Persebaran Dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Di Kabupaten Cianjur

PERSEBARAN DAN TINGKAT KEMUDAHAN
TERKONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN CIANJUR

IRFAN MAULANA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persebaran dan Tingkat
Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
Skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Irfan Maulana
NIM A14100093

ABSTRAK
IRFAN MAULANA. Persebaran dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan
Sawah di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan
BOEDI TJAHJONO.
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai
luasan sawah dan produksi padi terbesar di pulau Jawa. Besarnya luasan lahan
sawah dan produksi padi di wilayah ini tidak lepas dari ancaman konversi lahan,
mengingat kabupaten Cianjur merupakan wilayah yang masih berkembang.
Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan, maka kabupaten Cianjur memiliki peluang yang sangat
besar menerapkan UU tersebut untuk mencegah penurunan luasan lahan sawah di
kabupaten Cianjur. Tujuan dari penelitian adalah (1) menganalisis sebaran lahan
sawah pada berbagai karakteristik fisik lahan, jarak terhadap jalan, sungai, dan
rencana pola ruang, (2) menganalisis kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi
lahan terbangun dan pertanian non sawah, (3) serta menganalisis sebaran lahan

sawah yang terkonversi dan hubungannya dengan karakteristik fisik lahan.
Metode untuk mengetahui persebaran lahan sawah terhadap karakteristik fisik,
jalan, sungai, dan rencana pola ruang dengan menggunakan metode overlay.
Penetapan tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi serta non irigasi
menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian non sawah dianalisis dengan proses
overlay terhadap keterkaitannya dengan variabel rencana pola ruang, dan jarak
terhadap jalan. Hasil penelitian menunjukan bahwa lahan sawah irigasi lebih
banyak yang terkonversi menjadi lahan terbangun, sedangkan pada lahan sawah
non irigasi lebih banyak yang terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah.
Tingkat kemudahan terkonversi menjadi lahan terbangun dominan terdapat pada
sawah irigasi kategori SK dengan jenis tanah Latosol, lereng 0-3%, elevasi 300
dpl, curah hujan 2000-2500 mm, sedangkan tingkat kemudahan terkonversi
menjadi lahan pertanian non sawah terdapat pada sawah non irigasi kategori MK
dengan jenis tanah Latosol, lereng 8-15%, elevasi 100 dpl, curah hujan 2500-3000
mm.

Kata kunci : lahan sawah, konversi lahan, Cianjur

ABSTRACT
IRFAN MAULANA. Distribution and Ease Level of Converted Rice Field Level

in Cianjur. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and BOEDI TJAHJONO.
Cianjur district is the one of district that have an extent area of rice fields
and the largest rice production in Java. The widespread of rice field area and rice
production in this district due to the threat of land conversion. Considering,
Cianjur district is an area that is still evolving. The existence of UU No. 41, 2009
about sustainable protection of agricultural land of food. Then, Cianjur district has
a tremendous opportunity to apply those UU for preventing rice field area
reduction in Cianjur. The aim of this research are (1) to analyzed the distribution
of rice field on the various physical characteristics of the field, distance to the road,
river, and spatial pattern plan, (2) to analyzed the ease of converted rice field into
developed land and agricultural land non-paddy, (3) and to analyzed the
distribution of converted rice field and its relationship to physical characteristics
of land. Methods to determine the distribution of the rice fields towards physical
characteristics, roads, rivers, and space pattern plan using the overlay method.
Determination of the ease level of converting irrigated land and non-irrigated into
constructed land and non-agricultural rice fields were analyzed by the overlay of
the association with variable spatial pattern plan and the distance to the road. The
results showed that irrigated land were more converted into constracted land than
non-irrigated rice field, while the non-irrigated rice field were more converted into
non-agricultural rice fields. The ease level of converted into constructed land was

dominant on irrigated rice field SK category with Latosol soil, 0-3% slope,
elevation 300 asl, 2000-2500 mm rainfall, while the ease level of converted into
non-rice agricultural land was on the non-irrigated rice category MK with Latosol
soil, 8-15% slope, elevation 100 asl, 2500-3000 mm rainfall.

Keywords: paddy field, land conversion, Cianjur

PERSEBARAN DAN TINGKAT KEMUDAHAN
TERKONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN CIANJUR

IRFAN MAULANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Persebaran dan Tingkat Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah di
Kabupaten Cianjur
Irfan Maulana
Nama
A14100093
NIM

Disetujui oleh

Dr Khursatul Munibah, MSc
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

1 5 SEP 1015'.


c;gl
...---

Dr Boedi Tjahjono, MSc
Pembimbing II

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhannahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini
adalah lahan sawah, dengan judul Persebaran dan Tingkat Kemudahan
Terkonversi Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr Khursatul Munibah, MSc selaku pembimbing skripsi dan pembimbing
skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, motivasi, ilmu yang
diajarkan, dan kesabaran.
2. Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku pembimbing skripsi atas teladan,
bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi, dan ilmu yang diajarkan
kepada penulis.
3. Dr Ir Baba Barus, MSc selaku dosen penguji, yang telah bersedia memberi

masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.
4. Ibu dan Bapak yang selalu memberi motivasi senantiasa mencurahkan
kasih sayangnya, perhatian, dan mendo’kan penulis. Adikku yang selalu
ada dan mendoakan penulis.
5. Teman-teman di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Rizal,
Miftah, Sudi, Karjono, Farik, Lela, Ardiya, Ria, Ira, Masyitah, Safira, dan
Ayu. Terima kasih atas motivasi dan bantuannya.
6. Rekan-rekan MSL’47 (Rifki, Aulia, Andang, Budi, Akbar, Yoga, Anam,
Andi, Wira, Rizki, Dinda, Viona dan lainnya), Abang dan kakak MSL’45,
MSL’46, adik-adik MSL’48 terima kasih untuk kebersamaan dan
dukungannya.
7. Staff tata usaha yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian.
8. Staff PU Binamarga Kabupaten Cianjur, terima kasih atas bantuannya
selama di Cianjur.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi
ilmupengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.


Bogor, September 2015

Irfan Maulana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Lahan Sawah

2

Konversi Lahan

3


Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Perda Provinsi Jawa Barat No 27
Tahun 2010
3
Rencana Pola Ruang

5

Penginderaan Jarak Jauh

5

Sistem Informasi Geografis

7

METODE

8


Tempat dan Waktu

8

Bahan dan Alat

8

Metode Penelitian

9

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

11

Lokasi dan Letak Administrasif

11

Kondisi Iklim

13

Topografi, Geologi dan Hidrologi

13

Kondisi Kependudukan

14

Kondisi Ekonomi

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

15

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kecamatan

15

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Tanah

16

Pesebaran Lahan Sawah Berdasarkan Elevasi

19

Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Curah Hujan

20

Persebaran Lahan Sawah terhadap Jalan

21

Persebaran Lahan Sawah terhadap Sungai

22

Persebaran Lahan Sawah terhadap Rencana Pola Ruang

24

Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan
Terbangun
26
Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan
Pertanian Non Sawah
30
Validasi Tingkat Konversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan
Terbangun
34
Validasi Tingkat Konversi Lahan Sawah Irigasi dan Non Irigasi Menjadi Lahan
Pertanian Non Sawah
36
SIMPULAN DAN SARAN

37

Simpulan

37

Saran

37

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

38
1
52

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Karakteristik Dasar Satelit Ikonos
Hubungan antara tujuan, jenis data, teknis analisis, dan keluaran
Luas lahan sawah pada setiap kecamatan
Hasil Validasi Lahan Sawah Irigasi Menjadi Lahan Terbangun
Hasil Validasi Lahan Sawah Non Irigasi Menjadi Lahan Terbangun
Tabel Hasil Validasi Lahan Sawah Irigasi Menjadi Lahan Pertanian
Non Sawah
Hasil Validasi Lahan Sawah Non Irigasi Menjadi Lahan Pertanian Non
Sawah

7
10
16
35
35
36
36

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Bagan Diagram Alir Penelitian
Peta Lokasi Penelitian
Persebaran lahan sawah pada setiap kecamatan
Persebaran Lahan Sawah Terhadap Jenis Tanah
Persebaran Lahan Sawah Terhadap Kemiringan Lereng
Persebaran Lahan Sawah Terhadap Elevasi
Persebaran Lahan Sawah Terhadap Curah Hujan
Buffer jalan terhadap sawah irigasi
Buffer jalan terhadap sawah non irigasi
Persebaran lahan sawah irigasi terhadap sungai
Persebaran lahan sawah irigasi terhadap sungai
Peta lahan sawah irigasi yang terdapat pada RTRW
Peta lahan sawah non irigasi yang terdapat pada RTRW
Peta kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi menjadi
terbangun
15. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah non irigasi menjadi
terbangun
16. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah irigasi menjadi
pertanian non sawah
17. Peta kemudahan terkonversi lahan sawah non irigasi menjadi
pertanian non sawah

9
12
15
17
18
19
20
21
22
23
23
24
26
lahan
27
lahan
29
lahan
31
lahan
33

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah
Menjadi Lahan Terbangun
Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah
Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah
Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Non
Menjadi Lahan terbangun
Penentuan Kategori Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah Non
Menjadi Lahan Pertanian Non Sawah
Hasil observasi lapang

Irigasi
40
Irigasi
42
Irigasi
44
Irigasi
46
48

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan sawah merupakan suatu tipe penggunaan lahan yang
pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh kerena itu, sawah selalu
mempunyai permukaan yang datar atau didatarkan, dan dibatasi oleh pematang
untuk menahan air genangan (Puslitbangtanak, 2003). Seiring dengan
perkembangan waktu, penggunaan lahan sawah di sebagian kota atau kabupaten
mulai tergeser menjadi lahan terbangun seperti industri, perumahan, jalan,
kawasan perdagangan, dan sarana publik lainnya. Konversi lahan dapat
diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan penduduk yang disertai dengan
peningkatan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi. Konversi lahan pertanian
dapat meningkatkan perekonomian suatu daerah dengan bertambahnya
infrastruktur serta fasilitas yang bisa menyerap tenaga kerja. Disamping itu
konversi lahan dapat menimbulkan terganggunya ketahanan pangan akibat
berkurangnya lahan pertanian sementara kebutuhan akan pangan terus meningkat.
Pulau Jawa sebagai pulau penghasil beras terbesar di Indonesia memiliki
banyak wilayah yang produktif dalam menghasilkan beras. Salah satunya adalah
Kabupaten Cianjur yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten ini
merupakan sentra produksi padi di Jawa Barat dan memiliki lahan pertanian
seluas 237.650 Ha yang terdiri dari lahan sawah seluas 66.180 Ha 28% dari total
luas wilayah. Kabupaten Cianjur menyumbang sebesar 11.271.861 ton terhadap
produksi padi di Jawa Barat (BPS Kabupaten Cianjur, 2013). Sektor pertanian
menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Cianjur,
yaitu sekitar 42,80%. Keberadaan lahan sawah yang produktif dan luas di
Kabupaten Cianjur perlu dipertahankan demi menjaga ketahanan pangan nasional
dan pembangunan pertanian. Hal ini sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Perda Provinsi
Jawa Barat No. 27 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Karakteristik fisik lahan pada suatu daerah banyak berpengaruh terhadap
kesesuaian penggunaan lahan pada daerah tersebut, seperti lereng, elevasi, jenis
tanah, serta curah hujan. Semakin sesuai karakteristik fisik lahan terhadap suatu
penggunaan lahan maka akan dapat mencapai produktivitas yang maksimum.
Keberadaan infrastruktur seperti jalan juga dapat mempengaruhi penggunaan
suatu lahan baik yang berada di dekatnya ataupun jauh dari jalan. Perlunya suatu
penelitian terhadap lahan sawah di Kabupaten Cianjur karena wilayah tersebut
berpotensi besar menjaga ketahanan pangan nasional. Sehingga dapat memberikan
informasi secara lengkap terkait dengan kondisi sebaran lahan sawah,
penyebarannya terhadap karakteristik fisik lahan, dan analisis tingkat kemudahan
terkonversi pada lahan sawah.

2

Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis sebaran lahan sawah pada berbagai karakteristik fisik lahan,
jarak terhadap jalan, sungai, dan rencana pola ruang
(2) Menganalisis kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian
non sawah dan lahan terbangun
(3) Menganalisis sebaran tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah dan
hubungannya dengan karakteristik fisik lahan

TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Sawah
Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh
pematang atau galengan, saluran untuk menahan atau menyalurkan air, yang
biasanya ditanami padi (BPS: Luas Lahan Menurut Penggunaannya, 2008).
Berdasarkan sumber airnya yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah
dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak, dan
sawah pasang surut. Sawah irigasi adalah sawah yang sumber airnya berasal dari
tempat lain melalui saluran-saluran yang sengaja dibuat untuk itu. Sawah irigasi
dibedakan atas sawah irigasi teknik, sawah irigasi semi teknis dan sawah irigasi
sederhana.
Sawah irigasi teknis air pengairannya berasal dari waduk, dam atau danau
dan dialirkan melalui saluran induk primer yang selanjutnya dibagi-bagi ke dalam
saluran sekunder dan tersier melalui bangunan pintu pembagi air. Sawah irigasi
sebagian besar dapat ditanami padi dua kali atau lebih dalam setahun, tetapi
sebagian ada yang hanya ditanami padi sekali setahun bila ketersediaan air tidak
mencukupi terutama yang terletak di ujung-ujung primer dan jauh dari sumber
airnya (Puslitbangtanak, 2003).
Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber airnya tergantung atau
berasal dari curah hujan tanpa adanya bangunan-bangunan irigasi
permanen.Sawah tadah hujan umumnya terdapat pada wilayah yang posisinya
lebih tinggi dari sawah irigasi atau sawah lainnya sehingga tidak memungkinkan
terjangkau oleh pengairan.Waktu tanam padi sangat tergantung pada datangnya
musim hujan (Puslitbangtanak, 2003).
Sawah pasang surut adalah sawah yang irigasinya tergantung pada gerakan
pasang surut serta letaknya di wilayah datar tidak jauh dari laut.Karena adanya
pengaruh pasang dan surut, air laut dimanfaatkan untuk mengairi melalui saluran
irigasi dan drainasi.Sawah pasang surut umumnya terdapat disekitar jalur aliran
sungai besar yang terkena pengaruh pasang surut (Puslitbangtanak, 2003).
Sawah lebak adalah sawah yang berada di daerah rawa dengan
memanfaatkan naik turunnya permukaan air rawa secara alami, sehingga didalam
system sawah lebak tidak dijumpai saluran air.Sawah ini umumnya terletak di
daerah yang relatif dekat dengan jalur sungai besar (Puslitbangtanak, 2003).

3

Konversi Lahan
Konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula yang telah direncanakan menjadi fungsi lain yang
akan berdampak terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi
lahan dalam arti perubahan peruntukan penggunaan lahan, disebabkan oleh faktorfaktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan tuntutannya untuk kehidupan
yang lebih baik (Lestari, 2009). Menurut Saefulhakim (1994), konversi lahan
merupakan bentuk peralihan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan yang
lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap (fixed), sehingga adanya konversi lahan tertentu
akan mengurangi atau menambah penggunaan lahan lainnya. Saefulhakim dan
Nasution (1995) memaparkan salah satu faktor yang berperan penting yang dapat
menyebabkan proses konversi lahan pertanian, yaitu aksesibilitas. Perubahan sarana
dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesibilitas
lokal, akan lebih mendorong perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non
pertanian.
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu
ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih
fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang
beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi –
sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi
teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan
kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju (Murniningtyas,
2007). Hal tersebut dapat berdampak terhadap produksi dan ketahanan pangan
yang menjadi berkurang sedangkan kebutuhan akan pangan terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan
sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan
semakin bermasalah. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa penyebab
penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan
non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan permukiman. Konversi lahan ini,
terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius
dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah yang tidak terkendali juga
akan menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan
perdesaan serta hilangnya aset pertanian bernilai tinggi Irawan et al (2001).
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 dan Perda Provinsi Jawa Barat No
27 Tahun 2010
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan (PLPPB) merupakan sistem dan proses dalam
merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina,
mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara
berkelanjutan. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi pemerintah dan
pemerintahan daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka
ketahanan pangan nasional. Menurut Rustiadi et al. (2010), Undang-undang ini
digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk
melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan

4

pangan nasional. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan
berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yaitu meliputi: (1)
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), (2) Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B), (3) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(LCP2B). Adapun lahan-lahan pertanian dan lahan cadangan yang berada di
dalam dan atau diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria,
yaitu:


Kesesuaian Lahan
KP2B ditetapkan pada lahan yang secara biofisik terutama dari aspek
kelerengan, iklim, sifat fisik, kimia, dan biologi cocok dikembangkan untuk
pertanian pangan dengan memperlihatkan daya dukung lingkungan.



Ketersediaan Infrastruktur
KP2B ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan infrastruktur
pendukung pertanian pangan antara lain sistem irigasi, jalan usaha tani, dan
jembatan.



Penggunaan Lahan Aktual (Kondisi existing)
Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan
bentuk penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.



Potensi Teknis Lahan
Lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek topografi, lereng, iklim,
sifat fisik, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk
pertanian.



Luasan Satuan Hamparan Lahan
Perencanaan LP2B dan LCP2B yang dilakukan dengan mempertimbangkan
sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem
produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi dan sosial
budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 27 tahun 2010 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan bentuk peraturan
daerah yang di tetapkan dengan tujuan melindungi lahan pertanian pangan
provinsi Jawa Barat. Daerah Jawa Barat sebagai daerah agraris telah memberikan
kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan nasional, bahan baku industri dan
ekspor non migas, sekaligus menjadi mata pencaharian pokok dan sumber
penyediaan lapangan kerja bagi penduduknya. Semakin meningkatnya
pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, dan industri mengakibatkan
terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan yang
berpengaruh terhadap daya dukung guna menjamin kemandirian, ketahanan, dan
keadulatan pangan di daerah. Dalam hal ini Jawa Barat perlu dijamin penyediaan
lahan pertanian pangan secara berkelanjutan berdasarkan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan adanya perda provinsi Jawa Barat Nomor 27
tahun 2010.

5

Rencana Pola Ruang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Menurut istilah geografi regional ruang sering diartikan
sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas keadaan fisik,
sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan
tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata 1999). Rencana Pola
ruang adalah rencana distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budi daya. Bentuk kawasan yang memiliki peruntukan ruang fungsi
lindung adalah kawasan lindung yang merupakan wilayah dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan. Bentuk kawasan yang memiliki peruntukan ruang untuk
fungsi budidaya adalah kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Tata ruang adalah wujud struktural dan pola ruang, dalam perencanaan tata
ruang yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang
sistematis dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi untuk mendukung dan
mengarahkan pemanfaatan ruang di dalam memilih cara yang terbaik untuk
meningkatkan produktivitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat secara
berkelanjutan (Rustiadi et al. 2006). Penyusunan rencana pola ruang wilayah
harus jelas, realistis, dan dapat diimplementasikan dalam jangka waktu
perencanaan pada wilayah bersangkutan. Rencana pola ruang untuk ruang laut,
ruang udara, dan ruang di dalam bumi diatur dengan pedoman tersendiri, dan
harus mengikuti peraturan perundang-undangan terkait.
Penginderaan Jarak Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Karakteristik dari objek dapat ditentukan
berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh
obyek tersebut dan terekam oleh sensor. Hal ini berarti, masing-masing obyek
mempunyai karakteristik pantulan atau pancaran elektromagnetik yang unik dan
berbeda pada lingkungan yang berbeda (Murai 1999).
Berdasarkan sumber tenaganya, terbagi menjadi sistem penginderaan jauh aktif
dan sistem penginderaan jauh pasif. Sistem penginderaan jauh aktif merupakan
peginderaan jauh yang menggunakan tenaga buatan dalam perekamannya. Hal ini
didasarkan bahwa perekaman objek pada malam hari memerlukan tenaga. Sistem
penginderaan jauh pasif (foto udara dan citra aster), yaitu sistem penginderaan jauh
yang energinya berasal dari matahari. Panjang gelombang yang digunakan oleh
sistem pasif, tidak memiliki kemampuan menembus atmosfer yang dilaluinya,
sehingga atmosfer ini dapat menyerap (absorb) dan menghamburkan (scatter) energi

6

pantulan (reflektan) objek yang akan diterima oleh sensor ( Lillesand dan Kiefer
1997).
Proses interpretasi citra didefinisikan sebagai proses ekstraksi informasi
kualitatif maupun dalam bentuk kuantitatif sebuah peta, baik mengenai bentuk,
lokasi, struktur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar obyek, dan lain-lain
(Murai 1999).
Lillesand dan Kiefer (1990) memberikan karakteristik dasar kenampakkan
pada citra sebagai kunci dalam proses interpretasi citra, yaitu:
1. Bentuk, merupakan konfigurasi atau kerangka suatu obyek.
2. Ukuran, merupakan besar kecilnya obyek pada citra dengan
mempertimbangkan skala citra.
3. Pola, menyatakan hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan obyek alami atau buatan, akan memberikan suatu
pola yang dapat membantu penafsiran.
4. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek,
atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya
sehingga sukar diamati pada citra.
5. Rona, menunjukkan adanya tingkataan keabuan atau kecerahan relatif
obyek pada citra.
6. Warna, dapat dipresentasikan dengan hue, value, dan chroma.
7. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Merupakan gabungan
dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.
8. Situs, menunjukkan hubungan antara posisi suatu terhadap obyek lainnya,
sehingga suatu obyek dapat dikenali dari hubungan tersebut.
9. Asosiasi, menunjukkan keterkaitan suatu obyek terhadap lokasi dimana
obyek tersebut ditemukan.

Sistem satelit Ikonos dibuat oleh Lockheed Martin Commercial Space
Systems.Ikonos berasal dari bahasa Yunani “Eye-KOH-NOS” yang berarti citra
atau image. Satelit Ikonos dioperasikan oleh Space Imaging Inc. Denver Colorado,
Amerika Serikat dan diluncurkan pada tanggal 24 September 1999 dan
menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal 2000. Ikonos adalah satelit
dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada
resolusi 4 m (citra berwarna) dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi 1 m
(hitam-putih).Ikonos merupakan satelit komersial pertama yang dapat membuat
citra beresolusi tinggi.
Satelit ikonos merekam permukaan bumi secara serempak dengan resolusi
temporal periode 1,5 sampai 3 hari. Satelit Ikonos sering disebut sebagai satelit
penginderaan jauh generasi lanjutan karena memiliki resolusi spasial tinggi yang
hampir menyamai foto udara serta dapat menghasilkan citra di mana saja di
seluruh dunia (Martono 2007). Ikonos menyajikan data satelit dengan resolusi
tinggi, sangat cocok digunakan untuk pemetaan, memantau pertanian, pengelolaan
sumberdaya dan perencanaan permukiman. Citra Ikonos sudah digunakan dalam
pemetaan sawah baku di Pulau Jawa 2010 dan luar Jawa 2011 (Rustiadi dan Barus,
2012). Selain itu, citra juga dimanfaatkan untuk pemetaan potensi konversi lahan
sawah dalam kaitannya lahan pertanian berkelanjutan dengan analisis spasial
(Barus et al. 2010). Karakteristik satelit Ikonos dapat dilihat pada Tabel 1.

7

Tabel 1 Karakteristik Dasar Satelit Ikonos
Sistem
Tanggal Peluncuran
Masa operasional orbit
Kecepatan dalam orbit
Kecepatan di atas permukaan tanah
Revolusi mengelilingi bumi
Altitud
Resolusi pada titik Nadir
Resolusi Spasial
Resolusi Spektral

Resolusi Temporal
Resolusi Radiometrik
Luas sapuan (image Swath)
Waktu melintasi ekuator
Waktu pengulangan lintasan
Kisaran dinamis
Band citra

Ikonos
24 September 1999 di Pangkalan Angkatan Udara
Vandenberg, California, USA
Lebih dari 7 tahun
7,5 kilometer per detik
6.8 kilometer per detik
14.7 setiap 24 jam
681 kilometer
0.82 meter panchromatic; 3.2 metersmultispectral
1.0 meter panchromatic; 4.0 meters
Panchromatic (0.45-0.90 micrometers)
Band 1 (0.45-0.53 micrometers)
Band 2 (0.52-0.61 micrometers)
Band 3 (0.64-0.72 micrometers)
Band 4 (0.77-0.88 micrometers)
3 hari
8 bit
11.3 kilometer pada titik nadir
Nominal pada 10:30 AM waktu matahari/siang hari
Setiap sekitar 3 hari pada latitud 40
11-bits per piksel
Panchromatic, blue, green, red, near IR

Sumber : Satellite Imaging Corporation (2008)

Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer
yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi,
yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali),
manipulasi dan analisis serta keluaran (Aronoff 1989). Tujuan pokok dari
pemanfaatan sistem informasi geografis adalah untuk mempermudah
mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu
lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari
data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang
dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut.
Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang
umumnya berbentuk peta sedangkan data atribut merupakan data tabel yang
berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Penyajian
data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan
bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang
koordinat x,y yang menunjukkan lokasi suatu obyek berupa ketinggian, lokasi
kota, lokasi pengambilan sample dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titiktitik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur
dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis
yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya batas daerah, batas penggunaan
lahan, pulau dan lain sebagainya.

8

Menurut Prahasta (2002) terdapat beberapa alasan yang menyebabkan konsepkonsep SIG beserta aplikasinya-aplikasinya menjadi menarik untuk digunakan
diberbagai disiplin ilmu, diantaranya :
a) SIG dapat digunakan sebagai alat bantu (baik sebagai tools maupun bahan
tutorials) utama yang efektif, menarik, dan menantang di dalam usaha-usaha
untuk meningkatkan pemahaman, pengertian, pembelajaran, dan pendidikan
mengenai ide-ide atau konsep-konsep lokasi, ruang (spasial), kependudukan
dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi beserta data-data
atribut yang menyertainya.
b) SIG menggunakan data, baik data spasial maupun data atribut secara
terintegrasi sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan baik pertanyaan
spasial maupun non-spasial.
c) SIG memiliki kemampuan-kemampuan yang sangat baik dalam memvisualkan
data spasial beserta atributnya. Modifikasi warna, bentuk, dan ukuran simbol
yang diperlukan untum merepresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat
dilakukan dengan mudah.

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian berlokasi di wilayah administasi Kabupaten Cianjur, Provinsi
Jawa Barat yang terdiri dari 32 kecamatan. Secara administrasi, Kabupaten
Cianjur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Purwakarta di sebelah Utara,
dengan Kabupaten Sukabumi di sebelah Barat, dengan Kabupaten Bandung dan
Garut sebelah Timur, dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan. Penelitian
berlangsung selama enam bulan, terhitung sejak bulan Februari hingga September
2014. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Labolatorium Penginderaan Jauh
dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari citra Ikonos tahun 2010, citra SRTM, peta
lereng, peta elevasi, dan pengecekan lapang. Data sekunder terdiri dari peta
administrasi, peta jalan, peta lahan sawah, peta jenis tanah, peta curah hujan, peta
sungai, peta landuse 2014, dan peta rencana pola. Alat yang digunakan untuk
mengolah data adalah seperangkat komputer yang dilengkap dengan perangkat
lunak ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Microsoft Word 2010, Microsoft Excel 2010,
Global Positioning System (GPS) dan camera digital untuk membantu dalam
pengecekan lapang.

9

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap persiapan,
tahap pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta tahap penyusunan
laporan akhir. Tahap penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan Diagram Alir Penelitian
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemilihan
dan penentuan tema penelitian, pembuatan proposal, serta studi literatur agar
dapat memperoleh informasi mengenai penelitian juga memperdalam kajian
tentang analisis spasial lahan sawah.

10

2. Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di laboratorium Penginderaan Jauh dan
Informasi Spasial yang diperoleh peta lereng, peta elevasi, peta administrasi, peta
lahan sawah, peta sungai, peta curah hujan, peta jenis tanah, peta jalan, peta
landuse 2014, peta rencana pola ruang, citra SRTM, dan citra Ikonos 2010. Data
yang diperoleh dari lapang yaitu hasil observasi lapang.
Tabel 2 Hubungan antara tujuan, jenis data, teknis analisis, dan keluaran
No

Tujuan

1.

Persebaran Lahan Sawah
Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan,
Jarak terhadap Jalan dan Sungai,
Pola Ruang

2.

Kemudahan Terkonversi Lahan
Sawah Irigasi dan Non Irigasi
Menjadi Lahan Terbangun dan
Lahan Pertanian Non Sawah

3.

Kemudahan Terkonversi Lahan
Sawah Irigasi dan Non Irigasi
Menjadi Lahan Terbangun dan
Lahan Pertanian Non Sawah
Berdasarkan Karakteristik Fisik
Lahan

4.

Validasi Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan Sawah Irigasi
dan Non Irigasi Menjadi Lahan
Terbangun dan Lahan Pertanian
Non Sawah

Jenis Data









Peta Lahan Sawah
Peta Jenis Tanah
Peta Elevasi
Peta Kemiringan Lereng
Peta Curah Hujan
Peta Jalan
Peta Sungai
Peta Rencana Pola
Ruang
 Peta Lahan Sawah
 Peta Rencana Pola
Ruang
 Peta Jalan

 Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan
Sawah Irigasi Menjadi
Lahan Terbangun dan
Pertanian Non Sawah
 Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan
Sawah Non Irigasi
Menjadi Lahan
Terbangun dan Pertanian
Non Sawah
 Peta Tanah
 Peta Elevasi
 Peta Curah Hujan
 Peta Kemiringan Lereng
 Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan
Sawah Irigasi Menjadi
Lahan Terbangun dan
Pertanian Non Sawah
 Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan
Sawah Non Irigasi
Menjadi Lahan
Terbangun dan Pertanian
Non Sawah
 Peta Landuse 2014

Teknik Analisis
 Buffer
 Overlay
(Tumpang
Tindih)

 Membuat
Kriteria
Tingkat
Kemudahan
Konversi
 Overlay
(Tumpang
Tindih

 Overlay
(Tumpang
Tindih)

 Overlay
(Tumpang
Tindih)

Keluaran
 Peta Lahan Sawah
berdasarkan
Kondisi Fisik,
Jarak terhadap
Jalan, dan Sungai

 Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan
Sawah Irigasi
Menjadi Lahan
Terbangun dan
Lahan Pertanian
Non Sawah
 Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan
Non Sawah Irigasi
Menjadi Lahan
Terbangun dan
Lahan Pertanian
Non Sawah
 Peta Sebaran
Kemudahan
Terkonversi Lahan
Sawah Pada
Karakteristik Fisik
Lahan

 Peta Kemudahan
Terkonversi Lahan
Sawah menjadi
Lahan Terbangun
dan Non Pertanian
Sawah yang
Tervalidasi

11

3. Tahap Analisis Persebaran Lahan Sawah terhadap Karakteristik Fisik,
Lahan, Jarak terhadap Jalan dan Sungai, dan Rencana Pola Ruang
Tahap analisis ini diawali dengan melakukan proses overlay (tumpang
tindih) antara peta persebaran lahan sawah yang dibagi menjadi sawah irigasi dan
sawah non irigasi. Pada zona utara, tengah, dan selatan terhadap peta karakteristik
fisik lahan, peta jarak terhadap jalan serta sungai, peta kawasan hutan, dan peta
rencana pola ruang. Kemudian dilakukan pengolahan serta analisis data atribut
dari masing-masing peta hasil overlay sehingga diperoleh nilai luasan serta pola
sebaran lahan sawah dan dapat informasi sebaran lahan sawah pada tiap-tiap peta.
4. Tahap Analisis Kemudahan Terkonversi Lahan Sawah menjadi Lahan
Pertanian Non Sawah dan Lahan Terbangun
Analisis kemudahan terkonversi lahan sawah dilakukan dengan membangun
kriteria untuk menganalisis hubungan antara sebaran lahan sawah dengan dua
variabel yang berpengaruh terhadap konversi yaitu rencana pola ruang, dan jarak
terhadap jalan. Penetapan kemudahan konversi lahan sawah dibagi menjadi dua
bagian yaitu kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi non pertanian dan
kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun. Penentuan tingkat
konversi lahan sawah berdasarkan tingkat kesesuaian dan kemungkinan terjadinya
konversi lahan sawah berdasarkan kedua variabel. Kriteria tingkat kemudahan
terkonversi lahan sawah tersebut dibagi dalam empat kelas yaitu mudah
terkonversi (MK), agak mudah terkonversi (AMK), agak sulit terkonversi (ASK),
dan sulit terkonversi (SK). Peta yang diperoleh dari hasil analisis merupakan peta
kemudahan lahan sawah irigasi yang terkonversi menjadi lahan pertanian non
sawah dan peta kemudahan lahan sawah irigasi yang terkonversi menjadi lahan
terbangun. Selain itu terdapat pula peta kemudahan lahan sawah non irigasi yang
terkonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan peta kemudahan lahan sawah
non irigasi yang terkonversi menjadi lahan terbangun.
5. Tahap Penyusunan Laporan Akhir
Tahapan ini merupakan kegiatan akhir dari penelitian. Hasil pengolahan dan
analisis data serta data-data lain sebagai informasi pendukung digunakan dalam
penulisan skripsi.

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Lokasi dan Letak Administrasif
Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat
di antara 6021’-7025’ Lintang Selatan dan 106042’-107025’ Bujur Timur.
Kabupaten ini mempunyai luas mencapai 361.434 Ha, terbagi dalam tiga wilayah
yaitu wilayah Cianjur Utara, wilayah Cianjur Tengah, dan wilayah Cianjur
Selatan. Wilayah Cianjur Utara merupakan suatu dataran yang berada pada elevasi
tinggi yang terletak di sekitar kaki Gunung Gede yang memiliki ketinggian 2.962

12

mdpl. Wilayah Cianjur Tengah merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil,
tetapi terdapat juga dataran rendah. Wilayah Cianjur Selatan merupakan dataran
rendah yang terdiri dari bukit – bukit dan pegunungan yang melebar sampai ke
daerah Samudera Indonesia. Secara administrasi wilayah Kabupaten Cianjur
terdiri dari 32 kecamatan dengan 354 desa dan 6 kelurahan. Secara administratif
Kabupaten Cianjur berbatasan dengan :
 Sebelah Utara
: Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta
 Sebelah Timur
: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut
 Sebelah Barat
: Kabupaten Sukabumi
 Sebelah Selatan
: Samudra Indonesia

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

13

Berdasarkan wilayah pembangunan Kabupaten Cianjur dibagi menjadi
wilayah pengembangan utara (WPU), wilayah pengembangan tengah (WPT), dan
wilayah pengembangan selatan (WPS). Wilayah pengembangan utara merupakan
dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan
daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagaian lagi merupakan dataran yang
dipergunakan untuk areal pemukiman dan pesawahan. Kecamatan yang termasuk
wilayah ini adalah Kecamatan Cibeber, Warungkondang, Cilaku, Sukaluyu,
Ciranjang, Mande, Karangtengah, Cianjur, Cugenang, Pacet, Sukaresmi,
Cikalongkulon, Bojongpicung, Gekbrong, Cipanas, dan Haurwangi.
Wilayah pengembangan tengah merupakan daerah yang berbukit-bukit
kecil keadaan topografi tersebut sering berdampak terjadinya tanah longsor pada
wilayah ini. Dataran ini terdiri dari areal perkebunan, ladang, dan pesawahan.
Kecamatan yang termasuk wilayah ini adalah Kecamatan Tanggeung,
Kadupandak, Takokak, Sukanagara, Pagelaran, Campaka, Campaka Mulya, Cijati,
dan Pasir Kuda. Wilayah pengembangan selatan merupakan dataran rendah, tetapi
masih terdapat bukit-bukit serta pegunugan sampai ke daerah pantai Samudra
Indonesia. Kondisi wilayah ini hampir serupa dengan wilayah tengah sehingga
yang sering terjadi longsor. Dataran ini terdapat areal perkebunan, ladang, dan
pesawahan. Kecamatan yang termasuk wilayah ini adalah Kecamatan Agrabinta,
Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu, dan Leles.
Kondisi Iklim
Secara umum Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan suhu udara
minimum 180C yang biasanya terjadi pada bulan Maret-April, sedangkan suhu
maksimal mencapai 240C yang biasanya terjadi pada bulan Oktober-November
dengan kelembaban nisbi berkisar 80-90%. Kondisi curah hujan di Kabupaten
Cianjur sangat bervariasi. Curah hujan rata-rata di wilayah pesisir berkisar antara
1.120,4 mm/tahun sampai dengan 3.543 mm/tahun, namun demikian, beberapa
wilayah seperti di sebelah barat Kecamatan Sindangbarang memiliki curah hujan
lebih tinggi, yakni berkisar antara 3.000 mm/tahun sampai 4.000 mm/tahun.
Topografi, Geologi dan Hidrologi
Topografi Kabupaten Cianjur merupakan terdiri dari dataran, perbukitan,
dan daerah volkan yang terletak pada pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan
Australia. Dataran dijumpai di sekitar Cianjur dan Ciranjang serta di sepanjang
jalur aliran sungai. Perbukitan umumnya terdapat di wilayah bagian tengah dan
selatan Kabupaten Cianjur, sedangkan wilayah volkanik terdapat di utara
Kabupaten Cianjur yang merupakan lereng timur Gunung Gede. Kawasan dataran
terdiri dari dataran volkan yang cukup luas di sebelah barat Cianjur sampai
dengan Ciranjang serta dataran alluvial berupa cekungan dan teras sungai di
sepanjang jalur aliran sungai Citarum, Cikundul, Cisokan, dan Cibuni. Dataran
terbentuk dari bahan endapan sungai, breksi, dan lahar Gunung Gede yang bersifat
basal dan intermediet. Untuk daerah perbukitan mempunyai persebaran yang
cukup luas di bagian tengah dan selatan Kabupaten Cianjur berupa bukit lipatan
dengan bentuk wilayah bergelombang.

14

Permukaan tanah di Kabupaten Cianjur sebagian besar tanahnya tertutup
oleh batuan sedimen, terutama di wilayah Cianjur Selatan, sedangkan di wilayah
Cianjur Utara banyak mengandung bahan vulkan. Pada wilayah selatan Cianjur
terdapat jenis batuan alluvial yang tersebar di sepanjang pantai selatan.
Sungai Citarum merupakan sungai yang mengalir ke bagian utara dengan
beberapa anak sungainya yang berada di Kabupaten Cianjur antara lain adalah
Sungai Cibeet, Sungai Cikundul, Sungai Cibalagung, dan Sungai Cisokan.
Sungai-sungai tersebut membentuk sub-DAS yang merupakan bagian dari DAS
Citarum yang bermuara di Laut Jawa. Terdapat tiga buah waduk yang
memanfaatkan aliran Sungai Citarum, yaitu Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.
Waduk Cirata mempunyai luas genangan 6.400 Ha dimana + 3.400 Ha
menggenangi wilayah Kabupaten Cianjur. Selain itu terdapat juga 16 situ atau
rawa yang mencakup luas + 33,50 Ha dan zona mata air berpotensi di bagian
timur Gunung Gede yang dimanfaatkan untuk kepentingan domestik, pertanian,
dan Waduk Ciratan.
Kondisi Kependudukan
Jumlah penduduk yang berada di Kabupaten Cianjur pada tahun 2013
mencapai 2.225.313 jiwa jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu
2.213.889 jiwa pada tahun 2012 dan 2.168.514 jiwa pada tahun 2010.
Perkembangan penduduk Kabupaten Cianjur dari tahun 1930, terlihat mempunyai
pola berlipat dua setiap 40 tahunan. Laju pertumbuhan penduduk tercatat sebesar
0,52% serta kepadatan penduduk 615/km2. Adapaun untuk sex rasio mempunyai
nilai sebesar 106,31 yang artinya penduduk laki-laki di Kabupaten Cianjur lebih
banyak dibandingkan penduduk perempuan dengan jumlah laki-laki sebesar
1.146.669 jiwa sedangkan perempuan 1.078.644 jiwa. Berdasarkan jumlah
penduduk di setiap kecamatan, maka Kecamatan Cianjur merupakan kecamatan
berpenduduk terbesar dengan jumlah 162.474 jiwa, sebaliknya Kecamatan
Campaka Mulya merupakan kecamatan dengan jumah penduduk terkecil yaitu
sebesar 24.010 jiwa. Dengan demikian penyebaran penduduk masih belum merata
karena terdapat kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
seperti Cianjur, Karangtengah, Cibeber, Cipanas, dan Cugenang. Adapun
kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan yang rendah seperti Kecamatan
Campak Mulya, Leles, Cijati, Agrabinta, dan Pasirkuda.
Kondisi Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai ukuran produktivitas
mencerminkan seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu wilayah
dalam satu tahun. PDRB yang tedapat di Kabupaten Cianjur atas dasar harga
berlaku (current marketprice) pada tahun 2013 sebesar Rp. 24,89 trilyun,
sedangkan sebelumnya sebesar Rp. 22,28 trilyun pada tahun 2012. Begitu juga
pada PDRB atas dasar harga konstan (constant market price) mengalami
peningkatan dari Rp. 9,13 trilyun pada tahun 2012 menjadi Rp. 9,56 trilyun pada
tahun 2013. Berdasarkan kontribusi terhadap perekonomian di wilayah Kabupaten
Cianjur, kontributor utamanya adalah sektor pertanian yaitu sebesar 37 % pada
tahun 2013, kontributor kedua adalah sektor perdagangan yaitu sebesar 27,71%,
sedangkan kontributor terkecil yaitu dari sektor pertambangan sebesar 0,12%.

15

Untuk PDRB perkapita yang dapat menggambarkan kemakmuran masyrakat di
suatu wilayah, menunjukan bahwa PDRB perkapita di Kabupaten Cianjur pada
tahun 2013 sebesar Rp. 11,06 juta sebagai peningkatan dari Rp. 8,39 juta pada
tahun 2010. Untuk laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 adalah sebesar
4,67%, namun dari angka ini menunjukan perlambatan kenaikan dari pada tahun
sebelumnya yang mencapai 5,08%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kecamatan
Persebaran lahan sawah yang berada di Kabupaten Cianjur menyebar di
seluruh bagian kecamatan dengan total luasan sawah 66.314 ha. Persebaran lahan
sawah ini disajikan pada Gambar 3 dan Tabel 3, lahan sawah mengelompok pada
bagian zona utara, tengah. Lahan sawah mulai menyebar pada bagian zona selatan
hingga daerah pesisir karena sebagian wilayah selatan merupakan daerah
perbukitan dan pegunungan. Lahan sawah yang terbesar terdapat pada Kecamatan
Cidaun sebesar 3.779 ha dengan luas pada sawah irigasi sebesar 1.001 ha dan
sawah non irigasi sebesar 2.778 ha. Hal ini dikarenakan kecamatan tersebut jauh
dari pusat kota dan berada di wilayah pesisir pantai selatan. Pada daerah tersebut
masih belum banyak terdapat lahan terbangun sehingga lebih dominan
penggunaan lahan pertanian. Kecamatan dengan total luasan lahan sawah terkecil
adalah Kecamatan Sukanagara sebesar 397 ha dengan luas lahan sawah irigasi
sebesar 74 ha dan luas sawah non irigasi sebesar 323 ha. Hal ini dikarenakan
Kecamatan Sukanagara merupakan daerah peralihan antara Cianjur bagian utara
dan selatan yang masih berkembang serta terdapat banyak lahan terbangun.
4000
Zona Utara

Zona Tengah

Zona Selatan

3000
2500
2000
1500
1000
500
0

BOJONGPICUNG
CIANJUR
CIBEBER
CIKALONGKULON
CILAKU
CIPANAS
CIRANJANG
CUGENANG
GEKBRONG
HAURWANGI
KARANGTENGAH
MANDE
PACET
SUKALUYU
SUKARESMI
WARUNGKONDANG
CAMPAKA
CAMPAKAMULYA
CIJATI
KADUPANDAK
PAGELARAN
PASIRKUDA
SUKANAGARA
TAKOKAK
TANGGEUNG
AGRABINTA
CIBINONG
CIDAUN
CIKADU
LELES
NARINGGUL
SINDANGBARANG

Luas Lahan Sawah (ha)

3500

Irigasi

Kecamatan Kabupaten Cianjur

Non Irigasi

Gambar 3 Persebaran lahan sawah pada setiap kecamatan

16

Pada luasan sawah irigasi yang terbesar adalah Kecamatan Karangtengah
yang terdapat di bagian zona utara sebesar 3.047 ha dan yang terkecil terdapat
pada Kecamatan Pasirkuda yaitu 3 ha. Lengkapnya fasilitas serta infrastruktur
yang medukung terhadap sawah irigasi dapat menjadi faktor luasnya lahan sawah
irigasi yang terdapat di wilayah Karangtengah. Pada luasan sawah non irigasi
yang terbesar terdapat pada Kecamatan Agrabinta sebesar 3.516 ha dan yang
terkecil terdapat pada Kecamatan Haurwangi sebesar 12 ha. Letak Kecamatan
Agrabinta terdapat pada zona selatan yang jauh dari pusat perkotaan sehingga
mendukung luasnya sawah non irigasi.
Tabel 3 Luas lahan sawah pada setiap kecamatan
Luas Lahan
Sawah (ha)
Kecamatan

Bojongpicung
Cianjur
Cibeber
Cikalongkulon
Cilaku
Cipanas
Ciranjang
Cugenang
Gekbrong
Haurwangi
Karangtengah
Mande
Pacet
Sukalayu
Sukaresmi
Warungkondang
Total Luas

Total Luas
Lahan
Sawah

Irigasi

Non
Irigasi

(ha)

%

2369,19
1033,42

204,61
61,87

2573,80
1095,29

3,88
1,65

2490,38

591,54

3081,92

4,64

1311,03

1202,74

2513,77

3,79

2320,45
419,23

544,64

2320,45
963,87

3,49
1,45

1894,46

-

1894,46

2,85

1438,74

468,28

1907,02

2,87

1066,60

12,73

1079,32

1,62

1312,91

11,71

1324,63

1,99

3047,43

-

3047,43

4,59

1133,86

364,92

1398,78

2,26

413,26
2698,17
1696,93

818,71
638,50

1231,97
2698,17
2335,43

1,86
3,06
3,52

1892,06

-

1892,06

2,85

Luas Lahan
Sawah (ha)
Kecamatan

Campaka
Campakmulya
Cijati
Kadupandak
Pagelaran
Pasirkuda
Sukanagara
Takokak
Tanggeung
Agrabinta
Cibinong
Cidaun
Cikadu
Leles
Naringgul
Sindangbarang

Total Luas
Lahan
Sawah

Irigasi

Non
Irigasi

(ha)

%

275,82
-

1125,07
1460,82

1400,89
1460,82

2,11
2,20

-

1432,46

1432,46

2,16

272,87

2807,23

3080,14

4,64

680,24
2,99

2998,98
1827,22

3679,22
1830,20

5,54
2,75

73,85

322,84

396,69

0,59

284,20

1334,93

1619,13

2,44

245,42

1243,74

1489,17

2,24

10,73

3516,34

3527,07

5,31

-

2302,81

2302,81

3,47

1000,8

2778,11

3778,93

5,69

182,47
-

2000,10
959,51
2902,18

2000,10
1141,98
2902,18

3,01
1,72
4,37

57,64

2757,03

2814,67

4,24