Persebaran dan kemudahan konversi lahan sawah pada berbagai bentuklahan di Kabupaten Karawang

PERSEBARAN DAN KEMUDAHAN KONVERSI
LAHAN SAWAH PADA BERBAGAI BENTUKLAHAN
DI KABUPATEN KARAWANG

RHOMA PURNANTO

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persebaran dan
Kemudahan Konversi Lahan Sawah pada Berbagai Bentuklahan di Kabupaten
Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014

Rhoma Purnanto
NIM A14070100

ABSTRAK
RHOMA PURNANTO. Persebaran dan Kemudahan Konversi Lahan Sawah pada
Berbagai Bentuklahan di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh KHURSATUL
MUNIBAH dan BOEDI TJAHJONO.
Kabupaten Karawang merupakan salah satu kabupaten dengan luasan
lahan sawah serta produksi padi terbesar di Indonesia. Dengan adanya UU No. 41
Tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka diperlukan upaya
pencegahan terhadap penurunan luasan lahan sawah (konversi lahan) di kabupaten
tersebut. Persebaran penggunaan lahan sawah dianalisis dengan citra Quickbird,
sedangkan klasifikasi bentuklahan ditetapkan berdasarkan kondisi morfologi,
morfogenesis, morfokronologi, dan litologi. Penetapan kemudahan konversi lahan
sawah menjadi “lahan terbangun” dan “lahan pertanian non sawah” dianalisis
berdasarkan tiga variabel utama, yaitu kawasan hutan, rencana pola ruang, serta

jarak terhadap jalan utama. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kabupaten
Karawang memiliki lahan sawah seluas 54,2% dari luas total wilayah kabupaten.
Lahan sawah ini menyebar di 8 jenis bentuklahan. Bentuklahan dataran fluvial
merupakan bentuklahan yang mempunyai sebaran lahan sawah terbesar, yaitu
seluas 73,5%. Bentuklahan ini dicirikan oleh relief yang relatif datar serta
memiliki banyak sebaran sungai sebagai sumber air irigasi sawah. Hasil analisis
ini menunjukkan pula bahwa lahan sawah di Kabupaten Karawang secara
dominan berada pada bentuklahan yang sesuai (dataran fluvial), terdapat pada
jarak 100 meter, serta berada pada radius lebih dari 500 meter dari jalan utama,
atau berada secara dominan pada kawasan areal penggunaan lain (budidaya).
Selain itu, keberadaan lahan sawah secara dominan (78,4%) telah sesuai dengan
peruntukkan tata ruang. Untuk hasil analisis kemudahan lahan sawah terkonversi,
yaitu menjadi “lahan terbangun” menunjukkan bahwa 27,8% lahan sawah berada
pada kategori mudah terkonversi (MK) dan 72,3% berada pada kategori sulit
terkonversi (SK). Dalam hal ini terdapat 19% bentuklahan dataran fluvial yang
memiliki lahan sawah kategori mudah terkonversi (MK), serta 55% sulit
terkonversi (SK). Adapun hasil analisis untuk kemudahan terkonversi menjadi
“lahan pertanian non sawah” menunjukkan bahwa sebesar 71,7% lahan sawah
tergolong mudah terkonversi (MK), 7,2% masuk ke dalam kategori agak mudah
terkonversi (AMK), dan sisanya 21,1% masuk ke dalam kategori sulit terkoversi

(SK). Pada tipe konversi ini, luasan paling dominan pada setiap bentuklahan
adalah kategori lahan sawah yang mudah terkonversi (MK).

Kata kunci : lahan sawah, bentuklahan, kerentanan, konversi lahan, Karawang

ABSTRACT
RHOMA PURNANTO. Distribution and Conversion Susceptibility of Paddy
Field on Various Landforms in Karawang Regency. Under Direction of
KHURSATUL MUNIBAH and BOEDI TJAHJONO.
Karawang is one of Regency possessing the most large expanses of paddy
fields and rice production in Indonesia. Since the presence of the Law 41 - 2009
concerning sustainable food agricultural land, accordingly the local government
has to prevent the paddy field area from conversion phenomena. The distribution
of paddy field were analyzed by Quickbird imagery, while the landform classified
based on morphology, morphogenesis, morphocronology, and lithology.
Determination of paddy field conversion susceptibility into a "build-up area" and
"non-paddy farmland" has been analyzed using three main variables, namely
forests area, land use planning of Regency, and distance to the main road. The
result showed that the Regency has about 54.2% of paddy field in compare to total
area of Regency. The paddy fields spread in 8 types of landforms, where the

fluvial plain landforms are those possessing the largest distribution of paddy fields
(73.5%). The landforms are characterized by a relatively flat relief and having
many rivers contributing to paddy fields water irrigation. The analysis also shows
that the pattern of paddy fields in Karawang Regency are predominantly located
in the appropriate landforms (i.e. fluvial plains), exist at a distance of 100 meters,
and are distributed at a radius of more than 500 meters from the main road. In
other words, they are predominantly well situated (78,4%) in the cultivation zone
of Regency’s land use planning. According to the susceptibility analysis of paddy
field into "build-up area" indicates that 27.8% of them categorized as easily
converted (MK) and 72.3% were in the category of hard converted (SK). The
distribution of MK category is dominantly in the fluvial plain landforms, where
19 % of the landforms possessed MK categories and 55% for SK categories. The
results of susceptibility analysis of paddy field into "non-paddy farmland"
indicates that 71.7% of them classified as MK categories, 7.2% as rather easily
converted (AMK), and the remaining or 21.1% as SK categories. In this type of
conversion, the extensive area of each landforms are of MK categories.
Keywords: paddy field, landforms, vulnerability, land conversion, Karawang

PERSEBARAN DAN KEMUDAHAN KONVERSI
LAHAN SAWAH PADA BERBAGAI BENTUKLAHAN

DI KABUPATEN KARAWANG

RHOMA PURNANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Persebaran dan kemudahan konversi lahan sawah pada berbagai
bentuklahan di Kabupaten Karawang
Nama
: Rhoma Purnanto

NIM
: A14070100

Disetujui oleh

Dr. Khursatul Munibah, M.Sc
Pembimbing I

Dr. Boedi Tjahjono, DEA
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Baba Barus, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat
karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, kepada
sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya.
Skripsi yang berjudul “Persebaran dan kemudahan terkonversi lahan sawah
pada berbagai bentuklahan di Kabupaten Karawang” merupakan bagian dari tugas
akhir untuk memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya
Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi I
sekaligus sebagai pembimbing akademik yang senantiasa membimbing,
mengarahkan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan kegiatan
penelitian.
2. Dr. Boedi Tjahjono, DEA sebagai dosen pembimbing skripsi II yang
senantiasa memberikan saran, kritik, arahan dan motivasi kepada penulis
dalam kegiatan penelitian ini.
3. Dr. Komarsa Gandasasmita, M.Sc (almarhum) sebagai dosen penguji

yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Orangtua Ayah dan Ibu serta seluruh keluarga yang senantiasa
mendo’akan dan memotivasi penulis.
5. Pa ra sahabat dan rekan seperjuangan Farid, Yoan, Hadi, Aji, Hecu,
Kabul, Ayas, Ufi, Vindi, Ridho, Eni, Oncom dll yang senantiasa
memberikan dukungan, motivasi, bantuan pemikiran serta kritik yang
tiada henti.
6. Keluarga Besar Soilscaper 44, Keluarga Pondok Letus, Keluarga Pondok
Koplak, Keluarga Besar Asrama Tanjung Tinggi IKPB Bogor serta
adek-adek kelas Soil 45, 46, 47, 48 dan 49 atas kebersamaan dan
dukungannya terhadap penulis.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, November 2014

Rhoma Purnanto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
ABSTRAK
ii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Lahan Sawah
2
Bentuklahan
3

Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan
4
Sistem Informasi Geografis dan Citra Quickbird
6
Peranan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
dalam Kajian Pertanian Lahan Sawah
7
Rencana Pola Ruang
9
METODOLOGI PENELITIAN
9
Waktu dan Tempat
9
Bahan dan Alat
9
Metode Penelitian
10
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

15
Kondisi Geografis dan Administratif
15
Kondisi Iklim
15
Kondisi Topografi, Geologi dan Hidrologi
16
Kondisi Kependudukan
16
Kondisi Ekonomi
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
Interpretasi Bentuklahan (Landform)
17
Interpretasi Lahan Sawah (Paddy Field)
19
Persebaran Lahan Sawah terhadap Bentuklahan, Jarak terhadap Jalan,
Kawasan Hutan dan Rencana Pola Ruang
20
Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Terbangun
23
Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan Pertanian Non Sawah
25
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
34

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Karakteristik Citra Quickbird
Data Sekunder Penelitian
Kemudahan Konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun
Kemudahan Konversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah
Bentuklahan Kabupaten Karawang
Luas sawah setiap kecamatan
Persebaran lahan sawah pada berbagai bentuklahan
Persebaran lahan sawah pada berbagai pola ruang
Persebaran tingkat kemudahan konversi lahan sawah menjadi lahan
terbangun pada berbagai bentuklahan
10. Persebaran tingkat kemudahan konversi lahan sawah menjadi lahan
pertanian non sawah pada berbagai bentuklahan

6
10
13
14
17
20
21
22
24
26

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kenampakan Satelit Quickbird diluar angkasa
Diagram Alir Penelitian
Peta Administrasi Kabupaten Karawang
Peta Bentuklahan Kabupaten Karawang
Peta Persebaran lahan sawah Kabupaten Karawang
Persebaran luasan lahan sawah terhadap jalan utama
Peta Kawasan Hutan Kabupaten Karawang
Peta kemudahan konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun
Peta kemudahan konversi lahan sawah menjadi pertanian non sawah

7
11
15
18
19
21
22
23
25

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kenampakan sawah pada berbagai bentuklahan di citra Quickbird dan di
lapang
2. Peta Jalan Kabupaten Karawang
3. Peta Buffer Jalan
4. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Karawang 2010-2030
5. Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Karawang
6. Peta Geologi Kabupaten Karawang
7. Citra DEM-SRTM 30 meter Kabupaten Karawang

30
31
31
32
32
33
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sawah merupakan faktor terpenting dalam pemenuhan kebutuhan pangan
bagi bangsa Indonesia. Kebutuhan akan pangan semakin meningkat seiring
dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini menyebabkan
kebutuhan terhadap lahan pertanian sawah juga meningkat, namun pertumbuhan
penduduk yang tinggi juga menyebabkan peningkatan permukiman, industri, dan
sektor-sektor penunjangnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya persaingan
penggunaan lahan antara lahan pertanian sawah dengan lahan non sawah.
Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi penggunaan lahan non sawah
menyebabkan penyusutan areal pertanian. Menurut Rustiadi (2001) lahan-lahan
sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat kecil
kemungkinannya untuk dikembalikan lagi menjadi sawah (irreversible). Hal
tersebut secara langsung akan menurunkan produksi pangan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi ketahanan pangan.
Kabupaten Karawang merupakan lumbung padi Provinsi Jawa Barat dan
daerah lainnya yang memberikan kontribusi kebutuhan beras nasional rata-rata
setiap tahunnya mencapai 784.000 ton. Berdasarkan data tahun 2011, total luas
lahan sawah Kabupaten Karawang mencapai 97.529 hektar dan 86.588 hektar
diantaranya merupakan sawah irigasi teknis. Produksi padi pertahun mencapai
1.470.870 ton Gabah Kering Pungut (GKP) yang merupakan salah satu kabupaten
dengan produksi beras terbesar di Indonesia (Karawang Dalam Angka, 2011).
Dengan besarnya peranan Kabupaten Karawang dalam pemenuhan kebutuhan
pangan nasional, maka konsistensi luasan lahan sawah di Kabupaten Karawang
menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas produksi beras daerah tersebut.
Karakteristik fisik suatu wilayah akan mempengaruhi kesesuaian
penggunaan lahan pada daerah tersebut. Analisis geomorfologi sering digunakan
untuk membantu menentukan perencanaan, pemeliharaan, pencegahan, serta
solusi terhadap resiko geomorfologi yang mungkin terjadi pada jenis penggunaan
lahan pada wilayah tersebut. Karakteristik fisik suatu lahan sawah akan
dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik bentuklahannya, semakin sesuai
karakteristik bentuklahan tersebut terhadap suatu penggunaan lahan sawah maka
akan semakin efektif dan efisien perlakuan yang diberikan kepada lahan sawah
tersebut untuk mencapai produktivitas maksimum. Bentuklahan juga akan
mempengaruhi keberlangsungan atau kemudahan terkonversinya lahan sawah
tersebut menjadi lahan pertanian non sawah ataupun menjadi lahan terbangun.
Berdasarkan potensi dan peranan Kabupaten Karawang dalam pemenuhan
ketahanan pangan nasional di atas, maka diperlukan suatu penelitian yang mampu
memberikan informasi secara lengkap dan terperinci terkait dengan kondisi
sebaran lahan sawah, bentuklahannya, penyebaran lahan sawah pada berbagai
faktor, serta menganalisis tingkat kemudahan untuk terkonversi.

22
Tujuan Penelitian
(1)
(2)
(3)
(4)

Melakukan interpretasi bentuklahan dan penggunaan lahan sawah.
Menganalisis persebaran lahan sawah pada berbagai bentuklahan, jarak
terhadap jalan, kawasan hutan, dan rencana pola ruang.
Menganalisis persebaran kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi
lahan terbangun pada berbagai bentuklahan.
Menganalisis persebaran kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi
lahan pertanian non sawah pada berbagai bentuklahan.

TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Sawah
Lahan sawah merupakan lahan yang digunakan untuk menanam padi, baik
secara terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija
(Hardjowigeno dan Luthfi, 2005). Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan
lahan, yang untuk pengolahannya memerlukan genangan air. Sawah selalu
mempunyai permukaan yang datar atau didatarkan (dibuat teras), dan dibatasi oleh
pematang untuk menahan air genangan. Berdasarkan sumber air yang digunakan
dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah
tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Sawah irigasi adalah sawah
yang sumber airnya berasal dari tempat lain melalui saluran-saluran yang sengaja
dibuat. Sawah irigasi dibedakan atas sawah irigasi teknis, sawah irigasi semi
teknis dan sawah irigasi sederhana (Puslitbangtanak, 2003).
Sawah irigasi teknis pengairannya berasal dari waduk, dan atau danau dan
dialirkan melalui saluran induk (primer) yang selanjutnya dibagi-bagi ke dalam
saluran skunder dan tersier melalui bangunan pintu pembagi air. Sawah irigasi
sebagian besar dapat ditanami padi dua kali atau lebih dalam setahun, tetapi
sebagian ada yang hanya ditanami padi sekali setahun. Sawah tadah hujan adalah
sawah yang sumber airnya tergantung atau berasal dari curah hujan tanpa adanya
bangunan-bangunan irigasi permanen. Sawah tadah hujan umunya terdapat pada
wilayah yang posisinya lebih tinggi dari sawah irigasi atau sawah lainnya
sehingga tidak memungkinkan terjangkau oleh pengairan.Waktu tanam padi
sangat tergantung pada datangnya musim hujan (Puslitbangtanak, 2003).
Sawah pasang surut adalah sawah yang irigasinya tergantung pada gerakan
pasang surut serta letaknya di wilayah datar tidak jauh dari laut. Karena adanya
pengaruh pasangdan surut, air laut dimanfaatkan untuk mengairi melalui saluran
irigasi dan drainase. Sawah pasang surut umumnya terdapat disekitar jalur aliran
sungai besar yang terkena pengaruh pasang surut. Sawah lebak adalah sawah yang
berada di daerah rawa dengan memanfaatkan naik turunnya permukaan air rawa
seacara alami, sehingga didalam sistem sawah lebak tidak dijumpai saluran air.
Sawah ini umumnya terletak di daerah yang relatif dekat dengan jalur sungai
besar (Puslitbangtanak, 2003).

3
Bentuklahan
Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsikan bentuklahan (landform)
dan proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki
hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam
susunan keruangannya. Bentuk lahan atau landform adalah permukaan lahan yang
mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan akibat
proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang tertentu. Setiap bentuk
lahan berbeda dalam struktur, proses geomorfologi, relief/topografi dan materi
penyusunnya. Bentuklahan dapat terjadi karena proses vulkanik, proses struktural,
proses marin, proses angin, proses denudasional, proses fluvial, proses solusional,
dan proses organik (Rika Harini, 2005). Perbedaan intensitas, kecepatan jenis, dan
lamanya proses yang bekerja pada suatu daerah menyebabkan kenampakan bentuk
lahan di suatu daerah dengan daerah lain umumnya berbeda.
Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuklahan merupakan konfigurasi
permukaan lahan (land surface) yang mempunyai bentuk-bentuk khusus. Suatu
bentuklahan akan dicirikan oleh struktur atau batuannya, proses pembentukannya,
dan mempunyai kesan topografi spesifik. Bentuklahan merupakan istilah yang
digunakan untuk menyatakan masing-masing dari setiap satu kenampakan dari
kenampakan secara menyeluruh dan sinambung (multitudineous features) yang
secara bersama-sama membentuk permukaan bumi. Hal ini mencakup semua
kenampakan yang luas, seperti dataran, plato, gunung dan kenampakankenampakan kecil seperti bukit, lembah, ngarai, arroyo, lereng, dan kipas aluvial
(Desaunettes 1977).
Verstappen (1983) mengklasifikasikan bentuklahan berdasarkan genesisnya
(proses terjadinya) menjadi 10 macam bentuklahan, yaiut:
1. Bentuklahan asal proses vulkanik (V), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuklahan ini
antara lain: kerucut gunung api, medan lava, kawah, dan kaldera.
2. Bentuklahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologi. Pegunungan
lipatan, pegunungan patahan, perbukitan, dan kubah, merupakan contohcontoh untuk bentuklahan asal struktural.
3. Bentuklahan asal fluvial (F), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan
yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran banjir, rawa belakang, teras
sungai, dan tanggul alam merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan ini.
4. Bentuklahan asal proses solusional (S), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah
larut, seperti batu gamping dan dolomite, karst menara, karst kerucut, doline,
uvala, polye, goa karst, dan logva.
5. Bentuklahan asal proses denudasional (D), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses degradasi seperti longsor dan erosi.
Contoh satuan bentuklahan ini adalah bukit sisa, lembah sungai, peneplain,
dan lahan rusak.
6. Bentuklahan asal proses eolin (E), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses angin. Contoh satuan bentuklahan ini
adalah gumuk pasir barchan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal.

44
7. Bentuklahan asal proses marin (M), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan
pasang-surut. Contoh satuan bentuklahan ini adalah gisik pantai (beach), bura
(spit), tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan
sungai bermuara ke laut, maka seringkali terjadi bentuklahan yang terjadi
akibat kombinasi proses fluvial dan proses marin. Kombinasi ini disebut
proses fluvio-marin. Contoh satuan bentuklahan yang terjadi akibat proses
fluvio-marin ini antara lain delta dan estuari.
8. Bentuklahan asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan
yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuklahan ini
antara lain lembah menggantung dan morine.
9. Bentuklahan asal organik (O), merupakan kelompok besar satuan bentuklahan
yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna).
Contoh satuan bentuklahan ini adalah mangrove dan terumbu karang.
10. Bentuklahan asal antropogenik (A), merupakan kelompok besar satuan
bentuklahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, dan
pelabuhan merupakan contoh-contoh satuan bentuklahan hasil proses
antropogenik.
Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan dan undang-undang nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan (PLPPB) merupakan sistem dan proses dalam
merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina,
mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara
berkelanjutan. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka
ketahanan dan kedaulatan pangan nasional (Rustiadi et al, 2010). PLPPB
merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam mengendalikan laju alih fungsi
lahan pertanian pangan yaitu sawah di Indonesia yang saat ini semakin berkurang
luasannya. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian
yang diterapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan
nasional.
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan
perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yaitu meliputi: (1) Kawasan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), (2) Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B), (3) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(LCP2B). Lahan pertanian dan lahan cadangan yang berada di dalam dan atau
diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria, yaitu:


Kesesuaian Lahan
KP2B ditetapkan pada lahan yang secara biofisik terutama dari aspek
kelerengan, iklim, sifat fisik, kimia, dan biologi cocok untuk dikembangkan
pertanian pangan dengan memperlihatkan daya dukung lingkungan.

5


Ketersediaan Infrastruktur
KP2B ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan infrastruktur
pendukung pertanian pangan antara lainsistem irigasi, jalan usaha tani dan
jembatan.



Penggunaan Lahan Aktual (Kondisi existing)
Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan
bentuk penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.



Potensi Teknis Lahan
Lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek topografi, lereng, iklim,
sifat fisik, kimia dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk
pertanian.



Luasan Satuan Hamparan Lahan
Perencanaan LP2B dan LCP2B yang dilakukan dengan mempertimbangkan
sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem
produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi dan sosial
budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Penentapan kawasan kehutanan dilakukan sebagai upaya pengaturan dan
pencegahan terjadinya ekploitasi sumberdaya hutan yang memiliki peranan dalam
perlindungan sistem kehidupan. Hutan dikuasai oleh negara dan selanjutnya
diberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dengan hutan, menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan
menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan. Kewenangan mengurus
hutan diwujudkan dalam bentuk perencanaan, pengelolaan dan pengawasan
kehutanan. Sedangkan kewenangan dalam penetapan kawasan hutan dilaksanakan
melalui proses perencanaan kehutanan. Penetapan kawasan hutan akan
menghasilkan kepastian hukum kawasan hutan. Setelah adanya kepastian hukum
atas kawasan hutan baru bisa tercipta kewenangan selanjutnya yaitu menetapkan
hubungan hukum antara orang dengan hutan.
Setelah adanya kepastian hukum terhadap kawasan hutan dan terciptanya
hubungan hukum antara orang dengan hutan barulah pengelolaan hutan bisa
dilaksanakan.dengan memberikan izin pemanfaatan hutan serta pemberian sanksi
terhadap pelanggaran ketentuan kehutanan. Untuk menciptakan hubungan hukum
antara orang dengan hutan haruslah terlebih dahulu melalui kepastian hukum
kawasan hutan yang dilaksanakan pada perencanaan kehutanan dalam pengurusan
hutan. Kepastian hukum merupakan kata kunci dalam penegakan hukum terhadap
undang undang kehutanan.
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia merupakan institusi yang
mempunyai wewenang dalam penentuan kawasan hutan. Secara umum hutan
dibagi menjadi dua jenis peruntukkan, yaitu peruntukkan dilindungi dan
peruntukkan produksi. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan

66
memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, hutan ini dibagi menjadi
hutan produksi dan hutan produksi terbatas.
Sistem Informasi Geografis dan Citra Quickbird
Satelit Quickbird merupakan satelit ketiga yang diluncurkan oleh
DigitalGlobe dengan tujuan untuk menghasilkan citra satelit resolusi tinggi untuk
kepentingan komersial. Citra Quickbird adalah salah satu citra beresolusi spasial
yang tinggi dan dapat diakses oleh publik. Kita dapat membeli/memesan citra ini
untuk lokasi dimanapun di muka bumi, tetapi tidak termasuk lokasi yang telah
dikecualikan oleh perjanjian antara pemerintah suatu negara dengan provider data
utama Quickbird. Biasanya lokasi-lokasi yang dikecualikan adalah lokasi-lokasi
rahasia/sangat penting seperti lokasi militer tertentu atau instalasi nuclear plant.
Satelit Quickbird diluncurkan pada 18 Oktober 2001 dari Vandenburg Air Force
Base di California dan dapat merekam 75 juta km persegi permukaan bumi per
tahun. Keunggulan citra Quickbird adalah mampu menyajikan data dengan
resolusi hingga 61 cm. Dengan resolusi setinggi ini, sebuah lokasi permukiman
dapat diidentifikasi per individu bangunan, sebuah jaringan jalan dapat
didentifikasi sebagai poligon dua sisi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
pemesanan data sangat mudah dilakukan, tidak serumit pembuatan foto udara
yang mengharuskan adanya security clearance (izin dari pihak keamanan), izin
jalur terbang, sewa hanggar, sewa pesawat dan lain sebagainya.
Citra Quickbird saat ini sudah banyak dimanfaatkan dalam bidang
perencanaan wilayah ataupun pertanian. Resolusi 61 cm sangat ideal untuk
melakukan observasi pada lahan yang luas, petak tanaman hingga per individu
tanaman. Melakukan identifikasi jenis tanaman dan kondisi tanah, potensi panen,
efektifitas pengairan, kesuburan tanaman, kandungan air. Secara time series, citra
Quickbird dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan tanaman, banyaknya
tanah yang hilang, laju penanaman, pemilihan tananaman yang siap panen, tingkat
kerusakan tanaman akibat hama dan penyakit dan lain sebagainya.
Tabel 1. Karakteristik Citra Quickbird
Resolusi Spasial
Band
Luas Area
Altitude/Ketinggian
Kecepatan pada Orbit
Waktu Lintas Ulang

Karakterisik Citra Quickbird
0,6 meter (citra pankromatik)
2,4 meter (citra multispectral)
4 band(merah, hijau, biru, infra merah dekat)
16,5 km x 16,5 km (single area)
450 km (980 sun synchronous)
7,1 km/detik (25.560 km/jam)
1 sampai dengan 3,5 hari

7

Gambar 1. Kenampakan satelit Quicbird di luar angkasa
Peranan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam
Kajian Pertanian Lahan Sawah
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Karakteristik dari objek dapat ditentukan
berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh
obyek tersebut dan terekam oleh sensor. Hal ini berarti, masing-masing obyek
mempunyai karakteristik pantulan atau pancaran elektromagnetik yang unik dan
berbeda pada lingkungan yang berbeda (Murai, 1999).
Proses interpretasi citra didefinisikan sebagai proses ekstraksi informasi
kualitatif maupun kuantitatif dalam bentuk sebuah peta, baik mengenai bentuk,
lokasi, struktur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar obyek, dan lain-lain
(Murai, 1999). Lebih lanjut Murai (1999) menguraikan langkah interpretasi citra
sebagai berikut :
1. Proses pembacaan citra, merupakan bentuk dasar dari interpretasi citra,
berhubungan dengan identifikasi elemen-elemen seperti bentuk, ukuran, pola,
bayangan,
rona/warna,
tekstur,
dan
situs/asosiasi.
Proses
ini
diimplementasikan bersama kunci interpretasi untuk masing-masing obyek.
2. Proses pengukuran citra, merupakan proses ekstraksi kuantitas fisik seperti
panjang, ketinggian, densitas, temperatur, dan lain-lain dengan menggunakan
data referensi atau data kalibrasi baik secara deduktif maupun induktif.
3. Proses analisis citra, merupakan proses memahami relasi antara informasi
hasil interpretasi dan keadaan aktual di lapangan, untuk mengevaluasi situasi.
Dalam proses analisis citra, pengecekan lapang diperlukan karena umumnya
keakurasian hasil interpretasi tidak memadai tanpa adanya data hasil
pengecekan lapangan.
Lillesand dan Kiefer (1990) memberikan karakteristik dasar kenampakkan
pada citra sebagai kunci dalam proses interpretasi citra, yaitu:
a. Bentuk, merupakan konfigurasi atau kerangka suatu obyek.
b. Ukuran, merupakan besar kecilnya obyek pada citra dengan
mempertimbangkan skala citra.

88
c. Pola, menyatakan hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan obyek alami atau buatan, akan memberikan suatu pola
yang dapat membantu penafsiran.
d. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek, atau
bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya sehingga
sukar diamati pada citra.
e. Rona, menunjukkan adanya tingkataan keabuan atau kecerahan relatif obyek
pada citra.
f. Warna, dapat dipresentasikan dengan hue, value, dan chroma.
g. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Merupakan gabungan
dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.
h. Situs, menunjukkan hubungan antara posisi suatu terhadap obyek lainnya,
sehingga suatu obyek dapat dikenali dari hubungan tersebut.
i. Asosiasi, menunjukkan keterkaitan suatu obyek terhadap lokasi dimana obyek
tersebut ditemukan.
Sementara itu, sistem informasi geografis (SIG ) menurut Burrough (1986)
adalah seperangkat sistem yang digunakan untuk mengoreksi, menyimpan,
memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari dunia
nyata untuk tujuan tertentu. Dalam konteks basisdata (database based), Aronoff
(1989) menyatakan bahwa SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer yang
mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu
pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali),
manipulasi dan analisis serta keluaran (output). Sedangkan dalam konteks
organisasi (organization based), Ozemoy et al dalam Burrough (1986)
mendefinisikan SIG sebagai seperangkat fungsi-fungsi otomatis yang profesional
dengan kemampuan lebih baik dalam hal penyimpanan, pemanggilan kembali,
manipulasi, dan tampilan lokasi data secara geografis.
Aplikasi SIG telah banyak digunakan untuk perencanaan pertanian, industri,
dan penggunaan lahan. Analisis terpadu terhadap penggunaan lahan, debit air,
data kependudukan dan pengaruh dari masing-masing data dapat dilakukan
dengan pemanfaatan teknologi ini. Dalam perencanaan bidang pertanian,
pengaplikasian SIG antara lain adalah :
1. Perencanaan pengelolaan produksi tanaman, SIG dapat digunakan untuk
membantu perencanaan pengelolaan sumberdaya pertanian dan perkebunan
seperti luas kawasan untuk tanaman, pepohonan, atau saluran air. Selain itu
SIG digunakan untuk menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi
tanam, dan melakukan perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah
yang terjadi karena perbedaan pembibitan, penanaman, atau teknik yang
digunakan dalam masa panen. Proses pengolahan tanah, proses pembibitan,
proses penanaman, proses perlindungan dari hama dan penyakit tanaman
dapat dikelola dan dikontrol secara langsung dengan menggunakan teknologi
ini.
2. Perencanaan pengelolaan sistem irigasi, SIG digunakan untuk membantu
perencanaan irigasi dari tanah-tanah pertanian. SIG dapat membantu
perencanaan kapasitas sistem, katup-katup, efisiensi, serta perencanaan
distribusi menyeluruh dari air di dalam sistem.

9
Rencana Pola Ruang
Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang,
ruang merupakan kesatuan wilayah tempat makhluk hidup beraktivitas.
Keberadaan ruang yang terbatas ini memerlukan perencanaan yang matang agar
pemanfaatannya sesuai dengan potensi yang ada. Hal ini berkaitan erat dengan
keberadaan sumberdaya lahan. Menurut Luthfi (2007), sumberdaya lahan
merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga perlu dimanfaatkan dengan
optimal serta diperlukannya perencanaan tata ruang yang mampu mengoptimalkan
potensi lahan yang ada tersebut. Rencana Pola ruang adalah rencana distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Bentuk kawasan
yang memiliki peruntukan ruang fungsi lindung adalah kawasan lindung yang
merupakan wilayah dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan
bentuk kawasan yang memiliki peruntukan ruang untuk fungsi budidaya adalah
kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Menurut Rustiadi, dkk (2010), pengaturan pola pemanfaatan ruang dalam
perencanaan menggunakan informasi jenis penggunaan lahan aktual sebagai
dasarnya dikarenakan informasi penggunaan lahan mampu menggambarkan
bagaimana kondisi fisik wilayah yang sebenarnya. Penyusunan rencana Pola
ruang wilayah kabupaten harus jelas, realistis, dan dapat diimplementasikan dalam
jangka waktu perencanaan pada wilayah kabupaten bersangkutan. Rencana pola
ruang untuk ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi wilayah kabupaten
diatur dengan pedoman tersendiri, dan harus mengikuti peraturan perundangundangan terkait.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan September 2013.
Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah administrasi Kabupaten Karawang,
Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 193.120,56 km2. Secara astronomis,
Kabupaten Karawang terletak pada koordinat 107002’ - 107040’ Bujur Timur dan
50562’ – 6034’ Lintang Selatan. Pengolahan dan analisis data dilakukan di
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang
diperoleh dari lapangan dan data sekunder yang terdiri dari peta dan citra seperti
yang disajikan pada Tabel 2. Melakukan survei lapang bertujuan untuk

10
10
mengetahui keadaan sebenarnya (existing) di lapangan dan untuk verifikasi hasil
interpretasi yang telah dilakukan di studi. Metode survei lapang yang dilakukan
pada penelitian ini adalah dengan cara pengamatan pada beberapa titik sampel.
Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) dan kamera digital.
Tabel 2. Data sekunder penelitian
No

Nama Bahan

1.

Citra Quickbird resolusi 61 cm tahun 2011 wilayah Kabupaten
Karawang
Citra DEM-SRTM resolusi 30 meter dari NASA yang diunduh dari
http://srtm.csi.cgiar.org
Peta Administrasi Kabupaten Karawang dari Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Karawang
Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Karawang dari Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten
Karawang
Peta Kawasan Kehutanan Kabupaten Karawang dari Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia
Peta Jalan Kabupaten Karawang dari Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Karawang
Peta Geologi Kabupaten Karawang dan sekitarnya

2.
3.
4.

5.
6.
7.

Spesifikasi
Skala

1 : 50.000
1 : 50.000
1 : 50.000
1 : 50.000
1 : 100.000

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat komputer
dengan perangkat lunak (software) data spasial ArcGIS 9.3, ArcView GIS 3.3,
Microsoft Office Excel dan Microsoft Office Word.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap persiapan, tahap
pengumpulan data, serta tahap analisis data. Diagram alir penelitian disajikan
pada Gambar 3.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pemilihan dan penentuan tema penelitian,
pembuatan proposal, studi literatur serta pemilihan metode yang digunakan dalam
analisis data. Data yang disiapkan untuk penelitian ini tercantum pada Tabel 2.
2. Tahap Analisis Data
Tahap analisis data meliputi (1) interpretasi bentuklahan (landform) dan
lahan sawah, (2) persebaran lahan sawah terhadap bentuklahan, jarak terhadap
jalan, kawasan hutan, dan rencana pola ruang, serta (3) kemudahan terkonversi
lahan sawah menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian non sawah.

11
Semua tahapan tersebut diatas secara ringkas dijelaskan pada Gambar 2
sebagai berikut:

Peta
Geologi

Citra DEMSRTM

Analisis morfologi,
morfokronologi,
morfogenesis dan
litologi

Citra Quickbird
Tahun 2011

Peta Lahan Sawah
Kementan RI

Interpretasi
Peta Rencana
Pola Ruang
Kab. Karawang

Peta Sebaran Lahan
Sawah Kab. Karawang
2011

Peta Bentuklahan Kab.
Karawang

Peta Kawasan
Hutan

Buffer Jalan
Pengecekan
Lapang

Overlay

Peta Sebaran Lahan
Sawah berdasarkan
Bentuklahan

Overlay

Analisis kemudahan
terkonversi

Peta Kelas Kemudahan
Konversi Lahan Sawah
(menjadi lahan terbangun
dan pertanian non sawah)

Peta Sebaran Kemudahan Konversi
Lahan Sawah Berdasarkan
Bentuklahan

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

12
12
a. Tahap Interpretasi Bentuklahan (landform) dan Lahan Sawah
Interpretasi bentuklahan diawali dengan menganalisis peta geologi untuk
mengetahui gambaran proses geomorfik yang terjadi pada daerah penelitian.
Proses selanjutnya adalah mengklasifikasikan bentuklahan yang dilakukan
berdasarkan kondisi morfologi, morfogenesis, morfokronologi dan litologi yaitu
dengan interpretasi melalui peta geologi, citra DEM-SRTM 30 meter serta citra
Quickbird.
Pemetaan sebaran lahan sawah dilakukan berdasarkan interpretasi ulang
pada peta lahan sawah Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan-RI)
menggunakan citra Quickbird beresolusi tinggi yang mencapai ketelitian 0,6
meter. Sebaran lahan sawah dianalisis dengan melakukan interpretasi serta digitasi
layar (on-screen digitizing) pada penggunaan lahan sawah melalui citra Quickbird
yang dilakukan secara visual dengan pendekatan unsur-unsur interpretasi citra,
yaitu rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi.
b. Tahap Analisis Persebaran Lahan Sawah terhadap Bentuklahan, Jarak
terhadap Jalan, Kawasan Hutan, dan Rencana Pola Ruang
Tahap analisis ini diawali dengan melakukan proses overlay (tumpang
tindih) antara peta persebaran lahan sawah terhadap peta-peta lainnya yaitu peta
bentuklahan, peta jarak terhadap jalan, peta kawasan hutan, dan peta rencana pola
ruang. Dengan melakukan pengolahan dan analisis data atribut dari masingmasing hasil overlay tersebut, maka akan diperoleh nilai luasan serta pola sebaran
lahan sawah pada masing-masing peta yang dipasangkan.
c. Tahap Analisis Kemudahan Konversi Lahan Sawah menjadi Lahan
Terbangun dan Lahan Pertanian Non Sawah
Penetapan kemudahan konversi lahan sawah dilakukan dengan
pembangunan kriteria, yaitu menganalisis hubungan antara sebaran lahan sawah
dengan tiga variabel utama penentu terkonversi yaitu kawasan hutan, rencana pola
ruang, dan jarak terhadap jalan. Pembangunan kriteria ini diawali dengan
membagi lahan sawah menjadi 15 kelas sebaran lahan sawah yang masing-masing
karakteristik kelas tersaji pada Tabel 3 dan 4. Penentuan tingkat kemudahan
terkonversi dianalisis berdasarkan tingkat kesesuaian dan kemungkinan terjadinya
suatu konversi lahan sawah berdasarkan ketiga variabel utama tersebut.
Penetapan kemudahan konversi lahan sawah dibagi menjadi dua analisis,
yaitu kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun dan
kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah (Tabel 3
dan 4). Tingkat kemudahan terkonversi lahan sawah dibagi menjadi 3 kategori
yaitu mudah terkonversi (MK), agak mudah terkonversi (AMK) dan sulit
terkonversi (SK). Hasil akhir dari analisis ini adalah peta kemudahan terkonversi
lahan sawah menjadi lahan terbangun dan peta kemudahan terkonversi lahan
sawah menjadi lahan pertanian non sawah.

Tabel 3. Kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan terbangun
Jenis
Penggunaan
Lahan

Status Kawasan

Jarak Jalan
Utama

Areal Penggunaan
Lain (PL)

≤200 (1)

>200-≤500
(2)

>500 (3)
Lahan
Sawah (S)

Hutan Produksi
dan Hutan
Produksi Terbatas
(HP)
Hutan Lindung
(HL)

>500 (3)

>500 (3)

Rencana Pola Ruang
2010-2030

Kode Kelas
SPL1T

Kawasan Pemukiman
Pedesaan (P)

SPL1P

Kawasan Pertanian (R)

SPL1R

Kawasan Terbangun (T)

SPL2T

Kawasan Pemukiman
Pedesaan (P)

SPL2P

Kawasan Pertanian (R)

SPL2R

Kawasan Terbangun (T)

SPL3T

Kawasan Pemukiman
Pedesaan (P)

SPL3P

Kawasan Pertanian (R)

SPL3R

Kawasan Hutan (H)

SPL3H

Kawasan Terbangun (T)

SHP3T

Kawasan Pertanian (R)

SHP3R

Kawasan Hutan (H)

SHP3H

Kawasan Pertanian (R)

SHL3R

Kawasan Hutan (H)

SHL3H

Mudah Terkonversi
(MK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)

Keterangan
Semua selaras
Semua selaras
Semua selaras
Semua selaras
Semua selaras
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Semua selaras
Semua selaras
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Semua selaras
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
dan kawasan
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
dan kawasan

13

Kawasan Terbangun (T)

Kemudahan
terkonversi

14

Tabel 4. Kemudahan terkonversi lahan sawah menjadi lahan pertanian non sawah
Jenis
Penggunaan
Lahan

Status Kawasan

Jarak
Jalan
Utama

Rencana Pola Ruang
2010-2030

Kode
Kelas

Areal Penggunaan
Lain (PL)

≤200 (1)

Kawasan Terbangun (T)

SPL1T

Kawasan Pemukiman
Pedesaan (P)

SPL1P

Kawasan Pertanian (R)

SPL1R

Kawasan Terbangun (T)

SPL2T

Kawasan Pemukiman
Pedesaan (P)

SPL2P

Kawasan Pertanian (R)

SPL2R

Kawasan Terbangun (T)

SPL3T

Kawasan Pemukiman
Pedesaan (P)

SPL3P

Kawasan Pertanian (R)

SPL3R

Kawasan Hutan (H)

SPL3H

Kawasan Terbangun (T)

SHP3T

Kawasan Pertanian (R)

SHP3R

Kawasan Hutan (H)

SHP3H

Kawasan Pertanian (R)

SHL3R

Kawasan Hutan (H)

SHL3H

>200≤500 (2)

>500 (3)
Lahan
Sawah (S)

Hutan Produksi
dan Hutan
Produksi Terbatas
(HP)
Hutan Lindung
(HL)

>500 (3)

>500 (3)

Kemudahan
terkonversi
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Agak Mudah
Terkonversi (AMK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Agak Mudah
Terkonversi (AMK)
Agak Mudah
Terkonversi (AMK)
Mudah Terkonversi
(MK)
Agak Mudah
Terkonversi (AMK)
Sulit Terkonversi
(SK)
Sulit Terkonversi
(SK)

Keterangan
Semua selaras
Semua selaras
Semua selaras
Semua selaras
Semua selaras
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Semua selaras
Semua selaras
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Semua selaras
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
dan kawasan
Tidak selaras dengan rencana pola ruang
dan kawasan

15

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Administratif
Kabupaten Karawang berada di bagian utara Provinsi Jawa Barat yang
secara geografis terletak antara 107°02 - 107°40 Bujur Timur dan 5°562 - 6°34
Lintang Selatan. Kabupaten Karawang termasuk daerah daratan yang relatif
rendah, mempunyai variasi kemiringan wilayah 0 – 2%, 2 – 15% dan diatas 40%.
Secara administratif, Kabupaten Karawang dibagi mejadi 30 kecamatan (Gambar
3) dan mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :
 Sebelah Utara
: berbatasan dengan Laut Jawa
 Sebelah Timur
: berbatasan dengan Kabupaten Subang
 Sebelah Tenggara : berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta
 Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
 Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Cianjur

Gambar 3. Peta Administrasi Kabupaten Karawang
Kondisi Iklim
Sesuai dengan bentuk morfologinya Kabupaten Karawang merupakan
dataran rendah dengan temperatur udara rata-rata 27°C dengan tekanan udara ratarata 0,01 milibar, penyinaran matahari 66% dan kelembaban nisbi 80%, sampai
april bertiup angin muson laut dan sekitar bulan Juni bertiup angin muson

16
16
tenggara, kecepatan angin antara 30 – 35 km/jam, lamanya tiupan rata-rata 5 – 7
jam. Curah hujan dipengaruhi oleh iklim, keadaan geografi dan
perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan sangat
beragam menurut bulan, catatan rata-rata curah hujan di Kabupaten Karawang
mencapai 2.899 mm dengan rata-rata curah hujan perbulan sebesar 121 mm.
Kondisi Topografi, Geologi dan Hidrologi
Kondisi Topografi Kabupaten Karawang sebagian besar merupakan dataran
yang relatif rata dengan variasi ketinggian antara 0 – 5 m diatas permukaan laut.
Hanya sebagian kecil wilayah yang bergelombang dan berbukit-bukit dengan
ketinggian antara 0 – 1.200 m. Wilayah Kabupaten karawang sebagian besar
tertutup dataran pantai yang luas, yang terhampar di bagian pantai utara dan
merupakan batuan sedimen yang dibentuk oleh bahan-bahan lepas terutama
endapan laut dan aluvium vulkanik. Bagian tengah ditempati oleh perbukitan
terutama dibentuk oleh batuan sedimen, sedang dibagian selatan terletak Gunung
Sanggabuana dengan ketinggian ± 1.291 meter diatas permukaan laut.
Kabupaten Karawang dilalui oleh aliran sungai yang melandai ke utara.
Sungai Citarum merupakan pemisah antara Kabupaten Karawang dengan
Kabupaten Bekasi, sedangkan sungai Cilamaya merupakan batas wilayah dengan
Kabupaten Subang. Selain sungai, terdapat 3 buah saluran irigasi yang besar yaitu
Saluran Induk Tarum Utara, Saluran Induk Tarum tengah dan Saluran Induk
Tarum Barat yang dimanfaatkan untuk pengairan sawah, tambak dan pembangkit
tenaga listrik. Kabupaten Karawang terletak pada Satuan Wilayah Sungai (SWS)
02-06 Citarum (Peraturan Menteri PU No.39/PRINT/1989, tanggal 1 April 1989).
Sistem sungai yang ada adalah Sungai Citarum dengan 3 waduk utama yaitu
Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Aliran dibawah bendungan Jatiluhur terdapat
intake di Curug yang memberikan pasok air ke saluran Tarum Barat dan saluran
Tarum Timur.
Kondisi Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Karawang pada tahun 2010 mencapai
2.125.234 jiwa, terdiri dari 1.095.202 jiwa penduduk laki-laki dan 1.030.032 jiwa
penduduk perempuan. Rata-rata kepadatan penduduk (density rate) 1.212 jiwa /
km². Laju pertumbuhan penduduk per tahun selama satu dasawarsa terakhir
sebesar 1,76 persen. Berdasarkan komposisi persebaran, kecamatan Klari
merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar yaitu 7,6 persen dari
poupulasi kabupaten. Sedangkan Kecamatan Teluk Jambe Timur merupakan
wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi yaitu sebesar 5,48 persen.
Rasio jenis kelamin di Kabupaten Karawang masih dalam batas seimbang
berdasarkan gender (perbedaan jenis kelamin) dapat dikatakan seimbang dengan
rasio sebesar 105,0372%. Dari perhitungan didapat rasio ketergantungan total
adalah sebesar 47,53%, artinya setiap 100 orang yang berusia kerja (dianggap
produktif) mempunyai tanggungan sebanyak lebih dari 48 orang yang belum
produktif dan dianggap tidak produktif lagi.

17
Kondisi Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Karawang relatif berfluktuasi, menyesuaikan
kondisi perekonomian nasional serta kebijakan fiskal dan moneter Pemerintah.
Selama periode 2006 – 2008, LPE berada di atas 5 % atau berada di atas syarat
terjadinya pertumbuhan secara minimal. Namun demikian, pada tahun 2009,
terjadi perlambatan yang disebabkan turunnya pertumbuhan sektor industri yang
terindikasi merupakan dampak dari penurunan kinerja perekonomian global pada
tahun tersebut. Perkembangan PDRB ADHB periode 2006 - 2009 secara
absolutterus mengalami peningkatan. Berdasarkan harga berlaku (current
marketprice) pada tahun 2006 sebesar Rp 31.348,37 milyar meningkat hingga
mencapai Rp 47.225,24 milyar di tahun 2009. Demikian pula atas dasar harga
konstan (constant market price) dimana pada tahun 2006 dengan nilai Rp
15.568,18 milyar meningkat menjadi Rp 19.195,45 milyar di tahun 2009.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Interpretasi Bentuklahan (landform)
Berdasarkan hasil interpretasi,