kawasan kampus (pagi (24.3 ± 2.4) ºC,
siang (26.0 ± 3.3) ºC, sore (27.7 ± 2.4) ºC, sehingga hutan kota juga dapat
berfungsi sebagai greenbelt atau sabuk hijau yang dapat memperbaiki iklim
mikro.
Aktifitas di lingkungan dan kondisi sekitar juga mempengaruhi iklim mikro.
Perbedaan ini terjadi karena vegetasi di dalam hutan kota dapat menyerap panas
melalui mekanisme penyerapan radiasi matahari yang sebagian dimanfaatkan
untuk proses fotosintesis, sehingga radiasi matahari yang memanaskan suhu udara
disekitar vegetasi berkurang dan berimplikasi pada efek pendinginan.

15

Gambar 8 Suhu udara rata-rata pada titik pengukuran berbeda
Kecenderungan Suhu Udara pada Kerapatan Vegetasi Pohon yang Berbeda
Berdasarkan kemampuan vegetasi pohon dalam suatu luasan yang diukur di
Arboretum Arsitektur Lanskap, diketahui bahwa bahwa semakin tinggi kerapatan
suatu vegetasi pepohonan, maka suhu udara akan cenderung semakin rendah pada
pagi dan siang hari (Gambar 9). Semakin banyaknya jumlah pohon akan
memungkinkan semakin besar penurunan suhu yang terjadi. Hubungan antara
kerapatan dan suhu udara tidak signifikan di Arboretum Arsitektur Lansekap, hal
ini dikarenakan kondisi hutan kota yang heterogen jenisnya. Komposisi jenis yang
berbeda pada kerapatan yang sama memiliki kemampuan menurunkan suhu udara
yang berbeda, karena kemampuan tiap jenis pohon berbeda dalam mempengaruhi
iklim mikro.

Gambar 9 Hubungan kerapatan vegetasi pohon dengan suhu udara
Parameter vegetasi lainnya selain kerapatan juga menjadi pertimbangan,
yaitu parameter tinggi pohon yang menyebabkan suatu vegetasi berstrata. Hal ini

16
sesuai dengan penelitian Irwan (2008), bahwa hutan kota dengan bentuk
bergerombol dan menyebar dengan strata banyak memiliki suhu rata-rata di dalam
hutan kota lebih rendah dari tepi atau luar hutan kota. Berdasarkan penelitian
diketahui bahwa kemampuan pohon dalam mengatur iklim mikro tidak hanya
melihat parameter kerapatan, tetapi juga dipengaruhi oeh karakter fisik dari setiap
jenis pohon. Lokasi dengan kerapatan yang sama dengan jenis yang berbeda
memiliki suhu yang berbeda. Berdasarkan kerapatan yang dominan yaitu
kerapatan 4 ind/100m2 pada tiga lokasi yang berbeda memiliki suhu yang berbeda
signifikan pada siang hari yaitu lokasi dengan suhu terendah diantara ketiganya
yaitu lokasi yang terdapat jenis pohon meranti (Shorea sp.), manggis (Garcinia
mangostana), sonokeling (Dalbergia latifolia), rambutan (Nephelium lappaceum),
dan eboni (Dyospiros celebica), sedangkan dengan suhu tertinggi yaitu terdiri
dari jenis pohon cemara balon (Casuarina nobilis), jakaranda (Jacaranda
mimosifolia), kayu afrika (Maesopsis eminii), dan manggis (Garcinia
mangostana).
Masing-masing jenis memiliki bentuk tajuk dan karakteristik daun yang
berbeda. Jenis meranti memiliki tajuk lebar berbentuk payung dan warna daun
cokelat kekuning-kuningan, manggis memiliki tajuk semisirkuler dengan daun
tunggal bersilang berhadapan, tebal dan warna daun hijau kotor, sonokeling
memiliki tajuk lebat berbentuk kubah dengan daun majemuk menyirip dan
berwarna hijau, bacang memiliki tajuk globular dengan daun tunggal berwarna
hijau tua, eboni memiliki bentuk tajuk kerucut mengembang daun tunggal dan
berseling, daun tebal, warna hijau tua pada bagian atas dan kecoklatan pada
bagian bawah, cemara balon memiliki daun berbentuk jarum, panjang dan
meruncing, dengan tajuk tegak menjurai, jakaranda memiliki tajuk bulat lebar
daun majemuk berwarna hijau pada bagian atas dan keabu-abuan pada bagian
bawah daun, dan kayu afrika juga berdaun majemuk silang berhadapan dengan
tajuk irregular. Jakaranda dan dan kayu afrika memiliki tinggi bebas cabang yang
tinggi sehingga jauh dari permukaan tanah.
Yang et al (2005) diacu dalam Carreiro et al (2008) menyatakan bahwa
pemilihan jenis pohon pengatur iklim mikro yaitu dengan memperhatikan tipe
pohon, bentuk tajuk, tingkat pertumbuhan, karakteristik daun dan toleransi
terhadap panas matahari maupun polusi udara. Absorbsi radiasi akan meningkat
seiring dengan meningkatnya ketebalan daun (Schulgin 1963 diacu dalam
Kawilarang 2013). Daun yang cenderung horizontal akan memperbesar arbsorbsi
radiasi matahari. Selain itu bentuk tajuk yang cenderung vertikal akan memiliki
efek naungan yang rendah, karena radiasi matahari sedikit yang terhalang. Jenis
dengan tajuk yang lebar dengan ketinggian yang beragam akan membuat
penutupan tajuk yang saling menanungi. Tajuk yang saling menaungi akan
mengurangi radiasi sinar matahari yang mencapai ke tanah (Arief 1994). Semakin
rapat dan luas permukaan tajuk yang terpapar cahaya matahari maka semakin
efektif menyerap radiasi matahari.
Pohon manggis pada lokasi suhu udara yang lebih tinggi memiliki Tbc yang
lebih besar dibandingkan pada lokasi suhu rendah, yaitu secara berturut-turut 4 m
(tinggi total 13 m) dan 3 m (Tinggi total 16 m). Tinggi bebas cabang yang rendah
dengan tinggi total yang besar akan memaksimalkan efek peneduhan di bawah
tajuk. Berdasarkan Direktorat Jenderal Bina Marga (1996) diacu dalam Sari
(2013) tanaman dengan tinggi bebas cabang >2 meter dan tinggi total berkisar

17
antara 3-15 meter merupakan kriteria tanaman yang memiliki kemampuan
peneduhan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hutan kota Arboretum Arsitektur
Lanskap memiliki kemampuan dalam ameliorasi iklim mikro yang ditunjukkan
dengan lebih rendahnya suhu di dalam hutan kota bervegetasi pepohonan
dibandingkan dengan di luar hutan kota yang masih ternaungi pepohonan, dan
lokasi di luar hutan kota yang ternaungi pepohonan lebih rendah suhunya
dibandingkan hutan kota dominasi rumput, berkebalikan dengan kondisi
kelembaban. Suhu udara rata-rata pada siang hari di lokasi bervegetasi dominan
pohon pada 24.6-30 ºC (kelembaban 52-72%), di dalam hutan kota bervegetasi
dominan rumput berkisar antara 25.9-31 ºC (kelembaban 41-69%), suhu udara di
tepi hutan kota jalan trotoar ternaungi pohon pada siang hari berkisar antara 25.330.7 ºC (kelembaban 49-69%). Suhu udara di luar hutan kota yang berjarak 1 m
dari tepi hutan kota masih memperolah pengaruh dari keberadaan hutan kota
karena masih ternaungi pohon. Suhu udara dari tepi hutan kota ke dalam hutan
kota yang didominasi pepohonan juga mengalami penurunan suhu yaitu suhu
udara di dalam hutan kota lebih rendah 0.3-1.1 ºC dibandingkan tepi hutan kota,
sedangkan kelembaban udara lebih besar yaitu 0-7% sehingga vegetasi
mempengaruhi iklim mikro dan hutan kota bervegetasi dominan pepohonan
mampu berfungsi sebagai ameliorasi iklim mikro.

Saran
Hutan kota di Kampus IPB Darmaga khususnya Arboretrum Arsitektur
Lanskap perlu dikelola secara baik sehingga dapat memaksimalkan fungsinya
sebagai ameliorasi iklim mikro lingkungan kampus. Perlu dilakukan penelitian
lanjutan terkait kemampuan hutan kota dalam ameliorasi iklim mikro dengan
memperhatikan unsur iklim lainnya yaitu intensitas radiasi matahari dan
kecepatan angin, serta penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan pohon secara
individu dengan jenis yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Arief A. 1994. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan.Jakarta
(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Carreiro MM, Yong CS, Jianguo W. 2008. Ecology, Planning, and Management
of Urban Forests: International Perspective. USA (US): Springer Science.
Dachlan EN. 2013. Kota Hijau Hutan Kota. Bogor (ID): ISBN.

18
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. Bogor (ID): IPB Press.
Dahlan. 2011. Potensi hutan kota sebagai alternatif substitusi fungsi alat
pendingin ruangan (air conditioner) (studi kasus di Kampus IPB Dramaga)
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fachrul MF. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Fahmi N. 2013. Dampak perubahan tutupan lahan terhadap temperature humidity
index (THI) kawasan Kampus IPB Dramaga [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Fakuara Y. 1987. Konsepsi pengembangan hutan kota [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Geiger R. 1959. The Climate Near The Ground. Cambridge (US): Hardvard
University Press.
Handoko. 1993. Kimatologi Dasar. Bogor (ID): PT Dunia Pustaka Jaya.
Hernowo JB, Soekmadi R, Ekarelawan. 1991. Kajian pelestarian satwaliar di
Kampus IPB Darmaga. Media Konservasi III (2): 43-65.
Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan Ed ke-2. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara.
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta:
Bumi Aksara.
Joga N, Ismaun I. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Kartasapoetra AG. 2006. Buku Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan
Tanaman. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Kawilarang F. 2013. Pengukuran albedo dan suhu permukaan beberapa jenis
vegetasi di Hutan Kota Srengseng [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Koto E. 1991. Studi iklim mikro di hutan kota Manggala Wanabakti Jakarta
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kurnia IW. 2003. Studi keanekaragaman jenis burung untuk pengembangan
wisata birdwatching di Kampus IPB Darmaga [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Manan E. 1991. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Bey A, editor. Bogor
(ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Miller RW. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces.
Englewood Cliffs (NJ): Prentic-Hall Inc.
Monteith. 1975. Vegetation and The Atmosphere. London (UK): Academic Press
Inc.
Nazir AIB. 2001. Penyusunan basis data pohon koleksi Arboretum Arsitektur
Lanskap Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor [skripsi]. Bogor
(ID): Intitut Pertanian Bogor.
Neiburger M. 1995. Memahami Lingkungan Atmosfer Kita. Purbo A, penerjemah.
Bandung (ID): Penerbit ITB. Terjemahan dari: Understanding Our
Atmospheric Environment.
Prawida F. 2009. Indikator panas (menggunakan diode 1N4148 sebagai sensor)
[internet]. 22 Mei 2009; [diunduh 2014 Mar 22]. Tersedia pada: http://vqhes.blogspot.com/2009/05/indikator-panas-menggunakan-diode.html.

19
Rushayati SB, Dahlan EN, Hermawan R. 2009. Ameliorasi iklim melalui zonasi
bentuk dan tipe hutan kota. Di dalam: [Nama editor tidak diketahui].
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009. [Waktu dan tempat
pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): IPB. [halaman tidak diketahui];
[diunduh
2014
Mar
7].
Tersedia
pada:
http://web.ipb.ac.id/~lppm/lppmipb/penelitian/has